BAB I PENDAHULUAN
A.
Alasan Pemilihan Judul Transisi Indonesia menjadi negara demokratis pada 1998 merupakan sebuah perubahan besar. Krisis ekonomi yang melatar belakangi terjadinya transisi pemerintahan di Indonesia membawa dampak yang luas pada urusan dalam negeri dan luar negeri. Indonesia yang awalnya dianggap sebagai negara otoriter karena pemerintah berasal dari militer, berubah menjadi negara yang demokratis. Rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat, tidak ada lagi tahanan politik, perbaikan dalam penegakan hak asasi manusia, serta perbaikan di dalam sistem politik. Elit politik Indonesia tidak lagi didominasi oleh militer, militer dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai penjaga kedaulatan Republik Indonesia. Transisi Indonesia menjadi negara yang demokratis semakin diperkuat dengan Pemilihan Umum secara langsung pada tahun 2004. Pada pemilu ini dihasilkan jajaran pemerintah yang benar-benar merupakan pilihan masyarakat. Keberhasilan Indonesia di dalam proses transisi juga diakui oleh dunia internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan kepercayaan negara-negara lain terhadap Indonesia untuk menjadi anggota beberapa organisasi internasional. Salah satunya, Indonesia dipercaya menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB serta berada di dalam badan HAM PBB. Keberhasilan transisi dan posisi strategis Indonesia di dalam badanbadan PBB membuat tekanan terhadap peran Indonesia dalam isu-isu penting juga bertambah. Pada saat yang sama kembali terjadi tragedi di negara tetangga Indonesia yaitu Myanmar. Permasalahan yang terjadi di Myanmar menjadi perhatian dunia internasional, tidak terkecuali Indonesia. Dengan pencapaian-pencapaian
1
yang berhasil diraih oleh Indonesia, maka penulis tertarik untuk melihat langkah-langkah
yang
dilakukan
oleh
Indonesia
untuk
membantu
penyelesaian permasalahan Myanmar. Terlebih lagi permasalahan Myanmar tidak jauh berbeda dengan permasalahan Indonesia saat Indonesia masih berada pada rezim kekuasaan orde baru.
B.
Latar Belakang Masalah Myanmar telah lama bergelut dengan permasalahan militer, kudeta dan demonstrasi berdarah. Negara yang dipimpin oleh junta militer ini menjadi sorotan internasional karena kondisi domestik yang tidak stabil. Kondisi domestik yang tidak stabil di dalam negara tersebut merupakan buah dari ketiadaan demokrasi. Ketiadaan demokrasi di negara yang letaknya berada di dalam satu kawasan dengan Indonesia ini berdampak pada pelanggaraan hak asasi manusia bagi masyarakat sipil. Ketiadaan demokrasi di Myanmar diawali pada tahun 1962 saat terjadi kudeta untuk pertama kali yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win terhadap pemerintahan Perdana Menteri U Nu.1 Kudeta inilah yang mengawali pemerintahan militer berkuasa di Myanmar hingga saat ini. Rezim Ne Win sendiri berkuasa selama 26 tahun, sebelum akhirnya mengundurkan diri melalui protes besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sipil pada tahun 1988. Kudeta oleh Ne Win terhadap pemerintahan U Nu dilakukan akibat pemerintahan sipil tidak dapat menyelesaikan permasalahanpermasalahan di dalam negeri tepat pada tenggat waktu yang diberikan oleh pihak militer selama dua tahun sejak tahun 1960. Jenderal Ne Win mengundurkan diri dari jabatan sebagai pemimpin junta militer Myanmar menyusul aksi demonstrasi besar-besaran pada 8 Agustus 1988. Aksi protes besar-besaran ini merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan militer dan menuntut sistem demokrasi diberlakukan
1
“Prospek Demokrasi di Myanmar”. Jurnal Universitas Paramadina
Diakses pada 01/04/2010
2
