1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di seluruh dunia. Penderita infeksi hepatitis B diperkirakan berjumlah lebih dari 2 milyar orang dan 360 juta di antaranya menderita infeksi kronis dan berisiko tinggi menderita sirosis dan karsinoma hepatoseluler (WHO, 2009). Infeksi ini merupakan penyebab kematian ke-10 di dunia (Gigi et al., 2012). Endemisitas hepatitis B dinyatakan dengan prevalensi hasil pemeriksaan antigen permukaan virus hepatitis B (HBsAg) positif. Penelitian yang membandingkan seroprevalensi HBsAg di dunia sejak tahun 1965 sampai 2013, menunjukkan Indonesia sebagai negara endemisitas rendah dengan tingkat seroprevalensi 1,86% (Schweitzer et al., 2015). Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh Indonesia dengan prevalensi 0,6% (rentang 0,2-1,9%) (Depkes RI, 2012). Genotip virus hepatitis B yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah genotip B (66%), diikuti genotip C (26%), D (7%) dan A (0,8%) (PPHI, 2012). Manusia merupakan reservoir virus hepatitis B satu-satunya. Virus dapat menyebar melalui darah dan cairan tubuh lain, baik per kutan maupun per mukosa. Pada wilayah endemik tinggi, virus hepatitis B umumnya menular lewat transmisi ibu ke anak atau penularan antar anak terutama ketika masih balita. Pada wilayah endemik rendah, kejadian penularan saat lahir dan balita merupakan sepertiga dari penyebab infeksi VHB. Penyebab lain meliputi hubungan seks bebas dan penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi VHB (WHO, 2009).
2
Infeksi hepatitis B sering asimptomatis dan ketika diketahui progresifitas infeksi menjadi sirosis cukup tinggi (14,4% pasien). Deteksi infeksi hepatitis B dilakukan melalui skrining HBsAg pada darah pendonor, peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) yang asimtomatis atau karena ada komplikasi penyakit lain (Gigi et al., 2012). Badan kesehatan dunia menginisiasi program imunisasi vaksin hepatitis B tahun 1992, terutama untuk negara endemik tinggi sehingga dapat menurunkan risiko infeksi kronis. Penerapan imunisasi ini telah mampu menurunkan prevalensi HBsAg positif di negara endemik menengah dari 13,4% pada tahun 1978 menjadi 3,7% pada tahun 1997 (Shepard et al., 2006). Diagnosis hepatitis B dilakukan dengan pemeriksaan biokimiawi fungsi hati yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antigen dan/atau antibodi pada serum, yaitu antigen HBsAg dan antibodi anti HBsAg (HBsAb), antibodi untuk antigen „core‟ hepatitis B/HBcAg (IgM HBcAb dan anti IgG HBc) dan antigen „e‟ hepatitis B/HBeAg serta anti-HBe (HBeAb) (Previsiani et al., 2004). Infeksi hepatitis B kronis adalah kondisi ditemukannya HBsAg dalam serum paling tidak selama 6 bulan atau HBsAg ditemukan pada pasien dengan hasil tes negatif pada IgM HBcAb (Shepard et al., 2006). Replikasi virus terjadi di hepatosit dan mampu mengaktivasi reaksi imun spesifik untuk melawan serta mengeradikasi agen infeksius tersebut. Sebagai konsekuensi, hepar kemudian menjadi terinflamasi (Previsiani et al., 2004). Infeksi hepatitis B kronis yang disertai sirosis apabila tidak diterapi, 5-20% kasus memiliki kemungkinan berkembang menjadi dekompensasi hepar setelah 5 tahun dengan tingkat kebertahanan hidup antara 14%-35% (Shouval, 2014).
