PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Kondisi suatu daerah secara umum berkaitan dengan kondisi di daerah lain, terutama daerah yang berdekatan. Pola seperti ini dikenal dengan hubungan spasial. Besaran autokorelasi spasial dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan spasial. Untuk mengukur nilai autokorelasi spasial dapat digunakan berbagai metode seperti Indeks Moran, Geary’s Ratio maupun menggunakan Chi-Square Statistic. Indeks Moran merupakan salah satu indikator tertua dari autokorelasi spasial dan statistik yang membandingkan nilai pengamatan di suatu daerah dengan nilai pengamatan di daerah lainnya (Lembo 2006a). Geary’s Ratio adalah pembandingan antara dua nilai daerah yang berdekatan secara langsung. Dua nilai daerah yang berdekatan ( X i dan X j ) dibandingkan
Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) atau lebih dikenal dengan DBD, merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk Aides aegipty dan Aides albopictus betina (Anonim 2005). Virus dengue penyebab DBD termasuk family Flaviviridae, yang berukuran kecil sekali yaitu 35-45 nm. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah. Penularan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu melalui gigitan nyamuk Aides aegipty (Judarwanto 2006). Gejala yang terjadi dari penyakit ini yaitu berupa demam tinggi (38-40 derajat celcius) yang berlangsung sampai 2 atau 7 hari, sakit kepala, rasa sakit pada otot, bintik-bintik merah pada kulit, pendarahan pada hidung dan gusi, mudah timbul memar pada kulit, shock yang ditandai oleh rasa sakit pada perut, muntah, dan rasa dingin yang tinggi terkadang disertai pendarahan dalam (Anonim 2005).
dengan yang lainnya secara langsung (Lee dan Wong 2001). Menurut Lembo (2006b) Chi-Square statistik adalah pengukuran kekuatan dari penggabungan antara dua distribusi. Sedangkan menurut Fingleton (1983, 1986) dalam Rogerson (2005) ketika kategorikategori dalam uji Chi-Square (khi kuadrat) merupakan daerah-daerah yang tersusun secara geografi, maka frekuensi dalam pengamatan pada masing-masing daerah tidak saling bebas. Untuk melihat ketidakbebasan antara daerah tersebut dapat digunakan pendekatan Chi-Square Test. ChiSquare Test adalah uji yang fokus pada masing-masing daerah pengamatan tapi mengabaikan pola penyebaran datanya. Dalam penelitian ini penggunaan ketiga metode tersebut akan diterapkan dalam kasus penderita DBD (Demam Berdarah Dengue) di Kota Bogor. Dimana tingkat keterjangkitan penyakit DBD di suatu daerah diperkirakan dipengaruhi oleh keterjangkitan penyakit DBD di daerah sekitarnya. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola penyebaran spasial Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Kota Bogor dengan menggunakan statistik pengukuran Indeks Moran, Geary’s Ratio dan Chi-Square Test.
Autokorelasi Spasial Menurut Lembo (2006a) autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang. Atau bisa juga diartikan autokorelasi spasial adalah suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga). Pola spasial dapat digambarkan menjadi tiga bagian yaitu clustured (gerombol), dispersed (seperti papan catur), dan random (acak). Autokorelasi spasial bernilai positif jika di dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang mirip. Jika digambarkan akan terbentuk penggerombolan, seperti terlihat pada Gambar 1(a), yang mana untuk menentukan kedekatan antar daerah pengamatannya menggunakan pendekatan Queen’s Moves. Dan autokorelasi spasial akan bernilai negatif jika dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang berbeda atau tidak mirip. Jika digambarkan akan membentuk pola seperti papan catur,
seperti terlihat pada Gambar 1(b), yang mana untuk menentukan kedekatan antar daerah pengamatannya menggunakan pendekatan Rook’s Moves. Sedangkan jika terdapatnya bentuk yang acak seperti Gambar 1(c) menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial. Dan untuk menentukan kedekatan antar daerah pengamatannya menggunakan pendekatan Queen’s Moves. 1 0 1 0 1 0
1 0 1 0 1 0
1 0 1 0 1 0
1 0 1 0 1 0
1 0 1 0 1 0
1 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 1 0
0 1 0
0 1 0
Gambar 1(a) Autokorelasi positif negatif I = 0.61 (Queen’s Moves)
0 1 0 0
1 0 0 1 0 0 1 0
0 1 0 0 1 0 0
1 0 0 1 0 0 1 0
Gambar 1(b) Autokorelasi I = -1 (Rook’s Moves)
10
10
10
10
10
10
0
0
10
0
0
10
10
0
0
0
0
0
0
10
10
0
0
0
0
Gambar 1(c) Tidak ada autokorelasi I = 0.02 (Queen’s Moves) Menurut Silk (1979) untuk menentukan bagaimana hubungan spasial (kedekatan) antara daerah pengamatan, dapat menggunakan berbagai metode dasar seperti: 1. Queen’s Moves Definisi kedekatannya didasarkan pada langkah ratu pada pion catur. Daerah yang berhimpit kearah kanan, kiri, atas, bawah dan diagonal didefinisikan sebagai daerah yang saling berdekatan. Jadi suatu daerah dikatakan dekat satu sama lain jika ada daerah yang saling berbatasan langsung. 2. Rook’s Moves Hubungan spasial antar daerah pengamatan dapat ditentukan kearah kanan, kiri, atas dan bawah. Sedangkan arah diagonal tidak dapat ditentukan. 3. Bishop’s Moves Hubungan spasial antar daerah pengamatan hanya dapat ditentukan dalam arah diagonal saja.
