4
TINJAUAN PUSTAKA Malaria Malaria merupakan penyakit yang diakibatkan oleh parasit darah yakni Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Zein 2005; NIAID 2007; Nahrevanian et al. 2010). Penyakit ini sudah ada sejak jaman Yunani. Penyakit ini pada manusia memiliki gejala yang khas dan mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur. Sejak saat itu sudah ditimbulkan adanya febris tersiana dan febris kuartana. Disamping itu pula juga terjadi splenomegali, sehingga dahulu penyakit ini dinamakan demam kura (Pribadi 2000). Meskipun penyakit ini sudah dikenal lama, tetapi penyakit ini belum diketahui pasti penyebabnya. Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh hukuman dari dewa-dewa karena wabah terjadi di sekitar Roma. Di Roma, seperti di daerah yang beriklim sedang, malaria sering terjadi di rawa-rawa. Di daerah sekitar rawa tersebut mengeluarkan bau busuk, sehingga penyakit tersebut diberi nama malaria, nama ini berasal dari Italia yaitu “ mal area” atau udara buruk (Pribadi 2000; NIAID 2007). Baru pada tahun 1880, seorang ilmuan Prancis, Alphonse Laveran menemukan penyebab dari penyakit ini, yakni Plasmodium. Plasmodium adalah parasit bersel tunggal berbentuk pisang yang ditemukan dalam darah seorang penderita penyakit tersebut. Hampir 20 tahun kemudian, ilmuwan yang bekerja di India dan Italia menemukan bahwa nyamuk Anopheles sebagai vektor malaria ( NIAID 2007). Ada empat spesies yang umumnya menginfeksi manusia yaitu: P. falciparum, P. malariae, P. vivax, dan P. ovale (NIAID 2007). Hampir semua jenis Plasmodium ini menunjukan gejala demam. Menurut Pribadi (2000), demam yang muncul terjadi secara periodik yang berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam darah dan mengalami sporulasi. Contohnya saja pada malaria tersiana yang diakibatkan oleh P. vivax dan P. ovale. Pada malaria jenis ini skizon menjadi matang setiap 48 jam sehingga periodisitas demamnya bersifat tersian. Begitu pula dengan malaria kuartana yang diakibatkan oleh P. malariae. Pada malaria ini terjadi dengan
5
interval 72 jam. Timbulnya demam juga bergantung pada jumlah parasit yang dapat dihitung pada sediaan darah. Demam yang terjadi dapat bersifat intermiten juga remiten atau terus-menerus. Plasmodium berghei Plasmodium berghei (gambar 1) adalah salah satu hemoprotoza yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil (Jekti et al. 1996; Uskup 2008). Menurut Noble dan Noble (1989), malaria ini dapat ditemukan pada rodensia murina, tupai terbang, landak dan dengan mudah dapat ditularkan kepada bermacam-macam hewan laboratorium. P. berghei pertama kalinya ditemukan oleh Vincke pada tahun 1946 dari ulasan darah lambung nyamuk Anopheles duremi. Tahun 1948, ditemukan juga dalam ulasan darah dari Grammomys surdaster yang dikumpulkan di Kisanga, Katanga, Zaire atau Republik Demokrasi Congo (Sinden et al. 2008). Klasifikasi P. berghei P. berghei menurut Noble dan Noble (1989) memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom
: Protozoa
Filum
: Apicomplexa
Kelas
: Sporozoasida
Subkelas
: Coccidia
Ordo
: Eucoccida
Subordo
: Haemosporina
Famili
: Plasmodidae
Genus
: Plasmodium
Species
: Plasmodium berghei
6
Gambar 1 P. berghei dengan pewarnaan giemsa (Nahrevanian et al. 2010).
Siklus Hidup Umumnya siklus hidup dari Plasmodium sama, baik Plasmodium pada manusia maupun pada hewan. Siklus ini terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata. Fase aseksual terdiri atas fase eritrosit (skizogoni eritrosit) dan fase dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit) (Pribadi 2000). Berikut gambar dari siklus hidup P. berghei baik pada fase aseksual maupun fase seksual.
