TINJAUAN PUSTAKA Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit protozoa Plasmodium spp. pada sel darah merah. Penyakit ini masuk ke dalam tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk Anopheles spp. betina
yang telah terinfeksi
parasit (WHO 2006). Kejadian Malaria Penyebaran kejadian malaria di dunia sangat luas, yakni antara 61ºLU (Rusia) dan 32ºLS (Argentina) yang meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis. Ketinggian yang dimungkinkan terjadinya penyakit ini adalah 100 m di bawah permukaan laut (Laut Mati dan Kenya) dan 2000 m di atas permukaan laut (Bolivia) (Depkes RI 1990). WHO (2006) menyatakan bahwa tingkat penularan malaria dapat berbeda-beda, tergantung faktor setempat, seperti: pola curah air hujan, jarak antara lokasi perkembangbiakan nyamuk dengan manusia, dan jenis nyamuk di wilayah tersebut. Setiap tahun, kasus malaria di dunia berjumlah 300-500 juta dan mengakibatkan 1.5-2.7 juta kematian, terutama di Afrika subSahara. Wilayah dunia yang kini telah bebas malaria adalah Eropa, Amerika Utara, sebagian besar Timur Tengah, sebagian besar Karibia, sebagian besar Amerika Selatan, Australia dan Cina (Harijanto 2000). Di Indonesia, daerah yang memiliki kasus malaria klinis tinggi dilaporkan terdapat pada Kawasan Timur Indonesia, antara lain: Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah (Suprapto 2010). Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria Agent penyebab malaria adalah parasit (protozoa) Plasmodium spp. Plasmodium spp. menggunakan nyamuk Anopheles spp. betina sebagai inang antara dan media penyebaran Plasmodium spp. ke induk semang. Pada manusia, terdapat empat jenis Plasmodium sp. penyebab malaria, yaitu: P. vivax (penyebab vivax), P. falciparum (penyebab malaria tropika atau malaria falciparum), P. malariae (penyebab malaria kuartana atau malaria malariae), dan
5
P. ovale (penyebab malaria ovale) (Anies 2006; Natadisastra & Ridad 2009). P. falciparum dan P. vivax merupakan jenis yang paling sering dijumpai, namun yang
paling
mematikan
adalah
jenis
P.
falciparum
(WHO
2006).
Tampubolon (2004) mengemukakan bahwa penyebab malaria pada unggas adalah P. gallinaceum, P. juxtanucleare, P. durae, P. relictum, P. circumflexum, dan P. fallax. Pada rodensia, terdapat empat spesies Plasmodium spp. yang dapat menyebabkan malaria, yaitu: P. vinckei, P. chabaudi, P. yoelli, dan P. berghei. P. berghei merupakan species Plasmodium sp. yang umum dan baik digunakan sebagai model untuk studi eksperimental malaria pada manusia. P. berghei telah terbukti mirip dengan penyebab malaria pada manusia dalam fisiologi dan siklus hidupnya (Janse 2010). Menurut Levine (1990), klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: kingdom filum subfilum kelas subkelas ordo subordo famili genus species
: Animalia : Protozoa : Apicomplexa : Sporozoasida : Coccidiasina : Eucoccidiorida : Haemospororina : Plasmodiidae : Plasmodium : Plasmodium berghei
Pada preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa, salah satu tahap hidup P. berghei di dalam sel darah merah dapat terlihat seperti gambar berikut:
Gambar 1 P. berghei. [Sumber: LUMC 2010]
6
P. berghei memiliki dua tahapan dalam setiap siklus hidupnya, yaitu: fase seksual (sporogoni) dan fase aseksual (skizogoni) (Choidini 2001). Fase Seksual (Sporogoni) Fase seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk Anopheles dureni betina. Nyamuk ini merupakan vektor
biologis dari P. berghei. Natadisastra dan
