BAB I 1.1. Latar Belakang Ruangan seluas tiga puluh meter persegi tersebut tampak penuh dan riuh dengan ibu-ibu yang sedang sibuk membuat berbagai kerajinan dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Product (NTFP). 1 Terlihat ada piring dari lidi, tas dan dompet yang terbuat dari rotan, tempat HP dan gantungan kunci dari pandan dan berbagai peralatan rumah tangga dari bahan bambu. Beberapa perempuan sambil bergurau, sedang sibuk memisahkan lidi kelapa dan lidi kelapa sawit dari tangkai pohonnya. Di sudut yang lain beberapa ibu-ibu asyik dengan pisau yang dibawa dari rumah masing-masing untuk memisahkan daun yang menempel dari lidi. Sementara itu di sudut ruangan dekat pintu masuk, ibuibu lainnya sedang sibuk mengecat piring dan keranjang buah yang sudah selesai dibuat. Siang itu pada medio April 2013, ibu-ibu dari desa Senamat Ulu, Muara Bungo, Jambi yang tergabung dalam kelompok kerajinan perempuan sedang berkumpul
untuk
mengikuti
pelatihan
pembukuan
sederhana
yang
diselenggarakan oleh LSM lokal yaitu Komunitas Konservasi Indonesia (KKIWARSI). Sambil menunggu pelatihan dimulai, ibu-ibu membuat piring dan keranjang buah dari bahan lidi. Ilmu membuat keranjang dan piring dari lidi baru 1
NTFP merupakan asset kekayaan hayati yang sangat penting bagi hutan-hutan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Disamping kekayaan jenis yang melimpah NTFP juga menjadi tempat bergantung dan sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan. NTFP dari dalam hutan merupakan sumber makanan, bahan konstruksi, bahan bakar, sumber obat-obatan dan sumber penghasilan yang dapat dijual. NTFP yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi hingga saat ini antara lain damar, rotan, bamboo,getah-getahan, jelutung, bumbu-bumbuan hutan, edible oil, sarang burung wallet, dan lain-lain.( Aliansi Masayarakat Adat Nasional (AMAN), “Hutan Bukan Hanya Kayu, Meningkatkan Posisi Tawar Masyarakat Untuk Menghadapi Pasar Melalui Hasil Hutan Non Kayu, Telapak Indonesia, 2001, hal 83)
1
saja didapatkan dari pelatihan pembuatan kerajinan yang diselenggarakan oleh Dinas Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK) Kabupaten Muara Bungo beberapa hari sebelumnya. Sementara itu, pelatihan pembukuan tersebut memang sengaja dilakukan untuk memberikan pemahaman dan pendampingan manajemen keuangan pada anggota kelompok kerajinan perempuan di Senamat Ulu. Itulah gambaran salah satu kegiatan yang dilakukan dalam kelompok kerajinan anyaman perempuan desa Senamat Ulu. Kelompok kerajinan ini didirikan tiga tahun lalu dibidani KKI-WARSI yang selanjutnya dalam tesis ini akan disebut Warsi, sebuah LSM lokal di provinsi Jambi. Pada awal pembentukannya jumlah anggota yang tergabung adalah 20 orang, kini jumlah anggota kelompok hampir mencapai 60 orang dan tersebar di tiga dusun yaitu di dusun Tegan, dusun Senamat Hilir, dan dusun Senamat Mudik. Setelah terbentuknya kelompok kerajinan anyaman perempuan, berbagai pertemuan dan pelatihan yang dikhususkan bagi perempuan menjadi cukup akrab dikalangan perempuan. Selama saya berada di desa tersebut, setidaknya sudah ada dua kali pelatihan yang diselenggarakan guna mendukung berkembangnya kelompok kerajinan anyaman yaitu pelatihan pembukuan dan pelatihan peningkatan skill pembuatan kerajinan. Disamping itu keberadaan kelompok kerajinan anyaman juga memberikan manfaat yang cukup besar bagi perempuan. Diantaranya adalah bisa menghasilkan tambahan uang, sarana sosialisasi, perhatian pemerintah yang meningkat hingga mendapatkan pelatihan dan ilmu pengetahuan terkait kerajinan. Selain potensi HHBK yang melimpah, alasan pembentukan kelompok ini juga
2
lantaran cukup banyak perempuan Senamat Ulu yang sudah memiliki kebiasaan menganyam kerajinan sejak dulu namun selama ini kerajinan yang dibuat hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga saja. Wilayah Senamat Ulu ini merupakan wilayah yang telah dipersiapkan Warsi untuk mengajukan desa ini menjadi wilayah Demonstrasi Activity (DA)2 atau daerah percobaan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) melalui skema program PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) atau skema Community Base Forest Management (CBFM). Warsi sendiri memanfaatkan isu perubahan iklim dan REDD untuk kampanye advokasi guna memperluas kawasan kelola masyarakat melalui skema yang berupa Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Adat. Warsi juga sedang mengusulkan Lanskap Ekosistem di Kecamatan Batin III Ulu ini yaitu Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) yang terdiri dari beberapa desa termasuk desa Senamat Ulu sebagai area model pembelajaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui skema CBFM tersebut. Khusus untuk Senamat Ulu, Hutan Desa menjadi salah satu kendaraan dalam rangka persiapan implementasi REDD+ di Senamat Ulu pada masa depan. Skema PHBM inilah yang nantinya dikembangkan sebagai basis REDD+. Alasannya sederhana saja bahwa secara kasar dalam program REDD+ ini masyarakat yang berada dikawasan hutan atau masyarakat yang mempunyai wilayah hutan, akan dibayar oleh dunia karena sudah menjaga kawasan hutannya. Dalam websitenya www.warsi.or.id dijelaskan bahwa jika PHBM sebagai basis 2
Demonstration Activities (DA) adalah kegiatan pengujian dan pengembangan metodologis, teknologi dan institusi pengelolaan karbon hutan dalam rangka fase persiapan (readiness) penerapan REDD+.