Gambar 2 Siklus hidup P. berghei (CDC 2010).
7
Fase Seksual Fase ini terjadi ketika nyamuk Anopheles betina menghisap darah inang yang mengandung parasit malaria, maka parasit aseksual dicernakan bersama dengan eritrosit. Namun gametosit dapat tumbuh terus. Kemudian inti pada mikrogametosit membelah menjadi 4 – 8 yang masing-masing menjadi bentuk flagel dengan ukuran 20 – 25 mikron yang menonjol keluar dan bergerak-gerak, kemudian melepaskan diri (Pribadi 2000). Menurut LUMC (2011), hanya dari gametosit dewasa yang dapat mengalami tahap perkembangan lebih lanjut dalam alat pencernaan nyamuk untuk mengalami gametosis. Pada saat terjadi mikrogametosis, beberapa filamen dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Selanjutnya pembuahan akan terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung (Zein 2005). Ookinet ini memiliki panjang 8 – 24 mikron. Kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar lambung menjadi ookista. Jumlah ookista di dalam lambung nyamuk Anopheles dapat mencapai ratusan. Ookista akan semakin besar, bila mencapai diameter 500 mikron dan intinya membelah serta pigmen tidak tampak lagi, ookista akan pecah. Selanjutnya ribuan sporozoit dilepaskan dan mencapai kelenjar liur nyamuk. Bila nyamuk ini menghisap darah inang, maka sporozoit dimasukkan ke dalam luka dan beredar dalam darah inang dan mulailah siklus preeritrosit. Pematangan gametosit hingga menjadi sporozoit infektif memerlukan waktu selama 8 – 35 hari tergantung suhu luar dan spesies parasit (Pribadi 2000). Fase Aseksual Fase ini dimulai dari fase preeritrosit, yaitu masuknya sporogoni dalam peredaran darah saat nyamuk Anopheles betina menghisap darah dan setelah ½ sampai 1 jam sporozoit masuk ke dalam sel hati dan berkembang biak (Pribadi 2000). Menurut LUMC (2011), dalam waktu 51 jam, sporozoit memiliki panjang 12 µm dan berkembang menjadi skizon hepatik dewasa dengan diameter mencapai 30 µm. Selanjutnya skizon mengalami pembelahan dan membentuk merozoit.
8
Setelah ruptur dari fase preeritrosit, merozoit hepatik keluar dan memasuki sel-sel darah merah, maka siklus eritrositik dimulai. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit, tropozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang
menjadi skizon matang dan membelah banyak
menghasilkan merozoit (Pribadi dan Sungkar 1994). Menurut Pribadi (2000), setelah proses skizogoni selesai, eritrosit akan pecah dan merozoit akan dilepaskan dalam aliran darah. selanjutnya merozoit memasuki eritrosit baru. Antimalaria Antimalaria merupakan suatu senyawa kimia yang digunakan sebagai pengobatan terhadap malaria. Kuinin merupakan salah satu obat yang digunakan untuk menangani malaria. Pertama kali kuinin ini diekstrak dari kulit pohon kina pada tahun 1820. Tahun berikutnya ditemukan anti malaria lainnya seperti mekaprin, klorokuin, proguanil, primakuin, serta derifat klorokuin seperti amodiakuin, pirimetamin, meflokuin, halofantrin, artemeter, dan pironaridin (Tan dan Kirana 2007). Menurut Pribadi (2000), berdasarkan suseptibilitas berbagai stadium plasmodium, obat malaria dibagi menjadi lima golongan yaitu; skizontosida jaringan primer (proguanil, pirimetamin), skizontosida jaringan sekunder (primakuin), skizontosida darah (kina, klorokuin, amodiakuin, proguanil, pirimetamin), gametositosida (primakuin, kina, klorokuin, amodiakuin), dan sporontosida (primakuin, proguanil). Namun berdasarkan rumus kimianya terbagi menjadi 9 (primakuin), amodiakuin),
golongan
yaitu:
9-aminoakridin biguanida
