BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab paling umum kematian di seluruh dunia dan akan timbul lebih banyak pada populasi lanjut usia (Basson, 2008). Selama dua dekade terakhir, di Indonesia telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan dimana PTM (Penyakit Tidak Menular) telah menjadi beban utama meskipun beban penyakit menular masih berat juga. PTM utama meliputi penyakit kardiovaskuler (hipertensi, stroke), diabetes melitus, kanker, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2015). Dari hasil analisis awal Sample Registration Survey (SRS) 2014, survei kematian skala nasional terhadap 41.590 kematian sepanjang 2014, yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementrian Kesehetan menunjukkan, stroke dan jantung merupakan penyebab kematian pertama dan kedua di Indonesia dengan presentase 21,1% dan 12,9% (Anonim, 2015). Salah satu penyebab penyakit kardiovaskular adalah agregasi platelet yang abnormal. Sebenarnya, platelet memiliki peranan penting bagi homeostasis tubuh manusia. Platelet akan menghindari kehilangan darah apabila terjadi luka dengan cara membentuk agregasi/trombus pada permukaan pembuluh darah. Namun, dalam keadaan abnormal, agregasi platelet dapat mudah terjadi dan menyebabkan penyakit kelainan vaskular (Willoughby et al., 2002).
1
2
Salah satu agen terapi yang digunakan dalam tatalaksana terapi penyakit kardiovaskular diantaranya menggunakan antiplatelet (Ikawati, 2011). Tujuan penggunaan antiplatelet adalah untuk mencegah pembentukan trombus dengan menghambat agregasi platelet. Terapi menggunakan antiplatelet merupakan suatu hal yang penting dalam tatalaksana jangka panjang untuk semua pasien dengan risiko terjadinya aterotrombosis. Empat kelas utama obat antiplatelet adalah Cyclooxygenase inhibitors (Aspirin), Thienophyridine derivates (Clopidogrel dan Ticlopidine),
Phosphodiesterase inhibitors (Cilostazol, Dipyridamole), dan
Glycoprotein IIb/IIIa receptor blockers (Abciximab) (Nurimaba, 2008). Aspirin adalah agen antiplatelet yang paling banyak digunakan karena aspirin efektif mengurangi kejadian penyakit kardiovaskular seperti stroke iskemik (Sacco et al., 2006). Meskipun memberikan manfaat yang lumayan besar, sekitar 15% - 25% pasien dilaporkan mengalami resistensi terhadap aspirin (Alberts, 2010). Resistensi yang terjadi pada aspirin dapat meningkatkan resiko kejadian stroke iskemik berulang bahkan kematian pada pasien. Resistensi yang terjadi disebabkan kurang adekuatnya efek antiplatelet aspirin. Selain itu, aspirin yang tergolong dalam Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID) tersebut memiliki efek samping yaitu menyebabkan iritasi lambung. Kerugian dalam pemakaian aspirin tersebut menjadi dasar pencarian alternatif obat baru yang dapat menekan agregasi platelet (Georgiadis et al., 2011). Salah satu alternatif yang dinilai aman untuk terapi antiplatelet yaitu dengan menggunakan bahan alam.
