HUBUNGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA DENGAN KEJADIAN MALARIA DI PROVINSI PAPUA TAHUN 2010 Djunaedi, Martya Rahmaniati Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak. Latar belakang : Malaria masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, Provinsi Papua memiliki endemisitas malaria tertinggi, berdasarkan Riskedas 2010 kasus baru malaria di Provinsi Papua sebesar 261,5
0/00,
jauh diatas angka nasional (22,9
0/00).
Faktor Perilaku
berpengaruh terhadap kejadian malaria, disamping faktor-faktor lainnya. Metode : Penelitian dilakukan dengan mengambil dan menganalisis data Riskesdas 2010, Estimasi dilakukan dengan memasukkan nilai bobot individu, sedang konfidens interval 95% didapatkan dengan memperhitungkan desain sampling yang kompleks. Data yang dianalisis berasal dari responden berumur ≥ 15 tahun, berjumlah 1.660 orang. Hasil : Proporsi kejadian malaria di Povinsi Papua sebesar 26,61 %, Rumah yang tidak terpasang kassa nyamuk dan terletak jauh dari perindukan nyamuk memiliki risiko 2,6 kali untuk terkena malaria (CI : 1,51 – 4,62 P value : 0,001). Masyarakat yang tinggal di daerah pantai memiliki risiko 2,4 kali terkena malaria (CI : 1,2 – 4,5 P value : 0,01) Kesimpulan : Perilaku pemasangan kasa nyamuk pada jendela/ventilasi rumah merupakan faktor protektif untuk terjadinya malaria, sedangkan daerah pesisir pantai merupakan faktor risiko untuk terjadinya malaria
Kata Kunci : Malaria ; Perilaku ; Riskesdas ; Papua.
Relationship Between Malaria Prevention Behaviours with Malaria incidens in Papua Province 2010
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Abstract. Background : Malaria is still a health problem in Indonesia, Papua Province has the highest malaria endemicity, based Riskedas 2010 new cases of malaria in Papua Province 261.5 0/00, well above the national average (22.9 0/00). Behavioral factors influence the incidence of malaria, in addition to other factors. Methods : The study was conducted by taking and analyzing data Riskesdas 2010, Estimation is done by inserting the value of the individual weights, being confidens interval 95% is obtained by taking into account the complex sampling design. The data analyzed comes from respondents aged ≥ 15 years, totaling 1,660 people Results : The proportion of malaria incidens in Papua Province 26.61%, House ventilation that doesn’t use mosquito nets and stay away from mosquito breeding places have risk of malaria incidens 2.6 times greater compare house who used mosquito netting and stay away from mosquito breeding (CI: 1.51 to 4.62 P value: 0.001). People living in coastal areas at risk of malaria 2.3 times more likely than people who do not live in coastal areas (CI: 1.2 to 4.5 P value: 0.01). Conclusion : Mounting behavior mosquito netting on the windows / vents house is a protective factor for the occurrence of malaria, while the coastal areas is a risk factor for the occurrence of malaria
Keywords : Malaria, Behavior, Riskesdas, Papua
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan di Indonesia berpedoman kepada butir-butir Millenium Development Goals (MDGs) yang telah disepakati oleh negara-negara PBB pada tahun 2000. Sekitar 192 negara menyepakati untuk memenuhi target MDGs pada tahun 2015.Salah satu target dari MDGs adalah memberantas HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain. Malaria masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, penyakit ini dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja.