3
program REDD+, maka menjadi syarat penting adalah mesti harus jelas wilayah atau daerah kawasan hutan yang akan didorong, bahkan juga mesti harus ada kelembagaan yang dibentuk di tingkat masyarakat sebagai pengelola kawasan tersebut. Kalau tidak seperti itu maka bisa saja masyarakat tidak bisa mendapatkan manfaat REDD+ tersebut. Dalam perkembangannya Jambi menjadi salah satu wilayah yang dijadikan tempat untuk program REDD+ ini. Di Indonesia sendiri ada beberapa tempat yang rencananya akan dimasuki program ini yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Lombok Tengah, Gorontalo, Jambi, Sulawesi Utara, Papua, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sumatera Barat.3 Selain Jambi, wilayah lain yang juga sudah dimasuki program ini adalah Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Pada 23 Desember 2010, pemerintah Indonesia memutuskan Kalimantan Tengah menjadi wilayah proyek percontohan REDD+ yang telah di danai oleh Pemerintah Norwegia. Perubahan iklim dan emisi gas karbon menjadi isu yang mendapat perhatian dunia dan mendorong kesepakatan mengenai perlindungan terhadap kelestarian hutan dengan memberikan dana kepada negara berkembang salah satunya Indonesia. Kesepakatan tersebut adalah memunculkan program REDD+. Program REDD+ ini dijalankan oleh pemerintah Indonesia dengan Norwegia. Dimana ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara Norwegia dan Indonesia yang menyetujui penerapan program REDD+ di Indonesia. Menurut United 3
http://www.reddindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=205&Itemid, diakses 26 april 2013
4
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pengertian REDD+ adalah pendekatan dan aksi yang akan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun dalam perbincangan, REDD+ lebih mengacu kepada: (i) pengembangan mekanisme untuk memberi imbalan negara berkembang yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; dan (ii) kegiatan persiapan yang membantu negara-negara untuk mulai berpartisipasi dalam mekanisme REDD.4 Keikutsertaan Indonesia dalam rangka mengurangi deforesterasi hutan ditegaskan Presiden SBY dengan menyampaikan komitmennya di Pittsburg, Amerika Serikat dan di Copenhagen pada konferensi G 20 dan COP 15 yang menyatakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen secara unilateral dan 41 persen jika ada dukungan negara maju pada tahun 2020 (CIFOR, 2012:28). Tindak lanjut dari pertemuan ini, pada tanggal 28 Mei 2010 lalu, Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Pemerintah Norwegia, yang bertempat di Oslo. Perjanjian ini menegaskan komitmen Indonesia dan Norwegia terhadap upaya pengurangan emisi karbon melalui bantuan senilai US$ 1 milyar kepada Indonesia. Selanjutnya pada bulan Mei 2010 dibentuk Satuan Tugas REDD+, sebuah badan ad hoc yang melapor langsung kepada Presiden. Tahun 2011 pemerintah menerbitkan moratorium selama dua tahun atas hak pengusahaan hutan baru berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011. Tujuan Moratorium adalah untuk perbaikan tata kelola dan penegakan hukum. Sementara itu REDD+ dihubungkan dengan Protocol Kyoto terkait dengan 4
Arild Angelsen dan Stibniati Atmadja (Editor) “Melangkah maju dengan REDD Isu, pilihan dan implikasi”, CIFOR 2012, hal 18
5
agenda perubahan iklim, adalah program mempersiapkan mekanisme pasar yang memungkinkan negara industri melepas tanggung jawab menurunkan emisi karbon hasil industrialisasi dengan membiayai program penurunan emisi di negara lain. Program REDD+ merupakan skema global terkait aksi penyelamatan lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim. Inisiatif ini ditawarkan kepada negara-negara berkembang dalam menanggapi isu-isu terkait deforestrasi dan degradasi hutan. Bagi negara-negara yang mampu melaksanakan dan melestarikan hutan beserta cadangan karbonnya, akan diberi insentif melalui konversi karbon. Istilah REDD mulai dikenalkan dalam Subsidary Body For Scientific and Technological Advisce (SBSTA) sesi 29 UNFCCC COP 14 Di Poznan, Polandia pada Desember 20085. Program REDD+ di provinsi Jambi sendiri masih dalam tahap persiapan implementasi, namun beberapa program kerja terkait REDD+ telah mulai dilakukan pemerintah daerah. Diantaranya adalah pembuatan Strategi Daerah (STRADA), pembetukan Sekretariat Bersama (Sekber) dan penentuan wilayah DA yang terletak di Taman Nasional Berbak (TNB) yang diinisiasi oleh LSM Internasional yaitu Zoological Society of London (ZSL). Program REDD+ disamping terkait dampak ekologis hutan, implementasi berbagai program kerja ini akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Dalam implementasinya, insiatif REDD ini masing-masing menyimpan 5
Pada COP (Conference of the Parties) 14 di Poznan, Strategi REDD+ bertambah disamping untuk mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (dua ketetapan awal REDD), juga sebagai peranan konservasi; pengelolaan hutan secara berkelanjutan; dan sebagai peningkatan cadangan karbon hutan. (http://unfcc.int/resource/docs/2008/sbta/eng/13.pdf), (diakses 28 Mei 2013)
6
teka-teki terkait siapa saja yang berhak mendapatkan insentif tersebut, juga mengenai bagaimana mekanisme kerja yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam memeratakan pengelolaan yang berbasis kesetaraan gender. 6 Gender dalam kebijakan global dan skema mitigasi iklim seperti REDD + sangat penting dipertimbangkan. Untuk memampukan keberhasilan REDD+ jangka panjang di lapangan, kebutuhan berdasarkan gender, pemanfaatan dan pengetahuan mengenai hutan akan menjadi masukan penting bagi kebijakan dan intervensi. 7 Resiko potensial REDD+ untuk kaum perempuan mencakup pembatasan terhadap aktivitas penghidupan atau akses hutan, yang dapat menimbulkan beban kerja yang lebih tinggi atau kehilangan pendapatan, dan tidak diikutsertakan dalam mekanisme pembagian keuntungan.8 Pembangunan hutan selama ini identik dengan peran laki-laki. Padahal dalam sebuah konsep pembangunan partisipatif pelaksanaan sebuah program dalam hal ini program pembangunan harus melibatkan seluruh masyarakat baik laki-laki ataupun perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati manfaat pembangunan. Keberhasilan pembangunan kehutanan ternyata tidak hanya ditentukan hal-hal yang bersifat teknis saja namun juga sangat di tentukan oleh hal-hal non teknis seperti adanya partisipasi aktif dari masyarakat sekitar hutan. 6
Menurut Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia (2002), Kesetaraan gender merupakan inti dari pembangunan, sebagai sebuah tujuan yang harus dicapai demi pembangunan itu sendiri ( Pembangunan Berspektif Gender: Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, (terjemahan). World Bank. 2002, Jakara, Dian Desa. 7 (UN REDD Programme 2011 The Bussines case for mainsteaming gender in REDD+ . UN REDD+ Programme Secretariat, Jenewa Swiss. 8 Gurung, J., Giri,. K., Settyowati, A.B. dan Lebow, E, 2011 Getting REDD+ Right For Women, an Analysis Of The Barriers and Opportunies For Women‟s Participation In The REDD+ Sector In Asia. USAID , Washinthong, D.C, p 112
7
Seperti yang dikemukakan oleh Shiva (1997: 8), pembangunan yang terjadi saat ini merupakan pembangunan yang timpang. Dikatakan timpang, karena mengabaikan prinsip feminisme, pelestarian dan ekologi. Dalam pembangunan yang timpang, tercipta keterpecahan, di mana dominasi laki-laki atas alam dan perempuan masih menjadi pijakan yang masih kuat. Pada akhirnya, mengakibatkan kekerasan terhadap alam dan kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh Shiva menegaskan bahwa pembangunan yang timpang berarti kematian prinsip feminitas. Keterbelakangan perempuan akan meningkatkan penindasan atas mereka, dan terciptanya krisis ekologi dengan perusakan alam tanpa batas (1997: 6-7). Sementara itu Warren setuju dengan pandangan Shiva, hal ini mengindikasikan antara manusia dan alam masih terjerat kuat pada adanya suatu hubungan yang penting antara dominasi perempuan dan dominasi alam (Tong, 2010: 360). Seharusnya perempuan turut serta dalam pembangunan dan mendapat kedudukan, peran dan akses yang sama dalam mengelola sumber daya. Pelibatan perempuan ini pun diharapkan dapat melepaskan perempuan dari perangkap sistem maskulin9, karena pada dasarnya antara perempuan dan laki-laki mempunyai peran masing-masing (Shiva dan Maria Mies, 2005). Perempuan mempunyai andil yang cukup besar dalam kelestarian hutan, ketahanan pangan, kelangsungan sumber daya hayati, dan berbagai aktivitas lainnya terkait hutan
9
Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam ekofeminisme adalah mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam (Megawangi, 1999: 191), dalam istilah Shiva disebut “menghidupkan kembali prinsip feminin”. Karena selama ini sistem maskulin telah merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminin, kualitas feminin yang menurut standar maskulin dianggap rendah adalah baik bahkan superior menurut para ekofeminis.