Ridad (2009) menyatakan bahwa pada saat nyamuk menghisap darah penderita malaria, semua stadium yang ada di dalam darah akan terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Tetapi, hanya stadium gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit) yang dapat bertahan dan melanjutkan siklusnya. Fase seksual dimulai dari masuknya gametosit (mikrogametosit dan makrogametosit) ke dalam tubuh vektor saat vektor menghisap darah induk semang terinfeksi P. berghei. Di dalam lambung vektor, makrogametosit mengalami maturasi menjadi makrogamet (betina) sedangkan mikrogametosit mengalami exflagelasi menjadi mikrogamet (jantan). Makrogamet dan mikrogamet mengalami fertilisasi dan terbentuk zigot (Choidini 2001). Zigot tersebut aktif dan bergerak masuk ke dalam dinding usus tengah nyamuk. Parasit pada stadium ini dinamakan ookinet. Di bawah epitel usus, ookinet membulat membentuk kista dan disebut dengan ookista (Noble & Glenn 1989). Ookista berkembang di dalam dinding usus tengah dan menghasilkan sporozoit (fase infektif) yang akan dilepas dengan pecahnya ookista. Sporozoit bersifat motil dan akan bergerak ke seluruh tubuh vektor, khususnya kelenjar saliva. Sporozoit ini akan menginfeksi induk semang saat vektor menghisap darah induk semang (Choidini 2001). Fase Aseksual (Skizogoni) Fase aseksual terjadi di dalam tubuh induk semang (rodensia). Pada fase ini terjadi dua siklus, yaitu siklus pre-eritrositik (terjdi di dalam sel-sel hati) dan siklus eritrositik (terjadi di dalam eritosit). Sporozoit akan menuju sel-sel hati saat masuk tubuh hospes. Di dalam sel hati, sporozoit akan matang membentuk skizon kemudian pecah dan mengeluarkan merozoit. Merozoit memulai siklus eritrositik dengan masuk ke dalam eritrosit dan membentuk tropozoit. Sebagian tropozoit akan mengalami pematangan membentuk skizon yang kemudian pecah dan mengeluarkan merozoit. Merozoit dapat
6
7
menginfeksi eritrosit yang lain. Sedangkan sebagian tropozoit lainnya akan mengalami gametositik membentuk makrogametosit dan mikrogametosit. Saat nyamuk A. dureni menghisap darah induk semang, gametosit ini akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan mengalami fase seksual (Choidini 2001). Siklus hidup P. berghei secara umum mirip dengan siklus hidup Plasmodium spp. pada manusia. Fase seksual dan fase aseksual dari P. berghei dapat digambarkan dengan skema berikut ini.
Gambar 2 Siklus hidup P. bergei. [sumber: CDC 2010] Patogenesa Malaria pada Manusia Natadisastra dan Ridad (2009) mengemukakan bahwa malaria diawali gejala prodromal yang tidak spesifik, diantaranya: lesu, sakit kepala, anoreksi, nousea, dan vomitus, bahkan terjadi demam yang tidak teratur. Kemudian diikuti gejala demam yang khas, splenomegali dan anemi yang dikenal sebagai trias malaria. Demam Malaria Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya skizon), pengaruh glycosyl phosphatidylinositol (GPI) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya (Harijanto et al. 2000). Harijanto et al. (2000) juga menyatakan bahwa setelah sporozoit masuk ke dalam tubuh melalui gigitan vektor, maka akan terjadi serangan pertama (first attack). Tiap serangan terdiri atas beberapa serangan demam yang merupakan gejala utama
7
8
dari malaria. Demam timbul secara periodik, bersamaan dengan sporulasi. Pembagian demam menurut puncak demam, antara lain adalah: demam remitten (berulangnya demam tanpa ditemukan periode suhu normal), demam intermitten (jika diantara serangan demam tersebut terdapat periode suhu normal),
dan
demam
kuotidiana
(jika
demam
terjadi
setiap
hari)
(Natadisastra & Ridad 2009). Serangan demam malaria umumnya terjadi selama 2-12 jam. Demam khas terdiri dari 3 stadium, yaitu: stadium rigoris (menggigil), stadium akme (puncak demam), dan stadium sudoris. Pada stadium rigoris, penderita menggigil seperti kedinginan walaupun suhu terus-menerus naik. Stadium ini berlangsung selama 15-60 menit. Pada Stadium akme, suhu tetap tinggi (mencapai 41ºC) dan berlangsung selama 2-6 jam. Suhu mulai turun sampai mencapai suhu normal pada stadium sudoris, penderita banyak berkeringat, dan berlangsung selama 2-4 jam. Kemudian dilanjutkan dengan stadium tanpa demam (stadium apyrexia), ditandai dengan normalnya suhu tubuh. Namun, dua tiga hari kemudian terulang kembali serangan demam dengan stadiumstadium yang sama (Natadisastra & Ridad 2009). Timbulnya demam pada malaria dihubungkan dengan sporulasi (pecahnya eritrosit dan keluarnya merozoit ke dalam cairan darah) sehingga parasit beserta partikel lainnya yang merupakan antigen akan masuk cairan darah. Selanjutnya akan terjadi reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan demam (Natadisastra & Ridad 2009). Splenomegali dan Hepatomegali Natadisastra dan Ridad (2009) menyatakan bahwa terjadinya kongesti aliran darah serta hipertropi dan hiperplasi sistem retikuloendotelial (RES) menyebabkan
