PERILAKU ETNIS PAPUA MENGENAI PENYAKIT MALARIA DI KABUPATEN NABIRE PAPUA
PAPUA ETHNIC BEHAVIOR OF MALARIA IN NABIRE
Ester,1 Ridwan M. Thaha,2 Hasanuddin Ishak,3
1
Program Studi Keperawatan Nabire, Politeknik Kesehatan Jayapura Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar, 3 Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar. 2
Alamat Korespondensi : Ester Program Studi Keperawatan Nabire Politeknik Kesehatan Jayapura, HP: 081354047695 Email:
[email protected]
Abstrak Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Genus Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk anopheles dan hingga saat ini malaria masih menjadi masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku etnis Papua mengenai penyakit Malaria di Kabupaten Nabire. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Nabire dengan desain kualitatif berupa pendekatan fenomenologis, Pengumpulan informasi dilakukan melalui Wawancara Mendalam dan Observasi Partisipasi Pasif. Penentuan informan dalam penelitian dilakukan dengan metode Purpossive sampling. Informan dalam penelitian ini adalah penderita malaria dan Tokoh Masyarakat dan petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat etnis Papua memiliki pemahaman tentang penyakit malaria berdasarkan kepercayaan dan pengalaman yang mereka miliki, informan tidak dapat menyebutkan secara tepat penyebab langsung dan cara penularan malaria. Keputusan masyarakat dalam melakukan pencegahan dan pengobatan malaria dilakukan sesuai dengan petunjuk dari orang yang dianggap penting terutama dari keluarga, Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan merupakan faktor pendukung dalam penanggulangan malaria, serta kebiasaan masyarakat etnis Papua yang sering berada diluar rumah pada malam hari meningkatkan resiko terkena malaria. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang malaria (penyebab, tanda dan gejala) yang dimiliki oleh masyarakat etnis Papua masih sangat rendah, dukungan tokoh masyarakat tidak diperoleh dengan maksimal, ketersediaan sumber daya dalam penanggulangan malaria oleh etnis Papua belum maksimal serta sosial budaya yang kurang mendukung dalam penanggulangan malaria.
Kata Kunci
: Perilaku,Etnis papua, Malaria
Abstrack Malaria is an infectious disease caused by the parasite Plasmodium genus which is transmitted by the Anopheles mosquito,until now malaria remains a major health problem in Indonesia.. This study aims to describe the behavior of ethnic Papuans Malaria in Nabire. The experiment was conducted in Nabire to design a qualitative phenomenological approach, gathering information carried through in-depth interviews and observations Passive Participation. Determination of the informants in the study conducted by purposive sampling method. Informants in this study were patients with malaria and community leaders and health workers. The results showed that the ethnic Papuan people have an understanding of malaria based on trust and experience they have, the informant could not exactly mention the direct cause and mode of transmission of malaria. The decision in the prevention and treatment of malaria conducted in accordance with the instructions of the person who is considered important primarily of family, availability of health infrastructure is a contributing factor in the prevention of malaria, as well as the habits of ethnic Papuans who often are outside the house at night increases the risk of malaria . Conclusion The study showed that knowledge about malaria (causes, signs and symptoms) are owned by ethnic Papuan society is still very low, the support of community leaders is not obtained to the maximum, the availability of resources in the prevention of malaria by Papuan ethnic socio-cultural is not maximized and less support in malaria prevention. Keyword
: Behavior, Papua Etnic, Malaria
2
PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Genus Plasmodium
yang ditularkan oleh
nyamuk
anopheles.