3
Indonesia yang beriklim tropis menyebabkan tanahnya subur sehingga kaya akan berbagai jenis tanaman yang banyak digunakan sebagai sumber obat tradisional. Namun, sebagian besar dari tanaman obat itu tidak diketahui oleh masyarakat luas sehingga tidak termanfaatkan secara optimal. Hal tersebut menyebabkan masyarakat semakin tidak mengenal jenis-jenis tumbuhan obat dan akhirnya tumbuhan obat berkesan sebagai tanaman liar yang keberadaannya sering dianggap mengganggu keindahan kehidupan tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan obat tersebut harus dilestarikan dan dieksplorasi potensinya (Hariana, 2009). Pemanfaatan bahan alam untuk alternatif terapi merupakan isu yang cukup populer saat ini dan penggunaannya mulai meningkat. Banyak molekul turunan dari tanaman memiliki efek terapeutik yang menjanjikan (Lokhande, 2007). Pencarian generasi baru antiplatelet dari bahan alam yang lebih efektif dan aman daripada aspirin telah banyak dilakukan (Amrani, 2009). Skrining antiplatelet pada 261 sample invertebrata laut Filipina telah dilakukan oleh Pimentel et al (2003). Sehingga diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui aktivitas antiplatelet dari beberapa tanaman asal Indonesia yang mudah dikerjakan dan cepat. Dengan cara ini, dapat diketahui seberapa besar potensi tanaman tersebut sebagai antiplatelet. Penelitian pendahuluan mengenai skrining aktivitas antiplatelet dari 149 ekstrak tanaman asal Indonesia telah dilakukan bersama Muhammad Faishal Husni, Eradian Irma Wulandari, dan Fatiya Farih Mufinnah dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (Lampiran 1). 149 ekstrak tersebut merupakan koleksi
4
ekstrak dari Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt dengan kode “sbk”, Prof. Dr. Wahyono, S.U., Apt dengan kode “wah”, Dr. rer. nat. Nanang Fakhrudin, M.Si., Apt & Djoko Santosa, M.Si dengan kode “kf, pb, ku” sedangkan kode “sle” merupakan hasil ekstraksi dari peneliti bersama Muhammad Faishal Husni, Eradian Irma Wulandari, dan Fatiya Mufinnah. Diperoleh 13 jenis ekstrak yang dinilai paling poten menghambat agregasi platelet (Lampiran 2). Diantaranya, ekstrak etanolik buah P. cubeba, kulit buah Garcinia mangostana, daun Avverhoa bilimbi, kelopak buah Physallis angulata, ekstrak metanol kulit batang Cinnamomum sintoc BI, herba Pandorea sp, herba Cissus sp., herba Tetracera Maingayi, batang dan daun Ficus sp., batang dan daun Rubus chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata, ekstrak diklorometan kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform herba Tetracera maingayi. Dari ketigabelas ekstrak tersebut, dipilih ekstrak etanolik buah Piper cubeba L.f atau yang dikenal dengan buah kemukus untuk penelitian selanjutnya. Beberapa jenis piper lain diantaranya Piper longum dan Piper lolot telah diketahui memiliki aktivitas antiplateletnya karena adanya senyawa amida didalamnya (Li et al. 2007; Park et al. 2007), tetapi belum ada penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antiplatelet pada buah P. cubeba. Hal inilah yang menjadi pertimbangan pemilihan terhadap ekstrak etanolik buah P. cubeba disamping karena buahnya yang mudah diperoleh. Dan juga dari hasil penelitian pendahuluan ekstrak etanolik buah P. cubeba memiliki aktivitas antiplatelet yang baik. Sehingga
5
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas antiplatelet dari ekstrak etanolik buah P. cubeba.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah yaitu: -
Apakah ekstrak etanolik buah P. cubeba dapat menghambat agregasi platelet terinduksi ADP?
C. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui potensi aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah P. cubeba pada platelet terinduksi ADP dengan metode agregometri. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai landasan dan informasi baru dalam pengembangan obat antiplatelet dari bahan alam.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberi informasi mengenai aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah P. cubeba yang berpotensi sebagai agen antiplatelet. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah yang valid sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel ilmiah serta dapat menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