pembesaran
limpa
(splenomegali),
terkadang
disertai
pembesaran hati (hepatomegali). Sel makrofag dalam darah bertambah, dan terjadi monositosis. Anemi Anemi dalam hal ini disebabkan oleh hancurnya eritrosit sewaktu sporulasi. Derajat fagositosis RES meningkat, akibatnya lebih banyak eritrosit yang dihancurkan. Umur eritrosit menjadi lebih pendek dan terjadi depresi eritropoiesis (Natadisastra & Ridad 2009).
8
9
Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologis yang terkarakterisasi dengan baik. Mencit dapat mencapai umur 2-3 tahun, tetapi terdapat perbedaan besar dalam usia maksimum dari berbagai galur mencit. Terutama karena perbedaan dalam kepekaan terhadap penyakit. Organ limpa pada mencit jantan 50% lebih besar dibandingkan yang betina (Malole & Pramono 1989). Gambar di bawah ini merupakan contoh mencit (Mus musculus) yang umum digunakan sebagai hewan coba di laboraturium.
Gambar 3 Mencit (Mus musculus). [sumber: Jaxmice 2010] Klasifikasi mencit menurut ADW (2010) adalah sebagai berikut: kingdom filum subfilum kelas ordo suborder famili subfamili genus species
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Rodentia : Miorpha : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus
Mencit yang digunakan dalam laboraturium umumnya ditempatkan di kotak dari metal atau plastik dan diberi alas kandang secukupnya. Alas kandang biasanya terdiri dari kertas, serutan kayu atau serbuk gergaji yang bersifat nonalergi, bebas debu, nontoksik, steril dan kering. Mencit membutuhkan makan berkadar protein di atas 14% (dapat dipenuhi dari pakan ayam petelur, memiliki protein 17%). Seekor mencit dewasa membutuhkan 15 gr makanan dan 15 ml air
9
10
per 100 gr berat badan per hari. Tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut temperatur kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole & Pramono 1989). Sel Darah Putih (Leukosit) Leukosit adalah sel darah tidak berwarna, berinti, dan memiliki berfungsi utama melindungi tubuh dari serangan organisme asing. Leukosit melindungi tubuh dengan dua cara, yaitu: mekanisme fagositosis dan sistem humoral (Besa 1992). Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid. Melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos diantara selsel endotel dan menembus ke dalam jaringan (Effendi 2003). Selain melindungi tubuh, sel darah putih juga berfungsi sebagai pengangkut zat lemak dari dinding usus melalui limpa, lalu ke pembuluh darah (Handayani & Andi 2008). Leukosit secara umum terbagi menjadi polimorfonuklear granular dan mononuklear agranular. Jenis sel darah putih terbanyak dalam sirkulasi darah adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk seperti sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel (Ganong 2002). Ganong (2002) juga menyatakan bahwa sebagian besar sel granulosit mangandung granula netrofilik (neutrofil), sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (eosinofil), dan sebagian lagi mangandung granula basofilik (basofil). Sedangkan sel agranulosit terdiri dari limfosit yang memiliki inti bulat besar, dan monosit yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk seperti ginjal. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfa. Di bawah berbagai kondisi abnormal, jumlah total mungkin meningkat atau menurun atau proporsinya yang relatif berubah. Perhitungan diferensial leukosit menggambarkan persentase tiap jenis leukosit dari total jumlah leukosit. Gambaran persentase tersebut dapat digunakan untuk mengetahui jenis penyakit yang terdapat pada tubuh individu (Fischbach & Marshall 2009).
