BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2002 menyebutkan angka kebutaan diseluruh dunia sekitar 37 juta penduduk, dimana 17 juta penduduk atau sekitar 47,8% disebabkan oleh katarak, dan diperkirakan akan meningkat hingga 40 juta penduduk pada tahun 2020 (American Academy of Ophthalmology Staff, 20112012c). Terapi katarak yang tersedia saat ini adalah dengan tindakan pembedahan dengan tujuan mengoptimalkan tajam penglihatan. Prosedur operasi katarak paling modern saat ini adalah dengan metode fakoemulsifikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah edema kornea. Edema kornea terjadi karena berkurangnya jumlah sel endotel di kornea (Beebe et al., 2010). Katarak berdasar usia bisa dibagi menjadi katarak kongenital, juvenile, dan senilis. Katarak berdasar usia yang tersering adalah katarak senilis. Katarak senilis merupakan katarak yang terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Berdasarkan kekeruhannya katarak dapat dibagi kembali menjadi katarak imatur, matur dan hipermatur. Buratto membagi densitas kekerasan lensa menjadi 5 jenis. Grade 1 biasanya visus masih baik 6/12, tampak sedikit keruh dengan nukleus lunak. Grade 2 merupakan derajat nukleus dengan kekerasan ringan, nukleus mulai sedikit kekuningan dengan visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Grade 3 paling sering ditemukan dengan nukleus tampak berwarna kuning dengan korteks
keabu-abuan dan visus biasanya antara 6/30 sampai 3/60 tergantung usia pasien. Grade 3 merupakan derajat nukleus dengan kekerasan medium. Grade 4 merupakan derajat nukleus yang keras, usia penderita biasanya lebih dari 65 tahun dengan visus antara 3/60 sampai 1/60. Grade 5 merupakan derajat nukleus sangat keras dengan visus biasanya 1/60 atau lebih jelek, nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan kehitaman. Pada penelitian ini dipilih katarak dengan grade 2 dan 3 karena nukleus dengan kekerasan ringan hingga medium mudah untuk dilakukan prosedur fakoemulsifikasi. Katarak dengan grade 4 dan 5 lebih sering dilakukan prosedur operasi dengan metode small incision (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012c; Soekardi & Hutauruk, 2004). Kornea merupakan dinding depan bola mata yang transparan dan merupakan jaringan yang avaskular. Lapisan kornea dari luar ke dalam adalah epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Endotel kornea adalah lapisan paling dalam dari kornea. Endotel kornea terdiri dari satu lapis sel endotelium. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah teridentifikasi pada endotel kornea antara lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+,K+ATPase; pompa sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos. Trauma pada endotel kornea akan menyebabkan dekompensasi endotel (Bourne, 2003; Gipson, 1994). Fakoemulsifikasi merupakan prosedur bedah katarak menggunakan mesin. Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu waktu operasi menjadi lebih
cepat, rehabilitasi visus yang cepat, dan luka insisi sehingga mempercepat pertumbuhan, dan mengurangi risiko astigmatisme. Mesin fakoemulsifikasi menggunakan energi ultrasound (U/S) yang merupakan suatu getaran dengan frekuensi sangat tinggi diatas frekuensi gelombang suara (Lundberg et al., 2005). Gelombang U/S pada saat proses fakoemulsifikasi menyebabkan timbulnya pembentukan radikal-radikal hidroksi dan atom oksigen. Radikal hidroksi merupakan molekul oksigen reaktif paling poten. Radikal bebas atau oksidan yang berbahaya di dalam tubuh adalah yang berasal dari derivate oksigen, seringkali disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas memiliki efek oksidatif yang merusak bagi tubuh. Tubuh membutuhkan antioksidan untuk meredam efek radikal bebas di dalam tubuh (Murano et al., 2008; Nayak & Jain, 2009). Vitamin merupakan nutrien esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada umumnya vitamin tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia, sehingga harus mendapat vitamin dari asupan dan makanan yang cukup. Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang larut air. Asam askorbat disebut antioksidan karena berfungsi sebagai donor elektron, sehingga dapat mencegah senyawa lain mengalami oksidasi (Padayatty et al., 2003). Karena sifatnya yang larut air, asam askorbat dapat bekerja di luar dan di dalam untuk melawan efek radikal bebas. Asam askorbat merupakan sumber elektron yang baik sehingga dapat memberikan elektron pada radikal bebas. Asam askorbat juga melindungi DNA sel dari kerusakan akibat radikal bebas dan mutagen (Takahashi, 2005; Walkow et al., 2000).