6
E. Tinjauan Pustaka 1.
Platelet dan aktivasi platelet Platelet atau trombosit merupakan salah satu jenis sel darah. Platelet
berukuran kecil, kira-kira sepertiga dari ukuran sel darah merah. Terdapat 300.000 platelet dalam setiap milimiter kubik darah. Platelet tidak memiliki inti, berasal dari megakariosit pada sumsum tulang, dan hanya berumur 8-10 hari. Platelet memiliki peranan penting dalam proses penggumpalan darah dan menjaga integritas sirkulasi sistemik. Dalam keadaan normal bentuknya seperti cakram, tetapi ketika teraktivasi bentuknya akan membulat kemudian memanjang dan meruncing tidak beraturan (Pearce, 2009; Nugroho, 2011; Willoughby et al., 2002). Platelet dapat diaktivasi oleh senyawa fisiologis (trombin, kolagen, ADP, epinefrin, vasopresin, serotonin) dan senyawa non fisiologis (analog siklik endoperoksida). Ketika diaktivasi platelet akan memberikan respon : 1. Perubahan bentuk; 2. Agregasi; 3. Proses sekresi; 4. Pelepasan asam arakidonat yang akan segera berubah menjadi prostaglandin dan lipoksigenase (Willoughby et al., 2002). Dalam keadaan sehat, endotelium pembuluh darah mencegah terjadinya adhesi platelet. Ketika adhesi platelet aktif akibat perlukaan akan menyebabkan pelepasan tromboksan A2 (TXA2) dari asam arakidonat yang terdapat pada fosfolipida membran platelet. Aktivasi ini juga akan menyebabkan pelepasan Adenosin Difosfat (ADP) dari granul penyimpanan platelet. TXA2 dan ADP akan beraksi pada reseptor spesifik yang berada di permukaan platelet, dan menyebabkan glikoprotein (GP) IIb/IIIa berikatan dengan fibrinogen dan protein
7
adesif. Akibatnya, fibrinogen yang berikatan dengan platelet akan berikatan dengan kompleks fibrinogen-platelet lain sehingga terjadilah proses agregasi platelet dan akhirnya membentuk trombus (klot yang stabil). Trombus inilah yang berbahaya apabila tidak terjadi keseimbangan karena dapat menganggu aliran darah bahkan penyumbatan yang dapat menyebabkan atherosklerosis dan iskemia/infark (Nugroho, 2011).
Faktor aktivasi platelet: (Trombin, serotonin, ADP, epinefrin, kolagen ) Permukaan Reseptor
Fosfolipase PIP2 IP3
DAG
Pelepasan Ca2+
PKC
Prostanoid
Pengikatan fibrinogen & Agregasi
TxA2 Aktivasi platelet lebih lanjut
Gambar 1. Mekanisme aktivasi platelet (Willoughby et al., 2002)
8
Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa membran plasma platelet mengandung sejumlah besar reseptor yang akan berikatan secara spesifik dengan agonis yang akan menstimulasi respon fisiologi paletet, contohnya adalah ADP, epinefrin, kolagen, trombin, serotonin, dan PAF (Platelet Activating Factor). Interaksi antara reseptor dan agonisnya akan mempercepat mobilisasi dari molekul sinyal dalam platelet, terutama kalsium, diasilgliserol (DAG), dan inositol 1,4,5-trifosfat (IP3), yang akan menginisiasi perubahan bentuk platelet dan respon agregasi. Molekul-molekul tersebut dalam konsentrasi rendah akan menyebabkan sekresi granul dan liberasi asam arakidonat. ADP dan prostaglandin endoperoksida
dilepaskan
kembali
melalui
sekresi
granul,
sedangkan
prostaglandin dan tromboksan terbentuk dari liberasi asam arakidonat. Hal ini yang menyebabkan pelepasan molekul sinyal lebih banyak lagi sehingga terjadi aktivasi lebih lanjut. (Willoughby et al., 2002). Ikatan platelet terhadap endotelium sel akan terjadi pada dinding pembuluh darah yang mengalami perlukaan melalui ikatan dengan reseptor GP. Platelet akan teraktivasi melalui proses signaling intraseluler dan menyebabkan produksi serta pelepasan agonis seperti TXA2 dan ADP, dan trombin. Faktorfaktor ini akan berikatan dengan reseptor GPCR (G protein-coupled receptors), dan memediasi aktivasi platelet parakrin dan autokrin. Proses ini akan mempotensiasi aksi lainnya (signaling P2Y12 memodulasi generasi trombin). Pada akhirnya, integrin GPIIb/IIIa yang akan memediasi aktivasi platelet dengan adanya perubahan bentuk platelet, terbentuknya ikatan fibrinogen, dan vWF yang akan menyebabkan agregasi platelet. Hasil akhir dari proses ini adalah
9
terbentuknya trombus akibat adanya interaksi platelet dengan fibrin. Saat ini terapi yang digunakan dalam menghambat aktivasi platelet adalah dengan menghambat reseptor, integrin, dan protein yang terkait dalam aktivasi platelet diantaranya inhibitor tromboksan, antagonis ADP, inhibitor GPIIb/IIIa, PAR antagonis dan antagonis adhesi (gambar 2) (Angiolillo et al., 2010).
Gambar 2. Jalur Aktivasi Platelet (Angiolillo et al., 2010)
2.