10
11
Di bawah ini adalah nilai fisiologis leukosit mencit menurut Hawkey (1975) serta Malole dan Pramono (1989). Tabel 1 Nilai fisiologis darah mencit Jenis Sel Darah *
Leukosit Neutrofil (%) Limfosit (%) Monosit (%) Eosinofil (%) Basofil (%) *
Rata-rata
Kisaran Normal
7.8 23 63 7 8 1
5.12-5.66 6-40 36-90 0.7-14 0-15 0-3
Leukosit: leukosit x 103/c.mm darah
Granulosit (Polimorfonuklear Leukosit) Pada granulosit yang telah matang, terdapat tiga jenis sel, yaitu: neutrofil, eosinofil dan basofil. Ketiga jenis sel ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan jenis granul sitoplasma yang muncul pada tahap mielosit. Granul tersebut dapat berwarna biru sampai merah keunguan. Tiap sel yang matang tidak akan menunjukkan lebih dari satu jenis granul, walaupun pada tahap promielosit dan mielosit (tahap awal dari sel tersebut) mungkin terlihat lebih dari satu jenis granul pada satu sel (Brown 1980). Sel granulosit memiliki nukleus yang berlobulasi dan tidak beraturan. Tiap segmen dari lobus nukleus sering dihubungkan hanya dengan filamen tipis. Neutrofil Berikut ini adalah gambar neutrofil pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.
Gambar 4 Neutrofil [sumber: UC 2009]
11
12
Neutrofil adalah tipe leukosit yang penting dalam tubuh pada proses inflamasi, terutama yang disebabkan oleh mikroba. Pemusnahan mikroba oleh neutrofil dilakukan dengan cara endositosis (fagositosis) dan eksositosis (Ganong 2002). Ganong (2007) juga menyatakan bahwa sumsum tulang akan diransang untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah besar neutrofil jika dicurigai adanya sel tubuh yang rusak. Sel-sel tubuh yang rusak atau dirusak oleh mikroba akan membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang (kemotaksis). Neutrofil akan memasuki jaringan yang terinfeksi, merusak, dan menelan mikroba. Proses menelan mikroba (fagositosis) didahului oleh proses opsonisasi. Mikroba yang telah diselubungi oleh opsonin akan berikatan dengan reseptor pada membran
sel
neutrofil.
