BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Malaria 2.1.1. Pengertian Malaria Malaria adalah penyakit infeksi yang di sebabkan oleh parasit plasmodium di tularkan melalui nyamuk Anopheles spp kepada manusia. Gejala klinis utama adalah demam periodik di sertai dengan rasa menggigil, berkeringat dan sakit kepala, gejala lain seperti: badan terasa lemas dan pucat, nafsu makan berkurang, mual muntah diare, kuning pada kulit, pembesaran limpa dan, kejang sampai koma.
2.1.2. Agent Penyebab Malaria Infeksi malaria di sebabkan oleh parasit genus plasmodium melalui perantaraan gigitan nyamuk Anopheles spp. Ada 4 (empat) spesies plasmodium yaitu a. Plasmodium Vivax Memiliki distribusi giografis terluas, termasuk wilayah beriklim dingin, suptropis hingga ke daerah tropis, penyebab malaria tertiana. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari ketiga, waktu siang atau sore, dan masa inkubasinya 12-17 hari. b. Plasmodium Falcifarum Plasmodium ini menyebabkan malaria tropika dan sering menyebabkan malaria otak, sehingga dapat menyebabkan kematian dan masa inkubasinya 10-12 hari
Universitas Sumatera Utara
c. Palsmodium malariae Plasmodium ini merupakan penyebab malaria kuartana yang memberikan gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya di temukan di daerah pegunungan dan dataran rendah dan dataran tropis, dengan masa inkubasi 14 hari d. Plasmodium ovale Jenis ini sangat jarang di jumpai umumnya banyak terjadi di afrika dan Pasifik barat. Masa inkubasi penyakit yang di sebabkan Plasmodium ovale 12-17 hari. Dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan cepat sembuh sendiri.
2.2. Nyamuk Anopheles spp 2.2.1. Klasifikasi Nyamuk Anopheles spp Secara Taksonomi nyamuk Anopheles termasuk filum Arthopoda, kelas Hexapoda, Ordo Diptera, Sub Ordo Nematocera, Familia Culicidae, tribus Anophelini, genus Anopheles, dan spesies Anopheles sundaicus, Anopheles maculates, dan Anopheles letifer (Soemarto, 1998). Ada 90 jenis Nyamuk Anopheles spp di Indonesia, beberapa diantaranya sebagai penular malaria (Depkes RI, 2003).
2.2.2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles spp Siklus hidup nyamuk diawali dari telur, larva, kepompong dan nyamuk. Berikut dapat dijelaskan masing-masing siklus hidup nyamuk, yaitu: 1. Telur a) Diletakan dipermukaan air atau benda-benda lain dipermukaan air
Universitas Sumatera Utara
b) Ukuran telur ± 0,5 mm, dengan jumlah telur (sekali bertelur) 100 – 300 butir, rata-rata 150 butir, dan frekuensi bertelur dua atau tiga hari c) Lama menetas dapat beberapa saat setelah kena air, hingga dua sampai tiga hari setelah berada di air, dan menetas menjadi larva (larva) 2. Larva - Larva terletak di air dan mengalami empat masa pertumbuhan (stadium) yaitu : stadium 1 (± 1 hari), stadium II (± 1-2 hari), stadium III (± 2 hari), dan standium IV (± 2-3 hari) - Masing-masing stadium ukurannya berbeda-beda dan juga bulu-bulunya, dan tiap pergantian stadium disertai dengan pergantian kulit, dan belum ada perbedaan jantan dan betina - Pada pergantian kulit terakhir berubah menjadi kepompong dengan umur rata-rata antara 8-14 hari 3. Kepompong Kepompong terdapat di air, tidak memerlukan makanan tetapi memerlukan udara, menetas 1-2 hari menjadi nyamuk, dan umumnya nyamuk jantan menetas lebih dahulu daripada nyamuk betina 4. Nyamuk Dewasa Nyamuk anopheles dewasa bentuk badannya lebih besar kalau di bandingkan dengan rata-rata nyamuk lain, mempunyai urat sayap bersisik, mempunyai prombosis panjang, mempunyai sirip penutup tubuh, sisik pada pinggir sayap berubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
