BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati, salah satunya berupa tanaman herbal. Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan kecenderungan terjadinya pergeseran pola penyakit di Indonesia, dari pola infeksi menjadi pola penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif merupakan penyakit kronik menahun, salah satu diantaranya adalah penyakit kardiovaskuler. Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang perlu mendapatkan perhatian dikarenakan prevalensinya yang tinggi. Gambaran di tahun 2013 menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013) dengan menggunakan unit analisis individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit hipertensi. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi. Hal tersebut merupakan masalah kesehatan dan tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Di Indonesia, prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah adalah 32,2%, sedangkan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan atau riwayat minum obat hanya 7,8%. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya 24,2% kasus hipertensi di Indonesia yang sudah terdiagnosis dan terjangkau
pelayanan
kesehatan
(Rahajeng
1
dan
Tuminah,
2009).
2
Seledri (Apium graviolens L.) merupakan tanaman berupa herba yang memiliki berbagai manfaat kesehatan antara lain untuk mengobati reumatik, hipertensi dan mencegah kanker (Murray dkk., 2005). Senyawa kimia yang memiliki efek antihipertensi adalah 3-n-butyl phthalide dan apigenin yang memiliki mekanisme aksi seperti ACEIs (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors) dan ARBs (Angiotensin Reseptor Blocker) (Mohler dan Townsend, 2006). Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) merupakan tanaman yang memiliki manfaat kesehatan sebagai diuretik untuk mengobati saluran kemih dan ginjal, diabetes dan hipertensi (Evans, 2009). Daun kumis kucing mengandung flavonoid dengan kandungan utama sinensetin, eupatorin, scutellarein, tetrametil eter, salvigenin, rhamnazin dan glikosida flavonoid (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Mengkudu (Morinda citrifolia L) merupakan salah satu tanaman herbal yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan antara lain sebagai antiradang, antihipertensi dan obat cacing (Hariana, 2008). Kandungan skopoletin pada buah mengkudu memiliki aktivitas spasmolitik yang diduga menyebabkan terjadinya efek penurunan tekanan darah (Bone dan Mills, 2013). Ekstrak tersebut sering dikombinasikan untuk mendapatkan efek yang lebih poten melalui mekanisme potensiasi yaitu timbulnya efek yang lebih besar dari suatu senyawa dengan adanya tambahan senyawa lainnya dengan mekanisme yang berbeda (Duffus dkk., 2009). Salah satu contoh kombinasi yang sudah beredar di Indonesia adalah Tensigard®, yaitu suatu produk fitofarmaka dengan
3
komposisi ekstrak Apii Herba 92 mg dan ekstrak Orthosiphon Folium 28 mg (Yeo, 2014). Adapun alternatif kombinasi lain yang bisa digunakan adalah ekstrak daun kumis kucing, buah mengkudu dan herba seledri. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kombinasi ketiga ekstrak tersebut memiliki efektivitas penurun tekanan darah tikus terinduksi fenilefrin yang sebanding dengan kaptopril. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kombinasi ektrak daun kumis kucing, buah mengkudu dan herba seledri dapat menurunkan tekanan darah tikus dalam kondisi hipertensi (Septia, 2015). Efek penurunan tekanan darah tikus dengan kondisi tekanan darah normal juga telah terbukti dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kombinasi ketiga ekstrak memiliki efek penurunan tekanan darah sistol dan diastol yang signifikan pada tikus galur Sparague Dawley (Winarti, 2015). Penelitian toksisitas pada ekstrak Orthosiphone stamineus telah dilakukan. Dalam studi toksisitas akut, ekstrak etanol terstandarisasi 50% Orthosiphone stamineus pada dosis 5000 mg/kg tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda toksisitas atau kematian (Abdullah dkk, 2009). Sementara pada toksisitas subkronis, ekstrak etanol terstandarisasi 50% Orthosiphone stamineus pada 1250, 2500, dan 5000 mg/kg selama 28 hari tidak menyebabkan kematian dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kondisi umum, pertumbuhan, bobot organ, parameter hematologi, nilai-nilai kimia klinis, dan mikroskopis organ (Moh dkk, 2011). Meskipun demikian, belum ada penelitian mengenai toksisitas ekstrak Orthosiphone stamineus dalam bentuk kombinasi serta penelitian toksisitas pada kedua ekstrak yang lainnya.
