BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Perkembangan keamanan internasional pada era globalisasi telah mengarah ke berbagai bentuk ancaman yang bersifat ‘non-traditional’. Salah satu yang termasuk di dalam masalah keamanan ini adalah terorisme. Masalah terorisme memang telah menjadi persoalan serius, bahkan kasus WTC (World Trade Centre) New York, menjadi bukti bahwa terorisme dapat terjadi di negara manapun, termasuk di negara maju seperti halnya Amerika Serikat yang sebenarnya memiliki standarisasi keamanan yang baik di dunia.
Kasus WTC kemudian menjadi tonggak sejarah (mile stone) bagi negaranegara dunia untuk melancarkan perang terhadap terorisme. Hal ini disebabkan karena faksi-faksi yang tergabung dalam organisasi teroris internasional ‘AlQaeda’ berupaya memperluas pengaruhnya di berbagai wilayah dunia.
Salah satu negara yang juga menjadi target dan basis terorisme adalah Indonesia. Negara ini pada tahun 2004-2012 dihadapkan pada aksi-aksi peledakan bom. Kasus ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang besar, kerusakan fisik hingga penurunan citra Indonesia di mata internasional. Di balik aksi teror di Indonesia, ternyata terdapat organisasi Islam radikal, yaitu Jamaah Islamiyah yang dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab atas serangkaian aksi-aksi teror di Indonesia tersebut.
Dalam menangani perkembangan terorisme di Indonesia, kemudian berbagai strategi dijalankan oleh pemerintah. Salah satunya dengan membentuk satuan khusus yang dinamakan dengan ‘‘Detasemen Khusus 88”. Pembentukan satuan ini ternyata tidak lepas dari keterlibatan asing, yaitu partisipasi Amerika Serikat dan Australia yang telah memberikan dukungan secara politis, teknis ataupun anggaran.
1
Pada akhirnya keterlibatan asing tersebut ternyata menimbulkan berbagai dampak bagi operasional Detasemen Khusus 88 dalam menangani terorisme di Indonesia. Berdasar pada fakta inilah penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dan memilih judul tentang “Keterlibatan Asing Dalam Penanganan Terorisme Oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia”.
B. Latar Belakang Masalah Perang melawan terorisme (Global War on Terrorism / GWOT) sampai dengan tahun 2012 telah berjalan selama 12 tahun sejak Amerika Serikat diserang oleh organisasi teroris Al-Qaeda di bawah kepemimpinan Osama bin Laden. Respon luar biasa diberikan oleh hampir semua negara, utamanya negara yang merasa rawan dengan teroris karena sempat mengalami tindakan terorisme. 1
Kasus WTC bermula dari aksi bunuh diri pihak teroris, dimana sebenarnya terdapat empat sasaran. Dalam kasus tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah dunia ini, lebih dari 3000 orang tewas. Kronologi aksi teror WTC 11 September adalah sebagai berikut :2 a. American Airline Penerbangan 11 yang menabrak menara WTC pada bagian utara. b. United Airlines Penerbangan 175 yang menabrak menara WTC pada bagian selatan. c. American Airline Penerbangan 77 yang menabrak The Pentagon. d. United Airlines Penerbangan 93 yang menabrak ke tanah.
