BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai, contohnya adalah perubahan sosial budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan yang mencolok berlangsung secara normal sebagai yang dikehendaki masyarakat, dan perubahan sosial dan kebudayaan yang tidak dikehendaki merupakan gejala abnormal atau gejala patologis. Gejala abnormal disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan, gejala abnormal yang berkepanjangan maka akan menciptakan suatu masalah social. Salah satu masalah social yang terjadi di masyarakat adalah adanya perilaku patologis pada gelandangan. Perilaku patologis yang dimaksud seperti tingginya angka kriminalitas, kejahatan, kekerasan, perilaku menyimpang, dan gangguan kejiwaan. Gangguan jiwa pada gelandangan adalah salah satu pelaku patologis masalah sosial yang diakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa merupakan penderita gangguan jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan umum, dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan. Fenomena sosial mengenai gelandangan yang mengalami gangguan jiwa dapat ditemui secara langsung di sepanjang jalan, trotoar, jembatan, di pasar ataupun di pusat pertokoan. Gelandangan dengan gangguan jiwa hidup secara nomaden (berkeliaran di lingkungan masyarakat) dan serta memiliki keterbelakangan mental (gangguan
1
jiwa) ini sangat merugikan masyarakat sekitar dan Pemerintah. Tekanan kehidupan dan ketidaksiapan dalam perubahan sosial salah satu penyebab utama terhadap pertambahan gangguan jiwa pada gelandangan gelandangan. Seperti yang diketahui, bahwa didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sudah diatur secara jelas mengenai kesejahteraan tiap individunya, ini terimplementasi pada Pasal 27 ayat (2) dan pasal 34. Dan peraturan mengenai gelandangan yang memiliki gangguan jiwa tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, menyebutkan : 1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan difasilitas pelayanan kesehatan; 2) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum; 3) Pemerintah dan Pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat; 4) Tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Pemerintah Kota Magelang tidak mempunyai Perda khusus yang dibuat untuk menanggulangi gelandangan yang mengalami gangguan jiwa1. Akan tetapi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan
1
Wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Magelang, Bapak A. Arif S.K., SH
2
jiwa, Pemerintah Kota Magelang mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,. Dalam pelaksanaannya, penanggulangan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang dilakukan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 149 ayat (4) yang berbunyi
“tanggung jawab Peme-
rintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin” dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1)
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan pasal tersebut Pemerintah Kota Magelang menunjuk pada Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial dengan berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Kesehatan dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Dari ketiga lembaga tersebut yang memiliki peran utama adalah Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial yaitu melaksanakan perencanaan,
pembinaan,
pengendalian
dan
pengembangan
peningkatan
pelayanan dibidang sosial, dalam penjaringan gelandangan Disnakertransos Kota
3
Magelang dibantu oleh Satpol PP dan dalam upaya penyembuhan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa Disnakertransos Kota Magelang berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan. Banyaknya gelandangan di Kota Magelang dapat disebabkan karena semakin berkembangnya Kota Magelang sehingga menarik para penduduk wilayah sekitar Kota Magelang untuk datang ke kota Magelang. Akan tetapi karena lapangan kerja yang ada di Kota Magelang tidak memadai, banyak pendatang yang memilih menjadi pengemis. Tekanan ekonomi yang berada di kota kadang membuat pengemis tidak kuat dalam menghadapi tekanan tersebut sehingga menyebabkan mereka tertekan dan stress yang akhirnya mereka menjadi gila. Selain itu dengan adanya Rumah Sakit Jiwa di Kota Magelang ternyata tidak juga mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pra research penulis, bahwa gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang menunjukan jumlah yang cukup banyak antara lain di tempat yang ramai orang seperti di pasar raya, lapangan alun-alun kota Magelang dan terminal Magelang.2 Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana upaya Pemerintah Kota Magelang dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hal tersebut penulis memilih judul “Peran Disnakertransos Kota Magelang Dalam Menangani Gelandangan yang Memiliki Gangguan Jiwa”.
2
Hasil observasi penulis pada tanggal 8 - 12 APRIL 2013 di Kota Magelang
4
Tabel Perbandingan Skripsi ISI
Judul
Ananto Ariwibowo
Y.E. Ari Andani
312009058
312850153
Peran Dinas Sosial Kota Magelang Pelaksanaan Dalam
Melakukan
Gelandangan
penanggulangan
Perlindungan gelandangan dan pengemis oleh
yang
Memiliki dinas Kodya Dati II Salatiga
Gangguan Jiwa Rumusan masalah
-
Bagaimana upaya yang telah
Bagaimana
pelaksanaan
dilakukan Pemerintah Kota
penanggulangan pengemis
Magelang
dan
melalui
Dinas
gelandangan
telah
Sosial Kota Magelang untuk
dilaksanakan oleh Dinas
mengatasi
Sosial
masalah
gelandangan
sosial yang
mengalami gangguan jiwa? -
-
Apa
saja
hambatan oleh
Dinas
-
menyebabkan
pelaksanaan tersebut tidak
Kota
memperoleh hasil seperti
Magelang dalam mengatasi masalah sosial gelandangan
Faktor – factor apakah yang
dihadapi
Sosial
Dinas
Kotamadya Salatiga ?
hambatan-
yang
Cabang
yang diharapkan ? -
Sejauh
manakah
yang mengalami gangguan
koordinasi antara Cabang
jiwa
Dinas
Sosial
dengan
instansi terkait yang lain dilaksanakan ? Perbedaan
Sudah dikaitkan dengan : -
Undang – Undang Nomor 36 tahun
3
Belum dikaitkan dengan :
2009
tentang
-
Undang – Udang Nomer 23 tahun 2002 tentang
Skripsi, Y.E. Ari Andani, 31285015, Pelaksanaan penanggulangan gelandangan dan pengemis oleh
dinas Kodya Dati II Salatiga.
5
kesehatan.
perlindungan anak.
Objek penelitian: gelandangan dan Sudah dikaitkan : pengemis yang sakit jiwa
-
Keputusan Menteri Sosial
Lokasi: Kota Magelang
Republik
Dasar Hukum:
Nomer 15 Tahun 1983
-
Indonesia
Undang-Undang Nomor 36
tentang organisasi dan tata
Tahun 2009
kerja departemen sosial.
Undang-Undang
No.
11
Tahun 2009 -
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980
Tujuan penelitian
-
Mengetahui
upaya
yang
Untuk
menggambarkan
telah dilakukan Dinas Sosial
struktur
Kota
untuk
pelaksana
sosial
penanggulangan pengemis
Magelang
mengatasi
masalah
gelandangan
yang
mengalami gangguan jiwa. -
-
organisasi
dan gelandangan -
Ingin
menggambarkan
Mengetahui hambatan yang
kesulitan-kesulitan
dihadapi oleh Dinas Sosial
dihadapi
Kota
untuk
Sosial
sosial
Kodya Salatiga
Magelang
mengatasi gelandangan
masalah
yang
mengalami gangguan jiwa.
-
Ingin
yang
oleh
Dinas
Cabang
Dinas
memberikan
alternatif jalan keluarnya.
6
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian
hukum
yuridis
empiris atau yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam
masyarakat.
Dalam
melakukan penulisan hukum ini Penulis melakukan penelitian dan memperoleh
informasi
yang
berkaitan dengan materi penulisan dari
Pemerinta
Daerah
Kota
Magelang dan dinas sosial Kota Magelang.
Unit amatan
- Rumah
Sakit
Jiwa
Kota
Magelang - Dinsosnakertrans, - Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa
Unit analisa
Unit analisanya adalah bagaimana program menangani
pemerintah gelandangan
dalam yang
mengalami gangguan jiwa.
7
B. Latar Belakang Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong Negara yang sedang maju dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, gelandangan dan pengemis adalah masalah yang perlu harus diperhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota yang sedang berkembang, terutama seperti Magelang. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 ayat (1), menyatakan : " Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.".
Gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial yang berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009, penanggulangannya merupakan sebagian dari tugas pokok Departemen Sosial. Berdasarkan data BPS jumlah gelandangan terbanyak di Jawa Tengah berada di Kota Magelang4. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kota Magelang saat ini semakin banyak dan sulit diatur. Mereka dapat ditemui di berbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka
4
Tempo Interaktif, Magelang Senin (28 / 6 / 2013)
8
menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat. Oleh sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Gelandangan di kota Magelang semakin meresahkan dengan munculnya para gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Magelang tahun 2010 terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosal tersebut dalam beberapa jenis, diantaranya termasuk penyandang psikotik atau penyandang tuna laras. Penyandang masalah sosial adalah seseorang, keluarga, atau masyarakat yang karena hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan karena tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Jasmani, rohani, dan sosialnya secara memadai dan wajar)5. Sedangkan penyandang tuna laras, yaitu orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, merupakan permasalahan yang spesifik. Pada umumnya mereka tidak dapat disembuhkan seratus persen (100%). Suatu saat mereka dapat kambuh, atau bahkan perilaku mereka masih menunjukkan tingkah laku “gila” dalam kehidupan sehari-hari.
5
Dinsos, 2004
9
Mengatasi penyandang tuna laras penting terutama di saat kondisi krisis ekonomi, dan kondisi yang semakin tidak menentu. Pengelolaan pembangunan kesejahteraan sosial memang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Akan tetapi tidak kalah
pentingnya
juga
keikutsertaan
masyarakat
melalui
organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya, organisasi lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial. Dalam mengatasi gelandangan dan pengemis peranan Disnakertransos sangat penting. Peranan adalah suatu bagian dari tugas utama yang dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Dalam hal ini peranan Disnakertransos adalah sebagai pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial seperti yang termuat dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng), pemerintah Kota Magelang mengutus Disnakertransos untuk menanganani gelandangan dengan berkoordinasi dengan Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk merazia semua gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada di seluruh sudut kota Magelang, untuk kemudian dijaring dan ditampung di Liponsos (lingkungan pondok sosial) Dinas Sosial Magelang. Sedangkan untuk gelandangan yang mengalami gangguan jiwa ditampung di rumah sakit jiwa kota Magelang, dalam hal ini Disnakertransos bekerjasama dengan Dinas Kesehatan. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka. 10
Berdasarkan wawancara dengan kepala Dinas Sosial Kota Magelang, Drs. Ari Nugroho, M.Si , penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa telah dilakukan mengacu pada Undang-Undang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hasil dari penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa telah menunjukkan adanya penurunan jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang berjumlah 21 orang pada tahun 2011, 14 orang pada tahun 2012, dan 10 orang pada tahun 20136. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa setiap tahunnya terdapat penurunan jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya penanganan dari Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang. Namun dari hasil observasi masih terdapat gelandangan yang mengalami gangguan jiwa yang berkeliaran di jalanan. Hal ini dapat disebabkan karena pertama, tidak seluruhnya gelandangan yang mengalami gangguan jiwa terjaring razia yang dilakukan oleh petugas, dan kedua adanya gelandangan yang mengalami gangguan jiwa menunjukkan sikap yang lebih baik pada saat dilakukan rehabilitasi, akan tetapi pada saat dikembalikan kepada keluarga mereka mengalami gangguan kembali dan pergi dari rumah yang pada akhirnya menjadi gelandangan kembali.
6
Wawancara dengan Kepala Dinsos Kota Magelang, , Drs. Ari Nugroho, M.Si pada tanggal 12 Agustus 2013
11
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis. Pasal 2 menyebutkan bahwa : “Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia”.
Hal tersebut diatas sesuai dengan Pasal 149 ayat (2) yang menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum. Berdasarkan bunyi pasal diatas menunjukan bahwa penanggulangan gelandangan dan pengemis perlu diupayakan untuk mencegah meluasnya pengaruh akibat gelandangan dan pengemis, termasuk di dalamnya adalah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini juga yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Magelang dalam upaya melindungi gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa agar mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan. Dalam bidang sosial yang termasuk di dalamnya adalah masalah gelandangan dan pengemis menjadi salah satu bagian dari tugas pokok dan fungsi
12
bidang sosial pada Disnakertransos yaitu dinyatakan bahwa Kepala Bidang Sosial mempunyai tugas membantu Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial dalam melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengendalian dan pengembangan peningkatan pelayanan dibidang sosial. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Kepala Bidang Sosial mempunyai fungsi: perencanaan penyusunan program dan kegiatan bidang sosial, pengkoordinasian pelaksanaan program dan kegiatan bidang sosial, pelaksanaan kegiatan bidang sosial dan pembinaan dan pengendalian program dan kegiatan bidang sosial.
