!
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di
Indonesia,
infeksi
susunan
saraf
pusat
menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit (Saharso dan Hidayati, 2000). Inflamasi meliputi
3
klinis,
yang
terjadi
diagnosis yaitu
pada
yang
sistem
sulit
meningitis,
saraf
dibedakan
pusat secara
ensefalitis
dan
meningoensefalitis (Carlo, 2011). Meningoensefalitis
merupakan
salah
satu
infeksi
sistem saraf pusat yang merupakan masalah serius dan membutuhkan pengenalan serta penanganan segera untuk memperkecil
gejala
sisa
dan
memastikan
kelangsungan
hidup pasien (Baoezier, 2002). Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada meninges,
paling
leptomeninges penyakit
ini
banyak
dan
disebabkan
ruangan
cukup
beragam.
infeksi
subarakhnoid. Dapat
pada
Etiologi
disebabkan
oleh
bakteri, virus, dan jamur (Hapsara, 2011). Ensefalitis umumnya kepala,
adalah
menyebabkan dan
perubahan
inflamasi
pasien status
pada
otak
yang
mengalami
demam,
sakit
mental.
Sebagian
besar 1
2
pasien juga mengalami inflamasi pada meninges, sehingga tampakan
klinis
yang
ada
tumpang
tindih
dengan
meningoensefalitis (Bronstein, Shields & Glaser, 2014). Pada 890.000 kasus meningitis anak yang terjadi setiap tahun (500.000 di Afrika, 210.000 di negaranegara
pasifik,
100.000
di
Eropa
dan
80.000
di
Amerika), 135.000 kasus berakhir dengan kematian dan 160.000
kasus
mengalami
gejala
sisa
yang
meliputi
gangguan perkembangan dan gangguan pendengaran (WHO, 1995; Farag, et al., 2005). Tanda bervariasi, pasien,
dan
gambaran
terlebih
pada
manifestasi
klinis
meningitis
bayi.
klinis
Semakin
yang
sangat
muda
ditemukan
usia
semakin
tidak jelas dan gejala yang ada semakin tidak spesifik, sehingga penegakan diagnosisnya sering sulit dilakukan. Hal ini mengakibatkan keterlambatan pengobatan sehingga angka
kematian
dan
kecacatannya
tetap
tinggi.
Angka
kematian meningitis berkisar antara 18-40% dan angka kecacatan
berkisar
berupa
gangguan
30-50%.
Kecacatan
pendengaran
yang yang
ditemukan bersifat
sensorineural, gangguan penglihatan, retardasi mental, gangguan
bicara,
hidrosefalus,
kejang
berulang
paresis anggota gerak (Saharso & Hidayati, 2000).
!
dan
3
Walaupun telah dikembangkan cara diagnosis dan penanganannya, meningitis masih menjadi ancaman bagi pasien. Fakta menyatakan tingkat kematian meningitis di Rumah
Sakit
Cipto
Mangunkusumo
(RSCM)
masih
tinggi,
yakni mencapai 41,8% berdasarkan data rekam medis sejak tahun 1997-2005 dengan mengikutsertakan 273 penderita, yang terdiri dari 81 wanita dan 192 pria, dengan usia antara
12
sampai
78
tahun.
Sejumlah
114
penderita
meninggal dan 159 hidup (Jannis & Hendrik, 2006). Tercatat
telah
terjadi
penurunan
insidensi
meningitis dari 2 kasus 100.000 populasi pada tahun 1998
sampai
1999
menjadi
1,38
kasus
per
100.000
populasi pada tahun 2006 hingga 2007 dengan penurunan case fatality rate menjadi 14,3%. Berdasarkan data ini, dapat
diestimasi
Serikat
mencapai
terjadinya 4.100
meningitis
kasus
dengan
di
Amerika
500
kematian
pusat
ternyata
(Thigpen, et al., 2011). Kasus memberikan banyak
infeksi beban
negara,
sistem
besar
contoh
pada di
saraf
pelayanan
Amerika
kesehatan
Serikat.
di
Terdapat
hampir mendekati 19.000 pasien pertahun dirawat inap akibat ensefalitis dengan 230.000 hari tinggal di rumah sakit
!