Infeksi
malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan ikterus (Harijanto, 2009). Hingga saat ini malaria masih menjadi masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Data dari dinas kesehatan Nabire menunjukkan bahwa angka kejadian malaria berupa AMI (Annual Malariae Incidence) tahun 2010 sebesar 176,9 per 1000 dan tahun 2011 sebesar 168,7 per 1000, angka ini menempatkan Kabupaten Nabire berada pada level “High Area”. Perilaku yang demikian, tidak dapat dipungkiri dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya adalah konsep pemikiran dan perasaan berupa pengetahuan etnis papua tentang penanggulangan malaria di kabupaten Nabire. Selain faktor pengetahuan, penderita malaria pada etnis papua sangat membutuhkan dukungan moril maupun materil dari orang yang dianggap penting dalam kelompoknya. Orang yang dianggap penting tersebut bisa didapatkan dari orang terdekat dalam hal ini keluarga atau dari tokoh masyarakat atau tokoh adat. Konsep ketersediaan sumber daya termasuk akses informasi dan fasilitas kesehatan yang cenderung sulit untuk dijangkau etnis papua , terlebih yang berada di daerah-daerah terpencil sangat sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Disamping itu, hal lain yang juga penting dalam upaya penanggulangan malaria adalah budaya. Hasil penelitian Ningsih, dkk (2010) di Sulawesi Tengah mengungkapkan bahwa kepercayaan masyarakat mengenai penyakit malaria, cara pengobatan dan cara pencegahan malaria masih sangat kuat memegang adat istiadat dalam hal penyembuhan dan mempersepsikan suatu penyakit. Di Papua sendiri terdapat berbagai suku bangsa dengan ragam kebiasaan dan perilaku yang juga merupakan faktor berpengaruh dalam menunjang keberhasilan partisipasi masyarakat dalam program pengendalian malaria. Memperhatikan situasi sosial masyarakat etnis papua di Kabupaten Nabire serta hasil-hasil penelitian tersebut diatas memperlihatkan fakta determinan perilaku etnis Papua dalam penanggulangan malaria. Olehnya itu,
3
penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengetahui gambaran perilaku etnis papua mengenai penyakit malaria di Kabupaten Nabire.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenemonologis. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini diambil dengan cara purpossive sampling, yang menjadi nforman adalah penderita malaria, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. Metode Pegumpulan Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara, yaitu wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara dan observasi partisipasi pasif (passive participation). Adapun pengumpulan data sekunder dengan melakukan telaah dokumen. Metode Analisis Data Teknik analisis data dilakukan melalui tiga alur, yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification (Milles dan Huberman, dalam Sugiyono, 2012).
HASIL Karakteristik Infoman Informan yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 18 orang terdiri dari 9 orang penderita malaria, 6 orang petugas kesehatan dan 3 orang tokoh masyarakat. Konsep Pemikiran dan Perasaan Pengetahuan tentang malaria Pengetahuan informan tentang penyakit malaria meliputi pemahaman tentang malaria, gejala fisik, penyebab, penularan, cara pencegahan dan cara pengobatan malaria. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat
4
pada dasarnya memahami bahwa malaria merupakan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak bersih. sebagaimana kutipan wawancara berikut : “sa juga su pernah kena malaria itu karna tongpu rumah tra bersih jadinya sa kena malaria. Menurut saya Malaria itu berbahaya” (EW, 41 tahun)
Hasil wawancara dengan informan tentang penyebab malaria juga menunjukkan bahwa sebagian besar informan menuturkan penyakit malaria disebabkan oleh faktor lingkungan, berikut kutipan wawancaranya : “Malaria itu dapat kena kita kalau lingkungan kita itu kotor, banyak sampah jadinya banyak lalat di rumah singgah dimakanan terus kita makan, jadi kita kena malaria” (RE, 23 tahun)