alkaloid
cinchona (kina), 8-aminokuinolon
(mepakrin), (proguanil,
4-aminokuinolin klorproguanil),
(
klorokuin,
diaminopirimidin
(pirimetamin, trimetoprim), sulfon dan sulfonamid (sulfadoksin), antibiotik (tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin), dan kuinolinmetanol dan fenantrenmetanol (meflokuin). Menurut Tjitra (1993), secara umum yang tersedia di dunia antimalaria dikelompokan sebagai berikut: antimalaria kelompok kuinolin (klorokuin, kina, primakuin, amodiakuin, meflokuin dan halofantrin), antimalaria
kelompok
antifolat
(sulfadoksin,
pirimetamin,
proguanil,
9
klorproguanil, dan dapson), dan antimalaria baru (artemisinin, lumefantrin, atovakuon, tafenoluin, pironaridrin, piperakuin, artemison dan antibiotik). Akar Kayu Kuning (C. fenestratum) Tanaman kayu kuning merupakan tanaman obat hutan yang sudah dimanfaatkan secara tradisional. Tanaman ini memiliki nama ilmiah Coscinium fenestratum (Noerhidayah et al. 2008). Di Thailand tanaman ini disebut “Hamm” merupakan tanaman semak yang merambat yang memiliki batang silindrikal, kayu kuning dan getah kuning (Dechwisissakul et al. 2000). Tanaman ini sudah banyak yang memanfaatkannya sebagai tanaman obat oleh masyarakat. Contohnya di Indonesia, Suku Sakai di Bengkalis memanfaatkan akar tanaman ini untuk obat kencing manis dan sakit kuning. Suku Anak Dalam di Sumatra Selatan memanfaatkannya sebagai obat sakit kuning, Suku Punan Lisun dan Punan Bekatan di Kabupaten Kutai Kalimantan Timur memanfaatkannya sebagai obat malaria dan sakit pinggang (Sangat et al. 2000). Selain itu masyarakat pedesaan di Thailand juga memanfaatkan batang dari tanaman ini untuk obat hipoglikemia, pencahar, hipotensi, dan anti diabetes (Wattanathorn et al. 2006) Klasifikasi Tanaman ini diklasifikasikan sebagai berikut; Kingdom
: Plantae
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dikotiledonae
Sub kelas
: Ranunculidae
Ordo
: Geraniales
Famili
: Menispermaceae
Genus
: Coscinium
Species
: Coscinium fenestratum
(Dey 1984 dalam Joy et al. 1998). Morfologi Tumbuhan akar kuning merupakan tanaman berasal dari keluarga Menispermaceae. Jenis tanaman ini dapat tumbuh mencapai 10 – 30 m. Tanaman
10
ini berbatang silindris dengan bagian luarnya berwarna agak coklat kekuningan dan bagian dalamnya berwarna kuning (gambar 3a). Batangnya tidak terdapat lingkaran tahun dan lingkaran crenate sclerenchyma dibawah korteksnya (Tungpradit et al. 2011). Batang tamanan kayu kuning tumbuh merambat dan membentuk kelompokkelompok pada beberapa pohon rambatan atau pohon lainnya. Batang tanaman ini licin dengan warna abu dan berdiameter terbesar yang ditemukan kurang lebih 4.6 cm. Daunnya yang peltate berwarna abu-abu dibagian bawah dan tidak berbulu (gambar 3b). Pada habitat kayu kuning biasanya terdapat beberapa jenis pohon seperti bamboo, palem dan tanaman lain seperti: Alstonia iwahigensis, Macaranga beccariana, Ficus sp, Tristaniaopsis whitiana, Shorea leavis dan Apnema sp.. Sedangkan buahnya (gambar 3c) yang diamati berbentuk bulat dengan diameter sekitar 3 cm. Buah ini berwarna kuning muda atau abu-abu kecoklatan dan menjadi kuning kecoklatan ketika sudah tua (masak). Kulit buah cukup keras dan sulit untuk dikupas dengan menggunakan tangan. Daging buah berwarna oranye (seperti kunyit) dengan ketebalan sekitar 0.2 cm. Berdasarkan koleksi herbarium yang ada, disebutkan bahwa akar kuning memiliki buah berbentuk bulat dengan diamater 1.5 – 3 cm dan berwarna abu-abu kecoklatan (Noerhidayah et al. 2008).