Aksi ini kemudian direspon secara stimultan oleh Pemerintah Amerika Serikat, yang kemudian menyatakan sikap perangnya terhadap jaringan teroris AlQaeda. Pihak Badan Intelijen Amerika Serikat kemudian juga menyimpulkan adanya pelaku teror yang masih hidup yang bernama Walled al Shehri yang saat 1
Richard Jackson, Writing on the War on Terrorism : Language, Politic and Counter Terrorism, Manchester University Press, Manchester and New York, 2005, hal.12. 2 “The World Trade Centre : A Timeline”, http://www.nytimes.com/ref/magazine/08wtctimeline.html?_r=0, diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
2
itu tinggal di Maroko. Pada akhirnya pihak Amerika Serikat mengklaim Osama bin Laden sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas serangan teror tersebut.3
Pasca berakhirnya WTC, terorisme kemudian berkembang sebagai ancaman serius di dunia. Salah satu negara yang menghadapi persoalan serius tentang terorisme adalah Indonesia dan organisasi yang dianggap paling bertanggung jawab atas serangkaian aksi terorisme di Indonesia adalah Jamaah Islamiyah (JI). Organisasi ini didirikan pada tahun 1993 dan mengusung ideologi fundamentalisme Islam yang mengarah ke radikalisme.4
Indonesia sebetulnya mengalami kejadian teror yang lebih dulu hadir sebelum tragedi WTC 2001, yaitu bom di kedubes Filipina yang terjadi pada bulan Agustus 2000 dan bom malam natal yang terjadi pada tangga1 24 Desember 2000, namun kesadaran akan bahaya terorisme baru benar-benar menguat pasca kejadian Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002. Maka seiring dengan kampanye perang terorisme secara global, Indonesia memiliki kecemasan sama dengan Amerika Serikat dan ikut aktif dalam melakukan kegiatan pemberantasan terorisme.5
Awalnya pemberantasan terorisme pasca kejadian bom di kedubes Filipina dan bom natal, dilakukan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Desk yang dibentuk Menteri Pertahanan saat itu Matori Abdul Jalil ini berada diantara berbagai lembaga (Menhan, TNI, Polri). Tapi desk ini dinilai tidak efektif memberantas bibit-bibit atau anggota terorisme, dan kemudian ditambah dengan kejadian bom Bali I. Maka kemudian, dibentuklah Densus 88 yang secara khusus dibentuk dari sebagian elit anggota polisi yang memiliki keterampilan anti teror.6 3
Ibid. Zachary Abza, Militant Islam in Souhteast Asia : Damage But Still Dangerous, Lyene Rienner Publisher, Boulder-Colorado, 2003, hal.9. 5 “Country Report ogf Terrorism : Indonesian”, http://www.refworld.org/docid/51a86e8818.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2013. 6 Ibid. 4
3
Pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror ternyata tidak lepas dari keterlibatan asing. Salah satu negara dalam hal ini adalah Amerika Serikat, yang mendukung dibentuknya institusi ini dengan memberikan pelatihan secara langsung dengan mengirimkan anggota khusus dari FBI (Federal Bureau Investigation) dan CIA (Central Inteligence Agency) untuk melatih secara langsung para personel Detasemen ini. 7
Kemudian negara lainnya yang juga mendukung pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror adalah Australia. Negara ini memberikan dukungan melalui pelatihan dengan mengirimkan anggota NSA (National Security Agency) ke Indonesia untuk bergabung dalam memberikan pelatihan ke pusat pendidikan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) di Megamendung, Jawa Barat. Selain itu, pemerintah Australia juga memberikan bantuan anggaran sebesar 20 juta US Dollar kepada pemerintah Indonesia yang pada masa itu dipimpin oleh presiden Megawati Soekarnoputri.8
Dengan dukungan dana cukup kuat, ditambah asistensi dari kelompok antiteror negara lain hingga pelatihan di luar negeri, kemampuan personil Densus 88 dianggap amat kapabel dalam melakukan pemberantasan terorisme. Hal ini terbukti utamanya pasca bom JW Marriott 2009, dimana pasca tindakan terorisme tersebut, hampir semua kekuatan terorisme di Indonesia terdesak dan hanya bisa melakukan serangan parsial.
7
“Densus 88 Dilatih CIA dan FBI”, http://www.tempo.co/read/news/2013/03/08/063465848/Densus-88-Dilatih-CIA-dan-FBI, diakses pada tanggal 20 Mei 2013. 8 “Australia Beri RI 20 Juta Dollar Untuk Perangi Terortisme”, http://news.detik.com/read/2004/12/07/115452/251651/10/australia-beri-ri-20-juta-dolar-untukperangi-terorisme, diakses pada tanggal 20 Mei 2013.
4
C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : “Bagaimana dampak politik-keamanan yang ditimbulkan atas keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia ?”
D. Kerangka Teori Dalam upaya menjawab rumusan masalah dan menarik asumsi dasar, penulis menggunakan teori kepentingan nasional yang kemudian dielaborasikan dengan teori kerjasama keamanan internasional. Alasan dipilihnya pendekatan ini karena penulis menganggap bahwa teori kepentingan nasional dapat menjabarkan secara terperinci tentang dinamika dampak keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia. Gambaran mengenai pendekatan ini akan diuraikan sebagai berikut.
