I
BAB I Perilaku Memilih: Analisis Penyebab Tingginya Surat Suara Tidak Sah di Kota Mataram A. Pendahuluan
Ainul Asikin * Bedi S * Faizah Sopan Sapoan H* Eka Sugih G
Pemilihan umum (Pemilu) sebagai cara menjalankan demokrasi telah dikenal dan dipraktekkan sejak lama. Bahkan kini pemilu telah menjadi keyakinan negara modern dalam mengelola sistem politik mereka. Tidak hanya itu, pemilu telah diyakini semua agama sehingga tidak perlu lagi diperdebatkan. Amerika Serikat sebagai pemeluk agama Kristen terbesar dunia, kini menjalankan pemilu, India sebagai pemeluk agama Hindu terbesar juga menjalankan pemilu, termasuk Indonesia sebagai pemeluk agama Islam terbesar sejak Orde Lama hingga kini menjalankan pemilu. Masyarakat (warga negara) adalah komponen penentu berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemilu. Karena pada dasarnya hanya kekuatan pemlih masyarakatlah yang bisa menentukan nasib negara dan bangsa ke depan. Setiap warga negara, apapun latar belakangnya seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, status sosial, dan golongan, mereka memiliki hak yang sama untuk berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah dan pejabat negara. Hak ini disebut hak politik yang secara luas dapat langsung diaplikasikan secara kongkrit melalui pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk paritisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu wilayah dengan memberikan suara secara langsung. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan : “bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
1
I dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil wakilnya. Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyeleggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dalam Pasal 1 angka (1) dikatakan bahwa Pemilihan Umum,
selanjutnya
disingkat
Pemilu,
adalah sarana
pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila
dan
Undang-Undang
Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sesuai Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jadi Pemilu 2014 ini ada dua serangkaian pemilihan umum, dimana pemilihan umum, di mana Pemilu putaran pertama memilih anggota DPR, DPD dan DPRD atau lebih dikenal dengan pemilu legislatif kemudian Pemilu putaran ke dua yaitu memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa
2
I sistem pemilu di Indonesia adalah sistem proporsional dengan daftar calon terbuka untuk DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota dan sistem distrik untuk memilih anggota DPD. Hal ini mendorong seluruh partai politik muncul di Indonesia untuk berebut dalam Pemilu pada bulan April 2014. Sedangkan partisipasi politik merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat yang sangat fundamental dalam sebuah proses demokrasi. Apabila masyarakat mempunyai partisipasi yang cukup tinggi, maka proses pembangunan politik dan praktik demokratisasi berjalan dengan baik. Perwujudan demokrasi di tingkat lokal salah satunya adalah dengan melaksanakan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pemilukada) di daerahdaerah. Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) merupakan orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara maka warga masyarakt berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidupnya dalam keikutsertaan warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan warga negara biasa dibagi dua memepengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputusan politik. Namun tidak semua perwujudan demokrasi ini berjalan dengan lancar. Masih banyak polemik mengenai partisipasi masyarakat di tingkat bawah. Kecenderungan masyarakat terhadap uang (money politic), tingkat kehadiran pemilih ke TPS, tingginya surat suara tidak sah, melek politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik warga merupakan sebuah fenomena yang selalu ada pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Fenomena demikian dapat berdampak
pada
menurunnya tingkat
menentukan pilihan politiknya.
3
partisipasi
masyarakat
untuk
I Partisipasi pemilih sejak tahun 1999 sampai dengan pemilu 2014 mengalami fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara pada pemilu 2014 angka partisipasinya naik sebesar 5 %. Pada kasus Pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan Pemilu Legislatif. Selain menurunnya angka partisipasi pada pemilu, jumlah suara tidak sah juga terus mengalami kenaikan dari 3.3 % pada Pemilu 1999 menjadi 9.7 % pada Pemilu 2004, dan melonjak pada angka 14.4 % di Pemilu 2009.1 Di tengah tingkat partisipasi pemilih yang meningkat, ternyata terdapat anomali pemilu dalam bentuk suara tidak sah yang masih cukup tinggi pada pemilihan anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang secara nasional mencapai 10,77 persen atau sekitar 15.076.606 dari total suara yaitu 140.049.097 suara yang diberikan pada pemilu legislatif yang lalu.2 Jumlah suara tidak sah pada Pemilu 2014 di Kota Mataram juga terjadi. Dimana jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu Legeslatif tahun 2014 sebanyak 292.219 pemilih. Dari jumlah tersebut Surat Suara Sah berjumlah 179.769 sedangkan suara tidak sah sebanyak 38.288. Pada Pilpres tahun 2014 suara sah mencapai 215.388, sedangkan suara tidak sah mencapai 1.455.3 Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan tingginya surat suara tidak sah sangat penting untuk diteliti guna mencari akar masalah penyebab hal tersebut dan mencari solusinya untuk perbaikan kedepan, guna mengetahui seberapa jauh partisipasinya dalam mengawal penyelenggaraan pemilu-pemilu selanjutnya khususnya di Kota Mataram. Kesadaran politik yang cukup tinggi tentu sangat diharapkan. Jika partisipasi masyarakat tinggi
1 2
3
Sumber KPU RI Laporan Penelitian Faktor-faktor Suara Tidak Sah dalam Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI Pemilu 2014 (LP3ES-IFES) http://www.rumahpemilu.org/. Sumber KPUD Kota Mataram
4
I maka kesadaran politiknya juga tinggi, namun jika partisipasi masyarakat rendah maka kesadaran politiknya juga rendah. Bahwa untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dan penyebab tingginya jumlah surat suara tidak sah yang ada di Kota Mataram pada pemilu 2014 maka perlu diadakan penelitian mengenai hal tersebut. Karena Kota Mataram merupakan salah satu Kota di Provinsi NTB yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan Pemilu secara serentak dengan
daerah-daerah
lain
sesuai
dengan
Undang-Undang
demi
mensukseskan demokrasi di negeri ini. Dari uraian di atas, penelitian ini merumuskan tiga permasalahan, yakni; 1) Bagaimana respon dan tingkat partisipasi masyarakat Kota Mataram dalam Pemilihan Umum 2014 ?, 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kehadiran pemilih dalam Pemilihan Umum 2014 di Kota Mataram ? 3) Bagaimana perilaku pemilih menyebabkan surat suara tidak sah pada saat Pemilihan Umum 2014 di Kota Mataram?. Dengan demikian penelitian ini bertujuan; 1) untuk mengetahui respon dan tingkat partisipasi masyarakat Kota Mataram dalam Pemilihan Umum 2014; 2) Untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kehadiran pemilih dalam Pemilihan Umum 2014 di Kota Mataram; 3) Untuk mengetahui perilaku pemilih menyebabkan surat suara tidak sah pada Pemilihan Umum 2014 di Kota Mataram.
B. Tinjauan Teoritis B.1. Konseptualisasi Tentang Partisipasi Politik Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Karya pakar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Kumorotomo
5
I mengatakan
“partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun
individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya.”4 Lebih jauh Kumorotomo mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung. Linier dengan pandangan Kumorotomo, dua penggagas tentang partisipasi politik yakni Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing , mengemukakan: “Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”5 Dalam prespektif yang lebih teknis Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga yang mantan KPU RI Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.6 Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara-negara yang proses modernisasinya secara umum telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara meningkat. Modernisasi politik dapat berkaitan dengan aspek politik dan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo. 6 Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128 4 5
6
I Partisipasi politik pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah7. Sedangkan menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehiudpan politk, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. 8 Dari pengertian mengenai partisipasi politik di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud partisipasi politik adalah keterlibatan individu atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpatispasi aktif dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Terkait dengan perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu: a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. 9 Selain
kedua
bentuk
partisipasi
diatas
ilmuan
politik
juga
mengidentifikasi beberapa kecenderungan perilaku politik masyarakat, yang Sastromatmodjo, S. Partisipasi Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 67 Ibid. Hlm 68 9 Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74 7 8
7
I sering disebut sebagai perilaku apatis, sinisme, alienasi, dan anomie. Masingmasing penyebutan ini dapat dikonseptualisasikan sebagai berikut: 1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala. 2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya. 3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil. 4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.10 Pertanyaan yang sering muncul dan perlu dijelaskan dalam tulisan ini adalah mengapa sebagian orang enggan berpartisipasi dalam politik? menjawab
pertanyaan
ini
dapat
ditelusuri
karya
Untuk
Rosenberg,
yang
menyebutkan ada tiga alasan orang enggan sekali berpartisipasi politik: 11 Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partaipartai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, 10 11
Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131 ibid
8
I beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu. B.2. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum Salah satu sub-bagian yang mendapat perhatian dalam pembahasan sistem politik demokrasi adalah sistem pemilu. Karena itu, bagian ini perrlu menjeaskan konseptualisasi tematik ini dengan dimulai dari penelaahan tentang pemilu. Pemilu adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat atau presiden dan wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga megara dibidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu Negara selama jangka waktu tertentu. Pemilu dilaksanakan dengan menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Konseptualisasi pemilu di atas telah diabstraksikan dalam UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi modern yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga perwakilan
9
I rakyat serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik.12 Lebih lanjut Ali Moertopo, pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang bermaktub dalam pembukaan UUD 1945. Senada dengan itu, Suryo Untoro, mendefinisikan pemilu suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, pemilu dapat dimaknai menjadi tiga macam perspektif, yakni perspektif tujuan, perspektif tingkat perkembangan Negara dan perspektif demokrasi liberal. Ketiga makna ini semakin memperkuat pengetahuan kita mengenai pengertian pemilu menurut para ahli. Rakyat memang harus memahami hal semacam ini agar tidak terjadi kekeliruan dan agar rakyat bisa ikut memantau system politik di Negara ini. Setiap sistem pemilihan umum, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan.13 Secara umum Pemilu memiliki tujuan sebagai berikut; 1) Melaksanakan kedaulatan rakyat; 2) Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat; 3) Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden; 4). Melaksanakan pergantian personal pemerintah secara damai, aman dan tertib (secara konstitusional); 5) Menjamin kesinambungan pembangunan nasional. Sedangkan dalam praktek bernegara di Indonesia tujuan pemilu tercantum dalam UUD 1945 Bab VII B pasal 22 E ayat (2) yang menyebutkan 12 13
Syarbaini, S. DKK, Sosiologi dan Politik, Jakarta, Galia Indonesia, 2002, hlm. 80 Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967, hal. 6-39
10
I pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 15 tahun 2011 bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat konstitusional yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. a.
Langsung yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b.
Umum, pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21
tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi
(pengecualian). c.
Bebas, setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun/dengan apapun.Dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d.
Rahasia, dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya akan diberikan.
e.
Jujur, dalam penyelenggaraan pemilu seitap penyelenggara/pelaksana pemilu, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas, dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat
11
I secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku. f.
Adil, berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol perserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Para ilmu politik mengenal bermacam-maca sistem pemilhan umum,
akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu : “single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil ; biasanya disebut Sistem Distrik) dan multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil ; biasanya dinamakan prorportional Representation atau sistem Perwakilan Berimbang)”.14 a.
Sistem Distrik (Single-member constituency) Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditentukanoleh jumlah distrik. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014, untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah pesertanya perseorangan menggunakan sistem distrik.
b. Sistem Perwakilan Berimbang (Multi-member constituency) Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau sistem perwakilan berimbang. Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan bebarapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan.15
Rahman, H.A. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta, Garaha Ilmu, 2007, hlm. 151 Ibid. 152
14 15
12
I Jumlah total anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan atas dasar pertimbangan dimana setiap daerah pemilih memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilih itu. B.3. Tinjauan Umum Surat Suara Tidak Sah Pemilu 2014 Perbandingan suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI antara tahun 2009 dan 2014 menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada pemilu 2009, suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI mencapai 17,196,020 atau 14.39 persen dari total suara pemilih nasional, sedangkan pemilihan anggota legislatif DPR RI, pemilu tahun 2014, jumlah suara tidak sah mencapai 15,076,606 atau 10.77 persen dari total suara pemilih nasional. Dengan demikian sesungguhnya telah terjadi penurunan jumlah suara tidak sah pada pemilu 2014 sebesar 2,119,414 suara atau 3.63 persen suara dari total suara pemilih nasional.16 Pada saat pemungutan suara pemilu legislatif 2014, suara tidak sah merupakan suatu hal yang tidak bisa dielakkan sebagai deviasi yang sebenarnya masih dapat ditoleransi. Hal tersebut menjadi tidak biasa karena pengamatan terhadap data-data suara tidak sah menunjukkan pola yang relatif merata, tetap dan tidak acak. Suara tidak sah pada tingkat pemilihan anggota legislatif nasional DPR RI, lebih tinggi dibandingkan dengan suara tidak sah pada tingkat pemilihan anggota legislatif kabupaten (DPRD Kabupaten).17 Secara common sense, penyebab suara sah dapat dengan mudah dikaitkan dengan perilaku pemilih dalam memberikan hak suaranya pada saat pemungutan suara. Dengan mengkaitkan aspek perilaku pemilih sebagai faktor tingginya suara tidak sah, maka hulu persoalan suara tidak sah bersumber dari apa yang mempengaruhi preferensi politik pemilih terhadap 16 17
Sumber www.KPU.go.id Laporan Penelitian Faktor-faktor Suara Tidak Sah dalam Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI Pemilu 2014 (LP3ES-IFES) http://www.rumahpemilu.org/
13
I calon, seperti tingkat pengetahuan terhadap calon sebagai hal yang paling cepat diduga. Dugaan tingkat pengetahuan sebagai faktor suara tidak sah dari hasil pemungutan suara, sesungguhnya bukanlah hal yang secara independent terbentuk dengan sendirinya. Menjadikan tingkat pengetahuan pemilih sebagai konstributor suara tidak sah berkonsekuensi penulusuran dari aspek lain, yaitu sosialisasi. Tema sosialisasi memiliki dua dimensi. Dimensi pertama, yaitu sosialisasi yang terkait dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap calon anggota legislatif yang berarti hal tersebut tentang bagaimana upaya yang dilakukan oleh para calon untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat sehingga layak untuk dipilih. Dimensi kedua, yaitu terkait dengan sosialisasi tentang bagaimana cara masyarakat memberikan suara mereka di tempat pemungutan suara secara benar. Pada dimensi ini menunjuk kepada kinerja perangkat KPU dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tatacara pemilihan. Dengan kata lain, mencari akar persoalan yang menyebabkan suara tidak cukupdengan menyelediki perilaku pemilih, namun juga perlu memasukkan aspek lain, seperti (a) partai politik yang didalamnya juga termasuk calon anggota legislatif, dan (b) kinerja aparat penyelenggara pada tingkat yang langsung berhubungan dengan keputusan penetapan suara sah atau tidak sah pada saat pemungutan suara dan perhitungan suara. C. Metode Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di enam kecamatan di Kota Mataram, yakni; Kec. Ampenan, Kec.Sekarbela, Kec. Mataram, Kec. Selaparang, Kec. Cakra dan Kec. Sandubaya. Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2014. Sebagai representasi seluruh populasi, sampel penelitian adalah 200 pemilih dari 292.219 orang yang terdaftar dalam i Daftar Pemilih Tetap (DPT) di enam kecamatan tersebut.
14
I Data dikelompokkan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini. D. Hasil Penelitian D.1. Karekteristik Sosial Kota Mataram Penduduk sebagai subyek maupun objek pembangunan merupakan variabel
dependen
yang
utama,
karenanya
informasi
mengenai
kependudukan menjadi sesuatu yang penting untuk dicermati. Sensus penduduk tahun 2008 yang mencatat dimana jumlah penduduk di Kota Mataram adalah 362.243 jiwa. Sedangkan berdasarkan data BPS tahun 2012, jumlah penduduk kota Mataram tercatat 406.910 jiwa dengan rata-rata orang per KK untuk masing-masing kecamatan adalah 4 5 orang per KK. Sedangkan jumlah penduduk Kota Mataram berdasarkan Surat Keputusan KPU No. 110/Kpts/KPU/Tahun 2013 adalah 427.640 jiwa dengan jumlah masing-masing kecamatan dalam tabel dibawah ini sebagai berikut : Tabel 1.1: Jumlah Penduduk per-Kecamatan No.
Kecamatan
Jumlah
1.
Ampenan
87.555
2.
Sekarbela
53.329
15
I No.
Jumlah
Kecamatan
3.
Selaparang
72.235
4.
Mataram
79.240
5.
Sandubaya
63.538
6.
Cakranegara
71.743
Selain sebagai ibukota provinsi, Mataram juga telah menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri dan jasa, serta saat ini sedang dikembangkan untuk menjadi kota pariwisata. Suku Sasak merupakan suku asli sekaligus suku bangsa mayoritas penghuni Kota Mataram. Mataram juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia termasuk suku Bali, Tionghoa dan Arab. Islam adalah agama mayoritas penduduk Mataram. Agama lain yang dianut adalah Kristen, katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Peningkatan sumber daya manusia di Kota Mataram diarahkan maju dan modern yang tetap berakar pada budaya dan religi. Oleh karenanya fasilitas pendidikan di Kota Mataram menjadi hal yang terpenting dimana ketersediaan saranan pendidikan cukup memadai, di Kota ini terdapat beberapa perguruan tinggi baik Negeri maupun Swasta. Perguruan Tinggi Negeri yang cukup terkenal di kota ini adalah Universitas Mataram yang sering disingkat Unram. Selain itu terdapat juga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) untuk wilayah Nusa Tenggara, ada Universitas HIndu Negeri "Gede Puja" Mataram. Sementara Perguruan Tinggi Swasta diantaranya adalah Universitas AlAzhar (Unizar), Universitas Muhammadiyah Mataram, IKIP Mataram, Universitas NTB, Universitas 45 Mataram, Universitas Saraswati, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Mataram, STIE Mataram, dan berbagai macam akademi-akademi atau perguruan tinggi lainnya. Dengan jumlah perguruan tinggi yang seluruhnya ada di Kota Mataram adalah 22 buah.
16
I D.2. Tingkat Kehadiran Pemilih Dalam pemiu legislatif Tahun 2014 jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap di Kota Mataram sebanyak 289.799 orang yang terdiri dari pemilih Laki-laki yaitu sebanyak 140.515 orang dan Pemilih perempuan yaitu sebanyak 149.284 orang. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih per-kecamatan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 1.2: DPT Pemilu Legislatif tahun 2014 Jumlah Keluruhan 1 Ampenan 10 2 Cakranegara 10 3 Mataram 9 4 Sandubaya 7 5 Sekarbela 5 6 Selaparang 9 Jumlah 50 Sumber: KPU Kota Mataram No
Kecamatan
Jumlah TPS 205 164 187 147 123 171 997
Jumlah Pemilih L P L+P 28.805 31.126 59.931 22.121 23.745 45.866 26.348 27.982 54.330 20.910 21.884 42.794 17.103 17.727 34.830 24.751 26.162 50.913 140.038 148.626 288.664
Data di atas memperlihatkan bahwa jumlah DPT Kota Mataram 288.664, dengan komposisi pemilih laki-laki dengan 140,038 pemilih Laki-laki dan 148,626 pemilih perempuan. Pemilih tersebut tersebar di 997 TPS dengan 50 Kelurahan. Dari keseluruhan pemilih tersebut, setelah pemungutan suara berlangsung, Nampak bahwa surat suara sah berjumlah 179.769 suara sedangkan suara tidak sah sebanyak 38.288 suara. Artinya dari jumlah total DPT yakni 288.644 partisipasi masyarakat sebanyak 218.057 (suara sah 179,769 + suara tidak sah 38.288) atau 75,57% sedangkan jumlah yang tidak menggunakan hak pilihnya sejumlah 70,587 atau 24,45% Secara kuantitatif data di atas memperlihatkan fenomena sisi teknis pemilu yang menerangkan angka partisipasi pemilih belum simetris dengan angka keterampilan pemilih menggunakan hak pilihnya. Meskipun angka partisipasi pemilih cukup tinggi (75,57%) namun jumlah surat suara tidak sah juga sangat tinggi (24,45%). Sehingga data ini dapat dibaca kedalam dua makna,
yakni;
(1)
keterampilan
masyarakat
Kota
Mataram
dalam
menggunakan hak pilihnya masih rendah; (2) akibat keterampilan yang rendah
17
I 24,45% masyarakat yang menggunakan hak pilihnya tidak memiliki nilai positif untuk tidak disebut pemilih golput. Pemilu tahun 2014 mengenal bebarapa jenis pemilih yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) (Penggunaan KTP atau indentitas lain lain atau paspor). Daftar pemilih tetap yaitu pemilih yang ditetapkan oleh KPU setelah melakukan pendataan dan diumumkan.Kemudian Daftar Pemilih Tambahan yaitu pemilih yang terdaftar setelah pengumuman DPT sehingga dia masuk tambahan. Kemudian Daftar Pemilih Khusus adalah mereka yang pindah memilih dengan menggunakan formulir A5. Dan terakhir adalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan adalah mereka yang menggunakan KTP atau identitas lainnya meskipun tidak terdaftar dalam tiga kategori daftar pemilih di atas. Dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 KPU Kota Mataram, mencatat jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT sebanyak 292.219 orang yang terdiri dari pemilih laki-laki 141.913 orang dan pemilih perempuan 150.306 orang. Jumlah DPTb 665 orang yang terdiri dari pemilih laki-laki 333 orang dan pemilih perempuan 332 orang. Pemilih terdaftar dalam DPK sebesar 984 orang yang terdiri dari pemilih laki-laki 505 orang dan pemilih perempuan 479 orang. DPKTb /pengguna KTP atau identitas lain atau paspor 9.694 orang yang terdiri dari pemilih laki-laki 4.321 orang dan pemilih perempuan 5.373 orang. Total dari semua pemilih yang terdaftar dalam semua kategori itu adalah 303.562 orang yang terdiri dari laki-laki 147.072 orang dan pemilih perempuan sebanyak 156.490 orang. Yang menarik adalah partisipasi pemilih pada pemilu presiden menurun disbanding pemilu legislative. Dari seluruh kategori pemilih (DPT, DPTb, DPK dan DPKTb) yang berjumlah 303.562 orang, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 216.843 orang atau 71,44% dan yang tidak menggunakan hak pilihnya 86.719 atau 28,56%. Jumlah surat suara sah adalah 215.508 dan suara tidak sah 1.435 suara.
18
I D.3. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakhadiran pemilih di TPS dalam kasus pemilu Kota Mataram dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal adalah factor yang bersumber dari diri si pemilih sendiri, sedangkan ekternal adalah faktor dari luar dirinya. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel berikut ini sebagai berikut : Tabel 1.3: Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakhadiran Pemilih No 1 2 3
Internal Teknis Pekerjaan -
Eksternal Administratif Sosialisasi Politik
a. Faktor Internal Dari wawancara mendalam yang dilakukan, penelitian ini menemukan dua faktor internal yang mempengaruhi ketidakhadiran pemilih di TPS, yakni alasan teknis dan alasan pekerjaan. Alasan teknis adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman peneliti memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Sebagian besar penduduk Kota Mataram bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan.
19
I Maka dalam pemahaman responden penelitian, faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada factor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih. b. Faktor Eksternal
Faktor ektenal merupakan faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik. 1. Aspek Administrasi Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek
adminstrasi
yang
mengakibatkan
pemilih
tidak
bisa
menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak
mendapatkan
kartu
pemilihan
tidak
memiliki
identitas
kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
20
I 2. Aspek Sosialisasi Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik, pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh sedangkan pada Pemilu 2014 diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang sekalian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di partai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dan 2014. 3. Aspek Politik Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilres akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
21
I Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi. Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen). D.4. Respon Pemilih tentang Pemilu Ketika penelitian ini mengajukan pertanyan seputar pemilu kepada responden, maka ditemukan respon mereka sebagaimana tampak pada tabel di bawah. Tabel 1.4: Tingkat Respon Pemilih Tentang Pemilu Kecamatan No
RESPON terhadap pertanyaan
Jumlah Amp
1.
Mtrm
Slpg
Skrbl
Cakra
35
22
28
27
Sdby
Apakah Anda terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu 2014? a. Sudah
45
22
33
190
I Kecamatan No
RESPON terhadap pertanyaan
Jumlah Amp
2.
Cakra
Sdby
3
0
0
0
0
3
c. Tidak tahu
0
2
3
2
0
0
7
4
5
2
0
0
0
11
41
35
23
30
27
33
189
a. Waktu pelaksanaan
22
6
9
15
9
25
86
b. Calon-calon yang akan dipilih
39
22
10
19
25
25
140
c. Cara menggunakan hak pilih
23
7
8
3
8
10
59
0
3
2
4
0
1
10
a. Waktu pelaksanaan
21
15
4
8
9
8
65
b. Calon-calon yang akan dipilih
27
19
19
11
25
20
121
c. Cara menggunakan hak pilih
17
5
7
4
8
20
61
4
4
0
5
0
6
19
6
4
1
2
7
9
29
17
18
18
19
19
31
122
18
13
6
4
11
1
53
14
7
0
9
12
0
42
0
0
0
0
0
0
0
Apakah Anda diarahkan oleh tokoh untuk memilih parpol/calon tertentu pada pemilu 2014?
Informasi apa saja yang perlu Anda ketahui terkait pemilu 2014 (boleh lebih dari satu jawaban)?
d. Lainnya,......
Informasi apa saja yang Anda ketahui terkait dengan pemilu 2014? (boleh lebih dari satu jawaban)
d. Lainnya,......
5.
Skrbl
0
b. Tidak
4.
Slpg
b. Belum
a. Ya
3.
Mtrm
Dari manakah Anda memperoleh informasi mengenai pemilu 2014? (boleh lebih dari satu jawaban) a. b. c.
d. e.
Media cetak (surat kabar, majalah) Media elektronik (TV, radio, internet) Media pendukung (poster, brosur, spanduk, binner, baliho) Sosialisasi langsung dari KPU Lainnya,....
23
I Kecamatan No
RESPON terhadap pertanyaan
Jumlah Amp
6.
7.
8.
9.
11.
Slpg
Skrbl
Cakra
Sdby
Apa pendapat Anda tentang jarak tempuh TPS dengan tempat tinggal Anda pada pemilu 2014? a.
Jauh
14
8
2
2
5
2
33
b.
Dekat
31
32
23
28
22
31
167
45
32
19
29
25
30
180
Apa indentitas yang Anda gunakan untuk memilih dalam pemilu 2014? a.
Kartu Pemilih
b.
KTP
6
4
1
2
3
16
c.
Keterangan Domisili
2
1
0
0
0
3
d.
Lainnya,......
0
0
1
0
0
0
1
43
34
23
27
25
23
175
2
6
2
3
2
10
25
6
3
0
3
7
11
30
19
15
13
20
19
32
118
12
13
6
5
4
2
42
23
7
11
7
17
0
65
Apakah Anda mengetahui tata cara pencoblosan pada pemilu 2014 a.
Ya
b.
Tidak
Dari mana Anda mengetahui tata cara pencoblosan pada Pemilu 2014? a.
10.
Mtrm
Media cetak (surat kabar, majalah) b. Media elektronik (TV, radio, internet) c. Media pendukung (poster, brosur, spanduk, binner, baliho) d. Sosialisasi langsung dari KPU Apakah dilakukan peragaan tata cara pencoblosan oleh panitia sebelum waktu pencoblosan dimulai pada Pemilu 2014? a.
Ya
35
36
18
28
23
20
160
b.
Tidak
10
4
7
2
4
13
40
43
36
24
30
27
33
193
2
4
1
0
0
0
7
Apakah Anda datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau Panitia yang mendatangi Anda pada Pemilu 2014? a.
Datang sendiri ke TPS
b.
Panitia yang datang ke ..... karena.......
24
I Kecamatan No
12.
13.
14.
15
16.
RESPON terhadap pertanyaan Mtrm
Slpg
Skrbl
Cakra
Sdby
a. Ya
20
39
19
25
18
6
127
b. Tidak
25
1
6
5
9
27
73
1
13
0
0
0
1
15
44
27
25
30
27
32
185
45
40
25
30
27
32
199
0
0
0
0
0
1
1
a. Ya
24
6
8
8
8
15
69
b. Tidak
21
34
17
22
19
18
131
9
12
5
6
7
23
62
Apakah Anda dibacakan atau diberi tahu terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan pada Pemilu 2014?
Setelah dibacakan apakah Anda diarahkan untuk menentukan pilihan terhadap parpol/calon tertentu atau diputuskan sendiri pada Pemilu 2014? a.
Diarahakan
b.
Keputusan Sendiri
Apakah Anda sendiri yang melakukan pencoblosan atau memandatkan kepada panitia pada Pemilu 2014? a.
Sendiri
b.
Dimandatkan kepada panitia
Apakah terjadi anterian panjang di TPS pada saat Anda melakukan pencoblosan pada Pemilu 2014?
Kesulitan apa yang Anda temukan pada saat pencoblosan pada Pemilu 2014? (boleh lebih dari satu jawaban) a.
Surat Suara lebih dari satu
b.
Parpol yang banyak
19
14
16
17
15
24
105
c.
Nama calon yang tidak disertai dengan poto calon Lainnya ......................................
26
17
8
11
8
5
75
3
1
2
1
37
35
21
28
21
26
168
8
5
4
2
6
7
32
d. 17.
Jumlah Amp
7
Apakah Anda membuka keseluruhan atau sebagian surat suara sebelum dicoblos pada Pemilu 2014? a.
Membuka keseluruhan
b.
Hanya membuka sebagian saja
25
I Kecamatan No
RESPON terhadap pertanyaan
Jumlah Amp
16.
17
13
12
14
22
93
b.
Satu nama caleg saja
23
14
10
14
11
18
90
7
2
2
2
5
8
26
0
0
0
2
0
0
36
38
23
26
23
32
178
9
2
2
4
4
1
22
3
0
3
0
0
2
8
42
40
22
30
27
31
192
8
3
4
0
0
8
23
14
0
18
0
0
6
38
5
6
2
13
0
2
28
40
34
23
17
27
31
172
Lebih dari satu nama caleg pada partai yang sama d. Lebih dari satu nama caleg pada partai yang berbeda Apakah ukuran besarnya alat pencoblosan sesuai dengan besarnya kotak pencoblosan pada surat suara pada Pemilu 2014?
Apakah Anda menemukan surat suara dobel pada Pemilu 2014 ? a.
Ya
b.
Tidak
Apakah Anda melaporkan penemuan surat suara yang dobel tersebut kepada panitia?
b. Tidak
24.
Sdby
15
a. Ya
23.
Cakra
Gambar parpol saja
b. Terlalu Besar
22.
Skrbl
a.
a. Sesuai
21.
Slpg
Dari point di bawah ini yang mana Anda coblos pada Pemilu 2014?
c.
19.
Mtrm
Apakah Anda mengalami kesulitan pada saat memasukkan Surat Suara ke dalam kotak suara pada Pemilu 2014 ? a.
Ya
b.
Tidak
Apa jenis kesulitan yang Anda alami pada saat memasukkan kertas Surat Suara ke dalam kotak suara pada Pemilu 2014? (jawaban boleh lebih dari satu) a.
Surat Suara terlalu besar
14
8
7
6
0
1
36
b.
Lubang kotak suara terlalu sempit Surat suara banyak
10
12
2
3
1
3
31
14
17
12
20
25
3
91
3
3
3
1
1
2
13
c. d.
Lainnya................................... ......
26
I Dari tabel di atas terlihat bahwa respon masyarakat terhadap pemilu cukup positif. Ditemukan dua faktor yang menyebabkannya, sebagai berikut: Data Hasil Olahan
1. Tingkat pengetahuan dan partisipasi masyarakat Kota Mataram dalam pemilu yang cukup tinggi. Pengetahuan dan partisipasi baik atas pengetahuan yang didapatkan secara autodidak melalui media misalnya maupun melalui sosialisasi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kepastian sebagai pemilih tetap misalnya dari 200 responden yang ada yang mengetahui dirinya terdaftar sebanyak 190 (95%), belum terdaftar 3 (0,15%), dan yang belum mengetahui hanya 7 (0,35%). Pada tingkat kesadaran politik kecenderungan pengaruh dari luar tidak signifikan merubah pilihan dalam menggunakan hak suaranya 94,5% menyatakan tidak diarahkan, dan hanya 0,5% yang menyatakan diarahkan. Sementara itu terkait dengan informasi yang paling banyak diperlukan oleh para responden adalah calon-calon yang akan mereka pilih mencapai 70% setelah itu waktu pelaksanaan, cara menggunakan hak pilih, dan lainnya. Intensitas pengunaan media cetak dan elektronik sebagai sarana sosialisasi penyelenggara pemilu dalam hal ini oleh KPU cukup signifikan dirasakan dibanding dengan secara langsung yang terkadang tempat, waktu, pesertanya terkadang terbatas. Media elektronik misalnya 61%, media pendukung 26% sedangkan sosialisasi langsung oleh KPU 21%. 2. Efektivitas sosialisasi yang dilakukan oleh KPU, termasuk intensitas penggunaan media dalam hal memberikan informasi dan simulasisimulasi pemungutan suara telah memberikan dampak signifikan bagi pemilih. Dari 200 responden 59% mendapatkan informasi dari media, 32,5% informasi dari KPU secara langsung. Sementara itu peragaan dan pembacaan/pemberitahuan berulang-ulang pada saat pemungutan suara juga sangat penting untuk tetap dilakukan. Terhadap peragaan tersebut 80% menjawab diperagakan, 20% menjawab tidak diperagakan. 63% menjawab dibacakan dan 33% menjawab tidak.
27
I D.5. Faktor Penyebab Surat Suara Tidak Sah Penelitian ini menemukan faktor-faktor yang menyebabkan suara tidak sah kedalam tiga aspek, (1) faktor suara tidak sah yang bersumber dari aspek penyelenggara, (2) faktor suara tidak sah yang bersumber dari aspek perilaku pemilih, (3) faktor suara yang dipengaruhi oleh peran partai politik adalah sebagai berikut 1.
Aspek Penyelenggara Kapasitas tentang kepemiluan merupakan suatu hal yang urgent bagi
penyelenggara pemilu, terutama pada tingkat ad-hoc, karena keberadaan mereka merupakan garis pertama dalam keputusan-keputusan terhadap hasil pemilu, seperti penetapan suara sah dan tidak sah. Kesalahan keputusan atas penetapan hasil pemilu, seperti sah atau tidaknya suara pada waktu perhitungan akan berimplikasi terhadap penetapan hasil pemilu pada rentang yang lebih luas. Bekal kapasitas kepemiluan bagi penyelenggara pemilu pada tingkat adhoc, terutama KPPS akan membuat kualitas pemilu menjadi lebih baik. Bimbingan teknis (Bimtek) kepemiluan telah dilakukan KPU dan jajaran dibawahnya secara berjenjang/ hirarki, mulai dari tingkat KPU Provinsi, KPU Kabupaten, PPK, PPS sampai dengan KPPS. Untuk lebih memperkuat kapasitas penyelenggara di tingkat ad hoc, KPU menerbitkan buku panduan KPPS, yang didalamnya juga memuat materi tentang tata-cara mencoblos bagi pemilih yang hasilnya dapat dinilai sah atau tidak sah. Kualitas SDM dalam perekrutan anggota KPPS juga menentukan kapasitas penyelenggara pemilu. Sebagian besar PPS mengaku kesulitan merekrut anggota KPPS yang memiliki kemauan dan kemampuan sebagai KPPS sebagaimana yang diamanatkan dalam aturan tertulis KPU. Di tingkat pengawas pemilu, tidak berimbangnya jumlah Petugas Pengawas Lapangan (PPL) dibandingkan dengan jumlah TPS berimplikasi kepada tidak maksimalnya fungsi PPL sebagai mitra kerja PPS dan KPPS dalam mengawal proses pemungutan dan penghitungan suara di tingkat TPS.
28
I Pemahaman suara tidak sah dari penyelenggara pemilu pada tingkat adhoc juga menjadi salah satu penyebab juga tingginya surat suara tidak sah. Pengadministrasian hasil suara pemilu legislatif (Pileg) dicatat dalam sertfikat rekapitulasi perhitungan suara mulai dari tingkat KPPS hingga KPU Provinsi. Di dalam sertifikat termuat 3 jenis kolom yang harus diisikan oleh petugas/penyelenggara pemilu pada setiap tingkatan, yaitu : kolom I adalah kolom Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih, kolom II adalah kolom Data Penggunaan Hak Suara, dan kolom III adalah kolom Suara Sah dan Tidak Sah. Dalam hal suara tidak sah, KPU telah memberikan petunjuk mengenai surat suara yang dinilai sah dan tidak sah berdasarkan cara mencoblos. Terdapat 15 poin cara mencoblos yang dinilai sah dalam memberikan suara dan 4 poin cara mencoblos yang menyebabkan suara tidak sah. Keempat poin tersebut sebagai berikut : No
Cara Mencoblos Tidak Sah Surat Suara Pemilu Legislatif 2014
1
Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, Sedangkan tanda coblos calon terletak pada partai politik yg berbeda, suaranya dinyatakan TIDAK SAH
2
Tanda coblos terletak hampir mengenai garis/diluar kolom pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya dinyatakan TIDAK SAH
3
Tanda coblos terletak diantara kolom Partai Politik, suaranya dinyatakan TIDAK SAH
4
Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik, DAN tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon, SERTA ada tanda coblos diluar kolom, suaranya dinyatakan TIDAK SAH
Sumber : Buku Panduan KPPS, Pemilu Legislatif 2014
Penjelasan KPU mengenai surat suara tidak sah adalah dalam kerangka tata-cara pencoblosan, karena memang sebagai hal yang paling mudah dijelaskan untuk mengantisipasi kesalahan pada tingkat pencoblosan maupun
29
I pada tingkat penulisan hasil. Kesalahan yang bersumber dari kesalahan pencatatan oleh petugas (human error) dinilai akan dapat terdeteksi melalui proses pencatatan dan pendokumentasian rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilu legislative yang dilakukan secara berjenjang. 2. Aspek Perilaku Pemilih Sejak pemilu dilaksanakan dengan cara masyarakat memilih langsung calon legislatif maupun sejak dilakukan pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden sejak tahun 2004 di berbagai tingkatan, telah membentuk kesadaran politik masyarakat yang cukup baik untuk menentukan pilihan pada saat pemilu. Dibalik suara tidak sah, sesungguhnya mengimplikasikan kesadaran politik pemilih yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perilaku partai politik. Dengan kata lain, menganalisa fenomena suara tidak sah masih sah saja tinggi mulai dari pemilu tahun 2009, kiranya perlu melihat perilaku partai politik dalam melakukan pendekatan politik ke masyarakat. Pada pemilu legislatif dan presiden yang lalu, ketika mendatangi TPS masyarakat cenderung mengatakan “negara minta milih, kita milih”, atau “yang penting menggugurkan kewajiban”. Menggaris bawahi ungkapan “yang penting menggugurkan kewajiban” merupakan ungkapan yang dapat dilihat dari dua perspektif dan konteks, yaitu (1) sikap yang skeptis terhadap pemilu, dan (2) sikap imbal balik dari sesuatu yang mereka terima. Sikap skeptis terhadap
pemilu
merefleksikan
kesadaran
yang
sesungguhnya
mempertanyakan pengaruh pemilu terhadap kehidupan mereka, karena pemilu lebih dilihat dalam kerangka kewajiban warga negara daripada sebagai hak. Sehingga kedatangan mereka ke TPS lebih sebagai bentuk kepatuhan sebagai warga negara, daripada sebagai bentuk kesadaran untuk menyalurkan aspirasi politik dengan memilih calon anggota lagislatif. Sedangkan yang kedua merupakan bentuk sikap yang lahir dari kesadaran penuh atas imbal balik dari pemberian yang diterima oleh masyarakat dari tim sukses calon anggota
30
I legislatif maupun tim sukses calon presiden yang menuntut komitmen untuk memilih calon anggota legislatif tertentu yang diminta. Dalam kontek suara tidak sah, sikap skeptis terlihat dari adanya blanko surat suara yang tidak dicoblos, meski dimasukkan dalam kotak suara, sehigga tidak dapat dihitung dan dinyatakan tidak sah. Demikian pula tidak dikenal maka tidak dipilih merupakan ungkapan yang dapat memberikan deskripsi mengenai satu diantara penyebab fenomena suara tidak sah. Kondisi ini menjadi wajar karena kurangnya sosialisasi calon DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan bahkan DPRD Kota kurang tedengar atau dapat dikatakan sama sekali tidak ada yang sampai kepada pemilih tersebut, walaupun fhoto calon tersebut tersebar dimana-mana, akan tetapi mesosialisasikan dirinya kepada pemilih yang masih sangat minim. Adapun suara tidak sah yang disebabkan oleh ketidaktahuan pemilih mengenai tata cara pencoblosan, mungkin saja terjadi, terutama untuk pemilih usia lanjut meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit. Sedikitnya sosialisasi yang dilakukan oleh caleg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota membuat sebagian besar pemilih tidak memiliki pengetahuan tentang profil calon yang berkonsekuensi logis terhadap rendahnya tingkat keinginan untuk mencoblos kertas suara DPR. Situasi ini terjadi di semua lokasi studi di kecamatan.
Terlebih,
calon
anggota
legislatif
secara
etnis
tidak
merepresentasikan wilayah daerah pemilihannya. Modus suara tidak sah lainnya adalah terdapat coblosan ganda pada kolom yang berbeda. Perilaku mencoblos ganda dapat dikategorikan karena dua hal: (1) dimotivasi oleh adanya pemberian uang atau barang dari para caleg agar mereka memilih para caleg tersebut, (2) faktor kesalahan pencoblosan, yang mana pada saat pencoblosan, surat suara tidak dibuka secara benar, sehingga semua kolom tercoblos yang menyebabkan lubang coblosan lebih di satu kolom, dan (3) karena masyarakat lebih kenal atau lebih
31
I menyukai partai daripada caleg sehingga mereka terdorong lebih memilih caleg dari partai yang berbeda. 3. Aspek Peran Partai Politik Sedangkan terkait dengan aspek peran partai politik, sosialisasi menjadi kata kunci dalam proses pemilihan anggota legislatif 2014. Sosialisasi yang dilakukan baik oleh partai maupun caleg sangat menentukan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politik mereka pada saat pemungutan suara. Dalam konteks ini, sosialisasi calon anggota legislatif (caleg) DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota dirasa kurang intensif bahkan tidak ada sama sekali. Sosialisasi calon anggota legislatif dengan cara langsung mendatangi masyarakat, baik yang dilakukan oleh calon anggota legislatif itu sendiri, baik yang dilakukan oleh tim sukses atau partai politik, lebih intensif dilakukan oleh calon anggota legislatif ditingkat kabupaten. Sosialisasi caleg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota lebih cenderung dilakukan melalui media luar ruang yang lebih bersifat impersonal, meski menampilkan fhoto dan nama, namun masyarakat tidak pernah bisa mengenal profil caleg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota yang akan dikenal secara dekat. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh calon anggota legisatif (caleg) DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota merupakan hal yang turut mempengaruhi suara tidak sah. Sebab pada saat pemungutan suara, pemilih cenderung membiarkan surat suara DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan bahkan DPRD Kota tidak dicoblos atau dicoblos dengan cara tidak tepat, seperti coblos ganda di kolom yang berbeda. Sosialisasi oleh para calon aggota legislatif (caleg) penting dilakukan untuk memberikan pengetahuan terhadap para pemilih, sehingga memiliki preferensi untuk memilih calon yang sesuai dengan aspirasi politik mereka. Minimnya sosialisasi dinilai menyebabkan pemilih tidak mencoblos caleg DPR, membiarkannya kosog, meskpiun demikian tetap
32
I dimasukkan dalam kotak suara, sehingga suara yang diberikan menjadi tidak sah.
33
I Daftar Pustaka Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998 Buku Putih Sanitasi, Gambaran Umum Kota Mataram, Pemerintah Kota mataram tahun 2009 Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967 Laporan Penelitian Faktor-faktor Suara Tidak Sah dalam Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI Pemilu 2014 (LP3ES-IFES) http://www.rumahpemilu.org/ Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989 Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987 Rahman, H.A. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta, Garaha Ilmu, 2007Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, dalam Miriam Budiarjo. Sastromatmodjo, S. Partisipasi Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995 Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995 Syarbaini, S. DKK, Sosiologi dan Politik, Jakarta, Galia Indonesia, 2002 www.KPU.go.id
34
I
BAB II Kehadiran Dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS: Perbandingan Kota dan Desa di Kabupaten Dompu Rusdiyanto* Suherman*Sri Rahmawati Agus Setiawan*Arifudin A. Pendahuluan Kabupaten Dompu merupakan daerah yang memiliki angka partisipasi pemilih paling tinggi di NTB. Pada pemilu legislatif, angka partisipasi pemilih mencapai posisi 83,69 %. Meskipun pada pemilu presiden mengalami penurunan menjadi 76,30%, namun angka tersebut masih lebih tinggi di banding kabupaten/kota yang lain. Proses pelaksanaan pemilu legislative maupun pemilu presiden tahun 2014 di Dompu secara umum berjalan dengan aman, tertib dan telah menghasilkan anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi NTB maupun DPRD Kabupaten Dompu serta Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Suksesnya penyeleggaran kedua pemilu ini setidaknya dapat di lihat dari 2 (dua) aspek yaitu; tidak adanya gugatan proses pemilu dan hasil pemilu, serta tingginya partisipasi masyarakat sebagaimana penjelasan di atas. Banyak atau sedikitnya gugatan hasil pemilu di MK merupaan salah satu indicator mengukur kualitas pemilu di daerah. Dari indicator ini terlihat bahwa selama proses dan hasil Pemilu Legislatif, tidak ada satu pun gugatan yang dilayangkan oleh peserta Pemilu. Meskipun pada pemilu presiden terdapat gugatan di beberapa TPS, namun gugatan tersebut ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi. Sukses tersebut tidak terlepas dari keterbukaan, netralitas, dan penyelesaian setiap masalah yang diselesaikan pada tiap tingkatan oleh penyelenggara Pemilu. Disamping itu, peran aktif dari seluruh stakeholder dan masyarakat Kabupaten Dompu ikut member kontribusi terhadap kesuksesan di atas. .
35
I Melihat fakta-fakta di atas, penelitian ini mengajukan empat rumusan masalah, sebagai berikut; 1) bagaimana tingkat kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS pada Pemilu tahun 2014 di Kabupaten Dompu?; 2) Mengapa angkapartisipasi Pemilu Legislatif Tahun 2014 naik dibandingkan Pemilu Legislatifsebelumnya?; 3) Mengapa tingkat kehadiran pemilih pada Pileg lebih tinggi dari Pilpres Tahun 2014 di Kabupaten Dompu ?; 4) Mengapa golput tetap sajahadir dalam PemiluTahun 2014? B. Tinjauan Teoritis B.1. Teori Partisipasi Politik Partisipasi secara harfiah berarti keikutsertaan. Dalam konteks politik hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Partisipasi politik dapat juga dipahami sebagai proses keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Menurut
Ramlan
Surbakti,18partisipasi
politik
merupakan
keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Sementara Michael Rush dan Philip Althof menjelaskan partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum.19 Berbeda dengan pedapat-pendapat
terdahulu,
Sudijono
Sastroatmodjo20
mengartikan
partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara efektif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan
negara
secara
langsung
dalam
mempengaruhi
kebijakan
pemerintah. Sedangkan menurut Samuel P. Huntington partisipasi politik juga
18
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Rush, Michael & Althof. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press. 20 Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press 19
36
6
I mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Pengertian lainnya adalah partisipasi politik berupa kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung berarti dia melakukan sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan pemerintah.21 Ramlan Surbakti22 mengelompokkan partisipasi politik menjadi dua, yakni partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik. Yang termasuk pada partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sedangkan partisipasi passif adalah kegiatan yang berorientasi pada proses output. Kegiatan yang termasuk pada partisipasi pasif adalah kegiatan yang mentaati pemerintah,
menerima,
dan
melaksanakan
saja
setiap
keputusan
pemerintah.23 Para ilmuan Sosiologi Politik membagi dua tipe partisipasi politik, yakni partisipasi konvensional dan non konvensional. Bentuk partisipasi politik konvensional adalah pemberian suara, aktivitas diskusi politik, kegiatan kampanye,
aktivitas
membentuk
dan
bergabung
dengan
kelompok
kepentingan lain, dan komunikasi individu dengan pejabat politik.24 Sedangkan bentuk partisipasi politik non-konvensional adalah melakukan protes terhadap pemerintah, diskusi, dan lain-lain.
21
Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Renika Cipta. 22 Ramlan Surbakti. Log. Cit, h. …. 23 Ibid., h. …. 24 Almond dalam Mochtar Masoed. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Jogyakarta: Gajah Mada University Press.
37
I Penelitian ini melihat partisipasi politik dalam tipologi konvensional, yaitu bagaimana masyarakat terlibat dalam pemberian suara pada pemilu legislative maupun pemilu presiden tahun 2014. B.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik. Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara. Karena itu, tidak semua warga negara berperan serta dalam proses politik. Menurut pendapat beberapa ahli faktor yang menyebabkan orang mau atau tidak mau ikut berpartisipasi dalam politik antara lain; status social ekonomi,situasi, afiliasi politik orang tua, pengalaman organisasi, kesadaran politik, kepercayaan terhadap pemerintah, rangsangan dari sosialisasi. Status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan status ekonomi ialah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang memiliki status sosial yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik.25 Menurut Ramlan Surbakti, situasi politik juga dipengaruhi oleh keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung seperti cuaca, keluarga, kehadiran orang lain, keadaan ruang, suasana kelompok, dan ancaman.26 Sedangkan aspek afiliasi politik orang tua
dimana seseorang ikut
berpartisipasi karena pengaruh afiliasi politik orang tua. Afiliasi politik dapat dirumuskan sebagai keanggotaan atau kerjasama yang dilakukan individu atau kelompok yang terlibat ke dalam aliran-aliran politik tertentu.27 Afiliasi politik mendorong tumbuhnya kesadaran dan kedewasaan politik masyarakat untuk menggunakan hak politiknya secara bebas dan bertanggungjawab dalam melakukan berbagai aktifitas politik, seperti ikut dalam partai politik dalam 25
Ibid. Ramlan Surbakti, Log. Cit. h. …. 27 B.N. Marbun. 1996. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan142 DEMOKRASI Vol. IX No. 2 Th. 2010 26
38
I pemerintahan, ikut dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan politik.28 Pengalaman berorganisasi merupakan suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat atau bisa diartikan sebagai suatu prilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaiantujuan bersama.29 Sejalan dengan pendapat tersebut, Ibnu Kencana,30 menegaskan partisipasi politik merupakan penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam sikap pertanggung jawaban bersama baik dalam situasi politik yang melibatkan dukungan. Dalam konteks itu kepentingan organisasi mendorong orang untuk ikut serta dalam pemberian suara Orang ikut dalam proses pemilihan sampai dengan pemberian suara di TPS juga ddorong oleh kesadaran politik mereka. Paling tidak bentuk kesadaran politik itu adalah mereka menginginkan pemimpin politik terpilih sesuai dengan idealitasnya. Orang yang memiliki tipologi seperti ini biasanya menjadi pemilih yang otonom atau mandiri. Kepercayaan terhadap pemerintah. Munculnya pemilih yang demikian, menandakan kemajuan demokrasi suatu bangsa dalam kehidupan politiknya. Apa yang dilakukan oleh pemerintah termasuk para elit politik ikut memberi kontribusi terhadap minat seseorang menggunakan hak pilihnya. Ketika mereka memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, maka kecenderungan untuk ikut memilih tinggi, demikian sebaliknya. Oleh karena itu kinerja pemerintah dalam masa pemerintahaannya menjadi medan yang subur bagi peningkatan partisipasi pemilih. Dalam beberapa kasus, masyarakat bersikap a-politik ketika menyaksikan kinerja pemerintah terus memburuk. 28
Ibnu Kencana. 1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Bonar Simangunsong. 2004. Negara. Demokrasi dan Berpolitik Yang Profesional. Jakarta: Gramedia 30 Ibnu Kencana. Op. Cit. h. …. 29
39
I Kalangan behaviorism juga meyakini partisipasi politik tidak hadir secara tiba-tiba. Mereka berpendapat bahwa partisipasi politik lahir dari sosialisasi politik yang diterima individu sejak anak-anak hingga dewasa. Para ahli sosiologi menyebutkan agen sosialisasi politik dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sekunders groups dan primery groups. Kelompok sekunder adalah pemerintah, KPU, media massa, partai politik, dan lain-ain. Sedangkan kelompok primer misalnya teman bermain, orang tua, saudara, suami/istri. Proses sosialiasi yang berlangsung sepanjang masa ini yang kemudian membentuk partisipasi politik masyarakat. B.3. Perilaku Pemilih (Voting Behavior) Penulis menggunkan teori perilaku pemilih agar kulaifikasi dari sikap serta oreintasi masyarakat didalam memilih dapat dikarakteristikkan berdasar tiga pendekatan yang penulis pakai yaitu : pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendkatan pilihan rasional. Perilaku merupakan sifat alamiah manusia yang membedakannya atas manusia lain, dan menjadi ciri khas individu atas individu yang lain. Dalam konteks politik, perilaku dikategorikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Ditengah masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian dari perilaku dan interaksi dapat berupa perilaku politik, yaitu perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya. Termasuk kedalam kategori ekonomi, yakni kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan jasa, mengkonsumsi barang dan jasa, menukar, menanam, dan menspekulasikan modal.
Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua
individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik. 31.
31
Ramlan Surbakti “Memahami Ilmu Politik”, hal 15 PT.Grasindo, Jakarta 1992.
40
I Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif.Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Surbakti (tahun:1992) menilai perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum.32 Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku politik merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik. Sedikitnya terdapat tiga pendekatan yang biasanya digunakan dalam melihat perilaku pemilih, yakni pendekatan sosiologis, psikologis, dan pendekatan pilihan rasional. a. Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini
32
Ibid, hal 145
41
I misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompokkelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu yang vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Jadi bisa dikatakan bahwa keangotaan seseorang kepada kelompok-kelempok soisal tertentu dapat mempengaruhi seseorang didalam menentukan pilihnaya pada saat pemilu. Hal ini tidak terlepas dari seringnya anggota kelompok, organisasi profesi dan kelompok okupasi berinteraksi satu sama lain sehingga timbulnya pemikiran-pemikiran untuk mendukung salah satu dari caleg yang mengikuti pemilu. Gerald pomper merinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya.33 Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Di kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik.
33
A.Rahman Zainuddin, hal.47-48
42
I Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim.34 b. Pendekatan psikologis Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi.35 Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni:
34
Dikutip dari Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture, http://pangerankatak.blogspot.com/2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008 35 Suhardi, Op.Cit.
43
I
Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.
Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan.
Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri. Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi
terbentuk melalui proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini, keluarga merupakan tempat proses belajar. Anakanak belajar dari orangtua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi di luar keluarga. Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain. Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan menungkatkan kualitas pemilih c. Pendekatan Pilihan Rasional Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong. Dimana pendekatan tersebut beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada dibalik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural, identifikasi partai melalui
44
I proses sosialisasi,pengalaman hidup, merupakan variabel yang secara sendirisendiri mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ini berarti variabel lain menentukan atau ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Ada faktor situasional yang ikut mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu para pemilih bukan hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi bebas untuk bertindak. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan. Perilaku pemilih tidak harus tetap atau sama, karena karakteristik sosiologis dan identifikasi partai dapat berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih (masyarakat) dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.36 Pendekatan pilihan rasional mencoba menjelaskan bahwa kegiatan memilih sebagai kalkulasi untung dan rugi yang di pertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang di harapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memillih.37 Beberapa pendekatan diatas sama-sama berasumsi bahwa memilih merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan paksaan dari pihak lain. Namun, dalam kenyataan di Negara-negara berkembang perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih sebagaimana disebutkan oleh beberapa pendekatan diatas, tetapi dalam banyak hal justru ditentukan oleh
36
Ibid., h. 50-52 Surbakti ramlan. Memahami ilmu politik. Gramedia widiasarana Indonesia. Jakarta Hal 146
37
45
I tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu. Disamping melakukan identifikasi terhadap factor yang mempengaruhi perilaku pemilih, para ilmuan sosial juga berusaha menyelami karekteristik atau tipologi pemilih. Informasi tentang karekteristik pemilih penting, mengingat perilaku indivu dalam menentukan pilihannya juga ditentukan oleh karekteristik mereka. Tulisan ini mengungkap tiga karekteristik pemilih, yakni; pemilih emosional, pemilih transaksional, dan pemilih cerdas, Pada faktor ini pemilih memilih karena ikatan emosional dan kesamaan etnisitas. Pemilih memilih kandidat yang paling menarik secara emosional atau yang lebih disukai, pemilih menentukan pilihannya berdasarkan hasil rekomendasi dari kerabat dekat, elit politik yang dipercaya. Pada faktor ini pemilih cenderung mempertimbangkan materi dalam memberikan hak pilih atau dengan kata lain secara materialistik masyarakat pada faktor ini bisa memberikan hak pilih berdasarkan motivasi berupa imbalan yang di dapat dari pemberian hak pilih mereka. Pada karekteristik pemilih cerdas, pemilih lebih mengutaman pada kualitas para calon yang diutamakan baik lihat dari segi visi dan misi serta program yang ditawarkan oleh para calon. Pemilih yang ada pada faktor ini kecenderungan kelompoknya kecil karena hanya orang-orang yang peduli, memiliki kecerdasan dan mau berpikir untuk lima tahun ke depan saja yang akan menjadikan visi misi calon sebagai tolok ukur dalam memilih. C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan naturalistik setting. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, dimana ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang atau subjek itu sendiri. Alas an pemilihan metode ini sebagai berikut; (1) Untuk menanggulangi banyaknya informasi yang hilang, seperti yang dialami oleh penelitian
46
I kuantitatif, sehingga intisari konsep yang ada dalam data dapat diungkap, (2) Untuk menanggulangi kecenderungan menanggulangi data empiris dengan
tujuan
membuktikan
kebenaran
hipotesis
yang
disusun
sebelumnya, (3) Untuk menanggulangi kecendrungan pembatasan variabel sebelumnya.(4) Menyelesaikan penelitian kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. (5) Metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden/sumber data. (6) Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh yang timbul dari pola-pola nilai yang dihadapi Penelitian ini mengambil tujuh kecamatan, yakni (1) Kecamatan Huu, (2) Kecamatan Kempo, (3) Kecamatan Kilo, (4) Kecamatan Dompu, dan (5) KecamatanManggelewa. Sedangkan jumlah responden penelitian adalah 105 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni wawancara dan dokumentasi. D. Hasil Penelitian D.1. Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih Pada Pemilu Legislatif a. Masyarakat Kota Pada masyarakat perkotaan, penelitian ini menemukan beberapa factor yang mendorong kehadiran pemilih di TPS, sebagai berikut: a) Faktor kedekatan emosional (keluarga) antara pemilih dengan calon b) Faktor politik uang c) Faktor janji para calon d) Faktor emosional karena tentangga dan e) Faktor penggerakan massa oleh pada calon f) Jasa masa lalu. Disamping itu dilapangan peneliti mengemukakan temuan bahwa sebagian masyarakat beranggapan bahwa KPU belum maksimal
47
I melaksanakan sosialisasi secara langsung ke masyarakat karena masyarakat mengetahui tata cara Pemilu atau pencoblosan melalui lisan, dari mulut kemulut, oleh tim sukses dan para calon itu sendiri. Sosialisasi KPU kepada masyarakat masih terasa umum dan kabur karena menggunakan media baliho dan spanduk yang dipasang beberapa tempat di pusat Kecamatan dan Desa yang hanya dapat dibaca oleh orang-orang tertentu saja.Tetapi sosialisasi yang dirasakan oleh masyarakat pada saat KPPS memberikan tata cara pencoblosan pada hari “H” Faktor kemudahan lain bahwa jarak TPS dengan tempat tinggal masyarakat terjangkau oleh jalan kaki dan mobilitas lainnya. Sebagian
masyarakat
menganggap
bahwa
kehadiran
masyarakat/pemilih di TPS merupakan tanggung jawab moral dalam hal menyalurkan sebagai aspirasi masyarakat melalui wadah DPR. Masyarakat menganggap bahwa DPR merupakan salah satu wadah untuk menyalurkan aspirasi demi keberlangsungan pembangunan di daerah masing-masing. Masyarakat merasa berkepentingan terhadap wadah DPR, karena dengan hasil Pileg masyarakat akan dapat merasakan langsung dampaknya karena berada lingkungan tempat tinggal masyarakat. Dengan demikian masyarakat lebih mementingkan Pileg dari pada Pilpres.Pemilihan anggota DPR masyarakat dapat menagih kembali janji-janji politik mereka setelah mereka duduk dikursi DPR walaupun saat ini masyarakat belum merasakan hasil Pileg tahun 2014. Harapan sebagian masyarakat kepada pemerintah atau penyelenggara Pemilu (KPU Kabupaten Dompu) agar pelaksanaan Pemilu dilaksanakan secara transparan, akuntabel, luber, tidak ada tekanan dari pihak manapun, dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Masyarakat berharap KPU lebih gebyar melaksanakan sosialisasi
kepada
masyarakat
48
secara
menyeluruh
terutama
I masyarakat yang berpendidikan rendah, karena yang berpendidikan rendah lebih mudah terpengaruhi oleh sosialisasi yang sifatnya langsung seperti terjun langsung kepada masyarakat pemilih. b. Masyarakat Pedesaan Secara umum temuan di lapangan membuktikan bahwa masyarakat pedesaan lebih konsisten partisipasinya pada pemilu legislatif dari masyarakat perkotaan. Hal ini dapat dlihat dari kecenderungan masyarakat dalam memilih pada calon DPR karena dengan beberapa faktor yaitu (1) faktor kedekatan emosional (keluarga) antara pemilih dengan calon, (2) faktor politik uang, (3) faktor janji para calon, (4) faktor emosional karena tentangga, (5) faktor penggerakan masa oleh pada calon, dan (6) jasa masa lalu. Disamping itu masyarakat pedesaan sangat berkepentingan besar terhadap para calon karena masyarakat akan merasakan dampak langsung terhadap program calon yang dipilih walaupun tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat seluruhnya. Bagi masyarakat pedesaan bahwa memilih berdasarkan kedekatan baik secara nasab (keluarga), tetangga maupun yang lainnya lebih puas dirasakan untuk dapat diperjuangkan walaupun pada akhirnya mengalami kekalahan. Disamping faktor tersebut politik uang tetap menjadi faktor utama bagi masyarakat untuk hadir di TPS. Jadi faktor politik uang dan kedekatan antara calon dengan masyarakat pedesaan menjadi faktor utama masyarakat untuk memilih calon pilihan mereka. Masyarakat juga mudah percaya terhadap janji-janji atau iming-iming para calon DPR untuk melakukan sesuatu setelah anggota DPR tersebut menjadi wakil rakyat. Masyarakat juga terpengaruhi oleh jasa-jasa masa lalu antara calon dengan masyarakat. Dari segi bentukan Tim sukses masyarakat pedesaan lebih terlihat perjuangannya untuk memenangkan para calon dukungannya
49
I bahkan menjadi alat pemicu retaknya antar anggota keluarga bila terdapat perbedaan pilihan seperti pemutusan aliran listrik, tidak saling sapa bahkan menimbulkan permusuhan antara satu keluarga dengan anggota keluarga lainnya. D.2. Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih Pada Pemilu Presiden a. Masyarakat Kota Anggapan masyarakat bahwa Pilpres merupakan tanggung jawab masyarakat sebagai warga Negara untuk memilih dan dipilih pada pesta demokrasi. Pemilu Pilres tahun 2014 merupakan moment bagi masyarakat untuk memilih pemimpin bangsa demi kelanjutan pembangunan ke depan. Ada sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pilpres tidak ada dampak langsung bagi setiap individu, maka sedikit minat masyarakat untuk mencoblos pada Pilpres. Politik uang pada Pilpres tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat bahkan tidak pernah menerima uang pada tim sukses. Disamping itu gesekan kepentingan antar masyarakat pada saat Pilpres tidak begitu terlihat. Pada sisi yang lain Pilpres lebih mudah dipahami oleh masyarakat seperti tata cara pelaksanaannya karena sosialisasi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan para calon melalui media elektronik seperti TV One, Metro TV mapun media cetak lainnya. Dari segi proses pencoblosan Pilpres lebih mudah dilaksanakan oleh masyarakat karena jumlah calon lebih sedikit bila dibandingkan pada Pileg. Pada Pilpres keterlibatan masyarakat/pemilih lebih didominasi karena faktor figur calon presiden dan wakil presiden dilihat dari treck record para calon. Trik record tersebut masyarakat menilai dari pemberitaan melalui media massa baik eloktronik maupun media cetak disamping oleh para tim sukses, anggota partai pengusung maupun simpatisan masing-masing calon ditempat tinggal masyarakat tersebut. Dari segi TPS dan tempat tinggal masyarakat kota sangat terjangkau.
50
I Dengan demikian bahwa rendahnya motivasi masyarakat pada Pilpres karena tidak ada kepentingan langsung dengan calon dan tidak ada uang yang dibagi oleh para calon dan tim sukses menjadi penyemangat bagi pemilih. Pemilu juga bagi sebagian masyarakat sebagai sebagai momentum “mengais rejeki” karena ada kesempatan atau peluang yang dilakukan oleh para calon atau dengan kata lain adalah “mini proyek”. b. Masyarakat Pedesaan Secara umum pandangan masyarakat pedesaan terhadap Pemilu
Presiden dan wakil Presiden tidak memiliki kepentingan
langsung dengan para calon presiden dan wakil presiden, tidak ada penggerakan masa oleh tim sukses dan tidak pernah merasakan, melihat, dan mendengar pembagian uang untuk kepentingan calon tertentu tetapi masyarakat pedesaan merasakan secara tidak langsung pembangunan disamping masyarakat menganggap adalah kewajiban sebagai warga negara untuk memilih pemimpin bangsa demi keberlanjutan cita-cita bangsa dan negara yang lebih baik. Masyarakat masih mempercayai hal tersebut. Walaupun masyarakat tidak merasakan dampak langsung secara individu tapi masyarakat masih mempercayai bahwa dengan memilih presiden dan wakil presiden yang baik akan dapat mensejahterakan masyarakat dengan program pro rakyat walaupun saat ini masyarakat belum merasakan dampak yang signifikan dan merata terhadap hasil Pilpres tahun 2014 yang lalu. D.3. Penyebab Golput di Dompu Sebagai fenomena yang selalu muncul dalam setiap momentum pemilu, penelitian ini berhasil mengungkap penyebab golput pada masyarakat perkotaan dan pedesaan. Berikut paparan temuan penelitian ini.
51
I D.3.1. Golput Pada Pemilu Legislatif Ketidakhadiran pemilih di TPS disebabkan dua sumber yakni sumber
subjektifitas
dan
sumber
lingkungan.
Sumber
subjektifitas, yakni; tidak berada di tempat, persepsi terhadap pemilu yang tidak membawa perubahan, dan move atau tidak percayanya masyarakat terhadap elit politik. Sedangkan sumber lingkungan adalah bekerjanya pengaruh ideology agama. Semua penyebab ini ditemukan pada masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. 1. Tidak berada ditempat. Pada dasarnya tidak ada masyarakat tidak memilih berdasarkan DPT tetapi masyarakat tidak berada di tempat pada saat pencoblosan karena meninggalkan kampung halaman seperti bekerja, sekolah dan lain-lainnya. 2. Pemilu tidak membawa perubahan. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa pemilu legislatif tidak membawa perubahan apa-apa. Siapapun anggota DPR menghiasi meja dan kursi DPR tidak akan berjuang membela kepentingan masyarakat secara umum karena mereka lebih
mementingkan
kepentingan
keluarganya serta kepentingan
partainya
dan
kelompok-kelompok
sendiri. 3. Move tidak percaya. Sebagian masyarakat tidak percaya terhadap calon yang pernah masyarakat pilih pada pemilu sebelumnya atau dengan kata lain para calon lebih banyak memberikan janji-janji politik pada saat kampanye tetapi mereka tidak amanah, ketika menjadi DPR. DPR tidak lagi mengingat atau menempati janjinya. Janji para calon yang pernah diucapkan antara lain ingin memberikan proyek,
52
I diberikan
pekerjaan
(diangkat
jadi
pegawai)
atau
kemudahan-kemudahan lainnya. 4. Idiologi Agama. Sebagian golongan masyarakat tertentu berpendapat
bahwa
pelaksanaan
Pemilu
tidak
dilaksanakan melalui aturan agama Islam. Setiap hasil Pemilu tidak mampu menjalankan syariat Islam pada hal bangsa Indonesia negara mayoritas beragama Islam. Pemimpin bangsa lebih mengutamakan kaum minoritas (non muslim) dari pada kaum mayoritas (Islam). D.3.2. Golput Pada Pemilu Presiden Fenomena golput pada pemilu presiden lebih tinggi dibanding pemilu legislatif baik pada masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Penelitian ini menemukan lima factor yang menyebabkan angka golput tinggi pada pemilu presiden dan wakil presiden 2014 di Kabupaten Dompu, sebagai berikut:
Tidak ada di tempat tinggalnya. Masyarakat perkotaan yang memiliki mobilitas sosial tinggi tidak berada di tempat tinggalnya pada saat hari pemungutan suara. Sedangkan pada masyarakat pedesaan, komunitas trasmigrasi merupakan kelompok yang memanfaatkan waktu untuk pulang ke daerah asal mereka. Akibat mobilitas sosial tersebut mereka tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
Sikap
a-politik.
meningkatnya
Kemajuan lapangan
di
kerja
bidang
ekonomi
menyebabkan
dengan
masyarakat
perkotaan dan pedesaan memiliki sikap a-politik. Bagi mereka politik bukan urusan mereka melainkan urusan elit. Yang menjadi urusan mereka adalah ekonomi, sosial, dan keagamaan. Sedangkan dalam kehidupan politik masyarakat merasa hanya sebagai objek bukan subjek.
53
I
Tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan. Sistem administrasi pemilih dalam pemilu 2014 mengenal beberapa kategori, yakni; DPT, DPTb, DPK, dan DPKTb. Khusus dalam kategori terakhir, meskipun tidak terdaftar dalam daftar pemilih (DPT, DPTb, dan DPK), pemilih dapat menggunakan hak pilihnya apabila memiliki identitas kependudukan yang harus ditunjukkan pada KPPS pada saat pemungutan suara. Kondisi ini menyebabkan
masyarakat
yang
tidak
memiliki
identitas
kependudukan tidak bisa menggunakan hak pilihnya, sehingga dikategorikan sebagai golput. Meskipun golput karena tidak memiliki identitas kependudukan ini tidak terdeteksi dalam rekapitulasi hasil pemilu, namun jumlahnya cukup signifikan untuk ukuran pemilu berdasarkan suara terbanyak.
Efek kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan publik yang diproduksi oleh pemerintah pusat mendapatkan evaluasi dari masyarakat sepanjang masa kekuasaan pemerintah berlangsung. Hasil evaluasi atas kebijakan yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah dipandang tidak efektif oleh mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu presiden dan wakil presiden.
54
I Daftar Pustaka Almond dalam Mochtar Masoed. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Jogyakarta: Gajah Mada University Press. Bonar Simangunsong. 2004. Negara. Demokrasi dan Berpolitik Yang Profesional. Jakarta: Gramedia. B.N. Marbun. 1996. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media. George Ritzer & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Renika Cipta. Ibnu Kencana. 1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Joko Subagio P., 1997. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktik. Cet. II.Jakarta:PT. Rineka Cipta. Lexy Moleong.2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. IX.Bandung:PT. Remaja Rosda Karya. Margono. 2000.Metodologi Penelitian Pendidikan.Cet. II.Jakarta:PT. Rineka Cipta. Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Rush, Michael & Althof. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press. Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press http://perilakuorganisasi.com/teori-pertukaran-sosial-dan-pilihan-rasional2.html diakses pada 5 Januari 2013 pukul 11.45
55
I
BAB III Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS: Faktor Penyebab Rendahnya Partisipasi Memilih di Gili Indah Fajar Marta*Burhan Ekwanto*Juraidin* Muzakar*Abdul Karim
A. Pengantar Sebagai mekanisme rotasi kekuasaan politik, pemilihan umum erat kaitannya dengan partisipasi politik. Partisipasi politik warga Negara yang ditunjukkan melalui pemberian suara dalam pemilihan umum menjadi basis legitimasi yang diperebutkan dan dimenangkan pemimpin-pemimpin politik. Ini menunjukkan bahwasanya partisipasi politik warga negara dalam pemberian suara menjadi awal dari seluruh proses politik selama satu periode kekuasan politik. Oleh karena itu, tinggi-rendahnya partisipasi politik sangat menentukan capaian dari proses politik, sekaligus menunjukkan besar-kecilnya legitimasi yang didapatkan. Perdebatan mengenai pentingnya partisipasi warga Negara dalam berbagai proses politik menjadi penting ditengah berbagai hasil pemilihan umum (pemilu) yang masih menjauhkan harapan publik terhadap perbaikan sistem, taraf hidup dan disharmoni diantara berbagai lembaga Negara. Untuk itu, keterlibatan publik dalam mengawal berbagai kerja sistem politik menjadi kerja kolektif semua unsur Negara yang tidak bisa diserahkan kepada satu kelompok tertentu. Munculnya kesadaran publik untuk mengawal dan mendorong proses politik yang transparan terlihat dari munculnya berbagai gerakan relawan yang independen maupun berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu, seperti terlihat pada gerakan relawan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Munculnya berbagai relawan tersebut mengindikasikan munculnya kesadaran terhadap pentingnya politik sebagai jalur perjuangan. Gagasan ini paling tidak senada dengan cara berpikir Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai
56
I media koreksi dan perbaikan terhadap sistem dan aktor politik yang terpilih pada periode pemilu sebelumnya. Dengan demikian pemilu bukan hanya sebagai media rotasi kekuasaan berkala melainkan cara untuk terus menerus menemukan dan menciptakan sistem politik terbaik, yang sesuai dengan harapan dan tantangan perubahan berbangsa dan bernegara. Munculnya antusiasme warga Negara menyambut pemilihan umum (pemilu) tidak serta merta menciptakan euphoria yang sama di semua daerah di Indonesia. Masih terdapat warga Negara di suatu daerah tertentu yang masih rendah tingkat partisipasi politiknya, khususnya untuk datang memilih pada Pemilihan Umum. Fakta pemilu ini kembali menegaskan bahwasanya tinggi rendahnya partisipasi politik bukan hanya persoalan administratif melainkan bentuk sikap politik tertentu atas realitas politik (Golput). Kondisi ini tentu saja membutuhkan perhatian lebih terutama kepada Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum untuk terus meningkatkan kuantitas dan kualitas pemilu. Tingginya angka Golput paling tidak disebabkan beberapa hal. Pertama; tingginya partisipasi tidak menjamin pemilu menghasilkan pemimpin dan perwakilan politik yang berkualitas. Artinya tingkat partisipasi tidak menggambarkan proses seleksi yang baik terhadap para calon pemimpin dan wakil rakyat. Kedua;tingginya partisipasi tidak memberikan jaminan pemimpin dan wakil rakyat mampu merubah kondisi warga Negara menjadi lebih baik, baik pada akses layanan publik maupun pada perubahan perekonomian. Potret inilah yang kemudian terefleksi dengan semakin meningkatnya angka golongan putih (golput) di setiap pemilu. Argumentasi ini mendasarkan diri pada golput sebagai bentuk perlawanan terhadap elemen demokrasi yang belum mampu menawarkan pilihan-pilihan terbaik. Argumentasi ini sekaligus menjadi dasar pertimbangan rendahnya tingkat partisipasi belum tentu paralel dengan rendahnya kesadaran politik.
57
I Di sisi lain, pilihan untuk tidak terlibat dalam pemilihan umum (Golput) berimplikasi pada beberapa hal berikut. Pertama; rendahnya partisipasi politik berimplikasi terhadap semakin jauhnya harapan publik memiliki pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas dan berkapasitas menjalankan peran politiknya. Artinya keengganan warga Negara terlibat dalam pemilihan umum memperbesar peluang munculnya pemimpin dan wakil rakyat tanpa visi dan program perubahan yang jelas. Kedua; rendahnya partisipasi politik berimplikasi terhadap tidak terbangunnya komunikasi diantara warga Negara dengan pemerintah maupun wakil rakyat dalam memperjuangkan perubahan yang diinginkan publik. Hal ini mengacu kepada rendahnya akses publik mempengaruhi tokoh-tokoh politik yang berkapasitas dan berpengaruh dalam menghasilkan berbagai keputusan politik. Artinya terlibat memberikan suara dalam pemilihan umum sekaligus menjadi jejaring dan “kontrak” dalam memperjuangkan kepentingan publik yang lebih luas. Berbagai argumentasi tersebut mensiratkan pilihan untuk tidak terlibat dalam pemberian suara merupakan sikap politik yang terbangun atas basis politik, pengalaman dan pengetahuan politik tertentu. Jika perspektif tersebut menjadi dasar argumentasi maka pendekatan untuk membangun kesadaran warga Negara terlibat dalam pemberian suara tidak hanya dibebankan kepada Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh perangkat demokrasi lainnya. Terutama partai politik yang menjalankan fungsi rekruitmen, pendidikan dan kaderisasi politik. Tidak terlibat dalam proses pemilu tidak hanya sebagai sikap politik, pada faktanya banyak persoalan administratif membuat warga tidak terdaftar sebagai wajib pilih menyebabkan warga kehilangan hak sipil dan politiknya. Kondisi ini bisa saja bertalian dengan tingkat partisipasi warga dalam pemilihan umum yang tidak mengalami perubahan substantif. Berbagai persoalan tersebut terjadi diberbagai daerah tanpa terkecuali
58
I termasuk di Kabupaten Lombok Utara, NTB. Dari beberapa daerah yang menjadi locus pemilihan umum, Desa Gili Indah (Gili Trawangan, Meno dan Air) menjadi daerah dengan tingkat partisipasi terendah yakni sebesar 51,69 persen pada pemilihan Legislatif di Kecamatan Pemenang. Rendahnya partisipasi warga di Desa Gili Indah berbeda dengan beberapa desa lainnya di Kecamatan Pemenang, meskipun dengan karakteristik masyarakat yang sama-sama bekerja pada sektor pariwisata. Fakta ini tentu saja menarik untuk diamati mengingat mayoritas penduduk di Desa Gili Indah berprofesi di sektor pariwisata dengan tingkat perekonomian yang tinggi. Dengan mendasarkan pada argumentasi di atas, penelitian ini mengajuan tiga rumusan masalah penelitian sebegai berikut; 1) bagaimana pelaksanaan Pemilihan Umum di Desa Gili Indah? 2) faktor-faktor apa yang mempengaruhi rendahnya partisipasi warga dalam Pemilihan Umum di Gili Indah? 3) bagaimana Strategi Peningkatan Partisipasi Pemilih di Gili Indah? B. Tinjauan Teoritis Sistem politik membutuhkan dukungan dari lingkungan politik. Salah satu dukungan yang penting itu ialah partisipasi politik warga Negara dalam proses politik. Salah satunya partisipasi warga negara dalam pemberian suara di pemilihan umum. Partisipasi politik bukan sekedar keterlibatan warga Negara dalam pemberian suara, tetapi implikasi dari proses pemberian suara tersebut mampu menghasilkan struktur politik yang bekerja melaksanakan mandat menghasilkan dan melaksanakan kebijakan selama lima tahun. Fakta ini tentu saja berimplikasi terhadap munculnya berbagai cara dan gaya dalam menjalankan pemerintahan. Pada fase inilah masyarakat dituntut untuk aktif mengawasi dan menjadi mitra dalam menghasilkan kebijakan yang merakyat. Pemilihan umum merupakan rutinitas dalam negara demokratis, pemilu tidak hanya menyangkut pemilihan pemimpin politik melainkan bentuk dari kedaulatan rakyat. Menurut teori demokrasi minimalis (Schumpeterian), pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi
59
I (kontestasi) antar aktor politik untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan; serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara.38 Sejalan dengan itu, pemilu menyangkut dua hal utama yakni proses dan hasil. Pemilu dapat dikatakan berkualitas dari sisi prosesnya, apabila pemilu berlangsung secara demokratis, aman, jujur dan adil. Sedangkan dilihat dari hasilnya, pemilu berkualitas jika mampu menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin negara/politik yang mampu menyejahterakan rakyat.39 Di negara-negara demokrasi tingginya
partisipasi masyarakat
menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik. Hal ini juga menunjukkan bahwa rezim yang besangkutan memiliki kadar keabsahan (legitimacy) yang tinggi. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Partisipasi yang rendah dianggap menunjukkan legitimasi yang rendah pula.40 Secara teoritik Herbert McClosky mendefiniskan partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela dari warga masyarakat mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.41 Penekanan terhadap pentingnya proses memilih penguasa dan mempengaruhi kebijakan Negara sebagai yang ditekankan Herbert McClosky menjadi satu rangkaian dari proses politik yang panjang selama satu periode kekuasaan. Huntington dan Nelson menyatakan partisipasi politik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para warga Negara 38
Lihat Sutoro eko, Krisis Demokrasi Elektoral “ dalam Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004”, penyunting Prajarta dan Kana, Percik dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2006
39
Lihat Abdullah Rozali, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
40
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal 369. 41 Ibid, hal 367
60
I preman dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, sinambung atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak.42 Sedangkan Rush dan Althoff mendefinisikan partisipasi politik sebagai keterlibatan individu sampai pada macam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktivitas politik itu bisa bergerak dari ketidakterlibatan sampai dengan aktivitas jabatannya.43 David Road dan Wilson membagi empat kategori partisipasi politik yang akan disajikan dalam bentuk piramida partisipasi politik.
Aktivis Partisipan Pengamat Apolitis Sumber: David Road dan Wilson Dalam Bukunya Said dan Sahid Gatara, Sosiologi Politik “Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian” Pustaka Setia, 2007. Dari berbagai definisi tersebut, dapat dipahami bahwasanya partisipasi politik bukan sekedar proses menjalankan pilihan-pilihan politik pada pemilihan umum melainkan seluruh rangkaian dari proses memilih, mengawasi, mempengaruhi dan evaluasi terhadap kepemimpinan politik 42
Huntington dan Nelson, Partisipasi Politik di Negara berkembang, Rineka Cipta, Jakarta,1994, hal 6 43 Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal 23
61
I periode sebelumnya. Dalam konteks penelitian rendahnya tingkat partispasi memilih warga Desa Gili Indah, peneliti memfokuskan pada rendahnya partisipasi memilih dengan mengacu pada kualitas pelaksanaan pemilu dan partisipasi politik warga dalam menyalurkan hak-hak sipil dan politik sebagai warga negara dalam pemilihan umum (Pemilu). Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai persoalan-persoalan pelaksanaan pemilu dan faktor-faktor rendahnya partisipasi dalam memilih sebagaimana yang dikemukakan McClosky (1972:20) bahwa: “Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji”. 44 C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menemukan makna dibalik rendahnya tingkat partisipasi memilih warga di Gili Indah. Pendekatan kualitatif dianggap mampu memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk mendalami keseluruhan situasi sosial yang kompleks. Pada dasarnya penelitian kualitatif dipilih karena permasalahan yang belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi social menggunakan pendekatan kuantitatif dengan instrument seperti test, kuesioner maupun pedoman wawancara45. Metode kualitatif juga dapat diketahui untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui.46 Memilih informan yang memahami situasi sosial adalah salah satu kunci keberhasilan dalam penelitian. Untuk itu dalam menentukan Informan, 44
45 46
Soebagio, Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di Indonesia, Jurnal, Makara, Sosial Humaniora, Vol 12, No 2, Desember 2008:82-86 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2013, hal 292. Strauss dan Corbin, Dasar-dasar penelitian kualitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 5.
62
I digunakan teknik Purposive Sampling. Yaitu teknik penentuan narasumber dengan menentukan narasumber terlebih dahulu berdasarkan karakteristik tertentu. Peneliti akan menggunakan dua komponen data utama yaitu data primer yang akan diperoleh secara langsung melalui wawancara, dan data sekunder seperti data jumlah pemilih, perolehan suara dan dokumen terkait Pemilihan Umum yang bisa didapatkan di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan data-data pendukung melalui Media Massa. Penelitian ini menggunakan teknik Indepth Interview dengan mewawancarai informan kunci (key person) yang merupakan sebaran dari karakteristik tertentu seperti pekerjaan, status sosial dan jenis kelamin pada daerah yang menjadi locus penelitian. Indepth interview diharapkan dapat memberikan informasi mendalam kepada peneliti mengenai kompleksitas pada situasi sosial. Analisis Data sebagai seperangkat proses dalam membaca dan menemukan makna dari seluruh informasi yang disampaikan menjadi sangat vital dalam menjamin hasil penelitian menjadi reliable. Untuk itu, penelitian ini menggunakan teknik interaktive model. Analisis data menggunakan model ini terdiri dari reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi. 47 Alur analisis data dengan model interaktif akan tampak seperti pada gambar berikut. Gambar 3.1 Skema Analisis Data Model Interaktif Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan-Kesimpulan: Penarikan/Verifikasi
Sumber : Miles dan Huberman (edisi 2014:16) 47
Miles Matthew dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2014, hal 16
63
I D. Hasil Penelitian D.1.Perihal Desa Gili Indah Gili indah merupakan territorial Desa yang ada di kecamatan pemenang, terdiri dari Dusun Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan dari gugusan tiga pulau yang secara kewilayahan berada di sebelah utara Kabupaten
Lombok
Utara.
Sebagai
gugusan
kepulauan,
pariwisata
merupakan sektor yang diandalkan dan menjadi pusat kedatangan utama dari berbagai wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Dengan berkah gugusan kepulauan yang indah tidak heran gili indah dianggap sebagai surganya wisata bahari. Limpahan keindahan bahari tersebut mampu dimanfaatkan secara baik oleh masyarakatnya dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian pada sector partiwisata dari berbagai dimensi, sebagian nelayan, pedagang, pemandu wisata, boatman, kusir cidomo hingga pengusaha dan sebagainya. Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Desa Gili Indah DAK 2 Desa
Laki
Gili
2.564
Indah
Pere mpu an 2.52 6
DP 4 Jumlah
Laki
5.090
1.708
Pere mpu an 1.74
Jumlah
Jumlah KK
3.455
1.510
7
Sumber: server Dinas Dukcapil Kab. Lombok Utara, Data Per: 31 Januari 2015
64
I D.2. Pemilih Desa Gili Indah Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lombok Utara jumlah wajib pilih di Desa Gili Indah berjumlah 3.430 wajib pilih dengan rincian wajib pilih perempuan berjumlah 1.748 pemilih dan wajib pilih laki-laki berjumlah 1682 wajib pilih yang tersebar melalui 5 tempat pemungutan suara (TPS) terdiri dari 1 TPS berada di Dusun Gili Air, 1 TPS di Dusun Gili Meno dan 3 TPS di Dusun Gili Trawangan. Tabel 3.3 Pemilih Desa Gili Indah No.
Pemilih TPS
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1.
TPS 1
337
372
709
2.
TPS 2
363
367
730
3.
TPS 3
241
259
500
4.
TPS 4
388
373
761
5.
TPS 5
353
377
730
1682
1748
3430
Total
Sumber: KPU KLU, Pilpres 2014 D.3.Tingkat Kehadiran Pemilih Tingkat kehadiran pada masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Gili Indah berdasarkan hasil Pilpres 2014 sebesar 51,69 persen. Angka partisipasi memilih tersebut mengindikasikan adanya persoalan kepemiluan yang penting untuk segera ditindaklanuti oleh penyelenggara pemilihan umum. Rendahnya tingkat partisipasi tersebut masih bisa
65
I diintervensi mengingat masih terdapat keperdulian dari warga untuk terlibat dalam proses politik terbukti dari masih adanya tingkat partisipasi sebesar 83 persen pada salah satu tempat pemungutan suara (TPS). Tabel.3.4. Tingkat Kehadiran Pemilih Prosentase
No
TPS
1.
TPS 1
47 %
2.
TPS 2
56 %
3.
TPS 3
83 %
4.
TPS 4
50 %
5.
TPS 5
33 %
Rata-Rata
Memilih
51, 69 %
Keterangan Tingkat partisipasi memilih terbesar pada TPS 3 sebesar 83 persen, terkecil di TPS 5 sebesar 33 persen. Sedangkan rata-rata partisipasi memilih di Gili Indah berkisar 51,69 persen.
Sumber: KPU KLU, Pilpres 2014 Rendahnya tingkat partisipasi memilih warga Desa Gili Indah merupakan gejala munculnya apatisme warga terhadap proses politik yang seharusnya mampu menjadi media evaluasi terhadap kepemimpinan dan perwakilan politik. Angka 51,69 persen tentu merupakan angka partisipasi memilih terendah jika dibandingkan dengan angka partisipasi dengan desa lain yang berada di wilayah administratif Kecamatan Pemenang. Tingkat partisipasi memilih sangat dipengaruhi oleh banyak variable. Seperti persoalan administratif yang membuat warga tidak terdaftar sebagai pemilih. Persoalan administratif ini terjadi hampir disetiap pemilihan umum, baik pilpres, pileg maupun pilkada yang membuat warga dan kontestan politik kehilangan hak memilih dan dipilih. Termasuk keterlambatan logistik pemilu dan minimnya
66
I sosialisasi publik terkait pelaksanaan dan tata cara memilih juga menjadi persoalan yang harus menjadi pertimbangan untuk menjawab rendahnya tingkat partisipasi memilih. Untuk menjawab penyebab rendahnya partisipasi memilih warga di Desa Gili Indah, pembahasan ini akan di susun berdasarkan analisis terhadap pelaksanaan pemilu, analisis terhadap faktor-faktor partisipasi memilih, analisa terhadap potensi (kearifan) lokal dan analisa terhadap pola peningkatan
partisipasi.
Sistematika
penyusunan
ditujukan
untuk
memudahkan pemetaan rendahnya tingkat kehadiran memilih dan potensi lokal yang bisa digunakan mendorong perbaikan pelaksanaan pemilu termasuk menemukan solusi komprehensif yang bisa diintervensi oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lombok Utara. D.4. Pelaksanaan Pemilihan Umum Secara umum pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Desa Gili Indah berjalan dengan lancar, seperti yang terjadi pada pemilihan umum presiden (Pilpres) dan Pemilihan legislatif (Pileg) 2014 yang ditandai dengan tersalurnya logistik pemilu secara lancar tanpa hambatan tertentu yang bisa menggagalkan pelaksanaan pemilihan umum. Perangkat pemilu di Desa juga telah melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga proses pencoblosan berlangsung dengan aman dan tertib. Selama ini pelaksanaan pemilu berjalan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang diberlakukan. Dari pemilu ke pemilu masyarakat pemilih di Gili Indah mengetahui adanya pemilu, namun dominan terkendala pada halhal teknis ke tempat pemungutan suara untuk pencoblosan serta pemahaman mengenai boleh tidaknya pindah tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih. Sebagai daerah yang mayoritas masyarakatnya pekerja persoalan teknis pemilu menjadi persoalan utama mengingat keinginan untuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga Negara belum selaras dengan ritme
67
I kerja di perusahaan dan jarak tempuh dari TPS ke tempat kerja sehingga diperlukan kesesuaian kebijakan perusahaan dengan waktu pencoblosan, terutama kepada pekerja di perusahaan. Berkenaan dengan pelaksanaan dan persoalan pemilu, Kepala Dusun Gili Trawangan mengatakan sebagai berikut: Pemilu berjalan lancar, dan kita sudah laksanakan, tidak ada persoalan logistik Cuma perlu ada rangsangan kepada orang-orang ini (Pemilih) supaya bagaimana dia untuk menyampaikan hak mereka terutama untuk kepentingan pemerintahan kita mendatang. Banyak yg dapat undangan dari TPS lain mau memilih di Trawangan karena mereka bekerja di sini. Banyak kendala seperti itu di sini. KPU harus sering turun untuk konfirmasi supaya pemilu ini efektif nantinya. Terutama yang memilih ditempat lain (H. Lukman, Wawancara, 5 Juli 2015). Hal yang sama juga disampaikan oleh salah seorang tokoh pemuda sekaligus pengusaha di Gili Trawangan sebagai berikut: Pelaksanaan pemilu sudah bagus, dari sisi logistik dan ketepatan waktu penyelenggaraan pemilu. Masyarakat sebenarnya tahu dirinya sebagai pemilih, hanya saja banyak masyarakat yang bekerja di Gili (kepulauan) tetapi tinggal di luar gili (Safari Mahdan, S.Kom, wawancara tanggal 5 juli 2015) Jika mencermati beragamnya persoalan pelaksanaan pemilu di Gili Indah, dapat ditekankan bahwasanya persoalan pemilu tidak hanya menyangkut pemenuhan aspek logistik melainkan hal-hal menyangkut aspek administratif lainnya seperti wajib pilih yang tidak terdata sebagai penduduk lokal dan wajib pilih yang berasal dari luar gili (kepulauan) tetapi bekerja dan beraktivitas keseharian di Gili Indah. Karakteristik wajib pilih seperti yang ada di Gili Indah membutuhkan pendekatan khusus dari penyelenggara pemilu. Posisi Gili Indah sebagai wilayah mata pencaharian dengan identitas kependudukan pekerja yang beragam juga berkontribusi bagi rendahnya tingkat partisipasi memilih di daerah lain, sehingga sosialisasi mengenai mekanisme pindah tempat pemungutan suara menjadi penting dilakukan.
68
I D.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Memilih Angka partisipasi sebesar 51,69 persen tentu mengindikasikan ada persoalan pemilu yang kompleks dan membutuhkan penanganan serius tidak hanya oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pranata kelengakapan pemilu lainnya di Kecamatan dan Desa melainkan membutuhkan perhatian dari stuktur politik lainnya seperti partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPD/DPRD) dan eksekutif dan elemen demokrasi lainnya. Rendahnya tingkat partisipasi di Gili Indah berdasarkan hasil penelitian ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: 1. Adanya apatisme memilih: Anggapan bahwa memilih dan tidak memilih dimaknai sama saja, tidak memberikan perubahan bagi tingkat kesejahteraan individu yang berkaitan dengan matapencahariannya sehari-hari. Munculnya apatisme warga untuk tidak terlibat dalam proses pemilihan umum menjadi peringatan bagi unsur demokrasi lain, khususnya peringatan bagi Partai Politik, Dewan Perwakilan Rakyat dan Eksekutif
untuk
segera
berbenah
menciptakan
kesadaran
dan
pembelajaran politik kepada warga Negara. Mengenai apatisme warga Gili Indah disampaikan oleh beberapa tokoh Desa Gili Indah sebagai berikut: “Belum ada bukti nyata yang ada di masyarakat yang disampaikan oleh tokoh-tokoh politik yang terpilih. Kalau di Desa kan sudah ada bukti, sekarang anak-anak muda jadi pengusa, jalan sudah masuk” (H. Taufik, Wawancara, 5 Juli, 2015). “Apatis terhadap proses pemilu, ngapain kita milih. Yang bekerja sibuk dengan pekerjaannya. Masyarakat juga Gak tahu calon yang mau dipilih jadi banyak yang g milih” (Humaidi, Wawancara, 13 Juli 2015). Munculnya apatisme warga terlibat dalam proses pemilihan umum menjadi persoalan serius mengingat keengganan warga Negara terlibat dalam proses politik bisa menyebabkan pemimpin menggunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan dan golongannya saja seperti yang disampaikan oleh Miriam Budiarjo bahwasanya partisipasi politik terkait dengan kadar keabsahan dan legitimasi yang rendah pula. Apatisme politik selain menghilangkan bermaknanya
69
I satu suara juga berdampak terhadap rendahnya tingkat keterpilihan bagi calon pemimpin dan calon perwakilan yang punya komitmen terhadap perubahan rakyat. Keresahan ini muncul dari seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) KLU Dapil Tanjung dan Pemenang sebagaimana yang dikemukakan berikut ini:
“Satu suara itu penting, peran serta tokoh untuk memilih punya pengaruh lewat sosialisasi, memastikan pilihan dan datang ke TPS” (H.M. Arsan, S.Pd.i, Wawancara 5 juli 2015). Terkait rendahnya tingkat partisipasi memilih di Gili Indah, tidak semua proses kontestasi politik diwarnai apatisme warga dalam memilih terbukti dari antusiasme masyarakat Gili Indah ketika memilih pada kontestasi politik lokal (Pilkades) yang begitu tinggi. Ada bebarapa hal yang mempengaruhi, seperti faktor kedekatan, aduan yang cepat diproses dan proses penyelesaian persoalan yang lebih cepat diselesaikan menjadi faktor warga memilih dalam kontestasi Pilkades. Fakta ini tentu saja harus direspon oleh instrumen dan kelembagaan politik lainnya untuk berbenah memperbaiki
kinerjanya.
Antusiasme
pilkades
terangkum
dalam
pengakuan H.Taufik selaku Kepala Desa Gili Indah berikut ini: “Pemilihan di tingkat lokal (Pilkades) lebih antusias, dari 2800 pemilih yang memberikan hak pilihnya mencapai 2600 pemilih. Pilkades antusias dibanding pemilihan lainnya karena lebih dekat dalam komunikasi, tiap hari bisa menyampaikan keluhan mereka bisa sampaikan dan tindakan penyelesaian masalah lebih cepat. Proses penyelesaian seperti itu tidak ditemukan di pemilihan lainnya” (H. Taufik, Wawancara, 5 Juli 2015) Rendahnya tingkat partisipasi memilih di Desa Gili Indah masih bisa ditingkatkan mengingat masih adanya kesadaran politik warga dalam kontestasi politik lokal (Pilkades). Dengan kata lain intensitas masyarakat Gili dalam proses politik terjadi ketika ada kepentingan langsung yang berhubungan dengan pembangunan masyarakat Desa sehingga intervensi merubah perilaku politik tersebut tidak bisa hanya dibebankan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) melainkan membutuhkan sinergisitas dengan Partai Politik, Pemerintah Daerah, dan perangkat demokrasi lainnya.
70
I 2. Faktor Pekerjaan Masyarakat Desa Gili Indah yang mayoritas pekerja disatu sisi menyumbang sumbangsih dalam peningkatan taraf perekonomian masyarakat dan sisi lain membutuhkan kedisiplinan dan semangat profesionalisme faktanya menjadi persoalan selama ini terkait rendahnya tingkat partisipasi memilih warga Desa Gili Indah. Benturan waktu pencoblosan dan waktu bekerja menyebabkan wajib pilih tidak mempunyai waktu untuk melakukan pencoblosan. Persoalan ini tentu saja harus segera dibenahi oleh penyelengara pemilu dengan membangun komitmen bersama diantara para pengusaha untuk mengijinkan pegawainya memberikan hak suaranya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Dusun Gili Trawangan seperti berikut ini: “Trawangan daerah bisnis mereka berfikir lebih mementingkan pekerjaan. masyarakat trawangan banyak yang di pinggir jadi agak susah balik untuk memilih Untuk Pemuda kesibukan malam, kerja, mereka bangun jam 1-2 siang sehingga itu jadi kendala ikut memilih. Seperti boatman berangkat jam 7 pulang sore sehingga tidak bisa memilih sementara ada batasan jam memilih” (H. Lukman, Wawancara, 5 Juli 2015). Persoalan menyangkut benturan antara jam kerja dan waktu pencoblosan juga menjadi perhatian tokoh Desa Gili Indah lainnya, seperti berikut ini: “Disini kawasan pariswisata hidupnya di pantai, senang surfing tidak pulang semalaman itu susahhnya kalau untuk memilih. kita kami siap membantu” (Muktamat Rasmanto, Wawancara, 5 Juli 2015). “Waktu bertepatan dengan kerja, contoh mereka orang sini masuk kerja 7.30 harus standby di tempat kerja break jam 12. Tutupnya jam 1 Banyak yang datang setelah jam 1 TPS sudah tutup (H. Taufik, wawancara 5 juli 2015).
Benturan antara jam bekerja dengan waktu pencoblosan tersebut harus mampu disiasati oleh penyelenggara pemilu dengan membangun
kerjasama
dengan
seluruh
stakeholders
dalam
menyediakan tempat pemungutan suara yang relatif bisa dijangkau oleh masyarakat pekerja. Meskipun telah ada keputusan pemerintah
71
I untuk menjadikan hari pencoblosan sebagai hari libur nasional, tidak memberikan jaminan mengingat karakteristik pekerjaan pada sektor pariwisata berbeda dengan sektor formal yang lain. 3. Minimnya Sosialisasi Penyampaian informasi publik terkait kepemiluan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih sangat minim. Informasi mengenai pemilu banyak didapatkan melalui media baik cetak maupun elektronik, keberadaan media sosial juga berkontribusi terhadap pemenuhan informasi kepemiluan. Persoalannya tidak semua media tersebut mampu memberikan informasi pemilu yang refresentatif bagi wajib pilih. Keberhasilan pemilu tidak hanya ditentukan variable terpenuhinya logistik dan perangkat pemilu, peran informasi sangat penting
menunjang
keberhasilan
pemilu
sehingga
kehadiran
penyelenggara pemilu dalam menyampaikan berbagai macam informasi seperti tahapan pemilu, identitas kandidat dan cara mencoblos sangat penting diketahui wajib pilih. Minimnya sosialisasi tentang informasi pemilu tidak hanya berdampak terhadap rendahnya pengetahuan pemilu masyarakat melainkan juga merugikan para kandidat yang akan berkompetisi. Jika hal ini terjadi dapat mengakibatkan ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu dan tidak menutup kemungkinan muncul gugatan terhadap keabsahan hasil pemilu. Dalam konteks dukungan politik, bisa menyebabkan benturan pada akar rumput atas ketidakpuasaan penyelenggaraan pemilu. Untuk konteks Desa Gili Indah minimnya sosialisasi juga menjadi perhatian dari Pranata Desa Gili Indah seperti beberapa pernyataan berikut: “ Gili indah belum tersentuh sosialisasi yang benar-benar ya sosialisasi itu. Sosialisasi baliho-baliho harus sudah ada ini lagi berapa bulan sudah harus efektif dipelabuhan disemua area publik. KPU harus jemput bola dan sering-
72
I sering diumumkan mengenai jadwal pemilihan untuk mengingatkan warga” (H. Taufik, wawancara, 5 juli, 2015) Sosialisasi minim pas mau pemilu, tidak ada baliho mungkin dari KPU masyarakat kita kumpul hari jumat mungkin ada penceramah tentang pemilu, sosialisasi melalui masjid paling bagus. Sedini mungkin masyarakat tahu lewat ceramah masjid, karena kalau mau dikumpulkan sulit jadi momen paling bagus di masjid melalui jumatan supaya masyarakat menggunakan hak pilihnya (H. Lukman, wawancara, 5 Juli 2015).
