TINJAUAN PUSTAKA
1 Malaria
Penyakit malaria disebabkan oleh parasit malaria ( Plasmodium ) stadium aseks,ual yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles, dengan tiga gejala khas yaitu demam naik turun secara teratur, menggigil dan berkeringat. Malaria mempakan masalah kesehatan di seluruh dunia d m merupakan penyakit yang menyebabkan kesakitan dan kematian di negara-negara yang sedang berkembang. Penyakit malaria tersebar luas di wilayah geografis
Afrika, Asia,
Kepulauan Pasifik, Amerika tengah dan Amerika selatan, sedangkan di wilayah geogafis Eropa telah berkurang. Penyebaran penyakit malaria ini tidak terjadi pada daerah yang memiliki ketinggian 2000 m di atas pemukaan laut. Di wilayah Guatt:mala pada ketinggian 3200 m di atas pennukaan laut ditemukan Anopheles parapunctipennis tetapi tidak menjadi vektor, karena pada ketinggian ini, siklus perkembangan sprogoni Plasmodium dalam tubuh nyamuk tidak terjadi. Penyebaran penyakit malaria juga dibatasi oleh suhu ligkungan. Pada suhu dibawah 15 "C Plasmodium v i v a tidak dapat menyempurnakan siklus spmgoninya, akan tetapi pada Plasmodium falciprum, dapat menyempumakan siklut; sporogoninya pa& suhu di atas 20 OC (Wemsdorfer dan Mc. Gregor 1988). Penyebaran penyakit malaria di Indonesia terdapat di seluruh propinsi dari Nangm Aceh Darussalam ( NAD ) sampai Papua (Depkes 1999a). Hasil pemeriksaan sediaan darah yang positif malaria di luar Jawa dan Bali dengan kategori low prevalent area (LPA) dengan angka parasit kurang dari 2 % terdiri atas propinsi Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Kategori medium prevalent area (MPA) dengan angka parasit 2 Yo-5% yaitu propinsi Nangro Aceh Damr:salam, Bengkulu, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat clan Kalimantan Barat. Kategori high prevalent area ( HPA ) dengan angka parasit l e b i dari 5 % yaitu propinsi Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua ( Depkes 1990 ).
Nyamuk Anopheles yang dinyatakan sebagai vektor di Indonesia adalah An. sundaicus sebagai vektor di daerah pantai, terdapat di wilayah propinsi
Nangro Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan K a l i t a n Timur. Nyamuk An. aconihcs sebagai vektor di daerah pertanian padi dengan sawah bertingkat, terdapat di wilayah propinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara
dan Kalimantan Tengah. Nyamuk An. subpictus sebagai vektor di daerah pantai, terdapat di wilayali propinsi Bengkulu, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Nyamuk An. barbirostris sebagai vektor di daerah sawah dan saluran irigasi, terdapat di wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Nyamuk An. birlabacencis sebagai vektor di daerah hutan atau daerah pedalaman, terdapat di wilayah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, K a l i t a n Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Nyamuk An. lectifer sebagai vektor di daerah pinggir pantai, terdapat di wilayah propinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Nyamuk An. farauti sebagai
vektc~rdi daerah rawa-rawa dan saluran air, terdapat di wilayah propinsi Maluku dan Papua. Nyamuk An. koliensis sebagai vektor di daerah rawa-rawa yang