Konstelasi percaturan politik internasional pada era globalisasi telah bergeser ke arah keterbukaan. Artinya kejadian di suatu negara akan dapat dengan mudah memberikan dampak dalam konteks regional ataupun ke negara lain. Menurut Geofrey Underhill :
“saat ini negara menjalankan keterlibatan atas kepentingannya terhadap negara lain. Ini merupakan bagian dari ‘soft scenario’ yang berhasil menggeser pola offensif pasca era Perang Dingin, dimana negara-negara besar kerap kali berlaku semena-mena (without considering) terhadap negara berkembang dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya. Langkah ini akan terus terediksi dan nantinya keterlibatan negara-negara besar akan semakin normatif dengan tidak mengabaikan kepentingan negara berkembang.” 9
9
Geogfrey Underhill, “Keeping Government Out of Politics : Transitional Security Market, Reglatory Cooperations and Political Legitimacy”, Review of International Studies Journal, Vol IV, New York, 2002, hal.19.
5
Politik luar negeri merupakan pengejawantahan dari kepentingn nasional, sehingga antara politik luar negeri dan kepentingan nasional merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Politik luar negeri yang dijalankan melalui kontak dengan negara lain harus dijalankan melalui mekanisme rencana yang komprehensif (berketindak-lanjutan) yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman untuk menjalankan kontak dengan negara lain. Sehingga kepentingan nasional merupakan hal yang berpengaruh kuat terhadap eksistensi suatu bangsa.
Kebijakan luar negeri merupakan sarana dalam mencapai kepentingan nasional (National Interest), melalui hubungan ataupun kerjasama dengan negara lain. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain adalah kemerdekaan (Independence), integritas wilayah (Territorial Integrity), keamanan dan militer (Military Defense Security) dan perekonomian (Economic Being).10
Kepentingan nasional pada era globalisasi menjadi proposisi yang bersifat abtsrak. Geofrey Underhill menyatakan proposisinya bahwa kepentingan nasional tidak hanya berkaitan dengan politik luar negeri antar bangsa, lebih dari kepentingan nasional merupakan bagian dari upaya mempertahankan dan memperluas pencapaian kepentingan nasional itu sendiri. Masalah keamanan sebagai bagian dari pencapaian kepentingan nasional kemudian dijadikan tolok ukur diselenggarakannya kerjasama internasional. 11
Munculnya terorisme sebagai bagian dari extra ordinary crime membuat pengaruh yang sangat kuat bagi munculnya rezim anti terorisme internasional. Negara-negara adikasa, seperti halnya Amerika Serikat dan sekutunya berupaya membangun serangkaian kebijakan dalam melancarkan ‘war on terrorism’. Kasus penurunan citra dan popularitas pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan George Walker Bush menyebabkan poros negara dikuasa tidak dapat lagi menjalankan tindakan-tindakan offensifisme ataupun represifisme dan 10 11
Salisbury & Gibson, loc, cit. Geogfrey Underhill, op.cit. hal.22.
6
kerjasama bidang keamanan merupakan langkah / tindakan yang paling ideal untuk mencapai kepentingan nasional.12
Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton kepentingan nasional, terkait keputusan politik suatu negara dalam mengintervensi politik dalam negeri negara lain adalah :
“Kepentingan nasional diartikan sebagai tujuan fundamental dan determinan utama yang menjadi pedoman para pengambil keputusan (decision maker) suatu negara dalam menentukan politik luar negerinya, berupa konsepsi yang diformulasikan secara khas dari berbagai elemen yang merupakan kebutuhan yang paling vital dari suatu negara berdaulat, yaitu kemerdekaan, integritas wilayah, ekonomi, militer dan keamanan.” 13
Melalui pendekatan di atas maka dapat diketahui bahwa intervensi yang dijalankan oleh Amerika Serikat dan Australia dalam membentuk Detasemen Khusus 88 ternyata memiliki tendensi yang cukup kuat, dimana terorisme yang terjadi di Indonesia ternyata berkaitan dengan keamanan yang ada di dalam negeri masing-masing. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, terorisme di Indonesia terjalin atas jaringan-jaringan yang rapi yang memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme regional dan internasional, yaitu Jamaah Islamiyah dan kedua, banyaknya titik kepentingan secara ekonomi-politik Amerika Serikat dan Australia di Indonesia, antara lain persahaan-perusahaan pertambangan, kedutaan besar dan lain-lainnya.