Untuk memaksimalkan sosialisasi perlu dilakukan hal-hal semisal forum pertemuan antar stakeholders, pemasangan billboard, spanduk-leaflet pada tempat umum dan terjangkau oleh masyarakat pemilih. Pentingnya peningkatan kuantitas dan kualitas pesan menjadi perhatian akademisi Institut Agama Islam Negeri Mataram seperti berikut ini: Himbauan tokoh agama dan tokoh masyarakat melalui lembaga atau forum pertemuan dapat memberikan pemahaman pentingnya berpartisipasi dalam pemilu, misalnya melalui materi khutbah, brosur atau corong penerangan umat. Pada saat hari pemilihan, perlu adanya suasana lokal yang menggambarkan pesta demokrasi dengan menggunakan busana adat sebagai ajang promosi bagi wisatawan (Dr. H. Lalu Muchsin Afendi, M.A. wawancara 11 Juli 2015). Hal yang sama juga disampaikan oleh tokoh muda Dusun Gili Trawangan. Perlu ada hiburan tradisional seperti presean, ada urusan di pak kadus kita yang ikut selesaikan. Untuk pemuda menurut saya karena di sini mau begini begitu pada sibuk, hanya sedikit waktunya, itu susahnya kita kalau sore bisa kita manfaatkan untuk presean sebagai media sosialisasi (Muktamat Rasmanto, Wawancara, 5 juli 2015)
4. Jarak Tempuh Pemilih Mengingat ritme kesibukan yang dinamis berkaitan dengan siklus pemilih dari daratan ke pulau maupun sebaliknya dan keterjangkauan tempat pemungutan suara (TPS) bagi sebagian pemilih masih menjadi kendala, sebagai konskuensi topografi Desa Gili Indah yang bergugus kepulauan. Sebagai daerah pariwisata dengan tingkat kunjungan yang besar dan mobilitas antar pulau yang begitu tinggi
73
I dibutuhkan penanganan khusus bagi para wisatawan maupun masyarakat yang berasal dari luar Gili Indah yang sedang berlibur maupun masyarakat gili yang berada di daratan diakomodir keinginannya sebagai warga Negara dalam memberikan hak pilih. Banyak dari warga Trawangan yang sudah memiliki rumah di daratan (Pemenang dan sekitarnya) ketika pemilu sedang berada di luar trawangan tidak memilih karena jarak tempuh hanya untuk sekedar datang memilih tentu saja persoalan ini memberikan sumbangsih bagi rendahnya tingkat partisipasi warga dalam memilih. D.6. Potensi (Kearifan) Lokal Dalam perkembangannya, penelitian ini juga mengidentifikasi potensi lokal sebagai upaya partisipasi memilih di Gili Indah yaitu sebagai berikut: 1. Harmomi akulturasi ritual keagamaan dan kebudayaan yang berlangsung sinergis dan berkesinambungan. Aktivitas peribadatan dan agenda atraksi budaya bisa berjalan beriringan dengan spesifik Gili Indah dengan ragam kemajemukannya tanpa mereduksi tradisi yang sudah berlangsung lawas. 2. Potensi kecenderungan pemuda pada kegiatan-kegiatan olahraga, seperti kompetisi liga bola antara perusahaan. 3. Event-event kolosal budaya dan pariwisata yang regular/berkala dilaksanakan di Gili Indah. Semisal presean, rebo bontong-mandi shafar, rangkaian kegiatan agustusan kemerdekaan dan sebagainya. Berbagai potensi lokal yang ada di Gili Indah tersebut pada dasarnya bisa digunakan sebagai media dalam upaya menyampaikan pesan-pesan seputar pemilihan umum. Pendekatan kebudayaan yang terefleksi dalam nilainilai kultural bisa menjadi agen pengenalan politik. Dalam konteks rendahnya partisipasi memilih di Desa Gili Indah tidak bisa dilepaskan dari sosialisasi politik. Yakni Suatu upaya untuk terus meneruskan mengenalkan pentingnya partisipasi dalam proses politik. Potensi lokal seperti kegiatan kepemudaan
74
I dan lingkungan kerja menjadi agen sosialisasi yang efektif untuk menyampaikan hak dan kewajiban politik sebagai warga Negara. Mengenalkan pentingnya keterlibatan politik tidak hanya dilakukan melalui lembaga-lembaga formal seperti sekolah, tetapi menyatu dalam kebudayaan masyarakat setempat bisa menjadi pendekatan alternatif, mengingat agen sosialisasi politik seperti partai politik, kurang mampu memberikan
perubahan
signifikan.
Terbukti
dengan
memudarnya
kepercayaan publik terhadap keberadaan partai politik. Sehingga pendekatan kebudayaan bisa menjadi alternatif dalam mengenalkan politik kepada warga. D.7. Strategi Peningkatan Partisipasi Dari berbagai persoalan kepemiluan yang menyebabkan rendahnya partisipasi memilih warga Desa Gili Indah, dapat kami kemukakan beberapa tools pola peningkatan partisipasi memilih, diantaranya: 1. Pengumuman formal: Adanya sosialisasi yang diadakan dengan pemasangan
billboard-spanduk
dan
pembagian
leaflet
mengenai
pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan umum, serta pengumuman yang disampaikan melalui fasilitas publik secara terjadwal yang mendapatkan permakluman dari pihak pemerintah setempat termasuk juga bekerjasama dengan pemilik perusahaan untuk menyampaikan beberapa pengumuman kepada pekerja. 2. Forum interaktif: Melalui pertemuan antar-stakeholders untuk bersamasama membangun dialog dan menemukan kesepemahaman mengenai pentingnya partisipasi dan penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum (Pemilu). 3. Sinergi kegiatan kolosal: Membangun kerjasama yang baik antara penyelenggara teknis pemilu setempat dengan lembaga/perusahaan yang mengadakan event/kegiatan kolosal untuk menyosialisasikan partisipasi memilih dan pentingnya menggunakan hak pilih.
75
I 4. Edukasi Entertainment-cultural: dengan menciptakan inovasi spesifik bernuansa pariwisata dengan menyuasanakan TPS pada saat hari pencoblosan melalui pemakaian busana adat pada TPS-TPS setempat. D.8. Solusi Komfrehensif Adapun dari berbagai pemetaan dan tanggapan responden pada penelitian ini, diperoleh beberapa solusi berdasarkan realita (sebelumnya) tentang rendahnya partisipasi memilih di Gili Indah diantaranya sebagai berikut: 1. Prakondisi pemilu berkaitan dengan sosialisasi pemilihan umum dengan mengacu pada tahapan pemilu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. 2. Pelaksanaan pemilihan umum berkaitan dengan implementasi teknis pemilu pada tempat pemungutan suara (TPS) setempat. 3. Evaluasi pemilihan umum yang mengacu pada database perbandingan tingkat partisipasi memilih dari pemilu ke pemilu di gili indah.
76
I Daftar Pustaka Abdullah Rozali, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas, Rajawali Pers, Jakarta, 2009. Amin Ibrahim, Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Politik, Mandar Maju, Bandung. Huntington dan Nelson, Partisipasi Politik di Negara berkembang, Rineka Cipta, Jakarta,1994. Miles Matthew dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2014. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008. Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta. Sahid Gatara dan Dzulkiah Said, Sosiologi Politik, Konsep dan Dinamika Perkembangan, Pustaka Setia Bandung, 2007. Sutoro eko, Krisis Demokrasi Elektoral “ dalam Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004”, penyunting Prajarta dan Kana, Percik dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2006. Soebagio, Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di Indonesia, Jurnal, Makara, Sosial Humaniora, Vol 12, No 2, Desember 2008:8286. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2013. Strauss dan Corbin, Dasar-dasar penelitian kualitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013.
77
I BAB IV.
Analisis Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014: Studi Kasus di Kabupaten Lombok Tengah Ari Wahyudi * Sansuri * Zaeroni * Baiq Husnawati * Lalu Puji H.
A. Pengantar Masyarakat
menjadi komponen penentu berhasil atau tidaknya
pelaksanaan pemilu. Posisioning masysrakat ini menjadi strategis karena setiap individu, apapun latar belakangnya seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, status sosial, dan golongan. Mereka memiliki hak yang sama untuk berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah dan pejabat negara. Hak ini disebut hak politik yang secara luas dapat langsung diaplikasikan melalui pemilihan umum. Dalam
menjelaskan
prinsip
universal
di
atas,
Sastroatmodjo
menyatakan negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pirnsip kedaulatan rakyat dalam kerangka demokrasi Pancasila. Di mana untuk mewujudkan pola kehiudpan sistem kedaulatan rakyat yang demokratis tersebut adalah melalui pemilihan umum (pemilu). Melalui pemilu, rakyat Indoneisa turut serta secara aktif untuk berpartisipasi dalam pengisian pemimpin politik mereka di jabatan legislative (DPR, DPD, DPRD) maupun eksekutif (presiden, gubernur bupati/wali kota). Pemilu juga merupakan salah satu bentuk paritisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu wilayah dengan memberikan suara secara langsung. Jika demikian logikanya, maka partisipasi masyarakat merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) masyarakat merupakan aktor yang paling tahu tentang apa yang
78
I baik bagi diri mereka. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara maka warga masyarakt berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Ilmuan politik membagi partisipasi politik masyaraka menjadi dua, yakni; memepengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputusan politik. Kesadaran politik masyarakat menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik, artinya sebagai hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik. Pengalaman pemilu yang berlangsung dalam beberapa dekade menunjukkan banyaknya para pemilih yang tidak memberikan suaranya. Sebagai fenomena penggambaran di atas apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi maka partisipasi pilitik cenderung aktif, sedangka apabila kesadaran dan kepercayaan sangat kecil maka paritisipasi politik menjadi pasif dan apatis. Berpijak dari proposisi di atas, penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut; 1) bagaimana tingkat kehadiran pemilih pada Pemilihan Umum 2014?; 2) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kehadiran mereka di TPS?.
B. Tinjauan Teoritis B.1. Konseptualisasi Seputar Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara-negara yang proses modrnisasinya secara umum telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara meningkat. Modernisasi politik dapat berkaitan dengan aspek politik dan pemerintah. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan
79
I tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah48. a. Pengertian partisipasi politik Pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keuptusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Dasar inilah yang digunakan warga masyarakat agar dapat ikut serta dalam menentukan isi politik. Prilaku-prilaku yang demikian dalam konteks politik mencakup semua kegiatan sukarela, dimana seorang ikut serta dalam proses pemilihan pemimipin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakan umum. Menurut Budiarjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehiudpan politk, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.49 Menrut Hutington dan Nelson, bahwa parpartisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuat keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual dan kolektif, terorganisir dan spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan. Legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.50 Menurut davis, partisipasi politik adalah sebagai mental dan emosinal yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau citacita kelompok atau turut bertanggung jawab padanya.51 Dalam negara demokratis yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakannya memalui kegiatan bersama untuk menentukan tujuan serta masa depan suatu Sastromatmodjo, S. Partisipasi Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 67 49 Ibid. Hlm 68 50 Budiarjo, M. Partisipasi dan Partai Politik, 1998, hlm. 3 51 Sastromatmodjo, S, Op.Cit. hal. 85 48
80
I negara itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang pimpinan. Dari pengertian mengenai paritiisipasi politi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud partisipasi politik adalah keterlibatan individu atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpatispasi aktif dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. b. Bentuk-bentuk partisipasi politik Bentuk partisipasi politik seorang tampak dalam aktivitas-aktivitas politiknya. Bentuk partisipasi politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara (voting) entan untuk memilih calon wakil rakyat atau untuk memilih kepala negara. Dalam buku pengantar sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff mengidentifkasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagi berikut: a. Menduduki jabatan politik atau adiministarasi; b. Mencari jabatan politik atau administrasi; c. Mencari anggota aktif dalam suatu organisasi politik; d. Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik. e. Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi politik f. Menjadi anggtota pasif dalam suatu organisasi semi politik g. Paritispasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb h. Partisipasi dalam diskusi politik internal i.
Partisipasi dalam pemungutan suara. Sastroatmodjo
juga
mengemukakan
tentang
bentuk-bentuk
paritipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya yang dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual dapat berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi
81
I tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam kegiatan pemilu. Sementara itu, Maribath dan Goel membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori: a. Apatis, adalah orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari prose politik. b. Spektator, adalah orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu. c. Gladiator, adalah mereka yang aktif terlibat dalam prose politik misalnya momunikator, aktifis partai dan aktifis masyarakat. d. Pengkritik, adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Menurut Rahman, kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai berbagai mcam bentuk. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi berbagai negara dan waktu dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan non konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti peitisi) maupun ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Bentuk-bentuk frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik,
kepuasan/ketidakpuasan warga negara. Bentuk-bentuk partispasi
politik yang dikemukakan oleh Alomond yang terbagi dalam dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non konvensional. Rincian bentuk partispasi politik sebagai berikut :
82
I Tabel 4.1. Bentuk partisipasi politik konvension dan non-konvensional Konvensional
Non konvensional
Pemberian suara (voting)
Pengajuan petisi
Diskusi politik
Berdemonstrasi
Kegiatan kampanye
Konfrontasi, mogok
Membentuk dan bergabung dalam Tindak kekerasan politik harta benta kelompok kepentingan
(pengerusakan, pengeboman)
Komunikasi individual dengan pejabat Tindak kekerasan politik terhadap politik dan administrative
manusia (penculikan, pembubuhan)
c. Tujuan Partisipasi Politik Adanya kondisi masyarakat yang beraneka ragam tentunya tiap-tiap warga masyrakat mempunyai tujuan hidup yang beragam pula sesuai dengan tingkat kebutuhannya, dan upaya memenuhi kebutuhan itu di refleksikan dalam bentuk kegiatan, yang tentunya kebutuhan yang berbeda akan menghasilkan kegiatan yang berbeda pula. Demikian pula dalam partisipasi politiknya tentu tujuan yang ingin dicapai antara warga satu berbeda dengan yang lain. Menurut Waimer menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partispasi yang lebih luas dalam prose politik yaitu :
Modernisasi di segala bidang, berimplikasi pada komersialisme pertanian, industri, perbaikan pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.
Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan sturktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menegah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi dan modernisasi. Dari hal itu muncul persoalan yaitu siapa yang berhak ikut serta dalam pembuatan-pembuatan keputusan-keputusan politik yang
83
I akhirnya membawa perubahan dalam pola partisipasi politik. Kelas menegnah baru itu secara praktis menyuarakan kepentingan-kepentingan msyarakat yang terkesaan demokrtis.
Pengaruh
kaum
intlektual dan
meningkatnya komunikasi masa
merupakan faktor yang meluasnya komunikasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisasi akan membangkitkan tuntutantuntan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang luas mempermudah penyebaran ide-ide seluruh masyarakat. Dengan masyarakat yang belum maju sekalipun akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara tepat. Hal itu berimplikasi pada tuntutantuntutan rakyat ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan masa. Dalam hal mereka beranggapan, adalah sah apabila yang mereka lakukan demi kempentingan rakyat dan dalam uapaya memerjuangkan ide-ide partisipasi masa. Implikasinya adalah munculnya tuntutan terhadap hakhak rakyat, baik hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi, maupun isu-isu kebebasan pers. Dengan demikian pertentangan dan perjuangan kelas menengah kekuasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat.
Adanya keterlibatan pemerintah yang semaki meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini
seringkali
merangsang
tumbuhnya
tuntutan-tuntutan
yang
berorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan. Menurut Davis, partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi pengasa baik dalam arti memperkuat
maupun
dalam
pengertian
menekannya sehingga mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan
84
I pelaku partisipasi. Tujuan tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik. Sedangkan bagi pemerintah, partisipasi politik dari masyarakat mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Untuk mendukung program-program pemerintah, artinya peran serta masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan pembangunan. b. Sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan. Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan pelaksanaan kebijakan. d. Landasan Partisipasi Politik Hutington dan Nelson mengemukakan bahwa landasan yang lazim digunakan untuk menyelenggarakan partisipasi politik adalah:
Kelas : perorangan-perorangan dengan status sosial, pendapatan, pekerjaan yang serupa.
Kelompok/komunal : perorangan-perorangan dari ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama.
Lingkungan (negihborhood) : perorangan-perorangan yang secara geografi bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.
85
I
Partai : perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintah.
Golongan (function) : perorangan-perorangan yang dipersatukan oleh intraksi yang terus menerus atau intens satu sama lain, dan salah satu manifestasinya adalah pengelompokan patro-klien, artinya satu golongan yang melibatkan pertukaran manfaat-manfaat secara timbal balik di antara perorangan-perorangan yang mempunyai sistem status, kekayaan dan pengaruh yang tidak sederajat. Hermawan berpendapat bahwa yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi prilaku politik, adalah:
Lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, media masa, sistem budaya, dan lain-lain.
Lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, teman agama, kelas, dan sebagainya.
Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
Faktor sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan politik, seperti suasana kelompok, ancaman, dan lain-lain.
B.2. Konseptualisasi Perihal Pemilu a. Definisi Pemilu Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi modern yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
86
I dilembaga perwakilan rakyat serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik.52 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemiliham umum dinyatakan bahwa pemilihan umum, adalah saranan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Repbulik Indonesia tahun 1945. Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran suatu hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilu atau memperlambat pemilu.53 Dari pengertian di atas bahwa pemilu adalah sarana mewujudkan pola kedaulatan rakyat yang demokratis dengan cara memilih wakil-wakil rakyat, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Karena pemilu merupakan hak asasi mansia maka pemilu 2014 warga negara yang terdaftar pada daftar calon pemilih berhak memilih langsung wakil-wakilnya dan juga memilih langsung Presiden dan Wakil Presidennya. b. Tujuan Pemilu Tujuan pemilu adalah menghasilkan wakil-wakil rakyat yang representatif dan selanjutnya menentukan pemerintahan. Dalam UUD 1945 Bab VII B pasal 22 E ayat (2) pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden 52 53
Syarbaini, S. DKK, Sosiologi dan Politik, Jakarta, Galia Indonesia, 2002, hlm. 80 Kusnardi, M. dan Ibrahim, H. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Sinar Bakti, 1994, hlm. 329
87
I dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 15 tahun 2011 bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat konstitusional yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Asas Pemilihan Umum Berdasarkan Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 1. Langsung Yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 2. Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian). 3. Bebas Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun/dengan apapun. Dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. 4. Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya akan diberikan.
88
I 5. Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu seitap penyelenggara/pelaksana pemilu, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas, dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku. 6. Adil Berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol perserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. d. Sistem Pemilihan Umum Dalam ilmu politik dikenal bermacam-maca sistem pemilhan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu : “single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil ; biasanya disebut Sistem Distrik) dan multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih
beberapa
wakil
;
biasanya
dinamakan
prorportional
Representation atau sistem Perwakilan Berimbang)”.54 1. Single-member constituency (Sistem Distrik) Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang dilipunti) mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditentukanoleh jumlah distrik. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014,
untuk
anggota
Dwan
Perwakilan
Daerah
pesertanya
perseorangan menggunakan sistem distrik. 54
Rahman, H.A. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta, Garaha Ilmu, 2007, hlm. 151
89
I 2. Multi-member constituency (sistem Perwakilan Berimbang) Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan prorportional representation atau sistem perwakilan berimbang. Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan bebarapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan.55 Jumlah total anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan atas dasar pertimbangan dimana setiap daerah pemilih memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilih itu. Indonesia merupakansalah satu negara demokrasi dimana dengan adanya sistem pemilihan umum yang bebas untuk membentuk dan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis. Hal ini sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sebagai saranan pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasrkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu 2014 dilakukan dua kali putaran dimana pemilu putran pertama memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislatif) kemudian pemilu putaran ke dua yaitu memilih Perseiden dan Wakil Presiden (eksekutif). Dalam pemilu legislatif rakyat dapat memilih secara langsung wakilwakil mereka yang akan duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pada
pemilihan
umum
anggota
legislatif
menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dimana dalam memilih, rakyat dapat mengetahui siapa saja calon wakilwakilnya yang akan mewakilinya daerahnya. Selain dilaksanakan sistem proporsional juga adanya sistem distrik dalam pemilihan untuk anggota 55
Ibid. hal.152
90
I DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan adanya sistem pemilihan umum yang terbuka inilah diharapkan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas dan benar-benar mewakili aspirasi, keagaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat yang memilihnya. C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa angka-angka yang kemudian dijabarkan dengan kata-kata yang memperoleh gambaran yang jelas terhadap kecenderungan prilaku yang diamati. Fokus penelitian ini adalah adalah partisipasi politik pemilih yang berupa kehadiran pemilih di lokasi TPS untuk memberikan hak suaranya pada pelaksanaan pemilu 2014 di Kabupaten Lombok Tengah. Agar dapat memberikan hasil yang lengkap maka fokus penelitian tersebut dirinci dalam unit-unit kajian sebagai berikut. Pertama, yaitu tingkat kehadiran pemilih dalam pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten Lombok Tengah. Kedua yaitu faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kehadiran pemilih untuk memberikan hak suaranya pada pemilihan umum tahun 2014 di Kabupaten Lombok Tengah.
Sumber data dalam penelitian ini adalah berupa data pemilihan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lombok Tengah mulai dari Pemilu tahun 2009 sampai dengan data pemilu tahun 2014. Kemudian ditambah dengan data statistik yang diambil dari Lombok Tengah Dalam Angkat tahun 2014. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Seleksi Data, yaitu pemeriksaan data untuk mengetahui apakah data tersebut sudah lengkap sesuai dengan keperluan penelitian. 2. Klasifikasi Data, yaitu menempatkan data sesuai dengan bidang pokok bahasan agar mudah dalam menganalisisnya. 3. Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang
ditetapkan dalam penelitian sehingga mempermudah dalam analisa .
91
I Data yang telah diolah, dianalisis secara kuantitatif dengan teori yang digunakan, yaitu memberi arti dan menginterpretasikan setiap data yang telah diolah kemudian diuraikan secara komperhensif dan mendalam dalam bentuk uraian kalimat yang sistematis untuk kemudian ditarik kesimpulan. Selain itu dalam menjawab permasalah
pertama peneliti menggunakan analisa isi
(contain analysis) untuk mendeskripsikan hasil pemilihan dalam 10 tahun terakhir kemudian menyusun dan mengklasifikasikannya. Terdapat tiga tahap model dalam analisis bahan hukum, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Ketiga tahapan tersebut akan dilakukan secara simultan. D. Hasil Penelitian D.1. Tingkat Kehadiran Pemilih a. Pemilu tahun 2009 Pada pemilu legislatif Tahun 2009 jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 615.655 orang yang terdiri dari pemilih Laki-laki yaitu sebanyak 293.608 orang dan Pemilih perempuan yaitu sebanyak 322.047 orang. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih perkecamatan dijelaskan dalam grafik sebagai berikut. Grafik 4.2. Daftar pemilih Tetap Pileg 2009
80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
Jumlah Pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap DATA PEMILIH DAN PENGGUNAAN HAK PILIH Jumlah Pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (1a+1b) LK Jumlah Pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (1a+1b) PR Jumlah Pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (1a+1b) JML
92
I Sedangkan pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 642.966 orang yang terdiri dari pemilih Laki-laki sebanyak 304.286 pemilih dan pemilih berjenis kelamin perempuan sebanyak 338.680 pemilih. Akan tetapi pada pemilihan umum ini setelah diumumkan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap dapat melakukan pemilihan. Sehingga jumlah DPT yang ada masih dinamis. Adapun jumlah pemilih perkecamatan digambarkan dalam grafik sebagai berikut. Grafik 4.3 DPT per-Kecamatan Pilpres 2009
b. Pemilu tahun 2010 Pada tahun 2010, Lombok Tengah menyelenggarakan pemilukada. Apabila pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap sebanyak 655.027 orang yang terdiri dari pemilih Laki-laki sebanyak 310.277 pemilih dan pemilih berjenis kelamin perempuan sebanyak 344.750 pemilih. Maka pada pemilukada 2010 terjadi penambahan DPT sebanyak 12061 orang. Meskipun terjadi dua kali putaran pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Lombok Tengah akan
93
I tetapi data dalam DPTnya tetap. Adapun jumlah DPT yang terdaftar dalam masing-masing kecamatan digambarkan dalam gerafik sebagai berikut. Grafik 4.4 DPT Pilbup Per-Kecamatan 2010 80000
70000
DATA PEMILIH
60000
Jumlah Pemilih dalam Salinan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk TPS dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah LK Jumlah Pemilih dalam Salinan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk TPS dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah PR Jumlah Pemilih dalam Salinan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk TPS dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah JML
50000
Jumlah Pemilih dalam Salinan DPT yang menggunakan Hak Pilih Dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah LK
40000
Jumlah Pemilih dalam Salinan DPT yang menggunakan Hak Pilih Dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah PR Jumlah Pemilih dalam Salinan DPT yang menggunakan Hak Pilih Dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah JML
30000
Jumlah Pemilih dalam Salinan DPT yang tidak menggunakan hak pilih dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah LK 20000
Jumlah Pemilih dalam Salinan DPT yang tidak menggunakan hak pilih dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah PR Jumlah Pemilih dalam Salinan DPT yang tidak menggunakan hak pilih dalam Wilayah KPU Kab. Lombok Tengah JML
10000
Jumlah Pemilih dari TPS lain dalam Wilayah KPU Kabupaten Lombok Tengah LK Jumlah Pemilih dari TPS lain dalam Wilayah KPU Kabupaten Lombok Tengah PR
0
Jumlah Pemilih dari TPS lain dalam Wilayah KPU Kabupaten Lombok Tengah JML
c. Pemilu Tahun 2014 Pada pemilu Legislatif Tahun 2014 ada bebarapa jenis pemilih yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) (Penggunaan KTP atau indentitas lain atau paspor).
Daftar pemilih tetap yaitu pemilih yang
ditetapkan oleh KPU setelah melakukan pendataan dan diumumkan. Kemudian Daftar Pemilih Tambahan yaitu pemilih yang terdaftar setelah pengumuman DPT sehingga dia masuk tambahan. Kemudian Daftar Pemilih Khusus adalah mereka yang pindah memilih dengan menggunakan form A5. Dan terakhir adalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan adalah mereka yang menggunakan KTP atau identitas lainnya meskipun tidak terdaftar dalam tiga kategori daftar pemilih di atas.
94
I Adapun jumlah daftar pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih dengan semua kategori yaitu 728.968 orang, yang terdiri dari pemilih laki-laki sebanyak 354.870 pemilih dan perempuan sebanyak 374.098 pemilih. Adapun jumlah daftar pemilih perkecamatan digambarkan dalam grafik sebagai berikut. Grafik 4.5 Jumlah Pemilih dalam DPT
Dalam pemilihan umum Tahun 2014 ada bebarapa jenis pemilih yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) (Penggunaan KTP atau indentitas lain lain atau paspor). Daftar pemilih tetap yaitu pemilih yang ditetapkan oleh KPU setelah melakukan pendataan dan diumumkan. Kemudian Daftar Pemilih Tambahan yaitu pemilih yang terdaftar setelah pengumuman DPT sehingga dia masuk tambahan. Kemudian Daftar Pemilih Khusus adalah mereka yang pindah memilih dengan menggunakan form A5. Dan terakhir adalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan adalah mereka yang menggunakan KTP atau identitas lainnya meskipun tidak terdaftar dalam tiga kategori daftar pemilih di atas.
95
I Pemilihan umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kabupaten Lombok Tengah, pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap yaitu 723.952 orang. Jumlah daftar pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih Tambahan (DPtb) yaitu 144 orang. Pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) yaitu sebesar 827 orang. Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) /pengguna KTP atau identitas lain atau paspor 5.234 orang. Total dari semua pemilih yang terdaftar dalam semua kategori itu adalah 730.164 orang yang terdiri dari laki-laki 355.698 orang dan pemilih perempuan sebanyak 374.698 orang. Grafik 4.6 DPT Pilpres 2014
90 80 70 60 50
Data Pemilih
40
5. Jumlah Pemilih (1+2+3+4) LK
30
5. Jumlah Pemilih (1+2+3+4) PR
20
5. Jumlah Pemilih (1+2+3+4) JML
10 0
96
I Tabel. 4.7
NO. I. A.
Daftar Pemiilih Dalam Semua Kategori Per-Kecamatan Pilpres 2014
URAIAN Praya
Jonggat
Batukli ang
Pujut
LK
40.103
36.101
29.717
41.117
PR
41.868
38.345
30.761
44.098
JML 81.971
74.446
60.478
Data Pemilih Data Pemilih 1. Jumlah pemilih terdaftar dalam Daftar Pemlih Tetap (DPT)
2. Jumlah pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) 3. Pemilih terdaftar dalam Daftar pemilih Khusus (DPK) 4. Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)/Penggu na KTP atau identitas lain atau paspor 5. Jumlah Pemilih (1+2+3+4)
Praya Barat
Praya Timur
Janap ria
Pringgar ata
Kopang
Praya Tengah
Praya Barat Daya
Batuk liang Utara
29.29 0 30.74 9 60.03 9 11 11 22
26.14 2 28.17 1 54.31 3 17 14 31
29.18 8 30.05 9 59.24 7 0 0 0
25.224
31.937
24.284
20.777
353.126
25.847
33.144
25.165
22.723
51.071
65.081
49.449
43.500
0 0 0
3 4 7
1 1 2
2 1 3
19.24 6 19.90 3 39.14 9 1 2 3
Jumlah Akhir
370.833 723.959
LK PR JML
24 20 44
9 6 13
0 0 0
85.215 13 4 17
LK PR JML
83 52 135
83 145 228
5 11 16
9 7 16
17 25 42
28 60 88
5 17 22
10 33 43
25 74 99
44 58 102
10 15 25
8 3 11
327 500 827
LK PR JML
691 1.022 1.713
222 313 535
139 201 340
102 112 214
227 280 507
71 74 145
110 194 304
221 294 515
101 213 314
139 203 342
20 39 59
121 125 246
2.164 3.070 5.234
LK PR JML
40.901
36.415
29.861
41.241
29.545
26.258
29.303
25.455
32.066
24.468
20.809
19.376
355.698
42.962
38.809
30.973
44.221
31.065
28.319
30.270
26.174
33.435
25.427
22.778
20.033
374.466
83.863
75.224
60.834
85.462
60.610
54.313
59.573
51.629
65.501
49.489
43.587
39.409
730.164
97
81 63 144
I D.2. Jumlah Pemilih Yang Memberikan Hak Suara a. Pemilu tahun 2009 Dalam pemilihan umum legislatif Tahun 2009 bahwa dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap 615.655 orang dan yang menggunakan hak pilih sebanyak sebanyak 457.299 orang yang terdiri dari Pemilih Laki-laki yaitu sebanyak 212.588 orang dan pemilih perempuan sebayak 244.711orang. Sehingga jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya yaitu sebanyak 74,28 %. Tabel 4.8. Jumlah Pemilih dalam pileg 2014 yang memberikan hak suaranya
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 54.853
2.
Pujut
51.156
76,15
3.
Jonggat
45.171
72,35
4.
Kopang
41.571
71,38
5.
Batukliang
38.005
74,57
6.
Janapria
38.212
70,32
7.
Praya Timur
38.192
82,68
8.
Praya Barat
36.478
74,73
9.
Praya Tengah
32.261
76,17
10.
Pringgarata
29.736
68,17
11.
Batukliang Utara
23.660
70,91
12.
Praya Barat Daya
28.004
74,15
457.299
74,28
No.
Kecamatan
Jumlah
98
Persentase (%) 77,92
I Dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 bahwa dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap 642.966 orang dan yang menggunakan hak pilih sebanyak sebanyak 482.212 orang yang terdiri dari Pemilih Laki-laki yaitu sebanyak 221.686 orang dan pemilih perempuan sebayak 260.526 orang. Sehingga jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya yaitu sebanyak 75%. Tabel 4.9 Jumlah Pemilih yang Menggunakan Hak Pilih Dalam Pilpres 2009
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 57.046
2.
Pujut
51.783
72,82
3.
Jonggat
50.197
77,45
4.
Kopang
44.75 9
74,41
5.
Batukliang
40.861
76,22
6.
Janapria
41.723
75,58
7.
Praya Timur
39.186
82,34
8.
Praya Barat
37.169
71,78
9.
Praya Tengah
33.505
77,43
10.
Pringgarata
32.029
68,88
11.
Batukliang Utara
25.835
74,58
12.
Praya Barat Daya
28.119
71,19
Jumlah
482.212
75
No.
Kecamatan
Persentase (%) 76,21
b. Pemilu tahun 2010 Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2010 Putaran Ibahwa dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap 655.027 orang
99
I dan yang menggunakan hak pilih sebanyak sebanyak 481.259 orang yang terdiri dari Pemilih Laki-laki yaitu sebanyak 222.792 orang dan pemilih perempuan sebayak 258.467 orang. Sehingga jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya yaitu sebanyak 73,47 %. Tabel 4.10 Jumlah Pemilih Yang Menggunakan Hak Pilih Pilbup 2010
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 58.446
2.
Pujut
53.313
73,12
3.
Jonggat
50.592
75,76
4.
Kopang
44.205
72,83
5.
Batukliang
40.859
73,97
6.
Janapria
41.160
73,71
7.
Praya Timur
37.749
78,60
8.
Praya Barat
36.481
69,31
9.
Praya Tengah
33.180
74,24
10.
Pringgarata
31.934
68,25
11.
Batukliang Utara
26.540
75,27
12.
Praya Barat Daya
26.800
66,83
481.259
73,47
No.
Kecamatan
Jumlah
Persentase (%) 76,83
Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2010 Putaran II bahwa dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam pemilih tetap 655.027 orang dan yang menggunakan hak pilih sebanyak sebanyak 462.660 orang yang terdiri dari Pemilih Laki-laki yaitu sebanyak 214.113 orang dan pemilih perempuan
100
I sebayak 248.547 orang. Sehingga jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya yaitu sebanyak 70,63 %. Tabel 4.11 Jumlah Pemilih Yang Menggunakan Hak Pilih dalam Pilkada putaran II
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 56.669
2.
Pujut
51.227
70,26
3.
Jonggat
46.921
70,26
4.
Kopang
43.845
72,24
5.
Batukliang
40.142
72,67
6.
Janapria
39.919
71,49
7.
Praya Timur
36.570
76,15
8.
Praya Barat
33.789
64,19
9.
Praya Tengah
32.144
71,92
10.
Pringgarata
30.479
65,15
11.
Batukliang Utara
26.131
74,11
12.
Praya Barat Daya
24.824
61,91
Jumlah
462.660
70,63
No.
Kecamatan
Persentase (%) 74,49
c. Pemilu Tahun 2014 Dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014, di Kabupaten Lombok Tengah pemilih yang datang ke lokasi TPS masih dapat dikatakan banyak karena hampir 50% lebih, namun masih jauh dari angka 100%. Hal ini bisa dilihat jumlah pemilih yang terdaftar dalam semua kategori yaitu sebanyak 728.968 orang dan yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemungutan suara sebanyak 548.816 yang terdiri dari pemilih laki-laki 253.816 orang dan pemilih perempuan 295.000 orang atau sekitar 75,29 %.
101
I Table 4.12 Jumlah Pemilih Yang Menggunakan Hak Pilih dalam Pileg 2014
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 64.167
2.
Pujut
70.463
83,80
3.
Jonggat
53.732
71,46
4.
Kopang
46.346
71,04
5.
Batukliang
44.424
73,42
6.
Janapria
43.379
73,18
7.
Praya Timur
45.161
82,92
8.
Praya Barat
45.571
74,90
9.
Praya Tengah
37.792
74,92
10.
Pringgarata
37.229
71,58
11.
Batukliang Utara
28.691
74,24
12.
Praya Barat Daya
31.861
71,40
548.816
75.29
No.
Kecamatan
Jumlah
Persentase (%) 76,57
Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, di Kabupaten Lombok Tengah pemilih yang datang ke lokasi TPS masih dapat dikatakan banyak karena hampir 50% lebih, masih jauh dari angka 100%. Hal ini bisa dilihat jumlah pemilih yang terdaftar yaitu sebanyak 730.164 orang dan yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemungutan suara sebanyak 496.106 orang atau sekitar 72,52 %.
102
I Tabel 4.13 Jumlah Pemilih yang memberikan Hak Suara dalam Pilpres 2014
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 59.579
2.
Pujut
55.739
65,22
3.
Jonggat
51.072
67,89
4.
Kopang
45.049
68,78
5.
Batukliang
42.019
69,07
6.
Janapria
40.505
67,99
7.
Praya Timur
39.789
72,9
8.
Praya Barat
38.595
63,68
9.
Praya Tengah
34.696
69,54
10.
Pringgarata
34.531
66,88
11.
Batukliang Utara
27.404
69,54
12.
Praya Barat Daya
27.128
62,24
496.106
72,52
No.
Kecamatan
Jumlah
Persentase (%) 71,04
Grafik 4.14. Jumlah Pemilih yang Memberikan Hak Suara 70 60
URAIAN
50 40
5. Jumlah seluruh pengguna Hak Pilih (1+2+3+4) LK
30 20
5. Jumlah seluruh pengguna Hak Pilih (1+2+3+4) PR
10 0
5. Jumlah seluruh pengguna Hak Pilih (1+2+3+4) JML
103
I D.3. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih a. Pemilu tahun 2009 Dalam
pemilihan
Umum
Legislatif
2009
terdapat
beberapa
perbandingan antara jumlah pemilih dengan pemilih yang memberikan hak suaranya seperti yang tergambar dalam tabel sebagai berikut. Tabel 4.15. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih dalam Pileg 2009
1.
Praya
Jumlah Daftar Pemilih 70.396
2.
Pujut
67.179
2.
Pujut
51.156
76,15
3.
Jonggat
62.431
3.
Jonggat
45.171
72,35
4.
Kopang
58.239
4.
Kopang
41.571
71,38
5.
Janapria
54.337
5.
Janapria
38.212
70,32
6.
Batukliang
50.964
6.
Praya Timur
38.192
82,68
7.
Praya Barat
48.810
7.
Batukliang
38.005
74,57
8.
Praya Timur
46.193
8.
Praya Barat
36.478
74,73
9.
Pringgarata
43.621
9.
Praya Tengah
32.261
76,17
10.
Praya
42.352
10.
Pringgarata
29.736
68,17
Praya Barat Daya Batukliang Utara
37.767
11.
28.004
74,15
33.366
12.
Praya Barat Daya Batukliang Utara
23.660
70,91
Total
615.655
457.299
74,28
No.
Kecamatan
No.
Kecamatan
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 54.853
Persent ase (%) 77,92
Tengah 11. 12.
104
I Dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 terdapat beberapa perbandingan antara jumlah Daftar Pemilih dengan pemilih yang menggunakan hak suaranya seperti yang tergambar dalam tabel sebagai berikut. Tabel 4.16. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih dalam Pilpres 2009
1.
Praya
Jumlah Daftar Pemilih 74.855
2.
Pujut
71.045
2.
Pujut
51.783
72,89
3.
Jonggat
64.814
3.
Jonggat
50.197
77,45
4.
Kopang
60.155
4.
Kopang
44.759
74,41
5.
Janapria
55.204
5.
Janapria
41.723
75,58
6.
Batukliang
53.609
6.
Batukliang
40.861
82,34
7.
Praya Barat
51.781
7.
Praya Timur
39.186
76,22
8.
Praya Timur
47.591
8.
Praya Barat
37.169
71,78
9.
Pringgarata
46.502
9.
Praya Tengah
33.505
77,43
10. Praya Tengah 11. Praya Barat Daya 12. Batukliang Utara
43.273
10.
Pringgarata
32.029
68,88
39.496
11.
28.119
71,19
34.641
12.
Praya Barat Daya Batukliang Utara
25.835
74,58
Total
642.966
482.212
75
No.
Kec.
No.
Kec.
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 57.046
105
Persent (%) 76,21
I b. Pemilu tahun 2010 Dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2010 Putaran I terdapat beberapa perbandingan antara jumlah Daftar Pemilih dengan pemilih yang menggunakan hak suaranya seperti yang tergambar dalam tabel sebagai berikut. Tabel 4.17. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih dalam Pilkada 2010 Putaran I
1.
Praya
Jumlah Daftar Pemilih 76.072
2.
Pujut
72.908
2.
Pujut
53.313
73,12
3.
Jonggat
66.781
3.
Jonggat
50.592
75,76
4.
Kopang
60.692
4.
Kopang
44.201
72,83
5.
Janapria
55.840
5.
Janapria
41.160
73,71
6.
Batukliang
55.239
6.
Batukliang
40.859
73,97
7.
Praya Barat
52.638
7.
Praya Timur
37.749
78,60
8.
Praya Timur
48.022
8.
Praya Barat
36.481
69,31
9.
Pringgarata
46.784
9.
33.180
74,24
10.
Praya Tengah
44.691
10.
Praya Tengah Pringgarata
31.934
68,26
11.
Praya Barat Daya Batukliang Utara Total
40.103
11.
26.800
66,83
35.257
12.
Praya Barat Daya Batukliang Utara
26.540
75,27
481.259
73,47
No.
12.
Kecamatan
No.
Kecamatan
1.
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 58.446
655.027
106
Persen tase (%) 76,83
I Dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2010 Putaran II terdapat beberapa perbandingan antara jumlah Daftar Pemilih dengan pemilih yang menggunakan hak suaranya seperti yang tergambar dalam tabel sebagai berikut. Tabel 4.18. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih dalam Pilkada 2010 Putaran ke-II Jumlah Daftar Pemilih
No.
Kecamatan
Jumlah Kehadiran Pemilih
1. Praya
76.072
1.
Praya
56.669
Pers enta se (%) 74,49
2.
Pujut
72.908
2.
Pujut
51.227
70,26
3.
Jonggat
66.781
3.
Jonggat
46.921
70,26
4.
Kopang
60.692
4.
Kopang
43.845
72,24
5.
Janapria
55.840
5.
Janapria
39.919
71,49
6.
Batukliang
55.239
6.
Batukliang
40.142
72,67
7.
Praya Barat
52.638
7.
Praya Timur
36.570
76,16
8.
Praya Timur
48.022
8.
Praya Barat
33.789
64,19
9.
Pringgarata
46.784
9.
32.144
71,92
10. Praya Tengah
44.691
10.
Praya Tengah Pringgarata
30.479
65,15
11. Praya Barat Daya 12. Batukliang Utara Total
40.103
11.
24.824
61,90
35.257
12.
Praya Barat Daya Batukliang Utara
26.131
74,11
462.660
70,63
No.
Kecamatan
655.027
107
I c. Pemilu tahun 2014 Dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 terdapat beberapa perbandingan antara jumlah Daftar Pemilih dengan pemilih yang menggunakan hak suaranya seperti yang tergambar dalam tabel sebagai berikut. Tabel 4.19. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih dalam Pileg 2014
1.
Praya
83.804
1.
Praya
Jumlah Kehadir an Pemilih 64.167
2.
Pujut
84.088
2.
Pujut
70.463
83,80
3.
Jonggat
75.189
3.
Jonggat
53.732
71,46
4.
Kopang
65.240
4.
Kopang
46.346
71,04
5.
Janapria
59.082
5.
Janapria
43.379
73,42
6.
Batukliang
60.705
6.
Batukliang
44.424
73,18
7.
Praya Barat
60.839
7.
Praya Timur
45.161
82,92
8.
Praya Timur
54.462
8.
Praya Barat
45.571
74,90
9.
Pringgarata
52.013
9.
37.792
74,92
10.
Praya Tengah
50.445
10.
Praya Tengah Pringgarata
37.229
71,58
11.
Praya Barat Daya Batukliang Utara Total
42.917
11.
31.861
74,24
40.184
12.
Praya Barat Daya Batukliang Utara
28.691
71,40
548.816
75.29
No
12.
Kecamatan
Jumlah Daftar Pemilih
No.
Kecamatan
728.968
Pers enta se (%) 76,57
Dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 terdapat beberapa perbandingan antara jumlah pemilih dengan pemilih yang memberikan hak suaranya. Trend yang terjadi tidak selamanya jumlah pemilih
108
I yang banyak dan yang menggunakan hak pilihnya banyak. Seperti yang terjadi di beberapa kecamatan seperti di Kecamatan Pujut memilik daftar pemilih terbanyak dalam semua kategori yaitu sebanyak 85.462 orang dan pemilih yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemilihan hanya sebanyak 55.739 orang atau kalau di nomor urutkan bertempat di nomor urut dua setelah Kecamatan Praya. Kecamatan Praya yang menempati pringkat ke-dua dalam daftar jumlah pemilih yaitu sebanyak 83.863 orang namun jumlah pemilih yang datang ke lokasi pemilih menempati pringkat pertama, yaitu sebanyak 59.579 orang. Hal demikian juga terjadi pada kecamatan Praya Barat dan Janapria. Di Kecamatan Praya Barat menempati peringkat 6 dalam daftar jumlah pemilih tetap dengan jumlah pemilih dalam berbagai kategori yaitu sebanyak 60.610 orang. Namun jumlah pemilih yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemilihan hanya sebanyak 38.595 orang atau menempati peringkat 8. Kalah dengan Kecamatan Janapria yang menempati peringkat 7 dalam jumlah pemilih tetap sebanyak 59.573 orang, namun jumlah pemilih yang datang ke TPS menempati peringkat enam dari dua belas kecamatan yaitu sebanyak 40.505 orang. Trend yang sama juga terjadi di Kecamatan Pringgarata dan Praya Tengah. Kecamatan Pringgarata memiliki jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT sebanyak 51.629 orang, atau menempati peringkat 9 dari 12 kecamatan. Namun pemilih yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemilihan hanya sebanyak 34.531 orang atau menempati peringkat sepuluh kalah dengan kecamatan Praya Tengah. Kecamatan Praya Tengah jumlah daftar pemilih yang terdaftar dalam semua kategori yaitu sebanyak 49.895 orang atau menempati peringkat 10. Jumlah pemilih yang datang ke lokasi TPS sebanyak 34.696 orang atau peringkat 9 dari 12 kecamatan.
109
I Kecamatan Praya Barat Daya dan Batukliang Utara mengalami hal sama, dimana Kecamatan Praya Barat Daya mempunyai jumlah pemilih yang terdaftar dalam semua kategori yaitu sebanyak 43.587 orang atau peringkat 11 dari 12 kecamatan. Namun jumlah pemilih yang datang ke lokasi TPS yaitu sebanyak 27.128 orang atau menempati peringkat 12 dari 12 kecamatan atau yang terakhir. Sebaliknya, kecamatan Batukliang Utara yang menempati peringkat 12 dari 12 kecamatan dalam daftar jumlah pemilih yang terdaftar dalam semua kategori yaitu sebanyak 39.409 dan pemilih yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemilihan yaitu sebanyak 27.404 orang atau menempati peringkat 11 dari 12 Kecamatan. Kecamatan yang memiliki tingkat partisipasi pemilih yang stabil di lihat dari rasio jumlah daftar pemilih dan jumlah kehadiran pemilih di TPS yaitu hanya dua kecamatan yaitu Kecamatan Jonggat dan Kecamatan Batukliang. Kecamatan Jonggat yang memiliki daftar pemilih 75.274 orang dan jumlah pemilih yang hadir ke TPS untuk memberikan hak suaranya sebanyak 51.072 orang. Demikian juga Kecamatan Batukliang yang memiliki daftar pemilih 60.834 dan pemilih yang hadir ke lokasi TPS sebanyak 42.019 orang. Dari trend di atas dapat disimpulkan bahwa kalau dipetakan secara geografis bahwa Kabupaten Lombok Tengah yang terbagi dalam 12 Kecamatan yaitu kecamatan yang terbagi dalam wilayah selatan, tengah, dan utara bahwa terjadi trend dimana kecamatan yang tergolong dari tengah ke Utara, seperti Praya, Janapria, Mantang, Kopang, dan Batukliang Utara memiliki tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi dengan dibuktikan dengan tingkat kehadiran pemilih ke lokasi TPS untuk memberikan hak suaranya. Sebaliknya tingkat partisipasi memliki trend yang lebih rendah di kecamatan yang punya geografis di sebelah selatan. Seperti kecamatan Pujut, Praya Timur, Prayat Barat, dan Praya Barat Daya meskipun memiliki daftar pemilih yang terdaftar relatif lebih banyak
110
I dibandingkan dengan kecamatan sebelah utara akan tetapi yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemilihan relatif lebih rendah dari rasio jumlah pemilih. Tabel 4.18. Perbandingan Jumlah Pemilih dan Pengguna Hak Pilih dalam Pilpres 2014
1.
Pujut
Jumlah Daftar Pemilih 85.462
2.
Praya
83.863
2.
Pujut
55.739
65,22
3.
Jonggat
75.224
3.
Jonggat
51.072
67,89
4.
Kopang
65.501
4.
Kopang
45.049
68,78
5.
Batukliang
60.834
5.
Batukliang
42.019
69,07
6.
Praya Barat
60.610
6.
Janapria
40.505
67,99
7.
Janapria
59.573
7.
Praya Timur
39.789
72,9
8.
Praya Timur
54.577
8.
Praya Barat
38.595
63,68
9.
Pringgarata
51.692
9.
Praya Tengah
34.696
69,54
10. Praya Tengah
49.895
10.
Pringgarata
34.531
66,88
11. Praya
43.587
11.
Batukliang Utara
27.404
69,54
39.409
12.
Praya Barat Daya
27.128
62,24
496.106
67,95
No.
Kecamatan
Barat
Praya
Jumlah Kehadiran Pemilih 59.579
Persen tase (%) 71,04
No.
Kecamatan
1.
Daya 12. Batukliang Utara Total
730.164
111
I
Tabel 4.19: Perbandingan Partisipasi Pemilih Dalam Jenis Pemilu Jenis Pemilu
Praya
Pujut
1. Pileg 2009 (%)
77,92
76,15 72,35
71,38
Batukli Prayat Janap Praya Pringg Praya Praba Batura Total Ang Barat ria Timur Arata Tengah rda 74,57 74,73 70,32 74,73 68,17 76,17 74,15 70,91 74,28
2. Pilpres 2009
76,21
72,89 77,45
74,41
82,34
71,78
75,58
76,22
68,88
77,43
71,19
74,58
75
76,83
73,12 75,76
72,83
73,93
69,31
73,97
78,60
68,26
74,24
66,83
75,27
73,47
74,49
70,26 70,26
72,24
72,67
64,19
71,49
76,16
65,15
71,92
61,90
74,11
70,63
5. Pileg 2014 (%)
76,57
83,80 71,46
71,46
73,18
74,90
73,42
82,92
71,58
74,92
74,24
71,40
75,29
6. Pilpres 2014
71,04
65,22 67,89
68,78
69,07
63,68
67,99
72,9
66,88
69,54
62,24
69,54
67,95
75,51
73,57 72,53
71,85
74,29
69,77
72,13
76,92
68,15
74,04
68,83
72,24
72,77
No.
Jonggat
Kopang
(%) 3. Pilbup 2010 I (%) 4. Pilbup 2010 II (%)
(%) Rata-rata (%)
112
D.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kehadiran Pemilih Umum 2014 di Kabupaten Lombok Tengah
Dalam Pemilihan
Tidak seperti pada pemilihan umum pada masa orde baru dimana partisipasi pemilih tetap stabil di atas angka 90%, terlepas apakah ada intimidasi atau tidak oleh pemerintah pada waktu itu. Pemilihan umum yang dilaksanakan di kabupaten Lombok Tengah semenjak semenjak tahun 2009 memiliki fluktuasi yang disebabkan oleh berbagai macam factor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih untuk hadir di TPS untuk menggunakan hak pilihnya yaitu antara lain: 1. Jenis Pemilihan Umum Jenis pemilihan umum sangat berdampak terhadap tingkat partisipasi pemilih yang datang ke lokasi TPS untuk memberikan hak pilihnya. Hal ini terlihat dari perbandingan jumlah pemilih yang menggunakan hak suara pada pemilihan umum legilatif cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden atau pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seperti yang tergambar dalam data di bawah ini. Dalam pemilihan umum Legislatif Tahun 2014 tingkat kehadiran pemilih di TPS cukup jauh dibandingkan dengan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2014, dimana tingkat kehadiran pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014
yaitu sebanyak 75,29% sedangka pemilu presiden dan wakil
Presiden tahun 2014 hanya 67,95%. Tingkat kehadiran dalam pemilu presiden dan wakil presden tahun 2014 menurun cukup signifikan dibandingkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 yaitu sebanyak 75%. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi KPU Kabupaten Lombok Tengah. Ini merupakan angka kehadiran terendah dalam pemilihan 10 tahun terakhir. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2010 pada putaran pertama di Kabupaten Lombok Tengah memiliki tingkat kehadiran sebanyak 73,47%, namun pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Putaran ke II tingkat kehadiran pemilih di TPS semakin menurun hanya mencapai 70,63%. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ini tetap stabil di bawah tingkat kehadiran pemilih dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009 113
maupun tahun 2014. Pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 KPU kabupaten Lombok Tengah cukup berhasil meningkatkan tingkat kehadiran pemilih dari angka 74,28% pada pileg 2009 menjadi 75,29% pada pileg 2014. Dengan data di atas kita bisa melihat bahwa trend partisipasi pemilih dengan kehadiran di lokasi TPS untuk menggunakan hak pilihnya terlihat bahwa pada pemilihan umum legislatif tingkat kehadiran pemilih di lokasi TPS untuk menggunakan hak pilihnya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan umum yang lain seperti pilpres dan pemilihan kepala daerah. Hal ini disebabkan karena pada pemilihan umum legislatif akan memilih calon-calon perwakilan atau calon pemimpin yang paling dekat. Pemilihan legilatif terutama pemilan anggota DPRD Kabupaten hampir setiap kampung ada calonnya. Hal inilah yang menyebabkan mobilisasi pemilih antusias untuk datang ke lokasi pemilih. Berbeda dengan pemilihan kepada daerah atau pemilihan presiden dan wakil presiden di mana tokoh yang akan dipilih relatif jauh dari masyarakat grass root. Sehingga menjadi pemicu rendahnya tingkat kehadiran pemilih di lokasi TPS untuk memberikan hak pilihnya. 2. Letak Geografis (kota – desa) Tingkat partisipasi pemilih yang paling rendah dilihat dari tingkat kehadiran pemilih di lokasi TPS untuk menggunakan hak pilihnya yaitu terjadi di kecamatan Pringgarata dan Kecamatan Praya Barat Daya. Di Kecamatan Pringgarata hampir semua dari tingkat kehadiran pemilih di bawah angka 70%. Dalam pemilihan legislatif tahun 2009 tingkat kehadiran pemilh 68,17%, pada pilpresa 2009 sebanyak 68,88%, pada pemilihan Bupati tahun 2010 putaran I yaitu sebanyak 68,26%, pada putaran ke II menurun ke angka 65,15%. Kemudian pada pileg tahun 2014 naik ke angka 71,58% dan pada pilpres 2014 hanya 66,88%. Sehingga kalau dirata-ratakan tingkat kehadiran pemilih untuk memberikan hak pilihnya di kecamatan Pringgarata sebanyak 68,15%. Hal ini tentu KPU Kabupaten Lombok Tengah harus memperhatikan kecamatan ini dengan serius karena kecamatan Pringgarata kalau dilihat dari letak geografis tidak jauh dengan
114
Ibu Kota Kabupaten yaitu Kecamatan Praya sehingga nantinya akan meningkatkan partisipasinya di Pemilu selanjutnya. Sedangkan di Kecamatan Praya Barat Daya tingkat kehadiran pemilih pada pileg 2009 mencapai 74,15%, pada pilpres 2009 mencapai 71,19%, pada pilbub putaran I angka partisipasi pemilih yaitu 66,83%, pada putaran kedua 61,90%, pada pileg 2014 mencapai 74,24%, dan pada pilpres 2014 terjadi penurunan yaitu hanya mencapai 62,24%. Sehingga kalau dirata-ratakan tingkat kehadiran pemilih yaitu sebanyak 68,83%. Sedangkan tingkat partisipasi pemilih tertinggi dilihat dari tingkat kehadiran pemilih yaitu terjadi di kecamatan Praya dan Praya Timur. Kecamatan ini merupakan merupakan Ibu Kota Kabuapten. Tingkat kehadrian pemilih pada pileg 2009 mencapai 77,92%, pada pilpres 2009 mencapai 76,21, pada pilbub putaran I angka partisipasi pemilih yaitu 76,83%, pada putaran kedua 74,49%, pada pileg 2014 mencapai 76,57%, dan pada pilpres 2014 terjadi penurunan yaitu hanya mencapai 71,04%. Sehingga kalau dirata-ratakan tingkat kehadiran pemilih yaitu sebanyak 75,51%. Kecamatan yang tergolong tinggi juga terdapat di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Praya Tengah, Jonggat. Dua kecamatan ini merupakan kecamatan yang dekat dengan kecamatan Praya yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Lombok tengah. Hal ini bisa dilihat dari tingkat kehadiran pemilih di Kecamatan Praya Tengah pada pileg 2009 mencapai 76,17%, pada pilpres 2009 mencapai 77,43%, pada pilbub putaran I angka partisipasi pemilih yaitu 74,24%, pada putaran kedua 71,29%, pada pileg 2014 mencapai 74,92%, dan pada pilpres 2014 terjadi penurunan yaitu hanya mencapai 69,54%. Sehingga kalau dirata-ratakan tingkat kehadiran pemilih yaitu sebanyak 74,04%. Sedangkan di Kecamatan Jonggat tingkat kehadiran pemilih pada pileg 2009 mencapai 72,35%, pada pilpres 2009 mencapai 77,45%, pada pilbub putaran I angka partisipasi pemilih yaitu 75,76%, pada putaran kedua 70,26%, pada pileg 2014 mencapai 71,46%, dan pada pilpres 2014 terjadi penurunan yaitu hanya mencapai 67,89%. Sehingga kalau dirata-ratakan tingkat kehadiran pemilih yaitu sebanyak 72,53%.
