TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Malaria Penyakit malaria adalah salah satu penyakit utama di dunia. Penyakit ini cukup berbahaya karena tingkat mortalitasnya tinggi. Lebih dari 300 juta kasus di dunia terinfeksi penyakit ini, dan menyebabkan 1.7 – 2.5 juta orang mengalami kematian setiap tahunnya, 40% dari jumlah tersebut terdapat di negara – negara antara lain India, Indonesia, Amerika Latin dan Afrika (Gusmaini dan Nurhayati, 2007). Di Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang masih bermasalah, jumlah kasus malaria yang terjadi di Indonesia pada tahun 1967 sebanyak 16 000 kasus malaria perjuta penduduk kemudian meningkat menjadi 31 000 kasus malaria per juta penduduk pada tahun 2001 (Kardinan, 2006). Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium, selama ini telah dikenal empat jenis parasit penyebab penyakit malaria, meliputi Plasmodium falciparium, Plasmodium vivax, Plasmodium malarie, dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparium merupakan jenis parasit penyebab malaria terpenting karena penyebarannya sangat luas dan bersifat ganas. Parasit ini dapat menyebabkan kematian lebih dari 2 juta orang setiap tahun di seluruh dunia (Musito, 2002). Menurut Musito (2002) parasit penyebab malaria ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui perantaraan nyamuk Anopheles. Upaya pengobatan terhadap penyakit malaria sudah lama dilakukan. Pengobatan malaria pertama kali menggunakan quinine, suatu alkaloid yang diekstrak dari kulit batang kina. Menurut Kardinan (2006), saat ini penyakit malaria menjadi masalah karena adanya resistensi Plasmodium (penyebab penyakit malaria) terhadap obat-obat yang digunakan, diantaranya terhadap quinine yang berasal dari tanaman kina. Penggunaan pil kina selama lebih dari 20 tahun telah menyebabkan parasit Plasmodium falciparium menjadi resisten (Hobir et al., 2007). Artemisia annua L. merupakan salah satu alternative obat malaria yang telah digunakan di berbagai Negara dunia. Hasil penelitian di Cina tahun 1972 tanaman Artemisia annua L mengandung senyawa artemisinin yang dapat digunakan sebagai obat malaria.
4 Tanaman Artemisia Artemisia (Artemisia annua L.) termasuk kedalam Famili Asteraceae, klasifikasi tanaman Artemisia annua L. adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheaobionta
Superdivision
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Subclass
: Asteridae
Ordo
: Asterales
Family
: Asteracae
Genus
: Artemisia
Species
: Artemisia annua L.
Tanaman artemisia berasal dari daerah Cina dengan jumlah spesies berkisar 200 – 400 spesies (Gusmaini dan Nurhayati, 2007). Tanaman artemisia tumbuh dengan baik pada ketinggian 1 000 – 1 500 m dpl, sehingga budidaya tanaman artemisia masih terbatas di dataran tinggi (Herry dan Emmyzer, 1992). Menurut Ayanoglu et al., (2002), tanaman artemisia merupakan tanaman semusim yang bercabang banyak dan tingginya bisa mencapai 2 meter. Daun tanaman artemisia tidak bertangkai, helaian daun berbulu, tersusun berseling, berbentuk oval, tepi daun berjari lima dan panjang daun antara 2.5 -5 cm. Tanaman ini memiliki bunga majemuk yang tersusun dalam rangkaian berupa malai. Bunga tumbuh merunduk di ketiak daun dan di ujung tangkai. Artemisia termasuk tanaman menyerbuk silang, penyerbukan alami dilakukan dengan bantuan angin dan serangga (Ferreira dan Janick, 1996). Tanaman artemisia merupakan tanaman yang berasal dari daerah subtropis, sehingga apabila ditanam di daerah tropis perlu ditanam di dataran tinggi (Ferreira et al., 2005). Gusmaini dan Nurhayati (2007) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam mengintroduksi tanaman subtropis ke wilayah tropis adalah tanaman menjadi cepat berbunga akibat adanya peningkatan suhu dan intensitas cahaya, serta penyinaran matahari yang pendek. Tanaman artemisia termasuk tanaman hari pendek, sehingga apabila ditanam di daerah tropis yang
5 penyinarannya kurang dari 13 jam/hari maka akan merangsang pembungaan. Penanaman artemisia pada umumnya dilakukan dengan menggunakan biji. Biji tanaman ini akan tumbuh setelah 10 hari persemaian. Menurut Mert et al. (2002), penanaman artemisia sebanyak 15 tanaman per m2 menghasilkan kandungan minyak esensial yang tinggi. Artemisia annua L. merupakan tanaman yang direkomendasikan oleh WHO untuk obat penyakit malaria (Ritchey dan Ferreira, 2006). Tanaman artemisia mengandung senyawa lakton seskuiterpene seperti artemisinin yang sangat efektif terhadap Plasmodium. Kandungan artemisinin pada tanaman artemisia terdapat pada bagian daun, batang dan bunga. Menurut Namdeo et al. (2006), kandungan artemisinin pada bagian daun dan bunga artemisia adalah 0.01 – 1.1% dari berat kering daun dan bunga. Selain itu, tanaman artemisia mengandung artesunate dan artemether. Tanaman ini memiliki rasa pahit yang disebabkan oleh adanya kandungan absinthin dan anabsinthin. Akar dan batang tanaman artemisia mengandung inulin yang terdiri atas artemose cabang kecil yang mengandung oxytocin, yomogoci alkohol, dan ridentin. Penelitian – penelitian tentang pemupukan tanaman artemisia belum banyak dilakukan (Ritchey dan Ferreira, 2006). Pemberian pupuk P meningkatkan produksi daun tanaman artemisia (Djazuli et al, 2007). Menurut Ayanoglu et al,. (2002), peningkatan pemberian pupuk N pada tanaman artemisia tidak meningkatkan kandungan artemisinin pada tanaman secara signifikan. Menurut Zhenghao et al., (2007), kandungan artemisinin juga dipengaruhi oleh kondisi iklim, waktu tanam, waktu panen, suhu, cahaya dan air.