tertuiup, terdapat di wilayah propinsi Papua. Nyamuk An. nigerimus sebagai vektc~rdi daerah rawa dengan tanaman air, terdapat di wilayah propinsi Sumatera Baral, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Nyamuk An. sinensis sebagai vektor di daerah rawa dengan tanaman air, ter&pat di wilayah pmpinsi Sumatera Utara. Nyamuk An. flavirostris sebagai vektor di
daerah sungai yang tepinya berumput, terdapat di wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Nyamuk An. korwari sebagai vektor di daerah pegunungan, terdapat di wilayah propinsi Papua. Nyamuk An. maculatus sebagai veldor di daerah pegunungan atau berbukit, terdapat di wilayah pmpinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengab dan Kalimatan Tengak Nyamuk An. bancrofii sebagai vektor di daerah rawa dengan tumbuhan palcis, terdapat di wilayah propinsi Papua. Nyamuk An. barbumbrosus sebagai vektor di daerah hutan, terdapat di wilayah propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Nyamuk An. punculatus sebagai vektor daerah tepian sungai, terdapat di wilayah propinsi Maluku dan Papua. Nyamuk An. minimus sebagai vektor di wilayah propinsi Sulawesi Utara. Nyamuk An. iongiroshis sebagai vektor di wilayah propinsi Papua dan nyamuk An. leucosphyrus sebagai vektor di wilayah propinsi Kalimantan Selatan ( Depkes 1990 ). 2 Pttmberantasan malaria 2.1 Roll back malaria
WHO menerapkan empat strategi pemberantasan malaria yaitu diagnosa dini, pengobatan segera, pencegahan dan pengendalian vektor serta
tentang penyakit malaria. Pengenhlian malaria
penelitian
telah dikembangkan di lebih
dari 80 % negara-negara endemik malaria. Sejak tahun 1992,
strategi
pengendalian malaria secara global oleh Direktur Jenderal WHO Dr. Gro Harlem, yang mengharuskan adanya adanya komitmen guna melawan malaria. Komitmen ini bukan hanya pada bidang kesehatan tetapi juga bidang p e m e ~ t a hlain, serta bidang swasta yang secara langsung ataupun tidak berhubungan dengan malaria. Pencanangan 'Roll back malaria' ini dilakukan pada tanggal 30 oktober 1998 ( CDC 2000 ). Di Indonesia pencanangan 'Gebrak malaria' ( Gerakan berantas
kembali malaria ) secara nasional telah dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan RI di kabupaten Belu propinsi Nusa Tenggara Timur pada Tanggal 7 April 2000 dan terpilih Kabupaten sebagai percontohan di Indonesia yaitu Kabupaten Kepulauan Riau, Cilacap dan Lombok. Kegiatan pemberantasan malaria di tiga Kabupaten ini melibatkan kerjasama dengan sektor perikanan, pengembangan wilayah dan perm~lkiman,tenaga kerja, pariwisata, pertambangan, kehutanan, swasta dan masyarakat ( Depkes 2000 ). 2.3 Obat malaria
Obat malaria dibuat untuk penanggulangan parasit dalam tubuh manusia. Menurut Depkes ( 1999d ) ada lima obat utama yang dipakai dalam program pemb~:rantasan malaria yaitu menggunakan obat klorokuii pirimetamin, prima:kuin, kina dan kombiiasi antara sulfadoksin dan pirimetamin. Dosis penggunaan obat ditentukan oleh urnur penderita, berat badan dan jenis parasit. Selain di Indonesia juga pada negara endemis malaria beredar obat klorokuin, proguimil, mefloquin, pirimetamin-sulfadoksin, pirimetamin-dapsone, doksisiklin, halofantrin dan quinin (David 1993 ; Bradley 1995). Pa& saat ini juga ada obat
baru untuk malaria yaitu artemeter ( Hien 1994 ) Menunit WHO (1998) Obat dari Cina ini mengandung zat-zat aktif artemisin, artemether dan lumefantrin.