Neutrofil
akan
membentuk
suatu
penonjolan
(pseudopodia) yang mengelilingi mikroorganisme selama proses menelan. Pseudopodia tersebut akan melebur dan membentuk suatu vakuola fagositik yang mengandung mikroba (fagosom). Fagosom akan memisahkan diri dan memasuki sitoplasma. Selanjutnya, melalui mekanisme eksositosis, granula neutrofil dilepaskan ke dalam fagosom yang berisi bakteri. Granula tersebut mengandung beragam protease, serta protein anti mikroba yang disebut defensin. Pengaktifan neutrofil untuk melakukan fagositosis meningkatkan konsumsi oksigen. Metabolit oksigen yang dihasilkan bersifat sangat toksik bagi mikroba. Gabungan metabolit oksigen toksik dan enzim proteolitik dari dalam granula menjadikan sel neutrofil sebagai mesin pembunuh yang sangat efektif. Neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak mikroba (Ganong 2002; Campbell et al. 2004). Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Effendi 2003). Eosinofil Eosinofil memiliki diameter antara 10-15 µm. Nukleus eosinofil terlihat lebih kasar daripada neutrofil dan hanya memiliki dua sampai tiga lobus ketika dewasa. Eosinofil terdiri dari nukleus polimorfik yang sedikit padat dan
12
13
bersegmen (Dellmann & Jo 1998) serta sitoplasmanya mengandung granula yang bersifat eosinofilik. Berikut ini adalah gambar eosinofil pada ulas darah dengan
pewarnaan Giemsa.
Gambar 5 Eosinofil [sumber: UC 2009] Eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh berperan pada reaksi alergi karena penyakit infeksius, dan parasit yang berukuran besar, seperti cacing. Eosinofil akan memposisikan dirinya melawan dinding eksternal parasit dan melepaskan enzim-enzim perusak dari granula sitoplasmik. Sel eosinofil memiliki aktifitas fagositik yang terbatas (Campbell et al. 2004). Basofil Basofil adalah jenis sel leukosit yang sangat jarang. Basofil memiliki nukleus yang kasar dan polimorfik. Sitoplasma dari sel ini memiliki banyak granula basofilik yang kasar. Sitoplasma besar dengan inti sel yang tidak begitu jelas terlihat dan berwarna biru tua sampai ungu (Dellman & Brown 1992), serta granulanya bersifat basofilik dan akan terwarnai dengan pewarnaan alkohol.
Basofil bukan merupakan sel fagosit. Basofil akan melepaskan senyawa seperti heparin, serotonin dan histamin ke dalam darah. Jika terjadi luka, basofil akan mengeluarkan histamin. Histamin akan memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya (Campbell et al. 2004). Selain itu, Campbell et al. (2004) juga menyatakan bahwa leukosit dan sel-sel jaringan yang rusak akan mengeluarkan prostaglandin yang selanjutnya akan meningkatkan aliran darah ke tempat luka. Peningkatan aliran darah dan permeabilitas pembuluh akan membantu pengiriman unsur penggumpalan ke daerah yang luka. Berikut ini adalah gambar basofil pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.
13
14
Gambar 6 Basofil [sumber: UC 2009]
Agranulosit (Leukosit Mononuklear) Limfosit Diameter limfosit rata-rata 10 µm. Limfosit memiliki nukleus berukuran besar dan kaya akan kromatin. Nukleus umumnya berbentuk bulat, tapi juga dapat berbentuk seperti kacang (pada limfosit dewasa). Nukleus dikelilingi oleh lapisan tipis sitoplasma yang bersifat basofilik. Trautmann (1957) menyatakan bahwa jumlah limfosit lebih banyak daripada neutrofil pada rodensia laboratorium, ruminansia, dan unggas. Namun, jumlah neutrofil lebih banyak pada manusia, kuda, babi, anjing, dan kucing. Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan. Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang. Selain beredar dalam darah, limfosit terdapat dalam jaringan limfoid (tonsil, nodus limfe, limpa, thymus, sumsum tulang, appendix, dan Peyer’s patche usus halus). Pada umumnya, limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe. Setiap saat, hanya sekitar 2% dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer. Sebagian besar sisanya terdapat di organ limfoid (Ganong 2002). Ganong (2002) menyatakan bahwa limfosit terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu limfosit B (sel B dan limfosit T (sel T). Kedua jenis sel ini melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi. Sel T merupakan sel limfosit yang mengalami pematangan di timus, sedangkan sel B merupakan sel limfosit yang pematangannya tetap berada di sumsum tulang. Sel B adalah sel
14
15
yang berperan dalam pembentukan antibodi jika berhadapan dengan antigen tubuh (Campbell et al 2004). Berikut ini adalah gambar limfosit pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.
