BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah kesehatan dunia, dimana WHO melaporkan bahwa setengah persen dari penduduk dunia terserang penyakit ini, dan sebagian besar terjadi di negara berkembang, salah satunya Indonesia. Menurut WHO (2006) Indonesia berada pada urutan ke tiga di dunia setelah India dan China dengan jumlah kasus baru TB BTA positif 539.000 dan jumlah kematian 101.000 per tahun. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan. Data Program Pemberantasan penyakit Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006 menduduki urutan ke 18 dari 33 Prov di Indonesia, dan Kota Semarang berada di posisi ke 2 setelah Kabupaten Klaten dalam jumlah penemuan kasus TB di Provinsi Jateng (Dinkes Prov. Jateng), sedangkan angka kesembuhan TB paru di Kota Semarang masih cukup rendah yaitu 67 % dari target yang ditetapkan yaitu 85 % (Dinkes Kota Semarang, 2007). Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian. Kesulitan dalam penanggulangan penyakit 1
2
TBC disebabkan oleh beberapa masalah antara lain ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber penularan (Amin dan Bahar, 2007).
Ketidakteraturan
berobat dan drop out pengobatan merupakan beberapa masalah terkait ketidakpatuhan pengobatan yang dapat disebabkan karena kurangnya informasi terkait pengobatan TB yang didapatkan pasien. Sehubungan dengan hal tersebut, sejak tahun 2000 diterapkan strategi Directly Observed Treatment Short Course Strategy (DOTS) secara nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. DOTS merupakan strategi dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk mempertahankan kontrol terhadap TB paru, deteksi kasus TB paru diantara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak, pengobatan teratur selama 6-8 bulan yang diawasi, persediaan obat TB paru yang rutin dan tidak terputus, serta sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program (Kemenkes RI, 2011) Salah satu komponen DOTS tersebut yakni komponen ke 3 menerapkan pentingnya konseling yang dilakukan oleh Apoteker, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakit TB
3
dan pengobatannya, sehingga pasien lebih patuh terhadap pengobatan serta pengobatan TB menjadi optimal. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah kecamatan. Sebagai penyelenggara pembangunan kesehatan puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat (Kepmenkes RI, 2004) Salah satu upaya peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pelayanan puskesmas adalah penerapan standar ISO yaitu sistem manajemen mutu yang dikenal dengan nama ISO 9001 : 2000 yang diformalkan dalam SNI 19-9001-2000 oleh Badan Standarisasi Nasional. ISO 9001 : 2000 memuat standar yang dalam sistem mutu dasar harus diimplementasikan untuk kepuasan pelanggan bagi penyelenggara untuk menyediakan produk dan jasa yang berkualitas, wujudnya adalah dalam proses penyediaan pelayanan kesehatan yang memenuhi standar pelayanan dengan mengintegrasikan pada aspek penyediaan sarana prasarana dan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Persyaratan untuk mendapatkan ISO 9001 yaitu telah menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 sekurang-kurangnya tiga bulan dan lulus audit sertifikasi. Perolehan sertifikat ISO tersebut, dapat diartikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di suatu Puskesmas lebih bermutu dan memenuhi standar mutu Internasional. Pelayanan kesehatan yang bermutu
4
adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan. Kepuasan pasien pada gilirannya akan meningkatkan kepatuhan terhadap rencana perawatan, pengobatan dan tindakan terapi yang akan dilaksanakan. Kepatuhan pasien untuk menjalankan pengobatan akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan pasien akan penyakit dan pengobatannya. Pemberian konseling diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien akan penyakit yang diderita dan pengobatannya. Penempatan tenaga kesehatan Apoteker pada Puskesmas ISO diharapkan dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu. Keterbatasan sumber daya manusia dalam hal ini tenaga kesehatan di puskesmas non iso masih menjadi kendala dalam pemberian pelayanan yang optimal. Pemberian konseling kepada pasien sering terlewatkan karena masalah tersebut. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi tingkat pengetahuan pasien dan berakibat tidak tercapainya pengobatan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan pasien Tuberkulosis paru pada Puskesmas ISO dan non ISO yang dalam hal ini adalah Puskesmas Bangetayu dan Miroto di kota Semarang.
B. Perumusan Masalah Apakah ada perbedaan tingkat pengetahuan pasien Tuberkulosis paru pada Puskesmas Bangetayu (ISO) dan Miroto (non ISO) di Semarang tentang beberapa aspek antara lain :
kota
5
1.
Pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis
2.
Pengetahuan tentang cara pemakaian dan penyimpanan obat Tuberkulosis yang tepat
3.