jumbai, dan sayap terdiri dari 6 urat sayap, yaitu urat sayap 2, 4 dan 5 bercabang. (Depkes RI,2003) Jumlah nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas dari sekelompok telur pada umumnya sama banyak (1 : 1), nyamuk jantan umurnya lebih pendek dari nyamuk betina ± seminggu, umur nyamuk betina lebih panjang daripada nyamuk jantan, dan nyamuk betina dapat terbang jauh antara 0,5 – 5 km Berdasarkan morfologi, diketahui Morfologi Nyamuk Anopheles spp dewasa, diketahui bahwa bagian tubuh nyamuk terdiri dari kepala, dada dan perut, kepala : proboscis, palpi (pembelai), antenna, dada (thoraks) : scutellum, halter, sayap dan venasinya, perut : ruas-ruas abdomen, sayap terdiri dari costa, sub costa, venasinya sayap, jumbai, dan kaki terdiri dari coxa, femur, tibia, tarsus. Secara spesifik dapat dijelaskan ciri-ciri nyamuk dewasa, yaitu (1) Ciri-ciri umum nyamuk Anopheles spp dewasa yaitu : a. Proboscis dan palpi sama panjang b. Scutellum berbentuk satu lengkungan (½ lingkaran) c. Urat sayap bernoda pucat dan gelap d. Jumbai biasanya terdapat noda pucat e. Pada palpi bergelang pucat atau sama sekali tidak bergelang f. Kaki panjang dan langsing (2) Ciri-ciri khusus nyamuk Anopheles spp dewasa, yaitu: a. Pada palpi bergelang pucat atau tidak sama sekali b. Pada sayap ditekankan pada urat-urat sayap dengan noda gelap dan pucat
Universitas Sumatera Utara
c. Pada jumbai kadang-kadang bernoda pucat atau gelap sama sekali d. Pada kaki belakang sering terdapat bintik-bintik (bernoda pucat) (3) Pada nyamuk betina dewasa palpi dan proboscis sama panjang sedangkan pada nyamuk jantan palpi pada bagian ujung berbentuk alat pemukul (4) Pada saat menggigit nyamuk Anopheles sp membentuk sudut 45o – 60o (5) Nyamuk Anopheles spp lebih menyukai mengisap darah di luar bangunan (endofagik) dan istirahat di dalam bangunan (endofilik).
2.3. Program Pemberantasan dan Penanggulangan Malaria Menurut Direktorat Jenderal PPM&PL Depkes RI (2004) kegiatan pemberantasan dan penanggulangan penyakit malaria sebagai berikut: A.
Penemuan Kasus (penderita)
Untuk pelaksanaan penemuan penderita dapat dilakukan : Pertama, secara aktif atau Active Case Detection (ACD), ini hanya di lakukan di Jawa-Bali dan Barelang Binkar oleh petugas Juru Malaria Desa (JMD), dengan cara menemukan penderita malaria klinis, mengambil sediaan darah, dan memberikan pengobatan. Ini dilakukan dengan kunjungan dari rumah ke rumah. Kedua, secara pasif atau Passive Case Detection (PCD). Kegiatan ini dilakukan oleh semua puskesmas atau Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) lainnya. Semua yang memiliki sarana pemeriksaan sediaan darah malaria diharuskan mengambil sediaan darah dari setiap penderita malaria klinis.