12
Penurunan citra dan popularitas Amerika Serikat dan sekutunya merupakan bagian dari respon masyarakat dalam dan luar negeri karena kampanye perang terhadap terorisme melalui invasi ke Irak dan Afghanistan tahun 2003 dan pengingkaran tentang resolusi Dewan Keamanan Pbb Nomor 1551 yang ternyata gagal membawa dampak yang sangat serius pada bidang politikkeamanan Amerika Serikat. Di lain pihak ancaman terorisme menjadi persoalan serius, sehingga kerjasama dengan negara-negara dunia dalam menangani terorisme dipandang oleh Amerika Serikat sebagai solusi yang paling ideal. 13 Jack C. Plano and Roy Olton, The International Politic Dictionary, third edition, ABC Clio Publisher, Western Michigan University-California, 1982, hal.117.
7
Menurut Tom J Faree, faktor keamanan menjadi salah satu faktor yang penting bagi tingkat eksistensi suatu bangsa. Dalam konsep keamanan menurut Faree ini, terdapat faktor penting yang terbagi atas tiga hal yaitu : 14
a. Musuh permanen dan sahabat yang buruk (Permanent Enemies and Bad Friends). Musuh yang permanen dan sahabat yang buruk, identik dengan doktrin klasik yaitu jika ingin damai maka siapkan perang. Hal ini sekaligus sebagai bentuk dalam rangka mengakomodasi gejolak antara suatu negara dengan negara lainnya, faktor ini berkaitan dengan cara pandang (persepsi) suatu negara terhadap negara lain yang dinilai sebagai ancaman (Threatening) yang telah melakukan tindakan-tindakan tertentu, antara lain aneksasi, agresi dan beberapa tindakan lainnya. Jika dikaitkan dengan keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia maka kasus ini merupakan bukti bahwa sebenarnya tidak ada musuh yang abadi yang ada hanya kepentingan yang hakiki. Dalam menangani masalah terorisme yang dilancarkan oleh JI di Indonesia maka pemerintah harus menjalankan kerjasama dengan negara Barat dengan alasan utamanya karena adanya persamaan kepentingan diantara kedua belah pihak.
b. Faktor keamanan militer (Military Security Factor). Faktor keamanan dan militer merupakan hal yang penting bagi eksistensi dan stabilitas suatu negara. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan bahwa negara yang mempunyai kualitas dan kuantitas alutista (peralatan utama sistem persenjataan) cenderung memegang hegemoni dan mampu memiliki posisi tawar (Bargaining Positions) yang tinggi. Jika dikaitkan dengan keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia, maka faktor 14
Tom J Faree, On a Coallision dalam Sidiq Jamika, Amerika Serikat Penghambat Demokrasi : Membongkar Standar Ganda Amerika Serikat, Biagraf, Yogyakarta, 2001. hal 156157
8
keamanan militer merupakan salah satu alasan dari negara-negara Barat untuk mewujudkan keamanan di Indonesia. Pada prinsipnya keterlibatan negara-negara Barat tersebut dapat menganggu kedaulatan Indonesia karena secara prinsipil masalah keamanan merupakan hal yang bersifat sensitif. Meskipun demikian terorisme yang telah berkembang menjadi masalah keamanan yang sangat serius (extra ordinary crime) menjadikan para pembuat kebijakan di Indonesia bersikap terbuka dan kooperatif dengan negara-negara Barat. Tujuannya agar keamanan regional dan keamanan dapat tercapai.