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Diberbagai negara, malaria bukan hanya permasalahan kesehatan semata. Malaria telah menjadi masalah sosial ekonomi, seperti kerugian ekonomi (economic lost), kemiskinan dan keterbelakangan. Pada tanggal 12 November 1959 di Yogyakarta, Presiden Soekarno mencanangkan dimulainya program pembasmian malaria. Program ini kemudian dikenal dengan istilah Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Ketika akhirnya kegiatan KOPEM dihapus pada tahun 1968, kegiatannya diintegrasikan ke dalam kegiatan Ditjen Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M). Departemen Kesehatan. Sampai dengan tahun 2009, sekitar 80% Kabupaten/Kota di Indonesia masih termasuk katagori endemis malaria dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular malaria. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, kasus baru malaria dalam satu tahun terakhir adalah: 22,9 permil. Lima provinsi dengan kasus baru malaria tertinggi di Indonesia adalah Papua (261,5‰), Papua Barat (253,4‰), Nusa Tenggara Timur (117,5‰), Maluku Utara (103,2‰) dan Kepulauan Bangka Belitung (91,9‰). Kejadian malaria ditemukan pada semua kelompok umur dan terendah pada bayi dengan angka Kasus Baru malaria 11,6 permil, sedangkan kelompok umur lain hampir sama yaitu sekitar 21,4-23,9 permil. Kasus baru malaria lebih banyak pada laki-laki (24,9‰), pada pendidikan tidak tamat SD (27,5‰), petani/nelayan/buruh (29,8‰) dan di perdesaan (29,8‰) Propinsi Papua memiliki endemisitas malaria yang sangat tinggi, jumlah penderita malaria klinis tahun 2010 sebanyak 389.069 kasus, dengan Annual Malaria Insidens (AMI) 164 ‰. Sebanyak 371.789 kasus klinis didiagnosis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis maupun dengan Rapid Diagnostic Test (RDT), dari hasil pemeriksaan diagnosa tersebut 141.672 kasus adalah positif malaria. 1 Selain karakteristik individu dari hasil berbagai penelitian faktor lingkungan tempat tinggal seperti dekat perindukan nyamuk dan peternakan hewan besar juga berhubungan dengan kejadian malaria. Faktor perilaku yang dilakukan masyarakat dalam mencegah gigitan nyamuk pada saat tidur dengan cara menggunakan kelambu, jendela/ventilasi yang dipasang kasa nyamuk dan pemakaian obat anti nyamuk juga berhubungan dengan kejadian malaria.
METODE
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Riskesdas adalah sebuah penelitian yang menggunakan desain studi potong lintang (cross sectional). Riskesdas 2010 merupakan Riskesdas Millenium Development Goals (MDGs) dengan representasi tingkat provinsi di seluruh Indonesia yang berbasis masyarakat. Riskesdas 2010 akan memberikan informasi khusus mengenai pencapaian MDGs kesehatan sesuai komitmen upaya kesehatan tingkat global dan nasional. Selain itu, juga sebagai sarana untuk mengevaluasi perkembangan beberapa status kesehatan masyarakat Indonesia di tingkat nasional dan provinsi, perubahan masalah kesehatan di tingkat nasional dan provinsi, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan di tingkat nasional dan provinsi dalam tiga tahun terakhir Keuntungan desain penelitian ini adalah relatif mudah, murah dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat. Sedangkan kelemahan dari desain penelitian ini adalah sulit untuk menentukan sebab akibat karena pengambilan data penyakit dan pajanan dilakukan pada saat yang bersamaan. Pengumpulan data Riskesdas dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner rumah tangga dengan kode form RKD10.RT dan kuesioner Individu dengan kode form RKD10.IND Riskesdas 2010 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS kecuali 2 BS di Kabupaten Nduga, Papua. Dengan demikian dari 2800 BS yang terpilih, 2798 BS yang berhasil dikunjungi (99,9%). Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten yang sudah dilatih. Jumlah BS yang terdapat di Provinsi Papua sebanyak 33 BS.2 Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah seluruh responden rumah tangga dalam Riskesdas 2010 di Provinsi Papua. Kriteria Eksklusi adalah responden berusia < 15 tahun., dan tidak tidak memiliki data lengkap pada variabel-variabel penelitian yaitu kejadian malaria, perilaku pencegahan malaria, umur, jenis kelamin, Pendidikan, klasifikasi desa, dekat perindukan nyamuk, dekat peternakan hewan besar. Besar sampel pada penelitian adalah sampel yang terdapat pada Riskesdas 2010 sehingga penentuan besar sampel mengacu pada data Riskesdas 2010. Sampel yang terkumpul pada Riskesdas 2010 untuk Povinsi Papua sebanyak 2.621 responden. penelitian menggunakan rumus pengujian hipotesis dua proporsi (Lemeshow, 1977), yaitu :