4
Salah satu pengembangan produk herbal oleh PT. Swayasa Prakarsa yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada yaitu berisi campuran ekstrak herba seledri, daun kumis kucing dan buah mengkudu (SKM) dengan indikasi membantu menurunkan tekanan darah. Pengembangan obat herbal dengan kategori jamu menjadi obat herbal terstandar memerlukan adanya data empirik dan data preklinik seperti uji toksisitas (keamanan) dan farmakodinamik (pengujian efek), akan tetapi belum ada bukti ilmiah mengenai keamanan penggunaan sehingga diperlukan pengujian toksisitas namun untuk pengujian aktivitas farmakologi sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Campuran SKM terbukti memiliki efek sebagai penurun tekanan darah (Septia, 2015). Penggunaan dalam jangka waktu lama mendorong perlunya penentuan toksisitas subkronis. Dari hasil penelitian ini nantinya dapat diketahui kemungkinan adanya efek toksik yang ditimbulkan atau tidak dengan mengamati gambaran hematologi tikus wistar jantan. B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana gejala toksik yang muncul akibat adanya pengaruh pemberian campuran 75 mg ekstrak herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu pada tikus jantan Galur Wistar sekali sehari selama 90 hari masa perlakuan dan 14 hari masa reversibilitas ? 2. Bagaimana pengaruh pemberian campuran 75 mg ekstrak herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu pada tikus jantan Galur Wistar sekali sehari selama 90 hari masa perlakuan dan
5
14 hari masa reversibilitas terhadap perubahan berat badan, perubahan asupan makanan dan minuman ? 3. Bagaimana pengaruh pemberian campuran ekstrak 75 mg herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu pada tikus jantan Galur Wistar sekali sehari selama 90 hari masa perlakuan dan 14 hari masa reversibilitas terhadap parameter hematologi ? C.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui adanya gejala toksik pengaruh pemberian campuran ekstrak 75 mg herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu pada tikus jantan Galur Wistar sekali sehari selama 90 hari masa perlakuan dan 14 hari masa reversibilitas. 2. Mengetahui pengaruh pemberian campuran ekstrak 75 mg herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu pada tikus jantan Galur Wistar sekali sehari selama 90 hari masa perlakuan dan 14 hari masa reversibilitas terhadap perubahan berat badan, perubahan asupan makanan dan minuman. 3. Mengetahui pengaruh pemberian campuran ekstrak 75 mg herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu pada tikus jantan Galur Wistar sekali sehari selama 90 hari masa perlakuan dan 14 hari masa reversibilitas terhadap parameter hematologi.
6
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari peneklitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh informasi mengenai kemungkinan adanya efek toksik terhadap gambaran hematologi tikus jantan galur Wistar dari pemberian campuran ekstrak 75 mg herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar penelitian-penelitian selanjutnya, sehingga campuran SKM dapat dikembangkan menjadi obat herbal terstandar.
2.
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah mengenai adanya efek toksik terhadap parameter hematologi.
3.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya serta menambah wawasan dan pengetahuan penulis. E.
1.
Tinjauan Pustaka
Toksikologi a.
Definisi
Toksikologi merupakan cabang ilmu yang mengkaji hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologis lainnya (Lu, 1995). Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang racun. Paracelcus (1493-1541) menyatakan bahwa semua bahan adalah racun, tidak satupun yang bukan racun. Takaran dosis yang tepatlah yang membedakan antara racun dan obat (Doull & Bruce, 1986).
7
b.
Asas Umum Toksikologi
Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas utama dalam toksikologi meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005). Kondisi pemejanan adalah semua faktor yang menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu dan akan mempengaruhi jumlah serta lama tinggal racun tersebut di dalam tubuh, diantaranya adalah jenis pemejanan (akut, subkronis atau kronis), jalur pemejanan (intravena, inhalasi, intraperitoneal, subkutan, transdermal dan oral), saat pemejanan (blastogenesis, organogenesis atau pematangan), dan takaran pemejanan (normal atau tidak normal). Sedangkan kondisi makhluk hidup akan mempengaruhi keefektifan antar aksi zat beracun dengan sel sasaran yang meliputi kondisi fisiologis yaitu bobot badan, umur, jenis kelamin, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, genetika, dan lain-lain serta kondisi patologis seperti penyakit saluran cerna, penyakit kardivaskuler, penyakit hati, ginjal dan lain-lain (Donatus, 2005). Mekanisme aksi zat toksik di dalam tubuh dibagi menjadi mekanisme luka intrasel atau langsung yang berkaitan dengan membran, DNA, dan produksi energi serta mekanisme luka eksternal atau tak langsung yang berkaitan dengan metabolisme basal dan pengaturan aktivitas sel. Berkaitan dengan wujudnya, maka efek toksik didasarkan pada perubahan struktural, fungsional dan biokimia. Berdasarkan sifatnya, efek toksik dibagi atas efek terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible) (Donatus, 2005).
8
Pemahaman tentang kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup akan mempermudah dalam menghayati aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan senyawa. Pemahaman tentang mekanisme aksi akan mempermudah dalam menghayati penyebab timbulnya efek toksik. Pemahaman tentang wujud dan sifat efek toksik mempermudah dalam menghayati respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif ketoksikan suatu senyawa dapat dengan mudah dihayati dengan memahami hubungan antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus, 2005). c.
Uji toksikologi
Uji toksikologi merupakan salah satu bagian dari uji praklinik yang dapat diterapkan baik pada senyawa biologi maupun senyawa obat. Uji ini harus dilakukan sebelum obat dipasarkan dan digunakan oleh manusia. Uji toksikologi dapat dilakukan pada tikus, marmot, mencit atau hewan mamalia lain yang besar. Pemilihan hewan uji didasarkan pada metode percobaan dan protokol terkait, seperti target organ spesifik yang akan diamati. Hasil uji toksikologi pada hewan percobaan akan menggambarkan potensi ketoksikan senyawa uji terhadap hewan uji tersebut sebagai prediksi ketoksikan yang mungkin terjadi jika senyawa uji diaplikasikan pada manusia (Barile, 2007). Uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi untuk mengevaluasi secara keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan tak khas ini adalah uji ketoksikan akut, subkronis dan kronis.
9
1) Uji ketoksikan akut, yaitu uji ketoksikan yang dirancang untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat di toleransi oleh hewan uji, yang hasilnya akan diekstrapolasi pada manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari. 2) Uji ketoksikan subkronis atau disebut juga subakut, yaitu uji ketoksikan susatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu. Umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 dosis, selama 4 minggu – 3 bulan dan menggunakan 2 spesies yang berbeda. 3) Uji ketoksikan kronis, pada dasarnya serupa dengan uji ketoksikan subkronis, menggunakan hewan rodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan hanya terletak pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis senyawa uji, masa pengamatan dan pemeriksaannya serta tujuannya. Uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas dari suatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan uji. Termasuk uji ketoksikan khas ini adalah uji potensiasi, kekarsinogenikan,kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji prenatal dan paskanatal), uji kulit dan mata serta uji perilaku (Loomis, 1978). 2.