Gambar 7 Limfosit [sumber: UC 2009] Monosit Monosit memiliki diameter rata-rata 16 µm pada ulas darah. Monosit memiliki sitoplasma yang berlimpah (besar), dan berwarna sedikit basofilik. Warna nukleus tidak segelap nukleus pada limfosit, dan kromatin terlihat lebih samar dan berbentuk seperti tapal kuda ataupun ginjal (Campbell et al 2004). Berikut ini adalah gambar monosit pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.
Gambar 8 Monosit [sumber: UC 2009] Daya motilitas monosit sangat baik, dan dapat melakukan fagositosis. Monosit menyediakan pertahanan fagositik yang lebih baik daripada leukosit walaupun persentasenya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan persentase leukosit. Monosit baru bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam,
15
16
kemudian bermigrasi ke dalam jaringan dan berkembang menjadi makrofag jaringan (Campbell et al. 2004). Sel makrofag akan diaktifkan oleh limfokin dari limfosit T. Makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap randang kemotaksik, selanjutnya menelan dan membunuh bakteri melalui proses yang umumnya serupa dengan neutrofil (Ganong 2002). Ganong (2002) menyatakan bahwa proses perlekatan, penelanan, dan pencernaan mikroba dalam makrofag secara umum serupa dengan neutrofil, meskipun
terdapat
beberapa
perbedaan
penting.
Makrofag
mempunyai
kemampuan untuk merubah bentuk permukaannya. Makrofag tidak menghasilkan metabolit oksigen yang sangat toksik dan senyawa protease yang terdapat pada makrofag berbeda dengan yang ada pada neutrofil. Artemisia annua Linn. A. annua L. atau Qing Hao (Cina) atau sweet wormwood (Inggris) atau anuma (Indonesia) adalah tanaman herbal yang berasal dari Cina. A. annua L. termasuk ke dalam famili Asteraceae. USDA (2010) menyatakan bahwa klasifikasi A. annua L. adalah sebagai berikut: kingdom subkingdom superdivisi divisi kelas subkelas ordo famili genus species
: Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Asteridae : Asterales : Asteraceae : Artemisia : Artemisia annua L.
Tanaman ini umum digunakan di Cina sebagai antipiretik dalam mengobati panas dingin dan gejala demam akibat malaria, serta gejala demam karena sebab lain sejak jaman dahulu. A. annua L. mengandung zat aktif, seperti: arteannuin dan artemisinin. Artemisinin pertama kali diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1971 sebagai senyawa baru yang mewakili seskuiterpen lakton endoperoksida. Artemisinin (baik yang alami ataupun derivat sintetik) bersifat skizontisida darah dengan tingkat toksisitas rendah terhadap induk semang (Wright 2002).
