BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, lebam (echymosis), epistaksis, perdarahan gusi, muntah darah (hematemesis), melena, pembesaran hati (hepatomegali), trombositopeni, dan jika disertai kesadaran menurun atau renjatan disebut Dengue Shock Shyndrome (DSS) (WHO dalam Soedarmo (2009)). Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD (Ginanjar, 2008). 2.2. Etiologi DBD Nyamuk demam berdarah akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah dari penderita demam berdarah. Virus dengue termasuk famili Flaviviridae, yang berukuran kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Terdapat 4 jenis virus dengue yang diketahui
Universitas Sumatera Utara
dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Jenis virus yang sama hanya dapat menginfeksi satu kali akibat adanya sistem imun tubuh yang terbentuk. Namun karena jenis serotipe dari virus dengue ini ada 4, sehingga seseorang bisa kena 4 kali demam berdarah. Virus dengue ini dapat tetap hidup di alam ini melalui dua mekanisme, yaitu transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk dan transmisi virus dari nyamuk ke tubuh makhluk seperti manusia (Anies, 2006). Misalnya seseorang yang telah terinfeksi oleh virus DEN-2, akan mendapatkan imunitas menetap terhadap virus DEN-2 pada masa yang akan datang. Namun, ia tidak memiliki imunitas menetap terhadap virus DEN-3 di kemudian hari. Selain itu ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jika seseorang yang pernah terinfeksi oleh salah satu virus dengue, kemudian terinfeksi lagi oleh virus tipe lainnya, gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat dan sering kali fatal (Ginanjar, 2008). 2.3. Epidemiologi DBD Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilanbelas awal dan awal abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania timur, Asia dan Australia, dan beberapa pulau di Samudera India, Pasifik selatan dan tengah serta Karibia. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue telah meningkat dan menetap baik dalam insiden dan distribusi sepanjang 40 tahun. Setiap tahun, diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkan kira-kira 24 juta kematian (WHO, 2012). Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali dikenali di di Filipina pada tahun 1953 (WHO, 2012). Kasus-kasus dilaporkan oleh Quintos dkk. pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1954, yaitu pada waktu terdapatnya epidemi demam yang menyerang anak disertai manifestasi
perdarahan
dan
renjatan.
Mereka
menamakannya
Philippine
haemorrhagic fever untuk membedakannya dengan demam berdarah lainnya. Kemudian Hammon dkk. berhasil menemukan virus dengue sebagai etiologi penyakit demam berdarah dengue yang dinamakan virus dengue tipe 3 dan 4. Sampai dengan tahun 1956 baru dikenal virus tipe 1 dan 2. Pada tahun 1958 meletus epidemi serupa di Bangkok (Soedarmo, 2009). Karena epidemi terus berlangsung terus di Thailand dan di negara lain dikawasan Asia Tenggara dengan nama yang berbeda, simposium WHO di Bangkok telah merumuskan defenisi perbedaan antara dengue fever syndrome dan dengue haemorrhage fever sebagai berikut. (i) Dengue Fever Syndrome yang lebih sering terjadi pada orang dewasa biasanya ditandai oleh demam dan mialgia hebat dan/atau artalgia dan leukopeni dengan atau tanpa timbulnya ruam. Gejala klinis, seperti nyeri kepala hebat, nyeri ada pergerakan bola mata, uji tourniquet positif, perubahan rasa, trombositopeni ringan, timbulnya beberapa petekia spontan sering dijumpai. (ii) Dengue Haemorrhage Fever terutama menyerang anak dengan manifestasi demam tanpa mialgia dan artalgia yang menonjol, biasanya penyakit memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet positif dengan atau tanpa timbulnya ruam disertai beberapa gejala klinis, seperti petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis, melena, trombositoeni, perdarahan memanjang, hematokrit meningkat, dan berhentinya proses maturasi megakariosit. Dengue haermorrhage fever lebih lanjut dibagi dalam tanpa dan disertai renjatan (Soedarmo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Selama tahun 1960-an dan 1970-an, DHF/DSS secara progressif meningkat sebagai masalah kesehatan, menyebar dari lokasi primernya di kota-kota besar ke kota-kota besar yang lebih kecil dan kota-kota negara-negara endemik. Penyakit ini mempunyai pola epidemik berdasarkan musiman dan siklus, dengan wabah besar terjadi pada interval 2-3 tahun. Selama periode ini, 1070207 kasus dan 42808 kematian dilaporkan, sebagian besar anak-anak. Selama hampir sepanjang tahun 1980-an, pada negara-negara endemik Cina, Indonesia, Malaysia, Mianmar, Filippina, Thailand, dan Vietnam, DHF/DSS menyebar secara luas, yang menyerang daerah pedesaan (WHO, 2012). Di Indonesia, pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Pertama dilaporkan di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Dari tahun 1968 sampai tahun 1972 wabah hanya dilaporkan di Pulau Jawa. Epidemi pertama di luar Jawa pada tahun 1972 di Sumatera Barat, Lampung, yang kemudian disusul di Riau, Sulawesi Utara, dan Bali. Pada tahun 1975, epidemi dilaporkan oleh 20 provinsi. Sampai tahun 1981, provinsi Timor-Timur merupakan satu-satunya provinsi yang belum melaporkan terdapatnya kasus Demam Berdarah Dengue (Soedarmo, 2009). Sejak 1994, seluruh provinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DBD juga meningkat. Namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% (1968) menjadi 3% (1984) dan sejak tahun 1991 angka kematian ini stabil di bawah 3%. Menurut Soedarmo Poorwo Sodarmo, sewaktu terjadi wabah, berbagai tipe virus dengue berhasil diisolasi. Virus dengue tipe 2 dan tipe 3 secara bergantian merupakan tipe dominan. Di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
