BAB 1 PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan permasalahan yang baru, ia telah terjadi sejak dulu. Namun, sayangnya sampai saat ini baik pemerintah maupun lembaga sosial dan masyarakat masih belum bisa mencegah dan menghentikan permasalahan ini. Adapun undang-undang yang dibuat oleh pemerintah untuk menekan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga dirasa belum cukup untuk menekan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yaitu undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah hanya bersifat mencegah dan tidak cukup untuk menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. Sulitnya mengatasi permasalahan ini dikarenakan budaya patriarki yang telah melekat pada masyarakat Indonesia dimana laki-laki cenderung superior dan perempuan diposisikan inferior dalam bentuk peran dan keberadaannya. Adanya budaya patriarki ini membuat perempuan selalu menjadi korban dan sulit untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami karena dianggap tabu. Ini rumit untuk diselesaikan karena baik masyarakat maupun pemerintah tidak melihat permasalahan ini dari dua sisi, melainkan hanya dari satu sisi
1
saja yaitu sisi korban (perempuan). Seringnya program pendampingan hanya dilakukan kepada korban sedangkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak tersentuh. Rifka Annisa Woman Crisis Centre merupakan salah satu LSM di DIY yang memberikan program pelibatan laki-laki, di mana para pelaku kekerasan didampingi agar tidak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Program pelibataan ini dilakukan guna mencegah terulangnya tindak kekerasan serupa, mengingat hampir 90% dari korban kekerasan dalam rumah tangga kembali kepada suami1. Atas dasar tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana perspektif laki-laki terhadap kekerasan dalam rumah tangga dimana selama ini permasalahan tersebut hanya dilihat dari perspektif perempuan (korban). Dengan mengetahui perspektif laki-laki yang sebagian besar menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, mengetahui mengapa atau sebab-sebab laki-laki melakukan kekerasan, usaha-usaha untuk mencegah dan menekan angka tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat tepat sasaran. Judul penelitian ini adalah Kekerasan Rumah Tangga dalam Kacamata Laki-laki di Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Yogyakarta (Studi program pelibatan laki-laki di LSM Rifka Annisa Woman Crisis Center pada kasus kekerasan rumah tangga). Judul tersebut dipilih oleh peneliti karena 1
http://www.rifka-annisa.or.iddiakses pada tanggal 20 Mei 2013. Rifka Annisa merupakan lembaga non government yang concern terhadap kesetaraan gender dan kekerasan perempuan.
2
mengingat bahwa kekeasan rumah tangga hingga saat ini belum terpecahkan sehingga peneliti tertarik untuk menelitinya lebih dalam. Adapun penelitian ini dilihat dari sisi subjektif laki-laki, dimana sosok laki-laki selama ini dianggap sebagai sosok pelaku didalam tindak KDRT. Peneliti berpendapat bahwa antara perempuan dan laki-laki didalam tatanan budaya patriarki samasama dirugikan atas tatanan yang ada. Sedikitnya penelitian yang memandang hal tersebut dari sisi subjektifitas laki-laki. Berangkat dari program di Rifka Annisa WCCyang memang concern terhadap ketidak adilan gender yang salah satunya adalah menangani KDRT, peneliti meneliti lebih lanjut konsep-konsep kekerasan yang dibawa oleh Rifka Annisa. Konsep kekerasan yang dibawa Rifka Annisa tersebut dirasa masih berpihak pada satu sisi yaitu perempuan. Adapun kelompok binaan Rifka Annisa di Kelurahan Cokrodiningratan yaitu Huriya Maisya dan Mitra Keluarga yang menerapkan konsep-konsep kekerasan Rifka Annisa dalam kegiatannya. Peneliti menemukan adanya irisan antara konsep kekerasan yang dibawa oleh Rifka Annisa dengan masyarakat, khususnya laki-laki. Maka dari itu peneliti mencoba mengkrangkai lebih lanjut bagaimana laki-laki memaknai kekerasan dalam rumah tangga.
B. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan berfokus pada tiga konsentrasi, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Kebijakan dan Coorporate
3
Social Responsibility (CSR). Di mana penanganan dari berbagai macam masalah pembangunan masyarakat dan masalah sosial yang bersifat mencegah, rehabilitasidan membangun. Yang membedakannya dengan keilmuan sosial yang lain adalah objek formalnya yakni masyarakat. Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan atau Jurusan Ilmu Sosiatri memandang masyarakat atau manusia dari kekurangan serta kebutuhan hidup agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya (sejahtera). Maka penelitian ini dapat dikatakan relevan dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan kerena dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang ada di masyarakat (masalah sosial), hal tersebut dijelaskan dimana permasalahan sosial berkaitan dengan rasa aman yang berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
C. Orisinalitas Sebuah penelitian dapat dikatakan orisinil apabila masalah yang dikemukakan belum pernah diteliti atau jika pernah diteliti maka dapat secara tegas ditunjukan perbedaannya dari penelitian terdahulu. Tak dapat dipungkiri banyak pihak yang telah meneliti terkait tema kekerasan dalam rumah tangga akan tetapi umumnya sisi pandang yang diteliti lebih mengarah pada korban (perempuan dan anak). Jarang sekali penelitian yang membahas tema kekerasan dalam rumah tangga dalam sudut pandang laki-laki serta
4
mengaitkannya dengan undang-undang dan kebijakan pemerintah tentang kekerasan rumah tangga. Sejauh yang peneliti telusuri, memang sudah ada beberapa penelitian yang membahas KDRT anak tetapi kebanyakan penelitian yang sudah ada kasus KDRT dilihat dari sisi perempuan saja, selain itu adapun penelitian yang
dilakukan
di
Kelurahan
Cokrodiningratan
mengambil
focus
pemberdayaan perempuan dalam menghapus KDRT.
D. Aktualitas Budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah ada sejak jaman dahulu. Budaya patriarki ini telah melekat pada masyarakat sehingga sulit sekali untuk dihilangkan. Adanya budaya ini membuat ketimpangan gender menjadi semakin nyata, dimana laki-laki lebih baik di bandingkan perempuan. Banyak yang keliru dalam mengartikan arti gender itu sendiri dengan arti sex atau jenis kelamin, sehingga dalam pembagian peran antara perempuan dan laki-laki menjadi timpang. Hal ini memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan sebagai kaum yang tersubordinasi, kekerasan tersebut juga terjadi dalam rumah, rumah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Sayangnya tindak kekerasan ini lebih sering dilihat dari sisi perempuan saja, sedangkan dari sisi laki-laki yang juga menjadi korban konstruksi sosial patriarki jarang sekali tersentuh.
