1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue, virus ini terdiri dari 4 serotip Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Penyakit viral ini ditularkan oleh Aedes aegyptisebagai vektor utama, sedangkan nyamuk Aedes albopictus, Aedespolynesiensis dan Aedes scutelaris merupakan vektor potensial (WHO, 2000). Sejak awal tahun 1970-an sampai akhir tahun 2005, DBD menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara tropis dan sub tropis. Penyakit ini endemis di banyak kota di Indonesia. Secara nasional, kejadian luar biasa (KLB) DBD, antara tahun 1970-1990 terjadi secara berkala 4-6 tahun, tetapi sesudah itu KLB DBD sampai tahun 2005 terjadi antara 3-4 tahun, bahkan di sejumlah kota KLB terjadi dalam jangka waktu 1-2 tahun (Kusriastuti, 2005). Kondisi ini mungkin disebabkan oleh peran vektor DBD dalam menularkan virus Dengue secara transovarial selama dan pasca Kejadian Luar Biasa (KLB). Data DBD secara nasional pada tahun 2007 tercatat 139.625 kasus denganIncidence Rate (IR) sebesar 64,38% danCase Fatality Rate (CFR) sebesar 1% (Ginanjar, 2008). Cara untuk pencegahan dan penanggulangan KLB DBD secara efektif dan efisien, harus dipahami benar segi epidemiologinya, yang menyangkut agent,virus dengue, inangnya (manusia dan nyamuk vektor), dan faktor-faktor lingkungan
2
yang mempengaruhinya (Mardihusodo et al., 2007).Transmisi virus dengue umumnya terjadi secara horizontal, dari manusia pembawa virus dengue (donor) yang oleh nyamuk vektornya, Ae. aegypti, setelah mengalami propagasi dalam tubuh nyamuk sampai batas masa inkubasi ekstrinsiknya, ditularkan ke manusia penerima (resipien), yang mungkin masih rentan atau bahkan telah imun terhadap virus dengue (Mardihusodo et al., 2007). Menurut Khin dan Than (1983), yang berhasil mengisolasi virus dengue serotip 2 (Den-2) dari kumpulan larva Ae. aegypti di Yangoon, Myanmar, transmisi diperkirakan juga bisa tejadi secara vertikal (transovarial) yaitu dari nyamuk Ae. aegypti betina gravid yang terinfeksi virus dengue sebagai induk ke ovum (telur) dalam uterus nyamuk itu. Akhirnya virus dengue berpropagasi beturut-turut dalam embrio dalam telur, larva, pupa, sampai imagonya sebagai medium hidup untuk perbanyakannya. Jadi manusia bisa terinfeksi virus dengue sewaktu pertama kali nyamuk yang muncul dari pupanya menggigit dan mengisap darah (Mardihusodo et al., 2007). Rantai penularan penyakit DBD terjadi didukung oleh tiga faktor yaitu manusia, virus, lingkungan dan vektor perantara. Cara pemberantasan DBD yang dapat dilaksanakan saat ini adalah dengan mengendalikan vektornya, dengan cara menghindarkan kontak dengan manusia dan menekan populasi nyamuk Ae. aegypti (Depkes RI, 2005). Insektisida organofosfat digunakan dalam pengendalian vektor DBD di Indonesia sejak tahun 1970-an, tujuannya untuk memberantas nyamuk vektor stadium dewasa dan larva. Insektisida organofosfat yang banyak digunakan adalah
3
organofosfat dan temefos sehingga dicurigai telah mengalami penurunan status kerentanan (Mardihusodo, 1996). Penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor akan merupakan cara yang bermanfaat apabila digunakan pada keadaan yang tepat. Apabila digunakan dalam skala luas dan terus menerus dalam jangka waktu lama dan dengan frekwensi tinggi, dapat menimbulkan penurunan kerentanan pada nyamuk sasaran (Georghiou & Mellon, 1983; WHO,1995). Keberhasilan dalam pengendalian tergantung status kerentanan vektor (serangga/nyamuk sasaran) terhadap insektisida yang digunakan (WHO, 1995), untuk menghindari kegagalan dalam program pengendalian vektor, maka perlu dilakukan pemantauan secara berkala terhadap status kerentanan vektornya, dengan tujuan akan memperoleh data dasar yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan penggunaan insektisida selanjutnya serta memantau terjadinya resistensi di suatu daerah (Mardihusodo, 1996). Untuk mengetahui kerentanan nyamuk terhadap insektisida yang digunakan, dapat dilakukan dengan pengujian menggunakan uji hayati dan uji biokemis. Pengujian uji hayati dilakukan dengan menggunakan tatacara kerja yang telah dibakukan oleh WHO (1996) dan hasil ujinya akan diperoleh setelah ±24jam perlakuan, dan untuk memudahkan pelaksanaan dalam penentuan status kerentanan vektornya, dosis diagnostik yang telah diperoleh sejak tahun 1980-an dapat digunakan sebagai acuan. Pengujian dengan uji biokemis dilakukan dengan mengamati adanya perubahan warna menjadi pekat pada mikroplat yang menunjukkan adanya