Arterneter merupakan lakton sesquiterpen yang diambil dari bahan alami artemisinin. Lumefantrin merupakan sintesis rasemik dari campwan fluren. Satu tablet mengandung 20 mg artemeter dan 120 lumefantrin. Departemen Kesehatan
RI dengan bantuan WHO melakukan pengobatan masal bagi penderita malaria dengiln menggunakan obat ban! dari Cina pada bulan September 2001 di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Purworejo. 2.4 P'emberantasan Vektor
Pemberantasan atau pengendalian vektor pa& dasarnya meliputi berbagai upaya yaitu tahap demi tahap baik dari segi pelaksanaan maupun pengawasan yang tiilakukan terus menerus. Pengendalian vektor di Kenya menggunakan insektisida fenitrotion selama dua tahun, secara umum &pat mengurangi angka kasus kematian dari 23.9 menjadi 13.5 per1000 penduduk ( Molineaux dan Gramiccia 1980 dalam Wermidorfer dan Mc. Gregor 1998 ). Di Twki pengendalii velctor dengan menggunakan DTT dari tahun 1925 sampai tahun 1957 ( Ramsdale dan Hass 1978 )
Program pengendalian vektor di Indonesia terhadap nyamuk dewasa telah
dilakukan dengan penyemperotan rumah penduduk dengan insektisida DDT sampai tahun 1990. Setelah tahun 1990 digunakan insektisida bendiocarb 80 %
WP dosis 0.18 hingga 0.22 gr bahan aktif /ml perm-
( dimding, jendela,
pintu, lemari ), lambdasihalotrin 10 % WP dengan dosis 0.025 hingga 0.075 gr
bahan aktif /m2 permukaan ( d i i i g , jendela, pintu, lemari ), deltametrin 5 % WP dosis 0.18 hingga 0.022 gr bahan aktii?m2 permukaan ( dimding, pintu, jendela, lemari), etofenproks 20.5 % WP dosis 0.09 hingga 0.1 1 dm2 permukaan (dinding, jendel;~, pintu, lemari ) dan permetin 100 EC untuk pencelupan kelambu
digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan untuk pengendaliaan larva Anopheles agar tidak tumbuh menjadi nyamuk dewasa antara lain
dengan
menggunakan rnsect growth regulator ( IGR ), penebaran ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah ( Panchax panchar ), ikan gapi ( Poecilia reticulatas ), dan Bacrllus thurrngrensrs israelensis H - I4 ( Depkes 1999b ).
3
Vaksin malaria Xingga saat ini belum ada cara untuk memperoleh antigen sporozoit &lam
jumlah memadai dalam waktu singkat yang diperlukan untuk penyelidikan eksperimental, apalagi untuk vaksin yang dipakai secara lebii luas. Menurut Yosida ( 1980 ) di negara Amerika Serikat untuk pertama kali di t e m u h antigen protektif utama parasit malaria pada binatang pengerat yaitu PB 44, suatu polipetida dengan massa atom f 44 kilodalton.
Penelitiannya
men~mjukkan bahwa antibodi monoklon terhadap antigen ini menyebabkan sporozoit tidak menjadi infektif pada mencit. Pada bhun 1988 , seorang ahli dari Kolombia menyatakan bahwa ia telah menemukan vaksin malaria. Vaksin kimia SPF 66 yang diuji ternyata men~lnjukkanp e n m a n malaria kliiis sebesar 30 persen.