Uji ketoksikan subkronis Uji ketoksikan subkronis atau sering disebut subakut adalah uji ketoksikan
suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini berfungsi untuk mengungkapkan spektrum effek toksik yang terjadi serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2005).
10
Uji ketoksikan subkronis dilakukan dengan pemejanan senyawa uji secara subkronis, yaitu dengan durasi antara pemejanan akut dan kronis. Pada dasarnya pemejanan ini dapat dilakukan secara berulang selama 1 hingga 3 bulan (Barile, 2007). Uji ketoksikan ini dapat dilakukan dengan durasi bervariasi, namun pada umumnya uji ketoksikan ini dilakukan selama 90 hari (Eaton & Klassen, 2001). Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya serta perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut, kekerabatan antara senyawa dalam darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik, dan keterbalikan (reversibilitas) efek toksik. Selanjutnya, hasil uji ketoksikan subkronis ini dapat digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis (Loomis, 1978). 3.
Uji ketoksikan subkronis metode OECD 408 OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)
adalah sebuah lembaga multinasional yang bekerjasama di bidang ekonomi dan pembangunan internasional. OECD secara bertahap dan melalui proses revisi secara periodik telah menghasilkan Guidelines OECD untuk prosedur penelitian. Guidelines OECD dibuat ditujukan untuk terbentuknya sebuah standar operasional prosedur dalam sebuah penelitian. Dengan adanya Guidelines yang terstandar maka hasil-hasil penelitian dari berbagai Negara dapat dikumpulkan dan dibahas dalam kongres Internasional OECD sehingga data-data yang didapat dari penelitian dapat digunakan untuk mendapatkan informasi baru ataupun tambahan untuk revisi data.
11
Untuk Guidelines OECD 408 ini telah direvisi berulang kali dan Update Version Guidelines OECD 408 adalah yang direvisi pada 21 September 1998 dan memuat informasi yang lebih spesifik berkaitan dengan hewan uji yang digunakan dalam penelitian ketoksikan subkronis dibandingkan metode uji ketoksikan sebelumnya. Test Guidelines 408 ini menjelaskan secara spesifik mengenai tatalaksana prosedur penelitian dosis berulang selama 90 hari yang nanti akan peneliti gunakan sebagai metode penelitian. Guidelines ini memuat tatacara seleksi hewan, kondisi dan tempat pengujian, persiapan hewan, penyiapan dosis uji, jumlah hewan uji, cara administrasi dosis kepada hewan uji, pengamatan yang dilakukan serta pelaporan data. Dalam penelitian ini, pedoman yang digunakan yaitu OECD 408 Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Rodents. Pengamatan yang dilakukan dalam uji ketoksikan subkronis meliputi : 1) Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali 2) Asupan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan uji paling tidak 7 hari sekali 3) Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari 4) Pemeriksaan hematologi yang diperiksa dua kali, yaitu pada awal dan akhir uji coba (Donatus, 2005; Loomis, 1978; OECD, 1998) 4.
Parameter hematologi Parameter hematologi sudah banyak digunakan secara luas untuk
menetapkan keadaan fisiologis tubuh secara sistemik, meliputi kesehatan secara umum, diagnosis dan prognosis dari suatu penyakit (Shah dkk., 2007). Ada
12
banyak faktor yang mempengaruhi nilai dari parameter hematologi, antara lain yaitu umur, jenis kelamin, nutrisi dan faktor lingkungan. Pada manusia, faktor etnis, bentuk tubuh dan faktor sosial juga merupakan faktor yang berpengaruh pada parameter hematologi. Pemeriksaan hematologi lengkap meliputi jumlah total eritrosit, platelet, hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH, MCHC, jumlah total leukosit dan diferensialnya meliputi neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit. Menurut beberapa tenaga kesehatan, tidak semua parameter darah penting untuk diperiksa, hanya beberapa parameter saja yang lebih diutamakan dalam pemeriksaan tertentu (Ciesla, 2007; Feldman dkk., 2000). a.
Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah (RBC) merupakan komponen sel darah yang paling banyak terdapat dalam sirkulasi darah. Secara umum eritrosit mempunyai karakteristik berbentuk oval dan berwarna merah karena adanya pigmen globin, termasuk Hb. Eritrosit pada vertebrata selain mamalia mempunyai inti sel dan organela dalam sitoplasmanya (Claver & Quaglia, 2009). Masa hidup eritrosit berbeda-beda pada setiap organisme vertebrata, yaitu 120 hari pada manusia, 49 hari pada unggas, 600-800 hari pada reptil, 3001400 hari pada amfibi dan 80-500 hari pada ikan. Apabila tubuh kekurangan eritrosit, maka tubuh akan memproduksi lebih banyak eritrosit. Jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah pada vertebrata berkisar antara 1 sampai 5 x 106 / μL3 (Claver & Quaglia, 2009). Rentang normal jumlah eritrosit untuk hewan uji tikus adalah 7,20 – 9,60 x 106 / µL (Gad, 2007). Masa hidup dan jumlah eritrosit dalam
13
sirkulasi darah yang berbeda-beda menunjukkan bahwa setiap organisme mempunyai kebutuhan metabolisme yang berbeda-beda (Morera & MacKenzie, 2011). Fungsi utama dari eritrosit adalah transport oksigen dan karbondioksida untuk ditukarkan dalam kapiler paru-paru (pertukaran gas). Selain itu, fungsi lain dari eritrosit antara lain adalah transport glukosa, homeostasis kalsium, homeostasis redoks, proliferasi sel T dan aktivitas antimikrobial (Morera & MacKenzie, 2011). Kondisi yang dapat timbul akibat abnormalitas dari jumlah eritrosit yaitu eritrositosis dan anemia. Eritrositosis atau polisitemia sekunder merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya produksi eritrosit sebagai kompensasi dari hipoksia. Hipoksia dapat diakibatkan oleh banyak hal seperti penyakit paru, ginjal, gagal jantung dan pengaruh lingkungan seperti tinggal di dataran tinggi (kadar oksigen rendah). Anemia merupakan suatu kondisi yaitu tubuh kekurangan Hb. Kurangnya jumlah eritrosit dapat diakibatkan oleh pendarahan, rusaknya eritrosit atau hemolisis (hemolytic anemia) dan kurangnya produksi eritrosit akibat defisiensi asam folat (pernicious anemia) (Greenberg & Glick,
2003).