Adenosin Difosfat (ADP) Adenosin Difosfat (ADP) adalah substrat dan produk untuk fosforilasi
oksidatif. ADP dapat terbentuk dari Adenosin trifosfat (ATP) yang mengalami defosforilasi, tetapi ADP juga dapat membentuk ATP kembali apabila dapat
10
menerima fosfat berenergi tinggi. ADP merupakan senyawa nukleotida yang terdiri dari adenosin, ribosa, dan fosfat (Murray et al., 1996). H2N O O OH P O P O OO-
N
N N
N
O
Gambar 3. Struktur kimia Adenosin Difosfat (ADP)
ADP merupakan salah satu mediator hemostasis dan trombosis paling penting dalam tubuh manusia. ADP disimpan dalam granula platelet yang padat dan dilepaskan ketika platelet tersebut diaktivasi. Pengaruh ADP pada platelet dimediasi dengan adanya reseptor P2Y1, P2Y12, dan P2X1. (Fontana et al., 2003; Murugappa dan Kunapuli 2006). ADP merupakan agonis platelet yang akan menyebabkan perubahan bentuk platelet, pelepasan granul, dan pembentukan agregasi. Hal ini terjadi
dengan adanya bantuan agonis platelet lain yaitu
tromboksan A2 (Jin, 2002). Pada gambar 4 aktivasi platelet oleh agonis yang poten seperti trombin dan kolagen akan menyebabkan pelepasan agonis sekunder seperti tromboksan A2 (TxA2) dan seksresi ADP dari granul platelet. Respon platelet terhadap ADP membutuhkan aktivasi dari dua reseptor GPCR (G protein-coupled receptors), yaitu P2Y1 dan P2Y12. Obat-obatan seperti tiklopidin dan klopidogrel akan memblok aktivasi dari P2Y12. CD39 yang berada pada permukaan sel endotelial, menghidrolisis ADP menjadi AMP yang tidak aktif, PGI2 dan NO, yang juga
11
akan meningkatkan konsentrasi dari cAMP dan cGMP dalam platelet (Woulfe et al., 2001).
Gambar 4. ADP dan Aktivasi Platelet (Woulfe et al., 2001)
3.
Antiplatelet Antiplatelet merupakan obat yang dapat menghambat agregasi platelet
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri dan stroke iskemik (Born dan Patrono 2006). Pada saat luka, tubuh akan melepaskan tromboksan A2 (TXA2), ADP, dan 5hidrositriptamine (5HT) yang menyebabkan terjadinya agregasi platelet selanjutnya, vasokontriksi dan aktivasi faktor pembekuan (Neal, 2005).
12
Penggunaan obat antiplatelet bisa mengurangi risiko stroke, infark miokard dan kematian sebanyak 22%. Empat antiplatelet yang sudah disetujui FDA (Food and Drug Administration) sebagai pencegah kejadian vaskular pada penderita TIA dan stroke yaitu aspirin, kombinasi aspirin dan extended-release dipyridamole (ER-Dipyridamole), klopidogrel dan tiklopidin (Furie et al., 2011).
3.1 Aspirin Aspirin merupakan nama generik dari asam asetilsalisilat. Secara oral aspirin digunakan untuk mengurasi rasa sakit, pencegahan sekunder CVD, dan berbagai
tujuan
lain.
