6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar Menurut Piaget ( Wahyudi dan Kriswandani : 2013) dalam teori belajarnya, “Jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu kepada anak didik, maka kita harus memperhatikan tingkat perkembangan berfikir anak tersebut”. Dalam teori belajar yang disebut Teori Perkembangan Mental Anak (Mental atau Intelektual dan Kognitif) atau ada pula yang menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan Berfikir Anak, Piaget telah membagi tahapan kemampuan berfikir anak menjadi empat tahapan yaitu : 1. Tahap sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun) 2. Tahap operasional awal/pra operasi (usia 2 sampai 7 tahun) 3. Tahap operasional/operasi konkrit (usia 7 sampai 11/12 tahun) 4. Tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas) Belajar adalah suatu akti6tas mental/ psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap (Winkel, 1983 dalam Haryanto , 2010). Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Dengan belajar, perilaku individu akan berubah ke arah yang lebih baik. Berhasil atau tidaknya tergantung dari faktor – faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor eksternal dan faktor internal. a. Faktor eksternal adalah faktor dari luar siswa, yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa meliputi faktor lingkungan sosial (guru, teman, masyarakat dan keluarga) dan faktor lingkungan non sosial (gedung, sekolah, rumah, alat belajar, cuaca dan waktu belajar). b. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri siswa, yaitu keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa meliputi aspek fisiologis (kondisi tubuh dan panca indera), dan aspek psikologis antara lain: intelegensi dalam sikap, misalnya dalam beradaptasi dengan teman, bakat dan minat dalam belajar serta kemauan besar untuk belajar. Sedangkan menurut teori belajar Bruner mengatakan bahwa “Belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran di arahkan kepada konsep-konsep dan stuktur 6
7
yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan dan dengan menggunakan alat peraga serta diperlukannya keaktifan siswa tersebut. Gagne (Slameto : 2013) memberikan dua definisi belajar, yakni: (1) belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku; dan (2) belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat dipahamai bahwa pada dasarnya belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu melalui memberian pengetahuan, latihan maupun pengalaman. Belajar dengan pengalaman akan membawa pada perubahan diri dan cara merespon lingkungan. 2.1.2 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Hasil belajar sering orang menyebutnya prestasi belajar. Menurut Winkel, prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang dicapai (Winkel, 1986 :162). Hasil Belajar menurut Nana Sudjana (2005), merupakan suatu kompetensi atau kecakapan yang dapat dicapai oleh siswa setelah melalui kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru di suatu sekolah dan kelas tertentu. Sehubungan dengan itu, Gagne (dalam Sudjana, 2010) mengembangkan kemampuan hasil belajar menjadi lima macam antara lain: (1) hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem lingsikolastik; (2) strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluasluasnya termaksuk kemampuan memecahkan masalah;
8
(3) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku terhadap orang dan kejadian; (4) informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta; dan (5) keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang. Dalam penelitian ini, hasil belajar yang akan diukur adalah aspek kognitif. Taksonomi Bloom ( Wikipedia : 2013) merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disoleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6). a.
Pengetahuan (Knowledge) Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, faktafakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk.
b.
Aplikasi (Application) Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram.
c.
Analisis (Analysis) Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level
9
ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan
tingkat
keparahan
dari
setiap
penyebab,
dan
menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan. d.
Sintesis (Synthesis) Satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
e.
