BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris di temukan diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik
maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya
musim penghujan. Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
Universitas Sumatera Utara
tertinggi di Asia Tenggara dan tertiggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010). Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006). Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Pada awalnya kasus DBD memperlihatkan siklus lima tahun sekali selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2008). Penyakit DBD merupakan penyakit endemis di Indonesia, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadik terjadi KLB setiap tahun, KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16
Universitas Sumatera Utara
propinsi dengan IR 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2,0%, kemudian menurun pada tahun 1999 dengan IR 10,17 per 100.000 penduduk, mengalami peningkatan kembali pada tahun 2000 dengan IR 15,99 per 100.000 penduduk dan kembali meningkat pada tahun 2001 dengan IR 21,66 per 100.000 penduduk, kembali menurun pada tahun 2002 yaitu IR 19, 24 per 100.000 penduduk dan meningkat tajam kembali pada tahun 2003 yaitu IR 23,87 per 100.000 penduduk . Data ini menunjukkan DBD di Indonesia menjadi fenomena yang sangat sulit diatasi dimana kejadian DBD setiap tahunya berfluktuasi (Depkes RI, 2004). Menurut Depkes RI (2009) pada
tahun 2008
dijumpai kasus DBD di
Indonesia sebanyak 137.469 kasus dengan CFR 0,86% dan IR sebesar 59,02 per 100.000
penduduk, dan mengalami kenaikan
pada tahun 2009
yaitu sebesar
154.855 kasus dengan CFR 0,89% dengan IR sebesar 66,48 per 100.000, dan pada tahun 2010 Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN
yaitu
sebanyak 156.086 kasus dengan kematian 1.358 orang (Kompas, 2010). Tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan yaitu 49.486 kasus dengan kematian 403 orang (Ditjen PP & PL Kemkes RI, 2011). Sepanjang tahun 2010 di Sumatera Utara ditemukan 8.889 penderita dengan kematian 87 jiwa (1,2%) dengan IR 39,6 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2011 terjadi penurunan hingga 50% dengan jumlah kasus sebanyak 4.535 kasus (IR 10,26 per 100.000 penduduk) dengan kematian 56 kasus (CFR: 1,1%). Kota Binjai merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai mobilitas penduduk cukup tinggi yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya
Universitas Sumatera Utara
KLB penyakit DBD. Berdasarkan data dari Bidang PMK Dinas Kesehatan Kota Binjai pada tahun 2007 angka kesakitan DBD di Kota Binjai adalah sebesar 132,12 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2008 angka kesakitan DBD di kota Binjai sebesar 101.72 per 100.000 penduduk, dimana dari angka tersebut terjadi penurunan bila dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2009, angka kesakitan DBD di kota Binjai sebesar 61,4 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya.Akan tetapi mengalami peningkatan yang sangat berarti bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 243,7 per 100.000 penduduk, kasus tertinggi ditemukan di kecamatan Binjai Timur dengan 216 kasus, sedangkan pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 60,16 per 100.000 penduduk (142 kasus) mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (Profil Kesehatan Kota Binjai, 2011). Berdasarkan hasil pencatatan Penyakit Menular Kesehatan (PMK) Dinkes Kota Binjai (2011) seluruh kecamatan di Kota Binjai
berstatus endemis DBD.
Kecamatan yang paling sering mengalami peningkatan kasus DBD adalah Kecamatan Binjai Timur , dimana rata-rata
angka IR demam berdarah dengue lima tahun
terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu ≤ 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan Binjai Timur tahun 2007 sebesar 198,4 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 163,1 per 100.000 penduduk, tahun 2009 sebesar 50,1 per 100.000 penduduk, tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400,5 per 100.000 penduduk, dan tahun 2011 sebesar 100,1 per 100.000 penduduk.