virus dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus penyakit DBD derajat berat dan fatal (Ginanjar, 2008). 2.4. Vektor Penular Demam Berdarah Dengue (DBD) Vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue adalah nyamuk Aedes aegypti. Dan nyamuk Aedes albopictus dianggap sebagai vektor penting selain Aedes aegypti. Para ahli berpendapat bahwa Aedes aegypti berasal dari Afrika, terutama Ethiopia dan mulai memasuki Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-19 terutama di daerah pantai. Kemudian nyamuk ini mulai menyebar pada daerah pedalaman. Yang kemudian menyebar hampir keseluruh pelosok dunia dimungkinkan oleh meningkatnya volume perdagangan dengan kapal dan penyebarannya selalu disebabkan oleh manusia (Soedarmo, 2009). Mula-mula nyamuk berdomisili di sekitar pelabuhan, selanjutnya menjalar ke pedalaman terutama melalui sungai atau alat lalu lintas lainnya. Didaerah perkotaan Aedes aegypti biasanya ditemukan dan hampir selalu menggigit dalam rumah. Aedes albopictus terdapat di kebun dan pohon-pohon, menggigit terutama diluar rumah dan peranannya lebih kecil. Di daerah pedesaan Aedes aegypti tidak ada atau sangat jarang dan Aedes albopictus merupakan vektor utama (Soedarmo, 2009). 2.4.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti Adapun klasifikasi ilmiah nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Universitas Sumatera Utara
Famili
: Culicidae
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes aegypti
Aedes aegypti selain membawa virus dengue juga membawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya (Wikipedia, 2013). 2.4.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan dasar warna hitam. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik putik memanjang. Tibia semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5-3,0 mm, bersisik hitam (Soedarmo, 2009).
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti dewasa Sumber: Ditjen PP dan PL, 2008
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes aegypti dapat bertelur rata-rata bertelur 100 butir. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif, tidur). Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh sampai delapan hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Ginanjar, 2008). Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi satu di permukaaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak ±2½ cm dari dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu 2°C sampai 42°C. Namun, bila kelembapan terlalu rendah, maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari (Soedarmo 2009). Nyamuk Aedes aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi sedikit air. Air harus jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih yaitu tempat air yang di dalam dan dekat rumah dan juga yang tertutup longgar yang mengakibatkan ruang didalamnya cenderung lebih gelap. Pada umumnya larva nyamuk Aedes aegypti ditemukan di tempayan, drum, gentong atau bak mandi di rumah keluarga
Universitas Sumatera Utara
yang kurang diperhatikan kebersihannya dan didaerah yang persediaan air minumnya tidak terdapat secara teratur (Soedarmo, 2009). Nyamuk Aedes aegypti senang sekali kepada manusia atau bersifat antropofilik dan hanya nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk betina biasanya menggigit didalam rumah, kadang-kadang di luar rumah, ditempat yang agak gelap. Nyamuk Aedes aegypti biasanya beristirahat pada malam hari di tempat yang gelap, seperti pakaian berwarna gelap, kelambu, dan dinding dan dibawah rumah dekat tempat berbiaknya, biasanya ditempat yang lebih gelap. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang atau menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (multiple biters). Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini membantu nyamuk ini memindahkan virus dengue ke beberapa orang sekaligus sehingga ada laporan beberapa penderita Demam Berdarah Dengue di satu rumah (Soedarmo, 2009). Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur-larvapupa-nyamuk dewasa. Stadium telur, larva, dan pupa hidup didalam air, sedangkan stadium dewasa hidup beterbangan. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya (Hadinegoro dan Satari, 2004). Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, tiga hari sesudahnya sanggup menghasilkan telur sebanyak 100 butir (Soedarmo, 2009). Dua puluh empat jam kemudian nyamuk tersebut menghisap darah lagi, selanjutnya kembali bertelur. Sedangkan nyamuk jantan tidak bisa mengigit/menghisap darah, melainkan hidup dari sari tumbuh-tumbuhan. (Hadinegoro dan Satari, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti Sumber: Ditjen PP dan PL, 2008 Nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan; bagi virus cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain. Saat nyamuk menghisap darah penderita DBD, virus akan turut ikut ke tubuh nyamuk. Virus yang dihisap akan masuk ke dalam saluran pencernaan, kemudian sampai di haemoeclom dan kelenjar ludah. Virus memerlukan waktu 8-11 hari untuk berkembang biak dengan baik secara propagatif agar dapat menjadi infektif. Kemudian nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Nyamuk Aedes aegypti mengigit pada pagi hari dan sore hari dengan jarak terbang yang dapat ditempuh yaitu sejauh 2 kilometer, tetapi kemampuan normalnya kira-kira 40 meter (Soedarmo, 2009). Nymuk Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis
dan subtropis yang
ditemukan di bumi, biasanya antara garis lintang 35°U dan 35°S, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm 10°C. Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan diatas 1000 m tapi telah dilaporkan pada ketinggian 2121 m di India, 2200 m di Kolombia, dimana suhu rerata tahunan 17°C, pada ketinggian 2400 di Eritania (WHO, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.5. Mekanisme Penularan DBD Demam berdarah tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia, namun ditularkan melalui nyamuk penyebab demam berdarah. Penularan terjadi apabila nyamuk Aedes aegypti melakukan gigitan kepada manusia yang pada saat itu darahnya sedang mengandung virus dengue (viraemia). Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya, agar darah yang dihisap tidak membeku. Virus yang sampai kedalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri/berkembang biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjer ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan kedalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk (Anies, 2006). Melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit maka virus memasuki tubuh manusia. Setelah itu disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah virus sudah cukup maka virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan pada saat ini manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan adanya virus dengue dalam tubuh manusia, tubuh akan memberikan reaksi. Bentuk reaksi ini dapat berbeda-beda untuk setiap individu, dimana perbedaan reaksi ini memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis. Reaksi tubuh manusia terhadap virus dengue biasanya berupa perdarahan kecil dikulit seperti ruam dan dan terjadi gangguan pembekuan darah yang menimbulkan perdarahan (Anies, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Mekanisme penularan DBD Sumber: Depkes, 2005 2.6. Tempat Potensial Penularan DBD Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD (Depkes, 2005) adalah : a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis) b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat umum itu antara lain : 1) Sekolah Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD. 2) Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya: Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.
Universitas Sumatera Utara
3) Tempat umum lainnya seperti: hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempattempat ibadah dan lain-lain. 4) Pemukiman baru di pinggiran kota Penduduk pada lokasi ini umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal. 2.7. Patofisiologi DBD Peningkatan akut permeabilitas vaskular yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskular, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah merupakan patofisiologi primer DBD dan DSS. Penurunan volume plasma lebih dari 20% terjadi pada kasus-kasus berat, hal ini didukung dengan penemuan efusi pleura, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi pada post mortem. Tidak terjadi lesi destruktif yang menetap pada vaskuler menunjukkan kelainan vaskuler hanya bersifat sementara yang diakibatkan oleh suatu mediator respon tubuh. Tiga faktor yang terlibat dalam perubahan hemostasis pada DBD dan DSS adalah perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2008). Trombositopeni yang dihubungakan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Trombosit terbukti menurun, mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopeni hebat dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab
Universitas Sumatera Utara
utama terjadinya perdarahan pada penderita demam berdarah dengue (Soedarmo, 2009). 2.8. Patogenesis DBD Terdapat beberapa teori untuk menjelaskan terjadinya demam berdarah dengue. Salah satu dari teori tersebut yaitu teori immune enhancement yang menjelaskan adanya antibodi nonnetralising yang mengikat virus dengue sehingga virus dengan mudah diterima di reseptor sel monosit-makrofag. Antibodi nonnetralising diakibatkan oleh infeksi pertama virus dengue dari serotipe yang berbeda dari infeksi kedua (Soegijanto, 2008). Patogenensis Demam Berdarah Dengue hingga saat ini tidak diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejalan klinis seperti yang terjadi pada manusia. Demam Berdarah Dengue dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi dengue pertama kali kemudian mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan merupakan the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang dianut oleh sebagian besar sarjana (Soedarmo, 2009). Hipotesis tersebut mengatakan bahwa respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan profilerasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue sebagai akibat infeksi kedua tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah. Replikasi virus dengue juga terjadi di dalam limfosit yang bertransformasi
akibat
terdapatnya
virus
dalam
jumlah
banyak.