Dalam
British
National
Formulary,
aspirin
diklasifikasikan sebagai obat antiinflamasi non steroid, obat antiplatelet, dan analgesik non opioid. Aspirin memliki waktu paruh dalam darah adalah sekitar 20 menit (Roth dan Majerus, 1975). Sintesis aspirin pada abad ke-19 menandai perkembangan penggunaan analgesik secara luas di abad ke-20. Namun, dengan meningkatnya pengetahuan mengenai peran utama platelet pada penyumbatan pembuluh darah sepuluh tahun terakhir, pentingnya aspirin sebagai obat antiplatelet dan penggunaannya dalam mengurangi resiko trombosis pembuluh darah telah menjadi perhatian utama (McKee et al., 2002). Aspirin lebih baik dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan plasebo (Shulga dan Bornstein, 2011). Resistensi aspirin dapat terjadi 5,5-60% pada pasien yang mendapatkan aspirin, tergantung definisi dan analisis yang digunakan (Gerald, 2002). Aspirin dapat menghambat enzim siklooksigenase
13
secara ireversibel dengan mengasetilasi enzim tersebut,sehingga menghambat tromboksan A2 yang berperan dalam vasokontriksi dan agregasi platelet (Katzung, 2003; Shulga dan Bornstein, 2011). Hal ini seperti yang ditampilkan dalam gambar 5 berikut ini:
Gambar 5. Mekanisme kerja obat antiplatelet (McCann, 2007)
Dari gambar 5 bisa dilihat bahwa mekanisme aksi aspirin sama dengan mekanisme aksi obat nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAIDs) lainnya yaitu dengan
menghambat enzim prostaglandin endoperoxide synthase
(PGTS) atau cyclooxygenase (COX). COX bekerja dengan cara: pertama, COX mengkonversi asam arakidonat menjadi endoperoksid (PGTS) dan kedua, peroksida aktif akan mengkonversi PGG2 menjadi endoperoksid yang lainnya yakni prostaglandin, prostasiklin dan TXA2. COX memiliki dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2. Aspirin secara irreversibel menghambat COX-1 dengan mengasetilasi serin 530 yang menyebabkan akses terhadap asam arakidonat
14
terputus (Vane dan Botting, 1997). Penghambatan COX-1 menyebabkan platelet tidak mampu untuk mensintesis PGH2. PGH2 pada keadaan tidak normal akan membentuk TXA2 dengan bantuan tromboksan sintase. Meskipun platelet mampu mensintesis protein, namun sintesis protein baru tidak dapat terjadi jika COX-1 dihambat oleh aspirin. COX-2 merupakan isomer COX yang merepon sintesis platelet PGI2 oleh endotel dan menginduksi respon inflamasi (Campbell et al., 2007).
4.
Agregometer Turbidimetri Agregometer
menginvestigasi
turbidimetri aktivitas
merupakan
agregasi
alat
platelet.
yang
digunakan
Agregometer
dalam
turbidimetri
dikembangkan secara terpisah pada tahun 1962 oleh Born (Born, 1962) dan O`Brien (O`Brien, 1961) dianggap sebagai metode terbaik untuk menguji fungsi platelet, agregometer menyediakan informasi penting mengenai diagnosa pasien dengan kelainan fungsi platelet. Prinsip dasar dari metode ini sederhana, yaitu sinar dilewatkan melalui suspensi platelet yang distrirer pada kuvet. Adanya platelet pada suspensi menyebabkan cahaya menjadi tersebar sehingga proporsi cahaya yang melewati suspensi platelet terhalang. Jumlah cahaya yang ditransmisikan akan tercatat dan memberikan ukuran densitas optikal pada suspensi platelet (Born dan Hume, 1967; Mehta et al., 1983). Agregometer turbidimteri dapat membedakan pembentukan agregasi pada fase primer dan sekunder, selain itu metode ini dapat mengukur fungsi platelet. Namun, fungsi platelet secara invitro ini tidak dapat menggambarkan fungsi
15
platelet secara invivo. Agregometer turbidimetri membutuhkan preparasi yang tepat karena adanya senyawa seperti lipid dalam PRP (Platelet-rich Plasma) ataupun PPP (Platelet-poor Plasma) dapat mempengaruhi absorbansi pada panjang gelombang observasi. Hal tersebut bukan menjadi permasalahan, yang menjadi permasalahan utama sebenarnya adalah adanya proses sentrifugasi yang dapat mempengaruhi ukuran volume platelet, densitas, dan juga aktivitas metabolik. Selain itu, hal ini juga memungkinkan adanya kehilangan populasi platelet selama preparasi PRP yang mungkin penting dalam menentukan fungsi homeostatis in vivo (Willoughby et al., 2002). Output yang dihasilkan dari agregometer turbidimetri digambarkan dalam bentuk persentase. Hal ini dicapai dengan mengkalibrasi agregometer sehingga kerapatan optik dari suspensi basal platelet yang tidak terstimulasi (misal: PRP) menunjukkan 0% agregasi, sedangkan kerapatan optik medium dimana platelet tersuspensi (misal: PPP) menunjukkan 100% agregasi. Agregometer turbidimetri mengukur kerapatan optik suspensi platelet, sehingga 50% agregasi sesungguhnya adalah pengurangan 50% pada kerapatan optik suspensi platelet relatif terhadap PRP (0%) dan PPP (100%). Informasi hubungan antara kerapatan optik dengan pembentukan agregasi yang sebenarnya diperlukan sekali untuk intrepetasi data. Namun dikarenakan kesederhanaan teknik ini, hubungan tersebut masih jauh dari keadaan yang sebenarnya (Born dan Hume, 1967).