Pengetahuan tentang efek samping obat Tuberkulosis
4.
Pengetahuan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat maupun dengan makanan.
C. Tujuan Penelitian Membuktikan perbedaan tingkat pengetahuan pasien tuberkulosis paru pada puskesmas bersertifikasi ISO (Bangetayu) dan puskesmas non ISO (Miroto) di kota Semarang yang terdiri dari beberapa aspek, antara lain: 1. Pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis 2. Pengetahuan tentang cara pemakaian dan penyimpanan obat Tuberkulosis yang tepat 3. Pengetahuan tentang efek samping obat Tuberkulosis 4. Pengetahuan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat maupun dengan makanan.
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan bukti tentang pentingnya konseling terhadap pengetahuan pasien tuberkulosis sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan terapi demi tercapainya pengobatan yang optimal. 2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Tuberkulosis a.
Definisi Tuberkulosis (TBC/TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar bakteri tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ lain. Sumber penularannya adalah dahak yang mengandung bakteri tuberkulosis (Depkes RI, 2009) Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4μm dan tebal 0,6μm. Sebagian besar dinding bakteri terdiri atas lemak (lipid), peptidoglikon dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Bakteri dapat hidup pada udara dalam keadaan kering dan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena bakteri berada dalam sifat dormant. Kemudian dari sifat dormant ini bakteri dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis menjadi aktif lagi (Amin dan Bahar, 2007) b. Cara Penularan Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB.
7
Proses terjadinya infeksi oleh M. Tuberkulosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB Paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB Paru dengan batuk berdarah atau dahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) (Amin dan Bahar, 2007). Mycobacterium Tuberkulosis ditransmisikan dari orang ke orang melalui batuk dan bersin. Kontak yang terlalu dekat dengan penderita tuberkulosis akan memperbesar kemungkinan penularan (ISFI, 2008) Sumber penularannya yaitu saat pasien TB BTA positif batuk atau bersin, bakteri dapat tersebar ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien di tentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
8
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007) c. Diagnosis Gejala utama pasien Tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala–gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain –lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja, dewasa, serta skoring pada pasien anak (Depkes RI, 2007) d. Pengobatan TBC Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu kurang lebih 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu WHO telah menerapkan strategi Directly Observed Treatment Short Course strategy (DOTS) di mana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien
9
minum obat untuk memastikan kepatuhannya. WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi lima kategori berbeda menurut definisi kasus (Amin dan Bahar, 2009) sebagai berikut : 1) Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 2) Kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3) Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten baru. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan atau pindah. 4) Lalai atau
pengobatan setelah default atau drop out adalah
penderita yang sudah diobati kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 5) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA negatif
10
namun rontgen menjadi BTA positif pada akhir bulan ke2 pengobatan. (Depkes RI, 2006) Kegagalan terapi pasien TBC dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain : 1) Terkait masalah Pengobatan Panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat tidak teratur atau tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya, serta terjadi resistensi obat. 2) Drop out Kekurangan biaya pengobatan, pasien merasa sudah sembuh, serta pasien malas berobat atau kurang motivasi 3) Penyakit Lesi paru yang sakit terlalu luas atau sakit berat, penyakit lain yang menyertai serta adanya gangguan imunologis 2. Puskesmas Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan
di
suatu
wilayah
kerja.
Puskesmas
berperan
menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia (Kepmenkes, R.I., 2004)
11
Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas merupakan pelayanan yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan) (Depkes, 2009) Upaya peningkatan kualitas dan mutu dalam penyelenggaraan pelayanan puskesmas di kota Semarang salah satunya adalah penerapan standar ISO yaitu Sistem Manajemen Mutu yang dikenal dengan nama ISO 9001 : 2008 yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (Dinkes Kota Semarang, 2011). Standar ISO adalah standar sistem manajemen mutu yang digunakan untuk menilai apakah sistem manajemen mutu dibakukan, dijalankan, dimonitor, dievaluasi dan diperbaiki terus menerus. Sedangkan pelayanan yang tidak berstandar ISO 9001 : 2008 yaitu pelayanan yang belum menggunakan standar sistem manajemen mutu yang digunakan untuk menilai apakah sistem manajemen mutu dibakukan, dijalankan, dimonitor, dievaluasi dan diperbaiki terus menerus (Lasa, N., dkk., 2012). Hingga kini di Kota Semarang terdapat lima puskesmas yang telah mendapatkan sertifikat ISO 9001 : 2008 yaitu Puskesmas Mijen, Kedungmundu, Bangetayu, Halmahera dan Ngesrep (Dinkes Kota Semarang, 2011). 3. Konseling Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara Apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan.