Hal
ini
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus-antibody complex) yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen (Soedarmo, 2009). Menurut Roitt yang dikutip Soedarmo (2009) komplemen ialah suatu sistem dalam sirkulasi darah yang terdiri dari 11 komponen protein dan beredar dalam bentuk tidak aktif serta labil terhadap suhu panas. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Pada penderita dengan renjatan berat, volume plasma akan berkurang dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksi jaringan, asidosis metabolik, dan kematian. 2.9. Manifestasi Klinis DBD Manifestasi klinis infeksi virus dengue pada manusia berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Oleh karena itu, infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan tidak spesifik (undifferentiated ferible illness), Demam Dengue, atau yang lebih berat Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Dengue Shock Syndrome (DSS) (Hadinegoro dan Satari, 2004). Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatoty failure) (Soedarmo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Manifestasi infeksi virus dengue Sumber : WHO, Geneva, 1997
Berdasarkan kriteria WHO (1997), terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris, hal ini memberi pedoman dalam menegakkan diagnosis DBD: A. Kriteria Klinis 1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari. 2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: -
uji tourniket positif
-
petekia, epistaksis, ekimosis atau purpura dan perdarahan gusi
-
hematemesis atau melena
3. Hepatomegali -
Syok: ditandai nadi ceapat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, gelisah, kaki dan tangan dingin.
B. Kriteria Laboratoris 1. Trombositopenia (≤ 100.000/µl)
Universitas Sumatera Utara
2. Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari normal) Dua gejala klinis pertama ditambah dengan dua gejala laboratoris sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DBD. 2.10. Klasifikasi DBD Demam Berdarah Dengue diklasifikasikan menjadi empat tingkat keparahan, dimana derahjat III dan IV dianggap DSS. Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II DHf dari Demam Dengue. Klasifikasi demam berdarah dengue (WHO, 2012) yaitu: a. Derajat I: Demam disertai dengan gejala konstituonal non-spesifik; satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniket positif dan/atau mudah memar. b. Derajat II: Perdarahan spontan selain manifestasi pasien Derajat I, pada umumnya perdrahan di kulit dan atau perdarahan lainnya. c. Derajat III: Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi, dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah. d. Derajat IV: Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.
Universitas Sumatera Utara
2.11. Komplikasi DBD Komplikasi DBD antara lain (Hadinegoro dan Satari, 2004): 1. Enselopati dengue Hal ini terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdrahan. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahaan, dapat menjadi penyebab terjadinya enselopati. Enselopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Pada enselopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS. 2. Kelainan Ginjal Pada umumnya terjadi gagal ginjal pada fase terminal sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah syok telah teratasi dengan baik. Untuk mengetahui apakah syok telah teratasi, diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan. Diuresis diusahakan > 1 ml/kg berat badan/jam. Oleh karena itu bila syok yang belum diatasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. 3. Udem paru Komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena
Universitas Sumatera Utara
perembasan plasma masih terjadi. Apabila cairan yang diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), maka akan terjadi rearbsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang gambaran udem paru pada foto rontgen dada. 2.12. Penatalaksanaan DBD Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Indikasi untuk pemberian cairan yakni terjadinya peningkatan hematokrit 20% atau lebih yang mencermikan perembesan plasma. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA (Hadinegoro dan Satari, 2004). Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit merupakan jenis minuman yang dianjurkan. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun
Universitas Sumatera Utara
pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali (Hadinegoro dan Satari, 2004). 2.13. Pencegahan dan Pengendalian DBD Pengendalian demam berdarah dengue didasarkan pada pemutusan rantai penularan. Dalam hal demam berdarah dengue, komponen penularan terdiri dari virus, Aedes aegypti, dan manusia. Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif terhadap virus itu, maka pengendalian ditujukan kepada manusia dan terutama vektornya (Soedarmo, 2009). Pencegahan dan pengendalian Demam Berdarah Dengue dapat dilakukan berdasarkan manajemen penyakit berbasis lingkungan. Dengan mempelajari patogenesis penyakit dapat ditentukan pada titik mana atau simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa mengetahui patogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan, sulit melakukan pencegahan. Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit (Achmadi, 2008). Dengan mengacu pada teori simpul, maka pengelolaan dilakukan pada simpul 2 dan 3. Simpul 2 menyangkut media transmisinya, berupa nyamuk dengan habitatnya yang memungkinkan nyamuk pembawa virus dengue ini berkembang. Pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
pada simpul 3, terkait dengan perilaku manusia yang memudahkan nyamuk berkembang biak dan menularkan virus tersebut kepada manusia (Anies, 2006). Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD. Sampai saat ini belum ada ditemukan obat anti virus dengue yang efektif maupun vaksin yang dapat melindungi diri terhadap infeksi virus dengue. Oleh karena itu perlu pengendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti. Tujuannya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah mungkin sehingga kemampuan vektor menghilang (Soegijanto, 2008). Pada umumnya terdapat empat cara pengendalian vektor, yaitu dengan cara kimiawi, biologis, radiasi, dan mekanik/pengelolaan lingkungan (Soegijanto, 2008). 1. Pengendalian cara kimiawi Insektisida dapat digunakan terhadap nyamuk Aedes aegypti dewasa atau larva. Insektisida yang digunakan antara lain, dari golongan organoklorin, organophospor, karbamat, dan piretroid. Bahan-bahan insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (sray) terhadap rumahrumah penduduk. Insektisida yang digunakan untuk larva yaitu dari golongan organophospor (themepos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya (abatisasi). 2. Pengendalian biologis Disebut juga pengendalian hayati yang dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit atau pemasangan. Beberapa jenis ikan, seperti
Universitas Sumatera Utara
ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusiaaffinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Romanomarmis inyengari dan R. Culciforax merupakan parasit larva nyamuk dari golongan cacing nematoda. Sebagai patogen, seperti dari golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendali hayati larva nyamuk ditempat perindukannya. 3. Pengendalian cara radiasi Pengendalian ini dilakukan dengan meradiasi nyamuk jantan dengan bahan radioaktif dengan dosisi tertentu sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang telah diradiasi ini dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi dengan nyamuk betina tidak akan menghasilkan telur yang fertil. 4. Pengendalian lingkungan Menurut WHO, 2004 pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan modifikasi lingkungan dan manipulasi lingkungan. (i) Modifikasi lingkungan: transformasi jangka panjang dari habitat vektor berupa perbaikan suplai dan persediaan air bagi daerah yang persediaan air tidak adekuat
karena
hal
ini
akhirnya
akan
memperbanyak
tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti akibat dari penggunaan wadah yang besar yang tidak mudah dibersihkan, tanki atau reservoir diatas atau bangunan pelindung jairingan pipa air, maupun tanki penyimpanan di bawah harus memiliki struktur yang anti-nyamuk. (ii) Manipulasi lingkungan: perubahan sementara habitat vektor sebagai hasil dari
Universitas Sumatera Utara
aktivitas yang direncanakan untuk menghasilkan kondisi yang tidak disukai
dalam
perkembangbiakan
vektor.