8
dengan kearifan lokal10 yang dimiliki, sehingga hutan tetap lestari. Dilibatkannya perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemberian peran yang sama dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu strategi bijaksana dalam pembangunan. Perempuan sekitar hutan tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang berhubungan dengan hutan. Hutan menjadi tempat mencari dan menggali pengetahuan pada sektor publik serta sebagai tempat untuk menambah penghasilan keluarga seperti keterlibatan perempuan petani karet, mengumpulkan kayu bakar, mengambil rotan dan hasil hutan non kayu lainnya untuk dijadikan anyaman dan kegiatan lainnya. Hutan juga menjadi tempat ekspresi perempuan yang dapat dilihat dari bagaimana mereka berekspresi membuat kerajinan dengan bahan baku berasal dari hasil hutan. Disamping itu, perempuan memiliki pengetahuan11 tentang obat, dan ramuan tradisional lainnya. Perempuan juga banyak yang memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga, pemenuhan akan sayur-mayur, umbi-umbian dan buah-buahan, tentunya sebagai pemenuhan akan kebutuhan makanan pokok.
10
Lihat Shiva (1997), di mana perempuan India mampu menjaga kelangsungan keanekaragaman hayati dengan pemanfaatan hutan secara feminin (penggunaan pupuk hijau, memangkas pepohonan di bawah kendali “daur seni memotong” akan meningkatkan produktivitas hutan dalam kondisi stabil). Hal ini berarti perempuan mempunyai kearifan sendiri dalam menjaga hutan. 11
Pengetahuan di sini bukan hanya tentang obat-obatan saja sebagaimana tertuang di atas, melainkan banyak hal yang dapat diperoleh dari kehidupan hutan. Senada dengan pandangan Rabindranath tentang arti hutan bagi kehidupan masyarakat India, bahwa hutan merupakan tempat berteduh dan sumber makanan; keterkaitan antara manusia dan alam merupakan sumber ilmu pengetahuan (Shiva, 1997: 70-71).
9
Dalam konteks masyarakat desa Senamat Ulu berbagai program 12 baik yang dibawa oleh pemerintah dan LSM yang masuk di Desa Senamat Ulu, perempuan hampir tidak pernah dilibatkan dalam berbagai pengelolaan hutan yang menempatkan perempuan sebagai subyek program. Pasca Hutan Desa disahkan secara legal melalui SK Menhut Nomor SK.360/Menhut-II/2011 tanggal 7 Juli 2011 dengan luas 1.661 hektar, perempuan mulai dilirik untuk diikutsertakan. Misalnya dalam berbagai rapat terkait pengajuan Hutan Desa (HD) hingga pembentukan pengurus Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD). Intensitas dan partisipasi perempuan semakin terlihat lewat berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Warsi dimana memberikan peluang yang cukup besar bagi keikutsertaan perempuan. Kegiatan pemberdayaan bagi perempuan berupa pembentukan kelompok tani perempuan dan kelompok kerajinan anyaman perempuan. Kelompok kerajinan anyaman perempuan inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Kelompok kerajinan anyaman ini menjadi media untuk perempuan dalam mengaktualisasi berbagai kegiatan perempuan, mendapatkan berbagai bantuan dan pelatihan. Studi ini pun berusaha untuk melihat perubahan kehidupan perempuan terkait peran dan status perempuan, perempuan dengan alam serta relasi gender yang terjadi pasca munculnya program dan kegiatan pemberdayaan yang berdalihkan penyelamatan lingkungan. Dari penuturan di atas akan terlihat kemudian, bagaimana dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat khususnya
12
Beberapa program dan proyek yang masuk ke desa ini diantaranya adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT), ICDP, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), TNCF, Hutan Desa dan program lingkungan lainnya
10
perempuan manakala berbagai program muncul, terutama pada aktivitas perempuan baik di sektor publik maupun domestik. Kajian ini menjadi penting karena dalam design program, perempuan dijamin keterlibatannya dan menjadi salah satu syarat keterlibatan program. Perempuan disini dipandang sebagai pihak yang bisa menjawab kebutuhan kaumnya ketika terlibat aktif dalam program. Penelitian ini penting untuk melihat bagaimana motif atau latar belakang keterlibatan perempuan, bagaimana perempuan merespon suatu program dan strategi perempuan dalam sebuah program pemberdayaan itu sendiri. 1.2. Masalah Penelitian Program yang berkaitan dengan hutan seharusnya mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat untuk ikut serta dalam implementasi kebijakan program itu sendiri. Salah satu unsur yang dinamakan masyarakat adalah perempuan. Dimana perempuan menjadi salah satu bagian penting dalam pengelolaan hutan. Hal ini karena konteks hutan bukanlah obyek yang tunggal dan berdiri sendiri. Namun, untuk hutan kawasan hutan tropis seperti Indonesia memiliki karakteristik khas, dimana hutan juga dimanfaatkan untuk pemenuhan hidup dan juga untuk lingkungan hidup. Dalam konteks perempuan di desa Senamat Ulu juga bersinggungan dengan program kehutanan dan program pemberdayaan yang diperkenalkan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, pihak swasta, hingga LSM. Di Senamat Ulu perempuan khususnya baru banyak terlihat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan setelah Warsi mulai mensosialisasikan Hutan Desa (HD).
11
Perempuan dilibatkan dalam program pengelolaan HHBK melalui pembentukan kelompok kerajinan anyaman dan kelompok tani perempuan. Pembentukan kelompok kerajinan anyaman ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberdayaan. Pasca keberadaan kelompok kerajinan anyaman tersebut perempuan memiliki ruang untuk ikut serta bersuara, mengakses dan mengontrol kebijakan dan pengelolaan sumber daya hutan di Desa Senamat Ulu. Selain itu, peran cukup besar dimainkan oleh Warsi, yang telah memberikan ruang bagi perempuan di desa untuk lebih berdaya dengan melibatkan perempuan. Dari sinilah menjadi menarik untuk melihat bagaimana kelompok anyaman memiliki peran strategis untuk mengelola sumber daya hutan. Meski dalam penelitian ini saya terilhami dengan kerja Warsi untuk melibatkan perempuan dalam programnya namun penelitian ini tidak akan bertujuan untuk mengevaluasi kerja Warsi. LSM ini sudah ada sebelum penelitian ini dilakukan. Hal ini sama dengan berbagai program pembangunan pemerintah yang sudah ada di sana sebelumnya. Jika kemudian bobot nilai analisisnya yang diberikan pada tulisan ini lebih pada bagaimana keterlibatan perempuan dalam kegiatan pemberdayaan Warsi hal tersebut karena Warsi yang memiliki kegiatan khusus pada perempuan di Senamat Ulu. Dari sinilah kemudian penelitian ini ingin melihat: 1. Bagaimana bentuk kegiatan pemberdayaan pada perempuan desa Senamat Ulu yang dilakukan oleh WARSI? 2. Bagaimana perempuan merespon program dan berstrategi untuk bisa bertahan hidup?