(a) Gambar 3
(b)
(c)
Morfologi tanaman C. fenestratum: (a) batang, (b) daun, dan (c) buah (Udayan et al 2004 dalam Thushar et al 2008).
Mencit
11
Obat atau tanaman obat di laboratorium sebelum diaplikasikan ke manusia biasanya dicobakan terbih dahulu efektifitasnya pada hewan coba seperti mencit (Mus musculus). Mencit merupakan hewan pengerat (rodensia) lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan hewan penggangu yang menjijikan di perumahan (Depkes RI 2009). Mencit yang sering dipergunakan untuk percobaan dalam laboratorium yaitu mencit albino swiss yang dibagi berdasarkan sifat genetik dan sifat lingkungan hidupnya (Malole dan Pramono 1989). Klasifikasi Para ahli zoologi sepakat untuk mengolongkan mencit ke dalam hewan pengerat (ordo Rodensia). Menurut Depkes RI (2009), mencit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Myomorpha
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Morfologi dan Fisiologis Anggota Muridae memiliki sepasang gigi seri yang terdapat pada rahang atas dan bawah yang panjang. Gigi tersebut merupakan alat pemotong yang sangat efektif. Hewan ini tidak memiliki gigi taring dan graham (Depkes RI 2009, Malole dan Pramono 1989). Pada mencit dewasa yang berumur lebih dari 6 bulan memiliki berat badan sekitar 30 – 40 gram (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Hewan ini cepat berkembang biak, mudah untuk dipelihara dalam jumlah banyak,
12
variasi
genetiknya
cukup
besar
serta
sifat
anatomi
dan
fisiologisnya
terkarakterisasi dengan baik. Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit memiliki nilai fisiologis sebagai berikut: Tabel 1 Nilai fisiologis mencit Kriteria
Nilai
Berat badan : Jantan
20 – 40 g
Betina
25 – 40 g
Berat lahir
0.5 – 1.5 g
Luas permukaan tubuh
20 g: 36 cm2
Temperatur tubuh
36.5 – 38.0 °C
Detak jantung
325 – 780/menit
Volume darah
76 – 80 mg/Kg
Sel darah merah
7.0 – 12.5 x 106 mm3
Hematokrit
39 – 49 %
Hemoglobin
10.2 – 16.6 mg/dl
Sel darah putih
6 – 15 x 103/mm3
Netrofil
10 – 40 %
Limfosit
55 – 95 %
Eosinofil
0–4%
Monosit
0.1 – 3.5 %
Basofil
0 – 0.3 %
Leukosit Darah terdiri dari sel-sel yang terendam di dalam plasma. Elemen-elemen yang ada dalam darah yakni sel darah merah, sel darah putih dan keping darah (platelet). Sebagian besar sel-sel darah tersebut berada dalam pembuluh darah, tetapi leukosit atau sel darah putih dapat bermigrasi melintasi dinding pembuluh darah untuk melawan infeksi (Frandson 1986). Sel darah putih atau leukosit (bahasa yunani leuko = putih) berbeda dengan eritrosit atau sel darah merah. Pada leukosit terdapat nukleus dan memiliki kemapuan untuk bergerak yang independen (Frandson 1986). Leukosit di dalam tubuh berfungsi sebagai unit pertahanan. Leukosit sebagian dibentuk di dalam
13
sumsum tulang dan sebagian lagi dalam organ limfoid seperti timus, limpa dan bursa fabrisius pada unggas ( Guyton dan Hall 1996). Dalam keadaan normal, jumlah leukosit pada keadaan normal terdapat 6 – 15 x 103/mm3 darah manusia. Dari jumlah tersebut, jenis terbanyak adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobular dengan meningkatnya umur sel. Sebagian besar sel tersebut mengandung granula netrofilik (netrofil), sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat pewarna asam (eosinofil), dan sebagian lagi mengadung granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lain yang lazim ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit, serta monosit yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal. Kerja sama sel-sel tersebut menyebabkan tubuh memilki sistem pertahanan yang kuat terhadap berbagai tumor dan infeksi virus, bakteri serta parasit (Ganong 2002). Limfosit Limfosit merupakan leukosit yang tidak bergranul atau agranulosit (gambar 4). Menurut Frandson (1986), limfosit memiliki ukuran yang bervariasi dan memiliki nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma. Limfosit besar memiliki ukuran diameter 12 - 16 µm dan limfosit kecil berdiameter 9 - 12 µm. Pada