dan
1.400
kematian
dengan
total
biaya
yang
4
dikeluarkan
pemerintah
US$650
juta
pertahun
(Khetsuriani, Holman & Anderson, 2002). Berdasarkan data yang didapatkan Singh & Promes (2013),
kejadian
ensefalitis
dilaporkan
terjadi
sebanyak tiga hingga empat kasus per 100.000 populasi. Kebanyakan
kasus
ensefalitis
tidak
dikenali
atau
mengalami misdiagnosis karena berkembangnya kesakitan dengan cepat pada beberapa kasus. Anak-anak usia kurang dari 1 tahun, pasien usia lebih dari 65 tahun, dan pasien dengan sistem imun lemah memiliki risiko besar terkena ensefalitis akut. Informasi ensefalitis agen
kurang
penyebab
Meskipun
yang
dan
begitu,
akurat
dimiliki tidak
mengenai karena
semua
banyaknya
jumlah
definisi
kasus.
telitinya
didapatkan
kejadian
tingkat
insidensi
ensefalitis diperkirakan 1,5 sampai 8,8 setiap 100.000 populasi (Koskiniemi, Korppi & Mustonen, 1997; Cizman & Jazbec, 1998; Davison, et al., 2003) Di
RSUP
Dr.
Sardjito
Yogyakarta,
meningoensefalitis merupakan kasus yang paling banyak ditemui pada tahun 2012, yaitu sebanyak 21 kasus (35%) yang
kemudian
15
kasus
(71,4%)
meninggal
(Sunderajan, Satiti, dan Sukorini, 2012).
!
dunia
5
Sebuah penelitian meta-analisis menyatakan bahwa 16,4%
pasien
yang
meningoensefalitis
sembuh
akan
setelah
mengalami
mengalami
salah
satu
dari
gejala sisa berupa gangguan intelektual, epilepsi dan spastisitas (Grimwood, 2000). Sunderajan, Satiti, dan Sukorini (2012) menemukan bahwa, 17 pasien meningoensefalitis (80,9%) mengalami penurunan
kesadaran,
sedangkan
19,1%
pasien
masih
kompos mentis. Penurunan kesadaran merupakan salah satu kegawatan neurologi
yang
memberikan
pertanda
adanya
gangguan
integritas otak dan sebagai manifestasi umum akhir pada kasus kegagalan fungsi organ yang mengarah pada gagal otak dan mengakibatkan kematian. Penurunan kesadaran dapat
dinilai
Secara
secara
kualitatif,
mentis, Sedangkan
somnolen, secara
kualitatif dikenal
stupor
maupun
adanya atau
kuantitatif.
istilah
sopor,
kuantitatif,
kompos
dan
digunakan
koma.
kriteria
Glasgow coma scale (GCS) (Lindsay & Bone, 1997, cited in Wulandari & Bustomi, 2011). GSC mengenai
merupakan level
skala
kesadaran
untuk untuk
pasien
brain injury (Teasdale et al., 2014).
!
meninginformasikan dengan
acute
6
Skala ini awalnya dikembangkan untuk gradasi
dan
prognosis
sering
juga
cedera
diaplikasikan
kepala pada
menentukan
trauma,
keadaan
tetapi
gangguan
kesadaran non-traumatika (Satyanegara, et al., 2010). Kriteria ini menggunakan 3 parameter, yaitu respon pembukaan
mata,
verbal,
dan
dilakukan
dengan
menjumlahkan
motorik.
Interpretasi
perolehan
skor
setiap
parameter. Hasilnya kemudian dinilai dengan parameter: buruk (skor ≤8), moderat (skor 9-12), dan ringan (skor ≥13) (Teasdale et al., 2014). Sebuah meningitis
penelitian bakterial
di
Belanda
menemukan
terhadap
bahwa
pasien
terjadi
69%
perubahan status mental dan 14% koma pada keseluruhan pasien (van de Beek, et al., 2004). Penelitian lain di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
dengan
kasus
meningitis
menemukan
bahwa
penurunan kesadaran terutama sopor (OR 10,44; p=0,000) dan
koma
(OR
53,333;
p=0,000)
berhubungan
dengan
keluaran pasien meningitis (Jannis & Hendrik, 2006). Pada kesadaran lipat
ensefalitis sebelum
risiko
anak,
penanganan
kematian
dan
pasien
dengan
medis
memiliki
25
kali
lipat
gangguan 4
kali
risiko
kerusakan sistem saraf parah dibandingkan anak dengan
!