4
peningkatan
aktivitas
enzim
esterase
nonspesifik
dan
insensitivitas
asetilkolinesterase yang merupakan target sasaran insektisida organofosfat dan karbamat, seperti yang dilaporkan oleh Ffrench-Constant & Bonning (1989) bahwa resistensi karena insektisida organofosfat diketahui yaitu terjadi karena adanya peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik dan insensitivitas asetilkolinesterase. Asetilkolinesterase
(AChE)
merupakan
tempat
sasaran
golongan
insektisida organofosfat dan karbamat, dan menurut Small (1998) bahwa mekanisme peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik dan insensitivitas asetilkolinesterase dilaporkan berperan dalam penurunan status kerentanan pada sejumlah besar serangga baik dibidang pertanian maupun kesehatan terutama nyamuk. Angka insiden DBD di Sulawesi Selatan masih tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini dan Incidence rate (IR)/100.000 penduduk/tahun di Propinsi Sulawesi Selatan selang 5 tahun terakhir (2007-2011) yaitu lebih dari 21.80/100.000 penduduk/tahun. Kasus DBD di Propinsi Sulawsi Selatan dilaporkan tertinggi pada bulan Februari dengan Case Fatalily Rate
(CFR)
15,55% (Dinkes Prov Sul-Sel P2PPL, 2011). Insektisida organofosfat di Kab Pinrang (Sul-Sel) telah digunakan sejak tahun 1980, bahkan sebelumnya juga telah digunakan, dan kemungkinan masih akan digunakan terus oleh Dinas Kesehatan Pinrang. Jenis yang biasa digunakan adalah organofosfat contohnya temefos (Abate) untuk nyamuk vektor stadium
5
dewasa dan larva, tetapi kadang-kadang juga menggunakan sipermetrin (Cynof) senyawa peritroid sintetik untuk nyamuk vektor stadium dewasa (Suardipa, 2007). Penggunaan insektisida organofosfat di Kab Pinrang (Sul-Sel) sudah lama dan berulang-ulang akan menimbulkan penurunan kerentanan pada nyamuk sasaran (Georghiou & Mellon, 1983; WHO,1995), telah melatarbelakangi penelitian ini dilakukan, dan berdasarkan data kejadian DBD di Kelurahan Bentengnge Kab. Pinrang (Sul-Sel) yang memiliki endemisitas kelurahan yang tinggi, maka penelitian ini dilakukan hanya pada Kelurahan Bentengnge saja. Kelurahan Bentengnge merupakan daerah rawan DBD yang sebagian besar penduduknya memiliki rumah tipe panggung yang dilengkapi bak air di dekat tangga untuk membasuh kaki. Kelurahan ini terdiri dua lingkungan, yaitu lingkungan Sekkang dan lingkungan Rubae. Data terakhir menunjukkan kasus DBD di Lingkungan Sekkang lebih tinggi daripada Rubae. Data dari Dinas Kesehatan setempat menunjukkan, bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2007 - 2011) selalu terjadi peningkatan kasus. (Dinkes Kabupaten Pinrang, 2012). Berdasarkan laporan kegiatan suveilans di Dinas Kesehatan Kab. Pinrang, pengawasan tempat-tempat berkembangbiaknya nyamuk dari pihak Puskesmas terutama pelaksanan survey entomologi vektor penyakit untuk memprediksikan kepadatan vektor dalam rangka pengendalian jarang dilakukan. Dengan demikian juga deteksi virus dengue pada nyamuk Ae. aegyptiuntuk mengetahui adanya transmisi vertikal belum penah dilakukan di wilayah tersebut. Gambaran kondisi
6
daerah tersebut sangat mendukung terjadinya transmisi virus dengue baik secara horizontal maupun vertikal (transovarial). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang status entomologis nyamuk Ae. aegyptiresistensi insektisida organofosfat dan indeks transmisi transovarialdi Kelurahan Bentengnge.
