1
BAB I PENGANTAR
1. Latar Belakang Permasalahan Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp. Parasit ini bersifat intraseluler, yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Ada lima spesies yang dapat menginfeksi manusia, yaitu : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan Plasmodium knowlesi. Spesies yang banyak ditemui di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax (Markell et al., 1986; Garcia dan Bruckner 1997; Biggs dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002; Kemenkes RI 2011a; Centers for Disease Control and Prevention 2012). Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu : bayi, balita, dan ibu hamil. Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2010, diperkirakan 45% penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 80% merupakan daerah endemis malaria (Kemenkes RI 2011b). Propinsi Lampung merupakan salah satu wilayah endemis malaria di wilayah barat Indonesia. Malaria di Propinsi Lampung dari tahun 2007 sampai 2010 dilaporkan memiliki Anual Parasite Incidence (API) masing-masing sebesar 0,33; 0,33; 0,78 dan 0,32 per 1000 penduduk. Nilai API Propinsi Lampung secara
2
umum masih dibawah angka rata-rata nasional tahun 2010 yaitu 1,96. Nilai API ini, sesuai dengan kategori endemisitas yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia maka Propinsi Lampung secara keseluruhan dikategorikan endemis rendah (Kemenkes RI 2011b). Beberapa lokasi di Propinsi Lampung masih menunjukkan tingkat endemisitas sedang sampai tinggi seperti kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2012; Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan 2012). Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu daerah endemis malaria dengan kategori sedang di Propinsi Lampung. Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran telah menetapkan penggunaan API sebagai indikator untuk melihat kondisi malaria. Nilai API untuk Kabupaten Pesawaran pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing adalah 2,77 dan 4,76 (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2012). Kabupaten Pesawaran, secara geografi merupakan daerah pesisir pantai yang memiliki banyak genangan air, yang merupakan tempat yang cocok untuk perindukan nyamuk Anopheles. Angka kejadian malaria yang masih tinggi pada beberapa lokasi di Indonesia termasuk di Kabupaten Pesawaran sangat berkaitan erat dengan beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi : perubahan lingkungan, mobilitas penduduk yang cukup tinggi, perubahan iklim, status gizi masyarakat, program pengendalian yang dilakukan dan faktor resistensi terhadap obat anti malaria (Depkes RI 2009). Faktor-faktor ini baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
3
sama akan mempengaruhi proses penularan malaria. Adanya perubahan pada salah satu atau lebih faktor tersebut akan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem antara manusia, vektor, lingkungan dan parasit. Pemerintah telah melakukan berbagai program pengendalian malaria untuk mengatasi tingginya angka kejadiaan malaria saat ini. Pengendalian malaria terus dikembangkan, mulai dari pengendalian vektor sampai pengendalian parasite malaria. Program pengendalian malaria di Indonesia tertuang dalam Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia secara bertahap sampai tahun 2030 (Kemenkes RI 2011b). Salah satu faktor yang dapat menghambat pengendalian malaria adalah resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria. Sejak dilaporkan resistensi terhadap klorokuin yang terus menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan baru dalam pengobatan malaria (Depkes RI 2008). Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan standar pengobatan malaria dengan menggunakan kombinasi berbasis artemisinin (artemisinin
based
combination
theraphy/ACT).