Modifikasi
lingkungan
misalnya, pemberian lobang pada pot/vas bunga untuk saluran air keluar, bunga hidup dalam wadah air harus diganti setiap minggu dan dibersihkan sebelum dipakai kembali, penyimpanan air rumah tangga harus ditutup dengan tutup yang pas dan rapat yang harus ditempatkan kembali dengan benar setelah mengambil air, ban bekas yang terkena air hujan dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk untuk itu sebaiknya diisi dengan tanah atau beton dan digunakan untuk wadah tanaman maupun pembatas jalan. Menurut Soegijanto, 2008 sekarang yang digalakkan oleh pemerintah yaitu 3M yaitu: 1) menguras tempat-tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam dan dibilas paling sedikit seminggu sekali, 2) menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa, 3) menanam/menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air hujan. Dari semua cara pengendalian tersebut diatas tidak ada satupun yang paling unggul. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka dilakukan kombinasi dari beberapa cara tersebut diatas. Namun, yang paling penting dari semua hal tersebut adalah
menggugah
dan
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
agar
mau
memperhatikan kebersihan lingkugannya dan memahami mekanisme terjadinya penularan DBD, sehingga dapat berperan aktif menanggulangi penyakit DBD (Soegijanto, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.14. Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Penular Untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan bebarapa survei di rumah yang dipilih secara acak (Depkes, 2005). 1. Survei nyamuk Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan orang di dalam dan diluar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang sama. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator. Indek-indek nyamuk yang digunakan: a. Biting/landing rate:
b. Resting per rumah :
2. Survei jentik Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik. b. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Jika pada
Universitas Sumatera Utara
pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, tunggu kirakira ½-1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar jentik tidak ada. c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain. d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan senter Metode survei jentik: a. Single larva Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. b. Visual Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam program DBD menggunakan cara visual. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui jentik Aedes aegypti: 1) Angka Bebas Jentik (ABJ):
2) House Index (HI):
Universitas Sumatera Utara
3) Container Index (CI):
4) Breteau Index (BI): Jumlah container dengan jentik dalam 100 rumah/bangunan 3. Survei perangkap telur (ovitrap) Survei ini dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa bejana, misalnya potongan bambu, kaleng (seperti bekas kaleng susu atau gelas plastik) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan padel berupa potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk. Ovitrap diletakkan di dalam dan diluar rumah di tempat yang gelap lembab. Setelah satu minggu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di padel. Ovitrap index dihitung dengan:
Angka Bebas Jentik (ABJ) dan House Indeks (HI) lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah. 2.15. Program Penanggulangan DBD Melalui Kepmenkes no. 581/Tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional Penanggulangan DBD yang terdiri dari 8 pokok program (Kemkes RI, 2011) yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB Terdiri dari kegiatan-kegiatan : a. Penemuan dan pelaporan penderita, di Rumah Sakit, di Puskesmas, di klinik/dokter praktek swasta, menggunakan sistem pelaporan yang telah baku. Penyakit DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, sesuai dengan UU Wabah No 4 tahun 1984, PP no. 4 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah dan PERMENKES No 560 tahun 1989 tentang Jenis penyakit yang dapat menimbulkan wabah, maka penderita DBD wajib dilaporkan dalam waktu <24 jam. Dokter yg menemukan penderita/tersangka DBD wajib melaporkannya ke Puskesmas setempat sesuai dengan tempat tinggal penderita. Metode : -
Surveilans pasif: menerima pelaporan.
-
Survelans aktif: pettugas Dinas Kesehatan mendatangi RS/ sarana pelayanan kesehatan yang merawat penderita DBD.
b. Tindak lanjut penanggulangan kasus DBD di lapangan: -
Penyelidikan epidemiologi
-
Penanggulangan
seperlunya
meliputi
foging
fokus,
penggerakkan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.
Universitas Sumatera Utara
-
Melakukan analis berdasarkan PWS (Pemantauan Wilayah Setempat)
2.
Pemberantasan Vektor A. Fase Vektor: a) Nyamuk dewasa: Untuk memutuskan mata rantai penularan maka nyamuk dewasa yang diduga telah terinfeksi harus segera diberantas dengan cara pengasapan. Bila sebuah daerah dinyatakan KLB, maka pengasapan massal seluruh area merupakan metode yang harus dilakukan. b) Jentik: dengan melakukan PSN dengan kegiatan 3 M Plus: Secara fisik
:3 M (Menguras, Menutup, Mengubur)
Secara kimiawi
:Larvasidasi (Abate)
Secara biologis
:Ikanisasi; ikan adu/cupang/tempalo di Palembang
Cara mandiri lainnya untuk mencegah dan mengusir nyamuk seperti menggunakan repelent, obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa, mendaur ulang barang-barang bekas dll. B. Kegiatan Pengamatan Vektor: a) Pengamatan terhadap vektor khususnya jentik nyamuk perlu dilakukan terus menerus, paling tidak seminggu sekali oleh masyarakat sendiri dengan peran aktif kader dan dimonitor oleh petugas puskesmas.