Matriks Contiguity Lee dan Wong (2001) mendefinisikan matriks contiguity adalah matriks yang menggambarkan hubungan antara daerah atau matriks yang menggambarkan hubungan kedekatan antar daerah. Jika daerah i saling berdekatan atau berbatasan langsung dengan daerah j, maka unsur (i,j) diberi nilai 1. Tapi jika daerah i tidak saling berdekatan dengan daerah j, maka unsur (i,j) diberi nilai 0. Sehingga matriks ini disebut juga dengan binary matrix. Lee dan Wong (2001) juga menyebut binary matrix atau matriks contiguity ini sebagai connectivity matrix, yang dinotasikan dengan C, dan cij merupakan nilai dalam matriks baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks C mempunyai beberapa karakteristik yang menarik. Pertama, semua elemen diagonalnya cij adalah 0, karena diasumsikan bahwa suatu unit daerah tidak berdekatan dengan dirinya sendiri. Kedua, matriks C adalah matriks simetriks dimana cij = cji. Kesimetrikan yang dimiliki oleh matriks C pada dasarnya menggambarkan hubungan timbal balik dari hubungan spasial. Ketiga, baris dalam matriks C menunjukkan bagaimana suatu daerah berhubungan spasial dengan daerah lain. Oleh karena itu jumlah nilai pada suatu baris ke-i merupakan jumlah tetangga yang dimiliki oleh daerah ke-i. Notasi penjumlahan baris adalah: c i. =
n
∑ c ij j =1
dengan: = Total nilai baris ke-i ci. cij = Nilai pada baris ke-i kolom ke-j Matriks Pembobot Spasial Jika ada n unit daerah dalam pengamatan, maka dapat digunakan matriks pembobot spasial yang berukuran n x n untuk menentukan hubungan kedekatan antar unit daerah. Setiap unit daerah digambarkan sebagai baris dan kolom. Setiap nilai dalam matriks menjelaskan hubungan spasial antara ciri-ciri geografi dengan baris dan kolom. Nilai 1 dan 0 digunakan sebagai matriks untuk menggambarkan kedekatan antara daerah (Lee dan Wong 2001). Matriks pembobot spasial disebut juga dengan Row Standardized Matrix yang dinotasikan dengan W, wij merupakan nilai dalam matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Nilai wij menggambarkan pengaruh alami yang
diberikan daerah ke-j untuk daerah ke-i. Sehingga matriks pembobot spasial dapat dikatakan sebagai matriks yang menggambarkan kekuatan interaksi antar lokasi. Untuk dapat melihat seberapa besar pengaruh masing-masing tetangga terhadap suatu daerah dapat dihitung dari rasio antara nilai pada daerah tertentu dengan total nilai daerah tetangganya. Dan akan menghasilkan nilai pembobot (wij) untuk setiap lokasi yang bertetangga: cij wij = c i. Indeks Moran Indeks Moran adalah salah satu statistik umum yang digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial dan merupakan ukuran dari korelasi atau hubungan antara pengamatan yang saling berdekatan. Indeks Moran merupakan salah satu indikator tertua dari autokorelasi spasial dan statistik yang membandingkan nilai pengamatan di suatu daerah dengan nilai pengamatan di daerah lainnya (Lembo 2006a). Menurut Lee dan Wong (2001) Indeks Moran dapat diukur dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: n
n
n ∑ ∑ cij ( X i − X )( X j − X ) I=
i =1 j =1
n
C∑ ( X i − X )2 i =1
dengan: n = Banyaknya pengamatan (daerah) X i = Nilai pengamatan pada lokasi ke-i
X j = Nilai pengamatan pada lokasi ke-j X = Nilai rata-rata dari {Xi} dari n lokasi cij = Elemen matriks contiguity antara
lokasi ke-i dan lokasi ke-j n
n
C = ∑ ∑ cij i =1 j =1