Xenobiotika
dapat
mempengaruhi
produksi,
fungsi
dan
kelangsungan hidup eritrosit. Efek yang sangat sering terjadi adalah perubahan pada sirkulasi sel darah merah, biasanya terjadi penurunan pada kadar eritrosit (Klaassen dkk., 2001).
14
b.
Leukosit
Leukosit atau sel darah putih (WBC) merupakan komponen dari sel darah yang berperan penting dalam sistem imun tubuh dan melindungi tubuh dari infeksi. Jumlah leukosit adalah lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan platelet, yaitu 4,00 – 11,00 x 103 / μL (Naushad & Wheeler, 2012). Jumlah [3, yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil. Neutrofil merupakan fagosit yang paling dominan dalam sirkulasi darah dan merupakan pertahanan pertama dari serangan bakteri di membran mukosa dan kulit (Malech & Gallin, 1987). Fungsi dari eosinofil dan basofil belum sepenuhnya diketahui. Eosinofil mempunyai kemampuan fagositosis yang lemah dan tidak dapat membunuh bakteri. Eosinofil berfingsi dalam reaksi antigen-antibodi seperti serangan asma dan alergi. Jumlah eosinofil menignkat dalam infeksi yang disebabkan oleh parasit. Basofil bermigrasi menuju jaringan-jaringan dalam tubuh membawa heparin dan histamin serta faktor pengaktivasi platelet. Basofil berperan sebagai sel mast dalam reaksi alegi (Greenberg & Glick, 2003). Agranulosit dibagi menjadi dua, yaitu monosit dan limfosit. Monosit merupakan sel yang belum dewasa (immature) saat berada dalam sirkulasi darah. Setelah sampai ke jaringan, monosit akan berubah menjadi bentuk dewasanya yaitu makrofag. Makrofag memiliki peran penting dalam sistem imun seperti proses presentasi antigen untuk menginisiasi respon limfosit, sekresi lisosom, komplemen, sitokin serta aktivasi dan mobilisasi dari leukosit lain. Limfosit merupakan sel utama yang berperan dalam imunitas. Limfosit terbentuk dari sel punca dalam sumsum tulang yang kemudian bermigrasi menuju jaringan limfatik
15
seperti kelenjar limfa, timus dan lapisan mukosa pada saluran cerna. Ada dua tipe dari limfosit, yaitu thymus-dependent lymphocyte (limfosit T) dan non-thymusdependent lymphocyte (limfosit B) (Greenberg & Glick, 2003). Pemeriksaan jumlah leukosit penting untk melihat respon tubuh terhadap berbagai hal seperti infeksi, inflamasi, imundefisiensi dan kanker (leukimia dan limfoma). Jumlah total leukosit yang kurang dari normal disebut leukopenia, sedangkan jumlah total leukosit yang melebihi batas normal disebut leukositosis. Leukopenia dapat diakibatkan oleh terapi seperti kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi yang mengurangi jumlah leukosit dalam darah, atau abnormalitas pada sel punca seperti leukemia atau sindrom myelodisplastik. Leukositosis dapat muncul sebagai respon dari infeksi, stress, gangguan inflamasi atau produksi berlebihan karena leukemia (Naushad & Wheeler, 2012). c.
Platelet
Platelet atau trombosit merupakan salah satu sel darah yang ada dalam sirkulasi darah dengan jumlahnya sebesar 150 – 450 x 103 / μL. Platelet manusia mempunyai ukuran kecil, yaitu 2-4 x 0.5 / μm dengan volume 7 – 11 fL. Pada umumnya, umur paltelet dalam sirkulasi darah kurang lebih 10 hari (George, 2000). Jumlah platelet untuk hewan uji tikus berkisar 160 – 470 x 103 / µL (Gad, 2007). Platelet merupakan sel yang multifungsi dan terlibat dalam banyak proses fisiologi tubuh seperti homeostasis (pembekuan darah), konstriksi dan perbaikan pembuluh
darah,
inflamasi
pada
pembentukan
atheroskerosis,
bahkan
16
perlindungan terhadap growth factor dan metastasis dari tumor. Ukurannya yang kecil menyebabkan platelet dengan mudah menuju ujung dari pembuluh darah sasaran dan menempatkan diri opada tempat yang optimal dalam pembuluh darah (Harrison, 2005). Abnormalitas dari jumlah platelet dapat menimbulkan dua kondisi, yaitu trombositosis apabila jumlahnya melebihi normal, dan trombositopenia apabila jumlahnya kurang dari normal. Berdasarkan penyebabnya , trombositosis dibagi menjadi dua, yaitu trombositosis primer, apabila penyebabnya terletak pada abnormalitas hematopoiesis, trombositosis sekunder, apabila penyebabnya merupakan penyebab eksternal seperti xenobiotik, inflamasi kronis, kanker defisiensi zat besi dan rebound
setelah splenectomy. Penyebab dari
trombositopenia lebih banyak dibandingkan trombositosis, antara lain adalah autoimun, obat-obatan seperti heparin dan aspirin, kemoterapi, infeksi dan/atau spesis, dan splenomegali. d.
Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan molekul protein yang terdapat di dalam eritrosit. Fungsi utama dari Hb adalah pertukaran gas dalam tubuh. Hb berfungsi untuk transport oksigen dari paru-paru menuju seluruh jaringan dalam tubuh. Rentang normal kadar hemoglobin pada hewan uji tikus sebesar 12 – 17,5 g/dL (Gad, 2007). Abnormalitas
bawaan
pada
Hb
disebut
juga
hemoglobinopati.
Hemoglobinopati ada dua, yaitu anemia sel sabit dan talasemia. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya abnormalitas pada pembentukan senyawa Hb. Pada
17
anemia sel sabit, terdapat abnormalitas pada rantai β dari Hb yang mengakibatkan perubahan struktur dari Hb. Perubahan ini mengakibatkan tekanan oksigen menurun atau peningkatan pH darah kemudian Hb akan membentuk kristal berbentuk sabit dalam eritrosit. Sel sabit ini dapat menyebabkan sumbatan dalam pembuluh darah terutama pada ujung-ujung kapiler darah. Pada talasemia, abnormalitas terletak pada defisiensi sintesis rantai α atau β molekul Hb. Hal ini akan menyebabkan anemia mikrositik (ukuran eritrosit lebih kecil dari normal) dan hipokromik (jumlah Hb lebih sedikit dari normal). Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit bawaan dan dapat diturunkan (Greenberg & Glick, 2003). Penurunan kadar eritrosit yang disebabkan oleh xenobiotik juga dapat mempengaruhi kadar Hb dalam darah (Klaassen dkk., 2001). e.
Hematokrit
Hematokrit menunjukkan proporsi eritrosit dari darah dalam suatu volume, umumnya ditunjukkan dalam nilai persen (%). Nilai hematokrit sangat penting dalam menentukan viskositas darah (Salazar dkk., 2008). Viskositas darah berbanding terbalik dengan kecepatan aliran darah. Dengan diameter pembuluh darah yang sangat kecil, peningkatan hematokrit dapat mengurangi aliran darah secara eksponensial (Voerman & Groeneveld, 1989). Walaupun peningkatan hematokrit dapat meningkatkan kapasitas pengikatan oksigen tetapi viskositas darah yang tinggi akan mengurangi aliran darah dan pefusi menuju jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai hematokrit mempunyai nilai yang optimal. Pada manusia, nilai hematokrit normal adalah 40%-54% untuk laki-laki dan 36%-46% untuk perempuan.
18
Nilai hematokrit merupakan parameter yang dinamis dan dapat berubah dengan cepat dan signifikan berdasarkan perubahan psikologis, patofisiologis dan psikomatik (Isbister, 1987). Peningkatan nilai hematokrit secara akut dapat disebabkan oleh berkurangnya volume intravaskular atau fluid loss yang menyebabkan peningkatan jumlah eritrosit secara relatif (Baskurt &Meiselman, 2003). Peningkatan nilai hematokrit secara kronis dapat disebabkan oleh penyakit seperti polisitemia, yaitu peningkatan produksi eritrosit sehingga kadarnya melebihi normal (Isbister, 1987). f.
Mean
Corpuscular
Volume
(MCV),
Mean
Corpuscular
Hemoglobin (MCH) & Mean Corpuscular Hemoglobin concentration (MCHC) Mean Corpuscular Volume atau MCV merupakan suatu nilai yang menunjukkan volume rata-rata dari eritrosit (Curry & Staros, 2012). Nilai MCV dapat dihitung menggunakan alat analisis hematologi secara otomatis (Lichtman dkk., 2010). Nilai normal MCV pada manusia dewasa sehat adalah 80-96 fl (McPherson & Pincus, 2011), sedangkan nilai MCV normal pada tikus adalah 57 65 fL (Gad, 2007). Nilai MCV rendah mengindikasikan mikrositik (ukuran eritrosit kecil), nilai MCV normal mengindikasikan normositik (ukuran eritrosit normal) dan nilai dari MCV tinggi mengindikasikan makrositik (ukuran eritrosit besar) (Curry & Staros, 2012). Nilai MCV berguna untuk menentukan tipe anemia berdasarkan morfologi dari eritrosit (Lichtman dkk., 2010).