Universitas Sumatera Utara
Diduga tingginya angka kejadian DBD ini disebabkan masih banyaknya tempat perindukan nyamuk yang berupa bak mandi, ember, gentong, TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari misalnya vas bunga, ban bekas, tempat sampah, tempat minum burung, dan lain-lain, serta tempat penampungan air alamiah yaitu lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang batu, dan lain-lain (Depkes, 2005). Meningkatnya jumlah kasus DBD serta bertambah luasnya wilayah yang terjangkit dari waktu ke waktu di Indonesia disebabkan multi faktorial antara lain semakin majunya sarana transportasi masyarakat; kian padatnya pemukiman penduduk; perilaku manusia seperti
kebiasaan menampung air untuk keperluan
sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk; kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air yang tertampung didalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus; dan terdapatnya nyamuk Ae.aegypti sebagai vektor utama penyakit DBD hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus Dengue yang bersirkulasi setiap sepanjang tahun (Ginanjar, 2008 & Kemenkes RI, 2004). Demikian juga menurut Soegijanto (2006) banyak faktor yang memengaruhi kejadian penyakit DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, lingkungan (environment), dan respon imun. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptibility), dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, kebiasaan, sosial ekonomi penduduk, jenis dan kepadatan
Universitas Sumatera Utara
nyamuk sebagai vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis seroptipe virus Dengue yaitu Dengue 1,2,3,4. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan . Penelitian Rose (2008) tentang hubungan sosiodemografi dan lingkungan fisik dengan kejadian DBD di Kota Pekan Baru, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik seperti jarak rumah, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kejadian DBD (OR= 1,79. dan OR= 0,34). Demikian juga halnya dengan penelitian Marsaulina (2005) menyat penampungan air terhadap kejadian DBD (dengan OR 5,8 dan 4,6). Penelitian Fathi, et.al., (2005) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian KLB penyakit DBD, dan penelitian
Nugrahaningsih
(2010)
menunjukkan
bahwa
faktor
lingkungan
berhubungan dengan keberadan jentik nyamuk penular DBD adalah keberadaan kontainer. Faktor kebiasaan masyarakat seperti kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari, dan kebiasaan menggantung pakaian juga berpotensi menimbulkan tingginya kejadian DBD. Sebagaimana hasil penelitian Sitio (2008) tentang hubungan prilaku PSN dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan tahun 2008 mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara kebiasaan
keluarga
memakai anti nyamuk di siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian siap pakai dengan kejadian DBD (p = 0,026 ; OR = 4,34 dan p = 0,018; OR = 5,50).
Universitas Sumatera Utara
Departemen Kesehatan telah mengupayakan pelbagai strategi untuk mengatasi peningkatan kejadian DBD ini. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD menurut Depkes adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air. Namun kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambah jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan virus vaksin untuk membunuh virus Dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah DBD ialah dengan PSN melalui gerakan 3M Plus yaitu menguras, menutup dan mengubur, ikanisasi di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat
kasa,
menghindari
kebiasaan
menggantung
pakaian
dalam
kamar,
mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, yang dilaksanakan oleh masyarakat secara teratur setiap minggunya. Berdasarkan kajian tersebut diduga kuat ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai tahun 2012.
1.2. Permasalahan Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai merupakan wilayah berstatus endemis DBD dimana angka kejadian DBD terus menerus meningkat dan berfluktuasi setiap tahunnya dan sampai saat ini belum diketahui faktor risiko yang memengaruhi
Universitas Sumatera Utara
kejadian DBD serta keeratan hubungannya. Angka IR DBD di Kecamatan Binjai Timur lima tahun terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu ≤ 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan Binjai Timur tahun 2007 sebesar 198,4 per 100.000 penduduk (107 kasus), tahun 2008 sebesar 163,1 per 100.000 penduduk (66 kasus), tahun 2009 sebesar 50,1 per 100.000 penduduk (27 kasus), tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400,5 per 100.000 penduduk (216 kasus) dan tahun 2011 sebesar 100,1 per 100.000 penduduk (54 kasus).
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai tahun 2012.
1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai tahun 2012.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1.5.1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kota Binjai melelui Dinas Kesehatan Kota Binjai dalam merencanakan strategi yang tepat dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Kota Binjai.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue 1.5.3. Menambah referensi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadapkejadian DBD.
Universitas Sumatera Utara