7
tingkat kesadaran normal (Bronstein, Shields & Glaser, 2014).
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah yang didapatkan adalah 1. Jumlah
mortalitas,
morbiditas,
dan
kecacatan
pasien meningoensefalitis tinggi. 2. Penurunan
kesadaran
yang
merupakan
salah
satu
kegawatan neurologi adalah salah satu manifestasi klinis pada meningoensefalitis. 3. Penurunan
kesadaran
dapat
dinilai
secara
kualitatif dan kuantitatif. 4. Penilaian
penurunan
kesadaran
secara
kualitatif
sebagai faktor yang berhubungan dengan kematian meningoensefalitis telah diteliti. 5. Belum
terdapat
penelitian
mengenai
penurunan
kesadaran yang dinilai secara kuantitatif sebagai faktor
yang
berhubungan
meningoensefalitis Sardjito Yogyakarta.
!
di
Bangsal
dengan Saraf
kematian RSUP
Dr.
8
C. Pertanyaan Penelitian Apakah
penurunan
kesadaran
sebagai
faktor
yang
berhubungan dengan kematian pasien meningoensefalitis di Bangsal Saraf RSUP Dr. Sardjito?
D. Tujuan penelitian Penelitian penurunan
ini
kesadaran
bertujuan sebagai
untuk
mengetahui
yang
berhubungan
faktor
dengan kematian pasien meningoensefalitis di Bangsal Saraf RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
E. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai penurunan kesadaran sebagai faktor
yang
berhubungan
dengan
kematian
pasien
meningoensefalitis di Bangsal Saraf RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2011 hingga 2013 dan dapat digunakan sebagai landasan ilmiah untuk penelitian lebih lanjut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dan menjadi pertimbangan dalam penanganan kasus meningoensefalitis yang ada.
!
9
F. Keaslian penelitian Perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya terletak pada perbedaan desain, variabel, letak geografis dan waktu penelitian. Pada penelitian ini akan digunakan desain penelitian analitik observasional potong lintang menggunakan data sekunder
pasien
meningoensefalitis
di
Bangsal
Saraf
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2011 hingga 2013. Berikut
ini
adalah
contoh
beberapa
penelitian
serupa yang pernah dilaksanakan: Tabel 1. Keaslian Penelitian
!
Peneliti
Metode
Jannis & Hendrik, 2006
Desain: potong lintang Subyek: 273 pasien meningitis terdiri dari 81 wanita dan 192 pria dengan usia 12 sampai 78 tahun
Hasil Tingkat kematian kasus meningitis tahun 1997 sampai 2005 di bangsal saraf RS Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 41,8% dengan jenis kelamin lakilaki, penurunan kesadaran dan adanya kelemahan motorik berhubungan terhadap keluaran
10
Dewi, Wibowo & Satiti, 2007
Desain: cohort retrospektif Subyek: Semua pasien anak meningoensefalitis yang dirawat di bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito
Frekuensi kejang tinggi ≥ 10 kali pada fase akut dan penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit atau keduanya terbukti merupakan prediktor gangguan perkembangan anak pasca menderita
Fatmawati, Satiti & Nuradyo, 2012
Desain: cohort retrospektif Subyek: seluruh pasien dengan klinis meningoensefaliti s yang dirawat di bagian Neurologi RSUP dr. Sardjito
Hiponatremia merupakan faktor prognosis kematian pasien meningoensefalitis. Semakin berat derajat hiponatremia, semakin tinggi faktor prognosis kematiannya.
Desain: deskriptif Subyek: seluruh Sunderajan, pasien dengan Satiti & klinis infeksi Sukorini, sistem saraf 2013 pusat di bagian neurologi RSUP Dr. Sardjito
!
Dari semua pasien, 33,3% pasien berasal dari kelompok usia 2635 tahun dan 34% pasien adalah lakilaki. Sebanyak 22 pasien mengalami gangguan kesadaran, 36 pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan masih sadar, 8 pasien mengalami hemiparesis, 4 pasien datang dengan infeksi primer, dan 23 pasien meniggal. Tiga puluh lima persen pasien didiagnosis meningoensefalitis