19
Mean Corpuscular Hemoglobin atau MCH merupakan suatu nilai yang menunjukkan bobot rata-rata atau massa dari Hb dalam eritrosit. Nilai MCH normal pada manusia dewasa sehat adalah 27-33 pg (McPherson & Pincus, 2011), sedangkan nilai MCH normal pada hewan uji tikus sebesar 14.6 – 21.3 pg (Gad, 2001). MCH dapat digunakan untuk menentukan tipe anemia hipokromik (nilai Hb tinggi). Nilai MCH harus selalu didampingi dengan nilai MCV karena volume sel dapat mempengaruhi konten dari Hb yang terdapat di dalam sel, dan nilai MCH dapat berubah tergantung dari MCV (Lichtman dkk., 2010). Mean Corpuscular Hemoglobin concentration atau MCHC merupakan suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi rata-rata dari Hb dalam suatu volume eritrosit. Nilai normal MCHC pada manusia dewasa sehat adalah 33-36 g/dL (McPherson & Pincus, 2011). Nilai MCHC normal pada hewan uji tikus sebesar 26 – 38 g/dL (Gad, 2001). MCV, MCH dan MCHC merupakan indikator dari eritrosit yang umum digunakan untuk diagnosis diferensial dari anemia (Lichtman dkk., 2010). Secara umum, anemia beradasarkan volume eritrosit dibagi menjadi tiga, yaitu anemia mikrositik-hipokromik (nilai MCV dan MCH rendah), anemia makrositik (nilai MCV tinggi) dan anemia normositik-normokromik (nilai MCV dan MCH normal). Penyebab umum dari anemia mikrositik-hipokromik antara lain defisiensi besi, penyakit kronis, talasemia dan anemia sideroblastik. Penyebab umum dari anemia makrositik antara lain defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, penyakit liver, anemia hemolitik, hipotiroidisme, peminum alkohol berat, anemia aplastik dan sindrom myelodisplastik. Penyebab umum dari anemia
20
normositik-normokromik antara lain penyakit kronik, pendarahan akut, anemia hemolitik, penyakit ginjal dan anemia aplastik (McPherson & Pincus, 2011). Selain karena penyebab-penyebab penyakit diatas, nilai MCV, MCH dan MCHC dapat berubah karena faktor lain. Nilai MCV dapat meningkat karena adanya aglutinasi eritrosit atau hiperglikemia yang menyebabkan eritrosit mengalami peningkatan volume. Nilai MCH dan MCHC dapat berubah karena adanya hiperlipidemia yang dapat mengganggu pengukuran kedua parameter tersebut (Greer dkk., 2009). 5.
Simplisia a.
Orthosiphon stamineus Benth
Daun kumis kucing merupakan daun Orthosiphon stamineus Benth. yang mengandung sinensetin tidak kurang dari 0,1% (Anonim, 2008). Tanaman kumis kucing biasanya tumbuh di sepanjang anak sungai atau selokan. Tanaman ini dapat ditemukan di dataran rendah pada ketinggian kurang lebih 700 m di atas permukaan laut. Tanaman kumis kucing tumbuh tegak dengan tinggi antara 50150 cm. Batang berkayu, segiempat agak beralur, beruas, bercabang, berambut pendek atau gundul dan berakar kuat. Daun berwarna hijau, berbentuk bulat telur, elips atau memanjang, berambut halus, tunggal, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis, panjang 2-10 cm dan lebar 1-5 cm. Bunga berwarna ungu pucat atau putih, majemuk dalam tandan yang keluar di ujung percabangan dan benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berupa kotak dan berbentuk bulat telur. Saat masih muda, buah berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat. Biji
21
kecil, saat masih muda berwarna hijau, dan setelah tua berwarna hitam (Dalimartha, 2000). Kumis kucing mengandung beberapa kandungan senyawa kimia yaitu minyak atsiri 0,1% yang terdiri dari seskuiterpen dan senyawa fenolik. Daun kumis kucing mengandung flavonoid yang utama yaitu sinensetin, eupatorin, scutellarein, tetrametil eter, salvigenin, rhamnazin dan glikosida flavonoid. Senyawa lain yang bermanfaat adalah glikosida, alkaloid, zat samak, minyak lemak, saponin dan myoinositol (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Penelitian mengenai efek antihipertensi daun kumis kucing sudah dilakukan sejak tahun 1997 oleh Lestari Handayani dan Didik Budijanto. Hasil penelitian terhadap 43 penderita hipertensi yang di publikasikan pada Cermin Dunia Kedokteran menunjukkan bahwa penberian ramuan daun kumis kucing dan buah mengkudu dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa ekstrak etanol 30% tanaman kumis kucing, pegagan, sambiloto dan tempuyung menghasilkan potensi aktivitas antihipertensi dalam penghambatannya terhadap enzim ACE secara in vitro. Semua ekstrak tunggal kecuali ekstrak tempuyung dapat menghambat aaktivitas enzim ACE secara in vitro secara signifikan bila dibandingkan dengan kaptopril, dengan ekstrak kumis kucing 50 ppm mempunyai daya inhibisi tertinggi sebesar 76,98%. Ekstrak kombinasi dari pegagan-kumis kucing-sambiloto memiliki daya inhibisi yang sangat tinggi yakni mencapai 86,99% (Pradono dkk, 2010).
22
Efek penurunan tekanan darah dari daun kumis kucing disebabkan karena beberapa
kandungan
senyawa
yang
dimilikinya.
Penelitian
terdahulu
menyebutkan bahwa kandungan neoorthosiphol A dan B, sinensetin, dan tetrametil scutellarein dalam daun kumis kucing menyebabkan relaksasi pada kontraksi yang di induksi oleh mM K+ atau 1-fenilefrin. Senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan volume urin setelah pemberian oral. Peningkatan volume urin tergantung dari dosis yang diberikan serta ekskresi urin yang mengandung elektrolit (Na+, K+, dan Cl-) meningkat hingga mencapai dua sampai tiga kali (Adnyana dkk., 2013). Penelitian preklinis pada tikus mengindikasikan bahwa sinensetin dan 3’-hidroksi-5,6,7,4’-tetrametilflavon dari kumis kucing menunjukkan adanya aktivitas diuretik. Aktivitas diuretik inilah yang diduga menjadi mekanisme aksi dari efek penurunan tekanan darah daun kumis kucing. Sinensetin atau 3’,4’,5,6,7-pentametoksiflavon bersifat nonpolar karena termasuk dalam golongan flavon yang termetoksilasi. b.