3
Pasien hepatitis B kronis dapat diterapi dengan menggunakan obat berupa interferon (IFN) serta agen analog nukleosida dan nukleotida. Sediaan interferon yang ada sampai saat ini ada 3 macan, yaitu interferon konvensional dan interferon terpegilasi yaitu Peg-IFN α-2a dan Peg-IFN α-2b (PPHI, 2012). Analog nukleosida terdiri dari 3 macam, yaitu lamivudin (1998), entecavir (2005) dan telbivudin (2005) serta analog nukleotida terdiri dari adefovir (2002) dan tenofovir (2008) (Gigi et al., 2012). Penemuan analog nukleosida dan nukleotida ini membuka era baru terapi hepatitis B, karena obat ini mampu menurunkan kadar deoxiribonucleic acid virus hepatitis B (DNA VHB) dan ALT sehingga infeksi hepatitis dapat ditekan (Kawanaka et al., 2014). Respon terapi dengan analog nukleosida dan nukleotida dinilai dari penurunan kadar DNA VHB sampai tidak terdeteksi, seroklirens dan serokonversi HBeAg (pada pasien HBeAg positif) serta kadar ALT yang normal. Pemeriksaan HBsAg dianjurkan pada akhir terapi dan bila hasilnya negatif direkomendasikan untuk mengukur HBsAb. Diperkirakan kadar HBsAg mencerminkan pembersihan covalently closed circular DNA (cccDNA) dalam hepatosit (PPHI, 2012). Penggunaan analog nukleosida dan nukleotida untuk terapi seumur hidup pada infeksi hepatitis B kronis harus dipertimbangkan. Prinsipnya, terapi harus diteruskan sampai tercapai indikasi penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagal terapi. Terapi umumnya cukup efektif dan relatif lebih bebas efek samping, namun tingginya kemungkinan resistensi adalah masalah yang harus dihadapi (PPHI, 2012). Relaps dan eksaserbasi virus dapat muncul setelah penghentian terapi termasuk pada pasien dengan serokonversi HBeAg. Terapi
4
berkelanjutan dengan analog nukleosida dan nukleotida dapat menurunkan tingkat teradinya relaps, akan tetapi dapat memicu terjadinya resistensi atau virological breakthrough (He et al., 2014). Terapi analog nukleosida lamivudin dan entecavir pada 48 pasien hepatitis B kronis (39 lamivudin dan 9 entecavir) menunjukkan respon virologis pada 53,8% pasien lamivudin dan 88,9% pasien entecavir dengan durasi terapi 66 bulan dan rentang terapi 42-85 bulan (Kim et al., 2013). Analog nukleosida telbivudin menunjukkan penekanan kadar DNA VHB sampai tidak terdeteksi pada 62,7% pasien selama 52 minggu terapi (Sulaiman et al. 2014). Terapi analog nukleotida adefovir menunjukkan penekanan DNA VHB sampai tidak terdeteksi pada 50,4% pasien setelah 52 minggu terapi (Zhao et al., 2012). Analog nukleotida tenofovir menunjukkan penekanan DNA VHB < 69 UI/mL pada 99,3% pasien setelah 7 tahun terapi (Buti et al., 2015). Analog nukleosida lamivudin dan entecavir mampu menekan kadar DNA VHB tetapi menyebabkan resistensi pada 35,42% pasien (Kim et al., 2013). Resistensi entecavir ditemukan pada 1 dari 230 pasien naïf analog nukleosida ataupun nukleotida setelah 1 tahun terapi (Luo et al., 2013). Telbivudin memberikan penekanan terhadap kadar DNA VHB yang lebih baik daripada lamivudin, akan tetapi resistensi juga terjadi pada 5,0% pasien HBeAg positif dan 2,2% pasien HBeAg negatif setelah 1 tahun terapi (Lai et al., 2007). Resistensi adefovir mendekati 4% setelah 3 tahun terapi, diduga terkait dengan mutasi spesifik yang memicu pertumbuhan kembali virus (Safrin, 2007). Resistensi tidak
5
ditemukan pada monoterapi tenofovir selama 7 tahun terapi pada 585 pasien naif HBeAg positif dan negatif (Buti et al., 2015). Lamivudin mampu memberika respon yang relatif tinggi tetapi tidak tahan lama (Safrin, 2007) dan masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang karena harganya lebih terjangkau (Chao & Hu, 2013). Telbivudin banyak digunakan karena menunjukkan profil efikasi terapi yang lebih baik dari lamivudin, akan tetapi resistensi juga terjadi pada 5,0% pasien HBeAg positif dan 2,2% pasien HBeAg negatif setelah 1 tahun terapi (Lai et al., 2007). Permasalahan respon terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) pada pasien hepatitis B kronis terdapat pada penekanan replikasi DNA VHB yang belum dapat mencapai 100% dan timbulnya resistensi pada penggunaan terapi tersebut berdasarkan beberapa penelitian di berbagai negara dan di beberapa wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menilai apakah gambaran respon terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) yang sama terjadi juga pada pasien hepatitis B kronis di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito dengan melihat parameter berupa respon terapi biokimiawi, serologis dan virologis.