Perwbaan yang
dilakukan di negara Tanzania pada anak-anak dilaporkan mengalami penurunan sebesar 30 persen. Percobaan kedua di Gambia dilakukan pada bayi usia 6 bulan 1 tahun menunjukkan penurunan hanya sebesar 8 persen. Dr Emanuel Pataroya
pengembang vaksin ini mendapatkan kritik atas percobaan vaksinnya yang tidak behasil dengan baik terhadap bayi, karena tidak menimbulkan sistem kekebalan yang maksimal, sedangkan kasus malaria banyak menimpa anak-anak umum 1 - 5 tahun hingga umur 10 tahun. Vaksin malaria sampai saat ini keberhasilan
pembuatan dan penggunaan vaksin ini masih kwang memuaskan dan masih d a l m ~penelitian, sehingga belum digunakan oleh WHO ( Goldman 2000 ). 4 Reristensi
Resistensi adalah kemampuan parasit untuk dapat hidup dan atau berkelmbang biak walaupun diberikan obat terhadap parasit tersebut dalam dosis standat atau lebih tinggi dari pada dosis standar. Permasalahan resistensi yang masih ada dalam program pemberantasan penyakit malaria sampai saat ini adalah sebag.ai berikuit : 4.1 Resistensi terhadap insektisida
Pada tahun 1955, An. sacharovi di Lebanon, Iran dan Twki serta An.szuqdarcus di Indonesia dan Myanmar dilaporkan resisten terhadap DDT. An. quadrimaculatus di Meksiko ditemukan resisten terhadap dieldrin, An. ~acha~rovi di Yunani semakin resisten terhadap kedua insektisida DDT dan dieldrin (WHO 1963). Pada tahun 1964 spesies Anopheles (terutama vektor) yang ditem~lkan di wilayah malaria di seluruh dunia menunjukkan peningkatan resistensi terhadap DDT ; 14 spesies resisten terhadap dieldrin dan 10 spesies resisten terhadap DDT dan dieldrin (WHO 1970). 4.2 Resistensi terhadap obat-obatan Penggunaan
obat malaria dalam skala besar pada masyarakat yang
tejangkit malaria secara endemik dengan cepat diikuti oleh resistensi parasit malaria terhadap obat tersebut. Meskipun obat malaria menunjukkan hasil yang nyata, namun demikian pada tahun 1960 di Kolombia ditemukan P. falciparum yang resisten terhadap khloroquin, begitu pula di Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Brazil ( Wernsdorfer dan Mc. Gregor 1988 ). WHO (1987)
melaporkan di Somalia dan Nigeria Plasmodium falciparum resisten terhadap kho1o:roquin. Pada beberapa negara, obat kina dapat digunakan sebagai obat altematif meskipun harganya menjadi tinggi terutama saat khloroquin tidak berhasil. Di terhadap khloroquin
menggunakan
Indonesia resistensi Plasmodium jhlciparum
sejak tahun 1973 ditemukan di pulau Jawa, Kalimantan,
Sumatera dan Papua ( Depkes 1983 ). 4.3 Nyamuk eksofilik
Eksofilik adalah sifat atau kebiasaan nyarnuk yang suka hiiggap istirahat di luar rumah sampai saat telurnya sudah mas& dan siap untuk diletakkan ditempat perindukan. Nyamuk ini sebagian besar dari walctu siklus gonotropiknya di l w tempat berlindung manusia. Pengendalian nyamuk dewasa banyak menggunakan penyemperotan rumah, namun demikian bagi vektor yang bersifat
eksofilii met&
penyernperotan rumah ini kurang mengenai sasaran karena vektor tidak pemah berkor~takdengan insektisida yang disemprotkan. Wersndorfer dan Mc. Gregor (1988) melaporkan ada bebetapa nyamuk eksofilik misalnya di Venezuela An.
nunezrovari di daerah hutan berbukit, di Asia Tenggara An. balabacencis dan di padang rumput bagian utara Afiika An. arabiensis.
5
Rrktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketertarikan Nyamuk Terhadap hang Pada setiap jenis nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam mencari
hospesnya. Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor - faktor yang mempengaruhi nyamuk dalam mencari hospes adalah faktor suhu, kelembaban, karborl dioksida, aroma dan visual.
5.1 Suhu Suhu merupakan faktor penting dalam penemuan hospes. Menurut Crumb (192:! ) dalam Bates (1970 ), di laboratorium nyamuk Culex pipiem akan lebih banyak tertarik pada suhu 32 - 43 "C, tetapi pada suhu di bawah 30 OC dan suhu
di atirs 49 OC kurang mendapat daya tarik sedangkan pada suhu di atas 60 "C nyamuk akan menjauh. Daya tarik nyamuk terhadap subyek yang dipanaskan di bawah suhu udara dalam laboratorium dan percobaan lapangan menyatakan bahwa suhu adalah faktor penting dalam pencarian sasaran ( Peterson dan Brown 1951). Brown ( 1951 ) melaporkan jika salah satu tangan manusia di diginkan sampai suhu 22 OC dan tangan yang lainnya pada suhu 30 OC, maka tangan yang lebii dingin kurang menarik untuk di gigit nyamuk.