Mata mendapat asupan asam askorbat dari plasma. Asam askorbat diangkut secara aktif dari plasma melalui badan silier kemudian masuk ke humor akuos. Pengiriman zat-zat dari plasma melalui humor akuos ke kornea anterior membutuhkan waktu 5 jam, hal ini menunjukkan sekresi humor akuos yang lamban dan dapat berfungsi sebagai pertahanan difusi stroma (Delamere & Williams, 1987). Konsentrasi asam askorbat di humor akuos 10-15 kali lebih tinggi daripada di serum dan plasma. Konsentrasi asam askorbat ini akan berkurang dengan semakin bertambahnya usia. Pada penelitian sebelumnya, diberikan asam askorbat 2g per oral, didapatkan konsentrasi asam askorbat meningkat dua kali lipat di humor akuos (Iqbal et al., 1999). Pada penelitian yang dilakukan oleh Bellarinatasari et al. (2011) yang melibatkan 66 mata melaporkan bahwa pemberian asam askorbat 2 gram yang diberikan dalam dosis terbagi dengan dosis 500mg diberikan 4 kali sebelum operasi
mengurangi
penurunan
densitas
endotel
kornea
pasca
operasi
fakoemulsifikasi. Penelitian tersebut bermakna secara statistik tetapi tidak bermakna secara klinis (Bellarinatasari et al., 2011).
Iqbal et al. (1999)
membandingkan konsentrasi asam askorbat di humor akuos, plasma dan serum setelah pemberian oral sebanyak 1 gr, 1,5 gr, 2 gr, 3 gr, dan 5 gr pada penderita yang akan menjalani operasi katarak. Asam askorbat diberikan pada malam sebelum dan pagi hari saat akan dilakukan operasi. Hasilnya pada pemberian asam askorbat 1 gr, konsentrasi di humor akuos lebih tinggi (270±62 mg/dL) daripada kelompok control (254±119 mg/dL) tetapi tidak berbeda secara statistic. Pada
pemberian 2 gram, konsentrasi asam askorbat meningkat 2 kali lipat di humor akuos, 3 kali lipat di plasma dan 2 kali lipat di serum sedangkan pada pemberian 5 gram, konsentrasi asam askorbat lebih rendah dari saat pemberian 2 gram di humor akuos, plasma dan serum (Iqbal et al., 1999). Beberapa penelitian yang mengevaluasi persentase kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi telah dilaporkan. Hasil penelitian tersebut melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi nilainya bervariasi antara 4% hingga 25%. Sel endotel tidak dapat terbentuk kembali, dan hanya bisa dikompensasi dengan migrasi dari sel-sel endotel sekitarnya ( Walkow et al., 2000; Bellarinatasari et al., 2011; Hwang, 2015). Penelitian untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bermakna pada jumlah kehilangan sel endotel, koefisien variasi dan persentase heksagonalitas sel endotel kornea pada pemberian asam askorbat oral dengan waktu follow-up selama 1 bulan belum pernah dipublikasikan. Saat ini fakoemulsifikasi merupakan teknik bedah katarak yang paling popular dilakukan. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat mengetahui perbedaan jumlah kehilangan sel, koefisien
variasi
dan
persentase
heksagonalitas
endotel
kornea
pasca
fakoemulsifikasi antara pasien katarak senilis yang diberikan asam askorbat 2 gram dibandingkan dengan pasien katarak senilis tanpa konsumsi asam askorbat.
I.2.
Rumusan Masalah Apakah pemberian terapi asam askorbat oral mengurangi penurunan densitas sel endotel kornea, peningkatan koefisien variasi, dan penurunan
persentase sel heksagonal pada pasien katarak senilis imatur pasca fakoemulsifikasi dibandingkan plasebo?
I.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi asam askorbat oral terhadap penurunan densitas sel endotel kornea, peningkatan koefisien variasi dan penurunan persentase sel heksagonal pada pasien katarak senilis imatur pasca fakoemulsifikasi dibandingkan plasebo.
I.4.
Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Teoritis Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan lapisan sel endotel kornea pada pasien katarak senilis yang diberikan asam askorbat oral dibandingkan plasebo.
I.4.2. Manfaat Praktis 1.
Dapat digunakan sebagai pertimbangan mengenai peran terapi asam askorbat dalam melindungi sel endotel kornea akibat operasi fakoemulsifikasi.
2.
Dapat digunakan sebagai awal dari sebuah pohon penelitian sehingga nantinya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengurangi komplikasi kerusakan sel endotel kornea pasca tindakan bedah katarak.