Kebijakan
pengobatan
menggunakan ACT ini dimulai sejak tahun 2004 dan saat ini telah diimplementasikan di seluruh propinsi. Implementasi penggunaan ACT di Kabupaten Pesawaran / Kabupaten Lampung Selatan telah dilaksanakan sejak tahun 2004 tersebut. (Depkes RI 2008; Kemenkes RI 2011a; Kemenkes RI 2011b). Kajian tentang efektivitas berbagai obat antimalaria telah banyak
4
dilakukan. Hal ini karena suseptibilitas Plasmodium terhadap obat antimalaria akan berpengaruh pada keberhasilan terapi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kejadian malaria tesebut. Suseptibilitas Plasmodium terhadap antimalaria di Kabupaten Pesawaran saat ini telah ditemukan dugaan kegagalan terapi, walaupun publikasi secara ilmiah belum dilaporkan. Dugaan ini muncul dengan adanya kunjungan penderita malaria secara berulang setelah mendapat pengobatan malaria. Kasus-kasus malaria yang timbul di Kabupaten Pesawaran sebagian besar disebabkan oleh P. falciparum dan P. vivax. Pengobatan pada penderita malaria yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran mengacu pada standar pengobatan yang dikeluarkan oleh kementerian Kesehatan. Seiring dengan perjalanan waktu penggunaan ACT yang sudah cukup lama maka tidak menutup kemungkinan telah ditemukan penurunan efektivitas ACT atau peningkatan resistensi Plasmodium terhadap ACT. Kejadian malaria yang tetap tinggi dari tahun ketahun (API > 1) (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2012) merupakan salah satu alasan untuk mengkaji efektivitas antimalarial tersebut. Artemisinin combination theraphy merupakan terapi kombinasi malaria lini pertama dengan kombinasi AAQ atau DHP dalam sedian fix dose yang digunakan di Indonesia. Penggunaan kedua obat ini dikombinasikan dengan primakuin untuk mengatasi parasit fase gametosit pada P. falciparum dan fase hepatik pada P. vivax. Penggunaan kina, doksisiklin dan tetrasiklin ditetapkan sebagai obat lini kedua (Kemenkes RI 2011a).
5
Identifikasi resistensi Plasmodium terhadap obat anti malaria, dapat dilakukan dengan pendekatan in vitro maupun in vivo. Resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria juga berkaitan dengan adanya polimorfisme gen penyandi protein yang berhubungan dengan mekanisme kerja obat tersebut. Studi dengan pendekatan molekuler telah dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa mutasi gen yang bertanggungjawab terhadap resistensi. Polimorfisme pada gen Plasmodium falciparum chloroquine resistance transporter (PfCRT) berhubungan dengan resistensi P. falciparum terhadap klorokuin dan amodiakuin. Gen lain yang juga telah diteliti adalah gen Plasmodium falciparum multi drug resistance 1 (PfMDR1) yang berhubungan dengan resistensi terhadap klorokuin, amodiakuin, meflokuin, halofantrin dan kuinin. Polimorfisme pada gen penyandi enzim dihydrofolate reductase (DHFR) berhubungan dengan resistensi terhadap pirimetamin. Resistensi terhadap sulfadoksin berhubungan dengan polimorfisme pada gen penyandi enzim dihydropteroate synthase (DHPS) (Syafruddin et al., 2005). Pola genetik yang dihubungkan dengan resistensi terhadap komponen ACT pada P. falciparum sudah banyak dilaporkan namun masih belum banyak dimengerti. Artemisinin merupakan antimalaria yang efek kerjanya berhubungan dengan penghambatan sarcoendoplasmic reticulum calcium-dependent ATPase (SERCA) Ca2+-pump ATPase6. Mutasi pada gen PfATPase6 di Amerika Selatan terbukti dan telah dihubungkan dengan peningkatan IC50 dari artemeter. Bukti penelitian langsung tentang hubungan mutasi pada gen ATPase6 masih belum
6