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
n
z
1 / 2
2 P (1 P ) z1 P1 (1 P1 ) P2 (1 P2 ) ( P1 P2 ) 2
xDeff 2
Keterangan : n
= Besar sampel
Z 1-α
= Nilai Z pada derajat kepercayaan (1-α/2)
Z 1-b
= Nilai Z pada kekuatan uji (power)
P1
= Proporsi malaria pada kelompok 1 tidur tidak menggunakan kelambu berdasarkan penelitian Babba yaitu 89 % (0,89)
P2
= Proporsi malaria pada kelompok 2 tidur menggunakan kelambu berdasarkan penelitian Babba yaitu 11 % (0,11)
Deff
=`2 (efek rancangan karena pengaruh multi stage clustering dari sampel). Berdasarkan rumus diatas didapatkan sampel terbanyak adalah 236 subjek dari variabel
kepemilikan hewan ternak,
sampel minimum yang akan dibutuhkan adalah 236 sampel.
Sedangkan jumlah sampel yang tersedia 2.621 sampel, setelah dilakukan eksklusi kriteria maka jumlah sampel yang akan dianalis sebesar 1.660 Sampel. Data yang ada dilakukan transformasi data dan pengkodean, kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan Stata versi 11.0 berlisensi Universitas Indonesia. Analisis bivariat menggunakan uji chi square, sedangkan untuk analisis multivariat menggunakan Regresi Logistic Ganda dengan metode backward. Tahapan analisis multivariat terdiri dari seleksi bivariat dimana, masing-masing variabel independen dilakukan analisis bivariat dengan variabel dependen. Bila hasil bivariat menghasilkan p value < 0.25, maka variabel tersebut langsung masuk tahap multivariat. Untuk variabel independen yang hasil bivariatnya menghasilkan p value > 0,25 dikeluarkan dari model kecuali variabel tersebut penting secara substansi. Selanjutnya dilakukan pemodelan multivariat dengan memasukan semua variabel kandidat, kemudian variabel yang tidak signifikan di keluarkan satu persatu dimulai dari signifikan yang terbesar. Selanjutnya dilakukan penilaian perubahan OR terhadap seluruh variabel. Bila ada
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
perubahan OR > 10% pada variabel yang tersisa, maka variabel tersebut dianggap sebagai variabel konfounding dan dimasukan kembali ke dalam model.
HASIL Dari hasil penelitian diketahui bahwa proporsi responden yang tidak menderita malaria lebih banyak dibandingkan responden yang menderita malaria (Tabel 1). Berdasarkan karakteristik perilaku pencegahan malaria, Ada hubungan antara perilaku pencegahan malaria dengan kejadian malaria (P =
0,009).
Dimana responden yang tidur tidak menggunakan
kelambu mempunyai risiko 0,57 kali lebih kecil untuk
mengalami kejadian malaria
dibandingkan responden yang tidur menggunakan kelambu (OR: 0,57 ; 95% CI: 0,37-0,86), sedangkan perilaku pemasangan kasa nyamuk pada jendela/ventilasi rumah tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (OR : 1,19 CI : 0,78 – 1,81). Penggunaan
obat
nyamuk
bakar/elektrik
atau
tindakan
penyemprotan
obat
nyamuk/insektisida hanya memiliki risiko 0,85 kali lebih kecil untuk terkena malaria dibandingkan mereka yang tidak melakukan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk bakar/elektrik atau penyemprotan obat nyamuk/insektisida dengan kejadian malaria. Demikian pula halnya dengan perilaku penggunaan repellen/bahan-bahan pencegah gigitan nyamuk, walaupun risiko terjadinya malaria 1,17 kali pada mereka yang tidak menggunakan repellen/bahan-bahan pencegah gigitan nyamuk, tetapi hasil uji statistik tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara perilaku penggunaan repellen dengan kejadian malaria (p = 0,522). (Tabel 2).