5
E. Latar Belakang Kasus kekerasan dalam rumah tangga masih kerap kali kita jumpai hingga saat ini di Indonesia. Jika kita tilik lagi fakta yang terjadi, kasus-kasus semacam ini telah berlangsung sejak lama dan bahkan telah membudaya dalam masyarakat kita. Sayangnya pada kasus kekerasan rumah tangga ini sebagai pihak yang paling banyak menjadi korban adalah perempuan. Berdasarkan survey yang dilakukan di pusat-pusat kota (British Crime Survei), perempuan cenderung memiliki rasa fear of crime lebih tunggi dari pada laki-laki (Sihite, 2007:228). Hal tersebut membuat perempuan memiliki potensi dan rentan terhadap kekerasan. Sejak dini perempuan disosialisasikan bertindak lembut tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasikan bertindak agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan dan dominan. Menurut Morris, social expectation tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga, perempuan disosialisasikan dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki, hal ini menunjukkan adanya social expectation yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki (Sihite, 2007:230). Sterotype dan sosialisasi cara berperilaku perempuan yang telah dilekatkan dengan perempuan diadopsi dan membuat perempuan sering menyalahkan diri sendiri pada saat viktimisasi. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki, ideologi patriarki melanggengkan social
6
expectation, ideologi patriarki mencirikan bahwa laki-laki merupakan kepala rumah tangga pencari nafkah (Sihite, 2007:231). Kekerasan pada dasarnya telah melekat dengan sikap maskulinitas yang menjadi sterotype laki-laki. Sebagai contoh, mari kita ambil sample di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut catatan Komnas Perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan di DIY angkanya selalu meningkat setiap tahun. Kurangnya kesadaran dari korban serta penanganan yang minim dari pemerintah menambah pelik permasalahan ini. Sebenarnya sudah ada undangundang yang mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga, yaitu UU Republik Indonesia No.23 tahun 2004 yang menyatakan bahwa kekerasan rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Akan tetapi seolah undangundang ini tidak memliki pengaruh besar dalam menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga. Kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak dilatar belakangi oleh anggapan dalam masyarakat kita bahwa perempuan sering kali dianggap kaum yang lemah. Budaya patriarki yang dominan berkembang dalam tatanan budaya masyarakat kita menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam
7
keluarga sudah selayaknya dipegang oleh laki-laki. Pasalnya perempuan diposisikan dalam posisi yang lemah dan laki-laki mempunyai posisi yang kuat, hal ini lah yang menyebabkan munculnya kekerasan simbolik karena adanya hirarki dimana laki-laki lebih baik daripada perempuan. Keberadaan hirarki ini sudah dimaklumi dan sudah menjadi budaya di masyarakat Indonesia contohnya adalah anak akan mewarisi nama belakang atau nama keluarga laki-laki. Dalam hal ranah pembagian kerja pun perempuan hanya memegang ranah domestik sedangkan laki-laki mendapat kuasa pada ranah publik sehingga menyebabkan perempuan menjadi korban atau objek kekerasan. Stereotipe patriarki yang semacam ini tentu saja semakin menyudutkan posisi perempuan. Jika kemudian kita telaah menggunakan analisis gender, hal ini tentu saja menimbulkan ketidakadilan. Harus diakui bahwa budaya patriarki masih dominan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia walaupun pada era modern kini banyak yang mengatakan bahwa masyarakat kini sudah sadar gender yang artinya terciptanya kehidupan yang adil gender. Dominasi laki-laki di berbagai sektor tetap saja sulit untuk digeser. Adapun tiga asumsi penting yang mendasari ideologi patriarki menurut pyke, 1996 (dalam Menggugat Budaya Patriarki Muhadjir, 2001:24) mengenai ideologipatriarki yang merupakan variasi dari ideologi hegemoni yaitu kesepakatan sosial yang sesungguhnya hanya
8
menguntungkan kepentingan kelompok yang dominan cenderung dianggap mewakili kepentingan semua orang. Pada jaman demokrasi seperti saat ini konteks keadilan gender dicerminkan dari persamaan hak antara laki-laki dan perempuan akan tetapi ideologi patriarki yang sangat melekat pada masyarakat Indonesia membuat modernisasi ini hanya menguntungkan kepentingan kelompok yang dominan saja, sedangkan kaum yang tersubordinasi tetap pada posisinya. Ideologi tersebut dianggap sebagai pemikiran yang benar dan dianggap sebagai sesuatu yang memang seperti itulah seharusnya. Dengan mengabaikan kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan dengan kelompok subordinat, ideologi seperti ini dianggap sebagai penjamin kohersi dan kerjasama sosial sebab jika tidak maka akan terjadi konflik. Secara statistik, mungkin banyak perempuan yang tidak begitu concern pada isu kesetaraan gender dibandingkan dengan mereka yang memperjuangkannya. Sangat sedikit yang mempercayai ketimpangan gender sebagai isu sosial yang perlu diperhatikan. Seperti yang diungkapkan oleh Muhadjir Darwin bahwa mungkin masalah seperti ini banyak disorot dari sisi perempuan, pengorbanan yang dialami perempuan, jarang dari sisi laki-laki, yaitu persoalan khas yang di hadapi laki-laki dalam masyarakat patriarki (Muhadjir, 2001:26).
9
Budaya patriarki ada karena adanya stereotype antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan adanya bias gender. Laki-laki memiliki sifat yang kasar, kebapakan (fatherhood) dan pemimpin, sedangkan perempuan lebih lembut, sosok yang harus dilindungi dan dominan pada sektor domestik (rumah). Pada dasarnya antara stereotype maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan) saling melengkapi, yang menjadi permasalahannya adalah adanya sisi yang dominan dalam keberlangsungan masyarakat yang memegang ideologi patriarki. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan politik di Indonesia yang memiliki watak maskulin, politik yang mengutamakan kekuatan otot dan kekerasan. Data lain yang memperkuat hipotesis terkait masih tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan dapat kita lihat sebagai berikut: data Komnas Perempuan tahun 2010 di Indonesia menunjukkan peningkatan 263 persen atau 143.536 kasus dibandingkan dengan tahun 2009 (54.425 kasus). Penanggulangan yang selama ini dilakukan oleh pihak terkait hanya bersifat sementara, karena hanya memberi pendampingan kepada pihak korban yaitu perempuan. Sedangkan pihak lakilaki yang sering kali berperan besar sebagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga sama sekali tidak tersentuh. Kita tidak dapat melihat kekerasan dalam rumah tangga hanya dari satu pihak saja, seperti yang selama ini khalayak umum anggap bahwa
10
perempuan selalu menjadi korban dan harus selalu dilindungi. Dengan persepsi seperti itu lah hal-hal seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi dan sukar untuk dihapuskan. Banyak forum, LSM, Ormas yang concern terhadap kasus ini tetapi masih sedikit yang melihat permasalahan ini dari sisi laki-laki yang selama ini dianggap sebagai ‘pelaku’ kekerasan. Kesadaran akan ketimpangan gender masih sangat minim, kebanyakan dari mereka justru mengeksploitasi situasi ketimpangan gender untuk kepentingan pribadi yang lebih penting. Dalam pelatihan partisipatoris sehari yang diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Jurnal Perempuan dengan Plan Indonesia yang bertajuk “Kekerasan Berbasis Gender” di Hotel Grand Cemara, Menteng pada Senin 24 Juni 2013, banyak hal menarik yang didapat dari hasil diskusi tersebut. Para peserta yang merupakan gender vocal point dari Plan Indonesia diwilayah NTT dan Grobongan, Jawa Tengah mendapatkan pencerahan bahwa kekerasan berbasis gender ternyata sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan bermula pada satu titik yaitu ketidak pahaman masyarakat mengenai perbedaan istilah seks dan gender2. Di salah satu sesi acara tersebut, Nur Iman Subono selaku Dewan redaksi Jurnal Perempuan sekaligus Dosen 2
www.jurnalperempuan.org/memahami-kekerasan-berbasis-genderdiaskses pada tanggal 30 November 2013. Jurnal Perempuan merupakan sebuah yayasan yang sudah lebih dari 17 tahun, didirikan dengan visi dan misi yang membangun kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan dan permasalahan perempuan di Indonesia dengan perspektif dan metodologi feminis lewat fokus kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengetahuan. Adalah jurnal feminis pertama di Indonesia yang dibaca kalangan mahasiswa, pengambil kebijakan, intelektual, akademisi dan aktivis gerakan sosial.
11
Ilmu Politik Universitas Indonesia membuat para peserta yang mayoritas lakilaki kembali merenungkan keikutsertaan mereka dalam gerakan membela hak-hak perempuan ini. Disesi inilah, peserta mendapat pencerahan bahwa sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang mereka miliki. Gerakan feminis bukan gerakan perempuan semata karena dengan lelaki terlibat di dalamnya, sesungguhnya ia sedang membantu dirinya terbebas dari jerat budaya patriarki3. Laki-laki sejak kecil diposisikan menjadi mahluk yang kuat dengan segala macam tanggung jawab yang harus mereka tanggung, sistem ini lah yang membuat laki-laki merasa dirinya terjebak dalam budaya patriarki tradisional
dimana
mereka
memiliki
tanggung
jawab
lebih
besar
dibandingperempuan. Konstruksi sosial telah membentuk laki-laki menjadi sosok yang lebih dibanding perempuan. Sejak awal sudah adanya pembeda antara laki-laki dan perempuan, bukan dari sisi seks (jenis kelamin) akan tetapi sturktur-struktur sosial yang membentuk gender yang membuat timbulnya ketidak adilan gender, walaupun gender tidak dapat lepas dari jenis kelamin dan sudah ada pelebelan bahwa feminis adalah perempuan dan maskulin adalah laki-laki. 3
www.jurnalperempuan.org/memahami‐kekerasan‐berbasis‐genderdiaskses pada tanggal 30 November 2013
12
Perbedaan peran tersebut terus terbawa sampai mereka beranjak dewasa dan membentuk suatu keluarga, sebagai contoh laki-laki memikul beban ekonomi keluarga dan bertanggung jawab atas keluarganya, sedangkan perempuan mengurus keluarga. Adanya perbedaan ini lah yang membuat kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi. Struktur-struktur sosial yang telah terbentuk membuat adanya dominasi, dimana dominasi memiliki visi sebuah sistem yang tersusun oleh struktur yang telah lama tertera dalam halhal dan tubuh (Bourdieu, 2010:59), hal ini yang membuat laki-laki terjebak dalam posisi maskulin. Sebenarnya aktualisasi dari struktur sosial patriarki ini bisa berubah dari zaman ke zaman, akan tetapi paradigma dasarnya yang mendomestikkan perempuan dan mensuperiorkan laki-laki tetaplah sama (Djoharwinarlien, 2012:71). Ketidakadilan peran dalam keluarga yang membuat kekerasan ini terus terjadi. Seharusnya pembagian peran dalam keluarga diposisikan seimbang agar dapat meminimalisir tindak kekerasan dalam keluarga. Hampir sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah dalam tangga diakibatkan karena tingkat ekonomi keluarga yang rendah dan perempuan cenderung menjadi korban karena perempuan dianggap tidak memiliki peran ekonomi dalam keluarga secara langsung walaupun pada kenyataannya perempuan yang mengatur keuangan keluarga. Melihat permasalahan ini sulit dikatakan bahwa rumah merupakan tempat yang aman bagi perempuan.
13
Melihat permasalahan yang muncul, kini perempuan didorong untuk ikut berperan di dalam ekonomi keluarga sehingga terciptanya keseimbangan peran dalam suatu keluarga sehingga antara peran perempuan (istri) dan lakilaki (suami) dapat saling melengkapi, seperti yang telah ditetapkan oleh PBB mengenai perkawinan yaitu pentingnya equality, development and peace dalam keluarga. Artinya harus ada kesetaraan, perdamaian dan pembangunan dalam keluarga (Jurnal Perempuan, Vol. VII, No.2 September 2004). Kini banyak pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan sedikit memiliki pengaruh baik dalam kehidupan perempuan akan tetapi ternyata tidak serta merta meredam kekerasan dalam rumah tangga. Ada pula yang menentang seperti yang dialami oleh Nani Zulminarni sebagai Koordinator Nasional Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) beliau pernah dikirimi surat yang berasal dari seseorang yang tak dikenalnya, isinya meminta Nani untuk bertobat. Surat tersebut berisi dua lembar yang menuliskan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan bertentangan dengan syari’at agama Islam dan dianggap sebagai budaya Barat, sesat. Nani menjawab surat itu dengan menulis, ”apa yang harus saya lakukan ketika ada 10 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan, dan sebagian besar karena laki-laki tidak bertanggung jawab?”4.
4
www.jurnalperempuan.org/perkawinan-dan-keluarga-bukan-persoalan-klasikdiaskses pada tanggal 30 November 2013
14
Banyak tanggapan mengenai kekerasan rumah tangga dan penyebab terjadinya kasus tersebut namun sampai saat ini belum jelas apa yang membuat kasus ini terus terjadi, motif pelaku melakukan kekerasan sehingga kasus ini terus tumbuh subur dimasyarakat Indonesia. Pada satu sisi mengatakan bahwa permasalahan yang menjadi dasar munculnya kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya permasalahan ekonomi, akan tetapi jika ditelaah kembali setelah permasalahan ekonomi diberikan jalan keluar melalui program-program pemberdayaan ekonomi perempuan masih ada yang menentang program tersebut dengan dalil menentang agama. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan tindak kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi. Perlunya melihat permasalahan ini tidak hanya dari sisi perempuan (korban) saja. Dengan mengetahui dari sisi pandang atau perspektif laki-laki maka akan lebih seimbang sebagaimana yang diusungusungkan oleh masyarakat pada masa kini yaitu masyarakat yang adil dan sadar gender. Melihat kenyataan yang telah dipaparkan tersebut peneliti berusaha menelusuri lebih jauh mengenai fenomena ini sebagai objek kajian skripsi. Dalam penelitian ini peneliti akan mengungkap perspektif laki-laki terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Terkait hal ini peneliti akan menelaah lebih lanjut mengenai program pelibatan laki-laki di LSM Rifka Anissa Woman Crisis Centre dan kultur budaya masyarakat di Kota Yogyakarta tepatnya di
15
Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis terkait konsep kekerasan dalam rumah tangga serta bagaimana pemaknaan laki-laki di Cokrodiningratan terhadap kekerasan dalam relasi gender. Adapun konsep-konsep kekerasan terhadap perempuan yang diusung oleh Rifka Annisa yaitu: a. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, seperti; menampar, memukul, menjambak,menendang dan segala tindakan yang mengakibatkan luka fisik. b. Kekerasan psikologis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tak berdaya dan atau penderita psikis berat pada seseorang. Misalnya umpatan, ejekan,cemoohan, bentakan, hinaan dan segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis termasuk ancaman, pembatasan gerak dan pengekangan, mengisolasi dari keluarga dan teman, mengancam menyakiti, meninggalkan pasangan untuk selingkuh atau poligami. c. Kekerasan seksual, yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tujuan tertentu. Termasuk kekerasan seksual adalah pengrusakan organ reproduksi serta pemaksaan hubungan seksual pada saat tidak diinginkan atau dengan cara yang tidak disukai, seperti pemaksaan hubungan seksual ketika mensturasi atau pada saat
16
istri tidak menginginkannya, oral dan anal seks atau pemaksaan hubungan seksual dengan benda benda asing. d. Kekerasan ekonomi/penelantaran adalah perbuatan yang mengakibatkan penelantaran, kerugian maupun ketergantungan ekonomi. Termasuk dalam kekerasan ekonomi atau penelantaran ini adalah:
Menelantarkan orang yang menurut hukum atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut, seperti tidak memberikan nafkah pada anak istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Memaksa untuk bekerja atau mengeksploitasi secara ekonomi
Membatasi dan atau melarang bekerja sehingga korban memiliki ketergantungan ekonomi dan berada dibawah kendali orang tersebut. Berdasarkan data awal yang peneliti peroleh penyediaan program ini
didasarkan atas presentase sebesar 90% perempuan sebagai korban kekerasan suami senantiasa untuk memutuskan kembali ke pihak suami (pelaku kekerasan) dan ironisnya tidak ada penanganan khusus suami pelaku kekerasan ini5. Hal ini membuat semakin riskannya terjadi tindak kekerasan untuk kedua kalinya. Maka program pelibatan laki-laki dibuat sebagai upaya untuk mencegah tindak kekerasan tersebut terjadi lagi.
5
http://www.rifka-annisa.or.id diakses pada tanggal 20 Mei 2013
17
Tujuan dari program Pelibatan Laki-laki yaitu dengan kembalinya korban kekerasan terhadap suami dapat ditindak lanjuti agar kasus kekerasan terhadap
perempuan
dapat
dihapuskan.
Program
ini
memberikan
pendampingan kepada pihak laki-laki yang melakukan tindak kekerasan agar tidak melakukan tindakan kekerasan lagi didalam menjalin hubungan suatu rumah tangga. Berdasarkan pada data yang dimiliki Rifka Annisa tingkat kekerasan dalam rumah tangga di Kota Yogyakarta tiap tahun semakin meningkat tiap tahunnya. Data Kasus Rifka Annisa 2009-2013 di Provinsi DIY: Tabel. 1 Data Kasus Rifka Annisa 2009-2013 di Provinsi DIY Kasus
2009
KDRT 203
2010
2011
2012
226 219 226 Sumber data: data kasus Rifka Annisa
2013 Jumlah (JanuariNovember) 239 1.113
LSM Rifka Annisa merupakan pelopor program pelibatan laki-laki di dunia, bahkan untuk lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap kekerasan pada perempuan dan anak, Rifka Annisa merupakan LSM pertama yang memiliki staff laki-laki, maupun pimpinan atau direktur Rifka Annisa tetap dipegang oleh perempuan. Walau pun sekarang telah diikuti oleh LSM lain baik di Indonesia maupun internasional. Selain itu program ini juga ditujukan untuk semua laki-laki yang ingin memperbaiki relasinya dengan
18
perempuan dan terbuka untuk umum, akan tetapi tetap yang utama adalah laki-laki pelaku kekerasan. Program Pelibatan laki-laki sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2004, kemudian benar-benar diprogramkan pada tahun 2007/2008. Berawal dari penelitian Rifka Annisa bahwa 90% perempuan yang menjadi korban KDRT memutuskan untuk kembali pada suaminya. Mereka memilih kembali membina hubungan rumah tangganya dengan suaminya kerena yang ingin mereka akhiri adalah kekerasannya bukan pernikahannya. Ketika 90% pelaku kekerasan tidak diberi tindakan intervensi maka akan rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga untuk kedua kalinya, kalaupun pernikahan tersebut berakhir pada perceraian maka akan rentan pula si pelaku kekerasan akan melakukan KDRT dihubungan rumah tangga yang berikutnya. Maka dari itu Rifka Annisa beranggapan pentingnya intervensi terhadap pelaku kekerasan. Hal ini dirasa perlu karena jantung dari kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Sebelumnya Rifka Annisa hanya menolong korban yang ibaratnya berdiri di tepi sungai dan menangkap bayi-bayi yang hanyut, kemudian rifka annisa mulai berfikir kenapa tidak melihat ke hulu dan mencari tahu dan mencegah orang yang menghanyutkan bayi-bayi tersebut? Pada program pelibatan laki-laki Rifka Annisa memberikan pelayanan konseling perubahan prilaku untuk laki-laki. Pelayanan ini tidak hanya untuk pelaku kekerasan saja, tetapi untuk semua laki-laki yang ingin memperbaiki
19
relasinya dengan perempuan dan terbuka untuk umum, akan tetapi tetap yang utama adalah laki-laki pelaku kekerasan. Di dalam konseling perubahan perilaku ini sudah ada tahapan-tahapan penanganan, ada 12 step perubahan perilaku. Pada program ini konselor yang disediakan adalah laki-laki, hal ini dilakukan untuk mencegah adanya jarak antara konselor dengan pelaku kekerasan. Program ini juga memiliki monitoring dan evaluasi, hasil dari program ini akan dimonitoring terus, adanya level monitoring (1-5). Selain itu para konselor pelibatan laki-laki ini telah mengikuti training konselor lakilaki. Setiap orang yang berkonsultasi difasilitasi oleh 1 konselor dan waktu untuk konsultasi akan ditentukan oleh peserta program. Sangat disayangkan sampai saat ini jumlah peserta program pelibatan laki-laki masih sedikit, karena sulitnya untuk mengajak para laki-laki untuk mengikuti program ini. Kalaupun ada peserta yang datang jarang sekali mereka mengikuti program ini sampai 12 sesi. Sejauh ini masih sulit karena kurangnya kesadaran dari pihak laki-laki. Harapannya peserta yang datang adalah voluntary dari peserta akan tetapi sejauh ini dalam prakteknya belum kesana. Biasanya Rifka Annisa menitipkan undangan melalui istrinya, bisanya mereka datang karena disuruh oleh istrinya. Ada pula yang memilih datang agar tidak digugat cerai oleh istrinya. Jadi sebenarnya motivasi pesertanya masih bervariasi, adapula yang datang karena mandatory dari kepolisian yang menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga.
20
Ketika
kasusnya
sudah
masuk
ke
kepolisian
maka
polisi
merekomendasikan untuk ke Rifka Annisa. Walaupun belum dapat disebut mandatory, karena mandatory harus ada undang-undangnya, sedangkan untuk sekarang ini belum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Namun selama ini ada aturan dari kepolisian untuk mengarahkan pelaku KDRT untuk berkonsultasi di Rifka Annisa. Rifka Annisa berharap bahwa hal ini dapat menjadi mandatory yang didukung dengan undang-undang, setiap kasus KDRT atau kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke kepolisian dan pengadilan dapat direkomendasikan ke Rifka Annisa untuk berkonsultasi, seperti di luar negri. Di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur mengenai mandatory tersebut. Akan tetapi rekomendasi melalui polisi sudah lumayan,walaupun tidak legal. Sangat disayangkan motivasi laki-laki yang datang ke Rifka Annisa yang datang karena direkomendasikan oleh pihak kepolisian, kebanyakan dari mereka memiliki motivasi agar kasusnya cepat selesai dan agar kasusnya dicabut kembali. Usaha program Pelibatan Laki-laki tidak hanya memberikan pelayanan konseling saja, kampanye mengenai laki-laki anti kekerasan juga dilakukan. Rifka Annisa pun tidak sendiri, Rifka Annisa tergabung dengan gerakan Aliansi Laki-laki Baru yang anggotanya organisasi dan individu di seluruh Indonesia. Aliansi laki-laki baru ini menawarkan maskulinitas baru
21
untuk mengganti beberapa pemahaman yang tidak sesuai mengenai maskulinitas lama. Maskulinitas lama mendeskripsikan seorang laki-laki dengan
penilaian
baku
atau
tunggal
sedangkan
maskulititas
baru
menambahkan beberapa nilai baru yang dianggap lebih baik sepeti kebapakan, halus, dekat dengan anak sebagai nilai yang lebih baik. Semakin laki-laki cinta dengan anak dan tidak melakukan kekerasan, semakin anda laki-laki. Semboyan tersebut lah yang diusung oleh Aliansi Laki-laki baru. Rifka Annisa telah banyak melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk mengahpus kekerasn yaitu kerjasama dengan Bappeda Kota Yogyakarta untuk membentuk kelompok dampingan atau Community Based Crisis Center yaitu Huriya Maisya dan Mitra Keluarga di Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Lokasi tersebut dipilih karena Kelurahan Cokrodiningratan dianggap rawan terjaninya KDRT. Hal ini disebakan karena lokasi yang berada di pusat kota, padat penduduk dan dekat dengan stasiun Tugu membuat banyaknya pendatang yang menetap di daerah tersebut, selain itu tingkat ekonomi yang rendah membuat kasus KDRT sangat lah berpotensi diwilayah tersebut. Kelompok binaan ini dibentuk atas dasar program Bappeda Kota Yogyakarta yang menggandeng Rifka Annisa sebagai partnernya. HUMA dan Mitra Keluarga yang memiliki tujuan untuk mengurangi tingkat KDRT di Kelurahan Cokrodiningratan menerapkan konsep kekerasan
22
yang diusung oleh Rifka Annisa dalam kegiatan yang mereka laksanakan yaitu konsultasi dan beberapa program pemberdayaan dibidang ekonomi. Adanya konsep kekerasan yang diterapkan HUMA dan Mitra keluarga kepada masyarakat di Kelurahan Cokrodiningratan sebagai pedoman mereka dalam menganalisis permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, selain itu HUMA dan Mitra Keluarga juga memberikan pengetahuan hak-hak perempuan dalam keluarga maupun dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, peneliti akan melihat bagaimana subjektifitas laki-laki didalam memaknai kekerasan berhadapan dengan konsep kekerasan yang diusung oleh Rifka Annisa dan konsep kekerasan menurut masyarakat Cokrodiningratan.
F. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana pemaknaan kekerasan menurut laki-laki di Kelurahan Cokrodiningratan?”
G.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana laki-laki memandang kekerasan dalam rumah tangga. 2. Untuk mengetahui penyebab atau potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
23
H. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Sosial yang kaitannya dengan isu gender. Selain itu dapat memberi sumber informasi bagi peneliti lain dengan tema sejenis. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan pada konsep kekerasan yang diusung oleh Rifka Annisa serta masukan untuk keberlangsungan kelompok binaan HUMA dan Mitra Keluarga dalam menjalankan kegiatannya.
I. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan sendiri menurut kamus bahasa Indonesia adalah sifat atau hal yang keras, kekuatan, tekanan dan paksaan. Rousseau berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang polos, hanya rantai peradaban yang telah membuat mereka menjadi seperti binatang yang saling menyerang. Jadi Rousseau berpendapat bahwa kemajuan perdabanlah yang membuat manusia melakukan tindak kekerasan (Windu, 1992). Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, biasanya kekerasan tersebut terjadi karena adanya permasalahan di dalam rumah tangga tersebut. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi:
24
(a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Pelaku dari kekerasan sendiri dapat dari kedua pihak yaitu suami atau istri, akantetapi eratnya kehidupan masyarakat Indonesia dengan budaya patriarki yang menjungjung tinggi maskulinitas maka sering kali pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah laki-laki (suami), sedangkan istri menjadi korban. Definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2003, yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Munculnya kekerasan didalam suatu keluarga karena adanya diskriminasi antara perempuan atas laki-laki. Budaya masyarakat yang
25
menganut ideologi patriarki mengangap bahwa laki-laki memiliki kekuasaan didalam keluarga atau rumah tangga. Ideologi patriarki membuat laki-laki memiliki kuasa didalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Akan tetapi dibalik posisi laki-laki yang memiliki power tersebut, laki-laki pun dirugikan atas posisinya dimana mereka harus menjadi sosok yang diharapkan bagi keluarga dan masyarakat disekitarnya. Banyaknya tuntutan membuat laki-laki rentan melakukan tindak kekerasan. Permasalahan yang sangat mendasar didalam suatu keluarga adalah permasalahan ekonomi, kebutuhan keluarga yang tinggi dan tidak berimbang dengan pendapatan keluarga membuat sering kali istri bekerja membantu perekonomian keluarga. Adanya kesetaraan gender membuat perempuan dapat melenggang bebas untuk mencari pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Dibalik hal tersebut posisi tersebut lah yang membuat perempuan semakin rentan akan kekerasan. Dua tanggung jawab yang dipikul oleh perempuan membuat posisi perempuan semakin sulit. Disatu sisi ia adalah seorang ibu yang harus mengurus rumah tangga, anak dan suami disatu sisi ia juga harus membantu perekonomian keluarga. Sering kali kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya tuntutan baik dari istri maupun suami. Menurut Rifka Annisa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu adanya hubungan yang tidak
26
seimbang antara suami dan istri, hal ini dikaitkan dengan budaya patriarki yang membuat laki-laki memiliki power yang membuat perempuan akan menerima tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Adapun faktorfaktro penyebab kekerasan menurut Diana Ribka dan Istiadah 1995 (dalam tesis Rina, Sikap Perempuan Terhadap Pemukulan Istri) menyatakan kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya persaingan didalam suatu keluarga. Persaingan ini dapat berupa persaingan dalam memperoleh pendapatan dan posisi pekerjaan yang tingga sehinga kedua belah pihak tidak mau terkekang, hal tersebut rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Adanya ketergantungan ekonomi didalam suatu keluarga dan adanya tekanan dari berbagai pihak sehingga laki-laki merasa frustasi untuk memenuhi tanggung jawabnya. Tekanan tersebut dapat berasal dari istri, keluarga, tetangga atau masyarakat dan pekerjaan. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan didalam keluarga itu sendiri, lingkungan masyarakat pun memiliki pengaruh besar. Pendekatan strukturalisme memusatkan perhatian pada ideide besar yang terdapat dalam masyarakat yang mempunyai pengaruh besar dalam organisasi sosial masyarakat. Ide-ide besar ini terwujud dalam penggunaan bahasa ataupun dalam mitos-mitos sehingga agar dapat memperoleh pengertian ide-ide besar (Saptari:73). Jadi sebuah makna akan timbul dari hubungan tanda-tanda dengan tanda-tanda lainnya dalam suatu
27
sistem yang lebih luas. Adanya pemaknaan lebih dari suatu kata ketika dikaitkan dengan pandangan-pandangan lain mengenai kata-kata tersebut. Dalam kehidupan nyata hirarki kekuasaan tidak akan terhindarkan, kekerasan dalam rumah tangga sendiri tidak berangkat dari ruang yang kosong, struktur sosial lah yang membentuk adanya kekuasaan dan ketimpangan gender. Ketika struktur kekuasaan telah memberikan ‘ijin’ pelanggengan patriarki, lembaga-lembaga yang berada di dalam system masyarakat dibawahnya sertamerta akan mengamini dan secara otomatis menciptakan mekanisme untuk mengantarkan patriarki dalam posisi yang lebih kuat (Darmawan, 2008:10). Menurut Giddens sifat-sifat struktural selalu mengekspresikan
bentuk-bentuk
dominasi
dan
kekuasaan.
Dominasi
kekuasaan pada masyarakat muncul sebagai hasil dan relasi sosial yang di kendalikan oleh ‘aturan’. Aturan akan selalu mengendalikan praktik-praktik dalam masyarakat termasuk praktik dalam relasi keluarga (Darmawan, 2008:11). Dalam postructuralism dan posmodernism aspek yang dipertahankan untuk membahas gender adalah kaitan erat antara bahasa, ideologi dan subjektivitas manusia. Postructuralism juga mempermasalahkan adanya hegemoni, sitat menerima perempuan yang selalu menerima keadaan, padahal hal ini melanggengkan subordinasi. Budaya patriarki telah mengikat masyarakat. Jean-Francois Lyotard beranggapan apa yang mengikat
28
masyarakat bukanlah suatu kesadaran bersama atau institusi kemasyarakatan, melainkan praktek diskursif yang tumpang tindih (Saptari:81). Menurut pandangan de Saussure seorang ahli linguistik, mengtakan bahwa arti sebuah kata dibentuk oleh penggunaan bahasa itu sendiri. Dalam kasus hegemoni laki-laki terhadap perempuan kata discourse digunakan dalam analisis sosial yang dilakukan. Dapat dikatakan bahwa gender merupakan konsep sosial yang dibentuk atas wacana dari masayarakat. Wacana sendiri merupakan proses pengembangan dari komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas, dapat berupa nilai-nilai, ideology, emosi, kepentingan-kepentingan dan lain-lain. Para prastrukturalis beranggapan bahwa setiap arti dalam discourse yang dilakukan merupakan negosiasi dan pertentangan yang cukup hangat, hal ini menekankan pentingnya menempatkan setiap discourse dalam konteks historis spesifik yang bias dipegaruhi oleh bentuk-bentuk kekuasaan yang bersumber pada unsur-unsur yang berbeda seperti kelas, ras, jenis kelamin, agama atau umur (Saptari:79-80). Discourse sendiri dapat mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya sendiri (subjektivitas) dan bagaimana orang-orang melihat dirinya, pada dasarnya subjektivitas setiap individu dibentuk oleh discourse yang ada di lingkungan sekitaranya dan setiap individu memiliki subjektivitas yang sangat lah berbeda-beda.
29
Discourse tersebut memungkinkan terjadinya kekerasan masa, dimana akar kekerasan masa jika ditinjau dari akar epistemologis dalam kondisi masa, manusia yang tidak mengenal satu sama lain. Pengenalan kolektif ini mengalami degradasi, bentuknya adalah stigma. Tindakan kekerasan telah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia sendiri. Yang pertama adalah pengenalan atas manusia lain mengandung momen dominasi, karena mengenali juga mengidentifikasi dan yang kedua adalah pengenalan atas manusia lain mulai dengan sterotofokasi bahwa orang lain itu anggota sebuah kelompok dan bukan individu (Hardiman, 2005:103). Maka terjadilah kekerasan masa yang tidak disadari oleh masyarakat baik pelaku maupun korban. Menurut Girard dalam mitos masyarakat merasa melakukan kekerasan yang tular-menular, tetapi masyarakat tidak mau menuduh dirinya sebagai pelaku penyebab kekerasan tersebut (Sidhunata,2006:161). Menurut Girard, kekerasan membutuhkan penyaluran, menurutnya kekerasan terjadi karena berbagai hal atau alasan. Ketika kekerasan itu sendiri terjadi maka pelaku tidak akan perduli akan alasan dan objek yang akan terkena dampaknya. Ketika kekerasan itu terjadi, kekerasan tidak akan menghatam udara akan tetapi kekerasan membutuhkan penyaluran. Girard mencoba membahas hubungan antara kekerasan dan religious. Menurutnya tindakan kekerasan itu ada dan terus ada karena kekerasan disembunyikan dalam alasan-alasan religious dan teologi. Ketika masyarakat modern
30
memiliki system yang yuridis mengenai kekerasan maka kekerasan itu sendiri dapat dijinakkan dengan taktik pengelabuhan di mana sistem yuridis memberikan konsep keadilan siapa yang salah dan siapa yang benar. Pada titik ini lah masyarakat tidak boleh sadar sehingga kekerasan tidak akan jebol (Sindhunata, 2006). Maka dari itu orang tidak akan pernah bias meninggalkan hubungan dengan kekerasan, karena kekerasan dengan agama sangat lah dekat. Sebenarnya kekerasan adalah asal-usul dari berbagai institusi masyarakat termasuk agama. Kekerasan sendiri sangat menular dan sulit sekali untuk dilepaskan. Adanya hukum (sistem yuridis yang berlaku dan agama yang dianalogikan sebagai kultur oleh Girard, hanya bersifat sementara untuk mengkontrol kekerasn. Adanya pergeseran dari teori kambing hitam Girard, mekanisme kambing hitam tidak lagi bermoduskan pengosongan kekerasan, melainkan melampiaskan kesalahan dan kekerasan pada pihak lain yang biasanya adalah kaum minoritas. Terkadang penyaluran kekerasan menjadi gagal ketika yang disalurkan atau korban meneruskan kekerasan, sehingga pengosongan kekerasn menjadi gagal. Dapat diibaratkan seperti suatu keluarga, salah satunya melakukan penyaluran kekerasan maka korban akan berpotensi untuk melakukan kekerasan kepada anak, atau jika anak sebagai korban maka anak akan melakukan kekerasan kelak ketika ia besar dan berkeluarga. Adanya mimesis
31
kekerasan
yaitu
kekerasan
yang
turun-temurun
dan
tular-menular
(Sindhunata,2006:135). Dalam penelitian Girard dibidang Antropologi, Mitologi dan Ritual yang mengantarnya pada keyakinan bahwa Agama lahir untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dengan menyembunyikan kekerasan, tujuannya untuk mengalihkannya agar tidak menghancurkan keharmonisan di dalam masyarakat, dengan menjalankan ritus korban. Setiap agama pada awalnya secara kasat mata menjalankan ritus pengorbanan. Namun dalam perkembangannya ritus itu perlahan dijalankan secara implisit. Awal mula dari ide ini adalah adalah agar bibit kekerasan yang ada dalam diri masyarakat seperti kemarahan, kedengkian, agresi dan sebagainya dikosongkan dengan mengalihkannya pada diri korban yang dianalogikan sebagai kambing hitam bibit-bibit kekerasan destruktif itu. Artinya agama sendiri terdapat kekerasan, tapi kekerasan yang suci dalam bentuk pengorbanan ritual dengan mekanisme kambing hitam6. 2. Gender Sebagai ‘Human Condition’ Seringkalinya masyarakat salah dalam mengartikan arti kata ‘gender’ dan ‘sex’ membuat timbulnya kesalahpahaman yang membuat munculnya ketidakadilan sosial. Sex atau jenis kelamin merupakan penafsiran atau 6
http://filsafat.kompasiana.com/2012/10/24/agama-dan-kekerasan-pemikiran-rene-girard-503822.html
diakses pada 6 Desember 2013.
32
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan gender merupakan suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya laki-laki memiliki sifat yang kasar, kuat, rasional dan jantan dan perempuan dikenal dengan sifatnya yang keibuan, lemah-lembut. Akan tetapi anggapan tersebut akan berubah seiring zaman dan tempat, tergantung pada masyarakat yang menilai dan mengkonstruksikan gender itu sendiri. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang dapat berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itu lah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 1998:7-8). Gender yang selama ini diartikan oleh masyarakat banyak adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang selama biologis. Perbedaan gender ini dianggap sebagai kodrat dari tuhan, hal ini mengkonstruksi sosial kaum laki-laki dan perempuan bahwa laki-laki harus kuat, dan perempuan lemah lembut. Kerena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apa kah sifat-sifat gender dikonstruksikan oleh manusia apa telah menjadi kodrat dari tuhan, akan tetapi selama sifat dapat dipertukarkan maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat (Fakih, 1998:11).
33
Adanya pemikiran mengenai laki-laki adalah superior, lebih baik dibanding perempuan dan posisi yang telah di bentuk bahwa perempuan harus menerima keadaan menjadi mahluk yang tersubordinasi dikarenakan adanya pengkonstruksian patriarki melalui institusi dan lembaga yang ada didalam masyarakat7. Sylvia Walby (1993), membedakan patriarki menjadi 2 yaitu patriarki publik dan patriarki privat. Inti teorinya adalah telah terjadi pergeseran ruang patriarki, dari yang seharusnya pada level keluarga menjadi konstruksi atau budaya masyarakat (Darmawan, 2008:11). Adanya perbedaan gender yang sangat signifikan ini diakibatkan oleh kondisi sosial yang membentuk mereka dimana sejak kecil setiap individu dengan jenis kelamin yang berbeda ditanamkan untuk bersikap dan menyukai apa yang diajarkan oleh orang tuanya. Anak laki-laki yang kuat dan wanita sebagai mahluk yang lemah-lembut. Adanya kultur atau budaya yang menyebabkan hal tersebut sulit sekali dilepaskan dari pola pikir masyarakat kebanyakan
yang
tentunya
secara
tidak
sadar
mendukung
adanya
ketimpangan gender. Pembentukan karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dini, seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan dini diperoleh dari institusi terkecil yaitu keluarga. Secara tidak langsung keuarga membentuk karakter anak laki-laki sangat maskulin dan perempuan menjadi mahluk yang lemahlembut. Adanya pendidikan sejak dini yang dominan pada sifat maskulin 7
http://kunci.or.id/esai/nws/08/macho.htm diakses pada tanggal 1 Desember 2013
34
sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tatanan yang adapun bersifat maskulin. Dominasi simbolik kemudian melembaga, dimana perbedaan biologis kemudian menjadi perbedaan sosial. Pelembagaan tersebut hadir pada ritual-ritual penegasan viriltas (kejantanan) anak laki-laki dengan pemisahanya dari sisi feminin ibunya antara lain melalui cukur rambut pertama yang dilakukan oleh bapak menggunakan pisau cukur sebagai simbol phallus (Boudieu,2010:37-38). Dasar-dasar perbedaan itu dapat mudah dilihat, dimana laki-laki dituntut untuk menegaskan kejantananya, struktur simbolik perempuan menyuruh mereka untuk menutup diri misalnya dari cara berpakaian, posisi duduk dan cara menatap seseorang. Jadi dalam selubung mitos, perempuan disuruh untuk diam dan kekuatan simbolik sebagai suatu kebenaran adalah bentuk kekasaan yang diberlakukan atas tubuh secara langsung. Perempuan dengan feminin-nya kemudian direduksi menjadi “barang” melalui perkawinan yang harganya tergantung dari status kemurnian mereka. Dalam perkawinan, dominasi simbolik dalam reproduksi biologis terdapat pada genealogi keluarga melalui keutamaan sang ayah (melalui nama keluarga misalnya) yang menyembunyikan peran ibu dalam persalinan demi melestarukan status genealogis. Pada perwatan merepresentasikan seksualitas
35
laki-laki sebagai pihak yang membuahi dan panen merepresentasikan proses melahirkan perempuan, keduanya dihargai secara berbeda8. Berdasarkan tinjauan sosiologis kriminoligis memandang bahwa suatu tindakan dinyatakan menyimpang tergantung pada reaksi sosial masyarakat. Baik atau benarnya suatu tindakan akan ditentukan oleh norma-norma yang berlaku dimasyarakat. The feminist perspective on violence menjelaskan hukum, agama dan ilmu pengetahuan secara historis mengesahkan otoritas suami dan pembenaran melakukan kekerasan terhadap istri untuk menghukum atas ketidak tundukan istri (Buzawa, 1990:18-19). Bourdieu (1930-2002) dalam karyanya “Dominasi Maskulin” (La Domination Masculine) mengatakan bahwa: “Sesungguhnya, tiada hentinya saya selalu terheran-heran dengan apa yang disebut paradoks doxa: yaitu fakta bahwa tatanan dunia sebagaimana adanya itu secara grosso modo ditaati, meskipun tatanan dunia itu hadir dengan makna-maknanya yang unik maupun yang terlarang, dalam pengertian denotasi maupun kiasan, dengan kewajiban dan sanksi-sanksinya” (Pierre Bourdieu, 2010:1) Dominasi Maskulin dibuat oleh Bourdieu berdasarkan penelitianya terhadap masyarakat di Qubail yang kemudian pada bagian akhir Bourdieu menganalisa struktur simbolik gender pada masyarakat modern. Permasalahan yang hendak diangkat oleh Bourdieu adalah bagaimana modal material (ekonomi) dan modal simbolik merepresentasi dan terus direproduksi dari golongan yang superior (laki-laki atau maskulin) terhadap yang inferior 8
https://www.academia.edu/1995192/Meraba_Dominasi_Gender_Bersama_Pierre_Bourdieudiakses pada tanggal 5 Desember 2013.
36
(perempuan atau feminin). Dominasi tersebut menimbulkan kekerasan yang sangat halus, tidak terlihat dan tidak disadari yang oleh Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolik9. Dalam kaitanya dengan dominasi maskulin adalah bagaimana konstruksi gender diseks-kan, yaitu bagaimana suatu konstruksi-konstruksi sosial menjadi suatu yang permanen dan merupakan pemberian dari tuhan,dialamiahkan. Menurut Bourdieu, konstruksi sosial atas dominasi maskulin yang dialamiahkan tersebut hadir dalam berbagai cara, secara metafor dan tersembunyi. Dominasi tersebut tidak berjalan secara searah, melainkan juga diterima oleh perempuan. “Ketika pihak yang terdominasi mengaplikasikan produk dominasi secara tidak terhindarkan tindakan pengetahuan mereka merupakan tindakan penguasa dan kepatuhan”. (Bourdieu, 2010:60). Hal istimewa yang diperoleh maskulin merupakan jebakan dan sisi buruk dari hak istimewa ini adalah tekanan dan perhatian penuh yang permanen yan terkadang menjadi absurd. Tekanan dan perhatian penuh dipaksakan oleh kewajiban yang mengharuskan laki-laki menegaskan virilitasnya dimanapun. Dimana harga diri laki-laki dibuat setinggi mungkin dengan cara berbagai tekanan bahwa laki-laki sudah diharuskan untuk lebih dari perempuan dan berada di puncak kemampuannya (jantan). Virilitas yang dimaksud tidak mengandung kelembutan karena akan mengurani nilai virilitas 9
www.academia.edudiakses pada tanggal 5 Desember 2013
37
itu sendiri. Mereka ketakutan untuk kehilangan penghargaan, ketakutan untuk ditaruh dalam kelompok lemah atau feminism. Menurut Bourdieu virilitas adalah suatu pengertian yang bersifat rasional yang dikonstruksi terhadap dan untuk para laki-laki dan melawan feministas, dalam sejenis ketakutan akan segala yang bersifat feminine dan terutama segala yang femini di dalam diri laki-laki (Bourdieu, 2010:75-76) Atas dasar kesalah pahaman atas gender maka muncul lah pembagian kerja berdasarkan perbedaan tubuh. Bourdieu beranggapan bahwa walaupun banyak perempuan yang bekerja di sektor publik tapi hal itu menurutnya tidak sedikitpun melambangkan bahwa sudah adanya emansiapasi. Bourdieu beranggapan bahwa yang terjadi adalah suatu bentuk pengembangan makna simbolik yang tak kunjung henti. Bourdieu juga mengatakan laki-laki dalam pembagian pekerjaan merasa sulit untuk merendahkan diri akan tetapi, tugastugas yang hina itu bisa juga menjadi terhormat dan dianggap sulit bila dilakukan oleh laki-laki (Bourdieu, 2010:86). Perempuan menempati posisi yang dilematis karena disatu sisi bila berperilaku maskulin (masuk dalam ruang publik misalnya) akan menjadi terancam kehilngan feminitas dan statusnya sebagai perempuan asli, namun disisi lain jika menerima posisi sebagai perempuan (sebagai yang terdominasi) maka perempuan akan berada dalam situasi yang tidak berdaya. Bourdieu mencontohkan harga mahal yang harus ditebus yang dialami oleh
38
kebanyakan perempuan sukses: depresi dan hubungan keluarga yang berantakan10. Keluarga yang berantakan ini dapat diartikan dengan adanya ketidak harmonisan dalam keluarga yang dapat berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
10
https://www.academia.edu/1995192/Meraba_Dominasi_Gender_Bersama_Pierre_Bourdieudiakse s pada tanggal 5 Desember 2013.
39