Artemisinin Artemisinin adalah senyawa aktif yang berkhasiat antimalaria dan efektif terhadap parasit Plasmodium yang resisten terhadap chloroquine (Titulear et al., 1990). Artemisinin dapat dengan cepat mengurai dan membersihkan darah dari parasit Plasmodium sampai 90% hanya dalam waktu 48 jam (Namdeo et al., 2006). Selain itu, artemisinin sudah digunakan selama lebih dari 30 tahun di Vietnam dan Cina untuk menanggulangi kanker. Di alam kandungan artemisinin pada tanaman Artemisia annua L. berkisar antara 0.1 – 1.8%.
6 Artemisinin termasuk golongan seskueterpen dari kelompok terpenoid (Gambar 1). Menurut Robinson (1995) seskueterpen adalah senyawa C15 dari tiga satuan isopren yang terdapat sebagai komponen minyak atsiri yang berperan memberikan aroma pada buah dan bunga. Seperti halnya senyawa minyak atsiri lainnya, artemisinin merupakan senyawa dengan tingkat kepolaran rendah sehingga sangat sedikit larut dalam air dan mudah larut dalam senyawa semipolar ke arah polar seperti campuran n-hexan dengan etil alkohol.
Gambar 1. Struktur Kimia Artemisinin Kandungan artemisinin pada tanaman Artemisia annua paling tinggi terdapat pada bagian daun yaitu sebesar 89% dari total artemisinin yang terkadung pada tanaman yang tersebar di daun bagian atas 41.7%, daun bagian tengah 25% dan daun bagian bawah 22.2% (Kardinan, 2006). Bagian bunga dan batang tanaman artemisia juga mengandung artemisinin. Senyawa artemisinin terdapat pada glandular trichomes, suatu organ yang hanya terdapat pada bagian daun, batang dan bunga (Ferreira et al., 2005). Mutasi Mutasi adalah suatu perubahan genetik, baik untuk gen tunggal, sejumlah gen atau susunan kromosom (Sutjahjo et al., 2005). Oganisme baru hasil mutasi diberi istilah mutan. Bila perubahan bahan genetik tersebut menghasilkan perbedaan yang sangat besar antara mutan dengan liar, ada kemungkinan bahwa perbedaan tersebut menyebabkan mutan dengan liar tidak dapat melakukan perkawinan dan menghasilkan keturunan yang fertile (Jusuf, 2001). .
7 Mutagen yang paling terkenal dibandingkan mutagen yang lainnya, ialah mutagen hasil radiasi atau penyinaran. Misalnya radiasi dengan memakai sinar X yang bisa menyebabkan terjadinya ionisasi di dalam sebuah sel. Menurut Brewbaker (1983), setiap peristiwa ionisasi
menyangkut pemindahan sebuah
elektron dari sebuah atom kepada atom lainnya. Sepasang atom yang mengalami ionisasi tersebut secara fisik adalah tak stabil dan sangat reaktif. Sebuah reaksi ionisasi mempunyai efek yang cukup untuk menghasilkan aktivitas satu molekul DNA atau molekul enzim. Efek langsung yang segera terjadi dari proses ionisasi pada prinsipnya adalah pemotongan atau penyambungan pada molekul DNA Saat ini mutagen yang banyak digunakan adalah sinar gamma. Iradiasi dengan menggunakan sinar gamma berpotensi menghasilkan keragaman pada tanaman. Menurut Purwati (2009), perlakuan iradiasi dengan sinar gamma pada mata tunas tanaman artemisia menyebabkan adanya keragaman baik pada karakter kualitatif maupun pada karakter kuantitaif.