limfosit besar lebih lebih banyak sitoplasma,
memiliki inti yang besar dan pucat. Limfosit kecil memiliki intinya besar dan menyerap warna serta sedikit berlekuk, sitoplasmanya biru pucat.
Gambar 4 Limfosit (Weiss dan Wardrop 2010).
14
Pasca kelahiran, beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus, dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang (Ganong 2002). Limfosit akan terus menerus memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lain. Setelah beberapa jam berjalan ke jaringan melalui diapedesis dan kembali ke jaringan limfoid atau darah. Limfosit ini memiliki masa hidup hingga bertahun-tahun, namun bergantung pada kebutuhan tubuh akan sel ini (Guyton dan Hall 1996). Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan (Ganong 2002). Limfosit ini memiliki peran utama sebagai respon terhadap antigen dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson 1986). Menurut Guyton dan Hall (1996), bahwa fungsi utama dari limfosit yakni memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag. Kemudian limfosit akan melekat pada antigen dan merusaknya. Monosit Monosit merupakan leukosit yang tidak bergranul dan banyak mengandung sitoplasma (gambar 5). Inti dari monosit berbentuk menyerupai ginjal (Ganong 2002).
Gambar 5 Monosit (Weiss dan Wardrop 2010).
Monosit ini hanya ditemukan pada sumsum tulang (Guyton dan Hall 1996). Menurut Ganong (2002), dari sumsum tulang monosit akan masuk ke dalam darah dan beredar kurang lebih selama 72 jam. Kemudian sel-sel tersebut akan masuk ke jaringan dan membentuk makrofag. Menurut Guyton dan Hall (1996) menyatakan
15
bahwa dalam bentuk makrofag, sel tersebut dapat hidup berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kecuali bila sel tersebut musnah akibat kemampuan fagositiknya. Sifat fagositik tersebut mirip dengan leukosit lain seperti netrofil. Namun monosit mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut (Frandson 1986). Netrofil Netrofil merupakan komponen terbanyak dari leukosit (gambar 6). Letaknya banyak di pinggiran dalam dari kapiler dan pembuluh kecil atau terjadi marginasi. Netrofil ini mengandung granul yang memberikan warna indiferen dan tidak merah ataupun biru (Frandson 1986).
Gambar 6 Netrofil (Weiss dan Wardrop 2010).
Netrofil dan monosit serta sel granulosit lainnya dihasilkan di sumsum tulang. Sesudah dilepas dari sumsum tulang, normalnya masa hidup dalam sirkulasi darah selama 4 – 8 jam. Kemudian 4 – 5 jam berikutnya dalam jaringan. Pada keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali berkurang sampai hanya beberapa jam, karena menuju daerah infeksi dan melakukan fungsinya (Guyton dan Hall 1996). Menurut Tizard (1988), netrofil juga dikenal sebagai garis pertahanan pertama yang bekerja singkat dan cepat lelah. Netrofil memiliki masa hidup yang singkat, setelah melakukan tugasnya akan mati dan melepas faktor kemotaktik untuk menarik netrofil lain. Masa hidupnya beredar di dalam aliran darah kira-kira 12 jam. Eosinofil Eosinofil dalam keadaan normal kira-kira mencapai 2 % dari seluruh leukosit darah (Guyton dan Hall 1996). Eosinofil sering disebut juga asidofil nampak sebagai granula berwarna merah di dalam sitoplasmanya (gambar 7).