Tabel 1. Kejadian Malaria di Provinsi Papua Tahun 2010 Kejadian Malaria Tidak Ya Total
Jumlah
Persentase (%)
1.226
73,39
434
26,61
1.660
100
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Tabel 2. Hubungan Perilaku Pencegahan Malaria dengan Kejadian Malaria di Provinsi Papua tahun 2010 Malaria Perilaku Pencegahan
Tidak N
%
Ya
Total
N
%
Sig
OR(95% CI)
0,009
0,57 (0,37- 0,86)
Tidur Menggunakan Kelambu Ya
557
67,97
245
32,03
802
Tidak
669
78,86
189
21,14
858
Pemasangan kasa nyamuk pada jendela/ventilasi Ya
228
76,21
61
23,79
289
Tidak
998
72,85
373
27,15
1.371
0,394
1,19 (0,78–1,81)
Penggunaan obat nyamuk bakar/elektrik /semprot Ya
657
71,81
242
28,19
899
Tidak
569
74,96
192
25,04
761
0,460
0,85 (0,54-1,32)
Menggunakan Repellen/bahan2 pencegah gigitan nyamuk Ya Tidak
170
76,00
52
24,00
222
1.056
73,01
382
26,99
1.438
0,522
1,17 (0,71–1,92)
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah daerah pantai, pada masyarakat yang tinggal di daerah pantai memiliki risiko untuk terkena malaria 2,3 kali dibandingkan masyarakat yang tinggal jauh dari area pantai ( CI: 1,17 – 4,55 p value = 0,01). Sedangkan letak perindukan nyamuk dengan tempat tinggal responden, tidak berrhubungan dengan kejadian malaria (p value = 0,918). (Tabel 3). Proporsi kejadian malaria pada daerah perdesaan dengan daerah perkotaan tidak jauh berbeda yaitu 26,5 % dan 26,8 %. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian malaria pada daerah perdesaan dengan daerah perkotaan (p=0,984). Proporsi kejadian malaria pada daerah yang berbatasan dengan laut atau berada di pesisir pantai sebesar sebesar 31,71 %. Hasil uji statiski menunjukkan adanya hubungan antara kejadian malaria dengan letak geografis
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
wilayah yang berada di daerah pantai (p=0,017). Proporsi kejadian malaria pada masyarakat yang tinggal dekat perindukan nyamuk, tidak jauh berbeda dengan kejadian malaria pada masyarakat yang tinggal jauh dari perindukan nyamuk, yaitu sebesar 26,2 % dan 26,8 %, Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan antara kejadian malaria dengan tempat perindukan nyamuk (p = 0,918). Tidak adanya hubungan antara kejadian malaria dengan lingkungan rumah yang dekat peternakan hewan besar (p=0,278). Tabel 3. Hubungan Kejadian Malaria Berdasarkan Faktor Lingkungan di Provinsi Papua Tahun 2010 Malaria Variabel
Tidak
Ya
Total
N
%
N
%
Perkotaan
477
73,2
174
26,8
Perdesaan
749
73,5
260
26,5
Tidak
407
83,24
85
16,76
492
Ya
819
68,29
349
31,71
1168
522
Sig
OR(95% CI)
Klasifikasi Wilayah 651 1.009 0,961
0,98 (0,57-1,71)
Daerah Pantai
0,017
2,31 (1,17-4,55)
Dekat Perindukan Nyamuk Tidak
387
73,8
135
26,2
Ya
839
73,2
299
26,8
1.138 0,918 1,03 (0,61 – 1,73)
Dekat Peternakan Hewan Besar Tidak Ya
1149
73,8
395
26,2
1.544
77
68,1
39
31,9
116
0,278 1,32 (0,78 – 2,22)
Faktor karakteristik individu seperti Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan dan status ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian malaria, dengan kata lain penyakit malaria dapat menyerang siapa saja tanpa batasan umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan dan status ekonomi (Tabel 4). Tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian malaria pada usia produktif dengan kejadian malaria pada usia non produktif (OR=0,96 p=0,863), dan tidak ada hubungan kejadian malaria antara jenis kelamin perempuan dengan laki – laki (OR=1,06, p= 0,657).