12
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan
dan
perbekalan
kesehatan
lainnya,
sehingga
dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan yang salah dari sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya (Kepmenkes RI, 2004) Konseling yang dilakukan oleh apoteker merupakan komponen dari pharmaceutical care dan harus ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat. Apoteker dalam bekerja sama dengan profesional pelayanan kesehatan lain, jika perlu harus menetapkan informasi konseling khusus yang diperlukan dalam tiap situasi pelayanan pasien (Siregar, 2005). Terapi obat yang aman dan efektif, dapat terjadi apabila pasien diberi informasi yang cukup tentang obat serta penggunaannya. Pasien yang berpengetahuan tentang pengobatan yang sedang dijalani menunjukkan peningkatan kepatuhan pada regimen obat yang tertulis dan berakibat peningkatan hasil terapi. Oleh karena, itu Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk memberi informasi yang tepat tentang terapi obat kepada pasien. Beberapa hal utama yang harus disampaikan saat memberikan konseling kepada pasien mengenai pengobatan adalah : a.
Nama generik obat, nama dagang dan sinonim umum
b. Pemerian dan kekuatan obat
13
c. Penggunaan yang dimaksud dan kerja yang diharapkan. Apa yang perlu dilakukan, jika kerja obat yang diharapkan tidak terjadi d. Rute bentuk sediaan, dosis dan jadwal peggunaan atau konsumsi (termasuk durasi terapi) e.
Penyimpanan yang tepat
f. Efek samping yang mungkin dialami termasuk anjuran untuk menghindari atau yang perlu dilakukan jika terjadi efek samping g. Hal yang perlu diamati selama pemberian obat h. Tindakan yang perlu diambil jika lalai satu dosis i. Informasi tentang pengulangan resep j. Kontraindikasi k. Hal-hal lain yang dianggap perlu. (Siregar,2005) 4. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan
kehidupannya.
Pengetahuan
merupakan
hasil
dari
proses
pengindraan manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,1997) Pengetahuan atau kognitif banyak berhubungan dengan informasi sebagai faktor penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan merupakan proses belajar dan disimpan dalam ingatan,
14
akan digali pada saat dibutuhkan. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya sikap seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Azwar, 2005) Metode pengukuran pengetahuan yang dapat digunakan antara lain metode wawancara, observasi dan ujian tertulis (Green, dkk, 2000). Pengukuran atau penilaian pada umumnya dilakukan melalui tes atau wawancara dengan alat bantu kuesioner yang berisikan materi yang diujikan ke responden (Azwar,1998) Pengetahuan pasien tentang penyakit
yang diderita dan
pengobatannya akan mempengaruhi kepatuhan pasien yang berdampak pada keberhasilan suatu pengobatan. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada akhirnya akan berakibat fatal (Hussar, 1995).
F. Landasan Teori Puskesmas
bersertifikasi
ISO merupakan salah satu
upaya
Pemerintah Kota Semarang dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan
15
kesehatan. Kepuasan pasien pada gilirannya akan meningkatkan kepatuhan terhadap rencana perawatan, pengobatan dan tindakan terapi yang akan dilaksanakan. Kepatuhan pasien untuk menjalankan pengobatan akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan pasien akan penyakit dan pengobatannya. Pemberian konseling diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien akan penyakit yang diderita dan pengobatannya. Konseling oleh Apoteker dan Asisten Apoteker pada pelayanan di Puskesmas ISO tertuang dalam SOP pelayanan kefarmasian. Apoteker memberikan Pharmaceutical care kepada pasien yang salah satu komponennya adalah konseling oleh Apoteker dan atau bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain sebagai salah satu cara untuk tercapainya pengobatan yang optimal. Berbeda dengan pelayanan pada puskesmas non iso yang tidak menerapkan SOP pelayanan kefarmasian yang salah satu komponennya adalah penerapan konseling. Apoteker tidak melaksanakan pemberian konseling kepada pasien, yang mengakibatkan kurang optimalnya pelayanan kefarmasian di puskesmas non iso dan hal ini dapat berdampak pada tingkat pengetahuan pasien akan penyakit dan pengobatannya.
G. Hipotesis Ada perbedaan tingkat pengetahuan pasien tuberkulosis paru tentang penyakit tuberkulosis, cara pemakaian dan penyimpanan obat tuberkulosis,
16
efek samping serta interaksi obat tuberkulosis di puskesmas bersertifikasi ISO (Bangetayu) dan puskesmas non ISO (Miroto) Kota Semarang