Universitas Sumatera Utara
Diluar Jawa-Bali, penemuan penderita dilakukan secara pasif (PCD) yang bertujuan untuk menemukan penderita secara dini dan diberikan pengobatan. Hal ini merupakan kegiatan rutin dalam rangka memantau fluktuasi malaria (AMI % Pf), alat bantu untuk menentukan musim penularan, dan peringatan dini terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan sasaran semua penderita malaria klinis (akut & kronis) yang datang berkunjung (berobat) ke UPK. Melalui kegiatan PCD tersebut, sediaan darah yang dikumpulkan tidak boleh <5 % dari penduduk cakupan puskesmas pertahun. Adapun metode yang dilakukan adalah sebagai berikut (1) Menentukan diagnosis klinis malaria akut dengan gejala demam menggigil secara berkala disertai sakit kepala, demam yang tidak diketahui sebabnya, dan penderita malaria klinis, (2) Pengambilan sediaan darah terhadap penderita malaria klinis di daerah resisten dan penderita gagal obat, (3) Melakukan pengobatan pada penderita (Depkes RI,1999). Selain PCD, diluar Jawa-Bali juga dilakukan kegiatan Survei Malariometrik (SM). Bentuk pelaksanaannya yaitu: (a) Malariometrik Survei Dasar (MSD) dengan tujuan mengukur tingkat endemisitas dan prevalensi malaria, di suatu bagian wilayah/status epidemiologi yang belum tercakup oleh kegiatan pemberantasan vektor, khususnya penyemprotan di luar Jawa-Bali. (b) Survei Malariometrik Evaluasi (SME) dengan tujuan mengukur dampak kegiatan pemberantasan vektor, khususnya penyemprotan rumah di daerah prioritas di luar Jawa-Bali bertujuan untuk konfirmasi KLB. MSD dilaksanakan pada saat
Universitas Sumatera Utara
prevalensi malaria mencapai puncak (point prevalence). Untuk mengetahui puncak tersebut, digunakan beberapa indikator : (1) Angka klinis di suatu daerah yang dikumpulkan oleh unit pelayanan kesehatan (UPK) setempat secara teratur setiap bulan yang diperkirakan jumlah penderita malaria paling tinggi. (2) Angka kepadatan vektor yang diperoleh dari penyelidikan entomologi. Survai malariometrik dilaksanakan 1-11/2 bulan sesudah kepadatan vektor tertinggi dicapai. Pada saat melakukan survai malariometrik
juga di lakukan
pemeriksaan limpa dengan menggunakan indikator Spleen Rate (SR) yaitu persentase dari orang yang membesar limpanya terhadap orang yang di periksa (Depkes RI, 2003). B.
Pengobatan Penderita Tujuan pengobatan secara umum adalah untuk mengurangi kesakitan,
menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah komplikasi dan relaps, dan mengurangi kerugian akibat sakit. Selain itu upaya pengobatan mempunyai peranan penting lainnya yaitu mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari seseorang yang mengidap penyakit kepada orang sehat lainnya. Adapun jenis pengobatan malaria meliputi: a. Pengobatan malaria klinis, adalah pengobatan penderita malaria berdasarkan diagnosa klinis tanpa pemeriksaan laboratorium; b. Pengobatan radikal, adalah pengobatan penderita malaria berdasarkan diagnosa secara klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Universitas Sumatera Utara
c. Pengobatan Mass Drug Administration (MDA), adalah pengobatan massal pada saat KLB, mencakup >80% jumlah penduduk di daerah tersebut. d. Penatalaksanaan malaria berat, dilakukan di semua unit pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuan dan fasilitas yang ada. e. Profilaksis, adalah pengobatan pencegahan dengan sasaran warga transmigrasi dan ibu hamil di daerah endemis malaria (Harijanto,2000). C.
Pemberantasan Vektor Pemberantasan vektor malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan;
Rationale, Effective, Efficient, Sustainable dan Acceptable yang sering disingkat dengan REESA. (Depkes RI,2004) a. Rationale adalah untuk lokasi kegiatan pemberantasan vektor yang diusulkan memang terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi kriteria yang ditetapkan, antara lain wilayah pembebasan: desa HCI dan ditemukan penderita indegenous dan wilayah pemberantasan PR >3 %. b. Effective, dipilih salah satu metode/jenis kegiatan pemberantasan vektor atau kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi, entomologi dan laporan masyarakat. c. Efficient, diantara beberapa metode kegiatan pemberantasan vektor yang efektif harus dipilih metode yang biayanya paling murah. d. Sustainable, kegiatan pemberantasan vektor yang dipilih harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil
Universitas Sumatera Utara
yang sudah dicapai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita. e. Acceptable, kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat setempat Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pemberantasan vektor adalah sebagai berikut (Depkes RI,2004): (a) penyemprotan rumah, (b) Larvaciding, (c) Biological control, (d) pengelolaan lingkungan (source reduction), dan (e) pemolesan kelambu dengan insektisida. D.