Adapun gejala fisik penyakit malaria yang dipahami informan berdasarkan pengalaman yang mereka alami ketika menderita malaria, sebagaimana kutipan wawancara dengan informan berikut ini : “Demam, loyo kalau kena malaria. Jadi orang kalau kena malaria itu jadi tra bisa kerja karena merasa loyo terus badan” (EW, 41 tahun) “waktu saya kena malaria sapu tulang terasa sakit semua, sa juga kurang darah” (TM, 19 tahun)
Masih ditemukan informan memiliki pemahaman yang salah terkait dengan penularan malaria, seperti penuturan informan berikut ini : “sekarang disini lagi ada musim rambutan, jadi banyak anak-anak kena malaria karna dong terlalu banyak makan rambutan.” (HK, 28 tahun)
Upaya pencegahan malaria yang dilakukan informan sangat berkaitan dengan pemahaman mereka yang menganggap bahwa malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang kotor, maka cara pencegahan yang dilakukan masyarakat lebih difokuskan juga dengan upaya menjaga kebersihan lingkungan. “Perlindungannya supaya kita sehat, tidak kena malaria, semuanya itu sehat, artinya bersih, kita berusaha bagaimana supaya tetap sehat, yang penting lingkungannya saja, kalau lingkungannya kotor nyamuk itu dia harus di tempat kotor dulu baru dia berkembang. Jadi kalau ada tempat kotor berarti mudah sekali berkembang. Jadi itu sampah perlu dibakar ka atau di timbun.” (HK, 28 tahun)
5
Kendala utama dalam melakukan upaya pencegahan malaria karena kesadaran masyarakat yang masih kurang dalam menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu, persoalan ekonomi juga masih menjadi salah satu hambatan masyarakat dalam melakukan pencegahan malaria. Berikut kutipan wawancara dengan Kepala Puskesmas : “Untuk pencegahannya yang susah, kesadaran mereka untuk berobat ada, tetapi kesadaran itu untuk sementara dia sakit saja, hanya yg sekarang mereka bagaimana mereka mencegah diri supaya dong tidak sakit malaria. Persoalan ekonomi mencegh malaria, untuk membeli kelambu sj dia tidak mau, karena itu tdk penting, lebih penting untuk makan dan anak sekolah, cari ikan dilaut untuk beli beras untuk makan, kalau beli kelambu rasa rugi” (OR, 45 tahun)
Pengobatan
malaria
yang
dilakukan
masyarakat
terkadang
menggunakan pengobatan modern dengan berkunjung ke rumah sakit dan puskesmas. Namun, terdapat juga beberapa masyarakat yang lebih memilih menggunakan pengobatan tradisional. “biasa tong kerumah sakit ambil obat. Karna malaria itu kan sangat berbahaya jadi tong ambil obat ke rumah sakit atau ke puskesmas saja” (AM, 48 tahun) “Biasa kitong pake kulit kayu susu, diapu pohon besar, yang diambil diapu kulit saja, direbus,baru di minum” RE, 23 tahun)
Sikap terhadap penyakit mlaria Sikap masyarakat Papua terhadap penyakit malaria, pada dasarnya mereka sadar bahwa upaya pencegahan malaria penting dilakukan. Namun, belum ada upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegah malaria. Masyarakat cenderung mengharapkan bantuan dari pemerintah dalam hal ini Puskesmas agar melakukan upaya – upaya pencegahan malaria, seperti fogging. Berikut kutipan wawancara informan : “Kitong sudah bilang ke puskesmas supaya dong datang semprot kitong pu rumah-rumah ini, disini sering ada yang kena malaria” (MS, 59 tahun) Begitu pula dengan sikap masyarakat Papua dalam melakukan pengobatan malaria, mereka telah sadar untuk melakukan pengobatan di Puskesmas dan masyarakat bersedia untuk diambil darahnya dalam
6
melakukan pemeriksaan malaria. berikut kutipan wawancara dengan informan : “Dong di puskesmas kalau tong ada datang berobat malaria biasa dong ada suruh ambil darah dulu untuk DDR, baru dong kasi tong obat” (RE, 23 tahun)
Konsep Personal Reference Setiap individu terkadang memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap jadi panutan dalam kehidupannya. Begitu pula dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit malaria, biasanya dilakukan sesuai dengan petunjuk dari orang yang dianggap penting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa panutan informan dalam melakukan pencegahan dan pengobatan malaria adalah berdasakan pengalaman keluarga. “waktu saya dulu kena malaria , mama ada suruh minum obat. Ada obat yang mama rebus dan saya minum.” (AT, 25 tahun) “Kalau saya ada keluarga yang kena malaria itu kitong biasa kasi minum obat kampung yang kitong buat sendiri. Lebih bagus minum obat itu kata orang tua yang dulu – dulu daripada ke puskesmas” (LG, 26 tahun)