Evaluasi (Evaluation) Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efekti6tas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efekti6tas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb. Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat diambil
kesimpulan bahwa hasil belajar Matematika materi operasi hitung bilangan bulat dalam pemecahan masalah adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukur yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan , maupun tes perbuatan pada materi operasi hitung bilangan bulat. 2.1.3 Karakteristik Pembelajaran Matematika Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani manthenain yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema
yang
berarti
pengetahuan
atau
ilmu (Wahyudi dan
Kriswandani : 2013 ). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Menurut Jujun S (1997 dalam Wahyudi dan Kriswandani :2013), matematika
10
mengkaji benda abstrak (benda pikiran) yang disusun dalam suatu system aksiomatis dengan menggunakan symbol ( lambang ) dan penalaran dedkutif. Sedangkan menurut Ruseffendy (1989, dalam Wahyudi dan Kriswandani : 2013 ), matematika itu terorganisasikan dari unsure-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya sehingga matematika disebut sebagai ilmu deduktif. Berdasarkan pendapat para pakar diatas dapat dibuat kesimpulan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari konsep-konsep abstrak yang disusun dengan symbol dan merupakan bahasa eksak, cermat, dan terbebas dari emosi. Menurut Suharno (2004, dalam Wahyudi dan Kriswandani : 2013),matematika mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Memiliki objek kejadian yang abstrak 2. Berpola piker deduktif dan konsisten Karakteristik pembelajaran matematika memiliki ciri-ciri khas, yang berbeda dengan pembelajaran lainnya. Menurut Suherman (2003) karaktersitik pembelajaran matematika di sekolah yaitu sebagai berikut: a. Pembelajaran matematika langsung (bertahap) Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertarap yaitudari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar. b. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep ataubahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selaludikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (spiral melebar dan naik). c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif Matematika adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif,aksiomatik. Namun demikian harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran belum sepenuhnya menggunakan pendekatan tetapi masih campur dengan deduktif.
11
d. Pembelajaran matematika menganti kebenaran konsistensi Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah diterima kebenarannya. Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut ( KTSP : 2013) : 1. Memahami konsep
matematika,
menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan
penalaran
pada
pola
dan
sifat,
melakukan
manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek aspek sebagai berikut ( KTSP : 2013) : 1.Bilangan 2.Geometri dan pengukuran 3.Pengolahan data. 2.1.4 Teori Belajar Matematika Van Hiele (dalam Wahyudi dan Kriswandani : 2013) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri, yaitu: 1. Tahap Pengenalan Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita
12
hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu 2. Tahap Analisis Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Anak pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. 3. Tahap Pengurutan Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifatsifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri 4. Tahap Deduksi Pada tahap ini anak sudah dapat
memahami deduksi, yaitu mengambil
kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.” 5. Tahap Keakuratan
13
Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsipprinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Prinsip-prinsip mempelajari matematika (Wahyudi dan Kriswandani , 2013 ) adalah sebagai berikut : 1. Materi matematika disusun menurut urutan tertentu atau topic matematika didasarkan pada sub topic tertentu 2. Seorang siswa dapat memahami suatu topic matematika jika ia telah memahami sub topic pendukung prasyaratnya 3. Perbedaan kemampuan antar siswa dalam mempelajari atau memahami suatu masalah ditentukan oleh perbedaan penguasaan sub topic prasyaratnya 4. Penguasaan topik baru oleh seorang siswa tergantung pada topic sebelumnya. Prinsip-prinsip di atas pada dasarnya sangat sejalan dengan teori belajar Gagne (Hudojo, 1988) yang mengemukakan tentang hierarki keterampilan intelektual, yang merupakan kemampuan untuk menguasai suatu konsep. 2.1.5
Konsep Pendekatan Realistic Mathematics Education ( RME ) Realistic Mathematics Education ( RME), yang diterjemahkan sebagai
pendidikan matematika realistic (PMR), adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudhenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905-1990), bahwa matematika adalah kegiatan manusia ( human acti6ty ). Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermula sari pemecahan masalah, karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dibawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata diartikan
14