12
1.3. Tujuan penelitian Berdasarkkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta aktivitas perempuan Senamat Ulu. 2. Mengetahui bentuk-bentuk pemberdayaan pada perempuan di Desa Senamat Ulu. 3. Melihat dampak, respon dan strategi perempuan dalam berbagai kegiatan pemberdayaan yang berada di Senamat Ulu. 1.4. Tinjauan Pustaka Terkait dengan studi yang membahas tentang perempuan dalam program pembangunan, setidaknya ada beberapa penelitian yang bisa merepresentasikan keterlibatan perempuan dalam sebuah program baik yang dibawa oleh pemerintah, pihak swasta dan LSM. Dibawah ini adalah pemaparan studi pustaka yang meninjau secara umum tentang penelitian perempuan dalam pembangunan, pengelolaan hutan dan gender. Penelitian tentang kajian perempuan dalam pembangunan dan pengelolaan hutan diantaranya adalah tulisan Bina Agrawal (2009) yang berjudul Gender and Forest Conservation: The Impact of Women’s Paticipation in Community. Agrawal yang meneliti tentang pengaruh keikutsertaan perempuan dalam kelompok manajemen hutan memiliki efek yang positif khususnya dalam hal pengelolaan hutan dan konservasi. Dari penelitian yang dilakukan di India dan Nepal tersebut terlihat bahwa kelompok pengelola hutan dengan jumlah
13
perempuan sebagai pengurus kelompok memberikan peran yang cukup besar dan maju bagi bidang kehutanan. Khusus di Nepal, kelompok dengan semua anggotanya adalah perempuan memiliki regenerasi yang lebih baik. Perempuan yang lebih tua bekerja sebagai penjaga hutan yang menjalankan tugas dengan penuh ketelitian. Dampak terpenting dan paling menguntungkan atas kehadiran perempuan adalah keberhasilan program konservasi hutan. Dimana perempuan menggunakan pengetahuan khususnya dalam hal menanam dan memanen dengan pengetahuan yang tidak merusak hutan. Sementara itu penelitian lain memperlihatkan bahwa pembangunan hutan selama ini belum mengikutkan perempuan dalam setiap aspek programnya. Bahkan, keberadaan program malah membuat perempuan terpinggirkan. Seperti kajian yang dilakukan oleh Madu Sharin (2002) tentang Program Pengelolaan Hutan Bersama (Joint Forest Managament Program) di India. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa Program Pengelolaan Hutan Bersama telah berhasil membuat masyarakat merasa bertanggung jawab untuk mengawasi hutannya dan memperoleh pendapatan yang tinggi dari hutan. Warga masyarakat setuju untuk mengkonservasi hutan mereka dan mengikuti aturan-aturan dalam program tersebut. Namun, tidak demikian dengan dampak penerapan program tersebut pada perempuan di desa di Uttarakhand India. Dulunya hutan dikelola oleh perempuan India untuk mengumpulkan kayu bakar, makanan ternak, dedaunan dan hasil lainnya untuk keperluan keluarga. Bahkan para perempuan ini ikut serta dalam
14
mengambil keputusan tentang bagaimana memanfaatkan hutan dan membayar seorang penjaga wanita untuk mengenakan denda bagi mereka yang melanggar peraturan. Ketika program Pengelolaan Bersama Hutan Desa muncul peran ini mulai tergantikan. Kaum laki-laki setempat, yang sebelumnya hanya memberikan sedikit perhatiannya pada hutan, mengambil alih pekerjaan tersebut. Mereka menggunakan uang proyek untuk memperkerjakan tenaga penjaga hutan laki-laki dan memecat penjaga perempuan. Tak hanya di India, di Indonesia keikutsertaan perempuan dalam program pembangunan hutan tak bisa dinafikan. Meskipun selama ini partisipasi perempuan masih minim dan menempatkan perempuan pada posisi yang kurang strategis dalam program hutan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Tri Widayanti (2007) dengan penelitiannya berjudul „Peranaan Perempuan Desa Hutan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Jati, Studi kasus pada pilot Proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur”. Dalam penelitian yang dilaksanakan di desa Randu Akas dan desa Kresek kabupaten Madiun tersebut diketahui bahwa peran perempuan cukup besar dalam pembuatan tanaman hutan jati yang dapat dilihat pada persiapan lahan atau gebrus, pasang acir, penananam, penyulaman, pemangkasan tanaman sela, babat tumbuhan bawah dan dangir tanaman pokok. Sementara kontribusi pendapatan dari pesangem (peserta kegiatan pembangunan hutan jati) untuk keluarga masih kecil dengan curahan waktu yang tak cukup besar pada program pembangunan hutan. Posisi perempuan yang masih cukup kecil dalam pembangunan hutan juga
15
bisa dilihat dalam Penelitian Nova Scorviana H (2013) yang membahas tentang peran perempuan dalam program REDD+ di Kalimantan. Dalam penelitiannya, keterlibatan masyarakat dalam program kegiatan REDD+ yang difasilitasi oleh Kalimantan Forests Climate Partnership (KFCP) telah menghasilkan adanya paradoks dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan tersebut justru lebih bernuansa memperdayakan dibandingkan dengan pemberdayaan perempuan lantaran keikutsertaan perempuan dalam program sangat kecil. Selain jumlah perempuan yang kecil, para perempuan khususnya hanya diikutsertakan pada program pembibitan dan penanaman pohon saja. Selain itu, keberadaan program KFPC hanya menjadi arena baru bagi perempuan untuk mendapatkan uang dan menjadikan perempuan dan masyarakat di wilayah tersebut berorientasi pada proyek. Meski penelitian tentang peran LSM dan kiprahnya dalam pembangunan masyarakat cukup melimpah, dalam pemaparan ini hanya akan dipaparkan beberapa peran LSM yang terkait dengan pemberdayaan perempuan dan masalah lingkungan. LSM ini memiliki fungsi dan peran yang cukup besar mulai dari dalam
merealisasikan
program
pembangunan
baik
melalui
program
pendampingan, pemberdayaan hingga advokasi. Beberapa kajian yang menggambarkan bagaimana peran LSM dalam pembangunan desa diantaranya adalah kajian yang dilakukan oleh Hermanto (2008), dengan tesisnya berjudul “ Non Government Organization (NGO), Negara dan Masyarakat Adat (Studi tentang peran PPSDAK Pancur Kasih dalam memfasilitasi, mediasi dan advokasi pemetaan partisipatigf wilayah adat Dayak
16
Koman di Desa Cenayan Kecamatan Nanga Mahp Kabupaten Sekadau). Dalam tesis tersebut ditemukan bahwa peran PPSDAK Pancur Kasih sebagai fasilitator, mediator dan advokat dalam pemetaan partisipatif wilayah adat berdampak positif bagi masyarakat adat Dayak Konan karena mereka kini telah memiliki peta wilayah adat. Peta wilayah adat tersebut semakin memperkuat adat istiadat dan hukum adat serta memungkinkan masyarakat adat menyusun rencana tata ruang wilayah adatnya. Meskipun demikian PPSADK masih mempunyai kekurangan karena dalam melakukan perannya masih cenderung elitis yaitu hanya melibatkan elit-elit desa, adat, dan elit-elit tertentu sehingga pemetaan partisipatif masih dipersepsikan beragam oleh masyarakat. Selain menjalankan fasilitasi, mediasi dan advokasi kiprah LSM lebih kepada pemberdayaan masyarakat. Seperti kajian yang dilakukan oleh Supriyanto (2010), dengan judul tesisnya “ Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kegiatan LSM PPLH Seloliman dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Ekonomi Masayarakat: Studi di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur”. Dalam kajiannya dipaparkan bahwa pemberdayaan yang dilakukan PPLH Seloliman dilakukan dengan cara pemberian bantuan modal usaha untuk berbagai kegiatan ekonomi masyarakat, penyediaan, penyediaan prasarana bagi pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi, masyarakat melalui pembangunan pembangkit Listrik tenaga Mikrohidro (PLTMH), membantu masyarakat memperlancar penjualan hasil usaha kegiatan masyarakat dengan mendirikan pasar tugu dan MUTOS, mengadakan berbagai pelatihan untuk mengembangkan
