BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Nyamuk anopheles hidup di daerah tropis dan subtropis. Indonesia adalah negara beriklim tropis sehingga menyebabkan masyarakat lebih mudah terserang penyakit malaria. Penyakit ini meningkatkan angka kesakitan dan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, balita dan ibu hamil karena kelompok ini memiliki daya tahan tubuh yang rendah (Kemenkes RI, 2009; Sorontou, 2013).
Balita adalah anak usia 1-5 tahun. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Pada masa ini sistem imunitas pada balita belum terbentuk secara sempurna. Oleh karena itu balita akan lebih mudah terkena infeksi. Hal ini yang menyebabkan balita rentan terhadap berbagai penyakit seperti malaria dan penyakit lainnya (Sutomo & Dwy, 2010)
Malaria
pada
balita
dapat
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan
dan
perkembangan. Plasmodium akan merusak sel-sel darah merah, dan dapat terjadi anemia. Saat sel darah merah pecah, parasit akan keluar ke peredaran darah. Secara normal mekanisme tubuh untuk melawan parasit melalui reaksi inflamasi akan terjadi. Saat terjadi reaksi inflamasi suhu tubuh anak akan meningkat. Apabila tidak segera tertangani maka akan mengalami kejang dan secara spontan 1
2
suplai O2 ke sel otak akan berkurang. Jika terjadi berulang dapat mempengaruhi perkembangan dan kecerdasan anak (Harijanto dkk, 2009 ).
Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria secara global pada tahun 2007 sebanyak 778.000 kasus. Tahun 2012 telah mengalami penurunan menjadi 627.000 kasus dan tercatat 482.000 (77%) kematian terjadi pada anak di bawah umur 5 tahun. Kematian akibat malaria di wilayah Asia Tenggara tahun 2012 terdapat 2,9 juta kasus. Tahun 2007 terdapat 40.000 kasus kejadian malaria positif dan tahun 2012 sebanyak 42.000 kasus (WHO, 2013).
Angka kematian akibat kasus malaria di Indonesia masih tinggi meski sudah mulai terjadi penurunan. Pada tahun 2010 jumlah kematian akibat malaria sebanyak 900 orang sedangkan pada 2011 menurun menjadi 432 orang. Kemudian tahun 2012, jumlah kematian akibat malaria sebesar 252 orang dan menurun pada tahun 2013 menjadi 200 orang. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan jumlah kematian akibat malaria 70 %. Kondisi ini didukung dengan berbagai strategi program penanganan malaria seperti diagnosis malaria secara dini
dengan pemeriksaan mikroskop, pemberian pengobatan yang tepat,
pencegahan berupa pendistribusian kelambu berinsektisida serta adanya pos malaria desa (Kemenkes RI, 2013).
Upaya mengatasi masalah penyakit malaria melalui komitmen Global dalam World Health Assembly (WHA) ke-60 tahun 2007 tentang eliminasi malaria bagi setiap negara. Salah satu indikator keberhasilan program eliminasi malaria adalah terwujudnya masyarakat yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria
3
secara bertahap sampai tahun 2030. Kabupaten/kota, provinsi, dan pulau dinyatakan sebagai daerah tereliminasi malaria bila tidak ditemukan lagi kasus penularan setempat (indigenous) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut serta dijamin dengan kemampuan pelaksanaan surveilans yang baik (Kemenkes, 2009)
Usaha dalam mencapai sasaran eliminasi malaria secara Nasional pada tahun 2030 maka ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang eliminasi malaria di Indonesia dengan target pada tahun 2010 seluruh sarana pelayanan kesehatan mampu melakukan pemeriksaan parasit malaria (semua penderita malaria klinis diperiksa sediaan darahnya/ konfirmasi laboratorium), pada tahun 2020 seluruh wilayah Indonesia sudah memasuki tahap pra-eliminasi (semua unit kesehatan sudah mampu memeriksakan kasus malaria secara laboratorium, peningkatan kualitas dan cakupan upaya pengendalian malaria untuk mencapai Annual Paracite Incidence < 1/ 1000 penduduk), pada tahun 2030 seluruh wilayah Indonesia sudah mencapai eliminasi malaria (Kemenkes, 2009).
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2013, prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6%. Provinsi dengan prevalensi malaria tertinggi adalah Papua (28,6%), Nusa Tenggara Timur (23,3%), Papua Barat (19,4%), Sulawesi Tengah (12,5%), dan Maluku (10,7%). Wilayah ini berada di Indonesia bagian timur. Hal ini disebabkan karena daerah di Indonesia bagian Timur merupakan daerah yang endemis atau masih banyak terdapat hutan dan rawa (Riskesdas, 2013).
4
Salah satu propinsi yang memiliki prevalensi kasus malaria tertinggi kedua adalah Nusa Tenggara Timur dengan presentase 23,3% (Riskesdas, 2013). Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan kasus malaria yang tinggi. Pada tahun 2010 kejadian malaria positif sebanyak 8.228 kasus. Dari jumlah kasus ini sebanyak 3.213 kasus dialami oleh balita, sementara pada tahun 2013 kejadian malaria positif turun menjadi 3.089 kasus dengan 1.025 kasus dialami oleh balita (Dinkes TTS, 2013).