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Proporsi kejadian malaria pada responden yang berpendidikan tinggi dan rendah hampir sama (26,9% dan 26,5 %). Tidak ada hubungan antara responden yang berpendidikan tinggi dengan responden yang berpendidikan rendah terhadap kejadian malaria (p= 0,911). Proporsi kejadian malaria pada orang yang memiliki pekerjaan untuk terkena malaria lebih kecil (26,14 %) dibandingkan orang yang tidak memiliki pekerjaan (28,46 %), hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian malaria (p = 0,457). Proporsi kejadian Malaria pada masyarakat status ekonomi miskin (26,20 %), tidak jauh berbeda dengan kejadian malaria pada status ekonomi tidak miskin (26,89). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian malaria dengan status ekonomi (p = 0,852), risiko kejadian malaria pada status ekonomi miskin 0,96 kali dibandingkan kejadian malaria pada kelompok tidak miskin (CI = 0,66 – 1,41)
Tabel 4. Hubungan Kejadian Malaria menurut Karakteristik Individu di Provinsi Papua Tahun 2010 Malaria Variabel
Tidak
Ya
Total
Sig
N
%
N
%
1175
73,35
418
26,65
1.593
51
74,11
16
25,89
67
Perempuan
600
73,9
199
26,1
799
Laki-laki
626
72,9
235
27,1
861
Tinggi
431
73,1
153
26,9
584
Rendah
795
73,5
281
26,5
1.076 0,911
Bekerja
966
73,86
332
26,14
1298
Tidak Bekerja
260
71,54
102
28,46
362
OR(95% CI)
Umur Produktif Non Produktif
0,863 0,96 (0,61 – 1,52)
Jenis Kelamin 0,657 1,06 (0,82 – 1,35)
Pendidikan
0,98 (0,63 - 1,51)
Pekerjaan
0,457
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
1,12 (0,82-1,54)
Malaria Variabel
Tidak N
Ya
Total
%
N
%
Sig
OR(95% CI)
Status Ekonomi Tidak Miskin
781
73,11
280
26,89
1.061
Miskin
445
73,80
154
26,20
559
0,852 0,96 (0,66-1,41)
Berdasarkan uji chisquare, variabel-variabel yang memiliki nilai p < 0,25 disertakan dalam analisis multivariat, variabel letak perindukan nyamuk walaupun memiliki nilai p > 0,25, tetap diikutkan dalam analisis mltivariat, karena secara substansi memiliki korelasi dengan penyakit malaria. Hal pertama yang dilakukan adalah membuat variabel interaksi antara faktor perilaku pencegahan malaria dengan tempat perindukan nyamuk. Dalam uji interaksi, suatu variabel dinyatakan berinteraksi dengan variabel lainnya jika p-value yang dihasilkan < 0,05. Jika nilai p variabel tersebut lebih besar dari 0,05 maka dikeluarkan dari uji interaksi secara bertahap dimulai dari nilai p yang paling besar. Setelah tidak ditemukan lagi hasil uji interaksi yang memiliki nilai p > 0,05, maka keseluruhan variabel yang tersisa ditetapkan sebagai full model (Tabel 5). Tabel 5. Full Model Analisis Multivariat Variabel
Nilai P
Kelambu
0.02
Kasa
0.00
Perindukan Nyamuk
0.07
Kasa*Perindukan Nyamuk
0.03
Obat Anti Nyamuk
0.94
Repellen
0.57
Daerah Pantai
0.02
Uji confounding dilakukan untuk mengetahui variabel mana saja yang menjadi perancu dalam pemodelan analisis multivariat, pengujian dilakukan dengan mengeluarkan satu persatu variabel pada full model yang memiliki nilai p > 0,05. Kemudian dilakukan penghitungan perubahan OR sebelum dan sesudah variabel yang mempunyai nilai p > 0,05 dikeluarkan, jika perubahan OR lebih besar dari 10 % maka variabel tersebut dimasukkan kembali kedalam model.