banyak dilakukan. Di Kamboja terdapat penurunan efektivitas artesunat walaupun tidak ditemukan mutasi pada gen ini (Tahar et al., 2009; Rodrigues et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Rodrigues et al., (2010) menunjukkan bahwa efektivitas ACT dapat berubah dengan pemberian obat yang terus menerus, sekalipun obat tersebut diberikan dalam bentuk kombinasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan mencit. Mencit yang terinfeksi malaria diberi pengobatan dengan ACT, dan diamati sampai beberapa generasi. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan dosis yang digunakan agar dapat membunuh parasit. Beberapa kajian mengenai pola mutasi gen yang berhubungan dengan resistensi Plasmodium terhadap antimalaria di wilayah Sumatera Bagian Selatan sudah pernah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan tersebut diantaranya adalah polimorfisme gen PfCRT, PfMDR1, PfDHPS dan PfDHFR pada isolat Plasmodium dari penderita malaria di Propinsi Lampung oleh Syafruddin et al., (2005). Penelitian lain tentang gen PfCRT di Propinsi Lampung (Kamelia 2010) dan Kabupaten Lahat (Suwandi 2011a) juga telah dilakukan. Pada penelitianpenelitian tersebut ini telah ditemukan polimorfisme pada gen-gen yang berhubungan dengan resistensi terhadap antimalaria selain artemisinin. Penelitian tentang gen PfATP6 sampai saat ini belum pernah dilakukan pada daerah ini, sedangkan artemisinin sebagai kombinasi dalam ACT telah lama digunakan (Depkes RI 2008; Kemenkes RI 2011a; Kemenkes RI 2011b). Kondisi ini memungkinkan adanya perubahan genetik pada gen-gen yang berhubungan
7
dengan resistensi terhadap ACT. Melihat kondisi tersebut maka perlu dikaji gen yang berhubungan dengan resistensi P. falciparum terhadap ACT, yaitu gen PfMDR1 yang berhubungan dengan amodiakuin, primakuin dan artemisinin serta PfATP6 yang berhubungan dengan artemisinin. Gambaran klinis penderita malaria secara klasik ditunjukkan dengan adanya tiga gejala/tanda dasar malaria (trias malaria), yaitu : demam intermiten, anemia hemolitik dan hepatosplenomegali (Biggs dan Brown 2001). Perubahan gambaran klinis penderita malaria dalam perjalanan penyakitnya akan dipengaruhi oleh respon terapi yang dihasilkan pada pengobatan. Resistensi Plasmodium terhadap antimalaria yang terjadi akan memperlambat penurunan parasitemia bahkan menghambat eliminasi parasit dari dalam tubuh penderita. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan parasit tidak dapat dihambat oleh antimalaria yang diberikan. Plasmodium falciparum dalam kurun waktu 24-72 jam dalam siklus hidupnya dapat berkembang menjadi stadium skizon mature yang siap melepaskan merozoit-merozoit baru. Parasitemia yang tinggi akan menyebabkan tubuh penderita memberikan respon terhadap pirogen tersebut sehingga memberikan manifestasi klinis (gejala klinis) pada penderita. Parasitemia yang semakin tinggi akan memberikan gejala klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan parasitemia yang lebih rendah, walaupun respon imun penderita juga berperan penting dalam menghambat pertumbuhan parasit (Markell et al., 1986; Garcia dan Bruckner 1997; Biggs dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002; White 2004; Centers for Disease Control and Prevention 2012). Kajian tentang
8
gejala klinis pada penderita malaria di Kabupaten Pesawaran perlu untuk dilakukan untuk mengetahui gambaran gejala klinis yang khas selain gejala-gejala klinis yang telah di laporkan. Kajian gambaran gejala klinis malaria ini bermanfaat dalam membantu mengarahkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang dalam rangka penegakkan diagnosis. Penderita malaria falciparum yang mengandung Plasmodium dengan gen bermutasi tentunya akan menjadi sumber infeksi yang perlu diwaspadai. Hal ini karena penanggulangannya akan berbeda dengan strain yang masih sensitif terhadap ACT. Kondisi seperti ini tentunya