Puskesmas Hoibeti merupakan puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Timur Tengah Selatan, yang mempunyai wilayah kerja sebanyak delapan desa dengan kondisi lingkungan yang di kelilingi hutan dan rawa-rawa. Hal ini menyebabkan masyarakat di dearah tersebut sering terserang malaria. Kejadian malaria pada balita telah mengalami penurunan pada tahun 2013 sebanyak 96 (0,8%) kasus dibanding tahun 2011 sebanyak 213 (0,17%) tahun dan 2012 sebanyak102 (0,9%) kasus. Meskipun telah dikatakan mengalami penurunan namun angka ini belum bisa mencapai target eliminasi malaria pada tahun 2030 sesuai Kepmenkes RI Nomor 293 Tahun 2009 (Puskesmas Hoibeti, 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas pengelola program malaria Puskesmas Hoibeti, mengenai upaya yang telah dilakukan untuk tindakan penanggulangan dan pencegahan malaria meliputi upaya pengobatan bagi yang terinfeksi malaria, pemantaun jentik nyamuk, kelambunisasi, foging, bersama masyarakat melakukan pembersihan lingkungan, membasmi daerah perindukan jentik, skrining ibu hamil dan pelacakan kasus malaria serta pemberian bubuk
5
abate. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, namun kejadian kasus malaria masih menjadi masalah bagi warga puskesmas setempat. Menurut pengelola program malaria hal ini disebabkan karena perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk belum maksimal. Kusumawati (2004) dalam penelitian A. Ma’ruf (2011) mengatakan bahwa upaya masyarakat untuk mengatasi penyakit malaria, masih berorientasi pada penyembuhan penyakit dibandingkan pencegahan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor pendidikan, faktor pekerjaan, adat istiadat dan kebiasaan serta perilaku masyarakat.
Berdasarkan hasil observasi peneliti selama berada di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti, tampak kebiasaan sebagian besar ibu sering membawa anaknya saat pergi berkebun. Kegiatan berkebun dilakukan mulai dari pagi hari hingga malam hari dan terkadang menginap di kebun. Waktu tempuh antara pemukiman warga dengan kebun rata-rata membutuhkan 30 menit perjalanan. Kebiasaan ibu-ibu pulang dari kebun pada waktu sore atau malam hari setelah selesai melakukan aktivitas perkebunan. Saat perjalanan pulang balita tidak diberikan perlindungan terhadap gigitan nyamuk, seperti balita di gendong tanpa menggunakan baju lengan panjang atau jaket, bahkan kadang tidak mengunakan baju. Saat tiba musim tanam dan panen balita sering juga dibawa oleh orang tuanya bermalam di kebun. Kondisi rumah di kebun yang darurat dan tidak menggunakan dinding menyebabkan balita berisiko terkena gigitan nyamuk. Namun dari hasil observasi masih ada juga ibu-ibu yang tetap memberikan perlindungan kepada balita dari
6
gigitan nyamuk seperti menggunakan baju lengan panjang, celana panjang dan menggunakan kelambu bila bermalam dikebun.
Penelitian Winardi (2004) menyebutkan resiko untuk terkena malaria 7,54 kali lebih beresiko bagi yang tidak melakukan perlindungan terhadap gigitan nyamuk dibanding yang melakukan. Penelitian Nurhayati (2005) di Kabupaten OKU mengenai upaya pemberantasan malaria perlu melibatkan anggota keluarga seperti memasangan dan menggunakan kelambu di ruang tidur, memakai obat nyamuk, memakai kassa pada ventilasi, dan tidak berada di luar rumah pada malam hari, serta bersama-sama membersihkan lingkungan untuk memberantas sarang nyamuk.
Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah perilaku ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2014?
7
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui perilaku ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2014.
1.3.2
Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengetahuan ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan
Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan. b. Mengetahui sikap ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan. c. Mengetahui tindakan ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan. d. Menganalisa Hubungan antara pengetahuan,sikap, umur, pendidikan, dengan tindakan ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan e. Menganalisa Hubungan antara data demografi (umur, pendidikan, pekerjaan) dengan perilaku ibu dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita di wilayah kerja Puskesmas Hoibeti Kecamatan Kot’olin Kabupaten Timor Tengah Selatan.
8
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti, sebagai referensi untuk menambah informasi yang mendukung
terkait perilaku pencegahan gigitan nyamuk dan mempelajari berbagai fenomena di masyarakat sehingga dapat megetahui intervensi keperawatan yang tepat dalam mengatasi masalah perilaku pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita. b. Bagi Ibu, sebagai suatu informasi untuk menambah pengetahuan, motivasi
untuk menumbuhkan sikap positif serta tindakan yang tepat terhadap upaya pencegahan gigitan nyamuk anopheles pada balita. c. Bagi Petugas Kesehatan, sebagai bahan masukan untuk petugas survei
malaria puskesmas dan sebagai bahan masukan untuk rencana program pencegahan dan penanganan malaria tingkat kabupaten.
1.4.2
Manfaat Teoritis
a. Hasil
penelitian sebagai
sumbangan referensi
dan pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan, khususnya keperawatan komunitas dan keluarga. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepustakaan dan informasi awal untuk melakukan penelitian selanjutnya.