16
5.
Ekstraksi Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang
tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi dari kecepatan ekstraksi adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Depkes RI, 1986). Sistem pemilihan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Anonim, 2000). Pengadukan dan pemanasan merupakan cara yang dapat mengefektifkan proses penyarian. Pengadukan akan menyebabkan perataan pelarut untuk mencapai zat aktif dalam bahan sedangkan pemanasan akan menyebabkan pelarut lebih encer sehingga meningkatkan kemampuannya untuk melarutkan zat aktif (Pramono, 2012). Menurut Pramono (2012) dan Wahyono (2012) terdapat berbagai macam metode ekstraksi yang dapat dilakukan, yaitu: 1.
Metode maserasi, merupakan merupakan salah satu metode ekstraksi yang sering dilakukan dibandingkan dengan metode lainnya. Penyarian dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari pada tempat yang sesuai dan pada umumnya tertutup. Metode ini paling sering digunakan untuk ekstraksi bahan tumbuhan yang senyawa bioaktifnya tinggi. Umumnya volume pelarut 5-10 kali dari bahan simplisia untuk merendam tergantung pada sifat bahan. Waktu perendaman juga bervariasi tergantung dari sifat
17
bahan apakah bahan tersebut dari daun, biji, kulit kayu tetapi umumnya berkisar 18 jam. Kerugian metode ini adalah ekstraksinya tidak dapat sempurna tetapi dapat disiasati dengan dimaserasi kembali sekurangkurangnya dua kali menggunakan pelarut yang sama. Maserat dikumpulkan dengan filtrasi dan diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental. Kelebihan metode maserasi dibandingkan metode ekstraksi lainnya yaitu: lebih sederhana, tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif lebih murah dan bisa menghindari kerusakan komponen senyawa yang tidak tahan panas (Meloan, 1999). 2.
Metode pemerasan. Penyarian yang dilakukan dengan cara memeras simplisia segar.
3.
Metode infundasi. Penyarian yang dilakukan dengan cara memanaskan simplisia serbuk atau simplisia dalam potongan kecil menggunakan air pada suhu 90˚C. Metode ini dilakukan dengan alat berupa dua panci bertingkat, dengan panci bagian bawah sebagai tangas air. Hasil proses ini disebut infusa jika pemanasan pada ± 90˚C dilakukan 15 menit dan disebut dekokta jika pemanasannya dilakukan 30 menit.
4.
Metode
digesti.
Penyarian
yang
dilakukan
dengan
cara
maserasi
menggunakan pemanasan lemah, yaitu 40-50˚C. 5.
Metode destilasi uap. Penyarian yang popular untuk menyari minyak atisiri dari bahan tanaman. Metode ini dapat dilakukan dengan sejumlah cara. Salah satunya
dengan
mencampur
bahan
tumbuhan
dengan
air
lalu
18
mendidihkannya. Uap yang dihasilkan disimpan dan dibiarkan mengembun, lalu minyak dipisahkan dari air. 6.
Metode perkolasi. Penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Serbuk simplisia dimasukkan dalam perkolator yaitu kolom dengan sumbat pada pangkal dilengkapi lapisan filter. Metode ini tergolong sederhana, proses ini dapat diulangi sebanyak yang diperlukan. Metode ini biasanya banyak digunakan pada tumbuhan dengan kadar senyawa bioaktif yang rendah. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah penyaringan, dapat diketahui proses ekstraksi telah selesai ketika tetesan terakhir dari perkolator tidak menunjukan reaksi positif dengan pereaksi. Kerugiannya adalah kontak penyari dengan bahan tidak seimbang dan terbatas sehingga tidak melarutkan beberapa komponen secara efisien.
6.