17
kegiatan ekonomi masyarakat dan melakukan penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial ekonomi. Dari berbagai penelitian terkait perempuan dan pembangunan hutan yang telah dipaparkan di atas terlihat bahwa keikutsertaan perempuan dalam berbagai program pembangunan baik yang diinisiasi oleh negara, LSM dan pihak lainnya masih kecil. Hal ini terlihat diantaranya dari jumlah perempuan yang terlibat dalam program masih kecil, keikutsertaan perempuan dalam program kebanyakan hanya sebagai pelengkap program dengan hanya mengikutsertakan perempuan dalam program tertentu saja seperti pembibitan dan penanaman pohon saja. Padahal jika dilibatkan perempuan yang tinggal di dekat hutan bisa turut serta dalam mensukseskan program. Bahkan gambaran tentang keberhasilan perempuan dalam pengelolaan hutan seperti di India bisa juga terwujud di Indonesia. Dengan mengikutsertakan perempuan dalam program pembangunan hutan di India, program konservasi hutan cukup berhasil lantaran
yang
diikutsertakan dalam program memiliki kontribusi yang cukup besar. Hal ini karena kedekatan perempuan dengan hutan yang menggunakan pengetahuan khususnya untuk menjaga hutan. Dalam konteks Senamat Ulu, keikutsertaan dan keterlibatan perempuan yang dipicu dengan adanya skema hutan desa yang kemudian diwujudkan dengan kegiatan pemberdayaan yang berupa pembentukan kelompok kerajinan anyaman dengan anggota mayoritas perempuan menjadi cukup menarik untuk dilihat lebih mendalam karena keberadaan program yang masuk desa tersebut telah menimbulkan dampak, respon dan strategi perempuan dalam mengakses sumber
18
daya alam. 1.5. Landasan Teori 1.5.1 Konsep dan Analisis Gender Konsep gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural terhadap kaum perempuan dan laki-laki (Sadli & Soemarti Patmonodewo, 1995: 70; Fakih, 1996: 8). Pada awal kemunculannya, konsep gender lahir dari kajian studi perempuan, dengan tujuan untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan. Definisi konsep gender di atas mendapat penegasan dari Bemmelen (1995), di mana kategori perempuan dan laki-laki yang telah dikonstruksi secara sosial tersebut pada akhirnya membentuk identitas perempuan dan laki-laki, begitupun dengan pola-pola perilaku dan kegiatan di antara dua jenis kelamin tersebut terbentuk. Dalam perspektif gender, jenis kelamin adalah status, dan karenanya seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin tertentu memiliki peran-peran tertentu yang berbeda dengan peran jenis kelamin lainnya. Levy dalam Sajogyo (1983) menyebutnya dengan istilah diferensiasi peran. Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki adalah seseorang yang mempunyai peran tertentu karena status kelaki-lakiannya. Peran tidaklah statis, dan hubungannya bisa berbeda secara lintas budaya dalam kurun waktu berbeda (Sadli, 1995: 73). Peran tersebut mengantarkan pada suatu interaksi sosial yang kompleks yang masih diperkuat oleh bahasa yang digunakan, inilah yang disebut sebagai hubungan gender (Sadli, 1995: 72).
19
Pemaparan di atas, mengantarkan pada munculnya perbedaan gender. Perbedaan gender ini kemudian melahirkan berbagai ketidakadilan dalam prosesnya, secara saling terhubung satu-sama lain. Hal ini termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi; subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik; pembentukan stereotif (pelabelan negatif); kekerasan (violence); beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden); dan sosialisasi ideologi nilai peran gender, (Fakih, 1995: 12-13). Sementara itu, Simatauw menjelaskan bahwa perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan pengelolaan lingkungan hidupnya. Akses dan kontrol tentu saja berkaitan erat dengan adanya pembedaan status dan peran gendernya (berdasarkan jenis kelamin). Menurut Simatauw et al (2001:19) perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan umumnya dibagi menjadi: 1. Peran produktif yaitu kegiatan yang menghasilkan uang atau menghasilkan barang-barang yang tidak dikonsumsi sendiri. Misalnya bertani, bertenak, berburu, menjadi buruh dan berdagang. 2. Peran reproduktif yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat merawat keluarga seperti misalnya merawat anak, memperbaiki perkakas, mengambil air, dan sebagainya. 3. Peran merawat masyarakat yaitu peran yang dijalankan untuk menjalin kebersamaan, solidaritas antar masyarakat, menjaga
20
keutuhan masyarakat, seperti misalnya acara doa kampung, tahlilan, arisan, pernikahan dan upacara adat. 4. Peran politik masyarakat yaitu peran yang dijalankan untuk kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengambil
keputusan
yang berpengaruh pada kehidupan suatu masyarakat, seperti misalnya pertemuan kampung, pemilihan kepala desa, atau dukuh, rapat pembagian tanah dan sebagainya. Akses perempuan dalam mengelola lingkungannya terlihat dari dua sisi yaitu pertama adalah akses formal dengan membuat akses yang dibuat oleh pemerintah, misalnya PKK, dan sebagainya. Kemudian akses non formal yaitu akses melalui jalur lembaga perkawinan. Sementara itu analisis gender merupakan suatu cara untuk mengetahui secara tepat, lengkap, dan menyeluruh tentang kedudukan dan peran perempuan dalam pembangunan di segala bidang, serta untuk mengidentifikasi permasalahan dalam hubungan gender (Achmad dalam Ihromi, 1995). Hal-hal yang bisa dianalisis adalah partisipasi, akses, kontrol, manfaat dan dampak dalam konteks pembangunan bagi perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut, Achmad memaparkan tentang manfaat yang bisa dilihat dari analisis gender, di antaranya untuk: 1. Menunjukkan peran reproduktif perempuan sebagai hal yang penting bagi peran produktif keluarga, di samping pentingnya bagi peran ekonomi perempuan;
21
2. Mengungkapkan profil aktivitas13; 3. Mengungkapkan secara nyata siapa yang mendapatkan apa (profil akses dan profil kontrol14; 4. Mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang menghambat atau mendorong kelangsungan hidup dan kehidupan perempuan dan laki-laki; 5. Menggarisbawahi keperluan perencana akan data yang terinci menurut jenis kelamin pada tingkat rumah tangga guna menantukan kebutuhan; 6. Melihat betapa pentingnya pengelola proyek-proyek mengerti peran “gender”, agar dapat secara tepat menentukan masukan diintervensi yang dibutuhkan; 7. Melihat bahwa proyek-proyek yang tidak mempunyai pengertian “gender” pada akhirnya kurang berhasil dalam penyampaian dan efektivitas. Dalam konteks penelitian ini, analisis gender tersebut digunakan untuk melihat bagaimana kondisi perempuan di Senamat Ulu dengan lebih menyeluruh. Dimana menerangkan profil kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan baik perempuan dan laki-laki serta alokasi waktu yang diberikan pada kegiatan 13
Profil aktivitas, yakni: 1) pendefinisian pekerjaan apa yang dilakukan pada satu komunitas, dan siapa perempuan atau laki-laki (orang dewasa, orang tua, anak-anak) yang membuat pembagian data berdasarkan pembagian kerja berkesetaraan gender di dalam rumah tangga dan komunitas; 2) pengambilan data mengenai apa sebenarnya yang dikerjakan oleh perempuan dan lakilaki,(Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194). 14
Profil akses, merupakan pengungkapan sumber daya-sumber daya apa yang dapat diperoleh,dimiliki dan dinikmati oleh perempuan dan laki-laki; profil control, mengungkapkan bagaimana perempuan dan laki-laki berperan sebagai pengambil keputusan atau penentu dalam penggunaan sumber daya, (Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194-195).