Parameter Pengukuran Malaria Menurut Depkes RI (2004), bahwa dalam studi epidemiologi yang paling
utama diperlukan adalah alat pengukuran frekuensi penyakit. Pengukuran frekuensi penyakit tersebut dititik beratkan pada angka kesakitan dan angka kematian yang terjadi dalam masyarakat (DepkesRI, 1999). Frekuensi penyakit dalam epidemiologi biasanya dalam bentuk perbandingan antara populasi. Unsur dalam perbandingan tersebut adalah pembilang (numerator), penyebut (denominator) dan waktu atau jarak (periode). Alat ukur yang biasa dipakai adalah rate dan ratio. Adapun ukuran-ukuran yang dipakai khususnya dalam penyakit malaria adalah sebagai berikut: (1) Annual Parasite Incidence (API) Adalah angka kesakitan per1000 penduduk dalam satu tahun adalah jumlah sediaan darah positif dibandingkan dengan jumlah penduduk, dalam permil (‰)
Universitas Sumatera Utara
API =
jumlah penderita Sediaan Darah positif dalam satu tahun x 1000 jumlah penduduk tahun tersebut
(2) Annual Malaria Incident ( AMI) Adalah angka kesakitan (malaria klinis) per 1000 penduduk dalam satu tahun dinyatakan dalam permil (‰) (Depkes RI,1999) AMI =
jumlah penderita malaria klinis dalam satu tahun x 1000 jumlah penduduk tahun tersebut
(2) Case fatality Rate (CFR) Digunakan untukmengukur angka kematian (kematian disebabkan oleh malaria falciparum) dibandingkan dengan jumlah penderita falcifarum (Depkes RI,1999) CFR =
jumlah penderita meninggal karena malaria falciparum x 100 % jumlah penderita malaria falciparum
(4) Annual Blood Examination Rate (ABER) Adalah jumlah sediaan darah yang diperiksa terhadap semua penduduk dalam satu tahun dan dinyatakan dalam persen (%), (Dep Kes RI, 1999) ABER =
jumlah sediaan darah diperika dalam satu tahun x 100 % jumlah penduduk tahun tersebut
(5) Slide Positif Rate (SPR) Adalah persentase dari sediaan darah yang positif dari seluruh sediaan darah yang diperiksa, dinyatakan dalam persen (%), (Depkes RI,1999) SPR =
jumlah sediaan darah positif x 100% jumlah seluruh sediaan darah yang diperiksa
Universitas Sumatera Utara
(6) Parasit Rate (PR) Adalah sama dengan SPR tetapi PR
ini digunakan pada kegiatan survei
malariometrik terhadap anak berumur 0 – 9 tahun (Depkes RI, 1999) PR =
jumlah sediaan darah positif x 100% jumlah seluruh sediaan darah yang diperiksa
(7) Spleen Rate (SR) Adalah adanya pembesaran limpa pada golongan umur tertentu terhadap jumlah penduduk yang diperiksa limfanya pada golongan umur yang sama dan tahun yang sama, dinyatakan dalam persen (Depkes RI, 1999) SR =
jumlah anak (2 − 9) tahun yang besar limpanya x 100% jumlah (2 − 9)tahun yang diperiksa limpanya
2.4. Pestisida Menurut Depkes RI (2000),, pestisida adalah semua bahan kimia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan untuk mengendalikan hama. Secara umum pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang dipergunakan untuk mengendalikan jasad hidup yang dianggap hama (pest) yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia. Pestisida yang dipergunakan dalam pemberantasan hama dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu (1) pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, (2) pestisida yang berasal dari hewan, dan (3) pestisida yang berasal dari bahan kimia. Secara umum pestisida yang lazim digunakan adalah pestisida berasal dari bahan
Universitas Sumatera Utara
kimia. Berdasarkan cara kerja atau pengaruh fisiologis, pestisida dapat digolongkan menjadi: (1) racun perut (stomach poisson), (2) racun kulit (contact poisson),(3) racun nafas. Sedangkan pestisida kimia secara farmakologis, dapat digolongkan menjadi (Depkes RI, 2000): (1) Senyawa organofosfat Senyawa organofosfat antara lain temasuk diazinon, dimethyl phosphate, dimeton, oxydimeton methyl, azinophosmethyl, carbophenothion, ethion, methyl parathion, ethyl parathion, trichlorfon, malathion dimethoate, phorate, dan dinitrodimeton. (2) Senyawa organokhlorin Senyawa organokhlorin antara lain DDT, BHC, chlorobenzilate, dicotol, aldrin, dieldrin, chlordane, neptachlor, metoxychlor, lindane, endrin, toxophene, methyl bromide, ethylene dichloride, carbon tetra bromide, ethylene dibromide. (3) Senyawa carbamat Senyawa carbamat dapat menghambat aktifitas enzim cholinesterase darah, dengan ciri khasnya mengandung unsur nitrogen. Senyawa carbamat seperti pyrolan, isolan, dimethilan, karbaryl (baygon, banol, mesurol, zectran).