16
Umumnya jumlahnya sedikit, hanya pada kasus tertentu akan meningkat (Frandson 1986). Menurut Ganong (2002), eosinofil ini sebagian kecil mengandung granul yang dapat diwarnai dengan zat asam.
Gambar 7 Eosinofil (Weiss dan Wardrop 2010).
Sama halnya netrofil dan monosit, eosinofil diproduksi hanya di sumsum tulang dan memiliki masa hidup yang singkat. Eosinofil ini merupakan sel fagosit yang lemah, dan menunjukan kemotaksis. Eosinofil ini sering diproduksi dalam jumlah besar pada penderita infeksi parasit dan eosinofil ini akan bermigrasi ke jaringan pada penderita parasit tersebut. Meskipun kebanyakan parasit berukuran lebih besar untuk difagositosis, namun eosinofil akan melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus dan akan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh banyak parasit ( Guyton dan Hall 1996). Eosinofil juga akan meningkat pada keadaan reaksi alergi (Frandson 1986). Menurut Guyton dan Hall (1996), eosinofil juga memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan yang mengalami reaksi alergi. Hal tersebut sebagian disebabkan oleh peristiwa dimana banyak sel mast dan basofil ikut serta dalam reaksi alergi. Basofil Menurut Dellman dan Brown (1992), basofil merupakan granulosit yang bersifat polimorfonuklear-basofil. Diameternya 10 – 15 µm, intinya dua gelambir dan tidak beraturan. Granulnya berukuran 0,5 - 1,5 µm berwarna biru tua sampai dengan ungu dan sering menutupi intinya yang berwarna cerah.
17
Gambar 8 Basofil (Weiss dan Wardrop 2010).
Sama halnya granulosit lain, basofil dibentuk dalam sumsum tulang. Basofil dalam sirkulasi darah mirip dengan sel mast besar yang terletak tepat di sisi luar kebanyakan kapiler dalam tubuh (Guyton dan Hall 1996). Basofil dan sel mast mengadung heparin dan melepaskan histamin dan mediator radang lain (Frandson 1986; Guyton dan Hall 1996; Ganong 2002). Menurut Dellman dan Brown (1992), basofil befungsi untuk meningkatkan permeabilitas dan vasodilatasi pembuluh darah dalam reaksi hipersensitifitas kulit seperti pada gigitan serangga.