22
tersebut. Dari situlah kemudian kajiain bisa dijadikan pembelajaran bahwa hak dan kepentingan perempuan harus dimasukkan dalam strategi dan proposal skema pembangunan. Perempuan lebih bergantung pada sumberdaya hutan untuk pemenuhan sebagian besar kebutuhan pangan, bahan bakar dan penghidupan, dan karenanya cenderung mengambil peran aktif dalam perlindungan hutan. 1.5.2 Peran LSM Dalam Pembangunan Hutan Peran LSM juga cukup besar dalam program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Setiap LSM memiliki bidang garapan masing-masing sesuai visi dan misi LSM tersebut. Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri no 8 tahun 1990, LSM adalah sebuah organisasi atau lembaga secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya (Ismawan, 2003: 1). LSM atau Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) atau Non Governmental Organization (NGO) dibentuk dengan tujuan untuk membangun keswadayaan masyarakat yang tidak tergantung pada pemerintah (Sugiyanto, 2002:910). Fakih (1996) mengatakan bahwa kontribusi NGO memperkuat masyarakat sipil sangat terbatas. Dengan berfokus pada ideologi NGO, ia menunjukan bahwa meskipun NGO biasanya kritis terhadap kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan NGO secara ideologis tak jauh berbeda dengan paradigma pembangunan pemerintah, yaitu developmentalisme. Perbedaannya hanyalah pada pendekatan dan metode pembangunan. Pemerintah menggunakan pendekatan dari
23
atas (top down) atau nonpartisipatif, sedangkan NGO menggunakan pendekatan dari bawah (bottom up) atau partisipatif. Karena alasan inilah maka NGO sesungguhnya adalah pendukung developmentalisme dan konsekuensinya mereka lebih merupakan bagian dari negara ketimbang masyarakat sipil (Hiariej dkk, 2004:103). Sementara itu, David Koerten melakukan generalisasi LSM berdasar strategi program pembangunan, yang ada 3 tipe generasi LSM. Generasi pertama disebut kelompok generasi bantuan dan kesejahteraan seperti Save the Children, CARE, Catholic Relief Service dan World Vision yang memberikan pelayanan kesejahteraan kepada masyarakat miskin seluruh dunia. Generasi kedua disebut kelompok lokal skala kecil dan swadaya yang merupakan reaksi atas LSM generasi pertama. Seringkali kegiatan LSM tipe kedua ini pararel dengan pemerintah tetapi didasarkan pada landasan layanan pemerintah tidak sampai ke desa-desa. Generasi ketiga disebut kelompok pembangunan berkelanjutan yang mulai meninjau isu dasar berkaitan dengan konsep berkelanjutan, luasnya dampak dan pemulihan biaya yang berulang. (Fakih, 2004:119). Philip Eldridge membagi gerakan LSM menjadi 2 kategori yaitu LSM pembangunan dan LSM mobilisasi. LSM pembangunan memfokuskan pada program-program pembangunan masyarakat konvensional seperti irigasi, air minum, pertanian, peternakan, pusat kesehatan dan pembangunan ekonomi lainnya. LSM mobilisasi memusatkan pada pendidikan dan mobilisasi rakyat miskin terkait isu ekologi, HAM, status kaum prempuan, hak-hak hukum dalam hubungan dengan kepemilikan tanah dan kompensasi bagi tanah yang disita, hak-
24
hak sewa pedagang kecil dan Scavengers (orang-orang yang tidak punya rumah dan tempat tinggal) (Fakih, 2004:120). Dalam konteks pembangunan hutan, hubungan LSM dengan lembaga pembangunan global terutama donor dan organisasi masyarakat sipil trans nasional telah memungkinkan mereka menjadi agen produksi dan reproduksi wacana lingkungan dan pembangunan. Ini terjadi karena lembaga donor dan organisasi masyarakat sipil internasional dengan kekuatan finansialnya mampu mendefiniskan prioritas isu-isu lingkungan yang dirumuskan dalam agenda kerja LSM di negara dunia ketiga. Dalam studi Anja Nygren (1998a) yang mengambil kasus Costa Rika, memberikan kerangka analisis untuk melihat wacana lingkungan. Bagi dia tiga hal pokok harus dilacak yaitu faktor pendorong, tujuan dan strategi. Dari kerangka ini Nygren menemukan empat varian dominan dalam wacana lingkungan dan pebangunan di dunia ketiga. Yaitu: 1. Enviromentalisme Untuk Alam. Dalam wacana ini fokus terpenting dalam pembangunan keberlanjutan adalah kelestarian lingkungan. Hal
ini
bisa
dilakukan
dengan
melindungi
alam
serta
mengkonservasi alam liar dan keanekaragaman hayati. Manusia dianggap berada diluar ekosistem. Krisis lingkungan terjadi sebagai hasil dari tindakan destruktif manusia terhadap alam. 2. Enviromentalisme Untuk Profit. Menurut wacana ini pembangunan berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa pertumbuhan ekonomi. Lingkungan harus diberdayakan secara ekonomi. Pembangunan
25
berkelanjutan diartikan sebagai revitalisasi ekonomi dimana pelaku bisnis bisa didorong untuk berinvestasi misalnya dalam ecotourism, bio-business, ekstraksi hutan dan kegiatan ekonomi lingkungan lainnya. Ini ditujukan agar alam dan keanekaragaman hayati menjadi komoditas yang menguntungkan dan memiliki nilai jual. 3. Enviromentalisme
Alternative.
Wacana
ini
melihat
bahwa
kerusakan lingkungan Dunia Ketiga terjadi karena ekspansi kebudayaan modern barat dalam praktik kebudayaan non barat. Tindakan manusia yang agresif terhadap alam lahir dari modernisasi barat dan non barat yang tidak harmonis dengan alam, bijak dan ramah lingkungan. Model pengelolaan sumber daya alam tradisional yang harmonis terhadap alam adalah jawaban bagi problema lingkungan dan pembangunan. 4. Enviromentalisme Untuk Rakyat. Wacana ini setuju bahwa sistem produksi yang tidak berkelanjutan hanya akan terjadi apabila para agen pembangunan memahami ragam macam rasionalitas dalam masyarakat. Pembangunan lingkungan lokal dianggap akan bisa digunakan sebagai esensi vital untuk mewujudkan pengelolaan lingkungan yang baik dan berbasis manusia. Kunci pokok dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam berkelanjutan adalah adanya partisipasi rakyat dalam setiap proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam. Alam harus dikelola untuk
26
memberikan keuntungan bagi rakyat. Menurut Kurniawan (2012) sejak kemunculannya di era 1970-an, sebagai respon atas kebijakan pembangunan orde baru LSM Indonesia telah menjadi pelopor dalam melahirkan wacana-wacana alternatif khususnya hubungan manusia dengan lingkungan. Dari penelitiannya LSM di Indonesia bergerak dalam isu-isu lingkungan yang tidak berada dalam wacana alur tunggal. Fragmentasi wacana lingkungan terjadi sangat kuat dan dipengaruhi oleh relasi organisasiorganisasi tersebut dengan kekuatan global melalui skema kerjasama program dan pembiayaan melalui jejaring pengetahuan. Dalam penelitian yang melibatkan 27 LSM tersebut, Warsi masuk dalam LSM lingkungan dengan wacana enviromentalisme alternative. Dimana wacana enviromentalisme alternative ini melihat hutan dan masyarakat lokal sebagai kesatuan harmonis. Masyarakat dianggap mewarisi kearifan lokal secara turun temurun. Pengetahuan masyarakat lokal atas alam telah menjadikan mereka bertahan hidup ratusan tahun serta mempu menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Masyarakat lokal adalah penjaga hutan secara bijak untuk kayu bakar, berburu, spiritualitas, mendapatkan obat-obatan dan lain-lain. Praktik manajemen kehutanan modern dianggap selalu merusak. Wacana enviromentalisme alternative yang dikumandangkan aktivis LSM biasanya ditandai dengan eberapa jargon khas seperti “harmoni”, “nilai lokal”, kearifan, tradisi, dan lain-lain. Aktor penting dalam pembangunan berkelanjutan terletak pada masyarakat lokal. Maka tak heran jika kemudian program yang dikembangkan oleh Warsi adalah skema CBFM. Hutan Desa dan Hutan Adat
27
bermaksud untuk memperluas hak kelola masyarakat terhadap hutan. 1.5.3 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan merupakan pendekatan yang muncul sebagai jawaban atas kegagalan pendekatan pembangunan sebelumnya. Pendekatan ini diharapkan mampu menjawab kegagalan pendekatan pembangunan yang telah ada sebelumnya. Dalam struktur patriarkis memunculkan kelompok masyarakat dengan klasifikasi kelompok yang mempuanyai kekuasaan, sehingga dapat mendominasi dan mempengaruhi kelompok yang lain, dalam hal ini penguasaan pada kaum perempuan. Pemberdayaan sebagai pendekatan pembangunan diharapkan mampu membawa perempuan dari kondisi terpinggirkan menuju perempuan yang berdaya dan mandiri. Moose memandang pemberdayaan dalam konteks gender sebagai pembangunan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal, serta menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Anwar, 2007:191). Pendekatan yang sangat menonjol dari pemberdayaan berbasis gender adalah menyoroti masalah marginalisasi kaum perempuan dalam relasi sosial, ekonomi dan politik dan kehidupan berkesetaraan menjadi tujuan utamanya. Dari sisi proses, perempuan sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar dan meraih kedaulatan (Sutoro Eko, 2005: 152-153). Proses tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses dan control terhadap lingkungan, komunitas, sumberdaya dan relasi sosial politik dengan negara.
28
Konsep pemberdayaan di dalam konteks kesetaraan gender pada prinsipnya ditujukan bagi terbangunnya kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan. Strategi pemberdayaan dapat melalui pendekatan individual, kelompok atau kolektif baik bagi perempuan maupun laki-laki sebagai mitra sejajar. Upaya pemberdayaan ini meliputi usaha penyadaran, mendukung dan mengembangkan potensi perempuan di segala bidang kehidupan tanpa membedakan gender. Karena itu, pemberdayaan perempuan merupakan salah satu upaya untuk keluar dari kondisi serba tidak berdaya dan stagnan dengan meningkatkan kapasitas serta kesejahteraan kaum perempuan. Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan non materi yang penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun di antara masyarakat. (Moser, 1989: 18). Menurut Moser (1989) dalam pemberdayaan ditekankan pentingnya perempuan untuk meningkatkan keberdayaan dalam arti kecakapan atau kemampuan perempuan menungkatkan kemandiriannya (Self Reliance) dan kekuatan dalam dirinya (Internal Strength). Dalam konteks ini, pemberdayaan perempuan meliputi pemberdayaan psikologis, sosial budaya, ekonomi dan politik yang berkaitan erat satu sama lain (Ratna Saptari dan Briggite Holzer, 1997:161) Persoalan kemiskinan yang dialami perempuan bukan hanya disebabkan karena perempuan tersebut bodoh atau malas, melainkan karena bekerjanya sistem yang tidak memberi akses atau peluang kepada perempuan untuk mandiri. Jika dalam hak ini sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki
29
dan perempuan, dimana kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Keterbelakangan yang terjadi pada kaum perempuan ini, selain akibat dari sikap irrasioanal yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga disebabkan karena perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan (Fakih, 2008: 83). Inti dari pemberdayaan perempuan terletak pada akses dan kesempatan yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan. Pemberdayaan lebih ditekankan pada kapasitas perempuan untuk meningkatkan kemandirian melalui kekuatan eksternal yang menjamin kesempatan dan peluang perempuan melalui pembangunan yang berkeadilan gender. Program pemberdayaan perempuan sendiri harus dilakukan secara kesinambungan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, tidak terkecuali kaum laki-laki. Adapun tujuan dari program pemberdayaan perempuan dalam pembangunan antara lain yaitu: 1. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri sebagai partisipan aktif (subyek) dalam pembangunan; 2. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan untuk meningkatkan posisi tawar dan keterlibatan dalam setiap program pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun monitoring dan evaluasi kegiatan; 3. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola usaha, baik dalam skala rumah tangga, industri kecil maupun besar untuk menunjang peningkatan kebutuhan rumah tangga maupun
30
untuk membuka peluang kerja produktif dan mandiri; 4.
Meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pembangunan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya ( Nugroho, 2008:164).
Dalam konteks penelitian ini point keempat yaitu meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pembangunan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya menjadi salah satu titik tolak bagi perempuan untuk ikut aktif dalam berbagai program. Hal ini karena kelompok kerajinan ini telah menjadi arena bagi perempuan untuk ikut serta dalam pembangunan. Dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan sebagaimana yang telah diuraikan diatas tidak terlepas dari hubungannya dengan manusia sebagai sasaram pemberdayaan, termasuk dalam konteks gender. Trend isu gender di negara kita saat ini nampaknya lebih dominan menempatkan pihak perempuan untuk menjadi sasaran berbagai program pembangunan dan pemberdayaan. Alasannya antara lain karena partisipasi perempuan dalam pembangunan yang masih relatif tertinggal dibanding kaum laki-laki, kemiskinan, dan lain-lain. Oleh karena itu makna pemberdayaan perempuan yang dimaksudkan dalam penelitian disini adalah sebagaimana yang telah diuraikan pada pemberdayaan di atas, hanya saja yang menjadi fokus utama adalah kaum perempuan. Pemberdayaan perempuan adalah sebuah upaya pembelajaran menuju kemandirian dari kalangan perempuan dalam mempertahankan dan meningkatkan
31
taraf hidup keluarganya, termasuk dalam hal pola pikir, wawasan maupun tindakan konkrit dalam upaya membantu peningkatan ekonomi rumah tangganya. Sehubungan dengan hal itu, maka tiga hal yang telah disebutkan di atas yaitu analisis gender, peran LSM dan pemberdayaan perempuan memiliki benang merah dimana program pembangunan yang dijalankan oleh berbagai pihak harus melibatkan perempuan. Lantaran persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam adalah persoalan perempuan karena merekalah yang langsung menanggung akibat dari setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Mereka yang akan paling menderita jika lingkungan mengalami kerusakan. 1.6. Metode Pengumpulan Data 1.6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang penulis pilih untuk melakukan penelitian ini adalah di desa Senamat Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan selama enam bulan. Sejak awal Februari hingga Juli 2013. Desa Senamat Ulu merupakan desa di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang secara otomatis aspek kehidupan masyarakatnya tak bisa dilepaskan dari hutan. Masyarakat di Senamat Ulu sendiri sudah sejak dulu penghidupannya bergantung pada hutan. Pun demikian dengan perempuan yang sudah tak asing dengan hutan. Sejak tahun 1990-an, desa ini sudah bersinggungan dengan berbagai program kehutanan yang dibawa baik oleh pemerintah, pihak swasta, hingga LSM. Alasan pemilihan wilayah ini karena desa ini merupakan daerah yang banyak bersinggungan dengan berbagai program kehutanan dan lingkungan baik
32
yang di perkenalkan oleh pemerintah maupun oleh pihak lain. Sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai kegiatan dan program pembangunan. Namun, meskipun telah mengenal berbagai program, perempuan Senamat Ulu malah sebaliknya. Dalam perjalanan berbagai program yang datang dan pergi di Senamat Ulu, perempuan belum banyak dilibatkan dalam program pembangunan yang masuk. Hingga, pada tahun 2010 setelah skema Hutan Desa (HD) mulai disosialisasikan pada masyarakat Senamat Ulu, perempuan mulai dirangkul untuk mengelola HHBK
dengan membuat kelompok kerajinan