Piper cubeba L.f Tanaman kemukus atau Piper cubeba L.f. merupakan tanaman yang berasal
dari Indonesia, paling banyak dipanen di pulau Jawa dan di pulau lainnya, namun yang dibudidayakan di Afrika Barat dan di daerah Kongo. P. cubeba yang biasanya keriput berwarna coklat-kelabu, bergaris tengah kira-kira 5 mm, dan mempunyai dasar seperti tangkai (Stahl, 1973).
19
Gambar 6. Buah Piper cubeba L.f
Nama umum atau nama dagang : Kemukus 1.
Nama daerah : Kemukuh (Simalur), kemukus (Melayu, Jawa Tengah), rinu (Sunda), kamokos (Madura), pamakusu (Makassar).
2.
Klasifikasi Tanaman Piper cubeba Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Spesies
: Piper cubeba L.F. (Depkes RI, 2001)
1.
Sinonim : Cubila officinalis Miq.
20
2.
Morfologi
Buah : Bulat, bertangkai 2-5 mm, diameter 6-8 mm, berwarna coklat kehitaman. Batang : Tidak berkayu, lunak, beruas, mempunyai percabangan simpodial, permukaannya licin, berdiameter 5-15 mm, mempunyai akar pelekat, dan berwarna hijau. Daun : Tunggal, membulat seperti telur, pangkal bentuk jantung, ujung meruncing, tepi rata, berseling atau tersebar, bekas dudukan daun tampak jelas, panjang 5,5-15,5 cm, lebar 3-9,5 cm, dan berwarna hijau. Bunga : Majemuk, bentuk bulir, panjang 3-10 cm, tangkai 6-20 mm, berwana hijau, memiliki daun pelindung berbentuk elips, memiliki tiga benang sari, putik tiga sampai lima. Biji
: ukuran kecil, lanset, dan berwarna kecoklatan.
Akar
: Akar serabut berwarna kuning kecoklatan. (Depkes RI, 2001)
3.
Kandungan Kimia Dalam buah P. cubeba terkandung 10% - 20% minyak atsiri, kurang lebih
1% asam kubebat, 2,5% - 3,5% damar, 0,3 - 3% kubebin, 0,1% - 0,4% piperin, gom, pati dan juga minyak lemak, disamping saponin dan flavonoid (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). 5.1 Senyawa Lignan Secara biosintesis senyawa lignan adalah turunan asam amino, protein aromatik, yaitu fenil alanin (fenil propanoid). Fenil propanoid merupakan senyawa fenol alam yang mempunyai cincin aromatik dengan rantai samping
21
terdiri dari 3 atom karbon dan tidak mengandung nitrogen. Turunan dari fenil propanoid antara lain : asam hidroksinamat, kumarin, kromon, fenil propena, lignan dan flavonoid. Senyawa dengan nama neolignan merupakan senyawa dengan ikatan karbon-karbon tidak simetris pada rantai samping (Wahyono dan Wahyuono, 2003). Lignan terbesar luas di dunia tumbuhan, terdapat dalam jaringan berkayu, eksudat damar dan bagian tumbuhan lainnya (Robbers, 1996). Kubebin merupakan senyawa lignan yang terkandung dalam Piper cubeba. Kubebin C20H20O6 adalah senyawa yang tidak berbau, berbentuk kristal jarum kecil, melebur pada suhu 132°C (Sudarsono et al., 1996). Pelarut yang mudah melarutkan kubebin adalah kloroform, dan eter. Pada proses oksidasi, kubebin akan terurai menjadi cubebinolide, yang identik dengan hinokinin, yaitu senyawa resin fenolik alami. Sedangkan cubebic acid adalah senyawa amorf berwarna putih dan memiliki nilai terapi 1-3 % dari seluruh biji P. cubeba, tergantung dari kadarnya (Sudarsono et al., 1996). 4. Khasiat dan Kegunaan Secara empiris buah P. cubeba digunakan sebagai obat sesak nafas, penghangat badan dan penghilang bau mulut (Depkes RI, 2001). Selain itu buah P. cubeba juga dipakai untuk mengobati gonorrhoea. Di china, buah P. cubeba juga digunakan untuk penyakit keputihan. Khasiat lainnya juga dapat meluruhkan dahak, menambah nafsu makan, asma, batuk, dan gangguan pernapasan lainnya (Trubus, 2010). Kegunaan buah P. cubeba lainnya dapat digunakan sebagai desinfektan saluran kencing, karminatif, ekspektoran pada bronkhitis (Stahl, 1973).