Adapun bentuk dukungan keluarga lebih diutamakan pada saat keluarga menderita malaria berupa penyediaan obat – obatan tradisional, berikut kutipan wawancara dengan informan : “sapu mama yang buatkan saya obat waktu saya kena malaria, dia carikan saya kulit kayu susu sama daun papaya dia rebus baru saya minum itu obat” (HK, 28 tahun)
Terdapat pula dukungan yang diberikan oleh keluarga dalam bentuk materi berupa biaya pengobatan malaria. Berikut kutipan wawancara dengaan informan : “kalau anak saya kena malaria paitua biasa ada kasi uang untuk pergi bawa sa puanak berobat” (LG, 26 tahun)
Dukungan sosial tidak hanya dapat diperoleh dari keluarga, akan tetapi dapat juga diperoleh dari tokoh masyarakat setempat. Adapun bentuk dukungan yang diberikan oleh kader posyandu (sebagai tokoh masyarakat)
7
kepada penderita malaria adalah informasi tentang obat malaria, terutama pengobatan secara tradisional. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “itu kader posyandu biasa kasi tahu kalau ada sakit minum obat ini, ada suruh rebus daun pepaya baru minum diapu air, kalau saya malaria saya coba minum itu, bagus memang saya rasa” (LG, 26 tahun)
Berbeda hal-nya dengan kepala suku yang hanya berperan dalam hal pemerintahan wilayah setempat, adapun masalah kesehatan diserahkan kepada pihak puskesmas untuk mengatasinya. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “kalau masalah kesehatan itu kita serahkan sama yang ahlinya saja pegawai di puskesmas kita kan tidak tau kalau permasalahan itu, kalau masalah pemerintahan kita yang pegang karena kan itu bagian dari tugas. Tapi itu kalau masalah kebersihan lingkungan tetap kita sampaikan untuk bersihkan lingkungannya karena itu masyarakat kalau tidak disampaikan biasa malas juga kerja” (EW, 41 tahun)
Konsep Ketersediaan Sumber daya Ketersediaan fasilitas kesehatan (puskesmas) yang ada di Kabupaten Nabire dari segi aksessibilitas pada dasarnya mudah dijangkau oleh masyarakat. Hal ini yang menjadi salah satu faktor pendukug masyarakat agar dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan berikut ini : “puskesmasnya disini dekat kita cuma naik motor sebentar sudah sampai di puskesmas” (RE, 23 tahun)
Permasalahan lain yang masih ditemukan adalah keterbatasan sumber daya dalam hal ini tenaga kesehatan di Puskesmas Sanoba masih sangat kurang. “kita di sini kekurangan tenaga sebenarnya, itu saja petugas laboratorium tidak ada disini jadi kita pakai tenaga perawat saja. Itu tadi saya bilang masih kurang tenaga malahan ada pegawai disini yang pegang dua program misalnya dia di imunisasi dia juga di penyuluhan karena kalau tidak begitu program tidak bisa jalan” (OR, 45 tahun)
Selain keterbatasan jumlah tenaga kesehatan, permasalahan lainnya yang masih dirasakan adalah sarana dan prasana laboratorium yang masih minim sehingga dalam pemeriksaan malaria masih menggunakan hasil pemeriksaan malaria klinis.
8
“itu masalah disini masih banyak peralatan laboratorium yang tidak tersedia, tidak ada mikroskop bagaimana kita mau DDR, ada RDT dari dinas tapi kadang kita minta mereka bilang habis, bulan Januari kemarin saja stok RDT kita habis jadi pemeriksaan malaria secara klinis saja. (MS, 30 tahun)
Adapun keterbatasan sumber daya non fisik yang dirasakan informan dalam melakukan upaya pencegahan dan pengobatan malaria adalah dengan keterbatasan biaya. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “biasa kitong ke puskesmas kalau ada uang, karna bayar ojek mahal, ada taksi, tapi lebih cepat kalau pake ojek saja” (LM, 25 tahun) “biasa tidak ada uang kalau datang berobat ke puskesmas. Kalau ambil obat tidak bayar. Cuma itu kalau mau DDR/RDT harus bayar kadang tidak ada uang jadi tidak ke puskesmas saja” (LG, 26 tahun)