B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana kepadatan populasi Ae. aegypti (House Index, Contaener Index, Breteau Indexdan Ovitrap Index) di lingkungan Sekkang dan lingkungan Rubae kelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan ? b. Bagaimana status perbedaan resistensi insektisida organofosfat (larvasida temefos) pada nyamuk Ae. aegypti di lingkungan Sekkang dan lingkungan Rubae Kelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan ? c. Berapa besar perbedaan indeks transmisi transovarial (ITT) virus dengue di lingkungan Sekkang dan lingkungan Rubae Kelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan ?
7
C. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membandingkan status entomologivektor DBD, antara lain :status kepadatan populasi vektor, status kerentanan vektor terhadap organofosfat (larvasida temefos) danstatus transmisi transovarial virus denguediKelurahan Bentengnge. 2. Tujuan khusus Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, secara khusus bertujuan untuk : a. Mengetahui status kepadatan populasi Ae. aegypti ( HI, CI, BI dan OI) di lingkungan Sekkang dan lingkungan Rubae Kelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. b. Mengetahui perbedaan status resistensi insektisida organofosfat (larvasida temefos) pada nyamuk Ae agypti di lingkungan Sekkang dan lingkungan Rubae Kelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. c. Mengetahui perbedaan indeks transmisi transovarial (ITT) virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti lingkungan di lingkunganSekkang dan lingkungan RubaeKelurahan Bentengnge, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. D. Keaslian penelitian Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pinrang penelitian tentang identifikasi kepadatan populasi, resistensi insektisida organofosfat dan indeks transmisi transovarial nyamuk Ae. aegypti di daerah rawan DBD,
8
Kelurahan Bentengnge kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan belum pernah dilakukan. Adapun Penelitian sejenis yang sudah dilakukan sebelumnya, antara lain : 1. Umniyati (2004) di kelurahan endemis DBD (Klitren) Yogyakarta, Widiarti et al., (2006) di beberapa kota endemis DBD di Jawa Tengah dan Mardihusodo et al., (2007) di beberapa kelurahan endemis DBD di Kota Yogyakarta melakukan penelitian tentang transmisi transovarial dengan metode IISBC pada sediaan pencet kepala nyamuk hasil kolonisasi asal telur dan larva Ae. aegypti, dan didapatkan hasil bahwa telah terjadi transmisi transovarial virus Dengue dengan angka infeksi (infection rate) yang bervariasi. 2. Sitorus (2008) di kota Palembang Sumatera Selatan, melakukan penelitian tentang deteksi resistensi larva Ae. aegypti dan Ae. albopictusterhadap organofosfat dan temefos, menunjukan stataus resisten terhadap organofosfat dan temefos dari nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus di Kecamatan Sukarawe, Palembang. 3. Muhaimin Saranani (2012) di Kota Kendari Sulawesi Tenggara, melakukan penelitian uji kerentanan insektisida organofosfat dan deteksi transmisi transovarial virus dengue pada Ae. aegypti menunjukkan status resisten terhadap insektisida organofosfat (temefos) tapi rentan terhadap organofosfat dan indeks transmisi transovarial terhadap virus dengue di daerah endemis tinggi bermakan lebih tinggi dari daerah endemis rendah.
9
E. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian
ini
diharapkan
sumbanganperkembangan
ilmu
akan
pengetahuan
dapat terutama
memberikan dalam
bidang
entomologi kesehatan. 2. Manfaat praktis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
pengalaman
dan
pengetahuan tentang transmisi transovarial yang bisa dimanfaatkan dalam kegiatan surveilans vektor demam berdarah Dengue (DBD), menjadiprioritas tindakan pencegahandan penanggulangan Demam Berdarah Dengue, dan dapat
menjadipertimbangan
dalam
mengambil
tentangpengendalian DBD di Kelurahan Bentengnge.
kebijakan
khususnya