di Myanmar.2 Pengunduran diri Jenderal Ne Win tidak lantas membuat Myanmar menjadi negara demokratis, militer kembali berkuasa lewat Jenderal Maung-Maung. Kepemimpinan Maung-Maung yang dianggap lebih terbuka dan sedikit demokratis dianggap akan mengancam keberadaan militer, maka pada tahun itu juga Maung-Maung dikudeta oleh militer Saw Maung. Di dalam pemerintahan Saw Maung ini pada tahun 1990 diadakan pemilihan umum, tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi melalui partainya National League for Democracy (NLD) berpartisipasi. Partisipasi NLD dalam pemilu tahun 1990 ini membawa kemenangan, namun kemenangan ini dibatalkan oleh pihak militer. Pemerintahan militer oleh Saw Maung tetap berlanjut pasca pemilihan umum tahun 1990, dan berkuasa hingga tahun 1992. Tahun 1992 tampuk kekuasaan militer Myanmar diberikan kepada Jenderal Tan Shwe yang memerintah Myanmar hingga tahun 2010. Pembatalan hasil pemilihan umum tahun 1990 dirasakan rakyat Myanmar hingga saat ini. Selain hasil pemilu yang dibatalkan, tokoh penggerak demokrasi Aung San Suu Kyi juga menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun. Gelombang protes terhadap sikap pemerintah militer Myanmar yang otoriter serta penangkapan tokoh penggerak demokrasi tidak pernah surut dilakukan oleh masyarakat sipil. Semakin sering warga Myanmar melakukan protes, maka pemerintah akan mengambil tindakan represif. Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah militer Myanmar, tidak jarang membawa korban jiwa yang tidak sedikit. Pada tahun 2007 terjadi gelombang protes besar-besaran di Myanmar setelah bertahun-tahun tidak terjadi unjuk rasa yang melibatkan banyak orang. Gelombang unjuk rasa ini dipicu karena kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar, yang sangat memberatkan masyarakat Myanmar. Kenaikan harga bahan bakar akan sangat berdampak pada kenaikan biaya transportasi dan bahan-bahan makanan utama. Pemerintah 2
“Sejarah Militer di Myanmar”. PortalHI. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta <www.komahiumy.wordpress.com> Diakses pada 01/04/2010
3
militer Myanmar melihat aksi protes yang begitu besar, menggunakan tindakan represi dalam memadamkan aksi ini. Para aktivis yang melakukan protes banyak ditahan oleh pemerintah. Bagi pemerintahan otoriter, gelombang protes apalagi yang melibatkan begitu banyak orang, sangat mengancam kelangsungan pemerintahan. Politik kediktatoran yang biasa diperagakan oleh pemerintah militer ditujukan untuk menjaga stabilitas politik dan menutup ruang bagi munculnya gejolak politik yang dihasilkan oleh kegagalan ekonomi di dalam negara.3 Unjuk rasa besar-besaran pada tahun 2007 yang pada awalnya menuntut agar pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar juga diikuti oleh para biksu di Myanmar. Jumlah biksu sangat besar di Myanmar, mengingat di negara ini mayoritas penduduknya beragama Buddha.4 Tindakan represi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi unjuk rasa tersebut juga melukai beberapa orang biksu. Kejadian tersebut memaksa biksu-biksu di Myanmar melakukan aksi protes dengan tidak melakukan pelayanan keagamaan di dalam fasilitas-fasilitas militer dan keluarga militer. Para biksu menuntut pemerintah melakukan permintaan maaf atas tindakan yang dianggap tidak lagi memandang biksu sebagai profesi yang ditakzimkan di negara tersebut. Gelombang protes yang awalnya merupakan reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar akhirnya meluas dengan menuntut penghapusan kediktatoran dan pelaksanaan demokrasi di negara tersebut. Peran serta biksu dalam aksi protes ini membuat pemerintah berlaku semakin keras. Gelombang protes besar-besaran ini juga mendapatkan
dukungan
luas
dari
rakyat
Myanmar
yang
sangat
menginginkan kebebasan di dalam kehidupan sehari-hari. Krisis Myanmar 3
Rudi Hartono. Adakah Peluang Kemenangan Demokrasi di Myanmar?.2007 <www.arahkiri.wordpress.com>. Diakses pada 01/04/2010 4 Sekitar 89,4% dari 55 juta warga Myanmar menganut agama budha. Hubungan Bilateral Indonesia-Myanmar. Kementerian Luar Negeri Indonesia. 2009 <www.deplu.go.id/pages/IFPDisplay.aspx>. Diakses pada 23/04/2010
4
tahun 2007 mendapatkan sorotan dunia internasional karena banyak korban berjatuhan pada peristiwa demonstrasi yang terjadi bulan September 2007. Permasalahan yang terjadi di Myanmar bukan lagi hanya menjadi isu bagi negara pimpinan Jenderal Than Shwe saja, tetapi juga mengundang reaksi dari berbagai negara di dalam komunitas internasional. Hal tersebut dikarenakan yang terjadi di Myanmar bukan hanya permasalahan politik tetapi juga meluas hingga permasalahan kemanusiaan yang mendorong reaksi beragam dari berbagai pihak. Bagi Indonesia isu mengenai Myanmar merupakan hal yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Permasalahan di negara ini telah lama dan berlarut-larut. Konflik yang terjadi di dalam negara Myanmar bukan hanya mengenai ketiadaan demokrasi dan pelanggaraan hak asasi manusia, tetapi juga merupakan gabungan permasalahan kompleks antara permasalahan sosial dan perpecahan etnis.5 Myanmar merupakan negara yang memiliki kedekatan sejarah dengan Indonesia. Kedua negara merupakan bekas jajahan negara-negara kolonial besar pada masanya. Myanmar dan Indonesia merdeka pada sekitar tahun 1940-an serta merasakan kepemimpinan jenderal yang otoriter dalam jangka waktu yang lama. Hal lain terkait Indonesia dan Myanmar, kedua negara berada di dalam kawasan yang sama sehingga tindakan yang dilakukan oleh sebuah negara baik yang dilakukan untuk kepentingan domestik maupun bagi kepentingan internasional, akan berpengaruh pada stabilitas kawasan tempat dimana negara-negara tersebut berada. Indonesia lebih beruntung dari Myanmar, karena saat ini Indonesia bisa merasakan kehidupan bernegara pada iklim demokratis dan penuh kebebasan. Indonesia berupaya membantu Myanmar agar permasalahan yang dihadapi segera berakhir. Upaya yang Indonesia lakukan adalah memberikan dukungan atas prakarsa yang dibuat pemerintah Myanmar 5
Jalan Panjang Menuju Demokratisasi di Myanmar. Harian Seputar Indonesia Diakses pada 01/04/2010
5
untuk menjadi demokratis dengan grand design 7 road map to democracy. Upaya lain yang dilakukan oleh Indonesia adalah berinisiatif membentuk sebuah focused group bersama-sama dengan negara-negara Asia lainnya.6 Indonesia juga memberikan dukungan terhadap Myanmar agar proses demokratisasi yang berjalan di negara tersebut tetap menjunjung tinggi keutuhan Myanmar sebagai sebuah negara tanpa ada perpecahan dan pergolakan yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa lebih banyak lagi.7 Rezim otoriter militer yang berkuasa sangat lama menyebabkan Indonesia memahami posisi yang dihadapi oleh Myanmar lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Pasca transisi demokrasi yang terjadi lebih dari satu dekade yang lalu, membuat Indonesia kini menjadi salah satu negara demokratis terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, serta satu-satunya negara yang menerapkan demokrasi secara penuh di Asia Tenggara.8 Transisi demokrasi yang terjadi pada akhir 1990-an, menjadikan Indonesia saat ini sebagai salah satu aktor negara demokratis yang penting dalam memberikan pandangan-pandangan terhadap sebuah permasalahan. Permasalahan Myanmar merupakan permasalahan yang berlarut-larut. Padahal sejarah kepemimpinan militer di Myanmar yang mengakibatkan ketiadaan pemerintah yang demokratis serta pelanggaraan hak asasi manusia telah berlangsung lebih awal daripada periode kepemimpinan militer di Indonesia. Keberadaan Indonesia yang telah berhasil melepaskan diri dari kungkungan rezim militer seharusnya dapat menginspirasi Myanmar untuk membenahi keadaan di negaranya. Bagi Indonesia, permasalahan Myanmar yang berlarut-larut serta selalu menjadi sorotan internasional dapat 6
Isu Myanmar. Isu-isu khusus Kementerian Luar Negeri RI <www.deplu.go.id/Pages/Highlights.aspx?IDP=20&1id> Diakses pada 01/02/2010 7 Ibid 8 Freedom House Diakses pada 20/05/2010
6
mengancam stabilitas kawasan. Kemampuan Myanmar untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi akan berdampak positif pada perkembangan negara itu sendiri serta dapat meningkatkan volume kerjasama dengan berbagai negara termasuk di dalamnya Indonesia. Stabilitas kawasan kemudian akan menjadi semakin kokoh, dan menghilangkan salah satu hambatan di dalam proses integrasi negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.
C.
Rumusan masalah Dari permasalahan yang diutarakan di muka, masalah yang hendak dibahas dalam penulisan ini adalah apa yang menjadi latar belakang kebijakan luar negeri Indonesia terhadap permasalahan demokratisasi di Myanmar?
D.
Landasan Teori Untuk menjelaskan permasalahan di atas, penulis menggunakan konsep kebijakan luar negeri yang dikemukakan oleh Holsti. Definisi kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992), adalah: “Gagasan atau tindakan yang dirancang oleh pembuat keputusan suatu negara untuk menyelesaikan permasalahan maupun mempromosikan sejumlah perubahan, pada perilaku sebuah atau beberapa aktor negara lain maupun non negara; ataupun juga mengubah atau mempertahankan sebuah objek, kondisi atau praktek di lingkungan eksternal” (Holsti, 1992: 82, 269)9 Kebijakan juga mengandung komponen tindakan, yakni hal yang dilakukan pemerintah kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Tindakan pada dasarnya merupakan satu bentuk komunikasi yang
9
Kalevi J Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed, New Jersey: Prentice Hall International, 1992.
7
dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung perilaku pemerintah negara lain yang sangat berperan untuk menentukan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pemerintah yang bersangkutan. Tindakan dapat juga dianggap sebagai “isyarat” yang dikirimkan oleh seorang aktor untuk mempengaruhi pandangan si penerima mengenai si pengirim.10 Selain konsep kebijakan luar negeri yang dikemukakan oleh Holsti, penulis juga menggunakan Teori Pengambilan Keputusan Luar Negeri menurut Richard Snyder untuk menjelaskan apa yang melatar belakangi kebijakan tersebut dibuat. Proses pengambilan keputusan luar negeri merupakan alat yang dapat menjelaskan tindakan yang diambil oleh masingmasing negara dalam hubungan internasional. Dalam pandangan Snyder, proses pembuatan keputusan dimaksudkan untuk mengetahui apakah keputusan itu dapat mempengaruhi hasil atau tidak. Suatu hal yang penting juga adalah untuk mengetahui apakah perbedaan proses pembuatan keputusan juga akan menghasilkan keputusan yang juga berbeda dan apakah keterlibatan individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi suatu hasil keputusan. Pada awalnya, proses pengambilan keputusan luar negeri juga sering diidentikan dengan mekanisme yang terjadi dalam sistem politik yang berusaha
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungan,
termasuk
juga
mempengaruhi lingkungan dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu, proses politik luar negeri juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem seperti yang dilakukan oleh David Easton. Kemudian dikembangkan oleh Jhon Lovell dengan memperkenalkan model proses ideal. Model ini dimaksudkan untuk melakukan tindakan yang ideal agar keputusan yang diambil mendekati aktual. Dengan demikian akan diperoleh gambaran proses yang dilakukan oleh sebuah sistem dalam mengambil keputusan yang aktual dan faktor penyebab keputusan itu diambil.11 10
Kalevi J Holsti, Politik Internasional, Edisi keempat jilid I, Jakarta: Erlangga. 1988. hal 158 Mochtar Masoed & Collin Mac Andrew, Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,1990. hal 3-20 11
8
Model ini terasa amat luas dan kompleks. Menyadari keterbatasan tersebut, Richard Snyder mengajukan suatu prosedur perumusan politik luar negeri yang sifatnya lebih sederhana. Snyder mengemukakan bahwa berbagai setting internal dan eksternal mempengaruhi prilaku politik luar negeri suatu negara. Peranan kepemimpinan, persepsi dan sistem kepercayaan adat para pembuat keputusan, arus informasi diantara mereka, dan dampak dari berbagai kebijakan luar negeri terhadap pilihan-pilihan mereka, merupakan faktor-faktor penting untuk menjelaskan pilihan-pilihan kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu negara. Penelitian Snyder juga mempertimbangkan karakterisitik situasional ketika pengambilan keputusan sedang berlangsung, misalnya apakah proses pengambilan keputusan itu dibuat dalam situasi tertekan, krisis atau beresiko.12 Dalam prosedur yang dikemukakan oleh Snyder faktor apapun yang menjadi determinan dalam politik luar negeri akan diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pembuat keputusan (decision makers). Kelebihan dari model ini yaitu dimensi manusia dianggap lebih efektif dari politik luar negeri itu sendiri. Maka dari itu, faktor-faktor yang paling penting yang dapat menjelaskan pilihan-pilihan politik luar negeri adalah :13 1.
Motivasi dari para pembuat keputusan (nilai-nilai dan norma yang dianut), merupakan suatu dorongan untuk menggunakan kesempatan yang dimiliki dan menekankan mengapa suatu keputusan tersebut diambil.
2.
Arus
informasi
diantara
mereka
(jaringan
informasi),
untuk
mengetahui sumber-sumber yang dapat menjadi masukan bagi perumusan politik dan kebijakan luar negeri. 3.
Pengaruh dari berbagai politik luar negeri terhadap pilihan mereka sendiri,
menekankan
tentang
persepsi
mengenai
lingkungan
internasional yang mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut. 12
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, 2005, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 64 13 Ibid hal65
9
4.
Keadaan atau situasi untuk mengambil keputusan (occasion for decision) yang ada pada waktu keputusan itu dibuat, apakah sedang dalam krisis atau tidak dalam krisis suatu keputusan tersebut diambil. Dengan demikian akan banyak variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi suatu aktor. Kerangka variabel yang dimaksud adalah lingkungan eksternal dan lingkungan internal yang melekat pada aktor, termasuk juga struktur sosial dan perilaku. Variabel-variabel tersebut dibagi menjadi beberapa poin, yang membuat teori tersebut menjadi lebih kompleks (lihat diagram 1.1)14
14
Richard C. Snyder, H.W. Bruck, and Burton Sapin (eds), Foreign Policy Decision-Making : An Approach to the Study of International Politics, The Free Press, New York, 1962, p.200
10
A 1 2 3
Faktor Internal Pembuatan Keputusan Lingkungan non manusia Masyarakat Lingkungan manusia, penduduk dan kebudayaan
F 1 2 3 4
Faktor eksternal dari pembuatan keputusan Lingkungan non manusia Kebudayaan lain Masyarakat lain Tindakan pemerintah lainnya
D
B 1 2 3 4 5 6
Perilaku dan Struktur Sosial Orientas nilai-nilai utama Pola pengembangan utama Ciri-ciri utama organisasi social Difrensiasi dan spesialisasi peranan Jenis-jenis fungsi kelompok dan proses social yang relevan Proses social yang relevan a) Pembentukan opini b) Sosialisasi masyarakat c) Politik
Proses Pembuatan keputusan oleh pembuat keputusan
E Pelaksana
(diagram I.1)
Lingkungan internal aktor terdiri atas lingkungan non manusia, masyarakat dan lingkungan manusia yang berupa budaya atau penduduk. Lingkungan eksternal aktor terdiri dari lingkungan non manusia, budayabudaya luar, masyarakat luar dan tindakan pemerintah lainnya. Sedangkan struktur dan perilaku terdiri atas orientasi nilai-nilai utama, pola pengembangan utama, ciri-ciri utama organisasi sosial, diferensiasi dan
11
spesialisasi peranan, jenis-jenis fungsi kelompok dan proses sosial yang relevan.15 Internal dan eksternal setting mempunyai kedudukan yang sama dan saling mempengaruhi dalam pembuatan keputusan luar negeri. Setting internal sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam negeri seperti lingkungan non-manusia, masyarakat, lingkungan manusia serta penduduk dan kebudayaan. Setting internal dan struktur serta perilaku sosial berjalan beriringan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Setting internal berupa masyarakat, lingkungan merupakan faktor utama dalam pembentukan arah dan orientasi dari struktur dan sikap masyarakat, begitu pula sebaliknya. External setting dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain lingkungan non-manusia, budaya-budaya luar, masyarakat luar dan tindakan pemerintah lainnya dalam hal ini tindakan negara lain. Berdasarkan setting internal dan eksternal, para pembuat kebijakan berusaha menyeimbangkan faktor tersebut dalam perumusan kebijakan luar negeri. Teori yang dikemukakan oleh Richard Snyder digunakan oleh penulis untuk menjelaskan hubungan yang terjadi antara Indonesia dan Myanmar dalam penulisan ini. Peristiwa di Myanmar pada tahun 2007, memunculkan tanggapan dari berbagai negara termasuk Indonesia. Latar belakang kebijakan yang Indonesia ambil terhadap permasalahan demokratisasi di Myanmar dijelaskan berdasarkan teori pengambilan keputusan yang menitikberatkan pada latar internal dan eksternal. Tragedi yang terjadi di Myanmar pada September 2007, juga menjadi perhatian luas dunia internasional. Negara-negara lain cepat bertindak ketika tragedi Myanmar berlangsung. Lingkungan internasional juga mendesak Myanmar untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil. Desakan lingkungan internasional mau tidak mau menuntut Indonesia juga harus mengeluarkan sikap terhadap apa yang terjadi di Myanmar. Hal
15
Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi. 1989, lp3es, jakarta, hal 94
12
tersebut karena Indonesia merupakan negara yang secara geografis berada pada kawasan yang sama dengan Myanmar.
E.
Hipotesa Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan dan juga penentuan kerangka analisa yang akan digunakan seperti yang tercantum di dalam kerangka pemikiran, maka penulis dapat memberikan jawaban sementara bahwa keputusan Indonesia untuk mendukung proses demokratisasi di Myanmar sesuai dengan yang dijalankan oleh pemerintah militer di latar belakangi oleh internal setting yaitu transisi Indonesia menjadi negara demokrasi yang membawa perubahan pada sistem politik termasuk perubahan dalam politik luar negeri dan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dimiliki oleh Indonesia. Serta eksternal setting yaitu hubungan historis yang dimiliki oleh Indonesia-Myanmar, serta kebijakan ASEAN dan China dalam memandang permasalahan Myanmar. Kedua setting tersebut membentuk kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Myanmar.
F.
Metode penelitian Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi analisa isi berdasarkan referensi data sekunder yang berasal dari buku, surat kabar, situs-situs internet, jurnal dan majalah.
G.
Sistematika penulisan Untuk memudahkan pembahasan, tulisan ini dibagi dalam lima bagian dengan uraian sebagai berikut:
13
Bab Pertama yaitu pendahuluan yang berisi alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, kerangka pemikiran, hipotesa, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua akan menjelaskan mengenai kilas balik permasalahan di Myanmar dan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap permasalahan demokrasi di negara tersebut. Bab Ketiga akan membahas mengenai setting internal dan eksternal dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap permasalahan demokratisasi di Myanmar. Bab Keempat merupakan penutup yang memberikan kesimpulan.
14