Pada dasarnya masyarakat di Kabupaten Nabire telah memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia meskipun masih terdapat beberapa masyarakat yang tetap menggunakan pengobatan tradisional. “kalau ada keluarga saya yang malaria saya ke puskesmas berobat tapi biasa juga minum obat kampung kalau tidak parah sakitnya” (LG, 26 tahun)
Adapun bentuk pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan berfokus pada pelayanan kuratif adapun pelayanan preventif dan promotif masih jarang diberikan kepada masyarakat. “kalau torang ke puskesmas itu paling dong ada kasi obat saja. Kalau diberi tahu tentang apa itu malaria tra pernah dorang kasi tau” (LM, 25 tahun) “tidak pernah ada informasi tentang malaria jadi masyarakat kurang paham bagaimana itu malaria. Petugas kalau datang posyandu paling imunisasi tidak pernah ada penyuluhan tentang malaria. begitu juga kalau ada pertemuan di puskesmas tidak pernah di sampaikan tentang malaria” (WR, 56 tahun)
Konsep Sosio Budaya Kepercayaan dan keyakinan etnis Papua tentang penyakit malaria masih kental dengan budaya setempat. Masyarakat mempersepsikan pada musim
9
rambutan orang akan rentan terkena malaria karena konsumsi rambutan yang berlebihan. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “Masyarakat disini itu kalau musim rambutan gampang itu kena malaria karna mereka makan terlalu banyak rambutan jadi dong gampang kena malaria” (EW, 41 tahun) “Sekarang ini musim rambutan dan banyak anak-anak yang sakit malaria datang kemari berobat” (AM, 48 tahun)
Adapun budaya etnis papua terkait dengan pengobatan malaria, masyarakat meyakini bahwa semua yang berasa “pahit” merupakan obat malaria. Obat tradisional dalam pengobatan malaria, seperti daun papaya, daun sambiloto dan kulit kayu susu. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “Obat yang dong bawa ada seperti buah penutupnya ada biji didalam untuk tindis testa, diapu daun kan pahit to. Kulit kayu susu, orang-orang kampung dong ada minum diapu air rebusan, juga dong ada pake daun sambiloto atau yang dong bilang disini daun belakang babiji, kalau kayu susu itu diapu pohon besar, yang diambil diapu kulit saja, rebus dan diapu air yang diminum, rasanya pahit, tapi pahit itu yang bikin dia jadi obat untuk malaria, dong juga ada pake rebusan daun pepaya.” (MS, 59 tahun)
Terdapat pula kepercayaan pada masyarakat setempat bahwa orang yang sakit harus mengeluarkan keringat agar panas yang dirasakan dapat keluar sehingga masyarakat akan tetap melakukan rutinitasnya sebagai petani dan nelayan agar dapat mengeluarkan keringat. Keyakinan masyarakat ini sangat berdampak terhadap upaya pengobatan yang akan dilakukan . Berikut kutipan wawancara dengan informan : “Pada saat dorang sakit harus bisa keluarkan keringat supaya diapu panas ada keluar. Jadi dorang tetap kerja” (HK, 28 tahun)
Budaya setempat yang juga memiliki kebiasan melakukan acara – acara pada malam hari, seperti acara pernikahan, dll dapat menjadi salah satu faktor risiko terkena malaria mengingat aktivitas nyamuk Anopheles menggigit pada malam hari. “masyarakat di sini biasanya bikin acara kalau malam hari karena kalau siang dong sibuk semua kerja jadi tidak bisa datang di acara” (AM, 48 tahun)
10
Masyarakat juga memiliki kebiasaan menonton beramai – ramai, mengingat hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki Televisi sehingga mereka cenderung berkumpul di suatu rumah untuk menonton. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “dorang biasa nonton sama-sama dikios, dorang tidak ada TV di rumah jadi dong pergi nonton di rumah tetangga kalau malam” (TM, 19 tahun)
Adapun upaya pencegahan malaria berdasarkan budaya setempat, masyarakat hanya mengenal cara pencegahan dari gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk bakar, namun penggunaanya tidak setiap hari hanya digunakan jika merasa ada banyak nyamuk, cara lain seperti obat nyamu semprot dan obat nyamuk oles (lotion) tidak mereka kenali dan gunakan. Berikut hasil wawancaranya: “kitong biasa pake obat nyamuk yang dibakar saja kalau ada nyamuk, kalau yang lain tong tra biasa pake.” (AT, 25 tahun)
Hasil
wawancara
dengan
petugas
di
Puskesmas.
Informan
mengungkapkan bahwa kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya upaya masyarakat untuk menggunakan kelambu sebagai salahsatu cara pencegahan. Menurut informan ini disebabkan karena tidak adanya niat dari masyarakat untuk membeli kelambu karena mereka menganggap ha itu bukan sesuatu hal yang penting. Disamping itu, mereka juga cenderung mengharapkan bantuan dari pemerintah. Berikut kutipan wawancara dengan informan : “pencegahan malaria itu susah di masyarakat karena mereka tidak sadar kalau itu penting. Contohnya saja kalau di suruh beli kelambu, mereka tidak beli itu karena dia fikir itu tidak penting. Itu juga masyarakat disini selalunya mengharapkan bantuan dari pemerintah jadi kalau tidak ada bantuan bagaimana” (KM, 39 tahun)
11
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa perilaku masyarakat etnis Papua terhadap malaria umumnya berdasarkan pengalaman. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat tentang malaria yang secara umum diungkapkan berdasarkan pengalaman yang mereka alami ketika sakit, mereka belum dapat menyebutkan dengan tepat penyebab langsung malaria. Pada dasarnya pemahaman masyarakat tentang malaria masih sangat minim. Pengetahauan masyarakat tentang kesehatan terutama malaria yang masih sangat minim ini sangat berpengaruh terhadap cara masyarakat dalam menyikapi masalah kesehatan khususnya malaria, sehingga masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian masyarakat belum mengetahui tempat-tempat perindukan dari malaria, bahkan masyarakat pun belum mengetahui waktu atau jamnya nyamuk Anopheles menggigit. Sehingga masyarakat tidak melakukan tindakan yang dapat mencegah malaria. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional yang mereka percayai dapat menyembuhkan malaria. Bahkan terkadang juga masyarakat tidak melakukan upaya apapun untuk mengobati penyakit yang dideritanya karena mereka menganggap hal itu tidak berbahaya selama mereka masih bisa melakukan pekerjaan sehari – sehari. Menurut Notoatmodjo, perilaku lain juga dapat terjadi yaitu masyarakat mencari pengobatan dengan membeli obat-obat di warung-warung obat dan sejenisnya. Pilihan terhadap pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern dan dokter hanyalah pilihan terakhir dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian Capah (2008) menyebutkan bahwa masyarakat mencari pengobatan bila penyakit sudah semakin parah sehingga dapat menjadi sumber penularan yang potensial bagi orang lain disekitarnya. Perilaku masyarakat dalam melakukan pencegahan dan pengobatan malaria juga dipengaruhi oleh referensi seseorang yang dijadikan panutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa keputusan
12
masyarakat dalam melakukan pencegahan dan pengobatan malaria dilakukan sesuai dengan petunjuk dari orang yang dianggap penting terutama dari keluarga. Peranan keluarga amat penting, pihak keluarga yang penuh pengertian dan kooperatif dengan pihak perawatan dan memberikan dorongan moril penuh kepada penderita, akan banyak membantu dalam penatalaksanaan pengobatan malaria. Dalam pengalaman praktek sering kali dijumpai sikap negativistik (penolakan) dari pihak keluarga. Mungkin karena ketidaktahuan (ignorancy) ataupun kepercayaan tradisional tentang penyebab dan pengobatan malaria, maka dokter seringkali kehilangan peluang yang baik (momentum) untuk melakukan tindakan ini. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dukungan sosial dari tokoh masyarakat masih sangat minim. Tidak adanya dukungan sosial tokoh masyarakat terlihat baik di daerah pesisir maupun di daerah pegunungan. Padahal jika saja peran tokoh masyarakat ini dimaksimalkan maka tentunya akan memberikan dampak terhadap perilaku penanggunalang malaria karena tokoh
masyarakat
merupakan
figur
yang
seringkali
sangat
mudah
mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Menurut Notoatmojo (2003) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan
nyata
diperlukan
faktor
pendukung
atau
kondisi
yang
memungkinkan, diantaranya adanya fasilitas atau sarana dan faktor pendukung (support) dari pihak lain. Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara khusus dalam hubungannya dengan kejadian malaria adalah belum tersedianya sarana laboratorium dan tenaganya untuk menunjang penegakan diagnosis dan pengobatan yang tepat. Meskipun dari segi aksesibilitas sarana kesehatan mudah untuk dijangkau namun yang menjadi kendala adalah keterbatasan finansial masyarakat ketika akan mengakses layanan. Hal ini diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang mencari pengobatan ketika keadaan sudah parah/berat serta kebiasaan masyarakat menggunakan pengobatan secara tradisional menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengobatan malaria.
13
Penelitian Davy C.P, dkk (2010) mengungkapkan bahwa meskipun fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia dapat dijangkau namun ditemukan bahwa pengobatan tradisional masih menjadi pilihan yang umum bagi masyarakat PNG dalam mengobati malaria. Kebudayaan terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Perilaku normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan den selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku. Di masyarakat terdapat perbedaan dalam meresponi interaksi terhadap penyakit. Masyarakat memiliki pandangan yang beraneka ragam mengenai konsep sehat-sakit (Notoatmodjo, 1993). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan dan keyakinan etnis Papua masih kental dengan budaya setempat. Sebagaimana dengan wawancara mendalam salah satu informan yang memahami bahwa seseorang akan rentang menderita malaria pada saat musim rambutan. Permasalahan lainnya yang menjadi faktor penyebab masih tingginya kejadian malaria di Kabupaten Nabire adalah adanya kebiasaan masyarakat mengadakan kegiatan atau acara pada malam hari. Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Friaraiyatini, 2006).