Universitas Sumatera Utara
b) Bulan kewaspadaan “gerakan 3M“. Pada saat Sebelum Musim Penularan, dipimpin oleh kepala wilayah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat/Lurah). c) Tujuannya
untuk
meningkatkan
kewaspadaan
dan
kepedulian
masyarakat memasuki musim penghujan. Kegiatannya meliputi: - Penyuluhan intensif - Kerja bakti ”3M PLUS” - Kunjungan rumah d) Pemantauan Jentik Berkala di desa endemis setiap tiga bulan sekali, dilaksanakan oleh puskesmas. e) Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada pimpinan wilayah rapat bulanan, sebagai alat monitoring. Indikator digunakan adalah: 1. Angka Bebas Jentik (ABJ) 2. Kontainer Indeks C. Pada Situasi KLB: Perlu persiapan sarana dan prasarana termasuk mesin fogging, ULV dipastikan dalam keadaan berfungsi, kecukupan insektisida dan larvasida dan
penyediaan biaya operasional,
seringkali
hal-hal
ini
yang
menyebabkan keterlambatan dalam penanggulangan KLB. Demikian pula kesiagaan di RS untuk dapat menampung pasien-pasien DBD, baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan anggaran
Universitas Sumatera Utara
untuk perawatan gratis bagi pasien-pasien tidak mampu dan perawatan di kelas III. 3. Penatalaksanaan Kasus a) Pelatihan Tatalaksana klinis bagi dokter anak/penyakit dalam, dokter Puskesmas dan para medis. b) Pelatihan bagi petugas laboratorium ( klinis dan serologis ) c) Penyediaan sarana dan prasarana seperti tersedia tensimeter anak untuk melakukan test torniket, alat pemeriksaan trombosit dan hematokrit, cairan infus, infus set dll. 4. Penyuluhan Promosi kesehatan penyakit DBD tidak sekedar membuat leaflet atau poster saja melainkan suatu komunikasi perubahan Perilaku dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui pesan pokok “3M PLUS”, merupakan suatu kegiatan yang terencana sejak dari tahap analisa situasi, perencanaan kegiatan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Saat ini kegiatan diintensifkan menjadi sub program Peran Serta Masyarakat dalam PSN dan telah diterbitkan buku panduan untuk ini. Diharapkan setiap wilayah memilih daerah uji coba untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam PSN DBD. Media penyuluhan selain media cetak (leaflet, brosur, poster), media elektronik pesan 3 M melalui TV atau radio, ”talk show” dll. Pelaksana kegiatan tidak hanya sektor kesehatan tapi melibatkan semua pihak yang terkait anak sekolah, pramuka Saka Bhakti Husada, mahasiswa, kader-kader, tokoh masyarakat, petugas sektoral, pemilik bangunan/ pertokoan dll.
Universitas Sumatera Utara
5. Kemitraan dalam wadah POKJANAL DBD Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja, peran lintas program (Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, UKS, Badan Litbangkes) terlebih lintas sektor terkait (DEPDIKNAS, Dep. Agama, KLH, Kimpraswil, Departemen Perhubungan dll) serta organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan sangat diharapkan. Wadah kemitraan telah terbentuk melalui SK KEPMENKES 581 / 1992 dan SK MENDAGRI 441/ 1994 dengan nama Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) dan POKJA DBD di tingkat kelurahan. Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring kemitraan dalam Penanggulangan DBD. Sejak tahun 1995, setiap 2 tahun sekali diadakan pertemuan POKJANAL DBD dengan peserta bervariasi dari PEMDA, BAPPEDA, PMD, PKK, DPRD dan kesehatan sendiri. Beberapa kesepakatan hasil pertemuan regional Pokjanal DBD antara lain perlu revitalisasi, reorganisasi dan restrukturisasi organisasi ini dengan adanya sekretariat tetap, perlu pendanaan bagi
kegiatan
operasional
POKJANAL
serta
melakukan
kegiatan
penggerakkan peran serta masyarakat PSN DBD dalam bentuk pembinaan daerah uji coba peran serta masyarakat dalam PSN DBD. 6. Peran Serta Masyarakat : Jumantik Departemen Kesehatan telah menerbitkan beberapa buku pedoman dalam rangka penggerakkan peran serta masyarakat dalm PSN DBD dan sejak tahun 2000 telah melakukan sosialisasi program PSN DBD bagi kabupaten/kota. Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan
Universitas Sumatera Utara
organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui kegiatan UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi (kantor, tempat-tempat umum, tempattempat ibadah) diharapakan peran sektor terkait dan petugas sanitasi lingkungan serta masyarakat secara umum, melalui Gerakan 3 M. Berbagai upaya
secara
politis
telah
dilaksanakan
seperti
instruksi
Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran MENDAGRI, MENDIKNAS, Wakil Presiden untuk mengajak masyarakat melakukan PSN. Terakhir dicanangkan Gerakan Serentak PSN (GERTAK PSN) dan Gerakan Bebas Nyamuk (GEBAS Nyamuk). Gerakan-gerakan ini dapat disesuaikan dengan gerakan serupa yang telah ada seperti Gerakan Jum’at Bersih, Lomba-lomba Kota bersih/kota sehat dll. Budaya masyarakat juga masih kurang dan perlu dilaksanakan, mengingat setiap daerah memiliki kekhasannya yang sangat lokal spesifik. Penelitian vektor pun sangat penting untuk memahami bionomik vektor, perubahan perilaku dan resistensi terhadap insektisida yang selama ini digunakan. 7. Pelatihan 8. Penelitian Langkah-Langkah Kebijakan Pemerintah (Kemkes RI, 2011) : 1. Untuk setiap kasus DBD harus dilakukan Penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100 meter dari rumah penderita. Apabila ditemukan bukti-bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya, ada 3 penderita demam atau ada faktor risiko yaitu ditemukan jentik, maka dilakukan penyemprotan (Fogging Focus) dengan siklus 2 kali disertai larvasidasi, dan gerakan PSN.