16
17
Morfologi A. annua L. memiliki ciri-ciri batang tegak, berwarna hijau kecoklatan, dan akar berjenis serabut dengan warna putih kekuning-kuninngan. Tanaman dengan ini dapat mencapai tinggi 30-100 cm. Daun A. annua L. berbentuk oval, lonjong, runcing pada bagian ujungnya, dan pangkal yang tumpul. Panjang daun sekitar 10-18 cm dan lebar 5-15 cm (Anonim 2009). A. annua L. yang sekarang dikembangkan sebagai alternatif obat malaria dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 9 A. annua L. [sumber: CHOL 2010] A. annua L. dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi (1000-1500 m di atas permukaan laut), iklim dengan curah hujan minimal 700-1000 mm/tahun, dan intensitas cahaya rendah. Walaupun tanaman ini berasal dari daerah subtropis (Cina), tanaman ini juga dapat tumbuh di daerah tropis melalui pemuliaan (seleksi adaptasi dan hibridisasi) (Gusmaini & Hera 2007). Negara Asia selain Cina yang telah mengembangkan Artemisia spp. di lahan-lahan dataran tinggi pada areal yang luas dan mampu memproduksi obat malaria secara mandiri adalah Vietnam dan Jepang (Kardinan 2006). Kandungan A. annua L. A. annua L. merupakan satu-satunya jenis Artemisia spp. yang mengandung artemisin dengan kadar yang cukup tinggi (Ferreira et al. 2005). Daun A. annua L. mengandung sekitar 89% dari total artemisinin yang terkandung pada tanaman dan tersebar di 1/3 daun bagian atas (41.7%); 1/3 daun bagian tengah (25%),
17
18
dan 1/3 daun bagian bawah (22.2%). Tetapi, pendapat lain menyatakan bahwa kandungan artemisinin cukup tinggi pada bagian bunga, bahkan dapat disetarakan dengan kandungan artemisinin pada daun (Khomsan 2006). Laughlin (1995) mengemukakan bahwa kandungan maksimal artemisinin dari A. annua L. terjadi pada saat bunga mekar ataupun sesaat sebelum bunga mekar, hal ini tergantung dari tempat tumbuh tanaman tersebut. Di daerah tropis, dimana waktu siang lebih pendek daripada di daerah subtropis, tanaman ini dapat berbunga pada umur yang lebih muda. Selain terkenal dengan kandungan artemisininnya, A. annua L. sering dimanfaatkan minyak atsirinya. Minyak atsiri tersebut mengandung sedikitnya 40 komponen yang bersifat volatil (mudah menguap) dengan salah satu komponen utamanya adalah thujone (70%). Thujone bersifat antioksidan, anti bakteri, dan anti jamur (Kardinan 2008). Kardinan (2008) juga menyatakan bahwa di Eropa, minyak atsiri tanaman ini digunakan sebagai bahan aromatika (untuk indusri parfum), bahan campuran pada minuman bir atau minuman lainnya, atau dengan pemanfaatan aroma daunnya sebagai pewangi minuman. Minyak atsirinya juga dapat digunakan sebagai tonik (Kardinan 2008). Artemisinin Artemisinin umumnya dikenal sebagai antimalaria. Namun, artemisinin telah digunakan selama lebih dari 30 tahun di Vietnam dan Cina untuk menanggulangi kanker. Beberapa pasien yang menderita berbagai jenis kanker, dari mulai kanker kulit, payudara tumor pada paru-paru berhasil disembuhkan (Kardinan 2008). Harijanto (2006) menyatakan bahwa terdapat tiga derivat artemisinin sebagai antimalaria yang dibuat secara semisintetik, yaitu: a. Artesunat. Sediaan ini diberikan secara IV, IM, peroral atau sebagai suppositoria. Artesunat dalam bentuk bubuk yang disertai dengan pelarutnya. b. Artemeter. Sediaan ini larut dalam minyak dan diberikan secara IM atau peroral. c. Artemisinin dalam bentuk suppositoria (artesunat, dihidroartemisinin, dan artemisinin). Bentuk suppositoria dapat dipakai sebagai obat malaria berat,
18
19
khususnya pada anak-anak atau kasus muntah-muntah. Artemisinin dan dihidroartemisinin dapat diberikan secara peroral. Derivat artemisinin tersebut adalah obat antimalaria dengan kerja sangat cepat. Obat ini bekerja dengan waktu paruh kira-kira 2 jam dan bekerja sebagai obat skizontisida darah (Harijanto 2006). Kardinan (2006) menyatakan bahwa hingga saat ini, dampak negatif dari
penggunaan A. annua L. sebagai obat
antimalaria belum banyak ditemui. Namun demikian, artemisinin dapat meningkatkan produksi asam lambung dan meransang menstruasi, sehingga dilarang digunakan oleh wanita hamil. Pemanfaatan minyak atsiri dengan kandungan utama thujone dari tanaman ini perlu hati-hati, karena pada pamakaian dosis tinggi, thujone dapat menyebabkan halusinasi (Kardinan 2008).
19