perlu untuk dipetakan untuk melihat sebaran Plasmodium yang telah bermutasi. Pola pemetaan suatu penyakit berdasarkan suatu wilayah sudah sering dilakukan untuk menentukan wilayahwilayah yang menjadi titik-titik sumber penularan. Analisis spasial dengan pendekatan sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dilakukan pada berbagai penelitian dalam rangka pengendalian malaria. Abdullah (2008), Mendrofa (2008), dan Sulistiowati (2011), telah melakukan penelitian tentang analisis spasial penderita malaria terhadap lingkungan di berbagai daerah di Indonesia. Pada penelitian tersebut telah dipetakan penderita malaria dan hubungannya dengan faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya malaria. Pada penelitian ini pun akan dipetakan penderita yang mengandung P. falciparum yang telah bermutasi untuk melihat sebaran P. falciparum yang telah mengalami mutasi. Melihat kondisi malaria di Kabupaten Pesawaran, serta penggunaan ACT yang sudah cukup lama, menjadikan hal yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini
9
mengkaji polimorfisme gen PfMDR1 dan PfATP6 serta hubungannya dengan respon terapi ACT, yang dilanjutkan dengan mengkaji gambaran gejala klinis malaria serta melakukan pemetaan penderita malaria yang mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 yang bermutasi untuk melihat sebarannya. Kajian yang akan dilakukan dirumuskan dalam permasalahan yang akan diteliti, sebagai berikut : 1. Bagaimana efikasi ACT yang digunakan pada penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ? 2. Apakah ada polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen PfMDR1 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ? 3. Apakah ada polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen PfATP6 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ? 4. Apakah terdapat hubungan polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen PfMDR1 dan PfATP6 terhadap respon pengobatan pada penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ? 5. Bagaimana gambaran gejala klinis penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ? 6. Bagaimanakah distribusi / adakah pengelompokan kewilayahan penderita malaria yang mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 pada isolat Plasmodium
10
dari penderita malaria falciparum yang bermutasi serta pengelompokan kewilayahan penderita gagal terapi ACT di Kabupaten Pesawaran ?
2. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis polimorfisme gen PfMDR1 dan PfATP6 pada isolat plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui efikasi ACT yang digunakan pada penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran. 2. Menganalisis polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen PfMDR1 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran. 3. Menganalisis polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen PfATP6 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran. 4. Menganalisis hubungan polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen PfMDR1 dan PfATP6 terhadap respon pengobatan pada penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran. 5. Mengetahui gambaran gejala klinis penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran.
11
6. Mengetahui distribusi / pengelompokan kewilayahan penderita malaria yang mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 yang bermutasi pada isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum serta pengelompokan kewilayahan penderita gagal terapi ACT di Kabupaten Pesawaran.