115
Di bagian selatan kecamatan Pujut tingkat kehadiran pemilih untuk memberikan hak suaranya pada pileg 2009 mencapai 76,15%, pada pilpres 2009 mencapai 72,89%, pada pilbub putaran I angka partisipasi pemilih yaitu 73,12%, pada putaran kedua 70,26%, pada pileg 2014 mencapai 83,80%, dan pada pilpres 2014 terjadi penurunan yaitu hanya mencapai 65,22%. Sehingga kalau dirata-ratakan tingkat kehadiran pemilih yaitu sebanyak 73,57%. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa kecamatan yang punya tingkat partisipasi yang lebih tinggi adalah kecamatan yang dekat dengan kecamatan yang menjadi ibu kota kabupaten seperti Praya, Praya Timur, Praya Tengah dan Jonggat. 3. Perilaku Elite Apatisme politik warga negara tentu bukan tanpa sebab. Beberapa faktor menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu, di antaranya adalah perilaku elite politik hasil pemilu, baik pemilukada maupun pemilu legislatif yang dirasa mengecewakan publik dengan serentetan kasus korupsi serta kiprahnya yang kurang memuaskan publik. Selain itu, rakyat merasa tidak terkena dampak dari hasil proses politik tersebut. Pada dasarnya, mendatangi TPS dan kemudian menyalurkan hak pilihnya merupakan sebuah hak, bukan kewajiban. Oleh karena itu, ketidakhadiran pemilih juga merupakan hak individu yang juga harus dihormati. Namun alangkah lebih baiknya ketika sebagai warga negara yang baik, ikut andil dan menyalurkan hak politiknya sesuai dengan mekanisme yang ada. Terlebih ini merupakan hajat negara. Dibutuhkan kesadaran dari warga negara terhadap sikap politiknya dalam menentukan arah bangsa. Banyaknya pemilih yang menyalurkan hak pilihnya dalam pemilu akan menentukan kualitas dari hasil yang diharapkan. Di samping itu diperlukan keteladanan dari elite politik, terutama bagi mereka yang akan dipilih. Sosialisasi yang
116
masif serta pendidikan politik harus terus dilakukan, baik oleh penyelenggara pemilu, pemerintah, dan peserta pemilu.56 Hasil survei LSI itu menyimpulkan, bahwa mayoritas publik (51,5%) sudah tidak percaya dengan perilaku moral elit politik. Menurut temuan LSI, ada tiga faktor yang turut memupuk tumbuhnya ketidakpercayaan publik tersebut, yakni sebagai berikut: 57 1. Minimnya elit politik yang bisa menjadi teladan bagi masyarakat; Sebagai seorang tokoh sekaligus pemimpin, para elit politik seharusnya bisa memberi teladan. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa kehidupan para elit politik justru makin berjarak dengan rakyat banyak. Sementara rakyat didera kemiskinan dan kesulitan hidup, para elit politik justru sibuk mempertontonkan kemewahan. Biaya hidup mewah itu dibiayai dengan uang hasil hasil korupsi uang rakyat 2. Kebiasaan hipokrit elit politik, yakni berbeda antara ucapan dan perbuatan; Pentas politik kita semakin disesaki oleh politisi-politisi hipokrit. Ketika musim kampanye tiba, mereka akan menebar begitu banyak janji. Namun, begitu mereka sudah menjabat, tak satupun janji itu yang dilaksanakan. Masalahnya, perilaku itu menjalari hampir semua elit politik kita. Bahkan Presiden SBY juga sering melakukan hal serupa 3. Semakin berjaraknya perilaku elit politik dengan ajaran agamanya. Banyak politisi, juga partai politik, menggunakan klaim agama untuk menjustifikasi langkah-langkah politiknya. Malahan tidak sedikit partai politik yang menjadikan agama sebagai basis ideologi untuk menerangi jalan politiknya. Namun, kejadian baru-baru ini, khususnya kasus korupsi yang menyeret petinggi partai Islam, telah mematahkan klaim-klaim agama tersebut. Rakyat mulai menyadari bahwa partai agama pun tak kebal dari virus korupsi.
56
Danang Munandar, Analisis Rendahnya Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014, http://gemanurani.com/2013/07/analisis-rendahnya-partisipasi-pemilih-pada-pemilu-2014/
57
: http://www.berdikarionline.com/editorial/20130708/ketika-rakyat-tak-lagi-percaya-perilaku-elitpolitik.html#ixzz3hnAWlQGc
117
Hasil riset LSI sendiri menegaskan beberapa hal. Pertama, selubung moral yang selama ini sering dikenakan para politisi untuk menutupi kebusukannya sudah tidak efektif lagi. Politik moralitas mulai kehilangan daya pikatnya. Lihat saja, seorang tersangka korupsi memegang tasbih di ruang pengadilan Tipikor. Bahkan yang paling tidak enak didengar: anggaran pengadaan kitab suci pun dikorupsi. Kedua, faktor integritas–bersih, jujur, tegas, konsisten, dll–dari seorang politisi sangat berpengaruh terhadap sikap atau pilihan politik rakyat. Di sini rakyat mulai memeriksa rekam jejak dari setiap elit politik. Rakyat tidak mau lagi membeli kucing di dalam karung. Ketiga, rakyat tidak lagi melihat perbedaan signifikan antara partai berbalut ideologi agama dengan sekuler dalam praksis politik. Sebab, pada kenyataannya, partai-partai agama pun banyak terjerembab dalam kasus korupsi, suap, dan lain-lain. Praktek politik partaipartaai berlabel agama di parlemen juga tidak pernah memihak rakyat. Akhirnya, rakyat makin sadar, bahwa label agama hanya dipakai untuk meraup suara pemilih. Keempat, survei LSI mengindikasikan makin kuatnya apatisme massa rakyat terhadap politisi dan politik. Sebetulnya, gejala ini bukan sesuatu yang baru. Sejak pemilu 1999 hingga sekarang, partisipasi politik rakyat terus jatuh: 1999 (92 persen), 2004 (84 persen) dan 2009 (71 persen). Artinya, pemilu 2014 akan dibayang-bayangi oleh apatisme politik yang terus meningkat. Dengan demikian, survei LSI menciptakan tantangan tersendiri. Di satu sisi, ruang politik Indonesia makin didominasi politisi korup dan anti-rakyat. Namun, di sisi lain pula, rakyat sebagai kekuatan perubahan juga terperangkap dalam apatisme politik.
118
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta. Budiharjo, Mariam, 1998, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hafiz Anshary, Abdul, 2001, KPU Evaluasi Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu 2009, http://www.kpu.go.id Kamis, 04/03/2015 20.45 WITA Hermawan, Eman. 2001, Politik Membela Yang Benar, Yogyakarta: Yayasan KLIK Hutington, Samuel P. dan Juan M. Nelson. 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Kurnardi Moh. Dan Harmaily Ibrahim. 1994, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti. Mas’oed Mochtar dan Colin Mac Andrew, 2008. Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Rachman, Maman, 1999, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, Semarang: IKIP Semarang Pers. Raga Maran, Rafael, 2001, Pengntar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta. Rahman H, A. 2007. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu. Sastroatmodjo, Sudijono. 1995, Partisipasi Politik, Semarang: IKIP Semarang Press Suryadi, Budi, 2007. Sosiologi Politik Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep. Yogyakarta: IRCiSoD Wahyu Rahma Dani, Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pelaksanaan Pemilu Tahun 2009 Di Desa Puguh Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Skripsi Universitas Negeri Semarang 2010 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD
119
BAB V. Political Literacy : Analisis Berbasis Siswa Sebagai Pemilih Pemula dan Gender di Lombok Barat Suhaimi Syamsuri * Umar Achmad Seth * Suhardi Muhammad Amrullah * Marlan
A. Pengantar
Angka pertumbuhan pemilih pemula di Kabupaten Lombok Barat cukup tinggi. Pada pemilu legislatif 2009 dari 404.792 terdapat 61.467 (15,18%) adalah pemilih pemula. Sedangkan pada pemilu presiden 2009 dari 416.367 terdapat 55.674 (13,37%) pemilih pemula. Pada pemilu legislatif 2014 dari 470.823 terdapat 66.031 (14,02%) pemilih pemula. Dan pada pemilu presiden dari 475.028 terdapat 58.661 (12,35%) adalah pemilih pemula. Fenomena lain yang juga menarik di Lombok Barat adalah angka golput (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya) masih tinggi. Pada pemilu tahun 2009, terlihat angka golput pada pemilu legislatif mencapai posisi 23,94% dan pada pemilu presiden 21,76%. Sedangkan pada pemilu tahun 2014, angka golput pemilu legislatif 20,27% dan pemilu presiden 28,08%. Para ilmuan politik mengelompokkan beberapa tipologi golput, yakni; golput ideologis, golput teknis, dan golput skeptis. Golput ideologis merupakan perilaku golput pada masyarakat karena memiliki alas an-alasan idealis, seperti; tidak percaya dengan kapasitas partai politik dan kandidat, kinerja pemerintah yang dipandang buruk, tidak percaya terhadap lembaga legislatif, dan berbagai alas an kritis lainnya. Golput ideologis banyak terjadi pada pemilih pemula yang sedang mengikuti pendidikan. Golput menjadi ekspresi sikap kritis mereka. Golput teknis terjadi karena halangan teknis pemilu. Pada tipologi ini orang menjadi golput karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih, tidak mendapat undangan memilih, tidak memiliki identitas kependudukan, jarak tempat tinggal yang jauh dengan tempat pemungutan suara, surat suara tidak mencukupi, dan berbagai faktor teknis pemilu lainnya. Golput jenis ini banyak terjadi di masyarakat marginal, masyarakat pendatang diperkotaan. Sedangkan golput skeptis terjadi karena orang tidak peduli dengan pemilu, menempatkan 120
pemilu bukan sebagai urusan mereka, ikut-ikutan tetangga atau teman yang tidak memilih. Golput jenis ini biasanya terjadi pada kelompok pengusaha, atau pekerja yang sibuk. Penelitian ini menduga golput ideologis masih banyak terjadi pada pelajar SLTA akibat dari pengetahuan yang belum tuntas tentang demokrasi, pemilu dan kepartaian. Berpijak dari kecurigaan tersebut, penelitian ini bertujuan mengungkap tiga perosalan, yakni; (1) bagaimana kualitas partisipasi politik siswa SLTA?; (2) bagaimana tingkat melek politik siswa dalam menggunakan hak pilih mereka; (3) faktor apa yang mempengaruhi terbentuknya partisipasi dan melek politik siswa dalam menggunakan hak pilih mereka?. B. Tinjauan Teoritis B.1. Konseptualisasi Perihal Melek Politik Secara harafiah, melek diartikan sama dengan melihat. Dengan melihat, kita akan tahu apa yang dilihat/terlihat. Jika tahu dengan yang dilihat, maka kita akan tahu bagaimana mesti bertindak atau bersikap. Lawan katanya adalah buta, yang berarti tidak dapat melihat. Jelas sangat beda cara bersikap/bertindak antara orang yang buta dan orang yang mampu melihat normal. Orang buta akan selalu meraba-raba. Tidak jarang tertabrak atau bahkan sangat sulit untuk menempatkan sikap dan tindakan. Respon orang buta secara lahiriah juga lamban. Semisal diajak adu lari, tentunya orang buta tidak akan pernah mau untuk berlari karena akan membahayakan dirinya sendiri. Politik adalah sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan yang ditujukan untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya tidak semua orang atau semua golongan bisa begitu saja mengatur negara walaupun setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Kekuasaan adalah suatu alat yang diperlukan untuk meraih hak dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan itu sendiri tidak dijalankan begitu saja, akan tetapi dibutuhkan suatu pemahaman dan pengetahuan untuk dapt dijalankan dengan sebagaimana mestinya. Inilah yang namanya politik. Jika pengertian di atas, MELEK dan POLITIK tadi disatukan, maka secara sederhana dapat diartikan paham atau mengetahui tentang politik. melek politik ini adalah fondasi
121
yang paling penting dalam membangun suatu bangsa dan negara. Akan lebih baik jika suatu bangsa ini dibangun dan digerakkan oleh seluruh elemen masyarakat yang terlibat secara aktif, ketimbang hanya digerakkan oleh segelinter kelompok tertentu. Peran politik dari masyarakat ini sangat menentukan ke mana arah layar dan kemudi mesti digerakkan baik ketika laut sedang teang, atau mungkin sedang bergejolak. Pada umumnya, negara-negara yang melek politiknya tinggi, taraf kesejahteraan masyarakatnya juga tinggi. Negara yang masyarakatnya memiliki kesadaran/kepedulian politik yang tinggi juga lebih mampu untuk bersaing di perdagangan global. Iklim politik yang sangat kondusif disertai dengan peran aktif masyarakat akan menentukan kekuatan politik negara itu pada kawasan terbatas. Lihat saja Singapura. Negara kecil begini ini sudah cukup bikin Indonesia manut. Ga sampai di situ, Malaysia sendiri sering dibuat gerah oleh ulah politik negara kecil ini. Untuk membantu memahami konsepsi melek politik, berikut dipaparkan cirri-ciri masyarakat melek politik. a. Mengenal Kandidat Pilihannya Masyarakat mesti tahu dan sekaligus paham siapa-siapa kandidat yang akan dipilih. lebih baik apabila masyarakat mengenal baik kandidat tersebut seperti latar belakang, aktivitasnya selama ini, kontribusinya kepada masyarakat, dan termasuk pula kelebihan dan kekurangannya. Jika masyarakat tidak mengetahui sama sekali atau hanya mengetahui sebatas latar belakangnya, maka bisa dikatakan bahwa masyarakat itu ibarat memilih kucing dalam karung. b. Mengetahui Program Kerja Yang Diusung Oleh Kandidat Sudah sepantasnya kandidat baik yang akan duduk di parlemen maupun di kursi eksekutif itu mesti punya visi dan misi. Kesemuanya itu akan dituangkan ke dalam program kerja jika nanti terpilih. Di sini masyarakat mesti yakin bahwa kandidat pilihannya itu akan benar-benar dapat mewakili aspirasinya, bukan aspirasi dari sekelompok tertentu. Di sinilah sebenarnya letak kepercayaan rakyat kepada para pengemban kekuasaan itu. Seperti pada ciri pertama, apabila ini tidak dapat dilakukan, sama saja bila rakyat itu memilih kucing dalam karung.
122
Apapun bentuknya, melek politik ini bukan cuma sekedar dari masyarakat atau rakyat, akan tetapi juga ditentukan oleh pemerintahannya. Sudah semestinya dalam program politiknya ini pemerintah selalu meningkatkan dan kalau bisa menggencarkan pemberantasan buta politik. Agak pesimis jika memang untuk melek huruf saja masih sulit dilaksanakan, apalagi mesti memberantas buta politik. Secara umum, pemberantasan buta politik itu sesungguhnya adalah kewajiban seluruh warga negara. Dalam hal ini, kesadaran politik adalah modal utama untuk membangun kerangka politik nasional yang kokoh. Setidaknya ada unsur dari pemerintah sendiri, masyarakat, dan tentunya partai politik. Keseluruhan bangun politik nasional ini mesti dilandaskan pada persamaan (persatuan) yang berprinsip pada dasar negara. Ini namanya menjalankan fungsi negara yang berdaulat. c. Mengenal Peran Partai Politik Partai politik memiliki peran yang cukup penting dalam membangun fondasi politik nasional. Partai politik ini memiliki tugas yang secara teknis akan menggerakkan alat-alat politik yang dimilikinya untuk mencapai tujuan politik. Partai politik ini juga satu-satunya institusi yang secara langsung (dan intensif) melakukan kontak politik dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan basis kekuatan politik dari partai politik itu sendiri terletak di masyarakat (atau massa). Ini terlihat dari struktur organisasi yang mengakar mulai dari tingkat DPP (Pusat) hingga ke PAC (tingkat kelurahan). Alat politik di atas digerakkan sesuai dengan tujuan politik yang hendak dicapai. Umumnya, tujuan politik itu tentunya adalah untuk meraih kekuasaan. Persoalannya kemudian, setelah meraih kekuasaan, lalu kekuasaan itu ditujukan untuk siapa. Bisa ditujukan untuk kepentingan partai sendiri, atau bisa juga memang untuk rakyat. Idealnya, apabila suatu negara dibangun berdasarkan demokrasi rakyat, maka kekuasaan itu semestinya dikembalikan kepada rakyat. Tapi tidak salah juga apabila kekuasaan itu kemudian hanya untuk partai politik itu sendiri. Persoalannya tinggal apakah memang kesemuanya itu dikembalikan untuk kepentingan bersama atau hanya untuk segelinter orang tertentu.
123
B.2. Mengenal Konsep Partisipasi Politik Partisipasi politik itu merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dinegara-negara yang proses modernisasinya secara umum telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara meningkat. Modernisasi politik dapat berkaitan dengan aspek politik dan pemerintah. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah (Sastroatmodjo, 1995:67). Pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Dasar inilah yang digunakan warga masyarakat agar dapat ikut serta dalam menentukan isi politik. Prilaku-prilaku yang demikian dalam konteks politik mencakup semua kegiatan sukarela, dimana seorang ikut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakan umum. Menurut Budiarjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Sastroatmodjo, 1995:68). Menurut Hutington dan Nelson, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuat keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual dan kolektif, terorganisir dan sepontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan. Legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Budiarjo, 1998:3). Menurut davis, partisipasi politik adalah sebagai mental dan emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau cita-cita kelompok atau turut bertanggung jawab padanya (Sastroatmodjo, 1995:85). Dalam negara demokratis yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menentukan tujuan 124
serta masa depan suatu negara itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang pemimpinan. Dari pengertian mengenai partisipasi politik diatas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud partisipasi politik adalah keterlibatan individu atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bentuk partisipasi politik seorang tampak dalam aktivitas-aktivitas politiknya. Bentuk patisipasi politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara (voting) entah untuk memilih calon wakil rakyat atau untuk memilih kepala negara (Maran, 2001:148). Dalam buku Pengantar Sosiologi Politik (Maran, 2001:148), Michael Rush dan Philip Althoff mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai berikut :
menduduki jabatan politik atau administrasi
mencari jabatan politik atau administrasi
mencari anggota aktif dalam suatu organisasi politik
menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik.
menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi politik
menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi politik
partisipasi dalam rapat umum, demontrasi, dsb
partisipasi dalam diskusi politik internal
partisipasi dalam pemungutan suara Sastroatmodjo (1995:77) juga mengemukakan tentang bentuk-bentuk partisipasi
politik berdasarkan jumlah pelakunya yang dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual dapat terwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam kegiatan pemilu.
125
Sementara itu Maribath dan Goel (Rahman, 2007:289) membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori:
Apatis, adalah orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.
Spektator, adalah rang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu.
Gladiator, adalah mereka yang aktif terlibat dalam proses politik misalnya komunikator, aktifis partai dan aktifis masyarakat.
Pengkritik, adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
Menurut Rahman (2007:287) kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi berbagai negara dan waktu dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan non konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Bentuk-bentuk frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan/ketidak puasan warga negara. Adanya kondisi masyarakat yang beraneka ragam tentunya tiap-tiap warga masyarakat mempunyai tujuan hidup yang beragam pula sesuai dengan tingkat kebutuhannya, dan upaya memenuhi kebutuhan itu di refleksikan dalam bentuk kegiatan, yang tentunya kebutuhan yang berbeda akan menghasilkan kegiatan yang berbeda pula. Demikian pula dalam partisipasi politiknya tentu tujuan yang ingin dicapai antara warga satu berbeda dengan yang lain. Menurut Waimer (Sastroatmodjo, 1995:85) menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik yaitu :
Modernisasi disegala bidang, berimplikasi pada komersialisme pertanian, industri, perbaikan pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.
Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja batu yang semakin meluas dalam era industrialisasi dan moderenisasi. Dari hal itu muncul
126
persoalan yaitu siapa yang berhak ikut serta dalam pembuatan-pembuatan keputusan-keputusan politik yang akhirnya membawa perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. Kelas menengah baru itu secara praktis menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat yang terkesan demokratis. Menurut Davis (Sastroatmodjo, 1995:85) partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya sehingga mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi. Tujuan tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik Sedangkan bagi pemerintah, partisipasi politik dari warga negara mempunyai tujuan sebagai berikut :
Untuk
mendukung
program-program
pemerintah,
artinya
peran
serta
masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan pembangunan.
Sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan (Sastroatmodjo, 1995:85).
Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan pelaksanaan kebijakan. Huntington dan Nelson (1994:21) mengemukakan bahwa landasan yang lazim digunakan untuk menyelenggarakan partisipasi politik adalah : Kelas : perorangan-perorangan dengan setatus sosial, pendapatan, pekerjaan yang serupa. Kelompok/komunal : perorangan-perorangan dari ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama. Lingkungan (neighborhood): perorangan-perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.
127
Partai: perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atu mempertahankan kontrol atas bidangbidang eksekutif dan legislatif pemerintahan. Golongan (Fuction): perorangan-perorangan yang dipersatukan oleh intraksi yang terus menerus atau intens satu sama lain, dan salah satu manifestasinya adalah pengelompokan patron-klien, artinya satu golongan yang melibatkan pertukaran manfaat-manfaat secara timbal balik diantara perorangan-perorangan yang mempunyai sistem setatus, kekayaan dan pengaruh yang tidak sedrajat. Hermawan (2001:72) berpendapat bahwa yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku politik, adalah :
Lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, media masa, sistem budaya, dan lain-lain.
Lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kebribadian aktor seperti keluarga, teman agama, kelas, dan sebagainya.
Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
Faktor sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan politik, seperti suasana kelompok, ancaman, dan lain-lain.
B.3. Konseptualisasi Seputar Pemilu Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi moderen yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakanlah pemilihan umum. Pemililu adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga perwakilan rakyat serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik (Syarbaini, 2002:80)
128
Pemilu juga dipahami sebagai salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran suatu hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilu atau memperlambat pemilu tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat (Kusnardi, 1994:329). Dari pengertian diatas bahwa pemilu adalah sarana mewujudkan pola kedaulatan rakyat yang demokratis dengan cara memilih wakil-wakil rakyat, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Karena pemilu merupakan hak asasi manusia maka pemilu 2009 warga negara yang terdaftar pada daftar calon pemilih berhak memilih langsung wakil-wakilnya dan juga memilih langsung Presiden dan Wakil Presidennya. Tujuan pemilu adalah menghasilkan wakil-wakil rakyat yang representatif dan selanjutnya menentukan pemerintahan. Dalam UUD 1945 Bab VII B pasal 22 E ayat (2) pemilihan umum diselenggrakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Persiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Melalui pemilu dan hasilnya, masyarakat mengharapkan perubahan yang berarti untuk memperbaiki kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan asas pemilu Berdasarkan pasal 22 E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengertian asas pemilu adalah :
Langsung. Yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
Umum. Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian)
Bebas. Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun/dengan apapun. Dalam melaksanakan haknya setiap 129
warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suarnanya akan di berikan.
Jujur. Dalam penyelenggaraan pemilu setiap penyelenggara/pelaksana pemilu, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas, dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adil. Berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
B.4. Berkenalan Dengan Beragam Sistem Pemilu Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi
umumnya
berkisar
pada
dua
prinsip
pokok,
yaitu
:“single-member
constituency(satu daerah pemilihan memilih satu wakil ; biasanya disebut Sistem Distrik) dan multi-member constituency(satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Proportional Representation atau Sitem Perwakilan Berimbang)” (Rahman, 2007:151). a. Single-member constituency (Sistem Distrik) Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014, untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah pesertanya perseorangan menggunakan sistem distrik. 130
b. Multi-member constituency (Sitem Perwakilan Berimbang) Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau sitem perwakilan berimbang. Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan (Rahman, 2007:152). Jumlah total anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan atas dasar perimbangan dimana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi dimana dengan adanya sistem pemilihan umum yang bebas untuk membentuk dan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis. Hal ini sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia bagaimana tercantum didalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu 2014 dilakukan dua kali putaran dimana pemilu putaran pertama memilih angota DPR, DPD dan DPRD (legislatif)kemudian pemilu putaran ke dua yaitu memilih Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif). Dalam pemilu legislatif rakyat dapat memilih secara langsung wakil-wakil mereka yang akan duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilu anggota legislatif menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dimana dalam memilih, rakyat dapat mengetahui siapa saja calon wakil-wakilnya yang akan mewakili daerahnya. Selain dilaksanakan sistem proporsional juga adanya sistem distrik dalam pemilihan untuk anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan adanya sistem pemilihan umum yang terbuka inilah diharapkan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas
131
dan benar-benar mewakili aspirasi, keragaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat yang memilihnya. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian difokuskan pada partisipasi dan melek politik siswa sebagai pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi terhadap siswa SLTA yang dijadikan sampel. Fokus sampel adalah penduduk berusia 17 tahun dan wajib memilih pada pemilu 2014. Dari banyaknya penduduk kabupaten lombok barat pada usia 16 – 18 tahun, atau usia yang sudah masuk kategori sebagai pemilih pemula tersebut di atas, maka tim riset dapat mengelompokkan kelompok pemilih pemula berbasis siswa SLTA sebagai fokus riset dengan jumlah objek sebagai sampel sebesar 277 siswa. Adapun pengelompokkan sampel dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.1. jumlah Sampel Penelitian NO
NAMA SEKOLAH
JUMLAH SISWA
TOTAL SAMPEL
1
SMAN 1 GERUNG
386
39
KELAS XII411
2
SMAN 2 GERUNG
151
15
91
9
24
3
SMAN 1 NARMADA
476
48
384
38
86
4
SMAN 2 NARMADA
100
10
56
6
66
5
SMAN 1 GUNUNGSARI
304
30
411
41
72
1.417
142
1.353
135
277
JUMLAH
KELAS XI
SAMPEL
SAMPEL 41
80
Data yang telah dikumpulkan selama proses penelitian berlangsung dianalisis dengan tahapan sebagai berikut: 1.
2.
Pengumpulan data, pengumpulan data di lakukan dengan cara mencari data dan mengumpulkan berbagai jenis data atau sumber di lapangan yang mendukung Riset ini. Reduksi data, reduksi data yaitu proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar’’ yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
132
3. 4.
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhirnya dapat di tarik dan di verifikasi. Penyajian data, penyajian data yaitu sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Menarik kesimpulan atau verifikasi, kesimpulan adalah suatu tinjauan ulang pada catatan di lapangan atau kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul data yang harus diuji kebenarannya, kekokohanya yaitu merupakan validitasnya. Dari tahapan analisis data tersebut diatas dapat digambarkan dengan bentuk skema sebagai berikut : Tabel 5.2 Bentuk sekema analisis data Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan
Sumber : Milles dan Hubermen (1999:20). D. Hasil Penelitian D.1. Sketsa Penduduk Lombok Barat Menurut sumber data statistik tahun 2014 terdapat Jumlah penduduk Kabupaten Lombok Barat berjumlah 620.412 jiwa yang terdiri dari 303.210 orang laki-laki dan 317.202 orang perempuan. Untuk mengetahui lebih jelas jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 5.3. Penduduk Lombok Barat No 1 2 3 4 5 6
Kelompok umum 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29
Laki-laki 32.783 31.083 31.611 31.852 25.427 26.371
Perempuan 30815 29.576 30.146 30.729 29.625 31.542
Jumlah 63.598 60.659 61.757 62.581 55.052 57.913 133
No 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kelompok umum 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75 + JUMLAH
Laki-laki 24.252 23.094 19.331 15.512 13.076 8.893 7.616 4.963 3.729 3.617 303.210
Perempuan 27.995 25.219 20.542 15.830 13.669 9.073 8.037 5.475 4.345 4.584 317.202
Jumlah 52.247 48.313 39.873 31.342 26.745 17.966 15.653 10.438 8.074 8.201 620.412
Sumber : Data statistik Kabupaten Lombok Barat 2014
Tabel 5.4. Penduduk Lombok Tengah Menurut Jenis Kelamin No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kecamatan SEKOTONG LEMBAR GERUNG LABUAPI KEDIRI KURIPAN NARMADA LINGSAR GUNUNGSARI BATU LAYAR
Laki 28.936 22.491 36.450 30.624 27.356 17.328 44.266 32.067 40.241 23.451
Perempuan 29.218 23.507 40.557 32.294 28.714 17.887 46.775 33.610 41.117 23.523
Jumlah 58.154 45.998 77.007 62.918 56.070 35.215 91.041 65.677 81.358 46.974
Rasio Jenis Kelamin 99,03 95,68 89,87 94,83 95,27 96,87 94,64 95,41 97,87 99,70
Sumber : Data statistik Kabupaten Lombok Barat 2014 Tabel 5.5. Penduduk Usia 16-18 tahun No
Kecamatan
2011
2012
2013
1.
SEKOTONG
3.044
3.015
3.049
2.
LEMBAR
2.401
2.378
2.405
3.
GERUNG
4.626
4.582
4.635
4.
LABUAPI
3.607
3.572
3.613
5.
KEDIRI
4.089
4.050
4.097
6.
KURIPAN
2.067
2.047
2.070
7.
NARMADA
4.774
4.728
4.783
8.
LINGSAR
3.386
3.354
3.393
9.
GUNUNGSARI
4.676
4.631
4.685
10.
BATU LAYAR
2.570
2.545
2.574
Sumber : Data statistik Kabupaten Lombok Barat 2014 134
D.2. Pemahaman Siswa Perihal Kepemiluan Bentuk pemahaman (melek) politik siswa sebagai pemilih pemula pada pemilu 2014,
tampak
dalam
aktivitas-aktivitas
kesehariannya
yaitu
dengan
seringnya
membicarakan dan melakukan diskusi tentang kepemiluan, baik di tempat sekolah maupun di kelompok belajar siswa, dan memiliki persepsi yang berbeda-beda karena membicarakan masalah politik adalah merupakan bentuk partisipasi politik yang mudah untuk dilakukan oleh semua orang. Namun demikian, tidak semua orang dapat melakukannya dalam kenyataannya memang hanya pemilih pemula tertentu saja yang suka membicarakan masalah politik. a. Tentang Badan Penyelenggara Pemilu. Dalam melakukan wawancara maupun menjawab kuesioner tentang aspek lembaga penyelenggara pemilu, sebagian besar siswa sudah memahami, seperti halnya dijawab oleh Herlin Wilya (18 tahun) dengan jelas dan mantap menyampaikan pernyataan bahwa : Yang saya tau pak, bahwa “salah satu lembaga penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum atau yang disingkat dengan KPU adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu”. Demikian juga Fathurrahman (18 Tahun) dari kelas yang sama di SMA 1 Gerung, menyampaikan pernyataan bahwa : “Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu”. Seorang siswa bernama Ahmad Mualim (18 tahun) kelas XII, juga dengan mantap memberikan pernyataan tentang sifat KPU yang mandiri, bahwa Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak manapun. Penyelenggaraan Pemilu, baik pemilu Presiden dan Pemilukada dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penyelenggaraan ditingkat provinsi dilakukan KPU Provinsi, sedangkan ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota. 135
Eka Angga Aditya (17 tahun) kelas XII, juga memberi pernyataan tentang pemahamannya terhadap badan penyelenggara pemilu, “bahwa selain badan penyelenggara pemilu di atas, terdapat juga penyelenggara pemilu yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk masing-masing TPS. Demikian juga pendapat dari Hasbi Johari (17 Tahun) kelas XI bahwa: “Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disingkat Bawaslu, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dan lebih mantap lagi pendapat seorang siswa kelas XI yang bernama Farzana Maesarah, bahwa : Dalam menjalankan fungsi pengawasannya, Bawaslu dibentuk secara berjenjang sampai ke tingkat desa. Bawaslu dan Bawaslu Provinsi adalah lembaga pengawas yang bersifat tetap, sedangkan jenjang yang ada dibawahnya bersifat ad-hoc, antara lain Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Pengawas Pemilu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan”. Berbeda dengan pendapat kelompok siswa kelas XI (kelompok diskusi) dan diwakili oleh I Komang Rodita. Dalam wawancara tentang DKPP, dengan ringan dia menjawab,: “tidak mengerti masalah DKPP, yang penting Pemilu aman mas”. Dengan menjawab seperti tersebut di atas, maka Tim riset telah menjelaskan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu dianggap sangat penting keberadaannya, terutama untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan berkualitas dan untuk memberikan akuntabilitas penuh kepada pemenang dalam kontestasi pemilihan calon pemimpin. Keanggotaan DKPP berasal dari KPU, Bawaslu, DPR, Utusan Pemerintah dan Tokoh Masyarakat. b. Tentang Pemilihan Umum. Pemilihan Umum atau disingkat dengan Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tanggapan Kelompok belajar kelas XI terhadap Pemilu Legislatif 2014 menyatakan diantaranya bahwa Pemilu 2014 rumit coblos gambar atau coblos calon, 136
surat suara yang besar, perasaan masih masa bodoh, partisipasi masyarakat kurang, tidak peduli dengan calon yang jadi, seperti pernyataan berikut dari hasil wawancara dengan Irfan Fauzan Husni (18 tahun) bahwa : “Pemilu 2014 itu rumit, mencoblos tanda gambar dan nama calonnya, ukuran surat suara besar. Oleh sebab itu saya tidak perduli alias tidak memilih dan juga tidak peduli dengan calon yang jadi”. Ada pula yang beranggapan Pemilu 2014 berjalan baik, tidak ada tekanan, hanya calon tidak sesuai harapan, tidak dapat “sangu”dari calon / partai dan calon yang terpilih tidak memperhatikan masyarakat, seperti pernyataan berikut ini : “Pemilunya berjalan baik, tidak ada tekanan hanya calon yang ada tidak sesuai dengan harapan”. Tanggapan lain dari kelompok ini adalah bahwa : “Pemilu Legislatif 2014 tidak ada yang positif, tidak bisa menilai karena tidak tahu tentang Pemilu, Calon mengandalkan pada partai bukan pada masyarakat, harapannya mestinya calon diseleksi di partai untuk mendapatkan yang terbaik”. Di lain pihak ada pula yang tidak paham, kurang mengenal kader/ calon dari sisi kepribadiannya, karena acuh tak acuh, sehingga yang dipahami terbatas karena tidak mengikuti informasi, sibuk dengan belajar untuk ujian, seperti pernyataan Hairil Amry (17 tahun) berikut ini : “saya kurang paham dengan pemilu legislatif, karena tidak mau tau dan tidak mengurusi Pemilu, kurang tahu calon dan tidak mengerti masalah informasi, sibuk dengan persiapan ulangan sekolah”. c. Tentang Sistem Pemilu Penjelasan awal telah disampaikan bahwa Sistem pemilu dikenal dua cara sistem pemilihan umum yaitu : a. Sistem distrik biasa disebut juga single-member constituency (tetapi ada juga yang memakai istilah single-member-district untuk menyebut sistem ini). Pada intinya, sistem distrik merupakan sistem pemilihan dimana suatu negara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik) yang jumlahnya sama dengan jumlah wakil rakyat yang akan dipilih dalam sebuah lembaga perwakilan. Dengan demikian, satu distrik 137
akan menghasilkan satu wakil rakyat. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak di suatu distrik akan menjadi wakil rakyat terpilih, sedangkan kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit, suaranya tidak akan diperhitungkan atau dianggap hilang-sekecil apapun selisih perolehan suara yang ada sehingga dikenal istilah the winner-takes-all. b. Sistem Perwakilan Proposional ialah sistem dimana kursi-kursi di Lembaga Perwakilan Rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan prosentase atau pertimbangan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Dalam praktiknya di Indonesia, pemilihan umum akhir-akhir ini adalah penggabungan dari dua sistem itu. Pemilihan DPD dilaksanakan dengan sistem distrik, yang diambil dari empat calon terpilih untuk setiap propinsi. Sedangkan untuk pemilihan DPR dan DPRD serta Presiden dan wakil Presiden menggunakan sistem perwakilan berimbang. Pernyataan yang disampaikan oleh Hasdi (18 tahun) kelas XII tentang sistem pemilu di indonesia, bahwa : “sistem pemilu di Indonesia, tidak jelas, tidak mengerti, kursi apa yang direbut di DPR, apa kursi bisa dibawa pulang ? wah repot pak, boro-boro mikirin sistem pemilu, bayar kos saya saja tidak karuan”. Pernyataan yang lainpun demikian, siswa lebih banyak tidak mau tahu atau tidak perduli dengan sistem pemilu yang dianut, yang penting : “Pelaksanaan pemilu harus jujur dan benar-benar dapat mewakili dan memperjuangkan aspirasi kami di DPR, atau Bapak presiden benar-benar serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, bukan hanya di pulau jawa saja”. Sikap dan pernyataan lain dari kelompok siswa ini adalah : “bapak-bapak dari KPU, silakan selenggarakan sistem pemilu ini dengan aturan yang sudah ditentukan, jangan bapak-bapak bermain-main dengan kecurangan, kami sudah tahu apa yang diinginkan oleh calon legislatif itu, mereka juga semua tidak jelas, mereka masuk jadi calon karena punya uang, bukan karena mereka memahami apa itu wakil rakyat”
138
Tanggapan lain menyatakan bahwa : “apa semua partai peserta pemilu sudah memahami sistem pemilu, jangan-jangan partai tidak kenal namanya sitem pemilu, apalagi tokoh-tokohnya partai, aduh kasihan deh, bagaimana kami bisa mengerti ?” Kelompok dari kelas dan sekolah yang berbeda juga memberikan pernyataan bahwa : “Sistem pemilu sudah baik, tetapi kurang disosialisasikan ke kami sebagai pemilih pemula, sehingga dampaknya kami semua ini gampang diintimidasi oleh kelompok tertentu, seperti kami diberi uang untuk memilih calon A, atau pengaruh-pengaruh lainnya sehingga kami bingung sendiri” d. Tentang Tujuan Pemilu Secara sederhana tujuan dari pemilu adalah penyaluran kedaulatan rakyat. Tujuan dari pada penyelenggaraan pemilihan umum (general election) menurut Jimmly Asshiddiqie dapat dirumuskan dalam empat bagian yaitu: Untuk memungkinkan terjadinya pemilihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara. Pernyataan yang mendasar dari seorang siswa yang bernama Annita (17 Thn) kelas XII, menyatakan : “pemimpin yang kami pilih sudah bagus, kami memahami tujuan dia menjadi bupati, wakil Bupati, tapi yang merusak visi misi mereka adalah tim suksesnya, mentangmentang bangat, malah mereka tim sukses itu yang mengatur struktur pimpinan dibawahnya” Pernyataan yang lain dari seorang siswa yang bernama Julkarnaen (18 Thn) kelas XII, menyatakan : “pemimpin yang kami pilih awalnya baik, koq lama-lama jadi rusak, koq korupsi, nepotisme, keluarganya menjadi pejabat juga, hebathebathebat”
139
Tujuan pemilu bukanlah sekedar untuk untuk memilih pemimpin pemerintahan yang baik, tetapi juga untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi kita sebagai siswa, seperti yang diungkapkan oleh Harmain (18 tahun) kelas XII bahwa : “Karena pemimpin yang baik, maka kita bisa sekolah dengan baik, gedung sekolah sangat bagus, jalan aspal, listrik lengkap, ada lampu merah dan hijau, saya bisa belajar dengan tenang, orang tua saya pegawai negeri yang bisa terima uang tiap bulan untuk bayar sekolah saya dan bayar kredit motor untuk sekolah saya, iya kan pak?” e. Pemahaman terhadap Manfaat Pemilu. Pengetahuan bahwa Pemilu Legislatif adalah untuk memilih wakil rakyat, memilih partai dan calon, calon tidak dikenal masyarakat, ada kesan calon yang akan dipilih tidak jelas atau latar belakangnya samar-samar, tergantung pada calon yang mendekat, dan calon yang dipilih bila terpilih lupa dengan pemilihnya, sehingga mengecewakan, calon hanya mencari suara terbanyak tetapi tidak mempunyai peranan. Seperti dalam pernyataan Sudarmaji, (18 Tahun) kelas XII berikut ini : “ Manfaat pemilu sebenarnya luas sekali, tetapi tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh peserta pemilu, partai-partai sebagai peserta pemilu tidak konsekwen dengan hasil pemilu, kalau kalah dia ngamuk, kalau menang dia melupakan kita, eehh malah sangat berkuasa sekali, tuh anggota DPR di kampung saya, mana dia mau lihat kita lagi” Pengetahuan pada kelompok ini secara umum mengatakan kurang begitu tahu tentang Pemilu Legislatif 2014, yang diketahui hanya sebatas untuk memilih wakil rakyat. Mereka sebatas ikut-ikutan saja tanpa mengerti apa maksud Pemilu, karena tidak merasakan manfaatnya. Pemilu Legislatif bagi mereka justru sangat membingungkan dan merepotkan ketika melakukan coblosan, seperti pernyataan berikut ini : “saya tahu kalau Pemilu itu untuk memilih wakil rakyat, saya hanya ikut-ikutan saja yang sesungguhnya tidak merasakan manfaatnya. Kadang malah membingungkan ketika mencoblos karena banyaknya partai” Sementara itu pemahaman mereka tentang Pemilu Legislatif 2014 adalah untuk memilih calon yang diinginkan yang dipandang baik maupun berwibawa, tentang aturan main kurang memahami karena ruwet, karena banyak partai, surat suara besar dan membingungkan. Ada yang memahami lebih banyak tentang aturan main, karena yang
140
bersangkutan kebetulan anak dari tokoh dan pengurus partai, seperti pernyataan berikut ini : “Pemilu Legislatif itu untuk memilih calon yang dianggap baik dan berwibawa. Saya agak paham banyak karena saya selalu mengikuti perkembangan partai yang sedang diurus oleh orangtua sebagai pengurus partai” Pengetahuan pada kelompok ini, memandang bahwa Pemilu Legislatif 2014 lebih terbuka, bisa memilih calon yang diinginkan. Yang diketahui dari mereka bahwa intinya untuk memilih calon yang akan duduk di DPR, DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota, hanya masalahnya sebagian calon tidak dikenal masyarakat. Di dalam pemikiran mereka dikatakan bahwa peranan wakil rakyat tidak berfungsi dengan baik ketika duduk menjadi wakil rakyat, bahkan sama sekali lupa dengan yang memilihnya, seperti pernyataan berikut ini : “Pemilu legislatif 2014 adalah untuk memilih calon anggota DPR. DPD dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, bisa memilih calon yang diinginkan, tapi calon yang mana yang harus dipilih, ini akibat dari informasi dan sosialisasi calon yang tidak menyentuh ke level kami sebagai siswa artinya belum merata tentang sosialisasinya, sehingga partisipasi kurang tinggi, dan peranan wakil rakyat tidak dapat berfungsi sebagai wakil rakyat dengan baik”. Disisi lain pada tingkat kelas yang sama, ada yang tidak mengetahui sama sekali tentang Pemilu Legislatif 2014, karena acuh tidak peduli. Pemilu Legislatif tidak merubah nasib masyarakat. Tidak suka berpikir untuk masalah politik, seperti pernyataan berikut ini : “saya tidak tahu kalau ada Pemilu, terus terang saya acuh saja sebab Pemilu itu tidak bisa merubah nasib rakyat dan saya tidak senang politik” Pemahaman dalam kelompok ini tentang Pemilu Legislatif 2014 sebagian memahami terhadap aturan yang ada meski tidak semuanya: “Saya memahami Pemilu Legislatif dan pemilu presiden 2014, ya sebagaian besar saya pelajari. Kebetulan saya adalah kader partai, sehingga dituntut untuk belajar” Sebagian lain tidak memahami, acuh tak acuh karena tidak berkepentingan langsung. Mereka hanya ikutan saja karena merupakan aturan negara. Sebagian karena sibuk dengan membantu orang tua dengan usahanya sehingga tidak mengikuti perkembangan 141
tentang Pemilu 2014. Sikap mereka pada kelompok ini secara umum menyatakan setuju terhadap Pemilu 2014, meski dengan catatan agar pemilu selanjutnya agar lebih baik lagi, seperti pernyataan berikut ini : “Kalau kami setuju, Pemilu tetap berjalan terus, hanya perlu ada penyempurnaan yang lebih baik sehingga pemilu selanjutnya akan lebih baik dari pemilu sekarang” Sebagian ada sikap yang menyatakan bahwa antara menggunakan hak pilih atau tidak menggunakan hak pilih tidak ada pengaruh terhadap rakyatnya. Tanggapan pada kelompok ini tentang Pemilu Legislatif 2014, menyatakan tanggapan bahwa secara umum baik dan berjalan normal, sesuai harapan. Sebagian menyatakan belum sesuai harapan terhadap calon yang jadi karena dalam kenyataannya belum memperhatikan nasib rakyat/ pemilih yang memilihnya. Calon yang terpilih kebanyakan tidak memenuhi janjinya seperti ketika kampanye. Hal tersebut seperti terungkap dalam peryataan berikut ini : “Pemilu berjalan bagus, sesuai harapan, cuma jago yang jadi lupa dengan masyarakat atau konstituennya” Dari seluruh deskripsi hasil penelitian di atas, penelitian ini menemukan simpulan sebagai berikut: Bahwa kualitas pemilih ditingkat SLTA sangat ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah komunitas pergaulan mulai dari keluarga sampai ditingkat disekolah dan yang paling signifikan adalah komunitas dan media informasi terutama media elektronik. Kemudian terkait tingkat melek politik siswa dalam menggunakan hak pilihnya hampir sama tetapi yang cukup memprihatinkan adalah pilihan politik siswa juga sangat ditentukan oleh adanya imbalan/ money politik disamping karena pengaruh keluarga atau media dan juga komunitas pergaulan. Ketiga, faktor yang mempengaruhi terbentuknya partisipasi dan melek politik siswa dalam menggunakan hak politiknya sangat ditentukan oleh komunitas pergaulan, baik ditingkat keluarga, masyarakat, sampai ditingkat sekolah. Peran parpol tidak begitu significant kalau dikomparasikan dengan media massa dan tokoh-tokoh tingkat komunitas juga memberi kontribusi yang cukup significant dalam menentukan dan menggunakan hak politiknya oleh siswa SLTA. 142
Berdasarkan simpulan di atas, penelitian ini merekomendasikan: Pertama, Kepada KPU sebagai Penyelenggara Pemilu melakukan roadshow pendidikan politik dan pemilih kepada pemilih pemula. Kedua, kepada pemerintah khususnya Dinas Pendidikan atau kemeterian terkait utuk memasukkan kurikulum khusus tentang kepemiluan mulai dari tingakat SLTP dan SLTA. Ketiga, Kepada partai politik untuk terus-menerus melakukan fungsi pendidikan politiknya khususnya kepada pemilu pemula. Keempat, Penyelenggara Pemilu melakukan kerjasama yang permanen dengan aktor-aktor kunci yang ada ditingkat Kabupaten sampai ketingkat Desa atau Kelurahan.