METODE
18
Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2011. Pemeliharaan hewan coba, pemberian ekstrak akar kayu kuning (C. fenestratum) dan pengamatan gambaran leukosit dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Persiapan Mencit Donor Hewan coba diinfeksi dengan P. berghei. Isolat P. berghei diperoleh dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Sebanyak 0.1 ml suspensi diambil dan diinfeksi melalui intra peritoneal pada mencit donor. Mencit donor dilakukan pengamatan parasitemia tiap hari setelah inokulasi dengan cara membuat preparat ulas darah. Pengamatan dilakukan hingga tingkat parasitemia mencapai 105/ml darah (Dewi et al. 1996). Darah mencit donor diambil dari jantung dan dilakukan penghitungan jumlah sel darah merah dengan hemositometer. Darah diencerkan dengan larutan Hayem lalu dihitung jumlahnya dibawah mikroskop. Setelah diketahui jumlah parasit pada mencit donor kemudian dilakukan pengenceran dengan phosphate buffer saline (PBS) dan diinfeksikan ke mencit coba. Hewan Coba Pada penelitian ini digunakan mencit jantan dari galur DDY berumur 2-3 bulan dengan berat badan kira-kira 25 gram atau berusia sekitar 2 bulan. Penelitian ini menggunakan 35 ekor tikus jantan, 10 ekor digunakan sebagai donor dan 25 ekor sebagai kelompok percobaan. Kelompok percobaan tersebut dibagi dalam lima kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor yaitu 1) Kelompok kontrol negatif/KN (mencit diinfeksi dan diberi larutan Pulvis Gum Arabic 3%), 2) Kelompok kontrol positif/KP (mencit diinfeksi dan diberi obat klorokuin), 3) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 gr bobot badan (E1), 4) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 gr bobot
19
badan (E2), 5) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 gr bobot badan (E3). Determinasi Sampel Tanaman Determinasi sampel dilakukan di Laboratorium Botani, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tanaman yang dipergunakan yakni akar kayu kuning (C. fenestratum) diperoleh dari kawasan hutan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada bulan Juli 2010 dalam keadaan segar. Kemudian sampel dikeringkan dan baru dilakukan ekstraksi. Penentuan Dosis Penentuan dosis ini disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat yang menggunakan herbal ini (dosis empiris) yakni dua sendok teh yang diseduh dalam satu gelas air. Pembuatan infusa herbal akar kayu kuning yaitu simplisia kering dipanaskan dengan air selama 15 menit dengan suhu 90° C (Depkes RI 1995). Hasil infusa yang diperoleh sebelum dikeringkan, diambil sebanyak 1 ml dan ditimbang. Hasil infusa kemudian disaring dan dikeringkan dalam oven. Setelah kering, lalu menimbang sisa padatan yang terbentuk. Dosis pada manusia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kalimantan Timur yaitu dengan mengurangi hasil timbangan infusa sebelum dikeringkan dengan infusa setelah dikeringkan, sehingga diperoleh dosis sebesar 0.196 mg/Kg BB dewasa. Kemudian dosis ini dikonversi dengan mengalikan 0.0026 (Laurence dan Bacharach 1964), sehingga didapatkan dosis untuk mencit dengan berat badan 25 gr yaitu 0.625 mg. Dosis yang diberikan yaitu dosis 0.625 mg/25 gr BB (E1), dosis 1.25 mg/25 gr BB (E2), dan dosis 3.75 mg/25 gr BB (E3). Pembuatan Ulasan Darah Mencit yang positif terinfeksi malaria, kemudian diberi ekstrak etanol akar kayu kuning dengan dosis yang telah ditentukan secara peroral dengan menggunakan sonde lambung. Ekstrak diberikan dua kali dalam sehari selama 3 hari berturut-turut pada hari ke-1, 2, dan 3. Mencit kemudian diambil darahnya melalui pembuluh darah diekor pada hari ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 7 (D0, D1, D2, D3, D4, dan D7) setelah pemberian ekstrak (Tuti et al. 2007).
20
Pembuatan preparat darah dilakukan dengan memberikan satu tetes darah di atas gelas objek, dan dibuat ulasan dengan gelas objek lain yang membentuk sudut kurang lebih 45°. Hasil ulasan didiamkan pada suhu kamar hingga kering. Ulasan yang telah kering kemudian difiksasi dengan metanol kurang lebih selama 3-5 menit dan didiamkan hingga kering kembali. Selanjutnya hasil ulasan diwarnai dengan Giemsa 5% selama 30 menit dan dibilas dengan menggunakan air mengalir dan dikeringkan. Pengamatan Ulasan Darah Hasil ulasan yang telah diwarnai, diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x dan menggunakan minyak emersi. Sel darah putih dihitung per seratus sel dengan tiga kali ulangan. Jumlah leukosit dirata-rata dan dinyatakan dalam satuan persen. Analisis data Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan uji ANOVA (Analysis of Varian). Kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test dengan taraf 5% bila berbeda nyata pada perlakuan yang diberikan. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram.