BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Modal sosial memang bukan sebuah ‘barang baru’ di jagat ilmu sosial, namun konsep modal sosial itu sendiri tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Gagasan mengenai modal sosial kemudian juga banyak mempengaruhi para peneliti dan pemikir ilmu sosial. Penggunaannya dalam kehidupan umat manusia ditunjukkan dalam hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, bahwa modal sosial dapat memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, atau bahkan kriminalitas (John Field, 2003). John Field dalam pengantar bukunya yang berjudul Social Capital, berpendapat bahwa pemaknaan modal sosial tidaklah sulit, bahkan dapat diringkas dalam dua kata: soal hubungan. Kemudian hal tersebut dia perjelas dengan mengatakan: “Setiap manusia berhubungan melalui serangkaian jaringan dan mereka cenderung memiliki kesamaan nilai dengan anggota lain dalam jaringan tersebut; sejauh jejaring tersebut menjadi sumber daya, dia dapat dipandang sebagai modal. ... Jadi, secara umum, ini berarti bahwa semakin banyak Anda mengenal orang, dan semakin banyak Anda memiliki kesamaan cara pandang dengan mereka, maka semakin kaya modal sosial Anda.”
Pernyataan tersebut membenarkan suatu tanggapan mengenai hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, dimana setiap manusia tidak dapat hidup tanpa berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini pula yang memunculkan sebuah paradigma yang mengedepankan partisipasi aktif masyarakat sebagai kesatuan yang utuh, untuk mengelola sumber daya dalam rangka melaksanakan pembangunan, dan paradigma tersebut adalah paradigma pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment). Konsep pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk mengubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik dengan memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat yang akan diberdayakan untuk merencanakan dan menjalankan suatu program atas dasar kebutuhan mereka. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment) itu sendiri adalah untuk membentuk masyarakat yang
1
mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai suatu masyarakat yang mandiri (Ambar Teguh: 2004). Kemandirian dapat menjadi kekuatan utama bagi masyarakat, karena apapun konsep yang digunakan dalam suatu program pemberdayaan, kemandirian selalu menjadi wujud pencapaian ideal dari programprogram tersebut. Dalam dimensi yang sama, Corporate Social Responsibility (CSR) juga merupakan sebuah pintu masuk yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat untuk memberdayakan diri sekaligus memperbaiki lingkungan mereka. Konsep yang diterapkan dalam CSR, sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat karena pada umumnya program-program CSR adalah mengenai isu pelayanan masyarakat (community service), pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup. Kecenderungan selama ini menunjukkan bahwa, semakin banyak kalangan akademisi maupun praktisi bisnis yang semakin menyadari pentingnya CSR. Hal tersebut diakibatkan oleh tersingkapnya peranan masyarakat sebagai sumber dari segala sumber daya yang dimiliki dan direproduksi oleh perusahaan. Penilaian mengenai substansi dalam pemilihan judul di atas, yaitu: 1. Aktualitas Perlahan tapi pasti, modal sosial mulai dilirik dan diperhatikan, selain adanya modal ekonomi, modal alam, modal fisik, dan modal manusia yang selama ini selalu diutamakan. Bahkan modal sosial mulai dirasa merupakan unsur penting di dalam mencapai suatu tujuan program pemberdayaan masyarakat (community empowerment) maupun CSR. Aspek ekonomi dan manusia yang selama ini lebih diutamakan ternyata belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam memberdayakan masyarakat. Oleh karenanya unsur modal sosial juga harus diperhatikan di dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Keberadaan modal sosial identik dengan kehidupan masyarakat pedesaan, di mana unsur budaya, kekeluargaan, dan gotong royong masih cukup kuat karena modal sosial terkait dengan jaringan,
2
kepercayaan, dan institusi lokal. Sedangkan masyarakat perkotaan identik dengan karakteristiknya yang heterogen dan individualistik, serta sebagai masyarakat urban (migran) yang sebelumnya tidak saling mengenal, sehingga kerap dipandang memiliki modal sosial yang minim. Padahal sesungguhnya modal sosial dibutuhkan di segala sisi kehidupan masyarakat, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Karena modal sosial sangat penting perannya di dalam mencapai sebuah tujuan bersama untuk kepentingan bersama pula, terlebih bagi kelompok masyarakat yang terikat pada asosiasi sengaja (gemeinschaft) seperti kelompok masyarakat sasaran program CSR. Tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) itu sendiri menjadi sebuah isu yang hangat dalam beberapa tahun terakhir ini. Melihat kembali pada lahirnya UU No. 40 tahun 2007 sebagai kekuatan konstitusional dalam pelaksanaan program CSR. Walaupun dalam prakteknya memang masih dijumpai berbagai corak implementasi yang dilaksanakan oleh berbagai perusahaan, namun dalam prinsip ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa pengetahuan itu akan selalu berkembang mengikuti perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Oleh karena itu secara akademis pengkajian terhadap berbagai model program CSR menjadi sebuah bentuk studi yang aktual. Selain itu spesifikasi pengkajian yang dilakukan dalam studi ini adalah mengenai kondisi keberdayaan masyarakat sasaran program CSR tersebut, dimana mobilitas sosial masyarakat yang terus bergerak secara dinamis tentu akan menumbuhkan benih gerakan sosial baru yang dapat menghambat pelaksanaan implementasi program CSR tersebut. Sehingga pengkajian mengenai kondisi sosial masyarakat sasaran perlu dilakukan secara berkala dan kontinyu. Modal Sosial yang merupakan isu lama akan menjadi menarik ketika dikaitkan dengan CSR, karena kekuatan dari modal sosial dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi survival strategy masyarakat pada umumnya maupun masyarakat sasaran program CSR, yang nantinya akan berdampak pada tujuan utama program CSR yakni kemandirian masyarakat dan program CSR yang berkelanjutan (sustainable).
3
2. Orisinalitas Penelitian
mengenai
program-program
Corporate
Social
Responsibility (CSR) di PT. Badak NGL memang sudah banyak dilakukan, salah satu diantaranya yaitu penelitian oleh Ginanjar Tamimy (2003): “KEMISKINAN YANG TAK TERSENTUH (Studi Tentang Dinamika Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Pada Daerah Terdekat Perusahaan Besar di Bontang Kalimantan Timur)”. Dalam penelitian ini terlihat jelas latar belakang isu sosial yang diangkat adalah mengenai wajah dari pelaksanaan CSR yang dilaksanakan oleh PT Badak NGL terkait dengan multiplier effect dari PT Badak, serta relasi yang terjadi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam pelaksanaan CSR, yang berdampak pada tidak tersentuhnya suatu daerah terdekat perusahaan. Namun, penelitian yang disuguhkan oleh peneliti kali ini memiliki fokus kajian yang berbeda, yakni melakukan pembahasan mengenai pengaruh modal sosial dalam keberlanjutan program ternak mandiri di PT Badak NGL dan baru pertama kali dilakukan. 3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) memiliki tiga konsentrasi keilmuan, yakni Kebijakan Sosial (Social Policy), Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment), dan CSR (Corporate Social Responsibility). Penelitian ini mengkaji mengenai pengaruh modal sosial dalam keberlanjutan program CSR. Oleh karena itu, penelitian akan bersentuhan dengan pemberdayaan masyarakat dan juga CSR terkait fungsinya sebagai sarana penyalur modal sosial. Dengan demikian, penelitian ini menjadi sangat relevan dengan konteks keilmuan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
B. Latar Belakang Seiring perkembangan sejarah umat manusia, peran industri tampak jelas dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat manusia yang berbanding lurus dengan jumlah pertumbuhan penduduk bumi ini yang semakin meningkat sehingga dampak yang ditimbulkan oleh sektor industri pun semakin 4
besar pula. Layaknya sebuah koin, dampak positif dan negatif dari industrialisasi hanyalah berbeda sisi depan dan belakang. Pada satu sisi, sektor industri atau korporasi terutama skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Namun, pada sisi lainnya eksploitasi sumber-sumber daya alam dan manusia oleh sektor industri seringkali menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, minimnya upah tenaga kerja yang layak, marginalisasi tenaga kerja lokal, dan terlupakannya perlindungan sosial bagi tenaga kerja maupun masyarakat sekitar perusahaan. Guna
menyikapi
dampak
kerusakan
lingkungan
yang
kemudian
memunculkan isu pemanasan global, banyak pihak di seluruh dunia yang gencar menyerukan pemanfaatan energi yang lebih bersih untuk pengembangan hidup yang berkelanjutan. Hal ini dibuktikan dengan maraknya pengenalan terhadap energi-energi alternatif seperti biosolar, panel surya, listrik, biogas, LNG, rumput laut dan lainnya. LNG (Liquefied Natural Gas) atau gas alam cair menjadi salah satu alternatif sumber energi yang lebih bersih di Indonesia. LNG dipilih menjadi energi alternatif karena sangat efisien untuk di distribusikan dan fasilitas pengolahan maupun produksi LNG telah ada di dalam negeri sejak lama. LNG merupakan perubahan bentuk gas alam menjadi cair. Gas alam akan berubah menjadi cair jika melalui proses pendinginan dengan suhu sekitar -156 °C. Proses ini mengakibatkan volume gas alam cair menjadi 600 kali lebih kecil dibandingkan volume gas alam, sehingga membuat gas alam cair menjadi lebih efektif untuk didistribusikan. LNG pun menawarkan kepadatan energi yang sebanding dengan bahan bakar petrol dan diesel, dimana konsumsi LNG 0,62 juta ton/tahun diperkirakan dapat menggantikan konsumsi solar non subsidi sebesar 1,62 juta kiloliter/tahun, dan juga lebih bersih karena dapat mengurangi emisi sekitar 85% jika dibandingkan dengan bensin dan solar (Situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012). Menurut U.S. Energy Information Administration (EIA) tahun 2002, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen dan eksportir gas alam cair terbesar di dunia (U.S. Energy Information Administration: 2002). Pemerintah
5
juga merintis untuk memanfaatkan gas alam cair untuk bahan bakar bagi sektor transportasi dan rumah tangga. Salah satu perusahaan yang dipercaya pemerintah dalam memproduksi maupun memasok kebutuhan LNG baik di luar negeri maupun dalam negeri, tidak lain adalah PT. Badak NGL (PTB). Pada 7 Agustus 2012, sebagai bentuk komitmen dalam merintis pemanfaatan LNG ini, PTB melakukan uji coba penggunaan LNG untuk kendaraan operasional perusahaan. Selain itu, uji coba juga dilakukan pada tiga unit kompor rumah tangga. Hal ini diharapkan dapat menekan konsumsi BBM, mengurangi subsidi sehingga dapat menghemat devisa negara di masa mendatang. Selayaknya perusahaan pada umumnya, PTB juga diwajibkan menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti UU No. 40 Tahun 2007 pada Pasal 74 ayat (1) mengenai kewajiban melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan oleh setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, serta ayat (2) mengenai alokasi dana Tanggung Sosial dan Lingkungan sebagai biaya perseroan. Tanggung jawab Sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perusahaan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kemudian, pada ayat (3) dinyatakan bahwa perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 74 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini bertujuan agar dapat menciptakan hubungan perusahaan yang serasi, seimbang, berwawasan lingkungan, sesuai dengan nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Munculnya peraturan-peraturan tersebut juga berpengaruh pada memudarnya pandangan-pandangan yang sebelumnya melihat praktek CSR sebagai suatu kesukarelaan dari suatu perseroan. PTB memperoleh anggaran tanggung jawab sosial-nya dengan menyisihkan dana operasi rata-rata Rp 8 – 10 miliar per tahun untuk Program Community Development (Comdev) yang merupakan bagian dari operating cost dan dikelola
6
oleh Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat (Hupmas) (Sustainability Report PT. Badak NGL: 2009). Kegiatan Comdev PTB pada umumnya dibagi dalam bentuk kegiatan (1) Community Empowerment seperti Dana Bergulir; Mitra Binaan; Pelatihan dan Keterampilan, (2) Community Service, seperti Infrastruktur; Pendidikan; Keagamaan; Kesehatan; Pemberdayaan Masyarakat; Pemuda, olah raga, kesenian dan kebudayaan; Dukungan kepada Pemerintah dan Masyarakat. Salah satu bentuk program Comdev dalam bentuk kegiatan Community Empowerment yang dijalankan yakni Program Ternak Mandiri. Awal mula terbentuknya program ini didasari kesulitan yang dialami oleh pihak Lembaga Amil Zakat Yaumil (Laz Yaumil) dalam memperoleh sapi potong untuk hewan qurban. Pekerja PT. Badak NGL yang terdiri dari pekerja tetap sebanyak 1.331 orang dan tenaga kerja outsourcing sebanyak 2.200 orang (kondisi akhir tahun 2008), sekiranya membutuhkan sapi qurban sekitar 3%-5% dari total jumlah pekerja. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, pihak Laz Yaumil mencari kelompok masyarakat yang dirasa tepat untuk menjalankan program Ternak Mandiri ini dan ketika itu beberapa warga di Desa Suka Rahmat menjadi pilihan Laz Yaumil. Saat ini program ternak mandiri memiliki 2 kelompok binaan, dimana kelompok binaan ini merupakan kelompok masyarakat kurang mampu yang berprofesi sebagai petani, buruh lepas, dan pemulung. Kelompok binaan ini nantinya akan dititipkan bibit sapi potong untuk digemukkan dan kemudian dijual. Program ini bekerjasama dengan yayasan binaan PTB yakni Laz Yaumil, sebagai fasilitator penjualan sapi yang telah digemukkan oleh kelompok ternak mandiri. Selain bibit sapi, para peternak tersebut juga mendapatkan bantuan dana bergulir dari BMT Mitra Amanah (lembaga mitra yang mengelola dana Comdev PTB). Program penggemukan sapi ini terbagi di dua lokasi, yaitu Desa Suka Rahmat yang berlokasi di wilayah perbatasan Bontang dan Kutai Timur, serta Kelompok An Nur, di Lhok Tuan, Bontang Utara. Sejak tahun 2011, Comdev PTB juga telah mengembangkan usaha penggemukan sapi (Ternak Mandiri) dengan program Biogas. Pengembangan program ternak mandiri ini sendiri bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPT) Kalimantan Timur. Kemudian pada bulan september tahun 2011, program biogas juga mengalami pengembangan
7
program, yakni pembuatan pupuk kompos dengan memanfaatkan ampas buangan instalasi biogas. Program Ternak Mandiri di wilayah Desa Suka Rahmat sudah berjalan sejak tahun 2007, itu berarti hingga tahun 2012 ini, program tersebut sudah berlangsung selama 5 tahun. Lamanya perjalanan program ini berlangsung tentu berkat dukungan stakeholders yang terlibat dan sejumlah modal-modal yang terdapat dalam program maupun kelompok sasaran program tersebut. Tentunya dalam waktu yang cukup lama tersebut, akan ada hal-hal yang membuat para anggota kelompoknya merasa terikat satu sama lain. Sebuah ikatan yang terbentuk dari sebuah modal bersama yang telah ada ataupun baru dimiliki oleh masyarakat sasaran program ketika mengikuti Program CSR Ternak Mandiri tersebut, yakni ikatan oleh modal sosial. Solidaritas, trust, jaringan, maupun interaksi, semua hal tersebut merupakan beberapa elemen-elemen penting dalam modal sosial. Modal sosial menjadi penting dalam keberlanjutan program karena kemampuannya dalam mengikat maupun menjembatani banyak orang sekaligus. Modal sosial juga memiliki perbedaan yang unik dengan jenis modal lain, yang terletak pada proses penggunaannya yaitu apabila suatu modal sosial digunakan secara terus menerus maka modal ini tidaklah akan habis, bahkan sebaliknya, modal ini justru akan semakin bertambah besar nilainya dan tumbuh kuat. Semakin kuatnya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat akan berdampak positif pada mobilisasi tujuan bersama masyarakat tersebut. Masyarakat jenis ini tentunya akan lebih responsif dan dinamis ketika menjalankan suatu program pemberdayaan jika dibandingkan dengan masyarakat yang lemah modal sosialnya. Hal-hal yang sudah dijelaskan diatas sangatlah menarik perhatian dan melatar belakangi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai peran dari modal sosial kelompok Ternak Mandiri Suka Rahmat dalam keberlanjutan program CSR Ternak Mandiri. Untuk itulah peneliti bermaksud melakukan penelitian yang berjudul “Peran Modal Sosial Dalam Keberlanjutan Program Corporate Social Responsibility”, dengan harapan penelitian ini menghasilkan temuan penting berkaitan dengan modal sosial yang terdapat pada masyarakat sasaran program
8
CSR (Ternak Mandiri) di Desa Suka Rahmat, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan yang tertuang dalam latar belakang masalah, permasalahan yang diangkat adalah mengenai peran modal sosial dalam keberlanjutan program-program CSR Ternak Mandiri. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keberlanjutan program Corporate Social Responsibility Ternak Mandiri di PT. Badak NGL (Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur)? 2. Bagaimana modal sosial kelompok sasaran program Ternak Mandiri dapat berperan dalam keberlanjutan program-program CSR tersebut?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Suatu penelitian pada dasarnya dilaksanakan untuk memecahkan masalah. Tujuan penelitian diperlukan agar penelitian yang dilakukan mempunyai arah yang jelas dan sistematis. Dalam penelitian ini terdapat tujuan operasional dan substansial, yaitu : 1. Tujuan Operasional a. Penelitian ini ditujukan untuk menyusun skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. b. Sebagai karya ilmiah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi
positif
bagi
pengembangan
keilmuan
Jurusan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada khususnya dan Ilmu Sosial pada umumnya, serta bagi penelitian-penelitian lainnya yang memiliki keterkaitan kajian penelitian.
9
2. Tujuan Substansial Tujuan Substansial ini berkaitan dengan rumusan masalah penelitian, yakni : a. Untuk mengetahui keberlanjutan program CSR Ternak Mandiri PT. Badak NGL di Desa Suka Rahmat, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. b. Untuk mengetahui peran modal sosial kelompok sasaran program Ternak Mandiri dalam keberlanjutan program CSR Ternak Mandiri. Manfaat Penelitian Selain memiliki tujuan, suatu penelitian juga harus memiliki manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hasil pemikiran ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran, masukan, referensi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan oleh perusahaan, pemerintah dan instansi terkait, dalam rangka mengembangkan
program
CSR
maupun
program-program
pemberdayaan masyarakat lainnya. 2. Memberikan informasi mengenai situasi serta kondisi masyarakat sasaran program CSR PT Badak NGL, yang diharapkan dapat menjadi acuan peningkatan efektivitas maupun efisiensi program CSR di masa mendatang. 3. Penelitian diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat sasaran program CSR. E. Tinjauan Pustaka Karena banyaknya definisi dan teori mengenai hal tersebut, maka untuk mempermudah pemahaman mengenai modal sosial dan keberlanjutan program CSR dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa aspek yang mengkerangkai pemikiran penelitian ini, yaitu :
10
1. Keberlanjutan Program CSR Keberlanjutan suatu program tidak terlepas dari paradigma yang digunakan ketika perencanaan program tersebut. Sebagai contoh, ketika masa orde baru, ada sebuah paradigma pembangunan yang gencar diekspresikan dalam setiap upaya pembangunan masyarakat maupun ekonomi. Paradigma tersebut adalah paradigma pertumbuhan. Paradigma ini dipelopori oleh Rostow (1960), yang mengedepankan politik pembangunan dengan pendekatan pertahapan pembangunan. Ide dasar yang ditawarkan oleh Rostow adalah pembangunan perlu dibuat dengan pentahapan sehingga terdapat keberlanjutan yang lebih terprogram (dalam Ambar Teguh, 2004:43). Konsep paradigma pertumbuhan (growth paradigm), merupakan aras pemikiran yang memperjuangkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pendapatan negara turut meningkat. Tak lama setelah itu, konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an dan populer sejak pertengahan dekade 1980-an. Secara teoritis konsep ini muncul sebagai kritik terhadap paradigma ekonomi maupun non ekonomi yang hanya memiliki satu tolok ukur, yaitu paradigma pertumbuhan yang biasanya menggunakan “Gross National Product“ (GNP) sebagai parameter. Akibatnya, para perencana dan pelaku pembangunan cenderung mengabaikan tujuan sebenarnya dari upaya pembangunan, yaitu pemberdayaan dan peningkatkan kualitas kehidupan masyarakat luas, terutama masyarakat terpinggirkan. Orientasi pembangunan menjadi bias dengan hanya mengejar laju pertumbuhan GNP yang tinggi, dengan mengabaikan aspek distribusi dari hasil pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Orientasi pertumbuhan ekonomi dalam prakteknya telah mengakibatkan akumulasi hasil pembangunan hanya pada sekelompok kecil orang, dan memarginalkan masyarakat secara luas. Konsep dari paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini adalah sebuah konsep pembangunan yang bersifat ramah lingkungan, dimana pembangunan yang dilakukan harus
11
memperhatikan masalah sumber daya yang bersifat renewable/ nonrenewable. Sehingga proses pembangunan tidak hanya mengejar keuntungan semata (profit) melalui aksi-aksi eksploitasi sumber daya yang tersedia, namun juga harus memperhatikan bagaimana proses pembaruannya. Salah satu definisi mengenai paradigma ini, yaitu yang diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission 1987), yang menyebutkan : “Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”
Pernyataan
tersebut
menjelaskan
bahwa
pembangunan
berkelanjutan adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Permasalahan pemenuhan kebutuhan pada generasi sekarang, harus memperhatikan
keberlangsungan
sumber
daya
yang
tersedia.
Pemanfaatan teknologi dan sumber daya manusia yang berkualitas dituntut untuk dapat mengurangi jumlah penggunaan sumber daya lain yang sifatnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Sehingga diperlukan sebuah perumusan kebijakan pembangunan yang memperhatikan kesinambungan antara aspek manusia (social), ekonomis (economic), dan lingkungan (environment). Perumusan kebijakan tersebut seperti yang dikemukakan oleh pihak Bank Dunia dalam situs resminya
(http://www.worldbank.org/depweb/english/sd.html),
yang
menyebutkan : “People concerned about sustainable development suggest that meeting the needs of the future depends on how well we balance social, economic, and environmental objectives--or needs--when making decisions today. Some of these needs are itemized around the puzzle diagram.”
12
Gambar I.1 Sustainable Development Pyramid (Sumber: situs resmi bank dunia)
Perumusan kebijakan pembangunan berkelanjutan tersebut selain diterapkan oleh sistem pemerintahan pada beberapa negara, juga diterapkan pada level perusahaan. Jika disimak baik-baik, perumusan kebijakan tersebut sangat identik dengan konsep Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) yang dikembangkan oleh John Elkington (1997), yang dalam bukunya ‘Cannibal with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness’ menyatakan bahwa perusahaan selain mengejar keuntungan (Profit) untuk kepentingan shareholder (pemegang saham), juga harus memperhatikan stakeholder (pemangku kepentingan) yakni terlibat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (People), serta menjaga kelestarian lingkungan (Planet). Jika program yang dilaksanakan adalah pemberdayaan masyarakat maka yang menjadi obyek kajian di sini adalah people, artinya bahwa tujuan dari progam yang dilaksanakan adalah meningkatkan kemandirian masyarakat yang menjadi sasaran program. Dalam
perkembangannya,
pembangunan
berkelanjutan
didefinisikan sebagai upaya peningkatan untuk kehidupan manusia namun masih dalam kemampuan daya dukung ekosistem. Munasinghe (1993) secara diagramatis menggambarkan pembangunan berkelanjutan sebagai interaksi antara tiga dimensi, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi, seperti terlihat dalam gambar di bawah ini.
13
Gambar I.2 Sustainable Development Concept (Sumber: www.mindlangka.org)
Pembangunan
berkelanjutan
mengarus
tengahkan
ketiga
alur
keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi secara serentak dalam alur lingkar pembangunan sehingga terjadilah hubungan interaksi antara pembangunan ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan). Keberlanjutan ekonomi di sini berkaitan dengan efisiensi, pertumbuhan dan keuntungan. Keberlanjutan sosial terkait dengan keadilan, pemerataan, stabilitas sosial, partisipasi serta preservasi budaya, sedangkan keberlanjutan ekologi berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya agar lestari (konservasi alam), daya lentur ekosistem, keanekaragaman hayati dan kesehatan lingkungan. Menurut Undang Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997 pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup masa kini dan generasi masa depan. Inti dari konsep ini adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses pembangunan. Bila tidak akan terjadi “trade off” antar tujuan. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan sangat bervariasi, merefleksikan keragaman yang dihadapi oleh masingmasing negara/daerah bahkan dunia seperti yang disampaikan oleh
14
Dalay-Clayton and Bass (2002) (lihat gambar I.3.) bahwa pembangunan berkelanjutan akan berbeda antara lokal, nasional dan global tergantung kepada masing-masing tujuan yang diinginkan dan keadaan implementasi di lapangan.
Gambar I.3 Sistem Pembangunan Berkelanjutan (WSSD,2002) (Sumber: Dalal-Clayton and Bass, 2002)
Djajadiningrat (2005:123), menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pencapaian keberlanjutan dari berbagai aspek yaitu keberlanjutan dimensi ekologis, ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan serta keamanan. Indikator dari masing masing aspek adalah sebagai berikut : 1. Keberlanjutan Ekologis: (a) memelihara integritas tatanan lingkungan (ekosistem) agar sistem penunjang kehidupan tetap terjamin.
Sistem
dimana
produktivitas,
adaptabilitas
dan
pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan tergantung pada keberlanjutannya, (b) Memelihara keanekaragaman hayati. 2. Keberlanjutan Ekonomi: tiga elemen utama dalam keberlanjutan ekonomi
yaitu
efisiensi
ekonomi,
kesejahteraan
yang
berkesinambungan dan peningkatan pemerataan serta distribusi kemakmuran.
15
3.
Keberlanjutan Sosial: Ada 4 sasaran yaitu (a) Stabilitas Penduduk, (b) Memenuhi kebutuhan dasar manusia, (c) Mempertahankan keanekaragaman budaya (dengan menghargai sistem sosial budaya seluruh bangsa), (d) Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam mengambil keputusan.
4.
Keberlanjutan Politik: (a) Respek pada “human right”, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial dan politik, (b) Demokrasi: memastikan adanya proses demokrasi yg transparan dan bertanggung jawab.
5.
Keberlanjutan
Pertahanan
dan
Keamanan:
Keberlanjutan
kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dari dalam atau luar yang dapat membahayakan integritas, identitas dan kelangsungan negara dan bangsa Pembangunan berkelanjutan setidaknya membahas empat hal utama yaitu: (1) Upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan dan daya dukung ekosistem, (2) Upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan, (3) Upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan datang dan (4) Upaya mempertemukan kebutuhan manusia secara antar generasi. Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya dapat diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, kondisi ekonomi, sosial dan budaya. Pemanfaatan sumberdaya alam dan kemampuan biosfer untuk mendukung kegiatan manusia sangat ditentukan oleh tingkat teknologi maupun tingkat pengetahuan yang dikuasai dan yang diimplementasikan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan bukanlah situasi harmoni yang sifatnya tetap dan statis, melainkan merupakan suatu proses perubahan yang eksploitasi sumberdaya alamnya, arah investasinya, orientasi perkembangan teknologinya dan pengembangan kelembagaannya konsisten dengan pemenuhan kebutuhan pada saat ini dan kebutuhan di masa depan.
16
Oleh karena itu, untuk menjelaskan sustainability program Ternak Mandiri, teori yang dirasa cukup tepat adalah teori pembangunan berkelanjutan dari Mohan Munasinghe. Munasinghe sendiri merupakan seorang pakar yang berlatar belakang ilmu energi, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan asumsi inilah yang sesuai dengan tema penelitian ini yaitu keberlanjutan sebuah program CSR di sebuah desa yang terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain, homogenitas suku, kekerabatan yang kental dan memiliki potensi alam yang sedang mulai dikembangkan melalui program Ternak Mandiri guna memperoleh manfaat ekonomi. Selain itu, Munasinghe juga sangat memperhatikan pemanfaatan ekologi (lingkungan) dalam menunjang faktor-faktor ekonomi. Dari
pengertian-pengertian
mengenai
konsep
pembangunan
berkelanjutan yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dasar dari terbentuknya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pencapaian keberlanjutan dari berbagai dimensi yaitu keberlanjutan dimensi ekonomi, dimensi ekologi dan dimensi sosial. Dari setiap dimensi tersebut, selanjutnya ditentukan indikatorindikator yang diteliti dalam keberlanjutan program TM ini. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), indikator didefinisikan sebagai suatu parameter, atau nilai yang diperoleh dari parameter, yang menunjuk ke: menyediakan informasi tentang, menggambarkan keadaan dari suatu fenomena/lingkungan, dengan signifikansi yang secara langsung melampaui nilai parameter terkait (OECD, 1994:9). Dengan demikian, indikator merupakan hal yang lebih dari sekedar informasi biasa ataupun data ‘mentah’, namun indikator merupakan informasi yang memiliki karakter normatif dan mempunyai implikasi terhadap pengambilan keputusan suatu kebijakan dalam program. Pembentukan dari indikator-indikator ini memiliki arti untuk memberikan
penilaian
pembangunan
berkelanjutan
jika
sasaran
perkembangan program telah ditentukan sebelumnya karena indikatorindikator ini seringkali berhubungan kepada perkembangan dari strategi
17
keberlanjutan hingga pendefinisian suatu sasaran sekunder program (misalnya, zero waste program). Indikator-indikator diperoleh setelah melalui proses reduksi dari pernyataan para informan dan juga triangulasi sumber yang dilakukan. Data-data dari indikator-indikator ini bersumber dari hasil observasi lapangan, serta wawancara mendalam dengan pihak penyelenggara program (PTB, Laz Yaumil, dan BMT Mitra Amanah) dan pihak peserta program (Pengurus dan Non Pengurus). Data sekunder dari pihak penyelenggara juga turut digunakan untuk mendukung indikatorindikator yang telah ditentukan. Berikut ini adalah dimensi-dimensi serta indikator-indikator yang dimaksudkan oleh peneliti : 1. Dimensi Ekonomi Dalam setiap program pemberdayaan masyarakat maupun tanggungjawab sosial perusahaan, dimensi ekonomi selalu menjadi faktor
utama
yang
diperhitungkan.
Aspek
ekonomi
yang
diperhitungkan muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan masyarakat sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak. Menurut Solow (1986), konsep modern yang mendasari keberlanjutan dimensi ekonomi berusaha untuk memaksimalkan aliran pendapatan yang bisa dihasilkan, sementara itu setidaknya mempertahankan aset (atau modal) yang dapat menghasilkan pendapatan ini. Indikator-indikator
yang
ditentukan
dalam
dimensi
keberlanjutan ekonomi lebih ditekankan kepada indikator yang menggambarkan berkesinambungan
efisiensi bagi
ekonomi,
peserta
kesejahteraan
program
dan
yang
peningkatan
pemerataan serta distribusi kesejahteraan dalam kelompok Ternak Mandiri Suka Rahmat secara keseluruhan. Indikator yang digunakan dalam dimensi ekonomi seluruhnya ada 4 indikator, yaitu Dana Pembelian Sapi, Pendapatan, Pemasaran, dan Kepemilikan alat produksi.
18
(1) Dana
pembelian
sapi
merupakan
kunci
awal
dari
terselenggaranya program, tanpa adanya dana ini maka program ini tidak akan memiliki modal untuk digunakan. Besaran modal yang tersedia berdampak pada banyaknya sapi yang akan digemukkan atau dikelola. Dana ini digunakan untuk membeli bibit sapi jantan yang akan digemukkan dan juga sapi betina yang diharapkan nantinya dapat menjadi sumber penghasil bibit sapi sendiri tanpa perlu membeli bibit sapi dari pedagang besar seperti yang selama ini dilakukan. Dana ini merupakan aset/modal yang dapat mempertahankan kestabilan pendapatan para peternak. (2) Pendapatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perolehan keuntungan yang didapatkan oleh peserta program baik dari program penggemukan, pupuk kompos, maupun biogas. Pendapatan yang diperoleh umumnya berupa sejumlah uang atas penjualan sapi dan pupuk kompos. Namun, untuk biogas sendiri karena bentuknya merupakan sebuah fasilitas yang menyediakan akses terhadap gas gratis untuk konsumsi rumah tangga peternak maka peneliti mengkonversikan perolehan gas tersebut ke dalam bentuk rupiah. Pengembangan program dilakukan guna meningkatkan efisiensi pendapatan dari program awal (penggemukan) sehingga limbah dari program tersebut dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan baru bagi peternak. (3) Akses terhadap pasar merupakan kunci pendistribusian sapi serta pupuk dari hasil usaha para peserta program kepada konsumen. Pemasaran yang luas akan berdampak pada penentuan
harga
jual,
peningkatan
permintaan
serta
penghematan waktu yang diperlukan untuk menjual sapi dan pupuk tersebut. Hal ini tentunya dapat memaksimalkan pendapatan yang diterima oleh peternak. Meski selama ini mayoritas dari sapi-sapi itu dibeli oleh Laz Yaumil melalui
19
sistem bagi hasil, serta beberapa pupuk-pupuk kompos dibeli oleh BMT, namun beberapa tahun terakhir para peternak diizinkan untuk menjual hasil usaha mereka ke pihak luar. (4) Kepemilikan alat produksi menjadi modal keberlanjutan program
yang
terpenting.
Alat
produksi
seperti
sapi
penggemukan, sapi betina produktif, kandang, dan alkon masih merupakan supply rutin ataupun pemberian dari pihak penyelenggara. Selama peternak masih memerlukan supply dari pihak penyelenggara maka tujuan dari kemandirian masyarakat akan semakin menjauh. Namun, semenjak dilakukannya pengembangan program, diharapkan adanya ciri kemandirian dari para peternak binaan yang mengarah pada keberlanjutan di bidang ekonomi. Salah satu ciri ideal keberlanjutan ekonomi dari indikator ini adalah adanya peternak yang memiliki alat produksi milik sendiri, bukan lagi pemberian maupun pinjaman dari pihak penyelenggara. 2. Dimensi Ekologi Penafsiran
lingkungan
keberlanjutan
berfokus
pada
kelangsungan hidup secara keseluruhan dan kesehatan sistem kehidupan, yang didefinisikan dalam istilah yang komprehensif, multi-skala, ukuran yang dinamis, hirarkis ketahanan, kekuatan dan organisasi (Costanza, 2000: 7). Ide-ide ini berlaku baik untuk sistem alam yang liar maupun yang dikelola seperti pertanian, pedesaan dan perkotaan. Dimensi ekologi merupakan hasil pemikiran utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan menuntut kompensasi atas peluang hilangnya pemenuhan kebutuhan generasi mendatang, karena kegiatan
ekonomi
saat
ini
yang
dapat
mempengaruhi
keanekaragaman hayati dan kemampuan ekologi di masa depan. Indikator-indikator
yang
ditentukan
dalam
dimensi
keberlanjutan ekologi (lingkungan) terdiri pada indikator yang menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan
20
keberlanjutan daya dukung lingkungan, sehingga tidak melewati batas kemampuannya untuk mendukung seluruh aktivitas yang ada di dalamnya dan meningkatkan kapasitas serta kualitas dari ekosistem agar sistem penunjang kehidupan tetap terjamin. Indikator yang digunakan untuk menilai keberlanjutan ekologi seluruhnya ada 3 indikator, yaitu Ketersediaan Pakan, Sumber Air, dan Pengelolaan Kandang & Limbah. (1) Ketersediaan pakan menjadi menjadi syarat utama daya dukung alam terhadap keberlanjutan program TM ini. Ketika sapi penggemukan maupun sapi peranakan didatangkan dari supplier lokal maupun dari Samarinda, sapi-sapi tersebut tentunya harus langsung diberikan makan karena selama perjalanan jauh tersebut sapi-sapi tidaklah mendapatkan makanan. Selama proses berjalannya masa penggemukan dan peranakan, sapi-sapi juga harus diberi makan sesuai dengan ketentuan jumlah kebutuhan makan hariannya, biasanya mengacu pada bobot badan ternak sapi. Pakan yang dimaksud pun tidak harus selalu rumput. Sejumlah pakan ternak biasanya tersedia banyak di daerah yang banyak terdapat sejumlah sawah padi. Namun, di RT 06 dan RT 07 ini tidak terdapat lahan padi karena mayoritas petani disini adalah petani kebun sehingga variasi jumlah makanan tergantung pada tanaman produktif yang mereka tanam. Selain itu, beberapa peternak sudah ada yang memiliki lahan khusus untuk menanam rumput gajah guna memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Lahan sawit pun terdapat cukup banyak di wilayah barat dari RT 07, begitu juga rerumputan yang terdapat di lahan tersebut. (2) Daya dukung air dalam program ini merupakan faktor penting bagi keberlanjutan program karena air dibutuhkan untuk konsumsi sehari-hari sapi, peternak, maupun warga sekitar. Mayoritas warga RT 07 dan beberapa warga 06 masih sangat bergantung pada air sungai untuk kehidupannya, baik untuk
21
mencuci, mandi dan beberapa orang memanfaatkannya untuk sumber air minum. Ketersediaan air di wilayah ini memang cukup banyak untuk konsumsi ternak sapi namun untuk konsumsi manusia, sumber air minum hanya ada beberapa saja. Salah satu upaya dalam pemeliharaan sumber-sumber air adalah dengan tidak mencemarinya. Oleh karena itu, untuk mendukung seluruh aktivitas yang ada di dalam program ini dapat berjalan dengan baik, indikator sumber air ini harus diperhatikan keberlanjutannya. (3) Indikator pengelolaan kandang & limbah dipilih karena pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar dan juga kepada persepsi masyarakat. Pengelolaan kandang yang baik dapat menciptakan lingkungan masyarakat yang harmonis, tanpa adanya pihak-pihak yang terganggu dengan keberadaan kandang tersebut, terkait bau dari tumpukan kotoran yang ada. Pembersihan kandang yang rutin tiap harinya merupakan wujud pengelolaan kandang yang baik. Tersedianya tempat penampungan kotoran ternak dengan memperhatikan letaknya dapat mencegah tercemarnya air maupun menyebarnya bau dari limbah ternak sehingga image baik dari program tetap terjaga. Limbah yang dikeluarkan dari sapi dan sudah menumpuk, cenderung menimbulkan bau yang tidak sedap. Salah satu solusinya adalah dengan merubahnya menjadi pupuk, baik itu bentuk padat maupun cair. Limbah yang sudah diolah menjadi pupuk akan memperoleh nilai ekonomi dan siap untuk dijual belikan. Sehubungan dengan mayoritas peserta program adalah petani kebun, maka pupuk juga dapat digunakan
untuk
menyuburkan
lahan
tanam
mereka.
Penggunaan pupuk kompos pada tanah dapat meningkatkan kapasitas serta kualitas dari ekosistem tanah karena menambah daya ikat tanah terhadap air dan unsur-unsur hara tanah, memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, membantu
22
proses pelapukan bahan mineral, memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba serta menurunkan aktivitas mikro organisme yang merugikan. 3. Dimensi Sosial Dalam dimensi keberlanjutan sosial, indikator-indikator yang ditentukan berkaitan dengan stabilitas penduduk, menghargai sistem sosial dan mempertahankan keaneka ragaman budaya serta mendorong
partisipasi
peserta
program
dalam
mengambil
keputusan. Dalam penentuan indikator dimensi sosial ini akan sedikit berbeda karena indikator yang dipilih adalah beberapa komponen pembentuk modal sosial. Ketika masa observasi berlangsung, peneliti yakin bahwa komponen-kompenen ini terdapat dalam kelompok peserta program Ternak Mandiri dan semakin yakin ketika menanyakan beberapa pertanyaan terkait modal sosial dalam wawancara mendalam yang dilakukan dengan para peserta program dan penyelenggara program. Beberapa komponen pembentuk modal sosial itu adalah partisipasi, interaksi, jaringan
(network),
dan
kepercayaan
(trust).
Berdasarkan
komponen pembentuk modal sosial tersebut, peneliti kemudian menentukan indikator yang digunakan untuk menilai keberlanjutan sosial, dimana seluruhnya terdapat 4 buah indikator, yaitu partisipasi, interaksi, jaringan, dan kepercayaan (trust).
2. Modal Sosial Konsep mengenai modal sosial telah lama dikenal luas, namun modal ini masih sering dipandang sebelah mata karena wujudnya yang tidak kasat mata, berbeda dengan jenis modal lainnya. Hal ini dapat terlihat pada beberapa program pemberdayaan masyarakat yang tidak fokus pada manusianya (people centered), melainkan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs). Hal ini hanya akan menimbulkan ketergantungan dan semakin menjauhkan sosok kemandirian. Seharusnya modal sosial menjadi hal yang sangat
23
diperhitungkan dalam perumusan program-program CSR maupun pemberdayaan masyarakat, karena kekuatan dari modal sosial akan tampak dalam hubungannya dengan kegiatan bersama, kelompok jaringan, dimana interaksi sosial menjadi senjata utama. Hal tesebut memungkinkan untuk terwujudnya pencapaian bersama maupun pencapaian program. Modal sosial yang merupakan hasil dari interaksi sosial, mengakibatkan kompleksitas dari konsep modal sosial itu sendiri. Namun, menurut Djamaludin Ancok (2003:7), pandangan para pakar dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan kedalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Sedangkan dalam kaitannya pada suatu komunitas, Lesser (2000: 102-105) berpendapat bahwa modal sosial menjadi sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas (2) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas (3) mengembangkan solidaritas (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas (5) memungkinkan pencapaian bersama dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Dalam konsep modal sosial terdapat banyak sekali teori dan perspektif-perspektif yang diungkapkan oleh para tokoh. Meski demikian, terdapat tiga teori yang selama ini mendominasi isu dari modal sosial, masing-masing teori modal sosial tersebut dicetuskan oleh Pierre Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam. a. Pierre Bourdieu Bourdieu melihat modal sosial sebagai aset yang dimanfaatkan oleh kelompok elite, khususnya mereka yang memiliki modal finansial dan/atau modal budaya yang terbatas (John Field, 2010:65). Bourdieu (1977) menyatakan bahwa
24
“Modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan ‘dukungandukungan’ bermanfaat: modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karir politik (Bourdieu 1977, dalam John Field, 2010:23)”
Dari pernyataannya tersebut, tampak bahwa Bourdieu melihat bahwa modal sosial hanya bermanfaat bagi kaum elite untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Sehingga Bourdieu cenderung mengesampingkan manfaat modal sosial bagi kaum-kaum yang kurang beruntung. Hal ini dikarenakan menurutnya modal ekonomi adalah akar dari semua modal jenis modal lain (Bourdieu, 1986 dalam John Field, 2010: 24). Sehingga bagi siapa yang memiliki modal ekonomi yang kuat, maka akan mudah baginya memanfaatkan dan memperoleh modal-modal lainnya, termasuk modal sosial. Dengan demikian, konsep modal sosial Bourdieu dilihat sebagai sesuatu yang bersifat indivualistik. b. James Coleman Berbeda dengan Bourdieu, Coleman mendasarkan konsep modal sosialnya pada teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional memiliki keyakinan dengan ekonomi klasik bahwa semua perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar kepentingan mereka sendiri, dengan demikian interaksi sosial juga dipandang sebagai bentuk pertukaran. Dan bagi Coleman, konsep modal sosial adalah sarana untuk menjelaskan bagaimana seseorang berusaha bekerja sama (dalam John Field, 2010: 33-34). Dalam hal ini posisi modal sosial adalah sebagai produk sampingan dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain. Jadi individu atau aktor itu tidaklah membentuk modal sosialnya sendiri, melainkan hanya sebagai sebuah dampak dari kegiatankegiatannya dalam mencapai suatu tujuan lain yang sesuai dengan kepentingannya sendiri. Berdasarkan konsep modal sosial dari Coleman ini, setiap individu yang melakukan kerjasama atau menjalin hubungan dengan sesamanya, itu tidak lebih dari sekedar adalah kepentingannya sendiri. Jika seseorang merasa tidak memiliki kepentingan tertentu,
25
maka ia tidak akan memilih untuk bekerjasama atau menjalin suatu hubungan dengan orang lain. Hubungan dipandang membangun sumber modal dengan membantu
menciptakan
kewajiban
dan
harapan
antar
aktor,
membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentuk-bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi pada calon-calon penunggang bebas (Coleman, 1988 dalam John Field, 2010: 39) Jika Bourdieu melihat modal sosial secara individualistik, konsep modal sosial dari Coleman ini menjembatani peran individu dan kolektif, di mana menurutnya modal sosial sebagai aset modal bagi individu, namun melihatnya terbangun dari sumber-sumber daya struktur sosial (Coleman, 1994 dalam John Field, 2010:40). Modal sosial berdasarkan konsep dari Coleman ini tidak hanya dimiliki dan bermanfaat bagi para elite penguasa seperti yang diyakini oleh Bourdieu, melainkan modal sosial juga akan bermanfaat selama seseorang berusaha untuk mengejar kepentingannya sendiri, baik itu para elite maupun non elite. Karena setiap orang pasti memiliki kepentingannya masing-masing, hanya jenis kepentingannya saja yang berbeda. c. Robert Putnam Teori modal sosial yang selanjutnya berasal dari Robert Putnam, seorang tokoh yang berlatar belakang ilmu politik. Berbeda dari dua tokoh sebelumnya di mana modal sosial bertindak sebagai sumber daya yang bermanfaat bagi individu dan kelompok, Putnam menggali konsep modal sosial ini lebih dalam lagi, yakni dengan melihatnya sebagai sumber daya yang berfungsi pada level sosial (dalam John Field, 2010:65). Selain itu, Putnam juga memiliki ide terkait konsep modal sosial yang diperbaharui dari tahun ke tahun. Seperti pada tahun 1993, dimana konsep modal sosial Putnam mengacu pada bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-
26
tindakan terkoordinasi (Putnam, 1993a dalam John Field, 2010:49). Selanjutnya pada tahun 1996, definisi Putnam tentang modal sosial sedikit berubah. Putnam menyatakan yang dia maksud dengan modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial (jaringan, norma dan kepercayaan) yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Tiga ramuan utama (jaringan, norma, dan kepercayaan) tersebut belum berubah, namun terdapat hal yang baru yakni identifikasi ‘partisipan’ ketimbang ‘masyarakat’ sebagai penerima manfaat dari modal sosial. Pada tahun 2000, Putnam kembali memperbarui konsep modal sosialnya dengan berargumen bahwa: gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan
sosial
memiliki
nilai…kontak
sosial
mempengaruhi
produktivitas individu dan kelompok. Pada definisi ini, Putnam menekankan pada nilai yang terkandung di dalam sebuah jaringan sosial dan kualitas kontak sosial yang menentukan terbentuknya modal sosial sehingga definisi ini memberikan kita dua ketimbang tiga ramuan primer, yakni jaringan dan norma (dalam Field, 2010:52). Selanjutnya Putnam memperkenalkan perbedaan antara dua bentuk dasar modal sosial, yakni modal sosial yang menjembatani (inklusif) dan yang mengikat (eksklusif). Modal sosial yang mengikat cenderung
mendorong
identitas
eksklusif,
mempertahankan
homogenitas, menopang resiprositas spesifik, memobilisasi solidaritas, sambil pada saat yang sama menjadi ‘semacam perekat terkuat sosiologi’ dalam memelihara serta memperkuat kesetiaan dan identitas spesifik kelompok. Sedangkan modal sosial yang menjembatani lebih berperan baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi, serta dapat membangun identitas dan resiprositas yang lebih luas (dalam John Field, 2010:52). Putnam (1993) juga menyatakan bahwa kekerabatan kalah penting sebagai sumber solidaritas bila dibandingkan dengan kenalan dan keanggotaan bersama asosiasi sekunder, yang dapat menyatukan individu dari kelompokkelompok kecil yang berlainan dan terpisah satu sama lain (dalam John
27
Field, 2010:53). Ia pun berargumen bahwa ikatan ‘vertikal’ bisa jadi kalah membantu bila dibandingkan dengan ikatan ‘horizontal’, karena bisa jadi melemahkan kapasitas bagi tindakan kolektif dan cenderung menciptakan kecurigaan sehingga dapat dikatakan bahwa suatu status kekerabatan tidak akan berarti jika dihadapkan pada solidaritas antar anggota suatu kelompok tertentu, dimana norma dan nilai-nilai dari kelompok tersebut telah terinternalisasi pada diri anggotanya. Dari ketiga teori modal sosial tersebut, peneliti memilih menggunakan teori modal sosial menurut Robert Putnam karena teori ini
mampu
membedakan
antara
modal
sosial
yang
bersifat
menjembatani (inklusif) dengan yang bersifat mengikat (eksklusif), hal ini dapat membantu peneliti dalam melihat peran modal sosial dalam jaringan antar aktor. Teori ini juga dirasa mampu untuk memberikan nilai terhadap hubungan kekerabatan maupun keanggotaan bersama asosiasi sekunder yang ada pada kelompok sasaran program. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa modal sosial terbentuk dari beberapa komponen, yaitu partisipasi, interaksi dan sosiabilitas, jaringan (network), dan kepercayaan (trust). 1)
Partisipasi Partisipasi
adalah
proses
tumbuhnya
kesadaran
terhadap
kesalingterhubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu diantara kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain (Syahyuti, 2006:47). Partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana seluruh pihak
dapat
membentuk
dan
terlibat
dalam
seluruh
inisiatif
pembangunan. Maka, bisa dibilang pembangunan yang partisipatif adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Secara umum, sisi positif dari partisipasi adalah program yang dijalankan akan lebih respon terhadap kebutuhan dasar yang sesungguhnya. Ini merupakan suatu cara penting untuk menjamin keberlanjutan
program,
akan
lebih
efisien
karena
membantu
28
mengidentifikasi strategi dan teknik yang lebih tepat, serta meringankan beban pusat (penyelenggara program) baik dari sisi dana, tenaga maupun
material.
Namun
sisi
negatifnya,
partisipasi
akan
melonggarkan kewenangan pihak atas sehingga akuntabilitas pihak atas sulit diukur, proses pembuatan keputusan menjadi lambat demikian pula pelaksanaannya, serta bentuk program juga akan berbeda-beda karena masyarakat yang beragam. Di luar itu, program juga berpeluang untuk
diselewengkan
oleh
pihak
tertentu
untuk
kepentingan
kelompoknya sendiri. Makna partisipasi itu sendiri berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara pengambil kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Para ahli telah mampu membuat pengklasifikasian partisipasi. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi (J. Pretty, 1995 dalam Syahyuti, 2006:49), yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk ideal, yaitu: a. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka. b. Partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil studi, tidak dibahas bersama masyarakat. c. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi,
sedangkan
orang
luar
mendengarkan,
serta
menganalisa masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
29
d. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang
dilakukan.
Masyarakat
tidak
memiliki
andil
untuk
melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. e. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar,
tetapi
secara
bertahap
kemudian
menunjukkan
kemandiriannya. f. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Pola ini cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol
atas
pelaksanaan
keputusan-keputusan
mereka,
sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. g. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem
atau
nilai-nilai
yang
mereka
junjung.
Mereka
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumber daya yang diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Partisipasi yang akan dilihat dalam penelitian ini bukanlah animo masyarakat yang tertarik untuk bergabung dalam kelompok TM, melainkan bagaimana peran aktif peternak TM dalam program yang mereka ikuti dan dimanakah posisi mereka dalam program, apakah mereka hanya sebatas menjalankan program ataukah mereka juga memperoleh
kesempatan
untuk
mengajukan
pendapat
guna
mengembangkan program yang sudah ada.
30
2)
Interaksi Kodrat manusia sebagai makhluk sosial memiliki konsekuensi
bahwa setiap manusia hidup berdampingan satu sama lain dan saling membutuhkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitasaktivitas yang dilakukan seseorang di dalam kehidupan masyarakat pasti melibatkan orang lain, sesuai dengan kepentingannya masingmasing. Untuk itu setiap manusia pasti melakukan interaksi dengan sesamanya, karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial serta merupakan dasar dari terciptanya proses sosial. Tanpa ada interaksi sosial, juga tidak akan terbentuk modal sosial di antara anggota masyarakat. Karena dengan proses interaksi yang intens dan erat maka akan terbentuk modal sosial yang kuat pula. Interaksi sosial sendiri merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2006:55). Interaksi sosial sendiri memiliki dua syarat terbentuknya, yakni kontak sosial dan komunikasi (Soekanto, 2006:58). Kontak sosial dapat terjadi tanpa adanya kontak secara fisik (badaniah), karena dengan kecanggihan teknologi, orang dapat melakukan kontak sosial tanpa harus bersentuhan maupun bertemu. Sedangkan komunikasi memiliki arti penting bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut (Soekanto, 2006:60). Kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat terciptanya interaksi sosial, maka suatu kontak tanpa adanya komunikasi tidaklah berarti apa-apa.
Karena
suatu
kontak
tanpa
komunikasi
tidak
akan
menghasilkan suatu interaksi. Suatu masyarakat di mana anggotanya memiliki frekuensi interaksi yang tinggi, maka proses komunikasi yang berlangsung pun akan semakin intim dan dalam yang kemudian akan menghasilkan suatu kedekatan tersendiri antar pihak yang mengadakan interaksi. Semakin sering seseorang berkomunikasi satu sama lain,
31
maka akan lebih saling mengenal dan akan berbuah pada hubungan yang lebih jauh dari sekedar berbincang-bincang. Sangat mungkin, komunikasi tersebut akan menciptakan sebuah hubungan kerjasama satu sama lain serta menemukan persamaan-persamaan kepentingan dan membentuk suatu ikatan tertentu yang nantinya akan menjadi tonggak
bagi
terbentuknya
modal
sosial.
Komunikasi
sendiri
merupakan salah satu tindakan atau sikap relasional yang biasa disebut dengan sosiabilitas. Adanya proses interaksi sosial juga menjadi indikator adanya kehidupan sosiabilitas. Kehidupan sosiabilitas masyarakat menjadi salah satu sumber terbentuknya modal sosial karena memiliki nilai-nilai seperti kepercayaan sosial, kepedulian, dan solidaritas sosial antar warga masyarakat (Linda Darmajanti, 2002). Dengan kehidupan sosiabilitas itu, masyarakat membangun sebuah hubungan yang erat satu sama lain, yang kemudian menjadi embrio terbentuknya modal sosial. Interaksi yang terjadi dalam kelompok TM Suka Rahmat merupakan hubungan dinamis yang terjadi antara peternak TM dengan sesama peternak TM, peternak TM dengan masyarakat sekitar, dan peternak TM dengan stakeholder terkait (pemerintah daerah, NGO, dan pihak penyelenggara program). Interaksi yang dilakukan pun tidak selalu bertatap muka maupun berupa kegiatan fisik bersama yang biasa terjadi dalam program, namun interaksi juga dapat dilakukan melalui SMS (Short Message Service) maupun percakapan melalui telepon. Forum yang menjadi wadah interaksi
3)
Jaringan Jaringan telah lama dipandang penting bagi keberhasilan bisnis
dan organisasi. Khususnya pada tahap awal, banyak diyakini bahwa jaringan berfungsi sebagai sumber informasi penting, yang bisa menjadi sesuatu yang kritis dalam mengidentifikasi dan menggali peluang bisnis (Hendry, 1991; Mulholland, 1997. Dalam Field, 2010:86). Jaringan pun
32
dapat membantu memberikan akses keuangan (Bates, 1994, dalam Field 2010:86). Modal sosial telah dipandang sebagai aset pasar dan tenaga kerja; bahkan ketika direkrut melalui perantara, pelanggan dan pekerja dikatakan menunjukkan loyalitas dan komitmen lebih besar daripada yang mungkin terjadi di kalangan orang yang sama sekali asing (Bates, 1994; Jones, 1993. Dalam Field, 2010;86). Hal serupa terjadi pada kehidupan para peternak TM, mereka saling bertukar informasi seputar cara perawatan sapi dan berkebun ketika mereka saling bertemu satu sama lain maupun melalui SMS. Para peternak pun mendapatkan akses pinjaman uang dari pihak BMT yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selama masa penggemukan maupun sebagai modal produktif usaha lainnya. Beberapa peternak TM juga sering meminjam uang kepada peternak TM lainnya, yang biasanya adalah tetangga mereka sendiri. Kinerja dan komitmen para peternak TM juga sudah teruji selama tujuh tahun program TM ini berjalan. Dalam bahasa Inggris, jaringan adalah network. Kata dalam bahasa Inggris ini yang memunculkan pemahaman Robert M.Z Lawang mengenai makna jaringan (Robert M.Z Lawang, 2004 dalam Damsar, 2009:157). Network berasal dari kata net dan work. Net diterjemahkan sebagai jaring yang terdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling terhubung satu sama lain. Sedangkan kata work berarti kerja, sehingga jika dihubungkan kedua kata tersebut dapat dimengerti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti halnya jaring (net). Dan dari cara berpikir itulah Robert M.Z Lawang memahami jaringan sebagai: (1) ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak; (2) ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan. Dari pemaknaan Robert M.Z Lawang tersebut dapat disimpulkan bahwa studi jaringan sosial
33
melihat hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu simpul atau ikatan. Simpul dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan antar para aktor tersebut (Damsar, 2009:158). Sedangkan dalam Powell dan Smith-Doer (1994:365), mengutarakan bahwa studi tentang jaringan sosial telah dilakukan oleh sosiolog sejak tahun 1960-an yang biasanya dikaitkan dengan bagaimana pribadipribadi berhubungan antara satu sama lain dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin dalam memperoleh sesuatu yang dikerjakan, sebagai jembatan untuk memudahkan hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya, maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna pada kehidupan sosial (Damsar, 2009:159). Oleh karenanya jaringan sosial sangat memudahkan seseorang di dalam menjalani kehidupannya, karena biasanya melalui jaringan seseorang kerap menyelesaikan masalahnya. Hal ini sebab jaringan yang kuat akan menguatkan keinginan saling membutuhkan dan membantu satu sama lain serta semakin bermanfaatlah modal sosial yang terbentuk. Seperti yang diutarakan Putnam (1995) bahwa jaringan-jaringan sosial yang kuat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya tiap pihak yang terlibat. Namun, jaringan yang telah terbentuk harus selalu dipelihara agar tetap erat dan hubungan satu sama lain tidak renggang. Karena jika suatu hubungan tidak dipelihara, maka akan merusak jaringan tersebut yang akan mengurangi kebermanfaatannya. Dari pemaknaan-pemaknaan mengenai jaringan sosial di atas, maka dapat dillihat bahwa jaringan sosial memang erat hubungannya dengan hubungan sosial. Hubungan sosial dianggap sebagai syarat terciptanya jaringan sosial di dalam kehidupan manusia dan ternyata jaringan sosial tidak hanya beroperasi dalam satu tingkatan, melainkan pada banyak tingkatan. Dilihat dari tingkatannya, jaringan terdiri dari tiga jenis, yakni jaringan mikro, meso, dan makro (Damsar, 2009:160166). Pertama, jaringan sosial mikro merupakan jaringan sosial yang
34
terbentuk dari hubungan antar individu atau antar pribadi. Seseorang yang berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain secara pribadi dan bukan atas nama kelompok berarti itu disebut sebagai jaringan mikro. Jaringan mikro ini merupakan tingkatan jaringan yang paling kecil. Jaringan mikro ini memiliki tiga fungsi, yakni sebagai pelicin, sebagai jembatan, dan sebagai perekat. Sebagai pelicin berarti jaringan sosial memberikan berbagai kemudahan dalam mengakses berbagai macam barang dan/atau sumber daya. Jaringan sebagai jembatan pada tingkatan mikro ini berarti sebagai media yang memudahkan hubungan antar pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Sedangkan sebagai perekat berarti jaringan sosial antar individu memberikan tatanan dan makna kehidupan pada kehidupan sosial yang akan menjaga hubungan antar pribadi tersebut. Kedua, jaringan meso berarti hubungan yang dibangun para aktor dengan dan atau di dalam kelompok sehingga terbentuk suatu ikatan. Jaringan pada tingkat meso ini juga memiliki fungsi yang sama seperti jaringan pada tingkat mikro, yaitu sebagai pelicin, jembatan, dan perekat. Ketiga, jaringan makro, yakni ikatan yang terbentuk karena terjalinnya simpul-simpul dari beberapa kelompok. Jaringan ini terajut dari ikatan antara dua kelompok atau lebih. Kelompok dalam hal ini bisa dalam bentuk organisasi, institusi, atau bahkan negara. Tidak seperti dua tingkatan sebelumnya, jaringan tingkat makro ini lebih berfungsi sebagai jembatan yang memberikan fasilitas atau saluran bagi terjalinnya komunikasi antar kelompok yang terlibat. Sementara itu, Dalton (1959), melihat jaringan sosial dapat dianalisis atas dasar organisasi formal dan organisasi informal (dalam Damsar, 2009:180). Formal berarti suatu hubungan dan ikatan yang memang direncanakan, disetujui, bahkan diharuskan untuk terjadi dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut. Sedangkan informal berarti ikatan-ikatan yang secara spontan, tidak disengaja dan direncanakan, bahkan bersifat fleksibel di antara anggota-anggotanya yang dituntun oleh perasaan-perasaan dan kepentingan tertentu seperti
35
komunitas informal atau kelompok-kelompok pergaulan. Sejalan pula dengan Fukuyama (2005:251) yang mendefinisikan jaringan sebagai kelompok-kelompok yang berbagi norma-norma dan nilai-nilai informal. Ini menjadi penting karena menyediakan saluran alternatif bagi penyebaran informasi kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam jaringan tersebut.
4)
Kepercayaan Modal sosial juga erat kaitannya dengan kepercayaan (trust).
Seperti yang diutarakan Ancok (2003:19) bahwa pada dasarnya modal sosial bersumber pada rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, kepercayaan sangat penting bagi seseorang yang ingin berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain. Kepercayaan membuat sebuah hubungan menjadi lebih mudah, karena dengan adanya kepercayaan, tidak akan ada sikap curiga atau berburuk sangka satu sama lainnya. Suatu hubungan dan kerjasama yang tidak dilandasi oleh kepercayaan, tidak akan berjalan lancar, dan akan sulit untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Secara sosiologis, kepercayaan pada
umumnya
dikaitkan
dengan
keterbatasan
perkiraan
dan
ketidakpastian yang berkenaan dengan perilaku orang lain dan motif mereka (Gambetta, 1988 dalam Damsar, 2009:201). Maka dengan kata lain, rasa percaya akan menetralisir dan meningkatkan toleransi pada ketidakpastian yang ada, sehingga suatu hubungan tidak akan diwarnai dengan kecurigaan berlebih. Berikut beberapa definisi konsep kepercayaan menurut beberapa tokoh (dalam Damsar, 2009:185-187),
Torsvik (2000) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko yang muncul dari perilakunya.
Lawang (2004) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan hubungan
antara dua
belah pihak atau
lebih
yang
mengandung harapan yang menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial.
36
Diddens (2005) mengatakan bahwa kepercayaan biasanya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas tertentu.
Dari beberapa definisi yang berbeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
memang dibutuhkan
di
dalam kehidupan
bermasyarakat, terutama dalam berhubungan dan bekerjasama dengan pihak lain. Kepercayaan dapat meminimalisir berbagai resiko yang mungkin terjadi, sehingga mendorong tercapainya suatu tujuan tertentu dengan mudah. Menurut Giddens (2005) terdapat tiga lingkungan yang dapat menimbulkan kepercayaan pada masyarakat modern, yaitu sistem abstrak, relasi personal, dan orientasi masa depan (dalam Damsar, 2009:197-200). Sistem abstrak adalah mekanisme institusional yang mencabut hubungan-hubungan sosial dari konteks lokal. Relasi personal
merupakan
hubungan
kekerabatan,
persahabatan,
dan
pertemanan. Pada masyarakat modern kepercayaan pada level personal menjadi suatu proyek yang ‘dikerjakan’ oleh pihak-pihak yang terlibat, dan menghendaki keterbukaan seorang individu terhadap orang lain, adanya proses timbal balik dan keterbukaan diri. Sedangkan orientasi masa depan berupa pemikiran kontra-faktual sebagai bentuk keterkaitan masa lalu dan masa kini yang dapat menjadi lingkungan kepercayaan pada masyarakat modern. Sedangkan Dunn (1984) menyebutkan bahwa masyarakat modern lebih banyak berjalan di atas sistem kepercayaan yang didasarkan atas cara-cara di mana institusi hadir di hadapan kita dibandingkan pada kepercayaan emosional pribadi (dalam Damsar, 2009:203). Ini ditunjukkan ketika warga berada pada organisasi tertentu yang menuntutnya bekerjasama dengan orang lain dan harus saling percaya satu sama lain antar anggota organisasi dalam menjalankan tugas dan mencapai tujuan bersama. Sehingga kepercayaan yang terjalin bukanlah atas dasar emosional pribadi, melainkan atas dasar profesional yang merupakan tuntutan institusi.
37
Kepercayaan
berfungsi
mengurangi
atau
meminimalisir
kompleksitas sosial serta memelihara keberlangsungan kehidupan masyarakat yang harmonis. Kepercayaan juga akan memperbesar keinginan dan kemampuan seseorang untuk bekerjasama dengan pihak lain
dalam
mencapai
suatu
tujuan
tertentu.
Berdasarkan
kemunculannya, kepercayaan terbagi dalam dua bentuk, yakni kepercayaan askriptif dan kepercayaan prosesual (Damsar, 2009:203). Kepercayaan askriptif tumbuh di dalam sebuah hubungan yang didasarkan pada ciri-ciri yang melekat pada pribadi seperti latar belakang kekerabatan, etnis, dan keturunan. Sedangkan kepercayaan prosesual tumbuh melalui interaksi sosial yang dibangun oleh para aktor yang terlibat, seperti dalam
hubungan bisnis. Kepercayaan
prosesual ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Dunn sebelumnya, bahwa kepercayaan yang dibangun atas dasar institusional (profesional). Kepercayaan tidak akan tumbuh dengan sendirinya, memerlukan waktu dan proses yang lama untuk menumbuhkannya. Menurut Marnia Nes (2008) dibutuhkan beberapa hal untuk memicu dan mendorong terbentuknya modal sosial di dalam kehidupan suatu masyarakat. Maka setidaknya dibutuhkan empat hal mendasar untuk menumbuhkan kepercayaan di dalam suatu kelompok (komunitas), yaitu penerimaan, berbagi
informasi
dan
kepedulian,
menentukan
tujuan,
serta
pengorganisasian dan tindakan. Tanpa adanya penerimaan yang baik antar sesama warga, tidak akan terbangun hubungan yang harmonis satu sama lain. Melalui penerimaan yang baik, akan terjalin hubungan yang baik pula serta akan memudahkan dalam transfer informasi dan menumbuhan sikap kepedulian antar sesama. Adanya tujuan bersama juga akan mendorong terjadinya tindakan kolektif yang lebih terorganisir, sehingga akan lebih mudah di dalam mencapai tujuan tersebut.
38