anyaman perempuan. Selain itu, wilayah ini sendiri sebenarnya bukan merupakan daerah Demonstrative Activity (DA) REDD+ untuk propinsi Jambi. Namun, wilayah ini sudah menjadi tempat sosialisasi “Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia”. Proses Safeguard (kerangka pengamanan) diperlukan sebagai upaya dini untuk memastikan bahwa sebuah program proyek REDD+ tidak melawan tujuannya sendiri. Safeguard memastikan bahwa REDD+ tidak hanya mengurangi pelepasan emisi dari deforestasi dan degaradasi hutan, tetapi pada saat yang sama melindungi dan memberdayakan komunitas yang berkaitan dengan proyek REDD+. Dalam konteks ini perempuan menjadi salah satu pihak yang menjadi subyek program lingkungan ini lewat kelompok kerajinan perempuan. Kelompok kerajinan anyaman perempuan inilah yang akan menjadi alternatif salah satu lembaga pengelola pendanaan REED+ di kemudian hari yang sedang
33
dipersiapkan. Dari kondisi tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon perempuan terhadap berbagai program pembangunan yang ada di desa. Dari sini, baru kemudian akan dilihat bagaimana dinamika perempuan dalam program. Desa Senamat Ulu sendiri merupakan salah satu desa dalam Kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) dengan luas 13.529, 40 ha berdasarkan
SK Menhut No. 739/Menhut-II/2009 tanggal 19 Oktober
2009. Di sekitar hutan lindung ini terdapat beberapa desa yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan hutan. Saya melakukan pemetaan dan pengamatan di dua desa di sekitar Hutan Lindung Bujang Raba. Yaitu Desa Senamat Ulu dan Desa Lubuk Beringin yang jaraknya sekitar 15 km. Desa Lubuk Beringin sendiri memiliki karakteristik yang hampir sama dengan desa Senamat Ulu. Bahkan masyarakat Lubuk Beringin kebanyakan saling kenal dengan masyarakat di Senamat Ulu. Kondisi ini memudahkan untuk melihat kondisi, perbedaan dan perubahan yang terjadi di desa dalam berbagai bidang. Kunjungan ke desa Lubuk Beringin tersebut saya lakukan untuk mengetahui gambaran umum kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar Hutan Lindung. Namun, saya hanya fokus pada satu desa yaitu desa Senamat Ulu, karena program lingkungan yang melibatkan perempuan sedang berlangsung. 1.6.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini saya melakukan pengumpulan data kualitatif yang bersifat primer dan sekunder. Data primer yang saya kumpulkan dengan cara observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Sedangkan untuk data sekunder
34
diperoleh melalui dokumentasi. Observasi Partisipatif merupakan metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung, menulis segala informasi dan data serta hal-hal yang sesuai dengan masalah penelitian. Saya mengikuti berbagai kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Mulai dari mengambil getah karet, memanen padi dengan ani-ani, mencari ikan di sungai dan kegiatan lainnya. Disamping itu saya juga ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan dalam organisasi perempuan dalam hal ini kelompok kerajinan. Mulai dari menganyam, mencari bahan baku hingga ikut serta membantu menjual hasil kerajinan tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena dalam proses ini akan muncul relasi, interaksi dan komunikasi yang intensif antara penulis dan responden untuk meminimalisir kekeliruan pandangan antara keduanya sehingga penelitian etnografi bisa dicapai. Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang lain yang ingin kita pahami. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka. Etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan. Kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk mengintepretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Informan yang saya pilih adalah anggota masyarakat desa, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah, maupun belum menikah. Untuk informan perempuan saya melakukan wawancara dengan perempuan anggota kelompok kerajinan anyaman dan perempuan yang bukan anggota. Wawancara mendalam saya lakukan kepada anggota kelompok perempuan yang tergabung
35
dalam kelompok dan pengurus kelompok. Hal ini saya lakukan untuk mengetahui respon dan tanggapan perempuan sendiri tentang kegiatan pemberdayaan perempuan. Sementara informan laki-laki yang saya pilih adalah anggota dan elit desa serta para suami perempuan baik yang mengikuti kegiatan pemberdayaan maupun tidak. Selain itu saya juga melakukan wawancara dengan stake holder dan tokoh yang berkaitan REDD+ dan keberadaan hutan di Sekitar Senamat Ulu. Mulai dari kepala dinas di kota kabupaten dan provinsi hingga kepala desa. Wawancara yang saya lakukan tergantung dari kondisi saat melakukan wawancara, yaitu wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam.
Untuk
wawancara yang mendalam biasanya saya membuat janji dengan informan beberapa hari sebelumnya. Sementara itu wawancara sambil lalu saya lakukan saat perempuan dan laki-laki melakukan kegiatan sehari-hari. Pada awal kedatangan saya di desa Senamat Ulu, saya datang bersama dengan Warsi. Mereka memperkenalkan saya pada masyarakat dan perempuan di Senamat Ulu. Pada awal penelitian saya banyak dianggap merupakan fasilitator dari Warsi yang akan tinggal selama 6 bulan di sini. Sehingga dalam perjalanan penelitian saya banyak dimintai pendapat tentang kegiatan perempuan. Bahkan saya juga memfasilitasi beberapa kegiatan pemberdayaan lantaran tidak setiap hari fasilitator dari Warsi tinggal di desa. Dalam penelitian ini saya juga membantu memfasilitasi pertemuan-pertemuan dan kegiatan perempuan dan laki-laki yang dilakukan oleh Warsi. Seperti FGD, Rapat dan sebagainya. Namun seiring berjalannya waktu, saya menjelaskan bahwa posisi saya bukan bagian dari Warsi
36
namun sebagai mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Setiap hari saya membuat catatan harian yang berupa hasil dari wawancara dan observasi yang saya lakukan. Hal ini berguna untuk mengingatkan saya berbagai kegiatan yang saya lakukan dan masyarakat lakukan selama penelitian berlangsung. Selain catatan harian yang saya buat saya juga mencatat tentang cerita berbagai kejadian yang disampaikan oleh para informan saya. Data ini cukup penting dan menarik untuk melihat bagaimana proses perubahan yang dialami oleh perempuan dari masa lalu hingga sekarang. Pengumpulan data sekunder saya lakukan dengan kajian pustaka dan mengumpulkan data dari berbagai tempat. Kajian pustaka dilakukan sebagai pencarian data sekunder guna mendukung proses penelitian yang dilaksanakan, terutama untuk mengetahui luas wilayah penelitian, dan data demografi lainnya. Sementara itu, untuk pembahasan saya menggunakan analisis deskriptif. Data yang dikumpulkan kemudian dipilah untuk digunakan secara sesuai agar analisis yang dilakukan lebih dalam. Proses analisis data dilakukan sejak selama pengumpulan data berlangsung. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi, dianalisis, diinterpretasi dan dideskripsikan secara terus menerus sesuai dengan topik, tema dan sub-sub tema dari permasalahan penelitian. Rangkaian makna yang menjadi satuan pengetahuan atau sistem budaya, ditemukan setelah melewati keseluruhan kegiatan analisis. Begitupun kesimpulan analisis dan representasi dari kegiatan penelitian yang dilakukan, diperoleh pada tahap analisis (Spradley, 2007: 132-133).
37