143
Daftar Pustaka Arikunto, Suharismi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Renika Cipta Anwar, 2008, Mencerdaskan Pemilih Pemula, http:/www.reessay_wordpress.com Hasan, Ikbal, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung; Remaja Rosdakarya ____________, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung; Remaja Rosdakarya Rachman, Maman, 1999, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, Semarang-IKIP, Semarang Press
144
BAB VI. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat Transmigrasi Kecamatan Labangka Syukri Rahmat * Sudirman * Yuyun Nurul Azmi Nur Kholis * Aryati A. Pengantar Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden menyatakan “pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu. Sastro Wardoyo (1995) menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam kerangka demokrasi pancasila.Untuk mewujudkan pola kehidupan sistem kedaulatan rakyat yang demokratis tersebut, adalah melalui pemilihan umum.Dengan pemilihan umum tersebut, rakyat Indonesia ingin turut serta secara aktif untuk berpartisipasi dalam memilih wakil mereka dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah karena partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan Negara demokrasi sekaligus merupakan cirri khas adanya modernisasi politik. 145
Sistem pemilu merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri.Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen.Baik yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang samaTerdapat bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri dalam melaksanakan pemilihan umum diantaranya: Sistem hak pilih, Sistem pembagian daerah pemilihan, Sistem pemilihan, Sistem pencalonan.Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu. Dalam pelaksanaan pemilu, diselenggarakan oleh suatu badan yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU adalah suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur pada Pasal 22E, Angka 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mendiri merupakan amanat konstitusi. Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila
dilaksanakan
oleh
penyelenggara
pemilu
yang
mempunyai
integritas,
profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud pada huruf (b) Pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam hal ini diharapkan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dapat melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu terlepas dari pengaruh serta kepentingan dari pihak manapun. Proses pemilu yang diselenggarakan oleh KPU yang melibatkan partsispasi masyarakat dalam menentukan wakil mereka baik pemilihan legislative maupun presiden disebut dengan partisipasi politik. Partisipasi politik merupakan suatu bentuk keterlibatan
146
langsung masyarakat dalam memilih dan menentukan perwakilan mereka yang akan menyuarakan dan menentukan kebijakan pemerintah. Partisipasi politik merupakan salah satu bentuk demokrasi yang dijalankan oleh rakyat, dan adapun bentuk demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia yaitu demokrasi pancasila.Dalam sistem demokrasi pancasila menjelaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan sepenuhnya dijalankan oleh negara”. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014 melibatkan seluruh rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat termasuk masyarkat yang ada di Sumbawa. Kabupaten Sumbawa memiliki 24 Kecamatan yang tersebar di seluruh wilayah Sumbawa.Tiap-tiap kecamatan yang ada di Sumbawa memliki tingkat partisipasi yang berbeda dalam pemilihan tahun lalu khusunya pada pemilihan presiden dan wakil presiden.Pada pemilihan presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan di kabupaten Sumbawa, terjadi penurunan angka partisipasi politik jika dibandingkan dengan pemilihan legislative. Dari 24 kecamatan yang ada di Sumbawa, ternyata di kecamatan Labangka merupakan tingkat partisipasi ter rendah.Pada kecamatan Labangka terjadi tingkat penurunan partisipasi masyarakat.Pada pemilihan legislative, angka partisipasi masyarakat adalah 72,58%, sedangkan pada pemilihan presiden terjadi penurunan menjadi 65,56%.Kecamatan Labangka merupakan kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan Plampang dan kecamatan Labangka merupakan salah satu daerah transmigran. Dari kenyataan itu, peneliti selanjutnya berencana untuk mengadakan suatu penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara daerah transmigran dengan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat Labangka. Dari uraian di atas, penelitian ini mengajukan dua rumusan masalah, sebagai berikut: Bagaimanakah tingkat partisipasi pemilih masyarakat transmigrasi Kecamatan Labangka
147
pada masing-masing desa? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat transmigran Kecamatan Labangka? B. Tinjauan Teoritis Partisipasi politik secara harfiah berarti “keikutsertaan”, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yangterjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan setiap individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam posisinya sebagai warganegara dengan kehendak suka rela dalam segala tahapan kebijakan dan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan dalam mencapai cita-cita bangsanya. Partisipasi politik merupakan kegiatan atau keikutsertaan masyarakat dalam menentukan dan memilih wakil mereka melalui suatu proses yaitu pemilihan umum atau Pemilu. Partisipasi politik juga dapat diartikan sebagai kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Menurut Bolgherini, bahwa tindakan memaksa dalam kegiatan atau aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik juga termasuk partisipasi politik.
partisipasi politik
menurut Bolgherini adalah " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious. Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
148
Menurut Kevin R. Hardwick bahwa partisipasi politik memberi perhatian pada caracara warga Negara berinteraksi dengan pemerintah, warga Negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan
mereka
terhadap
pejabat-pejabat
publik
agar
mampu
mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut. Ramlan Surbakti menjelaskan bahwa partisipasipolitik adalah keikutsertaan warga Negara biasa dalam menentukan segala kekeputusan masyarakat atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga Negara biasa (yang tidakmempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Herbert McClosky menerangkan bahwa partisipasi adalahkegiatan-kegiatan suka rela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambilbagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses penentuan kebijakan umum. Berdasarkan hasil Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. Sementara menurut Rush dan Althoff, kata “politik” diartikan sebagai proses penyelesaian dari konflik-konflik manusia atau proses dimana masyarakat membuat keputusan-keputusan atau mengembangkan kebijakan tertentu atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu. Maka partisipasi politik dapat
149
didefinisikan mengambil peranan atau bagian dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Kegiatan partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintahdapat dilakukan melalui suatu proses yaitu proses pemilihan umum (Pemilu). Proses pemilu diselenggarakan oleh suatu badan independen yang dibentuk oleh pemerintah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2014 tentang kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dijabarkan pada bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 3 menjelaskan “komisi pemilihan umum, selanjtnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu”. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia mendefinsikan Komisi Pemilihan Umum Sebagai Berikut: “Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia, yakni meliputi Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum tidak dapat disejajarkan kedudukannya dengan lembagalembaga negara yang lain yang kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh UUD 1945. Bahkan nama Komisi Pemilihan Umum belum disebut secara pasti atau tidak ditentukan dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya sebagai penyelenggara pemilihan umum sudah ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yaitu Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya, bahwa Komisi Pemilihan Umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penyelenggara bersifat nasional, tetap dan mandiri. Ferry Kurnia Rizkiyansyah dalam bukunya yang berjudul Mengawal Pemilu Menatap Demokrasi, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyelenggara pemilihan umum adalah suatu lembaga khusus yang menangani proses pemilihan umum (Rizkiyansyah,
150
2007:78). Definisi di atas menyebutkan bahwa penyelenggara pemilihan umum adalah lembaga khusus yang menangani proses pemilihan umum. Komisi pemilihan umum merupakan lembaga khusus yang menangani proses pemilihan umum di Indonesia. Komisi pemilihan umum sesuai dengan amanat UUD 1945 merupakan lembaga khusus penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Ketentuan mengenai penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri telah ditindaklanjuti dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen ditunjukkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007, yang menyebutkan bahwa Komisi Pemilihan Umum bersifat nasional, tetap dan mandiri.Yang dimaksud bersifat nasional yaitu mencerminkan bahwa wilayah kerja Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh negara Republik Indonesia.Sifat tetap menunjukkan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu.Sifat mandiri menegaskan Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan dan melaksanakan
pemilihan
umum
adalah
bebas
dari
pengaruh
pihak
manapun.Penyelenggaraan pemilihan umum harus memberikan derajad kompetisi yang sehat, partisipatif dan mempunyai derajad keterwakilan yang tinggi sebagai amanat dari reformasi. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, penyelenggara pemilihan umum (pemilu) dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan proses kampanye yang merupakan bagian dalam pemilu yang nanti pada akhirnya melakasanakan proses mencoblosan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk dari partisipasi politik. Proses kampanye sangat penting agar masyarakat bisa memahami calon yang akan mereka pilih sebelum proses pencoblosan. Disamping itu, kampanye juga berfungsi agar masyarakat bisa mengetahui visi dan misi para calon sehingga masyarakat bisa yakin dengan para calon.
151
Proses kampanye diselenggarakan oleh para calon, baik calon legislatif, gubernur, bupati/walikota dan juga calon presiden dan calon wakilpresiden. Proses kampanye dilakssanakan oleh para calon tetapi berdasrkan waktu yang telah ditentukan oleh penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum. Kampanye adalah
sebuah
tindakan
dan
usaha
yang
bertujuan
mendapatkanpencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atausekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna mempengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistempolitik demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu padakampanye elektoralpencapaian dukungan, di mana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk mengubahkebijakan di dalam suatu institusi. C. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif dianggap paling sesuai untuk penelitian ini sebagaimana dikemukakan Nazir didalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian menyatakan bahwa, pengertian deskriptif adalah “suatu metode dengan meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu hal kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”.Penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk di uji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian.Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penelitian sikap, atau pendapat individu, organisasi, keadaan, atupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan, survey, wawancara atau observasi. Salah satu model pendekatan penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study).Study kasus termasuk dalam penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan terfokus pada suatu kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat dan tuntas. Kasus bisa berupa individu atau kelompok.Penelitian studi kasus merupakan studi mendalammengenai unit sosial tertentu
152
dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu.Subjek yang diteliti relatif terbatas namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya (Danim, 2002). Pada penelitian ini, peneliti terfokus untuk meneliti kasus yang terjadi di kecamatan Labangka yang merupakan daerah transmigran dan adapun kasus yang terjadi yaitu rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat pada pemilihan presiden tanggal 9 Juli 2014.Peneliti mencari akar permasalahan yang terjadi apakah ada hubungan antara daerah transmigran dengan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat Labangka dan mencari penyebab-penyebab yang melatarbelakangi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat Labangka. Adapun ruang lingkup penelitian dibatasi pada rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat kecamatan Labangka pada pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014. Sedangkan objek penelitian ini adalah masyarakat kecamatan Labangka yang tidak ikut dalam pemilihan presiden dan wakilpresiden 9 Juli 2014 yang tersebar pada 5 Desa yaitu Desa Labangka, Desa Suka Damai, Desa Suka Maju, Desa Sekokat dan Desa Jaya Makmur. Disamping itu, responden juga terdiri dari 20% para pemilih yang ikut dalam partisipasi politik pada pemilihan presiden dan wakil presiden untuk mengetahui motivasi mereka kenapa mereka mau dan aktif dalam kegiatan partisipasi politik atau memilih. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yakni; observasi dan wawancara terstruktur. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampakpada objek penelitian pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa (Margono, 1997). Dengan cara ini, maka peneliti dapat memahami secara langsung objek penelitian. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alamdan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiono, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui gambaran umum tentang objek penelitian dan ingin mengetahui gejala-gejala yang terjadi pada responden.Bentuk observasi yang dilakukan oleh peneliti berupa pengamatan terhadap daerah penelitian untuk
153
memahami karakteristik masyarakat, karakteristik pemilih, pengamatan terhadap lokasi pemilhan, pengamatan terhadap kehidupan masyarakat, dan lain-lain. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan (Sugiono, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti menuliskan daftar-daftar pertanyaan sebagai bahan wawancara dengan responden, dan peneliti juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama kepada semua responden. Disamping itu, peneliti juga sudah mempersiapkan alternatif-alternatif jawaban yang akan disamapaikan oleh responden. Analisis data dilakukan melalui empat tahap. Pertama pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan melalui proses observasi dan wawancara. Selanjutnya data yang sudah terkumpul kemudian disederhanakan ke dalam tulisan-tulisan yang mudah dipahami sehingga mempermudah peneliti dalam mengkatagorikan data yang terkumpul.Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan cara observasi lapangan untuk memahami secara pasti kondisi dan situasi daerah penelitian yaitu kecamatan Labangka yang meliputi 5 desa yang berada di kecamatan Labangka. Kedua Reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang hal-hal yang tidak diperlukan dalam penelitian. Dengan demikian datayang sudah direduksikan akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untukmelakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan (Sugiono, 2006). Dalam hal ini, peneliti merangkum dan menyederhanakan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap para responden di desa labangka sehingga mempermudah peneliti dalam memberikan gambaran responden. Ketiga penyajian data. Dalam hal ini, data yang sudah dirangkum kemudian disajikan untuk menggambarka kondisi dan situasi para responden yang tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014 serta menjelaskan dan menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat Labangka dalam pemilihan presiden dan wakilpresiden. Keempat penarikan kesimpulan. ada
154
tahap ini peneliti menarikkesimpulan dari hasil analisis data yang sudah dilakukan. Kesimpulan beruapa deskriptif atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas (Sugiono, 2006).Penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh peneliti berupa deskripsi yang diuraikan dengan kata-kata berdasarkan hasil yang diperoleh dan yang analisis sehingga bisa menjawab asumsi-asumsi yang dipaparkan oleh peneliti. D. Hasil Penelitian D.1. Mengenal Kecamatan Lebangka Kecamatan Labangka merupakan salah satu kecamatan dari dua puluh empat kecamatan yang terdapat di wilayah administrasi Kabupaten Sumbawa,
Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Wilayah kecamatan ini terletak di bagian tenggara wilayah Kabupaten Sumbawa. Berikut ini adalah batas-batas wilayah Kecamatan Labangka : - Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Plampang - Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia - Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ropang - Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Plampang Luas wilayah Kecamatan Labangka adalah 243,08 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak 10.438 jiwa dengan kepadatan penduduk 43 jiwa/km2. Wilayah Kecamatan Labangka terdiri dari 5 desa definitif. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh desa di wilayah Kecamatan Labangka diklasifikasikan sebagai desa swadaya. Desa swadaya adalah suatu wilayah pedesaan yang hampir seluruh masyarakatnya mampu memenuhi kebutuhannya dengan cara mengadakan sendiri. Ciri-ciri desa swadaya antara lain: penduduknya masih jarang, mata pencaharian penduduk relatif homogen dan bersifat
155
agraris, masyarakatnya masih memegang teguh adat serta sarana danprasarana pendukung yang dimiliki masih kurang. Di antara kelima desa di Kecamatan Labangka, Desa Suka Damai memiliki wilayah yang terluas, yaitu sekitar 21,68 % dari seluruh luas Kecamatan Labangka, diikuti Desa Labangka (20,53 %) dan Desa Jaya Makmur (20,50 %). Luas wilayah untuk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 6.1 Luas Wilayah Kecamatan Labangka Dirinci perDesa Tahun 2013 (Hektar) Desa
Luas wilayah
Persentase
Jaya Makmur
4 984
20,50
Sekokat
4.587
18,87
Suka Damai
5.269
21,68
Labangka
4.990
20,53
Suka Mulya
4.478
18,42
Jumlah
24.308
100
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa Karena letaknya yang berbatasan dengan laut yaitu SamuderaIndonesia disebelah selatan maka seluruh desa di Kecamatan Labangkadikategorikan sebagai desa pantai.Iklim sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan ekosistemyang ada di suatu daerah, tak terkecuali di Kecamatan Labangka.Tingkat curah hujan dan banyaknya hari hujan per tahun sangat berpengaruh bagimasyarakat, terutama bagi masyarakat dengan mata pencaharian dibidang pertanian, seperti di Kecamatan Labangka yang sebagian besarpenduduknya mengandalkan sektor pertanian.Dan mengingat sebagianbesar petani di Kecamatan Labangka sangat mengandalkan air hujan untukmengairi tanamannya makanya tingkat curah hujan memiliki pengaruhsangat besar di kecamatan ini. Pada tahun 2013 banyaknya hari hujan dikecamatan Labangka sekitar 131 hari dengan rata-rata curah hujan sebesar2,95 mm. Curah hujan tersebut relatif tinggi terjadi pada bulan Novemberhingga
156
bulan Juni. Hanya pada bulan Mei curah hujan relatif rendah yaitusebesar 6 mm. Sedangkan bulan Juli sampai dengan bulan Oktober telahmemasuki musim kemarau. Kecamatan Labangka merupakan hasil pemekaran dari KecamatanPlampang pada tahun 2004 menjadi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Plampangdan Kecamatan Labangka. Kecamatan Labangka terdiri dari 5 desa yang semuanya diklasifikasikan sebagai desa swadaya.Demi terselenggaranya suatu pemerintahan desa yang dapatberjalan efektif dan efisien serta dapat meningkatkan aksesibilitaspenduduk memperlancar pelayanan yang baik kepada seluruh penduduk dimasing-masing desa, maka di Kecamatan Labangka dibentuk satuanpemerintahan di tingkat desa dan satuan lingkungan setempat yang lebihkecil. Wilayah Kecamatan Labangka terdiri atas 5 desa, 22 dusun, 43 rukunwarga dan 95 rukun tetangga.Bertambahnya berbagai macam sarana perekonomian yang ada diwilayah Kecamatan Labangka bisa menjadi salah satu indikator adanyapertumbuhan ekonomi masyarakat.Keberadaan sarana perekonomianseperti pasar, pertokoan, kios serta warung merupakan sarana mobilitas perekonomian masyarakat.Di Kecamatan Labangka terdapat 2 pasardengan
bangunan
permanen,
tapi
sayangnya
pasar
yang
ada
masih
kurangdimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat sebagai tempat transaksijual beli sehari-hari.Banyak masyarakat yang masih melakukan transaksijual beli di pasar yang berada di kecamatan lain, seperti salah satunya diPasar Plampang. Penduduk merupakan salah satu modal dasar bagi pelaksanaanpembangunan. Namun di sisi lain, penduduk juga menjadi beban beratdalam pembangunan. Untuk itu perencanaan kependudukan harus benarbenarbaik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dengan mengetahuikeadaan penduduk memungkinkan perencanaan pembangunan akan lebihtepat dan terarah.Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Kecamatan Labangka selalumengalami peningkatan.Hingga tahun 2013 berjumlah 10.438 jiwa yangterdiri dari 5.392 penduduk laki-laki dan 5.046 penduduk perempuan.Daridata tersebut diperoleh angka sex ratio sebesar 107, yang berarti dalam100 penduduk perempuan terdapat 107 penduduk laki-laki.
157
Dilihat daridata sex ratio yang dirinci per desa, ternyata seluruh desa di KecamatanLabangka memiliki angka sex ratio di atas 100, yaitu berkisar antara 103hingga 113.Dengan luas wilayah 243,08 km2 dan jumlah penduduk 10.438 jiwadiperoleh kepadatan penduduk Kecamatan Labangka secara rata-ratasebesar 43 jiwa/km2. Namun kepadatan penduduk tersebut tidak tersebarsecara merata di seluruh desa. Desa Suka Damai merupakan desa yangmempunyai kepadatan penduduk tertinggi yaitu 54 jiwa/km2, disusul desaLabangka dengan kepadatan penduduk 51 jiwa/km2, kemudian desaSekokat pada urutan ketiga dengan kepadatan penduduk 38 jiwa/km2,selanjutnya ada desa Jaya Makmur dengan kepadatan penduduk 36 jiwa/km2. Sedangkan desa dengan kepadatan penduduk
terendah
diKecamatan
Labangka
adalah
desa
Suka
Mulya
dengan
kepadatanpenduduk 34 jiwa/km2.Rumah tangga di Kecamatan Labangka sebagian besarmengandalkan
sektor
pertanian
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidup
sehariharinya,terutama tanaman pangan.Selain sektor pertanian ada jugarumah tangga yang menekuni bidang perdagangan, angkutan, industri danlainnya. Grafik 6.2 Jumlah Penduduk Berdasakan Mata Pencaharian
800 700 600 500 400 300 200 100 0 Pertanian
Jaya Makmur 443
Sekokat 414
Suka Damai 724
Labangka 631
Suka Mulya 379
Industri kerajinan
2
4
5
1
1
Perdagangan
35
33
44
30
22
Angkutan
11
17
17
13
16
Lainnya
33
23
34
29
15
Tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup dari suatu masyarakat dapat diukur dengan berbagai indikator sosial. Indikator-indikator sosial yang umumnya dipergunakan 158
antara lain tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, kehidupan beragama dan indikatorindikator sosial lainnya. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang terpenting dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pengertian pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan Suasana
belajar
dan
proses
pembelajaran
agar
peserta
didik
secara
aktifmengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dannegara. Tingkat keberhasilan pendidikan masyarakat dapat dipengaruhioleh berbagai hal, salah satu diantaranya adalah ketersediaan sarana danprasarana fisik seperti gedung sekolah beserta berbagai fasilitaspenunjangnya. Dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin beratdi masa yang akan datang pendidikan tidak cukup hanya didukungketersediaan jugaberkualitas.
fisik
Selain
yangmengedepankan
itu mutu
semata
tetapi perlu
perlu
didukung
dan
efisiensi
adanya
juga
tenaga
dengan
sehingga
pendidik
system
generasi
yang
pendidikan
muda
dapat
tumbuhberkembang menjadi manusia yang berkualitas dan sesuai dengan pasarkerja. Pada tahun 2013, di Kecamatan Labangka terdapat SekolahDasar/MI sebanyak 7 sekolah, SMP/MTs sebanyak 4 sekolah, SMAsebanyak 1 sekolah dan sarana pendidikan pra sekolah sebanyak 1 TK.Pada tahun 2013, dari semua jenjang pendidikan yang ada di KecamatanLabangka jenjang SD/MI memiliki jumlah murid yang paling banyak yaitu1.498 orang murid, yang terdiri dari 773 orang murid laki-laki dan 725orang murid perempuan. Sedangkan rata-rata ratio murid-guru untukjenjang SD/MI sebesar 17, yang berarti untuk setiap 1 orang guru rata-ratamembimbing sebanyak 17 orang murid. Menurut jenjang pendidikanterakhir yang ditamatkan guru untuk jenjang SD/MI terdapat sebanyak 20orang guru yang memiliki ijazah tertinggi SMA atau lebih rendah, 13 orangguru memiliki ijazah tertinggi D1/D2/D3 dan 52 orang guru memiliki ijazahtertinggi S1 atau lebih tinggi. Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat jugasangat penting dalam mendukung peningkatan kualitas sumber dayamanusia.Hal ini mengingat tinggi rendahnya
159
tingkat kesehatan masyarakattidak terlepas dari tersedia tidaknya sarana dan prasarana dimaksud yangtentu saja dalam kualitas dan kuantitas yang memadai. Sarana kesehatanyang tersedia di Kecamatan Labangka antara lain 1 puskesmas, 4puskesmas pembantu (pustu), 5 polindes, 1 tempat praktek dokter, 22posyandu, dan 5 praktek bidan. Masih terkait dengan indikator sosial yang lain, yaitu menyangkutkehidupan beragama di Kecamatan Labangka. Mayoritas pendudukKecamatan Labangka menganut agama Islam yaitu diperkirakan lebih dari90 persen dari total seluruh penduduk kecamatan ini, sementara sisanya menganut agama Hindu. Pada tahun 2013 di Kecamatan Labangkaterdapat 8 buah masjid, 38 buah langgar/musholla, dan 2 buah pura. Sebagian besar rumah tangga di Kecamatan Labangka tangga atau lebih dari 86 persen dari total jumlah rumah tangga bermatapencaharian sebagai petani. Sebagian besar petani tersebut mengusahakan pertanian tanaman pangan, terutama jenis tanaman palawija, seperti jagung, kacang hijau dan kacang tanah.Selain tanaman palawija banyak petani yang juga menanam tanaman padi, tanaman hortikultura seperti jeruk dan rambutan serta tanaman perkebunan seperti jambu mete, tanaman jarak dan sebagainya. Lahan pertanian yang terdapat di Kecamatan Labangka umumnya berupa lahan kering seperti tegalan dan ladang yang sangat mengandalkan air hujan untuk pengairannya.Untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan memudahkan komunikasi serta koordinasi antara petugas penyuluhan dengan para petani, maka dibentuk kelompokkelompok tani di setiap desa di Kecamatan Labangka. Kelompok tani yang ada pada tahun 2013 tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun 2012, dimana tercatat ada 84 kelompok tani dan 1 kontak tani yang tersebar di 5 desa. Banyak rumah tangga yang selain bercocok tanam juga sekaligus menjadi pemelihara ternak, baik itu ternak besar, ternak kecil maupun unggas.Ternak besar seperti sapi dan kerbau biasanya dibiarkan oleh pemeliharanya untuk mencari makan sendiri di ladang atau pekarangan. Data register peternakan tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah populasi ternak besar di Kecamatan Labangka dibandingkan dengan tahun 2012 . Pada tahun 2013 populasi sapi meningkat dari 6.882 ekor menjadi 8.146 ekor,
160
sementara populasi kerbau meningkat dari 95 ekor menjadi 121 ekor, dan populasi kuda mengingkat dari 126 ekor menjadi 132 ekor.
Tabel 6. 3 Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah di Kecamatan Labangka Dirinci per Desa Tahun 2013 (Ha) Desa
Jaya Makmur
Lahan
Tegalan/kebun Pekarangan
tambak
Perkebunan
-
2147
87
-
50
Sekokat
25
1961
98
-
40
Suka Damai
105
2622
132
-
45
Labangka
25
2826
117
-
50
Suka Mulya
17
1834
88
50
55
Jumlah
172
11.390
522
50
240
Sumber: Dinas pertanian kecamatan Labangka D.2. Pemilih di Kecamatan Labangka Kecamatan Labangka terdiri dari 5 Desa, yaitu Desa Labangka, desa Suka Damai, Desa Suka Mulya, Desa Sekokat dan desa Jaya Makmur. Dari 24 kecamatan yang ada di Sumbawa, ternyata di kecamatan Labangka yang memiliki tingkat partisipasi ter rendah.Adapun jumlah pemilih di kecamatan Labangka berdasarkan Daftar Pemilih Tetap adalah 8.022, terdiri dari 4.055 pemilih laki-laki dan 3.965 pemilih prempuan.Tiap-tiap desa memiliki jumlah TPS yang berbeda dimana desa Labangka memiliki 5 TPS dan jumlah pemilih berdarkan Daftar Pemilih Tetap adalah 2.024 pemilih, dimana jumlah pemilih laki-laki sebanyak 1.026 pemilih dan prempuan sebanyak998 pemilih. Desa Jaya Makmur terdiri dari 3 TPS, dimana jumlah lakilaki sebanyak 748 pemilih dan jumlah pemilih prempuan sebanyak 704 pemilih dan keseluruahan pemilih sebnayak 1.452 pemilih. Desa Sekokat terdiri dari 3 TPS, dengan total pemilih sebanyak 1.276, pemilih laki-laki sebanyak 1.026 dan pemilih prempuan sebanyak 652 orang. Desa Suka Mulya terdiri dari 3 TPS dengan jumlah pemilih laki-laki sebanyak 582
161
pemilih dan jumlah pemilih prempuan sebanyak 566 dan jumlah keseluruhan pemilih sebanyak 1.148.
Tabel 6.3 Rekapitulasi daftar pemilih tetap kecamatan Labangka pada Pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 Jumlah pemilih No
Nama Desa
Jumlah
Laki-laki
prempuan
L+P
TPS 1
Jaya Makmur
3
748
704
1.452
2
Labangka
5
1.026
998
2.024
3
Sekokat
3
624
652
1.276
4
Suka Damai
5
1.075
1.047
2.122
5
Suka Mulya
3
582
566
1.148
19
4.055
3.967
8.022
TOTAL
Sumber: KPU Sumbawa D.3. Pembahasan Data Hasil Penelitian Angka partisipasi pemilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada kecamatan Labangka hanya berjumlah 65,56%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan dibandingkan dengan
angka partisipasi politik masyarakat Labangka pada pemilihan
legislative. Dalam pemilihan legislative, angka partisipasi masyarakat Labangka berjumlah 72,58%. Dalam penelitian yang telah dilakukan, peneliti mencari faktor-faktor penyebab terjadinya angka penurunan partisipasi politik tersebut.Pada penelitian ini, peneliti mengklasifikan bentuk-bentuk partisipasi politik ke dalam beberapa bagian dengan mengacu pada teori Huntington dan Nelson yaitu: mengikuti kegiatan kampanye, menjadi tim sukses, mengikuti dan mengamati proses pemilihan, dan mencoblos.
162
Selanjutnya, peneliti mencari akar permasalahan dengan cara melakukan pengumpulan data melalui proses wawancara terstruktur, dimana peneliti mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ditanyakan kepada responden atau sampel. Dalam penentuan sampel, peneliti menggunakan teknik purposive random sampling yaitu dengan cara peneliti menentukan sampel penelitian dan adapun sampel penelitiannya adalah para masyarakat Labangka yang tidak memilih atau tidak mencoblos pada pemilihan presiden dan wakil presiden, Tanggal 9 Juli 2014. Adapun jumlah sampel yang diambil yaitu berjumlah 80 responden yang tersebar di 5 desa yaitu Desa Labangka, Desa Jaya Makmur, Desa Sekokat, Desa Suka Damai, dan Desa Suka Mulya. Peneliti mengambil sampel 20 orang pada tiap-tiap TPS yang telah ditentukan yang tingkat partisipasinya paling rendah pada tiap-tiap desa. Selanjutnya peneliti juga mewawancarai masyarakat yang ikut mencoblos dalam Pilpres lalu sebanyak 20 orang yang diambil pada tiap-tiap desa sebagai sampel untuk mengetahui motivasi dan alasan mereka tidak mau terlibat dan mencoblos pada pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 9 Juli 2014 yang lalu. Hal ini dilakukan sebagai pembanding antara masyarakat yang terlibat dalam partisipasi politik dan mereka yang tidak mau terlibat dalam partisipasi politik atau mencoblos. Adapun hasil wawancara yang dijabarkan pada tiap-tiap desa berdasarkan tingkat partisipasiterrendah berbasis TPS adalah sebagai berikut: a. Desa Jaya Makmur TPS 001 desa Jaya Makmur merupakan tempat partisipasi pemilih yang paling rendah dari semua TPS yang ada di kecamatan Labangka. Adapun jumlah pemilih terdaftar berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah 515 pemilih, dimana jumlah yang ikut partisipasi politik (memilih) sejumlah 209 orang/pemilih sedangkan yang tidaknyoblos atau tidak memilih sebanyak 306 pemilih. Bila dipersentasekan maka jumlah yang memilih sebanyak 40,58% dan jumlah yang tidak memilih sebanyak 59,42%. Hal ini menunjukkan bahwa angka yang tidak memilih lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah yang memilih.
163
Grafik 6.5 Persentase yang memilih dan tidak memilih
yang memilih 34% 66,33%
yang tidak memilih
Berdasarkan hasil wawancara, baik dengan DPTyang mencoblos maupuntidak mencoblos,berdasarkankonsep partisipasi Samuel Huntington yang sudah dioperasionalkan adalahsebagai berikut. Selama masa kampanye Pilpres yang berlansung sejak Tanggal 4 Juni sampai 5 Juli 2014, dinyatakan olehseluruh respondenadalah tidak ada kampanye sama sekali di wilayah kecamatan, apalagi di Desa Suka Makmur. Sehingga masyarakat Desa Suka Makmur tidaktersentuh secara langsung dengankegiatan kampanye Pilpres.Media Kampanye yang bisa diakses masyarakat adalah melalui stiker-stiker kecil calon presiden dari beberapa tim yang berasal dari kader partai politik pendukung calon presiden dan wakil presiden.
Dengan demikian, masyarakat Desa SukaMakmur sangatterbatas dalam
memahami pasangan calon presiden yang maju dalamPilpres lalu, dan dari seluruh responden yang tidak mencoblos menyatakan bahwa mereka tidak memiliki calon yang diunggulkan. Lebih jauh ditelusuri juga tidak ada responden yang menjadi anggota tim sukses pasangan calon atau tidak ada anggota tim sukses yang mendatangi mereka untuk melakukan sosialisasi. Hal diatas sungguh berbeda dengan pemilihan legislatif, dimana pada pemilihan legislative banyak tim sukses yang melakukan proses kampanye bahkan mereka melakukan proses kampanye dari rumah ke rumah. Proses kampanye terbuka pun sering dilakukan seperti kampanye yang dilakukan di rumah penduduk bahkan pada kampanye tersebut para calon legislatif turun secara langsung ke lapangan untuk menyampaikan visi dan misi mereka kepada masyarakat. Dengan demikian, mereka tentu lebih kenal dengan calon legislative lebih dekat dan dengan sendiri pada akhirnya mereka mempunyai pilihan.
164
Kurangnya sosialiasi dari penyelenggara pemilu seperti dari PPK dan PPS
juga
merupakan salah satu faktor kurangnya informasi tentang calon presiden dan calon wakil presiden sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap calon presiden dan calon wakil presiden tersebut. Semua hal diatas juga dibenarkan oleh beberapa responden kunci.Responden kunci adalah para responden yang ditunjuk langsung oleh peneliti untuk menguji tingkat validitas dari jawaban masyrakat.Adapun responden kunci dari desa Jaya Makmur adalah sekdes.Beliau membenarkan pernyataan masyarakat tersebut sehingga membuat jawaban mereka menjadi lebih kuat. Dari jawaban responden yang tidak mencoblos pada saat Pilpres dapat dirinci alasan sebagai berikut: 1. Pemilihan presidenbertepatan dengan panen jagung Jawaban ini merupakan jawaban terbanyak dari responden.Dari 20 jumlah responden, 13 menjawab sibuk dengan urusan panen jagung mereka.Bila di persentasekan maka jumlah mereka adalah 65%.Berdasarkan hasil observasi dan diperkuat oleh data penduduk, memang benar bahwa mayoritas petani di kecamatan Labangka khususnya di desa Jaya Mamur adalah petani jagung dan pada bulan Juli para petani masih banyak yang sibuk dengan urusan panen jagung mereka. Disamping itu, jarak antara kampung mereka dengan lahanjagung cukup jauh mengakibatkan mereka tidak mau memilih bahkan cuek dengan pemilu.Faktor lain juga diperkuat
dengan
dampakdaritidakadanya
tidak
adanya
proses
pilihan
kampanye
dan
mereka
dalam
kurangnya
pemilu
sosialisasi
dari
sebagai pihak
penyelenggara atau dari pihak-pihak lain. 2. Masyarakat pulang kampung Sebagian besar penduduk di kecamatan Labangka khususnya di desa Jaya Makmur berasal dari Lombok.Ketika waktu pemilihan umum, sebagian dari petani ada yang pulang 165
kampung sehingga mengakibatkan mereka tidak bisa ikut serta dalam partisipasi politik atau mereka tidak bisa memilih.Pada bulan Juli, ada sebagian petani yang sudah selesai panen bahkan mereka sudah menjual hasil panennya sehingga ada dari mereka yang pulang untuk silaturrahmi ke keluarga mereka atau mungkin karena alasan lain.Dari 20 jumlah responden, 4 dari mereka menjawab dengan jawaban pulang kampung dan bila di persentasekan maka jumlah mereka adalah 20%.
3. Tidak ada di tempat Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya partisipasi politik masyarakat Labangka adalah mereka tidak ada di tempat. Sebagian dari masyarakat ada yang kuliah di luar daerah seperti di Mataram, di Lombok, di Malang, dan di daerah lain. Disamping itu, ada juga diantara mereka yang pergi merantau ke luar negeri seperti para TKW yang merantau ke Arab Saudi dan negara-negara lain. Jumlah mereka lebih sedikit dari total jumlah sampel yaitu 2 responden atau 10% 4. Data lama muncul lagi Di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), masih terdapat data lama yang sudah dihapus oleh anggota PPS tetapi nama tersebut masih muncul lagi di DPT. Hal ini berdasarkan hasil yang telah ditelusuri oleh peneliti dan anggota PPS. Ketika peneliti dan anggota PPS menelusuri nama-nama yang terdapat dalam DPT, ternyata ada beberapa dari nama tersebut yang memang sudah dihapus oleh anggota PPS tetapi ketika daftar nama pemilih tetap dikeluarkan oleh KPU, nama tersebut masih ada lagi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan data tersebut dihapus oleh anggota PPS yang terdahulu misalnya karena alasan perkawinan, pindah domisili, dan lain-lain. Adapun jumlah atau persentase yang tidak ikut partisispasi politik karena data lama muncul lagi sebanyak 5%.
166
Grafik 6.6 Persentase yang tidak memilih
10%
bertepatan dengan panen jagung
5%
pulang kampung 20%
tidak ada di tempat 65% data lama muncul lagi
b. Desa Labangka Desa Labangka,TPS 005 merupakan sampel berikutnya. Adapun jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah sebanyak 509 pemilih. Dari jumlah itu, sebanyak 168 pemilih yang tidak ikut berpartisipasi politik atau memilih, sedangkan sisanya sebanyak 341 pemilihyang ikut dalam partisipasi politik atau memilih. Bila di persentasekan maka jumlah yang tidak memilih sebanyak 33% dan jumlah yang memilih sebanyak 67%. Banyaknya persentase yang tidak ikut dalam partisipasi politikmenunjukkan kurang pedulinya masyarakat dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesungguhnya persoalan yang terjadi di desaJaya Makmur yang berhubungan dengan tidak adanya proses kampanye juga terjadi di desa Labangka. Grafik 6.7 Persentase yang ikut memilih dan yang tidak ikut memilih
yang memilih
34% 66,33%
yang tidak memilih
167
Ketika para responden diwawancara mengenai proses kampanye, mereka menjawab bahwa tidak pernah ada proses kampanye, baik kampanye yang dilakukan di lapangan terbuka ataupun di tempat umum dan juga kampanye yang dilakukan di rumah penduduk. Dengan tidak adanya proses kampanye,otomatis mereka tidak tahu visi dan misi para calon yang bermuara pada tidak adanya pilihan mereka. Disamping itu, kurangnya sosialisai dari penyelenggara pemilu juga merupakan faktor lain yang mengakibatkan mereka kurang paham dengan calon presiden calon wakil presiden. Adapun jawaban para responden kenapa mereka ikut memilih, dapat digammbarkan sebagai berikut: 1. Pemilu Bertepatan dengan masa panen jagung Ketika peneliti mewawancarai para responden mengenai kenapa mereka tidak memilih pada pemilihan presiden, sebagian besar dari mereka menjawab bahwa waktu pemilu mereka sibuk dengan panen jagung. Pada waktu itu mereka masih dalam proses memetik jagung yang sudah kering dan setelah itu jagung disemai dan dijual. Mereka tidak bisa mengikuti proses pemilu dan mereka tidak bisa mencoblos karena mereka ingin jagungnya cepat selesai. Adapun jumlah yang menjawab dengan jawaban ini berjumlah 60% dari jumlah responden yang diwawancarai. 2. Tidak ada di tempat Alasan lain yang mengakibatkan rendahnya partisipasi politik pada pemilihan presiden dan wakil presiden adalah karena pemilih yang terdaftar dalam DPT tidak ada di tempat. Jawaban ini berdasarkan pernyataan dan pembuktian yang disampaikan oleh anggota PPS yang juga ikut dalam membantu proses penelitian ini. Ternyata, nama yang tercantum dalam DPT sebagiannya memang tidak ada di tempat disebabkan oleh beberap faktor diantaranya: karena sekolah atau kuliah diluar daerah, menjadi TKW/TKI, dan juga karena ada yang pulang kampung dan juga karena alasan lain. Jumlah persentase masyarakat yang tidak memilih karena alasan ini berjumlah 18%.
168
3. Jarak TPS cukup jauh dari pemukiman Alasan lain kenapa penduduk tidak mau memilih pada pemiihan presiden adalah karena jarak antara pemukiman penduduk dengan TPS cukup jauh. Salah satu daerah yang terisolir di desa Labangka adalah kampung Bali, kampung Bali ini dihuni oleh hampir sebagian besar para pendatang dari Bali.Adapun jarak antara kampung Bali dengan TPS sekitar 600 sampai 800 meter.Hal ini mengakibatkan kurangnya motivasi para penduduk kampung Bali untuk mengikuti atau memilih pada waktu pemilihan presiden dan wakil presiden.Adapun persentase dengan jawaban ini berjumlah 15% dari jumlah penduduk. 4. Data lama muncul lagi Jawaban lain yang mengakibatkan rendahnya partisipasi politik pada masyarakat Labangka adalah karena dalam DPT masih muncul data lama. Hal ini diketahui ketika nama yang terdapat dalam DPT dan setelah ditelusuri bersama anggota PPS ternyata nama tersebut memang sudah tidak ada lagi di desa Labangka. Nama-nama tersebut sebenarnya sudah dihapus oleh anggota PPS sebelumnya tetapinama itu masih ada dalam DPT. Data lama disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena sudah tidak berdomisili lagi, data ganda, dan lain-lain.Jumlah yang tidak memilih karena data lama muncullagi sebanyak 7%. Grafik 6.8 Persentase yang tidak memilih
bertepatan dengan panen jagung
7% 15%
18%
tidak ada di tempat
60%
jarak TPS cukupjauh data lama muncul lagi
169
c. Desa Suka Mulya DesaSuka Mulya mempunyai luas 4.478 hektar, dimana pada TPS 001 terjadi rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Adapun jumlah DPT yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap berjumlah 413, dimana yang ikut dalam partsispasi politik sebanyak 269 pemilih atau 65% sementara yang tidak ikut dalam partisipasi politik atau yang memilih sebanyak 144 pemilih atau 35%.
Grafik 6.9 Persentase yang memilih dan yang tidak memilih
35%
memilih tidak memilih
65%
Rendahnya tingkat partisipasi politikdisebabkan oleh banyak faktor.Ketika peneliti mewawancara responden apakah mereka pernah mengikuti kegiatan kampanye, mereka menjawab bahwa mereka tidak pernah mengikuti kegiatan kampanye bahkan ada diantara mereka yang tidak kenal dan tidak tahu calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka juga menjelaskan bahwa pada pemilihan presiden dan wakil presiden tidak pernah ada kegiatan kampanye, baik yang dilakukan oleh tim sukses ataupun yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan tidak adanya proses kampanye yang dilakukan baik oleh calon sendiri ataupun yang dilakukan oleh tim sukses berdampak kepada tidak adanya pilihan masyarakat. Disamping itu, juga tidak ada orang lain atau tim sukses yang mengajak
170
atau mempengaruhi mereka untuk memilih calon tertentu.Disamping itu, kurangnya sosilaisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu semakin melengkapi kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingya pemilu atau pemilhan umum yang berdampak langsung terhadap rendahnya tingkat partisipasi politikmasyarakat. Berdasarkan hasil wawancara, peneliti selanjtmya menggambarkan alasan yang menyebabkan kenapa masyarakat Labangka tidak mau berpartsisipsi dalam pemilu presiden tanggal 9 Juli 2014 seperti sebagai berikut: 1. Bertepatan dengan panen jagung Mayoritas penduduk di kecamatan Labangka adalah petani jagung.Kesibukan masyarakat dengan panen jagung mengakibatkan mereka tidak mau berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Jawaban masyarakat desa Suka Mulya yang menjelaskan bahwa pada bulan Juli tahun lalu mereka masih sibuk dengan panen jagung mereka dan mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka karena kalau mereka pulang maka panen jagung mereka semakin lama. Disamping itu, jauhnya jarak antara lahan jagung dengan desa juga menyebabkan mereka tidak mau mengikuti proses pemilu. Dari 20 responden yang diwawancarai, 12 orang atau 60% dari mereka menjawab bahwa mereka tidak memilih pada pemilihan presiden tanggal 7 Juli tahun lalu karena mereka sibuk dengan urusan panen jagung mereka. 2. Tidak ada ditempat Ketika dalam proses wawancara, peneliti mewawancarai responden untuk mengetahui alasan mereka kenapa mereka tidak memilih atau mencoblos pada pemilihan presiden tahun lalu dan beberapa dari responden menjawab bahwa mereka tidak memilih karena tidak ada di tempat. Pada waktu pemilihan presiden dan calonwakil presiden, sebagian dari mereka ada yang pulang ke Lombok untuk silaturrahmi dan tujuan lain tetapi ada juga diantara mereka karena mereka sekolah dan
171
kuliah diluar Sumbawa. Adapun jumlah yang tidak ikut memilih karena tidak ada di tempat sebanyak 15%. 3. Data lama muncul lagi Faktor lain yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat adalah data lama muncul lagi. Munculnya data lama disebakan oleh banyak faktor diantaranya data orang yang sudah tidak ada di desa Suka Mulya muncul lagi, ada yang sudah pindah domisili tetapi masih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ada yang sudah kawin dengan penduduk desa lain tetapi masih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan lain-lain. Adapun jumlah masyarakat yang tidak ikut memilih karena faktor data lama muncu lagi sebanyak 15% 4. Jarak TPS cukup jauh dengan pemukiman Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat desa Suka Mulya adalah karena jarak dari rumah mereka dengan TPS cukupjauh sekitar 600-800 meter. Masih banyak dari penduduk yang belum memiliki transposrtasi pribadi atau sepeda motor sehingga menyulitkan mobilisasi masyarakat termasuk kesulitan untuk pergi ke TPS untuk memilih calon presiden dan calonwakilpresiden. Adapun persentase masyarakat Suka Mulya yang tidak ikut dalam partisipasi politik karena alasan jarakTPS dengan rumah sebanyak 10% atau sebanyak3 responden dari 20 responden yang telah diwawancarai. Grafik 6.10 Persentase yang tidak memilih bertepatan dengan panen jagung
10%
tidak ada di tempat
15% 15%
60%
data lama muncullagi jarak TPS cukup jauh
172
d. Desa Sekokat Desa Sekokat merupakan salah satu desa yang memiliki tingkat partisipasi masyarakatnya rendah dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 yang lalu.Adapun jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada TPS 002 sebanyak 328. Dari jumlah tersebut, sebanyak 223 pemilih atau 67,99% yang ikut memilih sedangkan sisanya sebanyak 105 pemilih atau 32,01% tidak ikut memilih. Grafik 6.11 Persentase yang memilih dan yang tidak memilih
32,01%
yang memilih 67,99%
yang tidak memilih
Dari kenyataan tersebut, selanjutnya peneliti melakukan kegiatan wawancara untuk mengetahui masalah yang terjadi pada desa Sekokat berhubungan dengan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Pertanyaan awal yang ditanyakan oleh peneliti adalah sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan kampanye. Ketika peneliti menanyakan kepada responden apakah mereka pernah mengikuti proses kampanya pada pemilihan presiden dan wakil presiden? Mereka menjawab bahwa pada tahun lalu ketika pemilihan presiden dan wakil presiden tidak ada proses kampanye baik itu kampanye yang dilakukan dilapangan atau kampanye terbuka ataupun kampanye yang hanya diikuti oleh beberapa peserta atau kampanye tertutup.
173
Disamping itu, juga tidak ada tim sukses yang mengajak atau mempengaruhi mereka untuk memilih calon tertentu. Dengan tidak adanya proses kampanye, berakibat pada kurangnya pemahaman masyarakat terhadap visi dan misi yang dimiliki oleh calonpresiden dan calon wakil presiden.Dampak dari semua itu adalah para masyarakat tidak bisa mengenal calon presiden dan calon wakil presiden sehingga berujung pada tidak adanya pilihan mereka.selanjutnya, peneliti menanyakan pertanyaan inti kepada responden mengenai kenapa mereka tidak mau memilih presiden dan wakil presiden pada pemilu tahun lalu. Kemudian mereka pun menjawab dengan masing–masing jawaban yang berbeda: 1. Bertepatan dengan masa panen Sebagaimana yang terjadi di desa lain, ternyata permasalahan masyarakat terhadap sibuknya dengan pekejaan jagung juga terjadi di desa Suka Damai. Pada bulan Juli sebagian masyarakat Suka Damai masih sibuk dengan urusan panen jagung mereka sehingga
menyebabkan
mereka
tidak
bisa
bahkan
cuek
dengan
urusan
pemilu.Disamping itu, jauhnya jarak antara lahan jagung dengan desa juga salah satu faktor penyebab rendahnya motivasi masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam pemilu.Adapun jumlah responden yang tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu presiden tanggal 9Juli 2004 sebanyak 13 atau 65% responden dari 20 responden. 2.
Tidak ada di tempat Rendahnya tingkat partisipasi politik pada kecamatan Labangka khususnya pada
desa Sekokat adalah karena di dalam DPT, masih terdapat beberapa nama yang tidak ada di tempat sehingga mengakibatkan mereka tidak bisa ikut memilih.Mereka tidak ada di tempat disebabkan oleh beberapa hal seperti karena ada diantara mereka yang lagi sekolah atau kuliah di luar Sumbawa dan mereka malas pulang karena alasan-alasan tertentu sehingga mengakibatkan mereka tidak bisa ikut dalam partisipasi politik. Sebab lain mereka tidak ada di tempat karena sebagian dari mereka ada yang jadi TKW dan bekerja di Arab Saudi atau kerja di negara-negara lain. Jumlah masyarakat yang tidak 174
ikut memilih karena alasan tidak ada di tempat sebanyak 2responden dari 20 sampel atau 15% 3. Data lama muncul lagi Munculnya data lama mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di desa Suka Damai. Didalam DPT, masih ada data-data penduduk yang sudah tidak berdomisilli lagi dan sudah tidak menetap lagi di desa Suka Damai. Adanya ikatan keluarga dan perkawinan yang mengakibatkan beberapa dari masyarakat Suka Damai kadang-kadang tinggal selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan khususnya ketika masa panen jagung tetapi pada akhirnya mereka pulang kampung tetapi mereka terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).Pada pemilihan legislative, mereka terdaftar sebagai pemilih tetapi pada pemilihan preside ada sebagian dari mereka yang pulang kampung. Jumlah masyarakat yang tidak memilih karena alasan ini berjumlah 10%. 4.
Alasan lain Ketika proses wawancara dengan responden, peneliti mendapat tanggapan yang
kurang baik. Sejak kedantangan peneliti, responden sudah menunjukkan sikap yang tidak koperatif sehingga peneliti agak kesulitan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.Dari hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh jawaban bahwa mereka cuek dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan pemilu, baik pada pemilu legislative maupun pada pada pemilu presiden.Mereka hampir tidak pernah mengikuti kegiatan seperti kampanye, dan mungkin mereka tidak pernah ikut memilih.Disamping itu, alasan lain juga disebabkan oleh data ganda artinya ada beberapa data atau nama yang terdaftar di DPT lebih dari satu nama. Jumlah masyarakat yang tidak memilih karena alasan lain sebanyak 10%.
175
Grafik 6.12 Persentase yang tidak memilih
10%
bertepatan dengan panen jagung
10%
tidak ada di tempat
15% 65%
data lama muncul lagi alasan lain
e. Desa Suka Damai Desa Suka Damai merupakan salah satu desayang terdapat dikecamatan Labangka dengan luas wilayah 52,69 km dengan jumlah penduduk 2.838. Dari 2.838 jumlah penduduk, yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau masyarakat yang sudah mempunyaihakuntuk memilih sebanyak 2.122, terdiri dari 1.078 pemilih laki-laki dan sebanyak 1.047 pemilih prempuan yang tersebar pada 5 TPS dimana pada TPS 1 terdapat 432 pemilih, TPS 2 memiliki 474 pemilih, TPS 3 terdiri dari 497 pemilih, TPS 4 terdiri dari 383 pemilih, dan TPS 5 terdiri dari 426 pemilih. Adapun yang dijadikan sampel pada desa Suka Damai yaitu TPS 002. TPS 002 desa Suka Damai memiliki 474 pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), dimana jumlah yang ikut memilih sebanyak 334 pemilih dan yang tidak ikut memilih sebanyak 140 pemilih. Selanjutnya peneliti mengadakan proses wawancara dengan responden yang tidak ikut memilih atau yang tidak terlibat dalam partisipasi politik pada pemilihan presiden 7 Juli 2014 sebanyak 20 responden sebagai sampel. Peneliti mewawancarai para responden yang berhubungan dengan proses dan kegiatan pemilu. Ketika peneliti bertanya tentang apakah responden pernah mengikuti kegiatan
176
kampanye, mereka menjawab bahwa selama proses kampanye, tidak pernah ada kegiatan kampanye dan otomatis mereka tidak ikut berkampanye. Grafik. 6.13 Persentase yang memilih dan tidak memilih yang memilih
yang tidak memilih
30%
70%
Disamping itu, selama waktu kampanye tidak pernah ada tim sukses yang mengajak mereka untuk memilih calon tertentu apalagi mereka harus terlibat langsung sebagai tim sukses pasangan tertentu. Kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu terhadap pentingnya arti sebuah demokrasi juga mempengaruhi kurang pedulinya masyarakat Labangka khususnya masyarakat Suka Damai terhadap arti sebuah demokrasi yang pada akhirnya berujung pada tidak adanya pilihan masyarakat. Selanjutnya peneliti menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat Suka Damai sebagai berikut: 1. Bertepatan dengan panen jagung Faktor terbesar yang menyebabkan rendahnya tingkat partisispasi politik masyarakat Suka Damai adalah karena pada waktu pemilihan umum masyarakat Suka Damai masih sibuk dengan panen jagung. Pada umumnya pada bulan Juli tahun lalu masyarakata Suka Damai masih dalam proses panen jagung. Mereka sibuk dengan segala kegiatan yang berhubungan dengan urusan jagung mereka sehingga mereka tidak mau menyempatkan waktu mereka untuk memilih. Hal ini terjadi
juga disebabkan karena mereka
tidakmempunyai pilihan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. 177
Ketika peneliti mewawancarai para responden, mereka menjawab bahwa ketika proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun lalu mereka masih sibuk dengan urusan panen jagung sehingga mengakibatkan mereka tidak bisa mengikuti proses pemilu. Dari 20 responden yang diwawancarai, terdapat 13 responden atau 55% yang menjawab bahwa mereka tidak bisa mengikuti partisipasi politik atau memilih. 2. Pulang kampung Kemudian selanjutnya alasan kedua terbanyak yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarkat Suka Maju adalah karena mereka pulang kampung.Pada bulan Juli tahun lalu, ada beberapa masyarakat yang sedang pulang kampung. Mereka pulang kampung untuk silaturrahmi atau karena alasan-alasan lain. Disamping itu, ada juga sebagian dari mereka yang sudah selesai panen jagung sehingga mereka pulang untuk beberapa waktu.Jumlah masyarakat yang tidak memilih karena alasan pulang kampung sebanyak 20%. 3. Tidak ada di tempat Tidak ada di tempat merupakan faktor lain yang menyebabkan rendahnya tingkat pemilih masyarakat desa Suka Damai. Dari data nama pemilih yang terdaftar dalam DPT, terdapat beberapa nama yang pemilihnya tidak ada di tempat. Ada beberapa hal yang menyebabkan mereka tidak ada di tempat seperti sekolah atau kuliah di luar Sumbawa, ada yang jadi TKI/TKW, dan penyebab lain. Jumlah masyarakat yang tidak memilih karena faktor tidak ada di tempat sebanyak 15%. 4. Data lama muncul lagi Hal lain yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat Suka Damai adalah karena data lama muncul lagi. Data lama yang muncul sebenarnya sudah dihapus oleh anggota PPS tetapi data tersebut masih muncul lagi ketika nama-nama tersebut dikeluarkan oleh KPU.Nama-nama yang muncul disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena perkawinan, sudah pindah domisili, dan lain-lain.Jumlah masyarakat yang tidak memilih karena alasan ini sebanyak 10%. 178
Grafik 6.14 Persentase yang tidak memilih
bertepatan dengan panen jagung
10% 15%
pulang kampung 55%
20%
tidak ada di tempat
Selanjutnya, peneliti juga mewawancarai sebanyak 10 responden yang ikut memilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 7 Juli 2014 tahun lalu.Hal ini dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui motivasi masyarakat Labangka kenapa mereka mau mengikuti pemilihan presiden dan wakilpresiden.Berdasarkan jawaban para responden, selanjutnya peneliti memafarkan beberapa jawaban para responden. Dari jawaban responden, ada dua alasan utama yang menyebabkan mereka termotivasi untuk memilih yaitu karena kesadaran sendiri dank arena mereka mempunyai pilihan bahkan mereka menyebutkan nama pilihan mereka ketika mereka memilh pada tahun lalu. Berdasarkan hasil dari jawaban-jawaban yang disamapaikan oleh para responden pada tiap-tiapdesa dimana pada tiap-tiap desa diambil satu TPS sebagai sampel untuk mewakili keseluruhan masyarakat kecamatan Labangka.Dari jawababanjawaban para responden, selanjutnya dapat dikatagorikan ke dalam 5 bentuk jawaban dengan persentase responden dan persentase jawaban yang berbeda. Adapun jawaban masyarakat yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat adalah: masa pemilu Bertepatan dengan waktu panen jagung, pulang kampung, tidak ada di tempat, jarak TPS cukup jauh dengan pemukiman, data lama muncul lagi, serta ada juga yang menjawab karena alasan lain seperti cuek dengan pemilu.