c. Faktor keamanan ekonomi (Economic Security Factor). Faktor keamanan ekonomi merupakan faktor yang
penting karena
melalui faktor inilah keberadaan kemajuan dan pembangunan suatu bangsa dijalankan, faktor keamanan ekonomi suatu negara dalam hal ini mencakup keamanan perekonomian makro dan mikro antara lain perdagangan internasional, pengelolaan aset dan sumber daya negara dan beberapa aspek lainnya. Jika dikaitkan dengan keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia maka ini menjadi relevan karena adanya perbedaan karakteristik di kedua negara yang memang berbeda. Di satu sisi Amerika Serikat dan Australia merupakan negara dengan kapasitas ekonomi-militer yang besar dan di sisi lain Indonesia sebagai negara berkembang mengalami berbagai keterbatasan dalam faktor anggaran, teknis dan lain-lainnya. Untuk itulah peran dari negara-negara Barat menjadi begitu penting dalam menangani masalah terorisme yang dilancarkan oleh JI di Indonesia.
Proposisi di atas dapat dijelaskan bahwa setiap campur-tangan (intervensi) asing ternyata menyebabkan konsekuensi yang luas bagi dinamika politik suatu negara. Pada era Perang Dingin (cold war) intervensi suatu negara terhadap negara lain di dominasi oleh kekuatan negara adikuasa dalam mengontrol negara-
9
negara satelitnya, namun konsep ini ternyata tidak berlangsung lama karena menghadapi milenium ketiga konstelasi politik internasional semakin berubah.
Terorisme yang berkembang di Indonesia ternyata tidak hanya melingkupi wilayah kedaulatan Indonesia saja, namun operasionalnya hingga ke wilayah Asia Tenggara. Keberadaan JI (Jamaah Islamiyah) yang berpakan cikal-bakal dari NII (Negara Islam Indonesia) bersama-sama dengan faksi-faksinya ternyata menjadikan wilayah Indonesia sebagai operasional, pelatihan, sekaligus penggalangan dana. Tujuan JI yang berupaya menggantikan NKRI dengan hukum Islam ternyata banyak berbenturan dengan kepentingan nagara adikuasa, khususnya Amerika Serikat dan Sekutunya. 15
Banyaknya aset dan fasilitas asing negara adikuasa di Indonesia kemudian menjadi titik temu antara kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat bersama dengan sekutunya. Inilah yang menjadi dasar dari kerjasama diantara kedua belah yang dimaksudkan untuk mendukung kepentingan nasional pada aspek politikkeamanan. Jika dikaitkan dengan proposisi yang dikemukakan oleh KJ. Holsti maka setiap negara mempunyai kepentingan nasional masing-masing sesuai dengan kebutuhan nasional. Dalam memenuhi kebutuhannya tiap-tiap negara tentunya harus saling mengadakan hubungan dengan negara lainnya yang terwujud dalam suatu kerjasama. Seperti halnya teori kerjasama yang dikemukan oleh K.J. Holsti, yaitu:
“...Sebagian transaksi dan interaksi antar negara dalam sistem internasional sekarang ini bersifat rutin dan hampir bebas dari konflik. Berbagai jenis masalah nasional, regional dan global bermunculan dan memerlukan perhatian dari berbagai negara. Dari banyak kasus yang terjadi pemerintah saling berhubungan atau melakukan pembicaraan mengenai masalah yang dihadapi, mengemukakan berbagi bukti teknis untuk menolong permasalahan tertentu, mengadakan beberapa perjanjian
15
Amy Zalman, “Jamaah Islamiyah”, http://terrorism.about.com/od/groupsleader1/p/Jemaah_Islamiya.htm, diakses pada tanggal 29 September 2013.
10
yang memuaskan bagi semua pihak, proses ini biasanya kerjasama (collaboration)”. 16 Pada umumnya perjanjian kerjasama internasional yang dilakukan dalam upaya penanganan jaringan internasional narkotika dan psikotropika ini dengan cara : 17 1. Pemutusan jalur distribusi yang dapat dicegah pada negara transit itu sendiri. 2. Dengan pelatihan terhadap sumber daya manusia yang terlibat secara represif atau dalam penegakan hukum. 3. Kerjasama dalam bentuk bantuan dana dalam upaya penanganan masalah tersebut. 4. Kerjasama dalam tukar menukar informasi.