KESIMPULAN DAN SARAN Determinan yang dianggap membentuk perilaku masyarakat etnis Papua mengenai penyakit malaria adalah sebagai berikut : 1) Konsep pemikiran dan perasaan etnis papua mengenai penyakit malaria masih rendah; 2) Konsep referensi personal yakni dukungan anggota keluarga dan tokoh masyarakat yang belum maksimal dalam penanggulangan malaria; 3) Ketersediaan sumber
14
daya dan sarana dalam penanggulangan penyakit malaria di Kabupaten Nabire belum berjalan optimal walaupun dari aksessibilitas mudah terjangkau oleh masyarakat; 4) Konsep budaya berupa adanya pemberian pengobatan tradisional sebagai upaya pertolongan pertama terhadap penyakit malaria yang dilakukan
masyarakat
berdasarkan
kebiasaan
yang
dilakukan
dalam
masyarakatnya secara turun temurun. Adapun saran dari penelitian ini adalah memaksimalkan peran petugas kesehatan khususnya petugas promkes dalam memberikan pemahaman yang benar tentang penyakit malaria melalui berbagai media; Dinas kesehatan kabupaten Nabire perlu mengevaluasi kembali program-program pengendalian dan
pemberantasan
penyakit
malaria
yang
telah
dilaksanakan,
dan
maksimalisasi peran tokoh masyarakat yang ada terutama kepala-kepala suku dalam mendukung upaya penanggulangan malaria. DAFTAR PUSTAKA Anderson, (1994). Fungsional Attributes of Biodiversity in landuse System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable land Use. CAB International. Oxon. Capah, T. (2008). Kajian Perencanaan Manajemen Lingkungan Dalam Program Pengendalian Malaria di Kabupaten Asmat. Tesis, Universitas Diponegoro. Davy, CP., Sicuri,E.,Ome,M.,at all. (2010). Seeking treatment for symptomatic malaria in Papua New Guinea. http://www.Malaria journal . com/content/9/1/268 diakses tanggal 8 Mei 2013 Friaraiyatini, Keman, S., Yudhastuti R. (2006). Pengaruh Lingkungan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Malaria di Kab. Barito Selatan Propinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2, No.2 Januari 2006: hal 121-128. Harijanto, P.N, Nugroho, Agung dan Gunawan, Carta A,. (2009). Malaria : dari Molekuler ke Klinis. Ed.2. EGC : Jakarta Ningsi, Erlan, A., dan Puryadi. (2011). Aspek Sosial Budaya Masyarakat Berkaitan Dengan Kejadian Malaria Didesa Sidoan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Notoatmodjo S.(1993). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu perilaku Kesehatan. Depok: Program Studi IKM kekhususan pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
15
Notoatmojo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta: Jakarta. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-7. Alfabeta: Jakarta
Lampiran :
Tabel 1 Karakteristik Informan Penelitian Kode Umur Informan (Tahun) 1. AT 25 2. HK 28 3. LG 26 4. TM 19 5. MT 49 6. EW 41 7. LM 25 8. WR 56 9. AM 48 10. KM 39 11. NA 35 12. OR 45 13. MS 30 14. MS 59 15. PM 43 16. RE 23 17. PD 62 18. YN 21 Sumber : Data Primer, 2013
No.
Jenis Kelamin Perempuan Laki – Laki Perempuan Laki – Laki Perempuan Laki – Laki Perempuan Perempuan Laki – Laki Perempuan Perempuan Laki – Laki Perempuan Perempuan Laki – Laki Laki – Laki Laki – Laki Perempuan
16
Pendidikan Terakhir SMA SMA SD SMK Tidak Sekolah Tidak Sekolah SMA SD S1 S1 S1 DIII SPK SD S1 SMA Tidak Sekolah SD
Pekerjaan IRT Petani IRT Pelajar IRT Kepala Suku IRT Kader Posyandu PNS (Tokoh adat) PNS (staf PKM ) PNS (staf PKM ) PNS (staf PKM ) PNS (staf PKM ) Kader Posyandu PNS (Tokoh adat) Petani Petani IRT