179
Pada desa Jaya Makmur, terdapat empat jawaban responden dengan jawaban dan pesentase yang berbeda yaitu karena Bertepatan dengan panen jagung, pulang kampung, jarak TPS cukup jauh dengan pemukiman, dan tidak ada di tempat. Adapun jumlah responden yang menjawab karena alasan Bertepatan dengan panen jagung sebanyak 13 responden atau 65%, pulang kampung sebanyak 4 responden atau 20%, tidak ada di tempat sebanyak 2 responden atau 10%, dan data lama muncu lagi sebanyak 5%. Selanjtnya desa Labangka dengan jumlah TPS sebanyak 5 TPS dan adapun yang menjadi sampel adalah TPS 005 dengan jumlah pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap sebanyak 509 pemilih dengan jumlah yang ikut terlibat dalam partisipasi politik sebanyak 341 pemilih dan jumlah yang tidak memilih sebanyak 168 pemilih. Dari 168 jumlah responden, mereka menjawab dengan alasan yang berbeda dengan persentase yang berbeda pula. Adapun jawaban terbanyak adalah karena pemilihan umum Bertepatan dengan masa panen dengan jumlah responden sebanyak 60%, kemudian jawaban kedua terbanyak adalah karena tidak ada di tempat dengan persentase 18%, jarak TPS cukup jauh dengan pemukiman sebanyak 15%, dan karena data lama muncul lagi sebanyak 7%. Desa selanjutnya adalah desa Suka Mulya dengan jumlah DPT sebanyak 413 pemilih dimana jumlah yang memilih sebanyak 269 pemilih atau 65% dan jumlah yang tidak memilih sebanyak 144 pemilih atau 35%. Adapun jawaban masyarakat desa Suka Mulya dengan persentse yang terbanyak adalah karena pemilu Bertepatan dengan masa panen jagung dengan persentase 60%, tidak ada di tempat sebanyak 20%, jarak TPS cukup jauh dengan pemukiman sebanyak 10%, dan karena alasan data lama muncul lagi sebanyak 10%. Desa berikutnya adalah desa Sekokat dan yang dijadikan sampel adalah TPS 002 dengan jumlah DPT sebanyak
328 dimana yang terlibat dalam partsipasi politik
sebanyak 223 pemilih atau 67,99%, dan yang tidak memilih sebanyak 32,01%. Dari jumlah responden yang dijadikan sampel, jawaban terbanyak adalah karena pemilihan Bertepatan dengan waktu panen sebanyak 65%, selanjutnya disusul oleh jawaban kedua
180
terbanyak yaitu karena tidak ada di tempat sebanyak 15%, kemudian data lama muncul lagi sebanyak 10%, dan karena alasan lain sebanyak 10%. Desa terakhir adalah desa Suka Damai. Adapun jumlah TPS yang terdapat di desa Suka Damai adalah sebanyak 3 TPS dan yang dijadikan sampel adalah TPS 002.Jumlah pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap pada TPS 3 sebanyak 474 pemilih.Adapun yang ikut memilih sebanyak 334 pemilih dan yang tidak memilih sebanyak 140 pemilih. Berdasarkan jawaban para responden, dapat digambarkan bahwa alasan yang paling banyak kenapa mereka tidak memilih adalah karena pemilihan umum Bertepatan dengan masa panen jagung sebanyak 11 responden atau 55%, kemudian karena pulang kampung sebanyak 20%, tidak ada di tempat sebanyak 15%, dan karena data lama muncul lagi sebanyak 10%
milu, dan malas.
E. Kesimpulan Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat Labangka pada pemilihan presiden dan wakil presiden dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu, tidak adanya kegiatan kampanye, tidak adanya tim sukses, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan pemilu. Selama proses kampanye yang berlangsung dari tanggal 5 Juni sampai dengan tanggal 5 Juli tidak pernah ada kegiatan kampanye baik kampanye terbuka maupun kegiatan tertutup. Dengan tidak adanya kegiatan kampanye mengakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap calon presiden dan calon wakil presiden, disamping itu masyarakat juga tidak bisa mengetahui visi dan misi para calon yang bermuara pada tidak adanya pilihan masyarakat. Tidak adanya tim sukses yang bisa mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon tertentu juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat Labangka. Kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu seperti KPU, PPK, dan PPS juga merupakan faktor penting yang bisa mempengaruhi arti pentingnya sebuah demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu otomatis mengakibatkan dampak negatif terhadap pentingnya 181
sebuah demokrasi. Selama proses menjelang pemilu dan pada waktu masa kampanye, tidak pernah ada sosialisai yang dilakukan oleh pihak penyelenggara terhadap masyarakat Labangka. Selanjutnya, dari hasil pengumpulan data yang kemudiah diolah kemudian peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi politik masyarakat Labangka disebabkan oleh 6 faktor: 1. Pemilihan Bertepatan dengan masa panen jagung 61% 2. Tidak ada di tempat 14,50% 3. Data lama muncul lagi 9,50% 4. Pulang kampung 8% 5. Jarak TPS cukup jauh dengan pemukiman 5% 6. Alasan lain 2% Berdasarkan temuan di atas, penelitian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Pemuktahiran data 2. Peningkatan kuantitas dan kualitas sosialisai 3. Adanya kordinasi intensif dengan seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari KPU, PPK, hingga PPS 4. KPU juga harus mendorong partai politik untuk melakukan pendidikan politik di masyarakat
182
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan, (2002), Menjadi Peneliti Kualitatif, CV. Pustaka Setia, Bandung http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31378/4/Chapter%20I.pdf http://www.academia.edu/8746334/Resume_Memahami_Ilmu_Politik_oleh_Ramlan_Surbakti http://blog.umy.ac.id/stratasatu/2012/06/25/pengertian-partisipasi-politik/ http://www.rumahpemilu.org/in/read/7448/Menguatkan-Penyelenggaraan-Pilkada-Langsungoleh-Ferry-Kurnia-Rizkiyansyah Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi HTN FH UI, Jakarta, hlm.27-28. Nazir, Mohammad. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 tahun 2014 Tentang kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden Rush, Michael dan Althoff.Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit PT Rajawali.Jakarta 1989 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10 Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia. Hal 140 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
183
BAB VII Partisipasi Pemilih: Studi Kasus Di Kecamatan Maluk dan Sekongkong, Kabupaten Sumbawa Barat Khairuddin * Aliatullah * Fahroni * Denny Saputra * Supriadi A. Pengantar Pemilihan umum merupakan salah satu sarana demokrasi dan bentuk perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin mulai dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dalam implementasinya di Indonesia dikenal 3 pemilihan umum, yaitu pemilihan umum, pemilihan umum presiden dan pemilihan umum kepala daerah. Istilah pemilihan umum merujuk pada pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk mewakili rakyatpada lembaga perwakilan rakyat pada berbagai tingkatan seperti dewan perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan daerah (DPD), Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan pemilu presiden dan wakil presiden merujuk pada pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden. Adapaun pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) merujuk pada pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi (gubernur dan wakil gubernur) dan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Penyelenggaraan
pemilu
untuk
memilih
anggota
DPR,
DPD
dan
DPRD
diselenggarakan secara bersamaan. Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik dan peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Sedangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Peserta pemilu presiden dan wakil presiden adalah pasangan calon yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Adapun Pemilukada diselenggarakan setelah pelaksanaan pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan peserta dari pasangan calon
yang
dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik ataupun pasangan calon perseorangan yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang. Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri 184
atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, KPU sebagai salah satu penyelenggara pemilihan umum, menggalang partisipasi penduduk atau warga negara yang memenuhi syarat dalam memilih pemimpin dan wakilnya dalam setiap pemilu. Partisipasi warga negara ini merupakan salah satu indikator legitimasi rakyat terhadap kekuasaan politik yang terbentuk. Warga negara yang memenuhi syarat didaftar dalam daftar pemilih yang dapat memberikan suaranya pada hari pemungutan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Penggalangan partisipasi warga negara untuk memilih telah menjadi bagian yang sangat penting dalam pemilu. Ini terlihat tegas dalam tahapan penyusunan daftar pemilih yang diselenggarakan KPU. Partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di TPS merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang legitimasi politik terhadap pemimpin maupun wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingannya secara demokratis di dalam melahirkan kebijakan publik. Semakin tinggi angka partisipasi pemilih berarti semakin tinggi tingkat legitimasi rakyat terhadap pemimpin atau wakil mereka yang duduk di lembaga pemerintahan. Sebaliknya, semakin rendah partisipasi politik pemilih berarti semakin rendah legitimasi yang diberikan. Partisipasi pemilih ini biasanya diukur dengan persentase kehadiran warga negara yang terdaftar dalam daftar pemilih dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara atau yang biasa disebut dengan voter turn out. Oleh karena itu, semakin tinggi persentase voter turn-out, maka semakin tinggi juga tingkat keberhasilan pemilihan umum yang berarti bahwa semakin tinggi pula legitimasi calon pemimpin/wakil rakyat dalam menduduki jabatan politik pada lembaga pemerintahan. Namun demikian, tingkat partisipasi pemilih tidak berpengaruh terhadap keabsahan hasil Pemilu. Ini berarti bahwa berapapun tingkat partisipasi pemilih, hasil pemilu tetap sah. Persoalannya semata terletak pada legitimasi terhadap wakil rakyat atau pemimpin terpilih
185
yang dapat dipersepsikan bahwa tingkat partisipasi rendah berarti wakil rakyat/pemimpin terpilih tidak mempunyai legitimasi yang kuat dalam membentuk pemerintahan, melahirkan kebijakan publik dan menjalankan program pembangunan. Di Kabupaten Sumbawa Barat, voter turn-out dalam momentum pemilihan umum dalam 5 tahun terakhir ini menunjukkan angka persentase yang fluktuatif. Data yang tersedia di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumbawa Barat (KPU KSB) menunjukkan bahwa fluktuasi angka persentase voter turn-out tersebut mencapai interval 4-10% dalam berbagai momentum pemilihan umum 5 tahun terakhir ini sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 7.1 berikut. Grafik 7.1 Fluktuasi Partisipasi Pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009-2014 82,18%
84,00%
80,77%
82,00% 80,00% 78,00%
75,23% 73,38%
76,00%
72,05%
71,36%
74,00% 72,00% 70,00% 68,00% 66,00% 64,00% Pemilu Legislatif 2009
Pemilu Presiden 2009
Pemilukada Pemilukada KSB 2010 NTB 2013
Pemilu Legislatif 2014
Pemilu Presiden 2014
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2009-2014 Fenomena yang sama juga terjadi pada partisipasi pemilih pada tingkat kecamatan. Grafik 7.2 berikut ini menunjukkan angka persentase partisipasi pemilih di 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat.
186
Grafik 7.2 Perkembangan Partisipasi Pemilih 8 Kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009-2014
100,00% 90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%
Seteluk Poto Tano Brang Rea Brang Ene Taliwang Jereweh Maluk Sekongkang KSB
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2009-2014 Dari Grafik 7.2 di atas menujukkan fluktuasi angka partisipasi pemilih pada 8 kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat dalam 6 pemilu sepanjang 5 tahun terakhir. Data di atas menunjukkan adanya konsisten tentang peringkat partisipasi pada 2 (dua) kecamatan yang mempunyai kecenderungan (trend) selalu berada di bawah angka partisipasi Kabupaten Sumbawa Barat dalam setiap pemilu yaitu pada Kecamatan Maluk dan Kecamatan Sekongkang. Partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dalam 6 pemilu sepanjang 5 tahun terakhir ini tidak pernah melebihi angka 63,88% dengan konsisten berada pada peringkat 8 atau psosisi peeringkat terakhir di antara 8 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat. Fenomena yang hampir sama terjadi di Kecamatan Sekongkang. Dalam 6 pemilu sepanjang 5 tahun terakhir ini, partisipasi pemilih Kecamatan Sekongkang konsisten berada pada peringkat 7 dari 8 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sumbawa 187
Barat, kecuali pada Pemilukada Tahun 2010 mengalami angka partisipasi lebih tinggi 0,40% dari angka partisipasi Kabupaten Sumbawa Barat. Secara lebih spesipik, Grafik 7.3 berikut ini menunjukkan perbandingan angka partisipasi pemilih Kecamatan Maluk dan Kecamatan Sekongkang dibandingkan angka partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat. Grafik 7.3 Perbandingan Partisipasi Pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang dengan Partisipasi Pemilih Tingkat Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009-2014
90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00%
Maluk
20,00%
Sekongkang
10,00%
KSB
0,00%
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2009-2014 Fenomena ini menarik untuk dikaji secara mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adanya konsistensi data tentang rendahnya partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Kecamatan Sekongkang dalam 5 tahun terakhir ini. Dugaan sementara terhadap fenomena tersebut terkait dengan keberadaan 2 kecamatan tersebut yang bersentuhan langsung dengan aktivitas operasional 188
pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). Kecamatan Maluk merupakan wilayah terpadat penduduknya di Kabupaten Sumbawa Barat. Kepadatan penduduk Kecamatan maluk mencapai 135 jiwa per km 2. Sedangkan Kecamatan Sekongkang merupakan wilayah yang terjarang penduduknya di Kabupaten Sumbawa Barat. Kepadatan penduduk Kecamatan Sekongkang hanya 23 jiwa per km2 (BPS, 2014). Kedua Kecamatan ini merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Jereweh pasca berlangsungnya aktivitas operasional PTNNT. Sebagian besar penduduk Kecamatan Maluk dan Sekongkang adalah penduduk pendatang. Aktivitas operasional PTNNT telah menjadi daya tarik bagi sebagian orang untuk datang mencari kerja, berbisnis dan menetap di Kecamatan Maluk. Sedangkan Kecamatan Sekongkang, sebagian besar penduduknya merupakan pendatang dari program transmigrasi dan pendatang karena daya tarik aktivitas operasional PTNNT. Meskipun penduduk kedua kecamatan ini masih kental dengan corak agraris, namun sentuhan langsung dengan aktivitas operasional PTNNT telah menyebabkan perubahan sosial dan karakter masyarakat yang mendekati karakter masyarakat urban yang mempunyai kecenderungan apatis terhadap perubahan sosial melalui pemilihan umum. Rendahnya partisipasi pemilih sebagai salah satu bentuk perilaku, tentu tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Barangkali ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi yang harus dikaji secara teoritik dan empirik. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang partisipasi pemilih di daerah lingkar tambang PTNNT khususnya di Kecamatan Maluk dan Sekongkang. Ada 3 alasan yang mendasari penelitian ini diselenggarakan. Pertama karena partisipasi pemilih sangat penting artinya dalam pemberian legitimasi pemerintahan yang terbentuk pasac pemilu; Kedua, partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang selalu lebih rendah dibandingkan angka partisipasi Kabupaten Sumbawa Barat; Ketiga karena penelitian tentang partisipasi pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat khususnya di kecamatan Maluk dan Sekongkang belum pernah dilakukan sehingga 189
sangat diperlukan adanya penelitian ini untuk mengungkapkan permasalahan yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih. Dari pemikiran di atas, penelitian ini mengajukan dua rumusan maslah, yakni; 1)
Bagaimana tingkat partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang? 2) Faktorfaktor apakah yang mendukung dan menghambat partisipasi pemilih di Kecamatan maluk dan Sekongkang? B. Tinjauan Teoritis B.1. Penelitian Terdahulu Kajian tentang pemilihan umum dari aspek partisipasi pemilih masih menjadi tema yang menarik untuk diteliti. Partisipasi menjadi tema yang menarik minat banyak peneliti karena karena memiliki arti penting dalam memberikan legitimasi terhadap pemerintahan. a.
Penelitian Doni Hendrik (2009) Doni Hendrik melakukan penelitian dengan judul “Variabel-variabel yang
Mempengaruhi Rendahnnya Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Padang Tahun 2008”. Penelitian ini berusaha mengungkapkan pengaruh kesadaran politik warga, sosialisasi Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) dan situasi hari pemungutan suara terhadap rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah di Kota Padang Tahun 2008. Hasil penelitian dimuat dalam Jurnal Demokrasi Volume IX Nomor 2 Tahun 2010 dengan temuan bahwa variabel yang menyebabkan rendahnya partisipasi politik masyarakat kota Padang dalam Pilkada Kota Padang tahun 2008 disebabkan kurangnya sosialisasi dan cendrung lemahnya kesadaran politik warga kota Padang. Sementara situasi pada hari H menunjukkan situasi yang biasa-biasa saja/baik-baik saja. Hal ini berarti bahwa variabel situasi dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap rendahnya tingkat partisipasi. Walapun demikian, data deskriptif juga menujukkan alasan lain ketidak- ikutan masyarakat dalam pilkada ini disebabkan oleh alasan-alasan lain. Peneliti kemudian melaukan pendalaman melalui wawancara kaultatif. Setelah didalami lebih lanjut melalui wawancara dengan pertanyaan terbuka, maka alasan lain-lain yang dimaksud responden 190
ialah oleh karena beberapa alasan yang pada umumnya terpola karena alasan: tidak dososialisasikan, karena tidak terdaftar dalam DPT, serta tidak mau peduli dengan Pilkada. Hal ini menunjukkan, bahwa persoalan rendahnya partisipasi yang muncul tersebut disebabkan oleh masalah-masalah yang serupa dari data kuantitatif deskriptif sebelumnya, dimana pada dasarnya berhubungan dengan rendahnya kinerja KPUD dan Pemerintah daerah, sosialisasi politik dan penyadaran politik, serta proses pembuatan DPT yang mengalami berbagai permasalahan. Hal ini membuat banyak masyarakat yang tidak tercantum dalam DPT Pilkada Kota Padang Tahun 2008. Berdasarkan hasil analisis data yang ada disimpulkan bahwa rendahnya sosialiasasi politik merupakan variabel yang kuantitas pelaksanaanya terkecil dilakukan oleh KPUD kota Padang. Sementara keasadaran politik, merupakan variabel yang berada pada posisi sedang tetapi cendrung mendekati lemah. Sementara variabel situasi politik merupakan variabel yang berada pada taraf yang sedang yang tidak memiliki pengaruh terhadap rendahnya partisipasi politik. Dengan demikian, maka variabel sosialisasi politik yang rendah merupakan variabel yang menyebabkan rendahya partisipasi politik masyarakat dalam pilkada kota Padang tahun 2008. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan usaha peningkatan partisipasi dengan jalan meningkatkan kesadaran politik warga, meningkatkan sosialisasi KPU dan pemerintah, serta memperbaiki situasi dan keadaan kearah yang lebih baik sehingga masyarakat memiliki kepedulian atau keasadaran serta tidak memuncul sikap apatis terhadap proses-proses politik. b.
Penelitian Martini Tarigan (2009) Martini Tarigan menyoroti masalah partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan
Kepala Daerah di Kabupaten Temanggung Tahun 2008. Penelitian dengan metode survey tipe eksplanatori ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat Temanggung dalam pilkada. Teknik pengambilan sampel menggunakan sample acak 2 cabang yang menggabungkan sistem acak dan sistem acak proporsional. Adapun jumlah responden 191
adalah 243 orang yang tersebar di 20 kecamatan se-Kabupaten Temanggung. Dengan menggunakan analisa kualitatif dan deskriptif kuantitatif meliputi tabel frekuensi, tabel silang, korelasi produk momen dengan taraf kepercayaan 95 dan 99%, dan regresi linier berganda. Berdasarkan hasil olah data menunjukkan bahwa dari keempat variabel yaitu partisipasi politik (Y), popularitas calon (X1), status sosial ekonomi (X2) dan kondisi sosial politik (X3), variabel popularitas calon dan variabel kondisi sosial politik menunjukkan adanya korelasi dengan partisipasi politik. Sedangkan variable status sosial ekonomi menunjukkan tidak ada hubungan positif terhadap partisipasi politik. Sedangkan berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa hanya popularitas calon yang mempunyai hubungan positif dengan partisipasi politik, sedangkan variabel status sosial ekonomi dan kondisi sosial politik mempunyai hubungan negatif dengan partisipasi politik. c.
Vivaldi E. C. Lasut (2014) Vivaldi Lasut melakukan penelitian dengan judul “Partisipasi Politik Pemilih pemula pada
Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Kecamatan Tomohon Utara Kota Tomohon”. Penelitian kualitatif bertipe deskriptif ini mengkaji bentuk-bentuk partisipasi politik Pemilih Pemula di Kecamatan Tomohon Utara dalam rangka pemilihan umum legislatif 2014. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh pemilih pemula di Kecamatan Tomohon Utara dalam rangka pemilihan umum legislatif 2014 yang pertama adalah berbicara atau berdiskusi tentang masalah dan fenomena-fenomena politik menjelang pemilu legislatif melalui forum-forum informal yaitu diskusi dengan teman-teman pada saat kumpul-kumpul, dan yang kedua adalah pemberian suara pada saat hari pemungutan suara dengan antusiasme untuk datang ke TPS memberikan hak suaranya. Sebagian besar pemilih pemula di Kecamatan Tomohon Utara tidak dapat mengikuti kegiatan kampanye terbuka karena kegiatan kampanye dari caloncalon anggota legislatif berbenturan dengan jam sekolah yang merupakan prioritas utama bagi pemilih pemula yang masih duduk di bangku SMA. 192
Faktor yang mendorong pemilih pemula di Kecamatan Tomohon Utara untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemilu adalah rasa ingin tahu yang besar dari dalam diri pemilih pemula karena ini merupakan pemilu pertama bagi mereka dan idealisme kaum muda yakni kesadaran politik yang ditunjukan pemilih pemula karena ingin berpartisipasi membawa perubahan bagi bangsa dengan cara memberikan hak suara pada pemilu legislatif 2014. Adapun faktor yang menjadi penghambat partisipasi politik pemilih pemula di Kecamatan Tomohon Utara adalah kegiatan sehari-hari yaitu ke sekolah dan kuliah kemudian pengaruh dari pihak keluarga berupa larangan untuk mengikuti kegiatan politik karena anggapan dari keluarga bahwa pemilih pemula yang masih usia sekolah harus fokus pada kegiatan belajar. B.2. Perihal Pemilihan Umum Indonesia sebagai salah satu negara penganut demokrasi modern, wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu). Mengacu pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, untuk melaksakan kedaulatan rakyat tersebut diselenggarakan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam perkembangan sistem politik di Indonesia dikenal 3 pemilu, yaitu: 1). Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota; 2). Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden; dan 3). Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik dan peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Sedangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Peserta pemilu presiden dan wakil presiden adalah pasangan calon yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Adapun Pemilukada
193
diselenggarakan setelah pelaksanaan pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan peserta dari pasangan calon yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). KPU bertugas menyelenggarakan pemilu dan Bawaslu bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu. Untuk menyelenggarakan pemilu di tingkat provinsi dibentuk KPU provinsi dan pengawasannya diselenggarakan oleh Bawaslu provinsi. Untuk untuk menyelanggarakan pemilu di tingkat kabupaten/kota dibentuk KPU kabupaten/kota, sedangkan pengawasannya diselenggarakan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi. Dalam perjalanan sejarah pemilu untuk memilih wakil rakyat, pemilu di Indonesia diselenggarakan dengan sistem proporsional. Sebelum Pemilu Tahun 2004, pemilu diselenggarakan dengan sistem proporsional tertutup. Artinya partai politik peserta pemilu menawarkan daftar calon yang diajukan, pemilih cukup memilih partai. Alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada. Namun sejak pemilu 2004, pemilu diselenggarakan dengan sistem proporsional terbuka dimana partai politik menawarkan calon Kecuali untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD dapat dipandang sebagai metode mentransfer kedaulatan yang ada di tangan rakyat yang diwujudkan dalam sejumlah suara ke dalam sejumlah kursi pada lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan pemilihan umum untuk memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota merupakan pemberian mandat secara langsung dari rakyat dengan dasar jumlah suara yang diperoleh secara mayoritas untuk menentukan kepada siapa mandat rakyat diberikan. Syamsuddin Haris (1998) menyebutkan bahwa salah satu fungsi pemilu adalah sebagai sarana legitimasi politik. Pemilu merupakan kebutuhan dalam pembentukan pemerintahan. Keabsahan pemerintahan yang terbentuk sangat ditentukan oleh sejauh mana partisipasi rakyat dalam pemilu. Partai poltik peserta pemilu, selain menawarkan calon-calonnya, juga menawarkan kebijakan dan program kerja yang akan dijalankan jika
194
membentuk pemerintahan. Semakin tinggi suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu diartikan sebagai tingginya legitimasi rakyat terhadap partai politik tersebut dalam pembentukan pemerintahan dan kebijakan publik yang akan dijalankan. Fungsi-fungsi lain pemilu di antaranya: 1.
Fungsi Perwakilan Politik Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, sebagai mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya untuk duduk dalam pemerintahan maupun dalam lembaga legislatif. Tidak ada demokrasi tanpa representasi.
2.
Sebagai Mekanisme Sirkulasi Elite Politik Fungsi ini didasarkan pada asumsi bahwa elite politik berasal dari rakyat dan bertugas mewakili rakyat. Pemilu menjadi sarana bagi warga negara untuk mencapai posisi Elite Politik. Dan untuk mencapai posisi elite politik bisa ditempuh dengan persaingan politik yang adil, obyektif, terbuka, dan bermartabat.
3. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Rakyat Pemilu merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa mencerdaskan masyarakat tentang demokrasi. B.3. Konseptualisasi Partisipasi Pemilih Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa pemilu merupakan sarana legitimasi politik. Semakin tinggi partisipasi rakyat dalam pemilu yang diukur dengan tingkat kehadirannya dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara (vooter turn-out), maka semakin tinggi juga kepercayaan rakyat terhadap pembentukan pemerintahan dan kebijakan/program-program pembangunan yang direncanakan. Tingginya kepercayaan rakyat mencerminkan tingginya legitimasi pemerintahan. Maka disinilah letak urgensitas dari partisipasi pemilih dalam pemilu. 195
1. Partisipasi Ramlah Surbakti (1992) mengatakan bahwa partisipasi adalah salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Adapun Mikkelsen (1999) menawarkan arti partisipasi secera sederhana sebagai bentuk keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri. Sementara itu, Miriam Budiardjo (2008) mengatakan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct action-nya dan sebagainya. Partisipasi mempunyai berbagai manfaat. Sondang Siagian (2002) menyebutkan 5 manfaat partisipasi di antaranya: 1.
Turut memikirkan nasib sendiri dengan memanfaatkan lembaga-lembaga sosial dan politik yang ada di masyarakat sebagai saluran aspirasi.
2.
Mewujudkan adanya kesadaran bermasyarakat dan bernegara yang tinggi dengan tidak menyerahkan penentuan nasib sendiri kepada orang lain, seperti kepada pimpinan, tokoh masyarakat yang ada, baik yang sifatnya formal maupun informal.
3.
Memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang bertanggungjawab.
4.
Ketaatan kepada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
196
5.
Kerelaan merupakan pengorbanan yang dituntut oleh pembangunan demi kepentingan bersama yang lebih luas dan lebih penting.
Berdasarkan berbagai pendapat pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi rakyat dalam politik memberikan pengaruh yang penting bagi arah pemerintahan dan pembangunan nasional dan daerah. 2. Pemilih Memberikan suara dalam pemilihan umum merupakan salah satu hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun demikian, tidak semua warga negara berhak menjadi pemilih. Hanya warga negara yang memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu dapat didaftarkan sebagai pemilih. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilih didefinisikan sebagai Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Definisi yang agak berbeda disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 disebutkan bahwa pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan. Kedua definisi tersebut, meskipun berbeda, namun dalam implementasinya mempunyai persamaan dalam proses penentuan warga negara maupun penduduk untuk didaftarkan menjadi pemilih. Untuk dapat memilih pada hari pemungutan suara, warga negara atau penduduk didaftarkan, diumumkan dan divalidasi namanya oleh Komisi Penyuluhan Umum dan perangkat di bawahnya sesuai dengan jadwal tahapan yang telah ditentukan. Pada pemilu Tahun 2014 lalu, proses pendaftaran pemilih lebih teliti dan ada kelonggaran bagi warga negara atau penduduk yang tidak terdaftar dapat didaftarkan langsung pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan identitas kependudukan yang sah kepada 197
petugas di tempat pemungutan suara. Prosedur ini memberikan jaminan bahwa warga negara atau penduduk yang memenuhi syarat terpenuhi hak konstitusionalnya untuk dapat memberikan suaranya pada hari pemungutan suara. 3. Partisipasi Pemilih Salah satu bentuk partisipasi politik warga negara adalah partisipasi atau keikutsertaannya dalam memberikan suara dalam pemungutan suara di tempat pemungutan suara. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan partisipasi pemilih disini adalah keikutsertaan warga negara atau penduduk yang telah terdaftar dalam daftar pemilih pada hari pemungutan suara di tempat pemungutan suara yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Partisipasi pemilih dalam memberikan memberikan suaranya di tempat pemungutan suara sangat berpengaruh terhadap legitimasi pemerintahan yang terbentuk. Disinilah letak pentingnya partisipasi pemilih bagi arah pembangunan nasional dan daerah. Oleh karena itu, penelitian tentang partisipasi pemilih perlu diselenggarakan secara rutin pasca pemungutan suara guna memperoleh kesimpulan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi pemilih. Dengan mengetahui ragam faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi dan kebijakan yang antisipatif untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu selanjutnya di masa yang akan datang. B.4. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Pemilih Ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan pemilih untuk datang memberikan suaranya dalam pemungutan suara. Miriam Budiardjo (2008) mengatakan bahwa anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik seperti pemilu terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang
198
mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek politik (political efficacy). Sementara itu, Maran (2007) menyebutkan bahwa faktor utama yang mendorong orang berpartisipasi politik antara lain: 1) Perangsang politik adalah suatu dorongan terhadap seorang pemilih agar mau berpatisipasi dalam kehidupan politik. Perangsang politik dipengaruhi oleh kegiatan kegiatan diskusi politik, pengaruh media massa, diskusidiskusi formal dan informal. 2) Karakteristik pribadi seseorang adalah watak sosial seorang pemilih yang mempunyai kepedulian sosial yang besar terhadap masalah sosial, politik, ekonomi, dan hankam, yang biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik. 3) Karakteristik sosial adalah status sosial, ekonomi, kelompok ras, etnis, dan agama seseorang yang akan mempengaruhi persepsi, sikap, perilaku seseorang dalam aktivitas. 4) Situasi atau lingkungan politik adalah keadaan lingkungan sosial sekitar seorang pemilih yang baik dan kondusif agar seorang pemilih mau dengan senang hati berpartisipasi dalam aktivitas politik. 5) Pendidikan politik adalah upaya pemerintah untuk merubah warga Negara agar dapat memiliki kesadaran politik dengan terlibat dalam aktivitas politik. Adapun Doni Hendrik (2010) berdasarkan pendapat beberapa ahli mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan orang mau atau tidak mau ikut berpartisipasi dalam politik antara lain: 1) Status sosial dan ekonomi Status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan status ekonomi ialah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang memiliki status sosial yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik.
199
2) Situasi Menurut
Ramlan
Surbakti,
situasi politik juga dipengaruhi oleh keadaan yang
mempengaruhi aktor secara langsung seperti cuaca, keluarga, kehadiran orang lain, keadaan ruang, suasana kelompok, dan ancaman (Surbakti, 1992). 3) Afiliasi politik orang tua Afiliasi berarti tergabung dalam suatu kelompok atau kumpulan. Afiliasi politik dapat dirumuskan sebagai keanggotaan atau kerjasama yang dilakukan individu atau kelompok yang terlibat ke dalam aliran-aliran politik tertentu. Afiliasi politik mendorong tumbuhnya kesadaran dan kedewasaan menggunakan melakukan
hak
berbagai
politiknya aktifitas
secara bebas
dan
politik
masyarakat
untuk
bertanggungjawab
dalam
politik, seperti ikut dalam partai politik dalam
pemerintahan, ikut dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan politik (Marbun, 1996). 4) Pengalaman berorganisasi Organisasi merupakan suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat atau bisa diartikan sebagai suatu prilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang- orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama (Simangunsong, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Ibnu Kencana (1997) partisipasi politik merupakan penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam sikap pertanggung jawaban bersama baik dalam situasi politik yang melibatkan dukungan. 5) Kesadaran politik Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang menyangkut tentang pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup.
200
6) Kepercayaan terhadap pemerintah Kepercayaan terhadap pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak, baik dalam pembuatan kebijakan-kebijakan atau pelaksanaan pemerintahan. 7) Perangsang partisipasi melalui sosialisasi media massa dan diskusi-diskusi informal. Adapun Bismar Arianto (2010) melakukan analisis tentang penyebab masyarakat tidak memilih dalam Pemilu Tahun 2009. Hasil analisis mengungkapkan bahwa penyebab pemilih tidak memilih dalam pemilu karena 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor teknis dan pekerjaan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor administrasi, sosialisasi dan politik. 1) Faktor Teknis Faktor teknis terkait dengan kendala teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa ditolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat ditolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi. Pemilih yang tidak hadir di TPS karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan 201
kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula. 2) Faktor Pekerjaan Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih.Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen). Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurangnya penghasilan atau pergi bekerja dan tidak memilih. 3) Faktor Administratif Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Di antaranya tidak 202
terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat. Pemilih yang tidak hadir di TPS yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus ditempel di tempattempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS karena alasan administratif. 4) Sosialisasi Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW. 203
Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era Orde Baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selain memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana pemilih tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai. Kondisi ini menuntut pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan meminimalisir angka jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS. 5) Faktor Politik Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat 204
sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi. Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya dibandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis dalam struktur partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik. Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti ini secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik. Dari beberapa pendapat di atas, penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan menemukan faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum di masa yang akan datang. Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih memberikan suaranya di tempat pemungutan suara meliputi:
205
1) Faktor Internal Pemilih yaitu faktor yang berasal dari dorongan dari dalam diri pemilih. Faktor ini meliputi: persepsi politik, hambatan fisik dan pertimbangan ekonomi. Persepsi politik terkait dengan cara pandang pribadi seorang pemilih misalnya karena pengaruh paham politik yang diyakininya. Pengalaman dan pengetahuan tentang pemilu sebagai sarana demokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang melayani rakyat, kepercayaan terhadap kejujuran lembaga penyelenggara pemilu, dan kepercayaan terhadap peserta pemilu baik partai politik maupun calon yang diusungnya membentuk persepsi yang mempengaruhi pemilih untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Hambatan fisik yang dialami pemilih pada saat Pemilu juga turut mempengaruhi partisipasinya dalam pemilu. Pemilih yang sedang sakit tertentu akan memilih beristirahat di rumah sakit untuk mendapat perawatan medis. Begitupula halnya dengan pemilih yang sedang berada jauh dari wilayah pemilihannya karena suatu keperluan akan lebih memilih bertahan ketimbang memutuskan untuk pulang hanya untuk memberikan suaranya dalam pemilu. Para penghuni lembaga pemasyarakatan yang telah telah terdaftar di dalam daftar pemilih di tempat asalnya, tentu tidak memungkinkan bagi mereka untuk turut memberikan suara di alamat asalnya. Sedangkan pertimbangan ekonomi misalnya alasan pekerjaan. Ada orang-orang tertentu yang menganggap memilih hanya membuang-buang waktu dan memilih untuk bekerja yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi kebutuhan pribadi dan keluarganya. 2) Faktor Eksternal Pemilih yaitu faktor yang berasal dari luar diri pemilih. Faktor ini meliputi faktor teknis dan pengaruh yang keras dari lingkungan organisasi terutama lingkungan kerja dan instruksi organisasi massa yang menjadi preferensi pemilih. Faktor teknis adalah faktor yang terkait langsung dengan teknis penyelenggaraan Pemilu seperti data pemilih, undangan untuk memilih, cara memilih, waktu dan tempat memilih. Keberadaan nama seorang di dalam daftar pemilih mempengaruhi kehadirannya di tempat pemungutan suara untuk memilih. Keberadaan surat 206
undangan memilih yang diedarkan oleh KPPS, dengan kondisi pengetahuan tentang pemilu yang terbatas, mereka yang tidak menerima surat undangan memilih dari KPPS menganggap diri tidak berhak hadir di TPS. Begitupula halnya dengan mereka yang terbatas menerima informasi tentang teknis memberikan suara bisa mempengaruhi kehadiran mereka di TPS. Faktor eksternal lainnya adalah pengaruh kelompok referensi dari pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih. Kelompok keagamaan tertentu memahami pemilu sebagai bentuk demokrasi yang diharamkan. Kelompok keagamaan sejenis itu tidak jarang juga mengelola suatu usaha sebagai sumber pembiayaan organisasinya. Sejalan dengan pemahaman tentang demokrasi yang demikian terimplementasi dalam bentuk pemberian instruksi kepada pengikutnya untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilu. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih ini sebagaimana digambarkan pada Gambar dibawah ini. Gambar 7.4 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Pemilih
207
C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Fokus penelitian ini adalah partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang yaitu angka kehadiran pemilih dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara dalam 5 tahun terakhir sejak Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 sampai dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. Adapun penjabaran fokus penelitian ini meliputi: 1) Angka partisipasi pemilih yaitu angka kehadiran pemilih dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara dalam 5 tahun terakhir sejak Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 sampai dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara yaitu faktor dorongan dari dalam diri pemilih maupun dukungan/hambatan dari luar yang mempengaruhi keikutsertaan pemilih untuk memberikan suaranya di tempat pemungutan suara pada waktu yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Selanjutnya faktor-faktor tersebut akan diuraikan dalam berbagai pertanyaan dalam instrumen penelitian, meliputi: a) Pengaruh persepsi politik; b) Pengaruh hambatan fisik; c)
Pengaruh pertimbangan ekonomi;
d) Pengaruh kesiapan teknis; e) Pengaruh lingkungan organisasi; dan f)
Pengaruh terpaan informasi/sosialisasi pemilu.
Penelitian ini diselenggarakan di Kecamatan Maluk dan Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pertimbangan pemilihan lokasi ini karena tingkat partisipasi pemilih dalam 6 pemilihan umum sejak Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2014 secara konsisten selalu rendah dibandingkan dengan 6 kecamatan lainnya di Kabupaten Sumbawa Barat. 208
Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner, wawancara, dan dokumentasi. Penjelasannya sebagai berikut: 1) Kuesioner Sejumlah daftar pertanyaan yang disertai dengan pilihan jawaban yang diajukan oleh peneliti untuk mendapatkan tanggapan responden. Dengan pertimbangan jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 lalu di Kecamatan Maluk dan Sekongkang yang berjumlah 18.263 sebagai populasi maka, daftar pertanyaan dalam kuesioner ini akan ditanyakan kepada 100 responden sebagai sampel yang dipilih secara acak (random sampling). Jumlah sample tersebut akan didistribusikan secara proporsional masing-masing 62 sample di Kecamatan Maluk dan 38 sample di Kecamatan Sekongkang sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini. Tabel 7.5 Distribusi Jumlah Sample No
Kecamatan
Ukuran Populasi
% dalam Populasi
Jumlah Sample Proporsional
1
Maluk
11.262
62%
62
2
Sekongkang
7.001
38%
38
Jumlah
18.263
100%
100
Jumlah 100 responden ditetapkan peneliti mengacu pada Tabel Pengambilan Sample menurut Yamane dengan mempertimbangkan tingkat ketepatan (level precision), tingkat kepercayaan (confidence) dan tingkat keanekaragaman (degree of variability). Menurut Yamane (dalam Sarwono, 2011) bahwa untuk ukuran populasi sampai dengan 20,000 dengan pertimbangan presisi 10% dan tingkat kepercayaan 95% maka dibutuhkan sampel sebanyak 100. 209
2) Wawancara Kegiatan wawancara peneliti lakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kepada 25 informan sebagaimana pada Tabel dibawah ini. Tabel 7.6 Daftar Informan Penelitian No
Informan
Jumlah
1
Komisioner KPU KSB
1 orang
2
Camat
2 orang
3
Kepala Desa
2 orang
4
Mantan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan
2 orang
5
Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan yang masih aktif
2 orang
6
Mantan anggota Panitia Pemungutan Suara
2 orang
7
Anggota Panitia Pemungutan Suara yang masih aktif
2 orang
8
Mantan anggota Panitia Pengawas Kecamatan
2 orang
9
Mantan anggota KPPS
2 orang
10
Pengurus partai politik tingkat kecamatan
5 orang
11
Manager Social Responsibility PTNNT
1 orang
12
Anggota DPRD Terpilih dari Dapil 3 (Sekongkang)
2 orang
Jumlah
25 orang
Diharapkan dengan penggalian informasi melalui wawancara secara mendalam terhadap 25 informan sebagaimana disebut di atas, akan diperoleh data yang valid tentang partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang.
210
3) Dokumentasi Kegiatan dokumentasi peneliti lakukan dengan cara mengumpulkan data dengan melakukan pencatatan pada sumber-sumber data yang ada meliputi dokumen Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara, Laporan Periodik Penyelenggaraan Pemilihan Umum, memo, dan arsip-arsip lain yang berkaitan dengan angka partisipasi pemilih dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data Model Interaktif. Hal ini dilakukan karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang mengutamakan proses daripada hasil. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini bersifat tentatif, sehingga selalu merupakan proses yang interaktif dan terus-menerus. Oleh karena itu peneliti mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari hasil wawancara yang dilakukan, catatan laporan, serta dokumen yang ada. Menurut Miles dan Huberman (1992) tahapan analisis dalam penelitian kualitatif terdiri dari 3 (tiga) tahapan pokok yaitu: 1) Reduksi Data Data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumen yang tersedia dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan tersebut oleh peneliti direduksi, dirangkum, dipilah-pilah, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data dilakukan terus-menerus selama proses penelitian berlangsung. 2) Penyajian Data Penyajian data atau display data dimaksudkan agar memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. 3) Penarikan Kesimpulan/verifikasi Verifikasi data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara terus-menenis sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari setiap 211
data yang diperoleh yaitu mencari pola, tema, hubungan yang sama, hal-hal yang sering dan yang jarang muncul, hipotesis serta hal lainnya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif. Dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi yang terus-menerus tersebut, maka diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded. Adapaun komponen analisis data tersebut oleh Miles dan Huberman (1992) disebut sebagai model interaktif yang dapat digambarkan dalam Gambar sebagai berikut. Gambar 7.7 Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/verifikasi
Sumber: Miles dan Huberman (1992) Lebih lanjut dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), bahwa: “Ketiga hal utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis”. D. Hasil Penelitian D.1. Sketsa Kabupaten Sumbawa Barat Kabupaten Sumbawa Barat merupakan satu kabupaten di wilayah administratif Provinsi Nusa Tenggara Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Sumbawa yang disahkan pembentukannya berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003. Kabupaten Sumbawa 212
Barat mempunyai luas 184.902 ha, dengan ketinggian antara 0-1.730 meter di atas permukaan laut, memiliki 16 pulau kecil. Secara geografis Kabupaten Sumbawa Barat terletak antara 08 o 29’ dan 9o 07’ lintang selatan dan antara 116o 42’ - 117o 05’ bujur timur, dibatasi oleh Selat Alas di sebelah barat, Samudra Indonesia di bagian selatan dan Kabupaten Sumbawa di sebelah utara dan timur. Secara administratif pada Tahun 2013 Kabupaten Sumbawa Barat terdiri dari 8 kecamatan dan 64 desa/kelurahan. Masing-masing kecamatan mempunyai luas yang berbeda-beda seperti tertera pada Tabel dibawah ini. Tabel 7.8 Jumlah, Persentase Luas dan Jumlah Desa masing-masing Kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2013 Kecamatan 1. Sekongkang
Luas (ha)
Persentase Luas (persen)
Jumlah Desa/Kelurahan
372,42
20,14
7
92,42
5,00
5
3. Jereweh
260,19
14,07
4
4. Taliwang
375,93
20,33
15
5. Brang Rea
212,07
11,47
9
6. Brang Ene
140,90
7,62
6
7. Seteluk
236,21
12,77
10
8. Poto Tano
158,88
8,59
8
1. 849,02
100,00
64
2. Maluk
Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014. Secara klimatologi, rata-rata hari hujan di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2013 berada dalam rentang 8,00-15,67 hari dengan curah hujan mencapai 126,3 mm sampai 213
dengan 218,2 mm setiap bulannya dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 802 mm. Rata-rata lama penyinaran sinar matahari pada Tahun 2013 mencapai 77,5 persen dengan rata-rata kecepatan angin 5,1 knots. Secara topografi, Kabupaten Sumbawa Barat mempunyai permukaan bumi yang beragam, mulai dari datar, bergelombang curam sampai sangat curam dengan ketinggian berkisar antara 0 hingga 1.730 m di atas permukaan laut, meliputi: datar seluas 21.822 hektar (11,80 persen), bergelombang seluas 16.369 hektar (8,85 persen), curam seluas 53.609 hektar (28,99 persen), dan sangat curam seluas 93.102 hektar (50,35 persen). Ketinggian untuk kota-kota kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat berkisar antara 10 sampai 650 m di atas permukaan laut. Topografi yang semakin datar sebagian besar digunakan untuk kegiatan pertanian dan lokasi permukiman, sedang topografi yang semakin curam hingga sangat curam merupakan kawasan hutan yang berfungsi untuk melindungi kawasan sekitarnya yang lebih rendah (BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014). Sebagai daerah otonom yang menyelenggarakan roda pemerintahan dan pelayanan publik, sejak terbentuk pada Tahun 2003 Kabupaten Sumbawa Barat telah mengalami 3 periode pemerintahan, yaitu: 1. Tahun 2003-2005, Pemerintahan yang dipimpin Drs. A. Wahab Yasin, MM (Penjabat Bupati); 2. Tahun 2005-2015, Pemerintahan yang dipimpin Bupati DR. KH. Zulkifli Muhadli, SH, MM dan Wakil Bupati Drs. H. Mala Rahman (selama 2 periode). Dengan demikian, saat ini Kabupaten Sumbawa Barat dipimpin oleh seorang bupati dan seorang wakil bupati hasil pemilihan kepala daerah langsung pada 22 Juni 2005 dan 26 April 2010 berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Unsur penyelenggara pemerintahan lainnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kabupaten Sumbawa Barat telah mengalami 3 periode DPRD yaitu:
214
1. DPRD Periode 2004-2009 dengan Ketua Drs. Manimbang Kahariadi, anggota berjumlah 20 orang hasil Pemilu Tahun 2004; 2. DPRD Periode 2009-2014 dengan Ketua H.M Syafii, anggota berjumlah 25 orang hasil Pemilu Tahun 2009; dan 3. DPRD Periode 2014-2019 dengan Ketua Muhammad Nasir, ST, MM, anggota berjumlah 25 orang hasil Pemilu Tahun 2014. Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat pada Tahun 2013 berjumlah 121.167 jiwa dengan komposisi jumlah perempuan 59.814 jiwa dan laki-laki 61.353 jiwa. Penduduk Sumbawa Barat mengalami perkembangan rata-rata 2,16 persen per tahun yaitu dari 118.608 jiwa pada Tahun 2012 dan menjadi 121.167 jiwa pada Tahun 2013. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penduduk yang lahir dan yang mati, serta penduduk yang datang dan pergi dari kabupaten tersebut. Gambaran tentang komposisi penduduk 8 kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat dapat dilihat pada dibawah ini. Tabel 7.9 Jumlah dan Distribusi Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2014 Laki-laki
Perempuan
Penduduk
Kepadatan
(jiwa)
(jiwa)
(jiwa)
(jiwa/km2)
No
Kecamatan
1
Sekongkang
4.386
4.229
8.615
23
2
Maluk
6.512
6.004
12.516
124
3
Jereweh
4.402
4.429
8.831
34
4
Taliwang
23.373
23.132
46.505
135
5
Brang Rea
6.748
6.446
13.194
62
6
Brang Ene
2.723
2.565
5.379
38
7
Seteluk
8.227
8.059
16.286
69
8
Poto Tano
4.982
4.859
9.841
62
61.353
59.814
12.1167
66
Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014. 215
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)58 memperlihatkan bahwa penduduk Kabupaten Sumbawa Barat tergolong dalam kriteria menengah bawah, pendidikan (Angka Melek Hurup dan Rata-rata Lama Sekolah) tergolong dalam kriteria menengah atas, dan pendapatan (Paritas Daya Beli) tergolong dalam kriteria menengah bawah. Oleh karena itu, IPM Kabupaten Sumbawa Barat pada Tahun 2004 secara umum tergolong dalam kriteria menengah bawah. Tabel 4.3 berikut ini menggambarkan perbandingan IPM Kabupaten Sumbawa Barat dengan kabupaten/kota lain di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tabel 7.10 Perbandingan Index Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten/Kota Lain di Propinsi NTB Tahun 2014 No
Kabupaten/ Kota
Angka Harapan Hidup
Pendidikan
Paritas Daya Beli
(0–100)
Peringkat IPM
IPM
1.
Lombok Barat
61,71
6,10
630,13
63,19
8
2.
Lombok Tengah
61,96
6,19
632,97
62,57
9
3.
Lombok Timur
61,88
6,91
628,09
64,91
7
4.
Mataram
67,62
9,68
650,09
73,70
1
5.
Sumbawa Barat
61,61
8,02
632,76
67,85
3
6.
Sumbawa
60,93
7,64
638,03
67,23
5
7.
Dompu
61,26
7,97
645,50
67,58
4
8.
Lombok Utara
61,32
5,61
618,65
61,37
10
9.
Bima
63,55
7,59
621,52
66,52
6
10.
Kota Bima
63,22
10,22
622,00
69,83
2
62,73
7,19
645,72
66,89
-
11.