Jika dikaitkan dengan bentuk kerjasama antara Amerika Serikat, Australia dan Indonesia dalam menangani terorisme maka sebenarnya bentuk-bentuknya tidak lepas dari skema di atas. Karakter dua pihak yang berbeda membuat kerjasama berjalan dengan tidak seimbang. Sehingga kerjasama juga mengarah ke bentuk-bentuk kerjasama teknis, pelatihan hingga bantuan anggaran. Hal ini tentunya membawa dampak positif dan negatif.
Keterlibatan asing (Amerika Serikat dan Australia) dalam menangani masalah terorisme di Indonesia ternyata membawa dampak pada bidang politik dan keamanan. Kedua hal ini memang tidak bisa dipisahkan dalam kasus penanganan terorisme di Indonesia, karena pertama, terorisme merupakan bentuk ancaman serius bagi pertahanan-keamanan Indonesia yang karakteristiknya berbeda dengan kejahatan lainnya sehingga terorisme sering diklaim sebagai ‘extra ordinary crime’, kedua, penanganan terorisme di Indonesia memerlukan serangkaian dukungan kebijakan tidak hanya mengedepankan tindakan-tindakan 16
K.J. Holsti, Politik Suatu Kerangka Analisis, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 650. Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Kejahatan :Luar Biasa Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999, hal. 34. 17
11
teknis semata dan ketiga, keterlibatan asing dalam mendukung penanganan terorisme di Indonesia masih sangat diperlukan karena jaringan terorisme yang ada di Indonesia tidak hanya berada di tanah air, namun juga berkembang dalam konteks regional. 18
Seperti halnya intervensi / campur tangan asing lainnya, keterlibatan asing dalam mendukung penanganan terorisme di Indonesia memberikan dampak secara langsung pada politik dan keamanan, baik dampak positif ataupun negatif, namun bagaimanapun juga partisipasi asing masih terus tetap dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ansyaad Mbai ketua Desk Anti Teror Republik Indonesia yang menyatakan bahwa : ‘...langkah pemerintah tidak akan maksimal tanpa dukungan masyarakat Indonesia secara luas. Munculnya dampak negatif atas keterlibatan asing memang ada, meskipun demikian kita harus dapat berpikir secara jernih karena terorisme di Indonesia memang harus secara serius dan cepat ditangani dan tentunya kita harus menentukan skala prioritas atas, tidak semata-mata pertimbangan untung dan rugi.”
Melalui paparan teori di atas maka dapat diaplikasikan bahwa dampak keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia adalah meningkatnya kapasitas rezim anti teror di Indonesia sehingga secara efektif dapat menangani perkembangan terorisme melalui deteksi dini dan penindakan (direct action). Tidak dapat dipungkiri bahwa penanganan terorisme memerlukan tindakan yang khusus yang membutuhkan skill, teknis dan anggaran yang besar. Untuk itulah, keterlibatan Amerika Serikat dan Australia memiliki peranan penting untuk memperkuat kapasitas rezim anti teror nasional di Indonesia.
Keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror ini ternyata juga menyebabkan dampak negatif, yaitu menurunnya 18
Ansyaad Mbai, “Solidaritas Regional dan Internasional, Serta Implikasinya Terhadap Penanganan Terorisme di Indonesia”, Media Indonesia, 24 November 2010.
12
kedaulatan Indonesia dalam mewujudkan keamanan karena adanya tekanantekanan yang dijalankan oleh asing, serta adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan terorisme. Isu pelanggaran HAM menjadi permasalahan yang serius sebagai contoh adalah indikasi pelanggaran HAM karena menurut pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Cakupannya ialah hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dicabut dan ditunda pemenuhannya dalam situasi apapun (non-derogable rights). Penekanan
masalah
HAM
menjadi
penting
dalam
menyikapi
proses
pemberantasan terorisme di Indonesia.
Dengan demikian maka dapat diasumsikan bahwa keterlibatan asing terhadap pembentukan Detasemen Khusus 88 ternyata membawa dampak pada bidang politik dan keamanan. Di satu sisi partisipasi negara adikuasa dapat meningkatkan kapasitas rezim anti terorisme di Indonesia dalam konteks politik dan keamanan, namun di sisi lain juga terdapat dampak negatif yaitu kasus kedaulatan dan pelanggaran HAM, baik pada mekanisme deteksi dini, penindakan ataupun penegakan hukum.
E. Asumsi Dasar Melalui uraian analisa pada kerangka teori di atas maka dapat ditarik asumsi dasar bahwa dampak keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia, meliputi dua hal yaitu : a. Dampak positif, yaitu meningkatnya kapasitas rezim anti teror di Indonesia sehingga secara efektif dapat menangani perkembangan terorisme melalui deteksi dini dan penindakan (direct action). b. Dampak
negatif,
yaitu
menurunnya
kedaulatan
Indonesia
dalam
mewujudkan keamanan karena adanya tekanan-tekanan yang dijalankan oleh asing, serta adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan terorisme.
13
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan sifat data yang sekunder yaitu metode kualitatif yaitu sebuah metode analisa datadata yang sifatnya non-angka, data-data ini berupa pernyataan, berita, laporan. Jika terdapat tabel, skema dan diagram yang sifatnya kuantitatif, hal ini hanya untuk memperkuat deskripsi analisa saja, dan bukan merupakan hasil akhir.19 Sementara teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan (library research). Menurut Sutrisno Hadi, studi kepustakaan adalah sumber kepustakaan yang penting karena didalamnya terdapat kondensasi (kumpulan) dari sebagian terbesar penyelidikan yang pernah dilakukan orang. 20
Teknik analisis data yang digunakan didalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk menggambarkan situasi yang dipandang relevan secara obyektif dan jelas atas dasar fakta-fakta yang terjadi untuk kemudian diambil kesimpulan.
Data-data yang telah dikumpulkan merupakan data-data sekunder, yang artinya dalam penulisan ini penulis tidak menjalankan observasi (penelitian) langsung namun lebih mengacu pada sumber-sumber yang telah ada, yang diolah melalui studi kepustakaan (Library Research). Data-data dikumpulkan dan diolah melalui : 1. Buku-buku 2. Surat Kabar dan Majalah 3. Jurnal Sosial Politik dan Artikel 4. Internet (Web Site).
19
Catherine Cassel and Gillian Symon (editor), Qualitative Methods in Organizational Research, Sage Publications, London, 1994, hal.3-4. 20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research 1, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1984, hal. 57.
14
G. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia. 2. Memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan spesialisasi Program Studi Hubungan Internasional.
H. Jangkauan Penelitian Jangkauan dalam penelitian ini adalah pada tahun 2004 hingga 2012. Dipilih tahun 2004 karena menjadi tahun pendirian Detasemen Khusus 88, sedangkan tahun 2012 menjadi tahun yang menunjukkan berbagai operasi yang dilakukan oleh institusi ini, termasuk berbagai kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM. Upaya pembatasan masalah ini dimaksudkan agar di samping penulis dapat tetap terfokuskan perhatiannya, juga agar membantu penulis dalam melakukan pengumpulan data. Jangkauan di luar tahun tersebut sedikit disinggung selama masih ada keterkaitan dan kerelevansian dengan tema yang sedang dibahas.
I. Sistematika Penulisan Dalam penulisan bab-bab selanjutnya, penulis akan membagi pembahasan ke dalam lima bab, dengan perincian masing-masing bab sebagai berikut :
BAB I merupakan bab pendahuluan yang berisikan alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori, asumsi dasar, metode penelitian, teknik pengumpulan data, tujuan dan manfaat penelitian, jangkauan penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II merupakan bab yang membahas tentang dinamika terorisme di Indonesia, meliputi jaringan, perkembangan dan berbagai aksi yang dilancarkan serta melihat respon masyarakat nasional maupun internasional.
15
BAB III merupakan bab yang membahas tentang pembentukan Detasemen Khusus 88 Kepolisian Republik Indonesia, meliputi dukungan asing, yaitu Amerika Serikat dan Australia terhadap institusi ini.
BAB IV merupakan bab yang membahas tentang pembuktian asumsi dasar dari penelitian ini, yaitu dampak keterlibatan asing terhadap penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia.
Bab IV merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari uraian pembahasan bab-bab sebelumnya.
16