Interaksi Genetik x Lingkungan dan Analisis Stabilitas Tanaman Interaksi genotipe x lingkungan dikaitkan dengan perakitan varietas baru yang menunjukan stabilitas bila ditanam pada lingkungan berubah atau berbeda. Pengetahuan tentang interaksi antara genotipe dan lingkungan mempunyai arti penting dalam program seleksi. Setelah diperoleh genotipe potensial dari hasil seleksi, maka genotipe ini dievalusi pada berbagai lingkungan sebelum dilepas sebagai varietas baru. Pemulia mengharapkan agar varietas yang dihasilkan tetap berpotensi (Sutjahjo et al., 2005). Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman agar sesuai dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi genotipe x lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan, dapat digunakan oleh pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Stabilitas suatu genotipe adalah kemampuan genotipe untuk hidup pada berbagai lingkungan yang beragam sehingga fenotipenya tidak banyak mengalami perubahan pada tiap – tiap lingkungan tersebut. Stabilitas fenotipe disebabkan oleh kemampuan organisme untuk dapat mengetahui dirinya terhadap lingkungan beragam sehingga tanaman
8 tidak banyak mengalami perubahan sifat fenotipenya. Genotipe dengan hasil tinggi dan stabil akan berpenampilan baik di semua lingkungan. Beberapa metode untuk mempelajari stabilitas genotipe yaitu koefisien keragaman (KK), wricke ekovalens, koefisien regresi, dan metode additive main effect multiplicative (AMMI) (Syukur, 2008).
AMMI (Additive Main Effect Multiplicative) Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis hasil uji multilokasi adalah metode additive main effect multiplicative (AMMI). Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Analisis AMMI dapat menjelaskan interaksi galur dengan lokasi. Penyajian pola tebaran titik-titik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lokasi maka hasil penguraian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen lokasi secara simultan. Penyajian dalam bentuk plot yang demikian disebut biplot. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan, dan antar galur dan lingkungan. Biplot tersebut menyajikan nilai kompoen utama dan rataan (Syukur, 2008). Metode yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah komponen utama adalah metode postdictive success dan predictive success (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Penentuan komponen utama berdasarkan metode postdictive success berdasarkan jumlah sumbu yang nyata pada uji F analisis ragam, sedangkan penentuan sumbu utama berdasarkan metode predictive success dilakukan dengan validasi silang, yaitu membagi data menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk membangun model dan kelompok lain digunakan untuk validasi (menentukan jumlah kuadrat sisaan). Hal ini dilakukan berulang – ulang pada setiap ulangan dibangun model dengan berbagai sumbu utama. jumlah komponen utama yang terbaik adalah yang rataan akar kuadrat tengah sisa Root Mean Square Preddictive success (RMSPD) dari data validasi paling kecil (Syukur, 2008). Interpretasi biplot nilai komponen pertama dan rataan respon terutama untuk titik-titik sejenis. Jarak titik-titik amatan berdasarkan sumbu datar menunjukan
9 pengaruh utama amatan-amatan tersebut. Jarak titik-titik amatan berdasarkan sumbu tegak menunjukan perbedaan pengaruh interaksinya atau perbedaan kesensitifannya terhadap lokasi, sedangkan interpretasi untuk titik-titik sejenis yang diperoleh dari biplot nilai komponen utama kedua dan nilai komponen utama pertama merupakan jarak titik-titik amatan yang menunjukan perbedaan interaksi. Interpretasi titik-titik amatan yang berlainan jenis biplot nilai komponen utama kedua dan nilai komponen utama pertama menunjukan interaksi antar titik amatan. Titik amatan yang mempunyai arah sama menunjukan berinteraksi positif (saling menguatkan) dan titik-titik yang berbeda arah menunjukan berinteraksi negatif (Syukur, 2008).
Ketinggian Tempat Ketinggian tempat berpengaruh terhadap suhu, kelembaban, radiasi surya dan lama penyinaran. Menurut Handoko (1995), secara umum suhu dan radiasi surya makin rendah dengan meningkatnya ketinggian tempat. Rata - rata penurunan suhu udara menurut ketinggian di Indonesia sekitar 5 - 6 0C tiap kenaikan 1 000 m. Penerimaan radiasi surya sangat bervariasi disebabkan olah perbedaan letak lintang dan keadaan atmosfir terutama awan. Semakin tinggi suhu menyebabkan kelembaban semakin menurun, sehingga semakin tinggi ketinggian maka kelembaban semakin meningkat. Respon pemanjangan batang akibat panjang hari merupakan fenomena fotoperiode yang paling umum, selain itu tanaman yang terkena cahaya lebih banyak, memiliki cabang yang lebih banyak (Salisbury dan Ross, 1995). Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap proses pembungaan, tanaman hari pendek akan berbunga apabila menerima penyinaran kurang dari periode kritisnya (Gusmaini dan Nurhayati, 2007).