Apium graviolens L. (herba seledri)
Herba seledri merupakan herba Apium graviolens L. yang mengandung flavonoid total tidak kurang dari 0,6% dihitung sebagai apiin. Seledri adalah tanaman bionomikal herba yang tumbuh dengan ketinggian 60-90 cm. Sistem akarnya dangkal, batang bercabang dan bergerigi. Daunnya berbentuk oval sampai sub orbicular dengan 3 lobus yang panjangnya 2-4,5 cm. Seledri dibudidayakan di semua jenis tanah kecuali tanah yang mengandung garam, alkali dan kandungan air tinggi. Seledri sangat sensitif terhadap reaksi tanah, sehingga pH tanah optimal untuk pertumbuhan seledri adalah sekitar 5-7.
23
Seledri banyak mengandung minyak esensial seperti d-limonen dan seskuiterpen. Kandungan air pada seledri mencapai 95%. Sumber lain menyebutkan bahwa seledri mengandung minyak atsiri (1,5-3%), flavonoid (glikosida apiin), kumarin, furanokumarin, isokuersetin, saponin, asparagin dan apialkali. Akarnya mengandung minyak atsiri, asparagin, tirosin, glutamin, pentosan dan manit (Wijayakususma, 2008). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ekstrak air dan etanol herba seledri yang diberikan secara injeksi intravena pada kelinci yang di anastesi dapat menurunkan tekanan darah purata yang tergantung dosis. Efek hipotensif singkat dan tekanan darah mencapai nilai basal sekitar 3-4 menit. Pada dosis tinggi, durasi respon hipotensif lebih panjang. Hasil evaluasi mengenai mekanisme kerja herba seledri dalam menurunkan tekana darah berhubungan dengan blokade parsial komponen kolinergik. Hasil analisis fitokimia menyebutkan bahwa seledri mengandung flavonoid apigenin, luteolin dan kuersetin (Branković., 2010). Kandungan apigenin dalam herba seledri telah terbukti memiliki efek antihipertensi yang mekanismenya sejenis dengan Calcium Channel Blocker (CCB). Selain itu, apigenin
juga
diketahui
memiliki
aktivitas
vasorelaksasi
yang
dapat
mempengaruhi tekanan darah (Jorge dkk., 2013; Jin dkk., 2009). Apigenin atau 5,7,4’-trihidroksiflavon termasuk senyawa golongan flavon yang merupakan salah satu subkelas utama dari flavonoid selain flavonol, flavanon, flavanol, antosianidin dan isoflavon.
24
c.
Morinda citrifolia L. (buah mengkudu)
Buah mengkudu merupakan buah Morinda citrifolia L. yang mengandung skopoletin tidak kurang dari 0,02%. Mengkudu termasuk jenis kopi-kopian yang dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai pada ketinggian tanah 1500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini mempunyai batang yang tidak terlalu besar dengan tinggi pohon 4-8 meter. Daunnya tersusun berhadapan dengan panjang 2040 cm dan lebar 70-15 cm. Bunganya berbentuk bunga bongkol kecil-kecil dan berwarna putih. Buahnya berwarna hijau mengkilap dan merupakian buah buni berbentuk lonjong dengan variasi trotol-trotol. Bijinya banyak, kecil dan terdapat dalam daging buah. Bagian tanaman dari mengkudu yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat adalah bagian buahnya yang telah matang tetapi belum lunak. Buah mengkudu mengandung xeronin, skopoletin, proxeronin, proxeronase, asam amino, vitamin, enzim alkaloid, serta mineral seperti magnesium, besi dan fosfat. Selain itu, buah mengkudu juga mengandung beberapa zat antibakteri seperti acubin, alizarin dan beberapa zat antrakuinon. Beberapa studi menunjukkan bahwa mengkudu dapat digunakan untuk mengobati radang sendi, penyakit jantung, kanker, gangguan peredaran darah, hipertensi, diabetes, konstipasi dan infeksi (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Aktivitas penurunan tekanan darah dari buah mengkudu telah dibuktikan dari hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa jus mengkudu menunjukkan aktivitas penghambatan Angiotensin Converting Enzyme yang kuat. Efek penghambatan jus dari buah mengkudu yang masak lebih kuat daripada buah
25
yang nmasih hijau. Penggunaan oral tungga dari jus mengurangi tekanan darah sistol secara spontan pada tikus jantan yang hipertensi. Skopoletin merupakan senyawa fenolik yang paling penting dalam jus buah mengkudu. Skopoletin berfungsi memperlebar seluruh pembuluh darah yang mengalami penyempitan sehingga peredaran darah kembali lancar Skopoletin yang diklaim dapat menurunkan tekanan darah karena memiliki efek vasodilator juga diduga memiliki efek penbghambatan ACE. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ekstrak metanolik buah mengkudu mengandung skopoloetin dan rutin hidrat yang menyebabkan penghambatan kontraksi yang dipicu oleh noradrenalin secara signifikan. Penghambatan kontraksi ini tergantung dari konsentrasi skopoletin dan rutin hidrat (Pandy dkk, 2014). Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa skopoletin memiliki aktivitas vasorelaksasi pada cicin aorta tikus kondisi normal maupun diinduksi oleh efinefrin (Lin dkk., 2014; Kwon dkk., 2002). Skopoletin atau 7-hidroksi-6-metoksikumarin termasuk dalam golongan kumarin sederhana dan merupakan aglikon dari skopolin. 6.
Keterangan Campuran Ekstrak SKM Pengembangan produk herbal yang dibuat oleh PT. Swayasa Prakarsa
salah satunya adalah berisi campuran 75 mg ekstrak herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing dan 75 mg ekstrak buah mengkudu, sehinggal totalnya menjadi 225 mg campuran ekstrak SKM. Campuran tersebut diindikasikan untuk membantu menurunkan tekanan darah. Bentuk dari sediiaan ini berupa kapsul cangkang keras berwarna hijau muda kuning ukuran 0 (nol), bau tidak khas dan tidak berasa. Nomor bets yang dibuat pada pengembangan produk herbal berisi
26
campuran SKM adalah 14.04.T1.01 dengan tanggal produksi yaitu 10 Desember 2014 dan tanggal kadaluwarsa yaitu pada 10 Desember 2016. Di dalam satu botol kemasan SKM terdapat 30 kapsul SKM. Berdasarkan hasil penelitian Septia (2015) melalui metode Non Invasive Blood Pressure, kombinasi ekstrak daun kumis kucing, herba seledri dan buah mengkudu dalam campuran SKM diketahui dapat menurunkan tekanan darah pada tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi fenilefrin. Pemberian dosis 20,25 mg/kgBB dari kombinasi ekstrak mampu menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 16,10% dan tekanan darah diastolik sebesar 19,48%, sedangkan dosis 40,5 mg/kgBB mampu menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 15,84% dan tekanan darah diastolik sebesar 17,77% yang kedua dosis tersebut memiliki efektivitas sebanding dengan kaptopril. Efek perubahan tekanan darah pada tikus normal juga dihasilkan setelah pemberian kombinasi ekstrak berupa penurunan tekanan darah. Kombinasi ekstrak dosis 20,25 mg/kgBB tikus menghasilkan presentase penurunan tekanan darah sistol sebesar 7,1±1,8% dan tekanan darah diastol sebesar 13,8±3,2%, sedangkan kombinasi ekstrak dosis 40,5 mg/kgBB tikus menghasilkan presentase penurunan tekanan darah sistol sebesar 10,2±2,6% dan tekanan darah diastol sebesar 12,3±3,1% (Winarti, 2015).
27
F.
Landasan Teori
Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskuler yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah seseorang. Semakin tinggi tekanan dalam pembuluh darah maka jantung akan memompa darah lebih keras dan tidak terkontrol yang dapat meyebabkan serangan jantung, perbesaran jantung dan akhirnya gagal jantung. Pengukuran tekanan darah dilakukan pada dua atau lebih pengukuran pada posisi duduk. Seseorang dikatakan terkena hipertensi jika rata-rata pada pengukuran dua kali atau lebih tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali atau lebih kunjungan di waktu yang berbeda (Susalit et al., 2001). Obat antihipertensi biasanya menggunakan furosemide, hidroklortiazid, spironolakton, atenolol, propanolol, kaptopril. Seledri (Apium graviolens L.) mengandung apigenin yang memiliki mekanisme aksi seperti ACEIs (Angiotensin Converting Enzym Inhibitors) dan ARBs (Angiotensin Reseptor Blocker) (Mohler dan Townsend, 2006). Kumis kucing
(Orthosiphon
stamineus
Benth.)
mengandung
flavonoid
dengan
kandungan utama sinensetin sebagai diuretik untuk mengobati saluran kemih dan ginjal, diabetes dan hipertensi (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Mengkudu (Morinda citrifolia L) mengandung skopoletin yang memiliki aktivitas spasmolitik yang diduga menyebabkan terjadinya efek penurunan tekanan darah (Bone dan Mills, 2013). Pemberian ekstrak Orthosiphon stamineus dengan dosis 5 dan 10 mg/kgBB per oral pada tikus Sparague-Dawley menunjukkan aktivitas diuretik yang tergantung pada dosis dengan pembanding furosemid dan hidroklortiazida
28
10 mg/kgBB (Adam dkk, 2009). Dalam studi toksisitas akut oleh Abdullah dkk (2009) maupun toksisitas subkronis oleh Mohamed dkk (2011) diketahui ekstrak etanol terstandarisasi 50% Orthosiphone stamineus tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda toksisitas atau kematian. Kombinasi dari ketiga bahan tersebut belum pernah diteliti sebelumnya sebagai uji ketoksikan subkronis. Selain itu juga penyakit hipertensi merupakan penyakit yang memerlukan terapi dalam jangka waktu yang lama sehingga dikhawatirkan adanya timbul efek toksik ketika campuran ekstrak tersebut digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini menjadikan pentingnya dilakukan uji ketoksikan subkronis pada kombinasi ketiga ekstrak tersebut. Uji ketoksikan subkronis dilakukan dengan pemejanan sediaan uji terhadap hewan uji secara berulang pada berbagai macam peringkat dosis selama 90 hari dengan dosis maksimum 1000 mg/kgBB. G.
Hipotesis
Kombinasi ekstrak daun kumis kucing, ekstrak herba seledri dan ekstrak buah mengkudu mengandung senyawa utama sinensetin, apigenin dan skopoletin diduga tidak toksik sampai dosis 1000 mg/kgBB pada pengujian toksisitas subkronis terhadap tikus Wistar jantan secara berulang selama 90 hari perlakuan dan diduga tidak mempengaruhi parameter hematologi.