5.2 Kelembaban Kelembaban dapat mempengaruhi dan merangsang nyamuk untuk menggigit kepatla hospesnya. Nyamuk Aedes aegypti di dalam kandang olfaktometer yang besar, akan tertarik mendekati aliran udara hangat dengan kelembaban 80 persen
sampai 90 persen dan pada kelembaban 15 persen sampai 20 persen kurang tertarik ( Brown et ~1.1951).Tetapi menurut Reuter ( 1936 ) dalam Clement (1963) bahwa di lapangan tidak ada bukti yang menunujukkan pentingnya tingkat kelembaban bagi orientasi kepada hospes,
disimpulkan bahwa kelembaban
mungkin merupakan sebagian dari faktor penting yang becasal dari hospes dan m e ~ l p ~ k adaya n tarik nyamuk pada jarak dekat. 5.3 Karbon dioksida Pengaruh karbon dioksida terhadap perilaku menggigit masih banyak dipertdebatkan. Menurut Headle ( 1974 ) dalam Service (1976) pada pemasangan
New Jersey light trap, dengan menambahkan karbon dioksida selama dua jam &pat meningkatkan jumlah nyamuk yang tertangkap menjadi empat kali. Karbon diokriida yang mempakan sisa metabolisrne tubuh diekskresikan melalui saluran pemafasan, sehiigga nyamuk lebii banyak hiiggap di bagian kepala dari pa& anmDta tubuh lain ( Dayki et al. 1965 ). Carlson et al. (1992) yang melaporkan dalmn penelitiannya dengan alat olfaktometer menunjukkan tidak ada hubungan penanbahan produksi C 0 2 dari tangan dengan daya tarik Aedes aegypti menggigit hospes.
5.4 Aroma Aroma sebagai salah rangsangan yang menuntun serangga dalam mencari makanannya. Willis ( 1947 ) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa aroma tangan manusia merupakan rangsangan yang menatik terhadap nyamuk Ae.
Aeg~ptidan An. quadrimaculatus. Daya tarik urin manusia terhadap nyamuk Ae.aegypti dilaporkan oleh Roessler (1961 ) dalam Clements ( 1963 ) yang menunjukkan adanya daya tarik urine manusia terhadap nyamuk tersebut. Reuter ( 1936 ) dalam Clements (1963), memperoleh hasil negatif dalam meneliti
keringat sebagai sumber yang menimbulkan daya tarik nyamuk. Aroma darah sapi ciilaporkan mempunyai daya tarik terhadap nyamuk Ae.aegypii empat kali
iebii besar daripada air, dan plasma darah lima kali lebih besar daripada air (Bwg,essdan Brown 1957).