3. Keaslian Penelitian Penelitian polimorfisme gen PfMDR1 dan PfATP6 pada penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran yang mengkaji hubungannya dengan respon terapi dan juga menganalisis gambaran gejala klinis yang timbul serta distribusi kewilayahan penderita malaria sepanjang penelusuran literatur belum pernah dilakukan di wilayah ini. Pada penelitian ini akan dikaji secara komprehensif aspek parasit (gen PfMDR1 dan PfATP6), penderita dengan gejala klinis yang muncul dan penyebaran atau pemetaan penderita malaria secara kewilayahan. Penelitian tentang gen PfMDR1 telah banyak dilakukan di Indonesia dan dunia. Penelitian yang dilakukan di Indonesia dan telah dipublikasikan oleh Syafruddin et al., pada tahun 2003 adalah kajian tentang distribusi allele resisten pada P. falciparum isolat Kabupaten Purworejo. Pada penelitian ini dikaji tentang persentase allele mutan gen PfCRT, PfMDR1, PfDHFR dan PfDHPS. Metode analisis polimorfisme dengan pendekatan metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Hasil menunjukkan adanya mutasi pada PfCRT 76T (99,1%), PfMDR1 86Y (92%), 1042D (4,5%), PfDHFR (84,7%), dan PfDHPS (26,5-35,3%). Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin et al., (2003) berbeda
12
dengan yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian Syafruddin et al., (2003) merupakan penelitian yang hanya mengkaji polimorfisme gen-gen yang telah diketahui kemungkinan titik mutasinya, sedangkan pada penelitian ini, penulis melakukan eksplorasi untuk mencari kemungkinan titik-titik mutasi pada berbagai posisi yang mungkin sudah terjadi. Perbedaan lain adalah pada metode yang digunakan, pada penelitian ini untuk melihat polimorfisme dilakukan sequencing sedangkan pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan metode RFLP. Hasil sequencing yang didapat pada penelitian ini dilanjutkan dengan analisis kekerabatan dengan menggunakan pohon filogenetik, hal ini yang juga tidak dilakukan pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis spasial pola penyebaran infeksi malaria dan pola penyebaran penderita malaria yang mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 bermutasi. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Syafruddin et al., (2005) mengkaji tentang epidemiologi molekuler pada P. falciparum yang resisten terhadap anti malaria di Indonesia. Penelitian ini membandingkan polimorfisme gen-gen PfCRT, PfMDR1, PfDHPS dan PfDHFR antara kawasan barat dan timur Indonesia yang memiliki tingkat endemisitas yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telah ditemukan adanya polimorfisme gen PfDHFR, PfDHPS, PfCRT dan PfMDR1. Frekuensi polimorfisme ini berbeda-beda, PfDHPS dan PfMDR1 ditemukan lebih sedikit dibandingkan 2 gen lainnya. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Pesawaran (saat itu Kabupaten Lampung Selatan), Propinsi Lampung. Hasil analisis gen-gen yang berasal dari
13
sampel penderita malaria di Kabupaten Pesawaran juga menunjukkan adanya polimorfisme. Terdapat beberapa perbedaan pada penelitian yang dipublikasikan oleh Syafruddin et al., (2005) dengan penelitian ini, yaitu : (1) Tidak dilakukannya analisis spasial distribusi penderita yang mengandung gen-gen bermutasi tersebut berdasarkan kewilayahan pada penelitian oleh Syafruddin et al., (2005); (2) Jeda waktu yang cukup lama antara penelitian yang dilakukan ini dengan penelitian sebelumnya memungkinkan timbulnya perbedaan polimorfisme gen-gen tersebut; (3) Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin et al., (2005) tidak mengkaji gen PfATP6 yang berhubungan dengan resistensi terhadap artemisinin; (4) Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin et al., (2005) tidak mengkaji gen PfMDR1 yang berhubungan dengan resistensi terhadap artemisinin; (5) Metode analisis polimorfisme yang digunakan oleh Syafruddin et al., (2005) adalah dengan pendekatan metode RFLP sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode sequencing yang dilanjutkan dengan analisis filogenetik dan homologi dari gen PfATP6 dan PfMDR1. Penelitian tentang polimorfisme gen PfMDR, PfCRT, PfDHPS dan PfDHFR lainnya di Indonesia pernah dilakukan oleh Asih et al., (2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Asih et al., (2009) dikaji hubungan antara polimorfisme pada gen tersebut dengan efikasi pemberian ACT pada pasien malaria falciparum tanpa komplikasi di Sumba, NTT. Metode analisis polimorfisme yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan metode RFLP. Hasil dari analisis gen-gen tersebut menunjukkan telah ditemukan
14
adanya polimorfisme dengan frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai allele. Pada penelitian ini belum mengkaji gen PfATP6 yang berhubungan dengan resistensi Plasmodium terhadap artemisinin. Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan di Indonesia sejak kurun waktu 2003 sampai 2009 tampak bahwa telah timbul adanya polimorfisme pada berbagai gen yang berkaitan dengan resistensi. Eksplorasi untuk mengetahui kemungkinan adanya polimorfisme pada titik-titik lain merupakan hal yang belum dilakukan pada penelitian tersebut. Lampung sebagai salah satu daerah endemis malaria, memerlukan kajian tentang polimorfisme pada isolat-isolat yang berasal dari daerah Lampung. Hal ini untuk melihat kekerabatan antar isolat dari daerah Lampung dan kedekatan gen-gen tersebut dengan isolat lain yang berasal dari luar Lampung. Penelitian tentang penanda molekuler untuk resistensi terhadap antimalaria telah dilaporkan juga oleh peneliti dari berbagai dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Djimdé et al., (2001) mengkaji penanda molekuler pada P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Hasil penelitian ini menunjukkan gen PfCRT berperan sebagai penanda pada resistensi ini. Pada penelitian ini juga di periksa gen PfMDR1 dan kaitannya dengan resistensi terhadap klorokuin, namun hasil yang didapat menunjukkan hanya 70% yang termasuk tipe mutan pada gen ini, sedangkan pada gen PfCRT menunjukkan 100% tipe mutan. Penelitian ini berhubungan dengan timbulnya resistensi terhadap anti malaria klorokuin, namun
15
tidak mengkaji bagaimana polimorfisme gen-gen yang berhubungan dengan resistensi terhadap artemisinin dan komponen ACT lainnya. Penelitian tentang PfMDR1 sebagai penanda molekuler terhadap kemungkinan resistensi ACT dilaporkan oleh Dokomajilar et al., (2006a) dan Humphreys et al., (2007). Keduanya mengkaji tentang polimorfisme gen PfMDR1 setelah terapi ACT di Uganda dan Tanzania. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen PfMDR1 dapat digunakan sebagai penanda yang berhubungan dengan amodiakuin dan artemeter-lumefantrin. Pada penelitian tersebut tidak mengkaji polimorfisme gen tersebut terhadap distribusi kewilayahan di suatu daerah. Pada penelitian tersebut juga tidak dilaporkan bagaimana kondisi kekerabatannya terhadap isolat lain. Penelitian yang mengkaji gen PfMDR1 juga dilakukan oleh Schönfeld et al., (2007), dengan membandingkan tingkat polimorfisme yang timbul akibat resistensi terhadap klorokuin (gen PfCRT dan PfMDR1) dengan tingkat polimorfisme yang timbul akibat resistensi terhadap sulfadoksin-pirimetamin (PfDHPS dan PfDHFR). Tujuan penelitian yang dilakukan oleh Schönfeld et al., (2007) adalah untuk mengevaluasi penggunaan sulfadoksin-pirimetamin sebagai obat lini pertama menggantikan klorokuin. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tingginya mutasi (>50%) pada PfDHPS, PfDHFR, PfCRT dan PfMDR1 sehingga perlu dipertimbangkan pengalihan lini pertama ke ACT. Metode analisis polimorfisme yang digunakan pada penelitian tersebut dengan metode RFLP.
16
Kajian tentang polimorfisme yang berkaitan dengan ACT masih harus dilakukan, mengingat penelitian ini hanya mengkaji sebatas resistensi pada klorokuin saja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lim et al., (2009) mengkaji hubungan polimorfisme gen PfMDR1 terhadap kepekaan ACT dan kegagalan terapi ACT pada pasien malaria falciparum di Kamboja. Hasil penelitian ini menyebutkan PfMDR1 dapat dijadikan penanda molekuler untuk artesunat-meflokuin namun tidak untuk artesunat-lumefantrin. Analisis polimorfisme dengan menggunakan Real Time PCR. Pada penelitian ini tidak dilaporkan posisi polimorfisme sehingga hal ini perlu untuk dilakukan kembali. Penelitian tentang gen PfATP6 sebagai penanda molekuler pada resistensi terhadap artemisinin relatif baru berkembang namun telah diteliti di berbagai tempat. Penelitian tentang peranan gen PfATP6 di Asia dan Asia Tenggara telah dilakukan dan telah dipublikasikan. Pada populasi di Vietnam, mutasi gen PfATP6 ditemukan pada codon I89T, N463S, N465S, N683K, N460N, I898I dan C1031C (Bertaux et al., 2009). Penelitian yang dilaporkan oleh G.Zhang et al., (2008) di China menunjukkan belum ditemukan adanya mutasi gen pada codon (S769N) PfATP6. Banyaknya posisi mutasi yang dilaporkan dari gen ini menunjukkan adanya variasi yang tinggi dari setiap isolat. Penelitian yang dilakukan oleh Tahar et al., (2009) yang mengkaji aktivitas in vitro dehidroartemisinin terhadap P. falciparum dan analisis urutan gen PfATPase6. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan dehidroartemisinin di Kamerun. Walaupun secara in vitro P. falciparum sangat
17
sensitif terhadap dehidroartemisinin, namun telah ditemukan adanya mutasi pada gen ini. Penelitian yang dilakukan oleh Tahar et al., (2009) mendapatkan bahwa lokasi mutasi yang dicuriga berhubungan dengan timbulnya resistensi terhadap artemisinin, yaitu : pada codon nomor 263, 431, 623 dan 769. Beberapa peneliti lain pun telah menyebutkan posisi 263 berperan pada sensitivitas terhadap artemisinin (Afonso et al., 2006; Menegon et al., 2008; Dahlström et al., 2008; Tahar et al., 2009). Penelitian yang mengkaji tentang peranan gen PfATP6 terhadap resistensi pada ACT di Indonesia khususnya di Propinsi Lampung belum pernah dilaporkan. Penelitian lain dilakukan oleh Dondorp et al., (2009), menganalisis gen PfMDR1 dan PfATP6 sebagi penanda molekuler yang berkaitan dengan resistensi terhadap artemisinin. Pada penelitian ini dikaji tentang suseptibilitas P. falciparum terhadap artesunat, farmakokinatik artesunat dan penanda molekular untuk resistensi terhadap artesunat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya mutasi pada beberapa codon di gen PfMDR1 dan PfATP6 (PfSERCA) yang berhubungan dengan kemungkinan resistensi Plasmodium terhadap artemisinin dan derivatnya. Penelitian yang dilaporkan oleh Ibrahim et al., (2009) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi gen PfATP6 pada penderita malaria falciparum di Nigeria. Pada penelitian ini dilakukan amplifikasi gen PfATP6 dengan metode nested PCR pada fragmen sepanjang 798bp. Hasil analisis dengan metode sequensing menunjukkan adanya mutasi sebesar 21,8%, yaitu : pada codon 537 (D537D)
18
terjadi perubahan urutan basa GAC-GAT sebesar (1,1%), codon 561 (K561N) sebesar (1,1%), codon 569 (N569K) sebesar (17,2%), codon 630 (A630S) sebesar (1,1%), dan codon 639 (G639D) sebesar (1,1%). Penelitian lain yang dilakukan secara in vitro di Ghana oleh KwansaBentum et al., (2011) melaporkan bahwa mutasi gen PfATP6 telah terdapat pada 20 codon. Lima codon mempunyai proporsi mutasi cukup tinggi, yaitu : codon D639G sebesar 50%, codon E431K sebesar 10,3%, codon D443E sebesar 7,4% dan codon M813Q sebesar 7,4%. Penelitian yang dilakukan oleh Miao et al., (2013) di Greater Mekong Subregion menunjukkan diversitas genetik yang luas dari gen PfATP6. Titik mutasi ditemukan