22
Dilaporkan juga bahwa P. cubeba berguna sebagai peluruh air seni, peluruh air liur, pencegah mual dan peluruh angin perut (Mulyani dan Gunawan, 2000).
7.
Kromatografi Lapis Tipis KLT merupakan salah satu kromatografi yang banyak digunakan untuk tujuan
analisis identifikasi senyawa. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi, atau dengan radiasi sinar ultra violet. KLT merupakan metode yang akurat, cepat, dan tidak membutuhkan biaya tinggi (West dan Deng, 2010; Gandjar dan Rohman, 2007). Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah silika dan serbuk selulosa. Fase diam/lempeng KLT tersedia dengan berbagai ukuran dan telah ditambah dengan reagen fluorosen untuk memfasilitasi deteksi bercak dan juga ditambah pengikat seperti kalsium sulfat. Fase gerak yang digunakan dalam KLT biasanya berdasarkan dari pustaka atau dengan melakukan orientasi sederhana. Hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkan pemisahan yang sempurna. Fase gerak haruslah memiliki kemurnian yang tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif (Gandjar dan Rohman, 2007). Dalam aplikasinya, sampel ditotolkan pada tepi lempeng kemudian dicelupkan pada fase gerak setinggi 0,5-1 cm. Bejana kromatografi harus tertutup rapat, jenuh, dan sedapat mungkin volume fase gerak yang digunakan sedikit mungkin. Kemudian usai dilakukan pengembangan elusi dilakukan deteksi bercak. Deteksi bercak dapat dilakukan dengan menyemprot lempeng KLT dengan reagen, mengamati lempeng dibawah sinar UV (254 atau 366 nm), atau
23
dengan scanning permukaan lempeng menggunakan densitometer (Gandjar dan Rohman, 2007).
F. Landasan Teori Homeostasis merupakan proses fisiologi yang penting dalam menjaga keseimbangan cairan tubuh manusia. Proses ini berkaitan dengan penghentian pendarahan yang melibatkan unsur penting yaitu platelet. Apabila platelet ini bekerja secara abnormal maka akan dapat menyebabkan trombosis dan akhirnya menyebabkan manifestasi penyakit kardiovaskular (Nugroho, 2011). Berbagai terapi antiplatelet telah diketahui tetapi memiliki efek samping yang tidak diinginkan. Bahan alam dapat dijadikan alternatif yang baik karena dinilai lebih aman. Sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa metabolit sekunder dari tanaman berpotensi sebagai antiplatelet, seperti misalnya adalah senyawa flavonoid dengan salah satu mekanismenya mengikat reseptor tromboksan A2 (Guerrero, 2004). Park et al. (2007) melaporkan empat senyawa yang diisolasi dari buah piper longum diantaranya piperin, pipernonalin, piperoktadekalidin, dan piperlongumin aktif sebagai antiplatelet yang diinduksi asam arakidonat, kolagen, dan PAF (Platelet-Activating Factor). Weng et al. (2006) melaporkan senyawa prenilflavonoid yang diisolasi dari daun Artocarpus communis memiliki aktivitas penghambatan yang signifikan sebagai antiplatelet yang diinduksi adrenalin. Senyawa alkaloid dari batang Piper taiwanense dilaporkan oleh Chen et al. (2007) memiliki aktivitas yang kuat sebagai antiplatelet yang diinduksi oleh asam
24
arakidonat. Selain itu pula, beberapa senyawa flavonoid dan flavonoid glikosida dari Sophora japonica juga memiliki aktivitas antiplatelet (Kim, 2008). Penelitian yang telah dilakukan oleh Wahyono (2005) menunjukkan bahwa ekstrak buah P. cubeba memiliki aktivitas antiasma dan antiinflamasi, dimana platelet memiliki peran penting dalam proses inflamasi. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antiplatelet serta penelitian mengenai peran ekstrak buah P. cubeba yang memiliki aktivitas antiasma dan antiinflamasi dapat dijadikan dasar untuk mengetahui aktivitas antiplatelet pada ekstrak buah P. cubeba pada platelet terinduksi ADP.
G. Hipotesis Ekstrak etanolik buah P. cubeba dapat menghambat aktivitas agregasi platelet terinduksi ADP.