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Dilakukan pengujian counfounding
secara ber urutan, dimulai dari variabel yang
mempunyai nilai p paling besar yaitu perilaku penggunaan obat nyamuk bakar/elekterik/ semprot, setelah dikeluarkan dan dihitung ternyata tidak ada perubahan OR > 10 %. Selanjutnya variabel perilaku penggunaan repellen dikeluarkan dari model, karena memiliki nilai p > 0.05. Hasil akhir dari uji counfounding dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil akhir analisis multivariat didapatkan model regresi logistik hubungan perilaku pencegahan malaria dengan kejadian malaria setelah dikontrol dengan variabel confounding dan adanya efek modifikasi antara penggunaan kassa nyamuk dengan letak perindukan nyamuk adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Model Akhir Analisis Multivariat
Variabel
Coef
P
OR
95% Conf.Interval
Kelambu
- 0.50
0.021
0.61
0.40
0.92
Kassa nyamuk
0.97
0.001
2.64
1.51
4.62
Perindukan Nyamuk
0.95
0.051
2.60
0.99
6.79
Nyamuk
- 0.99
0.027
0.37
0.15
0.89
Daerah Pantai
0.85
0.013
2.35
1.21
4.54
Cons
- 2.26
Kassa nyamuk*Perindukan
PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari pelaksanaan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 sehingga memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang tidak dapat dihindari dalam penggunaan variabel – variabel yang terbatas sehingga dapat mempengaruhi terhadap hasil penelitian. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu desain penelitian yang melihat suatu kejadian (outcome) dan paparannya (exposure) pada satu waktu. Penelitian ini memiliki kekurangan dalam hal ketepatan mengukur asosiasi antara paparan (exposure) dengan akibat (outcome), sehingga tidak dapat diketahui apakah dampak timbul setelah paparan, ataukah sebelum terjadi paparan.
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan upaya yang efektif untuk mencegah dan menghindari kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan orang sehat disaat tidur malam, karena kebiasaan nyamuk Anopheles untuk mencari darah adalah pada malam hari dengan demikian selalu tidur menggunakan kelambu pada malam hari dapat mencegah atau melindungi dari gigitan nyamuk Anopheles spp. Bias informasi yang mungkin terjadi pada saat responden melakukan wawancara adalah tidak dilakukannya observasi terhadap kelambu yang digunakan oleh responden, sehingga tidak diketahui apakah kelambu yang digunakan berinsektisida atau tidak, tidak diketahui pula apakah kualitas kelambu tersebut layak untuk digunakan dan bagaimana frekuensi penggunaannya. Perbedaan lain yang mungkin timbul adalah desain penelitian yang digunakan, Riskesdas tahun 2010 menggunakan desain cross sectional yang artinya tidak dapat menjelaskan apakah perilaku penggunaan kelambu dilakukan oleh responden sebelum terkena malaria ataukah setelah terkena malaria. Bias informasi sangat mungkin terjadi, salah satunya adalah tentang penentuan kasus malaria, pada Riskesdas tahun 2010 seseorang dinyatakan terkena malaria jika menjawab pernah mengalami kasus malaria yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan didukung oleh hasil pemeriksaan darah pada rentang waktu 1 tahun terakhir. Recall bias sangat mungkin terjadi mengingat ada beberapa pertanyaan yang menuntut ingatan responden dalam satu tahun sebelumnya seperti pertanyaan untuk kejadian malaria. Maka faktor daya ingat responden akan mempengaruhi akurasi jawaban yang diberikan. Jendela/ventilasi rumah yang terpasang kaca nyamuk mempunyai hubungan dengan kejadian malaria ( p value = 0,001), dikarena terdapat interaksi antara jendela/ventilasi rumah yang terpasang kawat nyamuk dengan letak perindukan nyamuk, maka maka penghitungan OR harus dihitung secara terpisah menurut strata dari variabel tersebut. Odds untuk terjadinya malaria pada jendela/ventilasi rumah yang tidak terpasang kasa nyamuk dan letak rumah yang jauh dari perindukan nyamuk sebesar 2,6 kali. Odds untuk terjadinya malaria pada jendela/ventilasi rumah yang tidak terpasang kasa nyamuk dan letak rumah yang dekat dengan perindukan nyamuk sebesar 0,9 kali. Hasil interaksi variabel letak perindukan nyamuk dengan variabel jendela/ventilasi rumah pada strata kedua variabel yang menunjang terjadinya kejadian malaria, justru menunjukkan nilai OR yang lebih kecil (OR : 0,9). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Palupi (2010),