2.5. Larvasiding Larvasiding adalah aplikasi larvasida pada tempat perindukan potensial vektor guna membunuh /memberantaskan larva dengan menggunkan bahan kimia atau agen biologis dan bahan kimia. Menurut WHO (2004), Larvicida adalah formulasi
Universitas Sumatera Utara
insektisida yang dapat diserap oleh tanah atau aplikasi untuk menekan perkembangan vektor sejak tahap. Penggunaan larvasida dinilai lebih efektif dan mengurangi biaya yaitu, pengendalian larva nyamuk sebelum mereka muncul sebagai nyamuk dewasa. Aplikasi larvacida merupakan komponen penting dari setiap program pengendalian nyamuk secara terpadu.
2.5.1. Larvasida Kimia Larvasida kimia adalah jenis-jenis larvasida dengan unsur kimia yang digunakan untuk memberantas nyamuk Anopheles spp. Jenis larvasida tersebut umumnya berbasis pestisida jenis organophosfat,
misalnya diflubernzuron yaitu
suatu zat pengghambat pembentukan cylitine, apabila larva nyamuk terkena dosis yang cukup, maka larva akan mati pada waktu menjadi pupa atau dapat menetas menjadi nyamuk tidak normal yang tidak dapat terbang. Selain itu larvasida smethoprene yang merupakan IGR (Insect Growth Regulator). Larvasida kimia dalam penelitian ini adalah s-methoprene. Metopren adalah serangga pengatur tumbuh yang sangat efektif sebagai agen kontrol untuk larva nyamuk, karena dapat menghambat dengan pematangan dan reproduksi dalam serangga. Metoprene adalah pengatur pertumbuhan serangga yang telah terdaftar sebagai pestisida yang digunakan secara umum sejak tahun 1975. Metoprene tidak memiliki efek yang signifikan toksikologi merugikan dalam setiap manusia efek kesehatan dan sebagai biokimia pestisida karena mengendalikan serangga melalui
Universitas Sumatera Utara
toksisitas langsung, mengganggu siklus hidup serangga dan mencegah dari mencapai kematangan dan mereproduksi. Secara komersial metoprhene dijual dengan nama dagang "Altosid". Produk komersial tersedia yaitu Altosid produk formulasi slow release seperti Briket, yang rilis bahan aktif terus-menerus ketika basah saat mereka mengikis selama periode yang berkisar antara 12 hari sampai 150 hari. Aplikasi larvasida ini bervariasi tergantung pada jenis habitat, kedalaman air dan kualitas air. Adapun rumus molekul metophrene adalah C19H34O3, yaitu
Gambar 2.1. Struktur Molekul S-metoprene Secara kimia, berbentuk rumus melekul S-metoprene terdiri dari Isopropil (2E, 4E)-11- Metoksi-3,7,11 - trimetil-2 ,4-dodecadienoate), dan secara fisik berwarna pucat kuning cairan dengan bau buah. Aplikasi Altosid adalah menempatkannya pada tempat perkembangbiayakan nyamuk yang areal dan lokasinya relatif sulit dan terpencil seperti rawa-rawa, hutan bakau, bekas galian pasir (lagun) dan lain-lain. Briket tersebut di bungkus dengan kain berpori atau jaring yang di ikat pada pasak (tiang) kemudian di masukkan kedalam air lebih kurang 15-20 cm yang di ketahui sebagai tempat potensial nyamuk (Wellmark, 2005). Altosid terdiri dari dua jenis yaitu jenis Altosid 1,3 G yang berbentuk granul (butiran) berwarna hitam dan bersifat terurai secara perlahan, dan Altosid 1,8 G yang
Universitas Sumatera Utara
berbentuk briket berwarna abu-abu dan juga bersifat terurai secara perlahan. Kedua jenis tersebut sangat cocok untuk mengontrol hampir seluruh populasi nyamuk. Altosid mengandung s-methoprene sebagai larvasida dengan cara kerja larva yang memakan atau terkena methoprene tidak dapat mengeluarkan cycilitin, sehingga pupa tidak dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa dengan pelepasan zat aktif secara bertahap. Altosid berisi zat arang (charcoal) yang melindungi zat aktif dari sinar matahari, tetap efektif pada serangga yang resisten terhadap organophophat, carbonat dan pyrethroid, serta efektif pada air dengan tingkat polusi tinggi seperti septic tank (Wellmark, 2005). Menurut Depkes RI (1999), penggunaan larvasida biologis jenis S-metoprene efektif menurunkan populasi larva nyamuk Anopheles spp sampai 82,1% pada dosis 3,0 ppm dan 4,0 ppm.
2.5.2. Larvasida Biologis Pengendalian vektor dengan bakteri Bacillus thuringiensis tidak menimbulkan kerugian pada mamalia, tanaman dan organisme bukan sasaran. Bakteri ini dapat bertahan pada suhu 00C-15 0C jika disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, dengan masa kadarluasanya 6 bulan sejak tanggal pembuatan. Menurut Widyastuti (1997) biosida ini dalam dosis 0,28 g/m2 efektif membunuh larva Anopheles barbirostris pada semua instar. Kematian rata-rata larva Anopheles barbirostris 24 jam setelah aplikasi Bacillus thuringiensis berkisar antara 80% - 100% (Depkes RI, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Bacillus thuringiensis memproduksi toksin yang terdapat dalam bentuk kristal yang sangat beracun dengan larutan alkalis yang terdapat dalam usus serangga terjadi perubahan kristal-kristalnya dan apabila diabsorbsi ke dalam darah menyebabkan kenaikan PH darah. Secara spesifik bakteri Bacillus thuringiensis terdiri dari Bacillus thuringiensis Serotype H-14, dan Strain HD-14, dan sub spesies Bacillus sphaericus, dan Bacillus thuringiensis israelensis Penggunaan B. thuringiensis H-14 (Vectobac 12
AS) untuk penurunan kepadatan larva Anopheles di Teluk Dalam, Pulau Nias, setelah penyemprotan pertama dan kedua berkisar antara 70,4-89,7% (Mujiyono, dkk,1996). Menurut Depkes RI (1999), penggunaan larvasida biologis jenis B. thuringiensis efektif menurunkan populasi larva nyamuk Anopheles spp sampai 82,1% pada dosis 4,0 ppm.
2.6. Landasan Teori Menurut Depkes RI (2004) upaya menurunkan faktor resiko penularan oleh vektor dapat dilakukan dengan meminimalkan habitat potensial perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor serta mengurangi kontak vektor dengan manusia. Pengendalian vektor tersebut salah satunya melalui larvasiding, yaitu aplikasi larvasida pada tempat perindukan potensial vektor guna membunuh /memberantaskan larva dengan menggunkan bahan kimia atau agen biologis, bahkan bahan kimia yang di pakai. Larvasiding dapat dilakukan dengan menggunakan Altosid dengan bahan aktifnya S-methropene dan Vektobac dengan bahan aktifnya Bacillus thurigiensis.
Universitas Sumatera Utara
Kedua bahan aktif tersebut dapat membunuh larva nyamuk dewasa sehingga memutuskan mata rantai populasi nyamuk Anopheles khususnya pada daerah endemis malaria. Konsep teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep Blum (1974), bahwa ada empat faktor utama mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat/individu yaitu perilaku, faktor lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor genetik. Kaitannya dengan kejadian malaria kecenderungan disebabkan oleh faktor perilaku, dan lingkungan baik lingkungan fisik, dan biologis. Pengendalian vektor melalui larvasiding
termasuk
dalam
upaya
manipulasi
keadaan
lingkungan
untuk
memberantas vektor penyebab malaria. 2.7. Kerangka Konsep Penelitian Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti pada Gambar 2.2. Altosid (S-Methropene) A1. Dosis 1,0 ppm A2. Dosis 2,0 ppm A3. Dosis 3,0 ppm A4. Dosis 4,0 ppm
Angka Kematian Anopheles spp
Vektobac (Bacillus thurigiensis) V1. Dosis 1,0 ppm V2. Dosis 2,0 ppm V3. Dosis 3,0 ppm V4. Dosis 4,0 ppm Faktor Penganggu (1) Suhu Air (2) Kelembaban (3) pH air Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara