BAB I PENDAHULUAN
A.
Alasan Pemilihan Judul Suatu keniscayaan bahwa dalam penyelesaian suatu konflik sengketa
khususnya sengketa hukum diperlukan adanya penyelesaian yang pasti untuk menentukan kebenaran. Dengan berkembangnya teknologi transportasi maupun telekomunikasi maka seiring pula interaksi transnasional yang terjadi. Artinya, interaksi dalam konteks perbuatan hukum pun berkembang tidak hanya di dalam atau antara subjek yang berada pada wilayah Negara yang sama tetapi juga memungkinkan melewati batas teritorial tersebut. Dalam cakupan konflik yang berlangsung antara para pihak yang bersengketa dengan subjek hukum sama-sama berasal
dari suatu tertorial Negara yang sama, seperti yang diketahui telah
memiliki payung hukumnya sendiri. Begitu pun sebenarnya ketika para subjek hukum yang bersengketa berasal dari teritorial Negara yang berbeda. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa interaksi transnasional mulai berkembang. Oleh karena itu, perlu untuk diperhatikan ketika timbul persoalan hukum. Persoalan hukum berkaitan dengan hukum dari Negara mana yang akan diberlakukan dalam suatu peristiwa hukum yang melibatkan subjek dari Negara yang berbeda. Mengacu pada sengketa yang memposisikan para pihak pada wilayah yurisdiksi Negara berbeda, maka solusi yang diterapkan adalah seputar ruang lingkup
1
Conflict of Laws1 (Hukum Perdata Internasional). Itulah alasan hadirnya Hukum Perdata Internasional sebagai jawaban penyelesaian sengketa yang mengandung unsur asing (foreign element)2. Adapun terdapat tahap-tahap yang harus ditempuh dalam penyelesaian perkara Hukum Perdata Internasional (HPI). Secara umum tahap-tahap tersebut yakni, pertama, penentuan apakah sebuah perkara termasuk perkara HPI atau bukan berdasarkan hukum tempat perkara diperiksa (lex fori) dan ada tidaknya kewenangan mengadili; kedua, kualifikasi terhadap perkara HPI tersebut (qualification of facts) dengan menggunakan hukum tempat perkara diperiksa (lex fori); ketiga, penentuan tentang hukum mana yang harus berlaku bagi perkara HPI; keempat, setelah hukum yang harus diterapkan (lex causae) ditentukan, akan dilihat apakah menurut lex causae titik-titik taut yang ada selanjutnya menunjuk lex fori, lex causae, atau hukum asing lain sebagai hukum yang harus diberlakukan; kelima, setelah ditentukan hukum Negara mana yang harus berlaku menurut lex causae, barulah masalah diselesaikan dengan putusan in concreto; dan yang terakhir, pelaksanaan/ eksesusi putusan3. Berangkat dari tahap-tahap penyelesaian tersebut, ketika telah ditentukan bahwa suatu perkara memang benar-benar
perkara HPI, maka dilakukanlah
kualifikasi. Kualifikasi atau sering juga disebut characterization; classification; atau interpretation4 sebenarnya adalah melakukan “translation” atau “penyalinan”
1
“The terms Conflict of Laws describes generally the body of law that aspires to provide solutions to international or interstate legal disputes between persons or entities other than countries or states as such…”. Peter Hay, Patrick Borchers, Symeon Symeonides. Conflict of Laws, Fifth Edition, h. 1. 2 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1983, h. 7. 3 Arie Siswanto. Bahan ajar kelas Hukum Perdata Internasional, FH UKSW. 4 Black’s Law Dictionary, Ninth Edition. Lihat: characterization
2
dari fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum5. Pada tahapan kualifikasi ini, ada pula 2 (dua) jenis kualifikasi yakni kualifikasi hukum (qualification of law) dan kualifikasi fakta (qualification of facts). Kualifikasi hukum melalui penggolongan berdasarkan kriteria sistematis yang sudah ada, sementara kualifikasi fakta melalui penggolongan fakta-fakta ke dalam satu atau lebih peristiwa hukum6. Berbicara mengenai kualifikasi, maka terdapat 5 (lima) teori kualifikasi. Di antaranya adalah kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae, kualifikasi secara otonom / analitik, kualifikasi secara bertahap, dan kualifikasi hukum perdata internasional7. Problematika yang kemudian muncul jika ternyata tidak ada klausul pilihan hukum dalam kontrak. Jawabannya pula ada dalam ruang lingkup Conflict of Laws bahwa pada tahap berikutnya setelah kualifikasi terhadap perkara itu (qualification of facts) ialah penentuan hukum mana yang harus diberlakukan. Menjadi menarik ialah terkait teori kualifikasi yang mana pada penulisan ini menitikberatkan pada kualifikasi menurut lex causae. Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara. Menurut Sunaryati Hartono, dalam hal kualifikasi berdasarkan lex causae, kesulitan mungkin akan timbul jika sistem asing tertentu ternyata tidak memiliki sistem kualifikasi yang cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga hukum yang
5
S. Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h. 119. Ibid., h. 119-120 – dilihat secara umum. 7 Ibid., h. 124-125. 6
3
sedang dihadapi dalam perkara8. Dengan demikian, menjadi menarik ketika teori kualifikasi lex causae digunakan dalam suatu penyelesaian perkara. Telah dikatakan sebelumnya bahwa hakekat HPI selain berkaitan dengan penunjukan, juga dengan foreign elements. Ketika berbicara mengenai foreign elements maka forum yang menghadapi suatu perkara sehubungan dengan HPI tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yaitu salah satunya bahwa lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Alasan mengapa lex fori tidak otomatis harus diberlakukan ialah karena ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem hukum yang relevan, yang seharusnya atau lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Apalagi ketika sistem hukum yang ditunjuk/ dipilih (lex causae-nya) masih lebih mengakomodir fakta-fakta hukum suatu perkara. Itulah yang dimaksudkan akan pentingnya lex causae. Dengan demikian, tidak terpaku apakah perkara telah terjadi jauh di waktu yang lalu sehingga dipertanyakan relevansi lex causae dengan suasana dan atmosfer masa sekarang, lex causae mempunyai peran penting. Berangkat dari lex fori yang tidak secara otomatis diberlakukan, hakim tidak dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja sehingga harus memperhatikan pula cakupan peristiwa/ hubungan hukum sejenis dari suatu sistem hukum lain. Kemudian, hubungannya dengan kebutuhan dalam menentukan sistem hukum yang seharusnya dan lebih tepat, maka penentuan lex causae masih berperan penting hingga kini.
8
Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h.
103.
4
Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa lex causae masih dianggap penting padahal dalam kasus ini putusan sudah in concreto. Memang pada dasarnya ketika putusan sudah in concreto maka secara tersirat lex causae telah ditentukan. Namun, menurut penulis titik fokus terkait lex causae, yang tidak kalah pentingnya ialah bagaimana proses dan perjalanan hingga pada akhirnya lex causae ditentukan hubungannya dengan penggunaan prinsip dan kaidah hukum perdata internasional. Adapun kasus yang akan mennjadi acuan ketika membahas mengenai penggunaan asas hukum perdata internasional (HPI) untuk menentukan Lex Causae. Kasus yang dimaksud adalah Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
Usaha Penulis untuk melakukan penelitian ini dan menemukan jawabanjawaban
atas
pertanyaan-pertanyaan
penggunaan
asas
Hukum
Perdata
Internasional berkaitan dengan kasus tersebut sehingga itu juga yang telah menjadi alasan mengapa Penulis memilih Judul: Penentuan Lex Causae dalam kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
Sedangkan alasan selanjutnya, Penulis memilih judul sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah bahwa “subject matter” asas HPI khususnya dalam penentuan Lex Causae pada kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) belum terlalu (kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali) dikaji secara ilmiah dalam skripsiskripsi di FH UKSW sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi yang pertama
5
membicarakan secara khusus mengenai penggunaan asas HPI untuk menentukan Lex Causae sehubungan dengan kasus tersebut. B.
Latar Belakang Masalah Mengingat betapa pentingnya Hukum Perdata Internasional dalam
kerangka penyelesaian sengketa antara para pihak yang berada dalam yurisdiksi berbeda, maka turut menjadi penting hubungannya dengan lex causae. Pada hakekatnya Hukum Perdata Internasional merupakan “penunjukan”. Penunjukan dalam artian kaedah atau norma manakah yang nantinya akan diberlakukan terhadap suatu konflik atau sengketa yang melibatkan entitas hukum dari teritorial Negara yang berbeda. Penunjukkan yang dimaksud ini tentu berdasarkan maupun dilihat dari titik-titik taut primer. Titik-titik taut primer tersebut antara lain 1) Kewarganegaraan pihak yang terkait dalam perkara; 2) Domisili pihak yang terkait dalam perkara; 3) Letak/ tempat kedudukan (situs) benda tetap; 4) Bendera kapal asing sebagai petunjuk “kewarganegaraan” kapal; 5) Tempat suatu perbuatan
dilakukan
(locus
actus),
perkawinan
diselenggarakan
(locus
celebrationis), atau kontrak dibuat (locus contractus); 6) Tempat di mana akibat perbuatan timbul (locus solutionis); 7) Pilihan hukum (choice of law); 8) Tempat di mana perbuatan resmi dilakukan, termasuk tempat di mana gugatan perkara diajukan (forum) 9. Sehubungan dengan definisi Hukum Perdata Internasional, maka inilah pengertian menurut para ahli. 10
9
S. Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bab II tentang Titiktitik Pertalian, 1987. 10
Hardjowahono, Op.Cit., h. 7-8
6
R. H. Graveson berpendapat bahwa: “Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.”
Sudargo Gautama dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, mendefinisikan HPI sebagai: “… keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubunganhubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stetsel-stetsel dan kaidahkaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal.”
Berpijak dari pengertian-pengertian tersebut, maka terdapat beberapa ciri pokok antara lain sistem hukum maupun forum yang bersangkutan. Artinya, terdapat pula hukum lain (foreign law) dalam hubungannya dengan HPI. Oleh karenanya, melihat pluralitas sistem hukum dalam HPI maka dalam sebuah perkara hakim perlu menentukan lex causae. Penentuan yang dimaksud ini dilakukan dengan memperhatikan titik-titik taut dan juga kaitannya pada teori kualifikasi. Selain seperti yang telah diungkapkan mengenai pluralitas sistem hukum, ada pula pluralitas forum dalam hubungannya dengan HPI. Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut. Pertama ialah titik-titik taut primer (Primary Points of Contact), yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum ini mengandung unsur-
7
unsur asing (foreign elements) dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern/ domestik semata. Kedua ialah titik-titik taut sekunder (Secondary Points of Contact), yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam penyelesaian suatu perkara11. Adapun teori kualifikasi sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, yakni kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae, kualifikasi secara otonom / analitik, kualifikasi secara bertahap, dan kualifikasi hukum perdata internasional. Pada kasus Kartika Tahir terdapat argumen-argumen yang sama-sama saling membantah dan menanggapi sehubungan dengan penggunaan asas hukum perdata internasional. Argumen-argumen tersebut juga yang merupakan poin-poin penting ketika sang hakim membuat pertimbangannya. Dengan justifikasi yang diberikan oleh para pihak untuk meyakinkan para hakim, maka bisa dilihat dan dicermati apa yang menjadi alasan dibalik pertimbangan hakim sedemikian. Fakta dari kasus tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut. Haji Achmad Thahir atau yang lebih dikenal dengan H. Thahir adalah nama yang cukup populer di tahun 1975-an. Di masa kepresidenan Soeharto, H. Thahir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang saat bersamaan Pertamina dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Sepeninggal H. Tharir pada tanggal 23 Juli 1976, menimbulkan kontroversial di dunia hukum, sebab ternyata 11
Ibid., h. 84 & 87
8
H. Tharir memiliki simpanan rekening di Bank Sumitomo Singapura bernilai 153 milyar rupiah. Kartika yang merupakan istri keempat dari H. Thahir mengakui bahwa harta simpanan di Bank Sumitomo tersebut adalah harta bersama dengan H. Thahir (joint account). Namun, sebelum Kartika datang, ternyata Ibrahim Thahir bersama empat saudaranya yang merupakan anak H. Thahir dari istri pertamanya sudah lebih dahulu meminta uang tersebut diblokir. Hal ini memang belum cukup menampakkan adanya kepastian, sebab pada 6 Nopember 1975, lebih dari setahun seteleh pembukaan rekening, H. Thahir meminta pihak Bank Sumitomo mentransfer semua rekeningnya ke dalam rekening bersama (and/or) ThahirKartika. Dan pada 11 Nopember 1975, Sumitomo meminta rekonfirmasi perihal transfer tersebut, hingga pada 23 Juli 1976 H. Thahir meninggal dunia dan tidak pernah memberikan jawaban atas rekonfirmasi dari Bank Sumitomo. Belakangan, dua saudara tiri Ibrahim Thahir dari istri kedua ayahnya ikut bergabung dengan Ibrahim Thahir. Karena ketidakjelasan siapa yang berhak atas simpanan uang tersebut, Bank Sumitomo melimpahkan permasalahan itu ke Pengadilan Tinggi Singapura untuk menentukan kepada siapa ia akan memberikan uang itu apakah kepada Kartika atau anak tiri dari H. Thahir. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia (Pertamina) tidak tinggal diam menyikapi kasus ini, sebab diduga harta simpanan tersebut adalah hasil korupsi H. Thahir yang berasal dari Komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yang tidak disetor ke dalam keuangan Pertamina. Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu Siemens, Klockner, dan Ferrosthal. Akhirnya, Indonesia membentuk tim yang
9
diketuai oleh L.B. Moerdani yang beranggotakan Letnan Kolonel Teddy Rusdy, Soehadibroto (Kejaksaan Agung), Dicky Turner (Pertamina) dan Albert Hasibuan (pengacara). Tim ini bertugas mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kembali ke negara. Kasus ini diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Singapura, meskipun sesungguhnya masing-masing pihak yang bersengketa adalah warga negara Indonesia, namun objek sengketanya berada di Singapura. Dan Singapura tentu paling tidak memliki kepentingan atas kasus ini. Penyelesaian kasus ini berkaitan dengan ada atau tidaknya choice of forum dan choice of law. Selain itu, penyelesaian sengketa ini juga berkaitan dengan choice of law atau pilihan hukum. Choice of law menentukan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Pada kasus ini unsur asing tersebut adalah Indonesia dari sisi pihak penyimpan dana (Thahir), anak-anak Thahir, dan Pemerintah Indonesia yaitu dalam hal ini Pertamina. Hingga pada akhirnya, setelah 16 tahun perkara ini berlangsung, pada 3 Desember 1992, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Lai Kew Chai memutuskan bahwa Pertamina berhak atas uang deposito H. Thahir yang jumlahnya sekitar 78 juta dollar yang berkembang dari 35 juta dollar di tahun 197612. Fakta hukum terkait putusan ini berangkat dari putusan high court sebelumnya. Tetapi, dalam hal ini Pertamina yang mengajukan gugatan atas beberapa deposit Tahir. 12
Isunya berangkat dari putusan sebelumnya yang
http://arsyadshawir.blogspot.com/2013/03/penyelesaian-kasus-sengketa-simpanan-
h.html
10
menyatakan Pertamina tidak memiliki hak untuk mengklaim deposit yang dimaksud. Para hakim menemukan bahwa pertamina telah gagal untuk membuktikan. Oleh karena itu, timbulah setidaknya 4 (empat) isu yaitu 1) apakah harus ada klaim kepemilikan; 2) apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum manakah yang mengatur (the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina merupakan hal terkait kepemilikan. Berangkat dari isu-isu tersebut, maka yang menjadi konsern penulis yaitu pada isu ketiga mengenai hukum mana yang seharusnya mengatur. Dengan melihat uraian serta khususnya berkaitan dengan fakta hukum yang ada, ternyata akhirnya hakim memutuskan hukum (lex causae) yang digunakan ketika tidak adanya pilihan hukum (choice of law) pada kasus tersebut adalah hukum Singapura. Oleh karenanya, di balik pertimbangan hakim dalam penentuan lex causae inilah yang merupakan latar belakang penelitian penulis. Pada akhirnya akan dikaji penggunaan prinsip atau asas Hukum Perdata Internasional mengenai pertimbangan penentuan tersebut. Sedikit mengulas yang akan menjadi penelitian Penulis, pada putusan tersebut terdapat kaedah yang menjadi pedoman penting dalam menentukan lex causae. Hal yang dimaksud tersebut ialah Rule 201. Hakim secara jelas menggunakan doktrin sebagai sumber HPI yang otoritatif di dalam menentukan lex causae. Rule 201 dalam hal ini sebetulnya bukan merupakan suatu kaedah peraturan (jika yang dimaksudkan seperti undang-undang), namun merupakan doktrin yang dimunculkan Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th Ed. 1993). Dalam Rule 201 mengandung unsur titik taut di mana penentuan lex causae bisa dilihat dari berbagai kategori, yaitu, bahwa hukum yang pantas diberlakukan
11
adalah hukum yang tepat dari kontrak ketika kewajiban timbul sehubungan dengan kontrak; berdasarkan objek seperti jika transaksi mengenai sebuah benda tak bergerak (misalnya: tanah);
kemudian, bahwa kewajiban muncul dalam
keadaan lain (in any other circumstances), hukum yang tepat adalah hukum negara di mana tindakan memperkaya diri itu terjadi. Nanti bisa dilihat bahwa alasan dibalik mengapa sistem hukum Singapura yang ditunjuk ialah karena Singapura merupakan negara di mana tindakan memperkaya terjadi (enrichment occurs). Paling tidak bunyi dari doktrin Rule 201 adalah sebagai berikut. Rule 201 (1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another person’s expense is governed by the proper law of the obligation. (2) The proper law of the obligation is (semble) determined as follows: (a) If the obligation arises in connection with a contract, its proper law is the proper law of the contract; (b) If it arises in connection with a transaction concerning an immovable (land), its proper law is the law of the country where the immovable is situated (lex situs); (c) If it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the country where the enrichment occurs.
Rule 201 poin ketiga secara tegas telah menjelaskan dan memberi petunjuk bahwa hukum mana yang akan diberlakukan ketika dikaitkan dengan putusan ini. Dikatakan bahwa hukum yang tepat ialah hukum negara di mana tindakan memperkaya terjadi atau dilakukan. Indonesia merupakan negara di mana H.Tahir melakukan tindakan memperkaya diri. Dengan demikian secara singkat dikatakan bahwa hukum Indonesia yang menjadi lex causae. Namun, apakah hanya masalah
12
hukum negara di mana tindakan memperkaya dilakukan lantas lex causae langsung ditentukan. Proses dan perjalanan menuju arah itulah yang sebetulnya lebih difokuskan demi ditemukannya tepatnya kesesuaian dengan kaedah dan prinsip hukum perdata internasional.
C.
Rumusan Masalah Dari pemaparan di atas, maka Penulis merumuskan permasalahan
mengenai hal tersebut sebagai berikut : Apa dasar pertimbangan hakim menentukan hukum Singapura sebagai lex causae-nya? Teori kualifikasi apakah yang diterapkan oleh hakim dalam perkara ini?
D.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat untuk meneliti beberapa hal, dengan tujuan yang ingin
dicapai adalah mengetahui bagaimana pertimbangan hakim terkait penggunaan asas Hukum Perdata Internasional untuk menentukan Lex Causae dalam kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).
13
E.
Metode Penelitian Metode penelitian dalam tulisan ini adalah metodologi penelitian hukum. 1. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif, dimaksudkan sebagai penelaah dalam tataran konsepsional tentang arti dan maksud putusan berkaitan dengan kasus Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina. Pendekatan yuridis normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan. 13 Di katakan pasti karena secara logis hukum, penelitiaan hukum normative didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum yang ada14. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian eksploratif15. Pada dasarnya penelitian ini dilaksanakan untuk menggali pertimbangan hakim dalam menentukan Lex Causae pada kasus Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). .
13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, h. 23. 14 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitihan Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006, h. 301. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, h. 50
14
3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder, berikut akan di uraikan penjelasan mengenai sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini. Data hukum sekunder terbagi menjadi 2 (dua), yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer, antara lain: Putusan Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
Bahan hukum sekunder, antara lain: buku-buku terkait; jurnal; artikel dan sumber data lain yang relevan. Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan. 4. Unit Amatan dan Unit Analisis Unit amatan dalam penelitian ini adalah putusan Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992. Sedangkan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah
dasar pertimbangan hakim dalam menentukan lex causae pada putusan Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
15