C.
Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran yang telah dilakukan Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa? 2. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang dalam mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa
13
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Peran Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial kota Magelang dalam melakukan perlindungan gelandangan yang memiliki gangguan jiwa. 2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui upaya yang telah dilakukan Disnakertransos Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa.
2.
Mengetahui hambatan yang dihadapi oleh Disnakertransos Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa.
3.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Kepentingan Akademis Sebagai sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya.
14
2. Bagi Instansi 1. Menjadi masukan informasi bagi Dinas terkait dalam meningkatkan peranan terhadap masyarakat 2. Dapat digunakan sebagai salah satu penilaian untuk meningkatkan kinerja instansi terkait.
3.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, karena dalam penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan mengenai peranan Disnakertransos Kota Magelang dalam mengatasi penyandang masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia, sifat-sifat, karya manusia, keadaan, dan gejala-gejaka lainnya.7 2. Pendekatan Masalah Penelitian ini mengungkapkan tentang peran Disnakertransos Kota Magelang dalam mengatasi penyandang masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa merupakan penelitian yang spesifikasinya yuridis
7
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Kajarta: UI Press. Hal. 43
15
sosiologis. Dikatakan yuridis sosiologis karena mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial.8 Penelitian ini meneliti tentang peran Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Orientasi pengkajiannya menitikberatkan pada aspek perlakuan norma-norma yakni penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. 3. Bahan Hukum a. Primer Berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, Peraturan Perundangundangan pelaksanaannya terkait dengan pemerintah daerah, lingkungan hidup dan perizinan.9 Data yang berupa keterangan-ketreangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengetahui objek yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan bahan hokum primer yang berupa UndangUndang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
8
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1998, Hal. 71 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20. Penerbit: Alumni Bandung, 1994. Hal. 19 yang menyatakan perundang-undangan dan yurisprudensi menjadi bahan hukum primer
9
16
b. Sekunder Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari sumber data sekunder yaitu yang berasal dari bahan-bahan pustaka, yang meliputi dokumen-dokumen tertulis seperti data dari Disnakertransos Kota Magelang. c. Tersier Berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti yang berasal dari kamus, ensiklopedia, dan sebagainya yang terkait dengan sistem hukum penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa.
4. Tehnik Pengambilan Data a. Studi Pustaka Yaitu suatu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari data-data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b. Wawancara Yaitu suatu metode pengumpulan data primer yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan pihak Dinas Sosial yaitu Kepala Dinas Sosial Kota Magelang, Bapak Imam Fatchi SH serta Pihak Rumah Sakit Jiwa Kota Magelang. 17
5. Analisis Data Mengingat data yang ada maka penelitian ini bersifat kualitatif . dimana penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, serta menekankan pada diskripsi secara alami. Pengambilan data dan penjaringan fenomena yang dilakukan dari keadaan sewajarnya ini dikenal dengan sebutan ” pengambilan data secara alami atau natural” atau sering juga disebut penelitian kualitatif naturalisik.10
6. Unit Amatan -
UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
-
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
-
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulanan Gelandangan dan Pengemis
-
Dinsosnakertrans Kota Magelang
-
Rumah Sakit Jiwa Kota Magelang
-
Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang
7. Unit Analisis Unit analisanya adalah bagaimana pelaksanaan Tugas pokok dan fungsi Disnakertransos
Pemerintah
Kota
Magelang
dalam
menanggulangi
gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa.
10
Tajul Arifin, Metode Penelitian Hukum, Bandung, CV Pustaka Setia, 2009 hlm. 101
18