Propinsi NTB
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang dikembangkan United Nation for Development Programme (UNDP) untuk mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan manusia dari berbagai bidang, meliputi: kesehatan (Angka Harapan Hidup). 58
216
Data di atas memberikan informasi bahwa kualitas sumberdaya manusia Kabupaten Sumbawa Barat yang ditunjukkan oleh nilai IPM, berada di atas rata-rata Propinsi NTB dan menempati peringkat ke-3, namun nilai IPM tersebut masih tergolong dalam kriteria menengah bawah59. Apabila dilihat secara parsial, hanya indeks pendidikan yang berada di atas rata-rata Propinsi NTB, sedang angka harapan hidup dan paritas daya beli masih berada di bawah rata-rata Propinsi NTB. Keadaan tersebut menuntut perlunya percepatan pembangunan bidang kesehatan dan ekonomi, serta juga pendidikan agar segera dapat dihasilkan sumberdaya pembangunan yang semakin berkualitas. Struktur ekonomi Kabupaten Sumbawa Barat tercermin dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam tiga tahun terakhir masih didominasi oleh sektor primer, yaitu sektor pertanian dan pertambangan, sedang kontribusi sektor ekonomi lainnya terhadap PDRB sangat kecil. PDRB Kabupaten Sumbawa Barat atas dasar harga berlaku pada Tahun 2013 sebesar Rp. 10.035.568.820.000 dan Tahun 2012 sebesar Rp. 9.342.335.600.000, sehingga terjadi peningkatan sebesar 7,42 persen. Dari total nilai PDRB tersebut, kontribusi sektor primer terhadap PDRB Tahun 2012 sebesar 91,71 persen (meliputi pertanian dalam arti luas 3,72 persen dan pertambangan 87,99 persen) dan Tahun 2013 sebesar 91,17 persen (meliputi pertanian dalam arti luas 3,69 persen dan pertambangan 87,48 persen), sedang kontribusi sektor sekunder dan tersier pada Tahun 2012 sebesar 8,29 persen dan tahun 2013 hanya 8,83 persen. PDRB perkapita Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2013 sebesar Rp. 79.623.385. PDRB perkapita ini menunjukkan besaran PDRB dibagi jumlah penduduk. PDRB perkapita ini tidak mutlak menunjukkan rata-rata pendapatan yang diterima penduduk Kabupaten Sumbawa Barat mengingat adanya transfer out atau pendapatan yang dibawa keluar kabupaten Sumbawa Barat oleh pemilik faktor produksi (terjadi kebocoran wilayah), terutama pada subsektor pertambangan non migas sangat besar (BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014). 59
Keterangan: kriteria tinggi apabila IPM 80,0 – 100,0; menengah atas apabila IPM 66,0 – 79,9; menengah bawah apabila IPM 50,0 – 65,9; dan kriteria rendah apabila IPM < 50,0).
217
Dari uraian tersebut, diperkirakan sampai 20 tahun ke depan, struktur ekonomi Kabupaten Sumbawa Barat masih akan didominasi oleh sektor primer, yaitu pertanian dalam arti luas dan pertambangan. Sektor sekunder, yang terdiri dari: lapangan usaha industri pengolahan (manufaktur), lapangan usaha listrik, gas dan air minum, dan lapangan usaha konstruksi diperkirakan berkembang sangat lambat, bahkan cenderung stagnan. Sektor tersier juga berkembang lambat, karena kontribusi terbesar diperoleh dari lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran serta lapangan usaha pengangkutan dan komunikasi. Lapangan usaha Bank dan lapangan usaha jasa-jasa sangat kecil kontribusinya kepada PDRB di Kabupaten Sumbawa Barat. D.2. Sketsa Kecamatan Maluk & Kecamatan Sekongkong Kecamatan Maluk merupakan salah satu dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat. Dengan luas wilayah mencapai 92,42 km2. Kecamatan Maluk terdiri dari 5 desa desa yaitu Maluk, Benete, Bukit Damai, Mantun dan Pasir Putih. Dilihat dari letak geografisnya di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Sekongkang, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jereweh di sebelah barat berbatasan dengan Selat Alas dan berbatasan dengan Kecamatan Jereweh di sebelah timur. Pada Tahun 2013 Kecamatan Maluk mempunyai penduduk sebesar 12.516 jiwa yang terdiri dari 6.512 laki-laki dan 6.004 perempuan. dengan demikian sex ratio penduduk Kecamatan Maluk 108. Dengan penduduk 12.516 jiwa dan luas wilayah Kecamatan Maluk 92,42 km2, maka kepadatan penduduk mencapai 135 jiwa/km2. Kecamatan Maluk tergolong sebagai kecamatan dengan penduduk terpadat di Kabupaten Sumbawa Barat (BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014). Kecamatan Sekongkang merupakan salah satu dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat. Wilayah Kecamatan Sekongkang 372,42 km 2 terdiri dari 8 desa yaitu Sekongkang Bawah, Sekongkang Atas, Tongo, Ai Kangkung, Tatar, Talonang Baru, Kemuning dan Unit Pemukiman Terpadu (UPT) Tongo II SP2. Terletak di ujung selatan Kabupaten Sumbawa Barat, berbatasan langsung dengan Kecamatan Lunyuk Kabupaten Sumbawa di sebelah timur dan Samudra Indonesia di sebelah selatan. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Selatan Alas dan di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Maluk dan Kecamatan Jereweh. 218
Pada Tahun 2013 Kecamatan Sekongkang mempunyai sebanyak 8.615 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 4.386 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 4.229 jiwa dengan perbandingan jumlah berdasarkan jenis kelamin (sex ratio) 104. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak 4 persen dibandingkan penduduk perempuan di Kecamatan Sekongkang. Dengan penduduk 8.615 jiwa dan luas wilayah Kecamatan Sekongkang 372,42 km2, maka kepadatan penduduk mencapai 23 jiwa/km2. Kecamatan Sekongkang tergolong sebagai kecamatan dengan penduduk terjarang di Kabupaten Sumbawa Barat (BPS Kabupaten Sumbawa Barat, 2014). D.3. Partisipasi Pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat D.3.1.Partisipasi Pemilih Tingkat Kabupaten Sumbawa Barat Sebagaimana telah diuraikan pada Bab Pendahuluan bahwa partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat dalam pemilu sepanjang 5 tahun terakhir ini menunjukkan angka partisipasi yang fluktuatif. Data yang tersedia di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumbawa Barat (KPU KSB) menunjukkan bahwa fluktuasi angka partisipasi tersebut berkisar antara 4 sampai 10 persen dalam berbagai peristiwa pemilihan umum 5 tahun terakhir ini sebagaimana ditunjukkan pada Grafik dibawah ini. Grafik 7.11 Fluktuasi Partisipasi Pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009-2014 82,18%
84,00%
80,77%
82,00% 80,00% 78,00%
75,23% 73,38%
76,00%
71,36%
74,00%
72,05%
72,00% 70,00% 68,00% 66,00% 64,00% Pemilu Legislatif 2009
Pemilu Presiden 2009
Pemilukada Pemilukada Pemilu KSB 2010 NTB 2013 Legislatif 2014
Pemilu Presiden 2014
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2009-2014 219
Adapun gambaran jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT, jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilih, dan angka partisipasi pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat dalam 5 tahun terakhir ini sebagai berikut: 1. Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kabupaten Sumbawa Barat dalam Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 (Pemilu Legislatif 2009) mencapai 79.788 orang yang terdiri dari 40.692 laki-laki atau 51,00 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 39.096 perempuan atau 49,00 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 60.024 pemilih yang diri dari 30.798 laki-laki atau 38,60 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 29.226 perempuan atau 36,67 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai 75,23 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a) Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT berjumlah 40.692 pemilih, sebanyak 30.798 atau sebesar 75,69 persen dari jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b) Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 39.096 pemilih, sebanyak 29.226 atau sebesar 74,75 persen dari jumlah yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. c) Dengan demikian, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi 0,93 persen dibandingkan partisipasi perempuan dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kabupaten Sumbawa Barat. Secara rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini
220
Tabel 7.12 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009 Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Menggunakan Hak Pilih
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
40.692
30.798
38,60%
75,69%
Perempuan
39.096
29.226
36,63%
74,75%
Jumlah
79.788
60.024
75,23%
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD pada Pemilu Tahun 2009 2.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kabupaten Sumbawa Barat dalam
Pemilu Presiden Tahun 2009 mencapai 82.710 orang yang terdiri dari 41.983 laki-laki atau 50,76 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 40.727 perempuan atau 49,24 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden Tahun 2009 ini bertambah sebanyak 2.922 pemilih atau mengalami penambahan sebesar 3,66 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2009. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 59.024 pemilih yang diri dari 30.308 laki-laki atau 36,64 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 28.716 perempuan atau 34,72 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai 71,36 persen. 221
Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 1. Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 41.983 pemilih,
sebanyak 30.308 atau sebesar 367,64 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. 2. Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 40.727 pemilih, sebanyak 28.716 atau sebesar 34,72 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi 1,68 persen dibandingkan partisipasi perempuan dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Sumbawa Barat. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini. Tabel 7.13 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
41.983
30.308
36,64%
72,19%
Perempuan
40.727
28.716
34,72%
70,51%
Jumlah
82.710
59.024
71,36%
Sumber:
Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
222
3. Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kabupaten Sumbawa Barat dalam Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 (Pemilukada KSB 2010) mencapai 40.284 orang yang terdiri dari 40.284 laki-laki atau 49,29 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 341.439 perempuan atau 50,71 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada KSB 2010 ini berkurang sebanyak 987 pemilih atau mengalami pengurangan sebesar 1,19 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden Tahun 2009. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 66.007 pemilih yang diri dari 33.463 laki-laki atau 40,95 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 32.544 perempuan atau 39,82 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilukada KSB 2010 mencapai 80,77 persen. Adapun perbandingan
angka
partisipasi pemilih
laki-laki dibandingkan
perempuan sebagai berikut: 1. Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 40.284 pemilih,
sebanyak 333.463 atau sebesar 83,07 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. 2. Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 41.439 pemilih, sebanyak 32.544 atau sebesar 78,53 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi 4,53 persen dibandingkan partisipasi perempuan dalam Pemilukada KSB 2010. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel di bawah.
223
Tabel 7.14 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilukada KSB 2010 Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
40.284
33.463
40,95%
83,07%
Perempuan
41.439
32.544
39,82%
78,53%
Jumlah
81.723
66.007
80,77%
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 4. Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Tahun 2013 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kabupaten Sumbawa Barat dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Tahun 2013 (Pemilukada NTB 2013) mencapai 92.403 orang yang terdiri dari 45.038 laki-laki atau 48,74 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 47.365 perempuan atau 51,26 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada NTB 2013 ini bertambah sebanyak 10.680 pemilih atau mengalami pertambahan sebesar 13,07 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada KSB 2010. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 67.809 pemilih yang diri dari 33.172 laki-laki atau 35,90 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 34.637 perempuan atau 37,48 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilukada NTB 2013 di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai 73,38 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut:
224
a) Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 45.038 pemilih,
sebanyak 33.172 atau sebesar 73,65 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b) Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 47.365 pemilih, sebanyak 34.637 atau sebesar 73,13 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi 0,53 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilukada NTB 2013 di Kabupaten Sumbawa Barat . Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini Tabel 7.15 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilukada NTB 2013 Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
45.038
33.172
35,90%
73,65%
Perempuan
47.365
34.637
37,48%
73,13%
Jumlah
92.403
67.809
73,38%
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur NTB Tahun 2013 5. Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kabupaten Sumbawa Barat dalam Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 (Pemilu Legislatif 2014) mencapai 92.552 orang yang terdiri dari 46.103 laki-laki atau 49,81 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam 225
DPT dan 46.449 perempuan atau 50,19 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 ini bertambah sebanyak 149 pemilih atau mengalami pertambahan sebesar 0,16 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada NTB 2013. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 76.057 pemilih yang diri dari 37.625 laki-laki atau 40,65 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 38.432 perempuan atau 41,52 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai 82,18 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a) Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 46.103 pemilih,
sebanyak 37.625 atau sebesar 81,61 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b) Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 46.449 pemilih, sebanyak 38.432 atau sebesar 82,74 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 1,13 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Sumbawa Barat . Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini.
226
Tabel 7.16 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014 Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
46.103
37.625
40,65%
81,61%
Perempuan
46.449
38.432
41,52%
82,74%
Jumlah
92.552
76.057
82,18%
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD pada Pemilu Tahun 2014 6. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kabupaten Sumbawa Barat dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 mencapai 92.531 orang yang terdiri dari 46.057 laki-laki atau 49,77 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 46.474 perempuan atau 50,23 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 ini berkurang sebanyak 21 pemilih atau mengalami pengurangan sebesar 0,02 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2014. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 66.668 pemilih yang diri dari 32.690 laki-laki atau 35,33 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 33.978 perempuan atau 36,72 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai 72,05 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 227
a) Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 46.057 pemilih,
sebanyak 32.690 atau sebesar 70,98 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b) Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 46.474 pemilih, sebanyak 33.978 atau sebesar 73,11 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 2,13 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kabupaten Sumbawa Barat . Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini Tabel 7.17 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
46.057
32.690
35,33%
70,98%
Perempuan
46.474
33.978
36,72%
73,11%
Jumlah
92.531
66.668
72,05%
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Dari berbagai uraian yang dipaparkan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik antara lain: 1) Angka partisipasi pemilih dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kabupaten Sumbawa Barat senantiasa mengalami fluktuasi; 228
2) Partisipasi perempuan dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kabupaten Sumbawa Barat
senantiasa lebih rendah
dibandingkan partisipasi laki-laki kecuali dalam 2 pemilu terakhir Tahun 2014. D.3.2. Partisipasi Pemilih di Kecamatan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat Sebagaimana partisipasi pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat, partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk pun mengalami fluktuasi dari berbagai momentum Pemilu sejak Tahun 2009 sampai 2014. Grafik 7.18 Fluktuasi Partisipasi Pemilih di Kecamatan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009-2014
90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%
75,23% 56,54%
82,18%
80,77%
73,38%
71,36% 56,95%
72,05%
63,88% 55,52% 45,58%
41,90%
Pemilu Legislatif 2009
Pemilu Presiden 2009
Pemilukada Pemilukada KSB 2010 NTB 2013
Kecamatan Maluk
Pemilu Legislatif 2014
Pemilu Presiden 2014
KSB
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2009-2014 Dari Grafik di atas diketahui bahwa angka partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk selalu lebih rendah dari angka partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat. Dalam 5 tahun terakhir, angka partisipasi tertinggi pemilih di Kecamatan Maluk mencapai 63,88 persen yaitu pada Pemilu KSB Tahun 2010. Sedangkan angka partisipasi terendah 41,90 persen yaitu pada Pemilukada NTB Tahun 2013.
229
Adapun gambaran jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT, jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilih, dan angka partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dalam 5 tahun terakhir ini sebagai berikut: 1.
Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kecamatan Maluk
dalam Pemilu Legislatif 2009 (Pemilu Legislatif 2009) mencapai 8.316 orang yang terdiri dari 4.708 laki-laki atau 56,61 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 3.608 perempuan atau 43,39 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.702 pemilih yang diri dari 2.567 laki-laki atau 30,87 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.135 perempuan atau 25,67 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kecamatan Maluk mencapai 56,54 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT berjumlah 4.708 pemilih, sebanyak 2.567 atau sebesar 54,52 persen dari jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya.
b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 3.608 pemilih, sebanyak 2.135 atau sebesar 59,17 persen dari jumlah yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 4,65 persen dibandingkan
partisipasi laki-laki dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kecamatan Maluk. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini.
230
Tabel 7.19 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kecamatan Maluk Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan Hak Pilih
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
4.708
2.567
30,87 persen
54,52 persen
Perempuan
3.608
2.135
25,67 persen
59,17 persen
Jumlah
8.316
4.702
56,54 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD pada Pemilu Tahun 2009 2.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Maluk dalam Pemilu Presiden
Tahun 2009 mencapai 8.913 orang yang terdiri dari 4.708 laki-laki atau 56,41 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 3.608 perempuan atau 43,59 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden Tahun 2009 ini bertambah sebanyak 597 pemilih atau mengalami penambahan sebesar 7,18 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2009. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 5.076 pemilih yang diri dari 2.776 laki-laki atau 31,15 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.300 perempuan atau 25,81 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 di Kecamatan Maluk mencapai 56,95 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 231
1. Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 5,028 pemilih,
sebanyak 2,776 atau sebesar 55,21 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. 2. Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 3.885 pemilih, sebanyak 2,300 atau sebesar 59,20 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 3,99 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 di Kecamatan Maluk. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 7.20 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kecamatan Maluk Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan Hak Pilih
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
5.028
2.776
31,15 persen
55,21 persen
Perempuan
3.885
2.300
25,81 persen
59,20 persen
Jumlah
8.913
5.076
56,95 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
232
3.
Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Maluk dalam Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 (Pemilukada KSB 2010) mencapai 8.680 orang yang terdiri dari 4.867 laki-laki atau 56,07 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 3.813 perempuan atau 43,93 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada KSB 2010 ini berkurang sebanyak 233 pemilih atau mengalami pengurangan sebesar 2,61 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden Tahun 2009. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 5,545 pemilih yang diri dari 3,032 laki-laki atau 34,93 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.513 perempuan atau 28,95 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilukada KSB 2010 di Kecamatan Maluk mencapai 63, 88 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 1. Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 4.867 pemilih,
sebanyak 3.032 atau sebesar 62,30 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. 2. Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 3.813 pemilih, sebanyak 2,513 atau sebesar 65,91 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 3,61 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilukada KSB 2010 di Kecamatan Maluk. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini
233
Tabel 7.21 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilukada KSB 2010 di Kecamatan Maluk Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
4.867
3.032
34,93 persen
62,30 persen
Perempuan
3.813
2.513
28,95 persen
65,91 persen
Jumlah
8.680
5.545
63,88 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 4.
Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Tahun 2013 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Maluk dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Tahun 2013 (Pemilukada NTB 2013) mencapai 10,865 orang yang terdiri dari 6,041 laki-laki atau 55,60 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 4.824 perempuan atau 44,40 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada NTB 2013 ini bertambah sebanyak 2.185 pemilih atau mengalami pertambahan sebesar 25,17 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada KSB 2010. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.552 pemilih yang diri dari 2.369 laki-laki atau 21,80 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.183 perempuan atau 20,09 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilukada NTB 2013 di Kecamatan Maluk mencapai 41,90 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 234
a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 6,041 pemilih,
sebanyak 2.369 atau sebesar 39,22 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 4.824 pemilih, sebanyak 2,183 atau sebesar 45,25 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 6,04 persen dibandingkan
partisipasi laki-laki dalam Pemilukada NTB 2013 di Kecamatan Maluk. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 7.22 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilukada NTB 2013 di Kecamatan Maluk Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan Hak Pilih
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
6.041
2.369
21,80 persen
39,22 persen
Perempuan
4.824
2.183
20,09 persen
45,25 persen
10.865
4.552
41,90 persen
Jumlah
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur NTB Tahun 2013 5.
Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Maluk dalam Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 (Pemilu Legislatif 2014) mencapai 11,359 orang yang terdiri dari 6.306 laki-laki atau 55,52 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan
235
5.053 perempuan atau 44,48 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pe Pemilu Legislatif 2014 ini bertambah sebanyak 494 pemilih atau mengalami pertambahan sebesar 4,55 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada NTB 2013. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 6.306 pemilih yang diri dari 3.320 laki-laki atau 29,23 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.986 perempuan atau 26,29 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kecamatan Maluk mencapai 55,52 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 1. Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 6.306 pemilih,
sebanyak 3.320 atau sebesar 52,65 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. 2. Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 5.053 pemilih, sebanyak 2.986 atau sebesar 59,06 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 6,45 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kecamatan Maluk. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
236
Tabel 7.23 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kecamatan Maluk Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
6.306
3.320
29,23 persen
52,65 persen
Perempuan
5.053
2.986
26,29 persen
59,09 persen
11.359
6.306
55,52 persen
Jumlah
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD pada Pemilu Tahun 2014 6.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Maluk dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 mencapai 11,262 orang yang terdiri dari 6.237 laki-laki atau 55,38 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 5.025 perempuan atau 44,62 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 ini berkurang sebanyak 97 pemilih atau mengalami pengurangan sebesar 0,85 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 5.133 pemilih yang diri dari 2.662 laki-laki atau 23,64 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.471 perempuan atau 21,94 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kecamatan Maluk mencapai 45,58 persen.Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut:
237
a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 6.237 pemilih,
sebanyak 2.662 atau sebesar 42,68 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 5.025 pemilih, sebanyak 2.471 atau sebesar 49,17 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 6,49 persen
dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kecamatan Maluk. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 7.24 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kecamatan Maluk Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
6.237
2.662
23,64 persen
42,68 persen
Perempuan
5.025
2.471
21,94 persen
49,17 persen
11.262
5.133
45,58 persen
Jumlah
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014
238
Dari berbagai uraian yang dipaparkan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik antara lain: 1) Angka partisipasi pemilih dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Maluk senantiasa lebih rendah dari angka partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat; 2) Angka partisipasi pemilih dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Maluk senantiasa mengalami fluktuasi; 3) Partisipasi perempuan dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Maluk senantiasa lebih tinggi dibandingkan partisipasi laki-laki. D.3.3. Partisipasi Pemilih di Kecamatan Sekongkang Sebagaimana partisipasi pemilih di Kabupaten Sumbawa Barat, partisipasi pemilih di Kecamatan Sekongkang pun mengalami fluktuasi dari berbagai momentum Pemilu sejak Tahun 2009 sampai 2014. Grafik 7.25 Fluktuasi Partisipasi Pemilih di Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009-2014
100,00% 80,00%
75,23% 61,54%
60,00%
81,17% 71,36% 60,89%
40,00%
82,18% 73,38% 72,05% 72,60% 71,09% 59,32%
80,77%
20,00% 0,00% Pemilu Legislatif 2009
Pemilu Presiden 2009
Pemilukada KSB 2010
Sekongkang
Pemilukada NTB 2013
Pemilu Legislatif 2014
Pemilu Presiden 2014
KSB
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2009-2014 239
Dari Grafik di atas diketahui bahwa angka partisipasi pemilih di Kecamatan Sekongkang mempunyai kecenderungan selalu lebih rendah dari angka partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat kecuali pada Pemilukada KSB Tahun 2010. Dalam 5 tahun terakhir, angka partisipasi tertinggi pemilih di Kecamatan Sekongkang mencapai 81,17 persen yaitu pada Pemilukada KSB Tahun 2010. Sedangkan angka partisipasi terendah 59,32 persen yaitu pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. Adapun gambaran jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT, jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilih, dan angka partisipasi pemilih di Kecamatan Sekongkang dalam 5 tahun terakhir ini sebagai berikut: 1. Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kecamatan Sekongkang dalam Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 (Pemilu Legislatif 2009) mencapai 6.508 orang yang terdiri dari 4.165 laki-laki atau 64,00 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 2.343 perempuan atau 36,00 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.005 pemilih yang diri dari 2.218 laki-laki atau 34,08 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 1.787 perempuan atau 27,46 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kecamatan Sekongkang mencapai 61,54 persen. Perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 4.165 pemilih,
sebanyak 2.218 atau sebesar 53,25 persen dari jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 2.343 pemilih, sebanyak 1.787 atau sebesar 76,27 persen dari jumlah yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. 240
Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 23,02 persen dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kecamatan Sekongkang. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 7.26 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kecamatan Sekongkang Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
4.165
2.218
34,08 persen
53,25 persen
Perempuan
2.343
1.787
27,46 persen
76,27 persen
Jumlah
6.508
4.005
61,54 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD pada Pemilu Tahun 2009 2.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Sekongkang dalam Pemilu
Presiden Tahun 2009 mencapai 6.838 orang yang terdiri dari 4.393 laki-laki atau 64,24 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 2.445 perempuan atau 35,76 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden Tahun 2009 ini bertambah sebanyak 330 pemilih atau mengalami penambahan sebesar 5,07 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2009. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.164 pemilih yang diri dari 2.506 laki-laki atau 36,65 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 1.658 perempuan atau 24,25 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT 241
yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Presiden Tahun 2009
di Kecamatan
Sekongkang mencapai 60,89 persen. Perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT berjumlah 4.393 pemilih, sebanyak 2.506 atau sebesar 57,05 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya.
b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 2.445 pemilih, sebanyak 1.658 atau sebesar 67,810 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 10,77 persen dibandingkan
partisipasi laki-laki dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 di Kecamatan Sekongkang. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 7.27 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 di Kecamatan Sekongkang Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
4.393
2.506
36,65 persen
57,05 persen
Perempuan
2.445
1.658
24,25 persen
67,81 persen
Jumlah
6.838
4.164
60,89 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
242
3. Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Sekongkang dalam Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 (Pemilukada KSB 2010) mencapai 4.876 orang yang terdiri dari 2.561 laki-laki atau 52,52 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 2.315 perempuan atau 47,48 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada KSB 2010 ini berkurang sebanyak 1.962 pemilih atau mengalami pengurangan sebesar 28,69 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden Tahun 2009. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.876 pemilih yang diri dari 2.561 laki-laki atau 42,27 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.315 perempuan atau 38,90 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilukada KSB 2010 di Kecamatan Sekongkang mencapai 81,17 persen. Angka partisipasi pemilih Kecamatan Sekongkang dalam Pemilukada KSB 2010 ini merupakan angka partisipasi tertinggi sepanjang pemilu yang diselenggarakan sejak Tahun 2009 sampai 2014. Bahkan angka partisipasi ini lebih tinggi 0,4 persen berada di atas angka partisipasi Kabupaten Sumbawa Barat dalam pemilu yang sama yang mencapai 80,77 persen. Adapun perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 2.561 pemilih,
sebanyak 2.061 atau sebesar 80,48 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 2.315 pemilih, sebanyak 1.897 atau sebesar 81,94 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 1,47 persen
dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilukada KSB 2010 di Kecamatan Sekongkang. 243
Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 7.28 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilukada KSB 2010 di Kecamatan Sekongkang Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
2.561
2.061
42,27 persen
80,48 persen
Perempuan
2.315
1.897
38,90 persen
81,94 persen
Jumlah
4.876
3.958
81,17 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 4. Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Tahun 2013 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Sekongkang dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Tahun 2013 (Pemilukada NTB 2013) mencapai 6.011 orang yang terdiri dari 3.071 laki-laki atau 51,09 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 2.940 perempuan atau 48,91 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada NTB 2013 ini bertambah sebanyak 1.135 pemilih atau mengalami pertambahan sebesar 23,28 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada KSB 2010. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.273 pemilih yang diri dari 2.221 laki-laki atau 36,95 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.052 perempuan atau 34,149 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang 244
terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilukada NTB 2013 di Kecamatan Sekongkang mencapai 71,09 persen. Perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 3.071 pemilih,
sebanyak 2.221 atau sebesar 72,32 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 2.940 pemilih, sebanyak 2,052 atau sebesar 69,80 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi pemilih laki-laki lebih tinggi 2,53 persen
dibandingkan partisipasi pemilih perempuan dalam Pemilukada NTB 2013 di Kecamatan Sekongkang. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini. Tabel 7.29 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilukada NTB 2013 di Kecamatan Sekongkang Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
3.071
2.221
36,95 persen
72,32 persen
Perempuan
2.940
2.052
34,14 persen
69,80 persen
Jumlah
6.011
4.273
71,09 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur NTB Tahun 2013
245
5. Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Sekongkang dalam Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 (Pemilu Legislatif 2014) mencapai 6.990 orang yang terdiri dari 3.673 laki-laki atau 52,49 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 3.324 perempuan atau 47,51 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2014 ini bertambah sebanyak 986 pemilih atau mengalami pertambahan sebesar 16,40 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilukada NTB 2013. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 5.080 pemilih yang diri dari 2.606 laki-laki atau 37,20 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.477 perempuan atau 35,40 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kecamatan Sekongkang mencapai 72,60 persen. Perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT
berjumlah 3.673 pemilih,
sebanyak 2.603 atau sebesar 70,87 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 3.324 pemilih, sebanyak 2.477 atau sebesar 74,52 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 3,65 persen
dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kecamatan Sekongkang. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini. 246
Tabel 7.30 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kecamatan Sekongkang Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
3.673
2.603
37,20 persen
70,87 persen
Perempuan
3.324
2.477
35,40 persen
74,52 persen
Jumlah
6.997
5.080
72,60 persen
3,65 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD pada Pemilu Tahun 2014
6. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Sekongkang dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 mencapai 7.001 orang yang terdiri dari 3.668 laki-laki atau 52,39 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan 3.333 perempuan atau 47,61 persen dari total pemilih terdaftar dalam DPT. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 ini berkurang sebanyak 4 pemilih atau mengalami pengurangan sebesar 0,06 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2014. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 4.153 pemilih yang diri dari 2.103 laki-laki atau 30,04 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 2.050 perempuan atau 29,28 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan demikian partisipasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT yang hadir memberikan suaranya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kecamatan Sekongkang mencapai 59,32 persen. Perbandingan angka partisipasi pemilih laki-laki dibandingkan perempuan sebagai berikut: 247
a)
Jumlah pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT berjumlah 3.668 pemilih, sebanyak 2.103 atau sebesar 57,33 persen pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya.
b)
Jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT berjumlah 3.333 pemilih, sebanyak 2.050 atau sebesar 61,51 persen pemilih perempuan yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, angka partisipasi perempuan lebih tinggi 4,17 persen
dibandingkan partisipasi laki-laki dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kecamatan Sekongkang. Secara lebih rinci jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT dan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 7.31 Jumlah DPT dan Angka Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Kecamatan Sekongkang Jumlah DPT Gender
Jumlah DPT
Mengunakan
Partisipasi dari Keseluruhan DPT
Hak Pilih
Partisipasi dari masing-masing DPT
Laki-laki
3.668
2.103
30,04 persen
57,33 persen
Perempuan
3.333
2.050
29,28 persen
61,51 persen
Jumlah
7.001
4.153
59,32 persen
Sumber: Diolah dari Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Dari berbagai uraian yang dipaparkan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik antara lain: 1) Angka partisipasi pemilih dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Sekongkang senantiasa lebih rendah dari angka 248
partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat, kecuali pada Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 yang mencapai 81,17 persen atau lebih tinggi 0,4 persen dibandingkan angka partisipasi Kabupaten Sumbawa Barat dalam pemilu yang sama yang mencapai 80,77 persen. 2) Angka partisipasi pemilih dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Sekongkang senantiasa mengalami fluktuasi; 3) Partisipasi perempuan dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Sekongkang senantiasa lebih tinggi dibandingkan partisipasi laki-laki kecuali pada Pemilukada KSB 2010. D.4. Alasan Pemilih Berpartisipasi dan Tidak Berpartisipasi D.4.1. Alasan Pemilih Berpartisipasi dalam Pemilu Berdasarkan hasil wawancara dengan 100 responden di Kecamatan Maluk dan Sekongkang, sebanyak 48 responden atau 48 persen mengatakan bahwa mereka ikut memberikan suaranya di tempat pemungutan suara (TPS). Ada beragam alasan dari 48 responden tersebut yang melandasi mereka ikut serta memberikan suara sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 7.32 Alasan Pemilih Berpartisipasi dalam Pemilu No
Alasan Pemilih Berpartisipasi dalam Pemilu
F
%
Peringkat
1
Anjuran salah satu calon yang akan dipilih
42
87,50%
1
2
Terdaftar dalam Daftar Pemilih
33
68,75%
2
3
Mendapat Undangan untuk Memilih
32
66,67%
3
4
Anjuran salah satu partai politik
29
60,42%
4
5
Anjuran penyelenggara Pemilu
28
58,33%
5
249
No 6
Alasan Pemilih Berpartisipasi dalam Pemilu
F
%
Peringkat
Percaya dengan Pemilu dapat membuahkan perubahan
6 22
45,83%
7
Anjuran pemerintah
12
25,00%
7
8
Anjuran oleh Perusahaan tempat saya bekerja
11
22,92%
8
9
Anjuran oleh Pimpinan Ormas
8
16,67%
9
Dari tabel di atas diketahui bahwa faktor yang paling dominan mendorong pemilih untuk memberikan suaranya dalam pemilu adalah adanya Anjuran dari Salah Satu Calon yang akan Dipilih dengan persentase 87,50 persen, kemudian disusul dengan alasan Terdaftar dalam Daftar Pemilih dengan persentase 68,75 persen. Alasan berikutnya dengan persentase yang terpaut tipis karena Mendapat Undangan untuk Memilih dengan persentase 66,67 persen. Adapun anjuran partai politik sebagai peserta pemilu dengan persentase 60,42 persen yang menempati peringkat ke-4. Sedangkan anjuran penyelenggara pemilu seperti KPU, PPK, PPS dan KPPS menempati peringkat ke-5 dengan persentase 58,33 persen. Menyusul kemudian alasan karena Percaya dengan Pemilu dapat membuahkan perubahan dengan persentase 45,83 persen pada peringkat ke-6. Pada peringkat ke-7 dengan persentase 25,00 persen karena alasan Anjuran Pemerintah, peringkat ke-8 dengan persentase 22,92 persen karena Anjuran oleh Perusahaan tempat bekerja dan pada peringkat terakhir dengan persentase 16,67 persen karena Anjuran oleh Pimpinan Ormas. Agar lebih jelas peringkat alasan pemilih memberikan suaranya sebagaimana ditampilkan pada Grafik dibawah ini.
250
Grafik 7.33 Alasan Pemilih Ikut Memberikan Suaranya
Anjuran oleh Pimpinan Ormas Anjuran oleh Perusahaan tempat saya bekerja Anjuran pemerintah Percaya dengan Pemilu dapat membuahkan… Anjuran penyelenggara Pemilu Anjuran salah satu partai politik Mendapat Undangan untuk Memilih Terdaftar dalam Daftar Pemilih Anjuran salah satu calon yang akan dipilih
16,67% 22,92% 25,00% 45,83% 58,33% 60,42% 66,67% 68,75% 87,50%
Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi partisipasi pemilih memberikan suaranya di TPS adalah adanya Anjuran dari Salah Satu Calon yang akan Dipilih. Terhadap alasan ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah faktor Anjuran dari Salah Satu Calon yang akan Dipilih murni menjadi alasan pemilih datang ke TPS untuk memberikan suaranya secara sukarela atau kemungkinan terdapat alasan lain yang masih belum tergali, misalnya kemungkinan adanya anjuran yang disertai pemberian dari calon kepada pemilih berupa keuntungan material seperti dalam kasus politik uang (money politics). Namun apabila pemilih datang ke TPS untuk memberikan suaranya secara sukarela tanpa disertai politik uang, maka pelibatan caloncalon yang diusung oleh partai politik peserta pemilu dalam upaya mendongkrak partisipasi pemilih akan bernilai strategis. Faktor lainnya yang cukup efektif mempengaruhi partisipasi pemilih adalah pemilih terdaftar dalam DPT, pemilih mendapat Undangan untuk Memilih, adanya Anjuran partai politik, adanya anjuran penyelenggara pemilu dan yang paling penting adalah kepercayaan terhadap pemilu yang dapat membawa perubahan. 251
D.4.2. Alasan Pemilih Tidak Berpartisipasi dalam Pemilu Ketidakpercayaan pemilih terhadap partai politik dan calon yang akan dipilih memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap angka partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di TPS. Gejala ini terungkap berdasarkan hasil wawancara dengan 100 responden di Kecamatan Maluk dan Sekongkang. Dari 100 responden yang diwawancara, sebanyak 52 responden atau 52 persen mengatakan bahwa mereka tidak ikut memberikan suaranya di TPS. Alasan yang paling dominan adalah adanya ketidakpercayaan pemilih terhadap partai politik dan calon yang akan dipilih. Ada beragam alasan dari 52 responden tersebut yang melandasi mereka tidak ikut serta memberikan suara sebagaimana ditunjukkan pada tabel 7.25 Tabel 7.34 Alasan Pemilih Tidak Berpartisipasi dalam Pemilu No
Alasan Pemilih Tidak Berpartisipasi dalam Pemilu
F
%
Peringkat
1.
Tidak percaya dengan partai politik
21
40,38%
1
2.
Tidak percaya dengan calon yang dipilih
12
23,08%
2
3.
Berhalangan (bepergian/sakit)
8
15,38%
3
4.
Tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih
5
9,62%
4
5.
Lebih memilih bekerja
5
9,62%
4
6.
Tidak mendapat Undangan untuk Memilih
4
7,69%
5
7.
Bertentangan dengan ideologi/keyakinan
3
5,77%
6
8.
Tidak tahu ada Pemilu
0
0,00%
7
9.
Tidak tahu letak Tempat Pemungutan Suara
0
0,00%
8
10.
Tidak tahu cara memberikan suara
0
0,00%
9
11.
Dilarang oleh Perusahaan tempat saya bekerja
0
0,00%
10
252
12.
Alasan Pemilih Tidak Berpartisipasi dalam Pemilu Dilarang oleh Pimpinan Ormas
13.
No
F
%
Peringkat
0
0,00%
11
Tidak percaya dengan Pemilu
0
0,00%
12
14.
Tidak percaya dengan penyelenggara Pemilu
0
0,00%
13
15.
Menganggap Pemilu tidak bermanfaat
0
0,00%
14
Dari tabel di atas diketahui bahwa faktor yang paling dominan mendorong pemilih untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilu adalah adanya ketidakpercayaan terhadap partai politik persentase 40,38 persen, kemudian disusul dengan alasan Tidak percaya dengan calon yang dipilih dengan persentase 23,08 persen. Alasan berikutnya karena Berhalangan (bepergian/sakit) dengan persentase 15,38 persen. Adapun karena tidak terdaftar dalam DPT dan alasan pemilih lebih memilih bekerja menempati peringkat ke-4 dengan persentase sama persis 9,62 persen. Sedangkan anjuran pemilih yang tidak memberikan suaranya karena alasan Tidak mendapat Undangan untuk Memilih menempati peringkat ke-5 dengan persentase 7,69 persen. Menyusul kemudian pada peringkat terakhir alasan karena Bertentangan dengan ideologi/keyakinan dengan persentase 5,77% persen pada peringkat ke-6. Alasan-alasan lain yang ditawarkan peneliti seperti Tidak Tahu Ada Pemilu, Tidak Tahu Letak TPS dan lain sebagainya tidak mendapatkan respon dari pemilih. Agar lebih jelas peringkat alasan pemilih tidak memberikan suaranya sebagaimana ditampilkan pada Grafik dibawah ini. Grafik 7.35 Alasan Pemilih Tidak Ikut Memberikan Suaranya
Bertentangan dengan ideologi/keyakinan Tidak mendapat Undangan untuk Memilih Lebih memilih bekerja Tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Berhalangan (bepergian/sakit) Tidak percaya dengan calon yang dipilih Tidak percaya dengan partai politik
5,77% 7,69% 9,62% 9,62% 15,38% 23,08% 40,38%
253
Dari Grafik 7.29 di atas semakin jelas bahwa bahwa faktor ketidakpercayaan terhadap partai politik paling dominan mendorong pemilih untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilu.
Menyusul alasan lainnya yang masih senada adalah
ketidakpercayaan terhadap calon yang akan dipilih. Fenomena ini menjadi menarik, karena faktor peserta pemilu baik terutama keberadaan calon yang diusung oleh partai politik menjadi hal yang dapat mendongkrak angka partisipasi pemilih sebagaimana tampak pada Grafik sebelumnya dan di sisi yang lain juga menjadi alasan pemilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi rendahnya angka partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di TPS karena adanya ketidakpercayaan pemilih terhadap partai politik dan calon yang akan dipilih. Fenomena ini tampaknya perlu menjadi bagian yang harus diperhatikan oleh partai politik dalam rangka pembangunan kepercayaan pemilih kepada peserta pemilu ke depan. Meskipun 52 persen pemilih yang terdaftar dalam DPT di Kecamatan Maluk dan Sekongkang tidak ikut memberikan suaranya di TPS, namun secara keseluruhan, 100 persen responden telah memperoleh informasi pemilu dari berbagai cara dan berbagai sumber. Penelitian ini juga secara khusus mengkaji sumber dan cara pemilih memperoleh informasi dan teknis pemilu. Berdasarkan hasil wawancara dengan 100 responden diketahui bahwa 100 persen pemilih telah memperoleh informasi pemilu. Menurut sumber dan cara pemilih memperoleh informasi pemilu, mayoritas pemilih memperoleh informasi tentang pemilu secara efektif dari alat peraga berupa baliho, spanduk, leaflet maupun pamflet yang dipublikasikan oleh penyelenggara pemilu. Tampaknya faktor ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan partisipasi pemilih sebagaimana ditunjukkan pada Grafik7.8 yang ditampilkan pada bagian sebelumnya. Selengkapnya respon pemilih terhadap sumber dan cara pemilih memperoleh informasi pemilu sebagaimana ditunjukkan pada Tabel dibawah ini. 254
Tabel 7.36 Sumber dan Cara Pemilih Memperoleh Informasi Pemilu No
Sumber/Cara Perolehan Informasi Pemilu
F
%
Peringkat
1
Dari baliho/spanduk/leaflet/pamflet/brosur yang diedarkan oleh penyelenggara Pemilu
82
82,00%
1
2
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh peserta Pemilu (partai politik/calon)
71
71,00%
2
3
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh penyelenggara Pemilu
62
62,00%
3
4
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh Pemerintah
36
36,00%
4
5
Dari media massa elektornik (televisi/radio)
30
30,00%
5
6
Dari media massa cetak (koran/tabloid/majalah)
18
18,00%
6
7
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh Perusahaan tempat saya bekerja
15
15,00%
7
8
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh lembaga sosial/kemasyarakatan (LSM/Ormas)
13
13,00%
8
9
Dari informasi keluarga/kerabat /tetangga/teman
13
13,00%
9
10
Dari media sosial online (internet/facebook/tweeter/messanger, dll)
9
9,00%
10
Dari Tabel
di atas diketahui bahwa sebagian besar pemilih (82 persen)
memperoleh informasi pemilu dari alat peraga berupa baliho, spanduk, leaflet maupun pamflet yang dipublikasikan oleh penyelenggara pemilu. Pemilih juga efektif memperoleh informasi pemilu dari sosialisasi yang disampaikan oleh peserta Pemilu baik partai politik maupun calon yang diusungnya (71 persen). Sedangkan perolehan informasi pemilu dari 255
sosialisasi secara massal dengan tatap muka yang diselenggarakan penyelenggara pemilu diterima efektif oleh 62 persen pemilih. Sedangkan pemilih yang memperoleh informasi pemilu dari pemerintah, media massa elektronik/cetak, informasi dari perusahaan, lembaga sosial kemasyarakatan, dari keluarga dan media sosial online berada di bawah 36 persen. Untuk lebih jelasnya sumber informasi dan cara pemilih memperoleh informasi pemilu sebagaimana ditampilkan pada Grafik dibawah ini. Grafik 7.37 Sumber dan Cara Penyampaian Informasi Pemilu
Dari media sosial online (internet/facebook/tweeter/messanger, dll)
9,00%
Dari informasi keluarga/kerabat /tetangga/teman
13,00%
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh lembaga sosial/kemasyarakatan (LSM/Ormas)
13,00%
Dari sosialisasi yang disampaikan oleh Perusahaan tempat saya bekerja Dari media massa cetak (koran/tabloid/majalah) Dari media massa elektornik (televisi/radio) Dari sosialisasi yang disampaikan oleh Pemerintah Dari sosialisasi yang disampaikan oleh penyelenggara Pemilu Dari sosialisasi yang disampaikan oleh peserta Pemilu (partai politik/calon) Dari baliho/spanduk/leaflet/pamflet/brosur yang diedarkan oleh penyelenggara Pemilu
15,00% 18,00% 30,00% 36,00% 62,00% 71,00% 82,00%
Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sumber dan cara pemilih memperoleh informasi pemilu yang paling efektif adalah melalui alat peraga berupa baliho, spanduk, pamflet dan brosur yang diedarkan oleh penyelenggara Pemilu, melalui sosialisasi yang disampaikan oleh penyelenggara dan peserta Pemilu (partai politik/calon).
256
D.5. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu Selain mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di TPS sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini juga berusaha mengungkapkan faktor lain yang mempengaruhi performa partisipasi pemilih dalam pemilu di Kecamatan Maluk dan Sekongkang.Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini ditemukan suatu kondisi yang mempengaruhi performa partisipasi pemilih dalam pemilu di Kecamatan Maluk dan Sekongkang, yaitu keberadaan DPT Ganda yaitu pemilih yang terdaftar pada lebih dari 1 TPS. Dari 100 responden yang diwawancara, terdapat 3 (tiga) responden yang mengaku pernah terdaftar pada lebih dari 1 (satu) TPS. Namun demikian, meskipun mereka terdaftar di lebih dari TPS, namun dalam keputusannya mereka memilih untuk memberikan suaranya hanya di satu TPS. Dalam kasus seperti ini, mereka mempunyai kecenderungan untuk memilih di daerah asalnya dimana mereka juga terdaftar sebagai pemilih. Seorang responden bernama Masrah Jayadi yang pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 terdaftar di Nomor Urut 167 pada TPS V Desa Sekongkang Atas Kecamatan Sekongkang dan juga terdaftar pada Nomor Urut 244 TPS III Desa Goa Kecamatan Jereweh. Pemilih ini mengaku lebih memilih untuk memberikan suaranya di TPS III Desa Goa Kecamatan Jereweh Kabupaten Sumbawa Barat dimana pemilih beralamat tetap. Oleh karena hari Pemilu merupakan hari libur sehingga sembari pulang untuk memberikan suara, pemilih juga dapat berlibur berkumpul dengan keluarga dan tetangga. Adapun seorang responden lainnya juga menyampaikan bahwa dirinya pernah terdaftar di lebih dari 1 TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. Pemilih ini terdaftar di Nomor Urut 136 Desa Mantun Kecamatan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat dan juga terdaftar di daerah asalnya di Lombok Timur. Oleh karena memilih hanya diperkenankan 1 kali, maka responden tersebut lebih memilih memberikan suaranya di Lombok Timur sehingga tidak ikut memberikan suaranya di Kecamatan Maluk. Sedangkan responden lainnya mengaku pernah terdaftar pada 2 TPS pada Pemilukada NTB Tahun 2013 yaitu pada TPS III Desa Mantun Kecamatan Maluk Kabupaten Sumbawa 257
Barat dan TPS lainnya di daerah asalnya di Kabupaten Lombok Barat. Sebagai seorang karyawan perusahaan swasta yang berdomisili di Kecamatan Maluk, responden bekerja dengan roster 5 hari kerja yaitu senin hingga jumat dan hari sabtu dan minggu adalah hari libur bekerja. Sesuai dengan kebiasaan, pada hari jumat selepas bekerja responden pulang ke Lombok Barat untuk berkumpul bersama keluarga. Keberadaan hari Pemilukada NTB Tahun 2013 yang jatuh pada hari senin pada Tanggal 13 Mei 2013 yang ditetapkan sebagai hari libur di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
menjadi libur tambahan bagi responden. Keputusan responden untuk pulang ke
Lombok Barat dan memilih di sana memberikan konsekuensi berkurangnya partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Berangkat dari kasus 3 responden ini, maka keberadaan DPT Ganda merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi performa partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang. Oleh karena itu, rendahnya angka partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang bukan semata-mata disebabkan oleh partisipasi pemilih untuk memberikan suaranya, tetapi faktor kesalahan administrasi pemilu juga turut memberikan kontribusi. Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas, maka disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di TPS antara lain: D.5.1. Faktor-faktor pendukung partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang: a) Faktor yang mendorong pemilih untuk memberikan suaranya dalam pemilu adalah keberadaan anjuran untuk memilih dan faktor teknis terkait dengan keberadaan pemilih dalam Daftar pemilih Tetap dan adanya surat undangan memilih dari penyelenggara pemilu. b) Keberadaan anjuran dari Salah Satu Calon yang akan Dipilih, partai politik dan penyelenggara pemilu merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi partisipasi pemilih; c) Sedangkan anjuran dari pemerintah, perusahaan tempat bekerja dan pimpinan ormas serta kepercayaan bahwa Pemilu dapat membuahkan perubahan tidak banyak mempengaruhi partisipasi pemilih. 258
D.5..2. Faktor penghambat partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang: a)
Faktor ketidakpercayaan pemilih terhadap partai politik dan calon yang akan dipilih menjadi penghambat yang sangat signifikan terhadap partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya di TPS.
b)
Faktor lainnya yang turut berkontribusi menghambat partisipasi pemilih adalah faktor kebutuhan pemilih untuk bepergian/bekerja, kondisi kesehatan pemilih, dan ideologi/keyakinan pemilih.
c)
Sedangkan faktor teknis pemilu yang turut menghambat partisipasi pemilih adalah pemilih tidak terdaftar dalam DPT dan Tidak mendapat Undangan untuk Memilih
Dari seluruh proses dan temuan penelitian di atas, penelitian ini menarik simpulan sebagai berikut: 1. Angka partisipasi pemilih dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Maluk dan Sekongkang senantiasa mengalami fluktuasi dengan kecenderungan senantiasa lebih rendah dari angka partisipasi pemilih Kabupaten Sumbawa Barat, kecuali di Kecamatan Sekongkang pada Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010. 2. Partisipasi perempuan dalam berbagai Pemilu sejak Pemilu Tahun 2009 hingga Pemilu Tahun 2014 di Kecamatan Maluk dan Sekongkang senantiasa lebih tinggi dibandingkan partisipasi laki-laki, kecuali di Kecamatan Sekongkang pada Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010. 3. Faktor yang paling dominan mendorong pemilih untuk memberikan suaranya dalam pemilu adalah keberadaan anjuran untuk memilih terutama anjuran dari Calon yang akan Dipilih, partai politik dan penyelenggara pemilu dan faktor teknis terkait dengan keberadaan pemilih dalam Daftar pemilih Tetap dan adanya surat undangan memilih dari penyelenggara pemilu. Sedangkan anjuran dari pemerintah, perusahaan tempat bekerja dan pimpinan ormas serta kepercayaan bahwa Pemilu dapat membuahkan perubahan tidak banyak mempengaruhi partisipasi pemilih.
259
4. Faktor yang paling dominan menghambat partisipasi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS di Kecamatan Maluk dan Sekongkang adalah faktor ketidakpercayaan pemilih terhadap partai politik dan calon yang akan dipilih. Faktor lainnya yang turut berkontribusi menghambat partisipasi pemilih adalah faktor kebutuhan pemilih untuk bepergian/bekerja, kondisi kesehatan pemilih, dan ideologi/keyakinan pemilih. Sedangkan faktor teknis pemilu yang turut menghambat partisipasi pemilih adalah pemilih tidak terdaftar dalam DPT dan Tidak mendapat Undangan untuk Memilih 5. Sumber dan cara pemilih memperoleh informasi pemilu, penyampaian informasi melalui alat peraga berupa baliho, spanduk, leaflet maupun pamflet yang dipublikasikan oleh penyelenggara pemilu merupakan cara yang paling efektif di samping informasi pemilu yang diperoleh dari sosialisasi yang disampaikan oleh peserta Pemilu baik partai politik maupun calon, informasi pemilu dari sosialisasi secara massal dengan tatap muka yang diselenggarakan penyelenggara pemilu. Sedangkan
penyampaian
informasi
oleh
pemerintah,
media
massa
elektronik/cetak, informasi dari perusahaan, lembaga sosial kemasyarakatan, dari keluarga dan media sosial online tidak terlalu efektif. 6. Keberadaan DPT Ganda dan keputusan untuk memilih di luar Kecamatan Maluk dan Sekongkang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi performa partisipasi pemilih di Kecamatan Maluk dan Sekongkang. Berdasarkan kesimpulan di atas, akhirnya penelitian memberikan saran sebagai berikut: 1. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumbawa Barat perlu terus mendorong partisipasi peserta pemilu baik partai politik maupun calon agar memberikan anjuran kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. 2. Penyelenggara Pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dan Panitia Pengawas Pemilu perlu meningkatkan perannya dalam
260
memberikan anjuran melalui sosialisasi informasi pemilu kepada pemilih untuk mengguanakan hak pilihnya; 3. Para pihak di luar lembaga penyelenggara pemilu baik itu pemerintah, perusahaan, organisasi sosial kemasyarakatan maupun media massa elektronik dan cetak, perlu dilibatkan dan diberi peluang memberikan anjuran melalui sosialisasi informasi pemilu yang lebih massif kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. 4. Peserta pemilu baik partai politik maupun calon perlu membangun citra yang baik melalui pelaksanaan perannya yang lebih baik di dalam lembaga pemerintahan sehingga terbangun kepercayaan pemilih bahwa pemilu dapat membuahkan perubahan. 5. Penyelenggara pemilu perlu menyediakan fasilitas yang dapat memberikan kemudahan bagi pemilih yang mempunyai kondisi kesehatan fisik yang terbatas. 6. Penyelenggara pemilu perlu melakukan sosialisasi yang lebih massif dengan membangun dialog dengan kelompok masyarakat yang mempunyai ideologi yang tidak sejalan dengan upaya meningkatkan partisipasi pemilih. 7. Penyelenggara pemilu perlu membangun sistem yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional pemilih melalui persiapan teknis yang memadai sekaligus menjamin validitas daftar pemilih sehingga tidak menimbulkan duplikasi. 8. Cara penyampaian informasi pemilu melalui alat peraga berupa baliho, spanduk, leaflet
maupun
pamflet
perlu
tetap
digunakan
dengan
senantiasa
menyelenggarakan penyampaian informasi pemilu melalui kegiatan tatap muka.