diberbagai codon pada sampel-sampel yang berasal dari wilayah ini, namun posisi L263E, E431K/A623E, dan S769N tidak ditemukan adanya mutasi. Mutasi tunggal pada posisi E431K ditemukan pada 1 dari 116 sampel Myanmar dan 2 dari 13 sampel Vietnam. Dari berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2009 tersebut menunjukkan bahwa telah ditemukan adanya mutasi pada gen PfATP6 di berbagai lokasi yang berbeda pada setiap isolat. Melihat kondisi tersebut, maka penelitian eksploratif untuk melihat keragaman genetik pada isolat-isolat Plasmodium di Indonesia sangat perlu dilakukan. Penelitian tentang gen PfATP6 yang dilakukan di Indonesia masih sedikit, dan sepanjang penelusuran penulis belum pernah dilakukan di Propinsi Lampung dan dipublikasikan pada jurnal ilmiah. Di Indonesia, daerah endemis malaria tersebar dari ujung barat sampai ujung timur
19
kepulauan Indonesia. Jarak yang jauh, perbedaan vektor, tempat perindukan vektor, kondisi geografi dan mobilitas penduduk yang tinggi, dapat memberikan perbedaan atau keragaman yang tinggi untuk setiap lokasi. Diversitas genetik yang tinggi ini juga dapat menimbulkan keraguan mengenai fungsi gen PfATP6 sebagai gen yang bertanggungjawab pada resistensi Plasmodium terhadap artemisinin (Miao et al., 2013). Penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji keadaan genetik gen PfATP6 pada salah satu daerah endemis malaria yaitu pada pesisir selatan Kabupaten Pesawaran Lampung. Sistem Informasi Geografi ini merupakan teknologi pendukung yang terkait dengan kedudukan sesuatu pada permukaan bumi. Sistem informasi ini dapat digunakan pada berbagai disiplin ilmu termasuk disiplin ilmu kesehatan terutama dalam hal pengendalian penyakit menular. Penelitian-penelitian malaria yang telah dilakukan di Indonesia dengan menggunakan analisis spasial hanya memetakan penderita malaria terhadap kondisi geografi dan lingkungan. Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh Abdullah (2008); Mendrofa (2008) dan Sulistiowati (2011). Pada penelitian tersebut telah berhasil dipetakan penderita malaria terhadap lingkungan, tempat perindukan nyamuk vektor, jarak ke tempat pelayanan kesehatan dan sebagainya. Penelitian dengan memetakan penderita malaria dengan kegagalan terapi dan penderita yang mengandung P. falciparum bermutasi belum pernah dilakukan. Pemetaan penderita gagal terapi sangat penting dilakukan untuk melihat penyebaran penderita gagal terapi sebagai dasar pengambilan kebijakan standar penatalaksaan malaria di suatu wilayah.
20
Pemetaan penderita malaria dengan berdasarkan kondisi genetik gen PfMDR1 dan PfATP6 merupakan hal baru yang perlu dilakukan untuk melihat gambaran keberadaan gen-gen tersebut di lingkungan.
4. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah : 1. Dapat diketahuinya pola mutasi gen PfMDR1 dan PfATP6 sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam pemilihan antimalaria yang sesuai di Kabupaten Pesawaran. 2. Dapat diketahuinya hubungan kekerabatan gen PfMDR1 dan PfATP6 pada isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran dengan berbagai isolat lainnya maka hal ini dapat dipakai sebagai dasar untuk memprediksi pola penyebaran Plasmodium tersebut sampai ke Kabupaten Pesawaran. 3. Dapat diketahuinya efikasi komponen-komponen ACT yang digunakan di Kabupaten Pesawaran sebagai dasar dalam evaluasi pengunaan obat anti malaria. 4. Dengan diketahuinya gambaran gejala klinis yang timbul pada penderita malaria di Kabupaten Pesawaran dapat dijadikan dasar ilmiah untuk mengarahkan pemeriksaan penunjang dalam rangka penegakan diagnosis malaria.
21
5. Dapat diketahuinya pemetaan distribusi pola mutasi gen PfMDR1 dan PfATP6 di Kabupaten Pesawaran sehingga dapat diketahui sumber penularan P. falciparum
yang telah bermutasi
yang dapat digunakan untuk
penanggulangan transmisi Plasmodium yang telah mengalami mutasi.