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara kejadian malaria dengan tempat tinggal responden yang dekat (< 2 Km ) dengan tempat perindukan nyamuk. Pada penelitan Palupi (2010) dinyatakan risiko terjadinya malaria pada orang yang bertempat tinggal dekat dengan perindukan nyamuk 5,58 kali lebih tinggi dibandingkan orang yang bertempat tinggal jauh dari perindukan nyamuk. Mengacu kepada pedoman wawancara Riskesdas 2010, informasi mengenai keberadaan tempat perindukan nyamuk dengan lokasi tempat tinggal ditanyakan oleh pewawancara kepada responden sehingga mungkin saja terjadi bias informasi. Seharusnya pengambilan informasi dilakukan melalui observasi pewawancara terhadap tempat tinggal responden, pengukuran kedekatan tempat tinggal responden dengan tempat perindukan nyamuk tidak dijelaskan secara rinci pada pedoman wawancara, tidak diinformasikan pula jarak tempat tinggal dengan perindukan nyamuk dalam skala ukur satuan jarak sehingga jawaban yang diberikan responden dapat bersifat subjektif . Provinsi Papua merupakan daerah endemis malaria, pada penelitian ini sebagian besar responden (73,2%) bertempat tinggal dekat dengan tempat perindukan nyamuk, sehingga resiko menderita malaria lebih besar. Karena kemampuan terbang nyamuk 0,5 – 2 km, maka keberadaan tempat perindukan nyamuk pada radius tersebut merupakan faktor resiko bagi penduduk di pemukiman tersebut untuk terkena malaria. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kabupaten yang berbatasan dengan laut, terhadap kejadian malaria (p=0,017). Risiko terjadinya malaria pada responden yang wilayah kabupatennya berbatasan dengan laut (daerah pantai) 2,31 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak berada di daerah pantai. Wilayah pesisir pantai merupakan ekosistem yang baik untuk perindukan nyamuk malaria, di pesisir pantai banyak terdapat genangan air payau sebagai tempat perindukan nyamuk Anopheles, ditambah lagi dengan jarak terbang nyamuk Anopheles yang berkisar antara 2-3 km dari tempat perindukan, sehingga transmisi malaria pada daerah pantai lebih tinggi dibandingkan daerah non pantai.
KESIMPULAN 1. Karakteristik individu (Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan dan status ekonomi) tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria. Atau dengan kata lain
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
malaria dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status sosial seseorang. 2. Perilaku pencegahan malaria yang menjadi faktor protektif terhadap kejadian malaria adalah perilaku pemasangan kassa nyamuk pada jendela/ventilasi rumah. Sebaliknya orang yang melakukan perilaku menggunakan kelambu saat tidur justru menjadi faktor risiko terhadap kejadian malaria. Perilaku penggunaan obat nyamuk bakar/elektrik/semprot dan perilaku pemakaian repellen/bahan-bahan anti nyamuk tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria. 3. Karakteristik lingkungan seperti klasifikasi wilayah pemukiman (perkotaan dan perdesaan) tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria. 4. Keberadaan hewan ternak besar tidak berfungsi sebagai barrier terhadap kejadian malaria, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tempat tinggal yang dekat dengan peternakan hewan besar terhadap kejadian malaria
SARAN 1.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan kelambu terhadap kejadian malaria, guna mendukung kebijakan pendistribusian kelambu berinsektisida yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.