sebagai segala sesuatu yang berada diluar matematika, sepert kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistic digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh De Lange (Wahyudi dan Kriswandani : 2013) sebagai lingkaran yang tak berujung sebagai berikut : Dunia Nyata
Matematisasi dalam aplikasi
Matematisasi dan refleksi
Abstraksi dan formalisasi
Gambar 2.1.1 Alur pelaksanaan matematika realistic menurut De Lange Matematisasi dibedakan menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertical. Kedua proses ini digambarkan oleh Gravenmeijer ( Wahyudi dan Kriswandani : 2013) sebagai proses penemuan kembali . Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan symbol mereka sendiri. Sedangkan matematisasi vertical adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam matematika vertical, siswa mencoba menyususn prosedur umum yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa bantuan konteks. Dalam istilah Freudhenthal ( Wahyudi dan Kriswandani : 2013) matematisasi horizontal berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam
15
dunia symbol, sedangkan matematisasi vertical berarti bergerak di dalam dunia symbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal. Proses pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual sebagai awal dalam belajar matematika sebagai ganti dari pengenalan konsep benda abstrak. Dengan demikian proses pengembangan konsep-konsep dan ide-ide dari matematika bermula dari dunia nyata. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata, tetapi juga termasuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak. Dalam pembelajaran Matematika realistik, siswa belajar matematisasi masalahmasalah kontekstual. Dalam proses ini siswa telah melakukan proses matematisasi horizontal. Pada awalnya siswa mencoba untuk memecahkan masalah secara informal ( menggunakan bahasa sendiri ). Tetapi setelah beberapa waktu, siswa familiar dengan proses-proses pemecahan masalah serupa, mereka akan menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri proses penemuan siswa dalam suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal ( Treffer, 1987. dalam Wahyudi dan Kriswandani, 2013). Menurut Lauge ( dalam Wahyudi dan Kriswandani : 2013 ), terdapat lima karakteristik pembelajaran matematika realistik, sebagai berikut : 1. Digunakan konteks nyata untuk eksplorasi 2. Digunakan instrument-instrumen vertical, seperti ; model-model dan diagram, skema-skema, symbol-simbol. Dimana diagram-diagram itu dikembangkan oleh siswa sendiri dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa kedalam model matematika. Sehingga dari proses matematisasi horizontal menuju matematisasi vertical. 3. Menggunakan kontribusi. Kontribusi pada proses pembelajaran diharapkan datang dari konstruksi dan produksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka kearah formal.
16
4. Terdapat interaksi yang terus-menerus antara siswa yang satu dengan yang lain, juga antara siswa dengan pembimbing, sehingga setiap siswa mendapat manfaat dari interaksi tersebut. Terdapat banyak keterkaitan antara berbagai bagian dari materi pembelajaran. Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah essensial. Dengan keterkaitan ini memudahkan siswa dalam proses pemecahan masalah. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan RME menurut Wahyudi dan Kriswandani (2013 ) adalah sebagai berikut : 1)
Langkah 1, memahami masalah kontektual Guru memberikan masalah kontekstual (masalah dalam kehidupan sehari-hari)
dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini mengacu pada karakteristik pertama PMR, yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai starting point dalam pembelajaran. 2)
Langkah 2, menjelaskan masalah kontektual. Setelah siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan guru, pada langkah
ini siswa diberi kesempatan untuk mendiskripsikan masalah kontekstual tersebut kemudian mengembangkan atau menciptakan suatu strategi untuk menyelesaikan masalah, dalam bentuk matematika informal (dapat berupa diagram, gambar, simbol dan lainnya) atau juga matematika formal seperti konsep dan algoritma yang telah mereka pelajari sebelumnya. Langkah ini mengacu pada karakteristik keempat dari PMR, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing. 3)
Langkah 3, menyelesaikan masalah kontektual. Siswa secara individu menyelesaikan masalah kontektual dengan cara mereka
sendiri. Cara pemecahan dan jawaban berbeda lebih diutamakan. Prinsip pendidikan matematika relistik yang muncul dalam langkah ini adalah prinsip ketiga yaitu self developed models. Sedangkan karakteristik dari PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik kedua yaitu menggunakan model. 4)
Langkah 4, membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan
atau mendiskusikan jawaban secara berkelompok dan selanjutnya memeriksa atau memperbaiki dengan mendiskusikan di dalam kelas. Langkah ini akan melatih siswa untuk
17
mengeluarkan ide dan berinteraksi antar siswa dan juga siswa dengan guru sebagai pembimbing. Karakteristik dari PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik ketiga dan keempat, yaitu menggunakan kontribusi siswa dan interaksi antara siswa yang satu dengan yang lain. 5)
Langkah 5, menyimpulkan Guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur.
Karakteristik dari pendidikan matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik keempat, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing Sedangkan sintaks dari Pendekatan RME adalah sebagai berikut (Suharta dalam Kadir,2005 ) : Tabel 2.1 Sintaks Pendekatan RME Akti6tas Guru Guru
memberikan
siswa
Akti6tas Siswa masalah Siswa secara sendiri atau kelompok kecil
kontekstual
mengerjakan masalah dengan strategistrategi informal
Guru merespon secara positif jawaban Siswa memikirkan strategi yang efektif siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk untuk memberikan jawaban memikirkan strategi siswa yang paling efektif Guru mengarahkan kepada siswa pada Siswa beberapa
masalah
kontekstual
secara
sendiri-sendiri
atau
dan kelompok kecil menyelesaikan masalah
selanjutnya meminta siswa mengerjakan tersebut masalah
dengan
menggunakan
pengalaman mereka Guru
mengelilingi
siswa
sambil Beberapa siswa mengerjakan di papan
memberikan bantuan seperlunya
tulis
Guru mengenalkan istilah konsep
Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan
18
Guru memberikan tugas di rumah yaitu Siswa merumuskan bentuk matematika mengerjakan
soal
atau
membuat formal
masalah cerita serta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru 2.1.6 Konsep Alat Peraga manipulatif Matematika merupakan konsep yang bersifat abstrak, maka sedapat mungkin dalam pembelajarannya dibuat kongkrit, sehingga mudah dipahami siswa. Untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi kongkrit dibutuhkan alat peraga. Dalam penelitian ini , peneliti memilih menggunakan alat peraga manipulatif sebagai salah satu upaya untuk menjadikan pembelajaran matematika menjadi lebih nyata dan lebih menarik bagi siswa. Menurut Gunawan (Hardiyana, 2011), alat peraga pengajaran (teaching aids audio6sual aids) adalah alat-alat yang digunakan oleh guru pada saat mengajar untuk memperjelas materi pelajaran dan mencegah terjadinya verbalisme pada siswa. Menurut Sudjana (2010), Pengertian Alat Peraga Pendidikan adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien. Faizal (2010), mendefinisikan Alat Peraga Pendidikan sebagai instrument audio maupun 6sual yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan membangkitkan minat siswa dalam mendalami suatu materi . Afriani (2004) mengemukakan bahwa ‘pengertian manipulatif yaitu bersifat manipulasi. Manipulasi mengandung pengertian tindakan mengerjakan sesuatu dengan tangan atau alat-alat mekanis dengan terampil ; upaya orang atau beberapa orang untuk mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa orang lain itu menyadarinya.’ Hardiyana (2011) menyatakan bahwa :Alat peraga manipulatif (manipulatif material) adalah alat bantu pelajaran yang digunakan oleh guru dalam menerangkan materi pelajaran dan berkomunikasi dengan siswa, sehingga mudah memberi pengertian kepada siswa tentang konsep materi yang diajarkan dengan menggunakan benda-benda yang
19
didesain seperti benda nyata yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari, seperti buah-buahan, binatang, alat transportasi berupa mainan dan manik-manik yang dengan mudah diutak-atik diubah-ubah. Rahmawati (2008) menyatakan bahwa: Alat peraga manipulatif adalah suatu benda yang dimanipulasi oleh guru dalam menyampaikan pelajaran matematika agar siswa mudah memahami suatu konsep. Penggunaan alat peraga manipulatif ini dimaksudkan untuk mempermudah peserta didik dalam memahami konsep dan prosedur matematika. Alat peraga manipulatif ini berfungsi untuk menyederhanakan konsep yang sulit/sukar, menyajikan bahan yang relatif abstrak menjadi lebih nyata, menjelaskan pengertian atau konsep secara lebih konkret, menjelaskan sifat-sifat tertentu yang terkait dengan pengerjaan (operasi) hitung, sifat-sifat bangun geometri serta memperlihatkan fakta-fakta (Muhsetyo dkk, 2007). Menurut Ruseffendi (Hardiyana,2011) Alat peraga memiliki fungsi / manfaat diantaranya : 1. Siswa akan lebih banyak mengikuti pelajaran matematika dengan gembira; 2. Dengan disajikannya konsep abstrak matematika dalam bentuk konkret, siswa akan lebih mudah memahami dan mengerti; 3. Alat peraga dapat membantu daya tilik ruang dalam geometri; 4. Siswa menyadari adanya hubungan anatara pengajaran dengan benda-benda yang ada di sekitamya; 5. Konsep-konsep abstrak disajikan dalam bentuk konkret. Tujuan digunakannya alat peraga antara lain : 1. Memberikan kemampuan berpikir matematika secara kreatif. 2. Mengembangkan sikap yang menguntungkan ke arah berpikir matematika. 3. Menunjang matematika di luar kelas, yang menunjukkan penerapan matematika dalam keadaan sebenarnya. 4. Memberikan motivasi dan memudahkan abstraksi. Standar penggunaan alar peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika diantaranya : 1.
Alat peraga memuat petunjuk penggunaan dan pemeliharan yang jelas.
2.
Alat peraga mengandung hubungan yang jelas dengan suatu konsep Matematika.
20
3.
Penggunaan alat peraga diarahkan secara kerjasama atau kelompok kerja untuk membantu meningkatkan pemahaman matematikanya.
4.
Guru mengatur waktu kegiatan eksplorasi siswa dengan baik agar siswa terbiasa mengatur waktu dalam belajar.
5.
Alat peraga sebaiknya variatif dalam bentuk, ukuran, warna serta tingkatan pemahaman konsep yang diharapkan.
6.
Alat peraga dapat digunakan dengan berbagai cara dalam memecahkan masalah untuk menumbuhkan kreati6tas siswa.
7.
Guru mendukung dan respek terhadap penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika agar siswa pun memiliki sikap yang baik terhadap pembelajaran matematika menggunakan alat peraga.
8.
Guru menjamin ketersediaan alat peraga yang dibutuhkan siswa serta mudah untuk digunakan (diakses).
9.
Guru mampu mengatasi kesulitan atau resiko yang terjadi dari penggunaan alat peraga.
10. Guru melaksanakan penilaian berbasis kinerja (performent-based assessment). Keunggulan alat peraga manipulatif adalah sebagai berikut : 1.
Keunggulan alat peraga manipulatif adalah dapat membantu meng6sualkan konsep yang abstrak kepada siswa sehingga siswa mudah memahami suatu konsep pembelajaran matematika.
2.
Selain itu, alat peraga manipulatif dipakai bukan saja untuk pelajaran matematika tetapi pelajaran lain yang terkait sesuai tema.
Alat peraga manipulatif yang akan digunakan pada penelitian kali ini yaitu : 1.
Kalender tahun 2013
2.
Gambar kue donat dan permen
3.
Replika lampu lalu lintas
4.
Tali plastik Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa alat peraga
manipulatif adalah suatu alat yang diperagakan, baik berupa alat atau benda sesungguhnya maupun berupa benda tiruannya guna memberikan gambaran yang lebih
21
jelas kepada anak didik tentang sesuatu yang dipelajarinya. Media pembelajaran dapat berwujud perangkat keras maupun perangkat lunak. 2.1.6
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan RME menggunakan alat Peraga Manipulatif Dalam pendidikan matematika dua komponen matematisi yaitu matematisi
horizontal dan matematisi vertikal. Matematisi horizontal menunjuk pada proses transformasi masalah yang dinyatakan dalam bahasa sehari-hari kebahasa matematika. Sedangkan matematisi vertikal adalah proses dalam matematika itu sendiri. Pendekatan realistik selain alam arah vertikal juga mempelajari dalam arah horizontal sehingga pada pendekatan realistik langkah-langkah memahami suatu masalah dengan melalui teranslasi timbal balik dari bentuk-bentuk representasi enaktif, ikonik dan simbolik, serta pengertian dalam matematika (Wahyudi dan Kriswandiani :2013). Menurut Yuwono (2001). Pembelajaran yang berorientasikan pada RME dapat dicirikan oleh: (a) Pemberian perhatian yang besar pada “reinvention” yakni siswa diharapkan dapat membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing; (b). Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkrit atau dari sekitar siswa; (c). Selama proses pematematikaan siswa mengkonstruksi gagasannya sendiri, tidak perlu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya; (d). Hasil pemikiran siswa di konfrontir dengan hasil pemikiran siswa yang lainnya. Menurut Marpaung (2001) Pendekatan RME bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya artinya siswa bebas mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain, guru membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik buat mereka Penggunaan alat peraga manipulatif dimaksudkan untuk mempermudah peserta didik dalam memahami konsep dan prosedur matematika. Alat peraga manipulatif ini berfungsi untuk menyederhanakan konsep yang sulit/sukar, menyajikan bahan yang relatif abstrak menjadi lebih nyata, menjelaskan pengertian atau konsep secara lebih konkret, menjelaskan sifat-sifat tertentu yang terkait dengan pengerjaan (operasi) hitung, sifat-sifat bangun geometri serta memperlihatkan fakta-fakta (Muhsetyo dkk, 2007).
22
Alat peraga manipulatif akan membantu mangkonkritkan materi pembelajaran matematika yang bersifat abstrak. Penggabungan penggunaan pendekatan RME dengan alat peraga manipulatif akan menjadikan pembelajaran matematika menjadi terkesan lebih nyata karena mengangkat masalah sehari-hari yang dialami para siswa disertai penggunaan alat peraga yang membuat konsep matematika yang abstrak menjadi lebih konkrit dan mudah dipahami. 2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Tabel 2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Nama Peneliti
Judul
Sri
Efekti6tas
Subarinah
Hasil Penelitian
Metode
Model Metode Model pembelajaran
pembelajaran matematika realistik matematika
( 2007 )
realistik
efektif
untuk meningkatkan akti6tas dan untuk meningkatkan akti6tas hasil belajar siswa sekolah dasar
dan hasil belajar siswa sekolah dasar
Peningkatan hasil belajar siswa melalui penggunaan alat peraga Yuli Widiawati ( 2009 )
manipulatif dalam pembelajaran konsep
perkalian
pada
mata
pelajaran matematika di kelas IV (empat) SDN Tegalpanjang
Penggunaan
alat
peraga
manipulatif untuk meningkatkan pemahaman konsep
siswa
perkalian
Tegalpanjang untuk
tentang di
SDN
terbukti efektif meningkatkan
pemahaman siswa dan hasil belajar siswa.
2.3 Kerangka Pikir Berdasarkan kajian teori, maka peneliti menyusun kerangka berpikir sebagai berikut: Pembelajaran Matematika pada tahap prasiklus, peneliti belum menggunakan metode yang tepat dan kurang menarik sehingga hasil belajar siswa dan kualitas pembelajaran relatif rendah. Pada tahap siklus I, peneliti sudah menggunakan pendekatan RME dan alat peraga manipulatif sehingga hasil belajar dan kualitas pembelajaran
23
meningkat tetapi belum maksimal. Peneliti melanjutkan tindakan pada tahap siklus II dengan pada kompetensi dasar yang sama. Pada tahap ini diperoleh peningkatan hasil belajar dan kualitas pembelajaran yang optimal. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, diduga pembelajaran Matematika siswa kelas 6 semester I menggunakan pendekatan RME dan alat peraga manipulatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. hasil belajar siswa rendah
Pembelajaran belum menggunakan pendekatan RME menggunakan alat peraga manipulatif
Kondisi Awal
TINDAKAN
Pembelajaran sudah menggunakan pendekatan RME dan alat peraga manipulatif
Siswa kurang aktif
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan RME : 1. memahami masalah
kontekstual
2. menjelaskan masalah
kontekstual
3. menyelesaikan masalah
kontekstual
4. membandingkan dan
mendiskusikan jawaban
5. menyimpulkan Kondisi Akhir
SIKLUS II Pembelajaran Matematika menggunakan pendekatan RME dan alat peraga manipulatif dapat meningkatkan hasil belajar
SIKLUS II
2.4 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir, disusun hipotesis tindakan sebagai berikut: penggunaan pendekatan RME dan Alat Peraga Manipulatif dapat meningkatkan hasil belajar Matematika materi operasi hitung bilangan bulat dalam pemecahan masalah pada
24
siswa kelas 6 SDN Kenconorejo 02 Kabupaten Batang semester I tahun pelajaran 2013/2014.