5.5 Visual Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih hospes. Bentuk
dan pemantulan cahaya serta gerakan hospes temyata merupakan faktor penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari, untuk
datang kepada hospes (Sippel dan Brown 1953). Browne dan Bennett (1981) melaporkan bahwa Aedes aegvpfi lebih banyak menggigit tangan yang memakai kaos l m n a gelap dari pada tangan yang memakai wama terang. Walaupun faktor visual telah dibuktikan mempengaruhi nyamuk tetapi tidak semua nyamuk tergarltung kepada faktor tersebut. Tetapi diperkirakan faktor visual berperan penting terutama pada nyamuk yang menggigit siang hari. Nyamuk Anopheles menggigit pada mulai senja hingga malam hari, berbeda dengan nyamuk Aedes yang tnenggigit siang hari. 6 Pola Menggigit nyamuk Anopheles Ptyamuk Anopheles maculatus bersifat zoofilik, menyenangi darah hewan (kerba~u)dan aktifitas menggigit nyamuk Anopheles maculatus ini tertinggi antara pukul21.00 sampai pukul 24.00 WIB, dan aktifitas menggigit orang antara pukul 20.00 - 23.00 (Priyadi et al. 1987). Menwut
R a t t a n a r i h i et al. (1996)
nyamuk Anopheles maculatus di perkampungan Palao-u Thailand aktif menggigit orang pada malam hari dari pukul 18.00 - 01.00. Distribusi An. annularis meliputi wilayah Afganistan, Pakistan, India, Filipir~a,Sri Lanka, C i a dan Indonesia ( Rao 1981 ). Habitatnya pada air yang mengalir lambat atau air yang tidak mengalir, tetapi juga menyukai air yang mengscndung garam ( Rao 1981 ). Menurut Lestari et al. (1999) di Bukit Baru Jambi Anopheles annularis ditemukan aktif menggigit dari puku123.00 - 01.00 malam. Distribusi An. vagus ini meliputi wilayah India, Hongkong, Pakistan, Sri Lanka dan Indonesia ( Rao 1981 ). Habitatnya pada tempat
- tempat air agak
k e d ~yang tertutup sinar matahari, air sawah yang aliran aimya lambat (Muirhead Thomson 1970 dalam Rao 1981 ). Nyamuk Anopheles vagus bersifat eksofagik, menggigit orang di luar rumah di Kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan (Idram et al. 1993). Lestari et al. (1999) melaporkan Anopheles vagus di Tanah Laut Kalimantan Se1at.m aktif menggigit orang pada pukul2 1.OO sampai dengan 02.00 malam. Penyebaran An. balabacencis meliputi wilayah India, Bangladesh, Birma, Thailand, Indonesia, Malaysia, Kamboja, China, Taiwan dan Filipina ( Rao 1981). Untulc wilayah Indonesia meliputi propinsi Kalimantan T i u r , Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Jawa Tengah ( Depkes 1990). Habitatnya daerah hutan yang cukup basah terdapat genangan air tawar dalam hutan yang permanen ataupun sementara, tetapi tidak ditemukan pada habitat yang terkena matahari langsung ( Khin - Maung-Kyi 1971 dalam Rao 1981 ). Nyamuk Anopheles balabacencis menyukai darah manusia, dan mempunyai aktifitas menggigit orang sepanjang malam
(Priyadi et al. 1987).
Menurut laporan tahunan SPV (1990) di Desa Konga Flores Timur propinsi NTT Anopheles balabacencis paling dominan menggigit orang di dalam rumah. Menurut Lestari et al. (1999) di Muara Bungo Jambi Anopheles balabacencis &if ~nenggigitorang puku122.00 sampai 03.00, tetapi di Tanah Laut Kalimantan Selatan, aktif menggigit orang pukul 19.00 sampai 24.00. Di perkampungan Pa1ao.u Thailand Anopheles balabacencis aktif menggigit orang malam hari antara pukul 18.00 - 23.00 (Rattanarithikul et al.1996).
7 Kkbutuhan darah
Menurut Shelton (1973) nyamuk betina menghisap darah termasuk &lam siklw; perkembangbiakan nyamuk betina. Ada dua k e m u n g k i i hubungan antara darah dengan perkembangbiakan nyamuk yaitu pertama, &rah yang masuk dapat
mempakan rangsangan pada ovarium. Kedua, darah melengkapi kebutuhan bahan nutricii untuk perkembangan telur. Pada nyamuk yang bersifat autogen kebutuhan darah tidak merupakan suatu ha1 yang utama karena kelompk nyamuk ini telumya
berkembang tanpa menghisap darah. Nyamuk betina dewasa dapat menghasilkan telur tanpa membutuhkan &rah tergantung pada makanan yang di dapat pa& waktu stadium dewasa ( Bates 1970 ). Shelton (1973) &lam penelitiannya dengan
C u l a salinarius yang diberi makan darah dari empat sumber yaitu, ayam, manusia, marmut dan kwa-kura mendapatkan bahwa hasil yang paling baik dengan darah ayam.