2.
Riset berkala yang akan dilakukan Kementerian Kesehatan ataupun penelitian lainnya yang bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar, khususnya lokasi perindukan nyamuk. Hendaknya melakukan penghitungan radius/jarak lokasi perindukan nyamuk dengan tempat tinggal, sehingga hasil analisis yang dilakukan lebih bermakna.
3.
Program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan eliminasi malaria harus lebih ditingkatkan,
penyampaian informasi tentang penyakit malaria dan pencegahannya
hedaknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat yang berpendidikan rendah. Setelah masyarakat memperoleh pengetahuan yang cukup tentang penyakit malaria dan pencegahannya, maka diharapkan muncul kegiatan mobilisasi di masyarakat untuk mau melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terkait pengendalian vektor dan perilaku pencegahan malaria. 4.
Perlunya upaya pengelolaan lingkungan di daerah pantai untuk membatasi perindukan nyamuk Anopheles, berupa penanaman dan rehabilitasi kawasan hutan mangrove/bakau,
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
penimbunan genangan air di pantai dengan tanah/pasir dan pengaturan kadar garam di lagoon. 5.
Masyarakat yang berada dekat dengan daerah pantai memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena malaria.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Profil Kesehatan Provinsi Papua, 2010.
2.
Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I. Laporan Nasional Riskesdas, Jakarta 2010.
3.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia, Jakarta 2011.
4.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Modul Manajemen Pemberantasan Penyakit Malaria, Jakarta 2005.
5.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, Jakarta 2005.
6.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Surveilans Malaria, Jakarta 2007.
7.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Modul Penemuan dan Pengobatan Penyakit Malaria, Jakarta 2005.
8.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Pedoman Pengisian Kuesioner Riset Kesehatan Dasar 2010 , Jakarta 2010.
9.
Gunawan S, 2000. Epidemiologi Malaria dalam Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganannya, dikutip oleh Harijanto P.N, Buku Kedokteran EGC, Jakarta
10. Gandahusada, S.,
2006. Parasitologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta 11. Harijanto P.N, 2010. Gejala klinis malaria Ringan dalam Malaria dari molekuler ke klinis, Edisi ke 2, , Buku Kedokteran ECG, Jakarta. 12. Hastono, Sutanto Priyo, 2006. Modul Kuliah Manajeman Data 2. Universitas Indonesia 2006.
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014
13. Kholis, 2011. Hubungan Faktor Risiko Individu dan Lingkungan Rumah dengan Malaria di Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2010, Makara Kesehatan Volume
15
No.
2,
Desember
2011
:
51-57
http://journal.ui.ac.id/health/article/viewFile/916/855 diakses tanggal 30 Agustus 2013. 14. Nugroho. Agung, 2010. Pencegahan malaria dalam Malaria dari molekuler ke klinis, Edisi ke 2, dikutip oleh Harijanto P.N, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 15. Nugroho. Agung, 2010. Patogenesis malaria berat dalam Malaria dari molekuler ke klinis, Edisi ke 2, dikutip oleh Harijanto P.N, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 16. Notoatmodjo, Soekijo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Edisi pertama, Rineka Cipta, Jakarta. 17. Saikhu Ahmad, 2011. Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Mempengaruhi Kejadian Kesakitan Malaria Di Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Aspirator Vol. 3 No. 1 – 2011 ; hal 8 - 17 18. Sari, Rika Maya, 2012. Karakteristik Masyarakat Penderita Malaria di Propinsi Bengkulu. Buletin Spirakel tahun 2012 ; hal 41-48. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php /spirakel/article/view/2970 diakses tgl 16 Juni 2014.
Hubungan perilaku..., Djunaedi, FKM UI, 2014