nilai Indeks Moran 0, maka mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial. Untuk dapat mengatakan ada atau tidak adanya autokorelasi, perlu dibandingkan nilai statistik Indeks Moran dengan nilai harapannya. Nilai harapan dari statistik Indeks Moran dirumuskan sebagai berikut: −1 E(I ) = (n − 1) Hipotesis uji satu arah dari autokorelasi spasial adalah: H0 : I = 0 (Tidak ada autokorelasi spasial). Sedangkan bentuk hipotesis alternatifnya (H1) ada dua macam yaitu: 1. H1 : I > 0 (Terdapat autokorelasi spasial positif). 2. H1 : I < 0 (Terdapat autokorelasi spasial negatif). Menurut Lee dan Wong (2001) statistik uji dari Indeks Moran diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui maka Z ( I ) akan menyebar normal baku, dengan Z ( I ) adalah: I − E(I ) Z (I ) = VAR ( I ) dengan: I = Indeks Moran Z (I ) = Nilai statistik uji Indeks Moran E(I ) = Nilai harapan dari Indeks Moran VAR( I ) = Ragam dari Indeks Moran Dengan kriteria pengambilan keputusan tolak H0 jika nilai Z ( I ) > Z (α) . Sehingga dapat disimpulkan terdapat autokorelasi spasial. Ragam dari I didefinisikan sebagai berikut: n 2 S1 − nS 2 + 3(C ) 2 VAR ( I ) = (C ) 2 (n 2 − 1) dengan: n
n
C = ∑ ∑ cij i =1 j =1
Nilai Indeks Moran sama dengan koefisien korelasi berkisar diantara -1 dan +1. Ketika nilai Indeks Moran mendekati +1 maupun -1, maka autokorelasinya tinggi. Jika nilai Indeks Moran 0 < I ≤ 1, mengindikasikan autokorelasi spasial positif. Dan jika didapatkan nilai Indeks Moran -1 ≤ I <0, maka mengindikasikan autokorelasi spasial negatif. Sedangkan jika didapatkan
n
n
∑ ∑ (cij + c ji ) 2
S1 =
i =1 j =1
2 n
S 2 = ∑ (ci. + c.i ) 2 i =1
keterangan: cij = Elemen matriks contiguity ci. = Total nilai baris ke-i matriks contiguity c.i = Total nilai kolom ke-i matriks contiguity
Geary’s Ratio
Z (G ) =
Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Geary’s Ratio adalah pembandingan antara dua nilai daerah yang berdekatan secara langsung. Dua nilai daerah yang berdekatan ( X i dan X j ) dibandingkan dengan yang lainnya secara langsung. Geary’s Ratio dapat diukur dengan menggunakan persamaan: n
n
(n − 1)∑ ∑ cij ( X i − X j ) G=
i =1 j =1 n
2C ∑ ( X i − X )
2
2
i =1
dengan: n = Banyaknya pengamatan (daerah) X i = Nilai pengamatan pada lokasi ke-i
X j = Nilai pengamatan pada lokasi ke-j X = Nilai rata-rata dari {Xi} dari n lokasi cij = Elemen matriks contiguity antara
lokasi ke-i dan lokasi ke-j n
n
C = ∑ ∑ cij i =1 j =1
Geary’s Ratio mempunyai nilai antara 0, 1 dan 2. Jika nilai Geary’s Ratio 0 < G < 1, mengindikasikan autokorelasi spasial positif. Dan jika nilai Geary’s Ratio 1 < G < 2, maka mengindikasikan autokorelasi spasial negatif. Sedangkan jika didapatkan nilai Geary’s Ratio 1, maka mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial. Nilai harapan dari Geary’s Ratio tidak dipengaruhi oleh n ukuran contoh tapi nilai harapannya selalu 1. Hipotesis uji satu arah dari autokorelasi spasial adalah: H0 : G = 1 (Tidak ada autokorelasi spasial). Sedangkan bentuk hipotesis alternatifnya (H1) ada dua macam yaitu: 1. H1 : G < 1 (Terdapat autokorelasi spasial positif). 2. H1 : G >1 (Terdapat autokorelasi spasial negatif). Menurut Lee dan Wong (2001) statistik uji dari Geary’s Ratio diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui maka Z (G ) akan menyebar normal baku, dengan Z (G ) adalah:
G −1 VAR (G )
dengan: G = Geary’s Ratio Z (G ) = Nilai statistik uji Geary’s Ratio E (G ) = Nilai harapan dari Geary’s Ratio VAR (G ) = Ragam dari Geary’s Ratio Dengan kriteria pengambilan keputusan tolak H0 jika nilai Z (G ) > Z (α) . Sehingga dapat disimpulkan terdapat autokorelasi spasial. Sedangkan pendugaan ragam untuk Geary’s Ratio dengan asumsi normal adalah: (2 S1 + S 2 )(n − 1) − 4C 2 VAR (G ) = 2(n + 1)C 2 dengan : n
n
C = ∑ ∑ cij i =1 j =1 n
n
∑ ∑ (cij + c ji ) 2
S1 =
i =1 j =1
2 n
S 2 = ∑ (ci. + c.i ) 2 i =1