B. Perumusan Masalah Keberhasilan terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) yang belum mencapai 100% di berbagai negara dan beberapa wilayah di Indonesia mendorong dirumuskannya masalah penelitian bagaimanakah gambaran respon terapi analog nukleosida (lamivudin dan
6
telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) pada pasien hepatitis B kronis di Yogyakarta, khususnya pada pasien di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2014.
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membandingkan respon terapi penggunaan analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) pada pasien hepatitis B kronis yang menjalani rawat jalan di RSUP Dr. Sarjito pada tahun 2014. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Membandingkan respon biokimiawi pasien hepatitis B kronis dengan terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) setelah 3 bulan terapi dan akhir penelitian. 2. Membandingkan respon serologis pasien hepatitis B kronis dengan terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir). 3. Membandingkan respon virologis pasien hepatitis B kronis dengan terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir).
D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terkait terapi penyakit hepatitis B kronis dengan analog nukleosida dan nukleotida menunjukkan bahwa terdapat kendala dalam hal pencapaian respon terapi yang masih belum dapat mencapai 100% serta permasalahan resistensi pengobatan yang timbul pada semua jenis analog nukleosida dan nukleotida entecavir. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan hasil terapi dapat dilihat pada tabel 1.
7
Tabel 1. Hasil penelitian terdahulu tentang respon terapi analog nukleosida dan nukleotida pada pasien hepatitis B kronis Penelitian Metode Subjek Hasil (Tahun) Lai et al. Randomized, 680 pasien Setelah 52 minggu terapi telbivudin (2007) doubledengan terapi dan lamivudin: blind, active telbivudin dan Normalisasi ALT pada pasien agent– 687 pasien HBeAg positif 77,2% dan 74,9% (p = controlled dengan terapi 0,42) dan HBeAg negatif 74,4 dan trial lamivudin 79,3 (p = 0,24). Seroklirens HBeAg 25,7% dan 23,3% (p = 0,40) dan serokonversi HBeAg 22,5% dan 21,5% (p = 0,73). Respon virologis DNA VHB tidak terdeteksi pada pasien HBeAg positif 60,0% dan 40,4% (p < 0,001) dan HBeAg negatif 88,3% dan 72,4% (p < 0001) Yu et al. Open lable 69 pasien Setelah 12, 24 dan 52 minggu terapi (2014) trial dengan terapi lamivudin, adefovir, telbivudin dan lamivudin, kombinasi lamivudin-adefovir: 25adefovir, 33 Normalisasi ALT 74%, 64%, 79% telbivudin dan dan 65%; 75%, 88%, 73% dan 78%; 27 kombinasi dan 75%, 88%, 91% dan 76% (tidak lamivudinberbeda bermakna) adefovir Seroklirens HBeAg; 34%, 39%, 28% dan 35%; 32%, 28%, 44% dan 19%; 36%, 39%, 48% dan 35% (tidak berbeda bermakna) DNA VHB tidak terdeteksi (< 2x102 UI/mL) pada 52 minggu terapi 83%, 96%, 91% dan 89% (tidak berbeda bermakna) Pada penelitian ini diobservasi lama waktu pengamatan dan parameter respon terapi berupa respon biokimiawi (normalisasi ALT 3 bulan terapi dan akhir penelitian), serologis (seroklirens dan serokonversi HBeAg/HBsAg) dan virologis (DNA VHB tidak terdeteksi) pada penggunaan agen analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir). Selain itu, lokasi penelitian berada di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2014.
8
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti dan dunia pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi respon terapi penggunaan analog nukleosida dan nukleotida pada pasien hepatitis B kronis pada lingkup yang lebih luas terutama di Indonesia. Selain itu diharapkan penelitian ini menjadi acuan untuk menilai respon terapi analog nukleosida dan nukleotida serta keterkaitannya dengan mobiditas dan mortalitas pasien. 2. Bagi Klinisi dan Rumah Sakit Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk klinisi, tenaga kesehatan lain dan pihak rumah sakit dalam perencanaan dan pemantauan terapi terutama pada pasien hepatitis B kronis sehingga tercapai tujuan terapi untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas serta mencegah terjadinya penyakit hati yang lebih lanjut berupa sirosis, karsinoma hepatoseluler dan kegagalan terapi analog nukleosida (lamivudin dan telbivudin) dan nukleotida (tenofovir) pada pasien hepatitis B kronis. 3. Bagi Masyarakat Masyarakat khususnya pasien hepatitis B yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dapat mendapatkan terapi yang mampu mencegah progresi penyakit menjadi lebih buruk. Masyarakat dan keluarga juga diharapkan terhindar dari risiko penularan hepatitis B.