Universitas Sumatera Utara
2. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setahun 4 kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya. 3. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui 3 M PLUS, dengan melibatkan masyarakat. 4. Memfasilitasi terbentuknya tenaga JUMANTIK ( Juru Pemantau Jentik) 5. Kemitraan melalui wadah POKJANAL (Kelompok Kerja Operasional), bersama DEPDAGRI (Departemen Dalam Negeri) dan lintas sektor lainnya terutama DEPDIKNAS (Departemen Pendidikan Nasional) 6. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada. Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) pemberantasan sarang nyamuk DBD merupakan cara yang efektif dalam memberantas penyakit DBD. Apabila kegiatan PSN DBD dilaksanakan secara intensif, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat dikendalikan sehingga penularan penyakit demam berdarah dengue dapat dicegah atau dikurangi. Selain itu, dilakukan juga Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dengan mengunjungi
rumah
dan
tempat-tempat
umum
untuk
memeriksa
tempat
penampungan ait (TPA), non-TPA, dan tempat penampungan air alamiah di dalam dan di luar rumah. PJB dilaksanakan oleh kader, PKK, Jumantik, juga oleh masingmasing puskesmas pada tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti pada sampel rumah bangunnan yang dipilih secara acak dan dilaksanakan secara teratur setiap 3 bulan sekali. Pengambilan sampel harus diulang untuk setiap siklus pemeriksaan. Rekapitulasi hasil PJB dilaksanakan oleh puskesmas setiap bulan dengan melakukan pencatatan hasil pemeriksaan jentik pada formulir yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara upaya pemberantasan DBD dititik beratkan pada penggerakan potensi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3 M plus (menguras, menutup dan mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat penampungan air, penggerakan juru pemantau jentik (jumantik) serta pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga. Angka Bebas Jentik (ABJ) digunakan sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melalui PSN-3M menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Oleh karena itu pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan kepedulian masyarakat merupakan salah satu alternatif pendekatan
baru. Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara adalah antara lain (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008): 1. Umpan balik data dan peringatan kewaspadaan terhadap peningkatan kasus DBD di Sumatera Utara kepada Dinas Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Sumatera Utara 2. Pelatihan Tatalaksana kasus DBD di RS, bagi petugas medis dan paramedis di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Daerah Endemis Sumut 3. Pertemuan Konsultasi/Supervisi Tim Pokjanal DBD Pusat 4. Pemberitahuan tentang kewaspadaan dini terhadap peningkatan kasus penyakit dan KLB kepada Dinas Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Sumatera Utara 5. Pertemuan, konsultasi/diskusi penanggulangan DBD yang terjadi di Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
6. Distribusi peralatan dan bahan pemberantasan penyakit DBD (Mesin Fogging, Insektisida, Larvasida) kepada Kab/Kota yang diprioritaskan 7. Menyampaikan laporan tertulis hasil pengamatan kasus DBD di Provinsi Sumatera Utara kepada Gubernur Sumatera Utara dan Depkes RI Jakarta 8. Dialog interaktif penanggulangan penyakit DBD di TVRI Sumut dan berbagai radio 9. Monitoring/evaluasi dan bimbingan/pengendalian Tim Provinsi ke RS 10. Monitoring/evaluasi dan konsultasi penanggulangan DBD berkala ke Posko DBD Pemko Medan dan Kab/Kota terjangkit 2.16. Kerangka Konsep Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Angka Bebas Jentik (ABJ)
2.17.
Hipotesis
1.
Ha
: Terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi pemberantasan sarang nyamuk terhadap kejadian demam berdarah dengue
2.
Ha
: Terdapat hubungan yang signifikan antara angka bebas jentik terhadap kejadian demam berdarah dengue
Universitas Sumatera Utara