keterangan: cij = Elemen matriks contiguity ci. = Total nilai baris ke-i matriks contiguity c.i = Total nilai kolom ke-i matriks contiguity Chi-Square Statistic Menurut Lembo (2006b) Chi-Square statistik adalah pengukuran kekuatan dari penggabungan antara dua distribusi. Sedangkan menurut Fingleton (1983, 1986) dalam Rogerson (2005) ketika kategori-kategori dalam uji Chi-Square (khi kuadrat) merupakan daerahdaerah yang tersusun secara geografi, maka frekuensi dalam pengamatan pada masingmasing daerah tidak saling bebas. Untuk melihat ketidakbebasan antara daerah tersebut dapat digunakan pendekatan Chi-Square Test. Chi-Square Test adalah uji yang fokus pada masing-masing daerah pengamatan tapi mengabaikan pola penyebaran datanya. Rogerson (1998, 1999) dalam Rogerson (2005) memperkenalkan statistik khi-kuadrat spasial (R) yang digunakan untuk menguji hipotesis nol dari m frekuensi pengamatan daerah, Ni, i = 1, 2, ..., m, yang dapat terjadi seperti kondisi hipotesis nol berikut: H0 : E[Ni] = λξi, i = 1, 2, ..., m dengan:
E[Ni] = Nilai harapan dari masingmasing daerah λ = Tingkat suatu permasalahan dari N populasi. λ = ξ = Jumlah populasi pada masingξi masing daerah Statistik uji yang digunakan adalah: R1 = (r-p)’ W (r-p) dengan: r = Vektor proporsi dari nilai pengamatan terhadap total (Ni/N) yang berukuran m x l p = Vektor proporsi dari populasi masing-masing daerah terhadap populasi total (ξi/ξ) yang berukuran m x l. Dimana ξ = ξ1 + ξ 2 + ξ 3 + L + ξ m W = Matriks berukuran m x m yang terdiri dari element wij wij didefinisikan sebagai: cij wij = pi p j dengan: cij adalah elemen matriks contiguity, yaitu besaran untuk mengukur hubungan antara daerah ke-i dan daerah ke-j. Nilai statistik R1 yang besar mengindikasikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai autokorelasi yang besar. Moran’s Scatterplot Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran’s Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara Z std (nilai pengamatan yang sudah distandarisasi) dengan WZ std (nilai rata-rata lokal yang dihitung dari matriks pembobot spasial). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2. 0
HH
WZstd
LH
0
HL
LL Zstd
Gambar 2 Plot antara Zstd dengan WZstd.
Perobelli dan Haddad (2003) menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot terbagi atas 4 kuadran. Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah. Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang positif. Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif. Untuk memperjelas hasil analisis, maka posisi masing-masing pengamatan pada Moran’s Scatterplot dapat dipetakan pada masing-masing letak geografis daerah dalam suatu peta tematik. Peta Tematik Barus dan Wiradisastra (2000) menyatakan bahwa peta tematik adalah gambaran dari sebagian permukaan bumi yang dilengkapi dengan informasi tertentu, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi yang mengandung tema tertentu. Peta tematik ini biasanya mencerminkan hal-hal yang khusus. Selain itu peta tematik merupakan peta yang memberikan suatu informasi mengenai tema tertentu, baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Peta tematik sangat erat kaitannya dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) karena pada umumnya output dari proyek SIG adalah berupa peta tematik. Baik yang berbentuk digital maupun masih berbentuk peta kertas. Ada banyak cara dalam menampilkan tema yang digambarkan melalui peta tematik, antara lain dengan warna, tekstur, pie chart ataupun bar chart. Salah satu contoh dari peta tematik adalah peta jenis tanah dan peta kesesuaian lahan.