261
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Bismar. 2010. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011. BPS Kabupaten Sumbawa Barat. 2014. Sumbawa Barat dalam Angka Tahun 2014. Taliwang: BPS Kabupaten Sumbawa Barat Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Faisal, Sanapiah. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Press,. Haris, Syamsuddin. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. DKI Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hendrik, Doni. 2010. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Rendahnnya Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Padang Tahun 2008. Dalam Jurnal Demokrasi Volume IX Nomor 2 Tahun 2010. Kencana, Ibnu. 1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Lasut, Vivaldi E. C. 2014. Partisipasi Politik Pemilih Pemula di Kecamatan Tomohon Utara dalam Rangka Pemilihan Umum Legislatif 2014. Maran, Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta. Marbun, B.N. 1996. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mikkelsen, Britha. (1999). Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Miles, B, Mathew dan A, Michall Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Sarwono, Jonathan. 2011.Mixed Methods. Jakarta: Elex Media Komputindo. Simangunsong, Bonar. 2004. Negara Demokrasi dan Berpolitik Yang Profesional. Jakarta: Gramedia. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. Tarigan, Martini. 2009. Partisipasi Politik Masyarakat Kabupaten Temanggung dalam Pelaksanaan Pilkada Tahun 2008. Tesis Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.
262
Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
263
BAB VIII Perilaku Memilih Masyarakat Petani Kecamatan Belo Kabupaten Bima: Studi Kasus Terhadap Pemilu 2014 Siti Nursusila * Muhammad Waru * Yudin C.N.A. Muhammad Taufik * Zuriati
A. Pengantar Kedudukan pemilih dalam Pemilu menempati peran krusial. Partisipasi pemilih, minimal dalam memberikan hak suaranya pada setiap pelaksanaan Pemilu merupakan elemen yang sangat penting yang harus terus didorong agar dapat terus meningkat sampai pada tingkat yang ideal. Hal ini disebabkan karena tingkat partisipasi pemilih dalam memberikan hak suaranya dalam setiap Pemilu akan menentukan tingkat legitimasi politik dan dukungan rakyat terhadap pemerintahan yang hendak dibangun melalui Pemilu tersebut yang secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap kinerja Pemerintahan tersebut dalam merealisasikan program-programnya dalam rangka mewujudkan mensejahterakan rakyat. Tingkat partisipasi pemilih dalam memberikan hak suaranya pada setiap pelaksanaan Pemilu juga merupakan cerminan dari tingkat kesadaran politik masyarakat yang harus terus dibangun dan ditingkatkan. Hakekatnya pada negara-negara yang menganut faham demokrasi termasuk Negara Indonesia, partisipasi warga masyarakat dalam setiap proses demokrasi, terutama dalam pelaksanaan Pemilu merupakan suatu keharusan, karena demokrasi itu sendiri dibangun melalui partisipasi. Dapat dikatakan bahwa tidak ada Demokrasi tanpa partisipasi, atau dalam rumusan bahasa yang lain sebagaimana yang ditulis oleh Elvi Juliansyah, Demokrasi tanpa partisipasi adalah manipulasi terhadap demokrasi, karena dengan partisipasi akan terbentuk demokrasi. Antara Demokrasi dan partisipasi merupakan dua dasar dengan nilai
264
etintas yang sama, Konsep Demokrasi tumbuh melalui partisipasi dan Demokrasi berasal dari partisipasi.60 Umumnya hampir semua negara yang menganut faham atau sistim politik demokrasi, partisipasi pemilih dalam memberikan hak pilihnya dalam Pemilu dipandang sebagai hak, bukan kewajiban, sehingga setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih dapat bebas menggunakan hak-nya tersebut untuk memilih sesuai dengan kehendaknya ataupun tidak memilih tanpa suatu sanksi apapun. Secara hukum berapapun tingkat partisipasi pemilih dalam memberikan hak suaranya dalam pemilu bukanlah masalah, bukan suatu hal yang menentukan keabsyahan Pemilu, bahkan pada Negara yang dianggap sudah lebih maju tingkat demokrasinya dibandingkan dengan Negara Indonesia, seperti di Amerika Serikat, tingkat partisipasi Pemilih dalam memberikan hak suaranya dalam Pemilu kurang dari 50 persen.61 Namun demikian, partisipasi pemilih dalam memberikan hak suaranya dalam pemilu tetaplah merupakan elemen penting dalam pemilu yang harus terus diupayakan agar dapat meningkat dan dipertahankan sampai pada tingkat tinggi/ ideal, karena alasan-alasan sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Mencermati angka tingkat partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia, khususnya selama masa pasca Orde Baru, terlihat angka yang fluktuatif untuk Pemilu Legislatif, yaitu 84, 10 persen pada Pemilu tahun 2004, turun menjadi 70,90 persen pada Pemilu tahun 2009 dan kemudian naik lagi menjadi 75,11 pada pemilu tahun 2014. Sedangkan untuk Pemilu Presiden dan wakil Presiden menunjukan trend angka yang terus menurun sejak dilaksanakan untuk pertama kali tahun 2004, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: 60
Elvi Juliasyah. 2007. Pilkada, Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 83. 61
Lili Romli, 2007. Potret Otonomi daerah dan Wakil rakyat di tingkat lokal. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm. 350.
265
Grafik 8.1 Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu Legislatif Dan Pemilu Preseiden Secara Nasional
90 80 70 60 50
2004
40
2009
30
2014
20 10 0 PEMILU LEGISLATIF
PEMILU PRESIDEN
Tidak jauh berbeda dengan angka tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu secara nasional tersebut di atas, angka tingkat partisipasi Pemilih dalam Pemilu di kabupaten Bima dan di kecamatan Belo, kabupaten Bima pada dua Pemilu terakhir, juga menunjukan angka yang rendah dengan trend yang cenderung menurun, terutama untuk Pemilu Presiden dan wakil Presiden, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel. 8.2 Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu Legislatif Dan Pemilu Presiden Di Kabupaten Bima TAHUN JENIS PEMILU
2009
2014
Jmlah
Yang
Pemilih
Hadir
Pemilu Legislatif
292.121
241.432
82,78
Pemilu Presiden
301.459
233.965
77,75
%
Jmlah
Yang Hadir
%
360.310
274.348
76,14
358.832
237.798
66,27
Pemilih
266
Dalam bentuk grafik, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden di Kabupaten Bima mengalami penurunan secara persentase, meskipun secara kuantitas tidaklah demikian. Grafik. 8.3 Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu Legislatif Dan Pemilu Presiden Di Kabupaten Bima
90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00%
2009
40,00%
2014
30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Pemilu Legislatif Pemilu Presiden
Tabel. 8.4 Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu Legislatif Dan Pemilu Preseiden Di Kecamatan Belo TAHUN JENIS PEMILU
2009 Jmlah
Yang Hadir
%
16.525
14.547
88,08
17.262
13,195
76,50
Pemilih Pemilu Legislatif Pemilu Presiden
2014 Jmlah
Yang Hadir
%
21,354
17.066
79,92
21,354
12.720
60,44
Pemilih
267
Grafik 8.5 Grafik Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu Legislatif Dan Pemilu Preseiden Di Kecamatan Belo
90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00%
2009
40,00%
2014
30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Pemilu Legislatif Pemilu Presiden
Angka-angka yang ditunjukan dalam tabel di atas berada jauh di bawah angka tingkat partisipasi pemilih dalam memberikan hak pilihnya pada lima kali Pemilu Legislatif yang dilaksanakan selama masa pemerintahan Orde Baru dan masa transisi pemerintahan pada tahun 1999 yang mencapai angka di atas 90 persen. Angka-angka tersebut tidak termasuk mereka yang tidak memberikan hak pilihnya karena alasan yang bersifat teknis administratif, seperti tidak terdaftar dalam DPT atau DPTb atau karena tidak memiliki kartu Pemilih dan lain sebagainya. Hal yang cukup menarik dari fakta empirik yang ditunjukan oleh angka tingkat partisipasi Pemilih di atas, khususnya untuk konteks Kabupaten Bima dan kecamatan Belo, kabupaten Bima adalah rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu Presiden dan wakil Presiden dibandingkan dengan Pemilu Legislatif pada setiap Pemilu, dan apabila dibanding angka tingkat partisipasi pemilih pada kedua Pemilu tersebut, terjadi penurunan angka tingkat partisipasi secara cukup signifikan padahal kedua pemilu tersebut dilaksanakan dalam waktu yang berselang hanya beberapa bulan saja. 268
Data-data di atas, memperlihatkan tingkat partisipasi Pemilih pada Pemilu Legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April tahun 2014 untuk tingkat kabupaten Bima adalah 76,14 persen dan untuk tingkat kecamatan Belo 79,92 persen. Sedangkan angka tingkat partisipasi Pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan tiga bulan kemudian, yaitu pada tanggal 9 Juli tahun 2014 untuk tingkat kabupaten Bima adalah 66,27 persen dan untuk tingkat kecamatan Belo 60,44 persen. Artinya terjadi penurunan angka tingkat partisipasi pemilih pada skedua pemilu tersebut secara cukup signifikan, yaitu sebesar 9,87 persen untuk tingkat kabupaten Bima dan sebesar 19,48 persen untuk tingkat kecamatan Belo, kabupaten Bima. Di bandingkan dengan 17 kecamatan lainnya yang ada di wilayah kabupaten Bima, angka tingkat partisipisi pemilih dalam Pemilu Presiden dan wakil Presiden di kecamatan Belo ini adalah yang paling rendah. Demikian juga dengan penurunan angka tingkat partisipasi pemilih dari Pemilu Legislatif ke Pemilu Presiden dan wakil Presiden adalah yang paling menonjol, yaitu sebesar 11, 58 persen pada Pemilu tahun 2009 dan 19,48 persen pada Pemilu tahun 2014. Sedangkan dilihat dari karakteristik masyarakatnya, dapat dikatakan tidak berbeda dengan masyarakat di kecamatan lainnya di kabupaten Bima, yaitu cukup homogen dilihat dari tingkat kehidupan sosial ekonomi, tingkat pendidikan maupun jenis pekerjaannyanya. Sama halnya dengan masyarakat di kecamatan lainnya di kabupaten Bima, sekitar 80% dari penduduk dan pemilih di kecamatan Belo terdiri dari masyarakat petani. Namun para petani di wilayah kecamatan ini dikenal sangat rajin dan ulet. Mereka tidak saja mengolah sawah dan ladang yang ada di wilayah tempat tinggalnya seperti para petani pada umumnya di kabupaten Bima, tetapi mereka juga berani berspekulasi dan mengambil resiko dengan menyewa tanah pertanian milik orang lain secara musiman atau secara tahunan yang berada di wilayah kecamatan lainnya di kabupaten Bima bahkan di luar kabupaten Bima, yaitu di kabupaten Dompu dan kabupaten Sumbawa, terutama untuk tanaman bawang merah. Hal inilah menarik untuk diteliti dan dikaji serta dicarikan jawabannya dalam penelitian ini. Dari uraian di atas, penelitian ini mengajukan dua permasalahan, sebagai berikut: (1) Bagaimanakah perilaku pemilih(voting behavior dan non voting behavior ) masyarakat
269
Petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima, dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014? (2) Faktor-faktor apakah yang dominan mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima, pada pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014?
B. Tinjauan Teoritis B.1. Mengenal Konsepsi Tentang Pemilih dan Partisipasi Politik Pemilih adalah semua warga negara dewasa yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam prespektif perundang-undangan di Indonesia, syarat-syarat yang dimaksud diantaranya adalah, telah berusia 17 tahun dihitung pada hari pemilihan, bukan merupakan anggota TNI/Polri, dan tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan partisipasi mempunyai pengertian yang sangat luas, sehingga para pakar mengartikan partisipasi dengan berbagai definisi. Penjelasan partisipasi mengacu kepada partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat. Taliziduhu dengan mengutip Davis mengartikan partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosional yang menggerakan mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan dan bersama-sama bertanggung jawab. Secara sederhana partisipasi merupakan peran serta masyarakat terhadap sebuah atau berbagai kegiatan dalam kehidupannya yang sifatnya sosial (memasyarakat).62 Partisipasi merupakan salah satu pilar penting demokrasi. Jika demokrasi diartikan secara sederhana sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari dan untuk-rakyat, maka partisipasi merupakan sarana di mana partisipasi pemilih menjadi salah satu elemen penting untuk dikaji. Kajian atas perilaku pemilih bukan saja dimanfaatkan untuk mendulang suara, namun terutama untuk melihat dan memahami konstelasi harapan dan kepentingan rakyat dalam konteks politik demokratis.63 62
Ndraha, Taliziduhu. 1993. Partisipasi Masyarakat. Yayasan Karya Dharma, IIP Jakarta. Hlm. 37.
63
Partisipasi warga negara dapat dilihat melalui perilaku politiknya. Perilaku politik itu dapat dilihat dari berbagai jenis yaitu melalui partai politik, kampanye, pemberian suara dan lain-lain. Bentuk perilaku politik ini menjadi alat analisis untuk melihat partisipasi politik masyarakat itu sendiri.
270
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson (1994) dalam bukunya No Easy Choice Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik sebagai: “By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective.64 Senada dengan hal ini, Miriam Budiardjo memaknai partisipasi politik, yakni: “Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. 65 Sebagaimana diketahui bahwa legitimasi dalam perspektif demokrasi adalah tingkat partisipasi sebagai bentuk keterlibatan menentukan arah pengambilan keputusan. Legitimasi merupakan kunci penentu yang secara fungsional kontributif sebagai faktor pendukung kekuasaan sebagai output demokrasi itu sendiri. Jika tidak, maka keberadaan demokrasi itu sendiri akan sama dengan ketidakberadaannya. Sementara Ramlan Surbakti menyatakan bahwa Partisipasi politik sebagai: “kegiatan warga negara biasa dalam memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, 64
“partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif”. Huntington, S.P. & Nelson, J. (1977:4). No easy choice political participation in developing countries. Cambridge: Harvard University Press.
65
Miriam, Budiardjo, 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik, (edisi revisi). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm. 183
271
mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.66 Beragam definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut di atas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. B.2. Konsepsi Tentang Perilaku Pemilih Perilaku memilih (voting behavior) dan Partisipasi politik adalah paket dalam pemilu. Partisipasi politik menyoal hubungan antara kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan. Sedangkan perilaku memilih adalah keikutsertaan warga negara dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Oleh karena itu dapat dilihat hubungan yang erat antara demokrasi, partisipasi politik, pemilihan umum, partai politik dan perilaku memilih. Bismar Arianto dengan mengutip Hasanuddin menyatakan bahwa dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan perilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.67
66
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hlm. 141
67
Bismar Arianto. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali HajiVol. 1, No. 1, 2011.
272
Keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan memubuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Miriam Budiarjo (2008;136) mendefinisikan perilaku pemilih sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau (lobbying) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya.68 Secara teoretis, Dieter Roth (2008) menyatakan perilaku memilih (voting behavior) dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik. Dalam ranah kajian ilmu sosial politik, ada beberapa kajian perihal pendekatan guna memahami perilaku memilih (voting behavior) ini, pendekatan tersebut antara lain: 1) Pendekatan sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University.69 Aliran ini melihat voter dari latar belakang perseorangan atau kelompok berdasarkan jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, ideologi bahkan daerah asal
68
Perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam dua besaran, yaitu: Perilaku Memilih Rasional. Perilaku memilih ini, notabane disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih. Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai atau kandidat mana pun. Dan sebagian besar mereka berasal dari internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap objek politik tertentu. Perilaku Memilih Emosional. Sementara untuk perilaku memilih ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Seperti factor sosiologis, struktursosial, ekologi maupun sosiopsikologi.
69
Mazhab sosiologis pada awalnya berasal dari Eropa yang kemudian berkembang di Amerika Serikat, yang pertama kali dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih di kenal dengan kelompok Colombia. Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia (Columbia School).
273
yang bisa menentukan keputusan untuk memberikan suara pada saat pemilihan. 70 Kelompok ini melakukan penelitian mengenai The People’s Choice pada tahun 1948 dan Voting pada tahun 1952. Di dalam 2 karya tersebut terungkap perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. Umumnya yang menentukan pilihan adalah kelompok sosial yang mempengaruhi individu untuk memilih. Baik besar maupun kecil. Latar belakang pilihan atas partai, calon dan isu, ditentukan oleh karakteristik sosial pemilih. Seseorang akan memilih partai atau figur tertentu, karena ada kesamaan karakteristik sosial antara si pemilih dan karakteristik sosial figur atau partai. Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur (tua, muda), jenis kelamin, agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Latar belakang pilihan atas partai atau calon, menurut model sosiologis dikembangkan dari asumsi bahwa perilaku pemilih ditentukan oleh karakteristik sosial pemilih. Sejalan dengan pendekatan sosiologis tersebut, Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012), menjelaskan bahwa faktor agama menjadi hal yang dipercaya sangat berpengaruh dalam konteks pendekatan sosiologis. Hal ini setidaknya bisa dicermati dengan eksistensi partai politik berlatar agama tertentu yang tumbuh dan berkembang di negeri ini dengan segala dinamikanya. 2) Pendekatan psikologis, yakni cara memilih sebuah partai/ kandidat oleh faktor psikologis karena pengaruh luar, bukan dari dirinya. Pendekatan ini memilih dalam pemilu
70
Di Amerika saja, Negara yang demokrasi-nya dianggap relatif maju, berdasarkan sejumlah penelitian, masih ada perilaku pemilih yang mendasarkan pada warna kulit, ras, atau agama. Kelompok sosial cenderung mempengaruhi aggotanya untuk memilih calon tertentu. Memang, perilaku politik itu kadang sangat aneh. Karena pilihan politik itu abstrak.
274
berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ditentukan oleh faktor psikologis.71 Pendekatan mazhab psikologis ini menekankan kepada 3 aspek variabel psikologis sebagai telaah utamanya yakni, ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidiat. Inti dari mazhab ini adalah identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap para calon dan isu-isu politik yang berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih. Sejalan dengan pendekatan tersebut, Wllliam Liddle dan Saiful Mujani mengklasifikasi pada tiga faktor.72 a) Pertama, Party Identification (Party ID), yaitu kecenderungan pemilih karena memiliki kedekatan psikologis dengan partai tertentu. Seseorang merasa dekat kerena pergaulan sosial. Biasanya pertama dibentuk oleh keluarga. Di sini fungsi keluarga sebagai agent of socialization sangat mumpuni. Semakin orang tua menjadi idola, maka semakin kuatlah pengaruh orang tua tersebut terhadap dirinya. Dia yakin dan percaya karena berkembang dalam keluarganya bahwa partai tertentu itu baik atau layak dipilih. Jadi, dia tidak perlu lagi mendapatkan atau mencari informasi tentang partai tersebut. b) Kedua, orientasi isu. Kedekatan seseorang oleh isu tertentu. Seseorang tidak mengerti betul dengan isu tersebut. Tapi dia menarik. Misalnya, isu neo-liberalisme, mereka langsung tidak setuju dan menolak. Walau bila ditanya seseorang itu tidak mengerti benar apa isu itu. Karena tidak diketahui berdasarkan informasi yang dia peroleh. c) Ketiga, orientasi calon. Orang memilih bukan karena karya atau prestasi seorang calon. Tapi lebih karena kharisma. Orientasi calon ini lebih melihat siapa dia, atau anak siapa. 71
Mazhab ini pertama kali dipergunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan (University of Michigan`s Survey Research Centre) sehingga kelompok ini dikenal dengan sebutan kelompok Michigan. Hasil penelitian kelompok ini yang dikenal luas adalah The Voter`s Decide (1954) dan The American Voter (1960).
72
Dalam pendekatan ini, Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi (2012) menjelaskan bahwa seorang warga berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya cukup informasi untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).
275
Tidak mendalami atau perlu tahu bagaimana prestasi dan ‘track record’-nya selama ini. Anehnya, malah ada yang memilih bukan karena sosok kandidat, tapi karena orang tuanya. Seperti orang yang memilih Megawati, karena ayahnya Soekarno, bukan dirinya. 3) Pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan ini berkembang atas kritikan terhadap kedua pendekatan sebelumnya baik itu pendekatan sosiologis maupun pendekatan psikologis yang menempatkan pemilih pada ruang dan waktu yang kosong (determinan). Pemilih seakan-akan menjadi pion yang mudah ditebak langkahnya. kritik terhadap dua pendekatan di atas, kemudian memunculkan asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan, dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy.73 Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang. Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional.74 Pemilih yang rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup, tindakan mereka bukanlah faktor kebetulan, bukan untuk diri sendiri melainkan untuk kepentingan umum menurut pikiran dan pertimbangan logis. Perilaku pemilih yang rasional menekankan bahwa pemberian suara berdasarkan perhitungan untung rugi atau rasional berfikir pemilih, artinya perilaku pemilih rasional mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemilih benar-benar melakukan penilaian yang valid. 73
Model pilihan rasional bersumber pada karya Anthony Downs, James Buchannan, Gordon Tullock dan Manchur Olsen. Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh penilaian terhadap keadaan ekonomi-sosial-politik ditingkat individu (egosentrik) dan ditingkat lokal-regional-nasional (sosiotropik).
74
Cara memilih berdasarkan informasi tentang apa dan siapa partai atau kandidat tersebut. Jadi, ada keingintahuan pemilih apakah sang kandidat itu sesuai atau tidak dengan keinginannya. Demokrasi mengharapkan orang memilih secara rasional. Supaya yang dipilih itu benar-benar layak. Layak di sini adalah mampu. Dalam arti punya kemampuan memimpin dan mengelola pemerintahan menurut pandangan pemilih. Demokrasi mengharapkan rakyatlah yang menyeleksi siapa calon yang berhak dipilih. Dan obsesi demokrasi mengharapkan para pemilih mengetahui informasi tentang partai atau kandidat.
276
Salah satu penelitian yang menggunakan teori pilihan rasional (rational choice) di Indonesia adalah studi oleh Saiful Mujani dkk.75 Studi ini salah satunya untuk menjawab pertanyaan: mengapa PDIP menang pada Pemilu 1999, Partai Golkar menang pada 2004, dan kemudian Partai Demokrat menang pada tahun 2009. Hampir 3 kali Pemilu paska reformasi dimenangkan oleh partai yang berbeda. Pendekatan rasional ini sangat mahal dan sulit. Tapi, itulah yang ideal dalam kacamata demokrasi. Kalau bisa berjalan dan berlaku, maka kualitas orang yang dipilih akan lebih bagus. Bisa kita katakan semacam fit and propper test, dan memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai electorate yang menentukan sebuah partai atau kandidat untuk menang, termasuk “menghukum” partai atau kandidat yang tidak patut untuk dipilih. Perilaku memilih dapat disimpulkan bahwa memilih atau tidaknya seseorang dari 3 pendekatan di atas dikarenakan beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu faktor sosiologis, faktor psikologis, faktor rasional yang satu sama lain saling melengkapi. Perilaku pemilih seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap seseorang yang terbentuk dari sosialisasi panjang yang terdiri dari latar belakang keluarga, ruang lingkup pekerjaan, agama atau kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal. Sikap seseorang tersebut akan memberikan pemahaman terhadap isu kebijakan dan kandidat. Senada namun sedikit berbeda dengan pemaparan sebelumnya, Firmanzah (2007: 89) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor determinan bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi pertimbangan pemilih, yakni: Pertama, Kondisi awal pemilih, ini dimaksudkan bahwa karakteristik yang melekat dalam diri pemilih. Setiap individu memiliki sistem nilai, keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda dan mewarisi kemampuan yang berbeda-beda pula. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi individu ketika mengambil keputusan politik.
75
Penelitian Saiful Munjani dkk diperoleh dari data survey oleh Lembaga Suvey Indonesia (LSI) dalam rentang waktu Pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009. Penelitian ini merupakan satu-satunya studi tentang perilaku memilih dalah skala nasional (banyak penelitian perilaku memilih mengambil sampel daerah tertentu saja). Selain itu penelitian ini dirasa cukup lengkap, karena menggunakan ketiga pendekatan (sosiologis, psikologis dan pilihan rasional) dalam memotret perilaku memilih di Indonesia.
277
Kedua, faktor media massa yang mempengaruhi opini publik. Media massa yang memuat data, informasi dan berita berperan penting dalam mempengaruhi oponi dimasyarakat. Demikian pula dengan pemaparan para ahli, iklan politik, hasil seminar, survey dan berbagai hal yang diulas dalam media massa akan menjadi pertimbangan pemilih. Ketiga, Faktor parpol atau kontestan, pemilih akan menilai latar belakang, reputasi, citra, ideologi dan kualitas para tokoh-tokoh parpol dengan pandangan mereka masingmasing. Dalam hal ini masyarakat lebih sering melakukan penilaian terhadap figur tokoh parpol, sekaligus menjadi barometer mereka dalam menilai parpol yang bersangkutan. B.3. Ketidakhadiran Pemilih Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi. Isitilah perilaku non voting dalam bahasa Indonesia diartikan tidak memilih atau lebih dikenal dengan golongan putih (golput).76 Golput belakangan ini menjadi momok tersendiri bagi sistem demokrasi yang tengah berkembang di negara kita. Pada pemilu 2009, jumlah suara Golput mencapai 49.677.776 (29 %), padahal saat itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan haram untuk golput, melalui Ijtimaa Ulama setelah merespon usulan Ketua MPR kala itu--Hidayat Nurwahid. 76
Golput di sini dimaknai sebagai sikap sadar untuk tidak mempergunakan hak pilihnya secara substantif, aktif, dan merupakan hak setiap warganegara Indonesia. Adapun pemilih yang datang ke TPS namun salah dalam melakukan tata laksana peraturan tidak dimasukkan dalam kriteria golput.
278
Dalam pelbagai literatur perilaku memilih, perilaku non voting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam Pemilu. 77 Gejala perilaku non voting telah terjadi sejak masa orde baru di mana sistem politik hegemoni saat itu dijalankan oleh rezim Soeharto. Penelitian Muhammad Asfar terhadap perilaku non voting dilakukan pada masa orde baru yaitu tahun 1996 – 1997 yang membawa pada kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut:78 1. Pertama, berdasarkan pendekatan sosiologis, bahwa para non-voter memiliki karakteristik sosial secara pendidikan memadai (tinggi), pekerjaan yang bervariasi (pengusaha, PNS, aktivis LSM, dan petani), para non-voter berkecenerungan memiliki latar belakang aktif di organisasi sosial dan kemahasiswaan, dari sisi pendapatan para non-voter mengaku penghasilannya cukup atau lebih dari cukup. 2. Kedua, berdasarkan pendekatan sosio-psikologis, bahwa pada non-voter yang diteliti memiliki tipe kepribadian yang toleran dan tidak otoriter. Para non-voter juga mengaku sangat terbuka terhadap berbagai saran dan kritik dari orang lain dan tidak pernah berpikir bahwa orang lain harus berpikiran, bersikap dan berperilaku seperti mereka. Para non-voter secara orientasi kepribadian mempunyai orientasi kepribadian anomi yang dimanifestasikan melalui penilaian mereka yang menganggap aktivitas politik (voting) sebagai sesuatu yang sia-sia yang disebabkan ketidakmampuan lembagalembaga demokrasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat. Disamping itu, para nonvoter umumnya memiliki pengalaman sosialisasi politik yang kurang menyenangkan, seperti pernah dikecewakan partai politik atau kecewa terhadap penampilan institusiinstitusi demokrasi. 3. Ketiga, berdasarkan pendekatan pilihan rasioal, bahwa pada non-voter yang diteliti mempunyai persepsi dan evaluasi kurang baik terhadap sistem politik dibuktikan dengan dwi fungsi ABRI, perlemahan institusi demokrasi seperti DPR dan PDRD, serta evaluasi kurang baik terhadap sistem Pemilu yang dibuktikan dengan penggabungan partai
77
Muhammad Asfar. 1998. Perilaku Non Voting Di Bawah Sistem Politik Hegemonik, Tesis Program Studi Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogjakarta. Hal 173. 78
Muhammad Asfar. Ibid , hal. 206 – 216.
279
politik, pelaksanaan pemilu yang tidak jujur dan adil, serta keterlibatan ABRI dan Birokrasi untuk pemenangan Golkar. 4. Keempat, berdasarkan faktor kepercayaan publik, bahwa para non-voter yang diteliti memiliki kepercayaan politik yang sangat rendah. Kepercayaan politk ini ditujukan kepada: tidak berfungsinya lembaga perwakilan (DPR dan DPRD), tidak berfungsinya lembaga peradilan (Pengadilan Negeri), praktek korupsi kolusi dan nepotisme serta kebijakan-kebijakan pemerintahan orde baru yang tidak kondusif bagi proses demokrasi. 5. Kelima, perilaku non-voting umumnya dimanifestasikan dalam bentuk ketidakhadiran di tempat pemungutan suara. Separuh non-voter memanifestasikan perilaku tidak memilih dalam bentuk semacam ini. Sementara itu, separuh lainya dimanifestasikan dalam bentuk mencoblos semua tanda gambar, mencoblos bagian putih dari kartu suara dan tidak mencoblos sama sekali. Senada dengan penelitian Asfar, Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan ketidakhadiran pemilih (golput) atas empat golongan: a) Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. b) Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). c) Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. d) Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.79
79 Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik disengaja maupun tidak
.
280
Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasi pun juga menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%. 80 Lebih lanjut, secara empirik, Soebagio menengarai peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas sebagai berikut: 1) Pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; 2) Menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya; 3) Merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik; 4) Tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang mendukungnnya; 5) Kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik; 6) Kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas.81 C. Metode Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif kualitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima propinsi Nusa Tenggara barat yang terdaftar sebagai pemilih dalam Daftara Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilil tetap tambahan (DPTb) Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden tahun 2014.
80
Soebagio. Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di Indonesia Makara, Sosial Humaniora, vol. 12, no. 2, Desember 2008: 82-86.
81
Soebagio, Ibid.
281
Khususnya pada 5 Desa yang diteliti, yaitu desa Diha, desa, Renda, desa, Ngali, desa Cenggu dan desa Lido, yang diasumsikan sebesar 80 persen dari jumlah pemilih terdaftar dalam DPT dan DPTb atau sebesar 11.709 orang. Alasan penetapan populasi ini adalah karena DPT dan DPTb untuk Pemilu Presiden dan wakil Presiden merupakan hasil validasi dari DPT dan DPTb Pemilu legislatif yang dilaksanakan tiga bulan sebelumnya, sehingga dianggap bahwa semua pemilih yang terdaftar dalam DPT dan DPTb untuk Pemilu Presiden dan wakil Presiden terdaftar pula dalam DPT dan DPTb untuk Pemilu legislatif tahun 2014. Sedangkan sampel dalam penelitian ini ditetapkan sebesar 5 persen dari jumlah populasi atau sebanyak 580 orang. Oleh karena jumlah populasi cukup besar dan populasi tersebut memiki karakteristik yang sama (homogen) maka dalam penentuan sampel, semua populasi diberikan kesempatan yang sama untuk tampil sebagai sampel. Atas dasar itu maka penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik probability sampling atau tepatnya teknik simple random sampling. Di samping itu untuk mendukung validitas data primer yang dikumpulkan melalui responden, maka diperlukan juga keterangan atau penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak yang dianggap berkompeten. Untuk itu dalam penelitian ini ditetapkan juga sampel dengan teknik non probability sampling, yaitu snowball sampling dengan menetapkan ketua KPU Kabupaten Bima sebagai informan utama (Key informan), serta dilakukan diskusi mendalam dan berfokus dengan berbagai pihak dalam acara focus group discussion (FGD). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Data primer dikumpulkan dengan dua cara, yaitu : pertama, dengan cara menyebarkan Angket atau questionnaire yang berisi sejumlah daftar pertanyaan yang telah disiapkan untuk dijawab oleh 550 orang responden yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini disadari bahwa untuk dapat mengumpulkan data dari jumlah responden yang cukup besar tersebut dalam waktu yang terbatas tentu tidaklah mudah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditetapkan tingkat error tertinggi dalam pengumpulan data ini tidak melebihi 10 persen dari jumlah questionnaire yang diedarkan. Kedua, dengan cara melakukan wawancara mendalam (dept interview) dengan ketua KPU Kabupaten Bima yang telah ditetapkan sebagai key informan dan pihak-pihak lain berdasarkan petunjuk
282
dari kedua key informan tersebut dan seterunya dengan pola snowball. Sebagai alat bantu dalam pengumpulan data ini digunakan digital voice recorder dan buku notebook untuk mencatat. 2.
Data sekunder dikumpulkan dengan cara melakukan studi dan penelusuran kepustakaan,
terutama
di
kantor
KPU
Kabuaten
Bima,
perpustakaan
STIH
Muhammadiyah Bima, perpustakaan STISIP Mbojo Bima dan melalui media online. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif kualitatif. Dalam teknik analisa semacam ini, data-data yang telah dikumpulkan, setelah diurutkan, dikelompokkan dan diorganisasikan ke dalam pola kategori tertentu sebagaimana dimaksud di atas, kemudian dijelaskan, dihubungkan satu sama lainya, diinterpretasikan, dan kemudian dinarasikan atau dideskripsikan, sehingga akhirnya dapat memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan penelitian sesuai dengan yang diharapkan. D. Hasil Penelitian D.1. Gambaran Umum Masyarakat Belo Kabupaten Bima Berdasarkan data statistik tahun 2012, luas wilayah kecamatan belo adalah 44,76 km2 yang terbagi dalam 8 Desa, yaitu desa Roka, desa Runggu, desa Cenggu, desa Renda, desa Ngali, desa Lido, desa Soki dan desa Ncera. 82 Jumlah Penduduk kecamatan Belo seluruhnya adalah 25.044 Jiwa, degan tingkat kepadatan penduduk 559 Jiwa/km2. Secara umum kehidupan masyarakat di kecamatan Belo masih dicirikan oleh kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya, yaitu: a) Pergaulan hidup yang akrab dan saling kenal-mengenal atas dasar kekeluargaan; b) Sebahagian besar masyarakat hidup di sektor pertanian. Pekerjan lain yang bukan pertanian biasanya dianggap sebagai pekerjaan sambilan saja;
82
Tahun 2012 bertambah 1 desa, yaitu desa DIHA yang merupakan pemekaran dari desa Ncera).
283
c) Masyarakat yang cukup homogen dilihat dari agama, mata pencarian, ada istiadat dan sebagainya. Tipilogi masyarakat. Telah dikemukakan bahwa corak hubungan sosial masyarakat di Kecamatan Belo masih dicirikan oleh kehidupan sosial masyarakat pedesaan. Pola inter-aksi horizontal di antara warga masyarakat pada masing-masing desa didasari dengan semangat kekeluargaan. Semua pasangan berinteraksi dianggap sebagai anggota keluarga. Hal yang sangat berperan dalam interaksi dan hubungan sosialnya adalah motif-motif sosial, seperti kesamaan adat kebiasaan, kesamaan tujuan dan kesamaan pengalaman. Hubungan Sosial di desa-desa di kecamatan Belo, dilandasi dengan ikatan batin yang kuat diantara sesama warga desa, yaitu perasaan di mana setiap warga/anggota masyarakat merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana ia hidup dan dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakat atau anggota-anggota masyarakat. Karena beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai, menghormati, mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagian bersama di dalam masyarakat. Hubungan sosial yang sangat kuat yang didasari dengan ikatan kekeluargaan ini diantaranya tercermin dalam sikap atau perilaku kerja sama, saling bantu membantu atau gotong royong dalam berbagai bentuk kegiatan seperti mendirikan rumah, upacara pesta perkawinan, memperbaiki jalan desa, membuat saluran air, membersihkan kuburan desa dan lain sebagainya, yang langsung atau tidak langsung akan berimplikasi pula pada perilaku politiknya. Namun demikian, dalam masyarakat Belo terdapat perbedaan orientasi yang sangat kontras antara masing-masing desa dalam hal menjalani kehidupan bermasyarakat dan memenuhi kelas-kelas sosial, terutama dalam sektor pertanian. Secara singkat tipilogi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Masyarakat Desa Roka biasanya menjadi buruh tani, mereka pada umumnya yang bekerja pada sektor pertanian bekerja pada Petani yang memiliki lahan banyak dengan
284
gaji per musim tanam, setelah mendapati modal dan memiliki keterampilan bertani yang mumpuni mereka akhirnya mandiri. b) Masyarakat desa Runggu cenderung menjadi buruh tani lepas, pada musim panen padi ramai-ramai menjadi buruh tani padi, pada musim panen bawang juga menjadi buruh bawang, dan lebih suka menjadi pekerja-pekerja formal dan bekerja tetap seperti pada instansi pemerintahan atau pertokoan. c) Masyarakat desa Cenggu biasanya menjadi petani mandiri dengan memanfaatkan lahan yang dimiliki, tidak banyak yang menjadi buruh tani. Sehingga perkembangannya cenderung stagnan dari tahun ke-tahun. d) Dalam masyarakat desa Renda terlihat masyarakat yang paling “kapitalis” di antara desa-desa lainnya. Dalam hal bertani tidak saja di desa sendiri akan tetapi sudah banyak menyebar ke desa-desa lain bahkan hingga kabupaten lain seperti Kabupaten Dompu dan Sumbawa. Di samping itu, masyarakatnya lebih banyak menjadi pedagang besar yang menguasai perdagangan hasil pertanian seperti Bawang Merah. Investasi masyarakat Desa Renda cenderung mengarah pada kekuatan ekonomi, sehingga cenderung banyak pedagang besar di Desa Renda. e) Berbeda dengan Desa Ngali, meski dalam pola pertanian memiliki motivasi yang sama dengan Desa Renda, seperti bertani menyebar memenuhi pelosok kabupaten yang tanahnya tidak dimamfaatkan secara efisien oleh masyarakat setempat, masyarakat desa Ngali cenderung menginfestasikan pada bidang pendidikan, sehingga di Desa Ngali banyak sekali masyarakatnya yang berpendidikan tinggi. f) Desa Lido merupakan desa yang memiliki karakter mirip dengan desa Ngali, dan Renda dalam bekerja, yakni memiliki etos kerja dalam bertani, bertanipun menyebar dalam berbagai wilayah di beberapa kabupaten lain. namun tidak terlalu identik seperti desa Ngali yang berinvestasi pada pendidikan atau Desa Renda pada bidang ekonomi, masyarakat Desa Lido memiliki rasa kepemilikan bersama yang tinggi, sehingga tidak ada yang terlalu kaya dan tidak terlalu banyak yang berpendidikan tinggi. g) Masyarakat Desa Soki merupakan pemekaran dari Desa Lido namun tidak memiliki kesamaan kultur dengan Desa induknya. Masyarakat Desa Sokipun dalam urusan
285
pertanian tidak jauh beda dengan Desa Renda, Ngali, Lido. Mereka lebih berkarakter sama dengan Desa Ncera, yang cenderung mengalah dalam bersikap dan bergaul tertutup hanya dalam lingkup komunitas masyarakatnya. Seperti dalam memilih pasangan untuk berkeluarga. h) Masyarakat Desa Ncera memiliki tingkat primordial berdasakan karakter dialek bahasa. Karena dialek bahasa Ncera hampir di tuturkan oleh tiga desa lainnya yakni Desa Soki, Ncera, dan Doro o’o. Sehingga mereka memiliki karakater yang sama berdasarkan dialek bahasa.83 Agama dan Budaya Berdasarkan catatan BPS Statistik Bima, seluruh warga masyarakat di kecamatan Belo menganut agama Islam. Agama ini masuk di Bima pada sekitar pertengahan abad XVI dibawa oleh para pedagang dan mubalig dari kerajaan Demak di pulau Jawa dan kerajaan Ternate di Maluku. Oleh karena itu kebudayaan masyarakat di kecamatan Belo, seperti juga kebudayaan masyarakat Bima (mbojo) pada umumnya, diwarnai oleh nilai-nilai doktrinal Islam. Islamisasi dalam masyarakat Bima menyangkut seluruh aspek kehidupan termasuk aspek budaya, poltik, ekonomi, hukum dan dimensi kehidupan yang lainnya. Pada zaman sebelum masuknya Islam, agama yang dianut oleh masyarakat Bima adalah agama Hindu/Syiwa. Pada zaman ini, yang disebut dengan zaman ‘ncuhi’, masyarakat Bima sudah terbiasa mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama secara musyawarah dan mufakat. Pemerintahan pada zaman ‘Ncuhi’ ini dilaksanakan dengan berpegang pada pola masyarakat paguyuban, di mana pengambilan keputusan dilakukan dengan mengutamakan musyawarah yang didasari dengan semangat kekeluargaan yang tinggi. Hal ini kemudian diperkuat dengan nilai-nilai persaudaraan yang dibawa oleh Islam, yang kemudian tumbuh melembaga dalam budaya masyarakat Bima dan menjadi pola dasar
83
Wahyudinsyah. 2012. Preferensi dan Model Penyelesaian Kasus Hukum (Studi di Masyarakat Kecmatan Belo Kabupaten Bima). Tesis Program PascaSarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
286
sistim pemerintahan kerajaan Bima pada waktu itu. Syarifuddin Jurdi menyimpulkan bahwa kebudayaan Bima dihasilkan dari perpaduan nilai lokal, rasional, (pengatahuan) dan wahyu.84 Nilai-nilai Islam sangat kental mempengaruhi budaya masyarakat Bima umumnya, tidak terkecuali masyarakat Belo, seperti misalnya dalam cara berpakaian yang disebut dengan “Rimpu” yakni cara berpakaian yang menutup aurat bagi perempuan dengan menggunakan dua lembar sarung, yang dalam Islam disebut dengan jilbab. Demikian juga dalam hal pernikahan, waris, muamalah, musyawarah bahkan sampai pada penyelesaian masalah masalah-masalah hukum. Asas kebersamaan, persaudaraan, musyarwarah dan mufakat sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Bima, yang tercermin dalam sesanti “Kese tahopu dua” (bersama lebih baik daripada sendiri) dan ‘tohompa ra nami sura dou ma labo dana (Kepentingan rakyat dan tanah air harus lebih diutamakan daripada kepentingan seorang atau segelintir orang). Mata pencaharian dan etos kerja. Mata pencaharian masyarakat kecamatan Belo pada umumnya adalah sebagai petani. Hampir 90 persen penduduk kecamatan Belo yang sudah memasuki usia kerja bekerja pada bidang pertanian, sedangkan selebihnya bekerja sebaga pedagang, pengrajin industri, jasa angkutan, pertukangan dan pegawai pemerintahan (PNS, TNI/Polri dan pensiunan). Secara sederhana klasifikasi masyarakat di kecamatan Belo menurut jenis pekerjaannya dapat ditunjukan dalam tabel sebagai berikut : Masyarakat petani di kecamatan Belo dan di kabupaten Bima pada umumnya, tidak mengenal pembagian kelas petani antara tuan tanah dengan buruh tani seperti di pulau Jawa dan daerah-daerah lain, meskipun dalam faktanya ada juga petani-petani yang memiliki tanah yang cukup luas dan sebagian yang lainnya memiliki tanah yang sempit dan bahkan tidak memiliki tanah sendiri. Para petani yang tidak memiliki tanah dan yang memiliki tanah yang sempit ini biasanya menggarap tanah para petani yang memiliki tanah cukup luas,
84
Syarifuddin Jurdi. 2010. Historiografi Muhammadiyah. hal 177
287
namun mereka tidak berkedudukan sebagai buruh yang menerima upah harian, demikian juga dengan pemilik tanah yang digarap tidak berkedudukan sebagai majikan. Hubungan kerja antara petani pemilik tanah dengan petani penggarap tanah adalah sejajar dan bersifat kemitraan yang dilaksanakan dengan sistim bagi hasil atau sistim pengupahan secara musiman. Hasil pertanian yang utama di kecamatan Belo adalah bawang merah, padi dan kedelai. Masyarakat petani di kecamatan Belo dikenal sangat rajin, ulet dan dinamis. Mereka tidak saja menggarap tanah pertanian yang ada dalam batas wilayah desanya sendiri atau dalam batas wilayah kecamatan Belo saja, tetapi sudah terbiasa menyebar di wilayah kecamatan lainnya di kabupaten Bima bahkan di luar wilayah kabupaten Bima, seperti di kabupaten Dompu dan kabupaten Sumbawa. Sebahagian dari mereka memiliki mental enterpreneur, yaitu berani mengambil resiko menyewa tanah-tanah pertanian yang tidak digarap dengan baik oleh para pemiliknya di wilayah kecamatan atau kebupaten lainnya secara musiman atau secara tahunan, terutama untuk menanam bawang merah. Oleh karena itu pada musim tanam bawang merah, yaitu pada bualan April– Mei sampai pada musim panen pada sekitar bulan Juli–Agustus setiap tahunnya, banyak masyarakat petani di kecamatan Belo yang berada diluar wilayah kecamatan Belo. Hal ini selaras pula dengan jawaban para responden dalam penelitian ini di mana untuk melaksanakan pekerjaannya sebagai petani 22,24% reseponden mengaku sering meninggalkan desanya, 14,45% mengaku cukup sering meninggalkan desa dan hanya 39,16% yang menyatakan tidak pernah meninggalkan desanya.85 D.2. Kesadaran Politik Masyarakat Petani Untuk dapat memahami perilaku pemilih masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima pada Pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014, maka penting untuk dipahami terlebih dahulu kesadaran politik dari masyarakat petani di
85
Hasil Focus group discution (FGD) yang dilaksanakan di kator KPU Kabupaten Bima pada tanggal 14 Juli 2015 mengungkapkan bahwa tidak kurang dari separoh masyarakat di kebamatan Belo, terutama masyarakat dari desa Renda, desa Ngali, desa Lido dan desa Soki berada di luar wilayah kecamatan Belo pada setiap musim tanam sampai dengan musim panen bawang merah.
288
kecamatan Belo itu sendiri. Yang dimaksud dengan kesadaran politik di sini adalah sikap batin dari setiap individu warga negara yang ditampakkan pada kesadaran atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang merupakan bagian dari agregasi warga masyarakat/ bangsa dalam suatu Negara. Kesadaran politik ini tercermin pada kesadaran atas pentingnya urusan-urusan yang menyangkut kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diantaranya dapat dilihat pada tingkat partisipasi warga negara dalam kegiatan Pemilihan umum, minimal dalam memberikan hak suaranya. Kesadaran politik akan terbentuk melalui proses sosialisasi politik atau dengan kata lain, kesadaran politik merupakan output dari sosialisasi politik yang dilakukan oleh agenagen atau lembaga-lembaga sosialisasi politik. Dengan demikian kesadaran warga negara akan pentingnya berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu akan ditentukan oleh sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu beserta jajarannya sampai ke tingkat desa), partai politik peserta pemilu, termasuk para kandidat calon anggota legislatif dan lembaga pemerintah maupun non pemerintah lainnya yang bertugas atau berkepentingan dengan Pemilihan umum. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kesadaran politik masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima, dalam penelitian ini ada sejumlah pertanyaan yang diajukan, yang harus dijawab oleh semua responden. Dari 526 questioner yang diterima kembali oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa tingkat kesadaran politik masyarakat petani di kecamatan Belo tidak terlalu menggembirakan. Selengkapnya jawaban responden adalah sebagai berikut: Tabel 8.6 Kesadaran politik masyarakat petani Di kecamatan Belo, Kabupaten Bima, Propinsi NTB No
Pertanyaan
Jawaban
Jlh
%
Mengetahui
330
62,74
pemilu legislatif yg dilaksanakan tgl 9
Cukup Mengetahui
196
37,26
April 2014 dan Pemilu Presiden yang
Tidak mengetahui
0
0
01 Apakah anda mengetahui adanya
dilaksanakan pd tgl 9 Juli 2014
289
No
Pertanyaan
Jawaban
Jlh
%
265
50,38
50
9,50
167
31,75
22
4,18
22
4,18
253
48,10
Cukup sering
225
42,88
Jarang
48
9,12
Tidak pernah
0
0
02 Darimana anda mendapatkan informasi Dari penyelenggara tentang adanya pelaksanaan Pemilu
Pemilu (KPU/PPK/PPS,
Legislatif dan Pemilu Presiden dan
termasuk Paswas,
wakil Presiden tersebut
panwascan, panwaslap) Dari Parpol peserta Pemilu, Dari calon anggota DPR/DPD/DPRD Dari Pemerintah desa, termasuk RT/RW Dari media informasi umum (TV, Radio, koran) Dari sumber lain
03 Seberapa seringkah anda pendapatkan Sering sekali informasi tentang Pemilu tersebut
04 Apakah anda memahami arti penting
Sangat memahami
160
30,42
Pemilu bagi masa depan Bangsa dan
Cukup memahami
252
47,91
Negara Indonesia.
Kurang memahami
79
15,02
Tidak memahami
35
6,65
Sangat memahami
218
41,44
sebagai warga negara Indonesia, anda Cukup memahami
197
37,45
mempunyai hak untuk memberikan
Kurang memahami
84
15,97
suara pada pemilu
Tidak memahami
27
5,13
05 Apakah anda memahami bahwa
290
No
Pertanyaan
Jawaban
06 Apakah yang akan anda lakukan apabila Akan mengurus supaya mengetahui bahwa nama anda tidak
terdaftar
tercatat dalam Daftar Pemilih
Akan mengurus kalau
Jlh
%
287
54,56
147
27,95
67
12,74
25
4,75
sementara (DPS) atau Daftara Pemilih ada petugas yang tetap (DPT)
datang mencatat, atau perintah dari memerintah desa Akan mengurus kalau ada parpol atau calon anggota DPR/DPD/DPRD yang memberi biaya transpor Tidak memperdulikan
Berdasarkan pada jawaban responden di atas, ternyata bahwa hampir semua responden mengaku mengetahui adanya pemilu Legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dan Pemilu Presiden dan wakil Presiden yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014. Sumber informasi yang diperoleh para responden tentang adanya pemilu tersebut yang paling utama adalah dari penyelenggara Pemilu, yaitu KPU Kabupaten Bima, PPK/ PPS, termasuk Panwas kabupaten Bima/Panwascam dan panwaslap (50,38%) dan Pemerintah desa, termasuk RT/RW-nya (31,75%). Selebihnya bersumber dari partai politik peserta pemilu, termasuk para calon anggota DPR/DPD/DPRD (9,50%) serta dari media informasi umum (TV, radio dan koran) dan sumber lain masing-masing (4,18%). Temuan penelitian di atas menunjukan bahwa sosialisasi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014 di kecamatan Belo, khususnya mengenai hari dan tanggal pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sudah cukup baik. Ketua KPU Kabupaten Bima menjelaskan bahwa strategi sosialisai yang dilakukan oleh KPU Kabupaten 291
Bima adalah bekerja sama dengan pemerintah daerah. Pada setiap kesempatan pertemuan dengan pemerintah daerah, baik formal maupun informal, KPU Kabupaten Bima selalu meminta kepada Pemerintah daerah, terutama pemerintah tingkat kecamatan dan desa agar
dapat
membantu
penyenggara
pemilu
pada
wilayahnya
masing-masing
mensosialisasikan hari dan tanggal pemunggutan suara melalui berbagai media dan kesempatan yang tersedia, seperti mesjid dan mushola, acara pernikahan, sunatan dan semacamnya. Kerja sama yang baik ini terlaksana dengan baik pula di semua desa yang ada di wilayah kecamatan Belo, kabupaten Bima.86 Oleh karena itu intensitas informasi tentang pelaksaan Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden dan wakil Presiden yang diperoleh masyarakat petani di kecamatan Belo cukup tinggi, yaitu mencapai 90, 98 % responden yang mengaku sering sekali dan cukup sering mendapatkan informsi tentang pelaksanaan kedua Pemilu tersebut dan hanya 9,12% yang kurang mendapatkan informasi. Masyarakat petani di kecamatan Belo umumnya cukup memahami arti penting Pemilu bagi masa depan bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam jawaban responden tersebut di atas, di mana 78,33% responden mengaku sangat memahami dan cukup memahami arti penting Pemilu bagi masa depan bangsa dan Negara Indonesia, 15,02% menyakatan kurang memahami dan hanya 6,65% yang menyatakan tidak memahami. Demikian juga mereka cukup memahami hak-nya sebagai warga Negara Indonesia untuk ikut berpartisipasi menentukan masa depan bangsa dan negara melalui Pemilu. Jawaban responden di atas menunjukan bahwa 78,99% responden mengaku sangat memahami dan cukup memahami hak-nya sebagai warga negara untuk ikut memilih dalam pemilu, 15,97% mengaku kurang memahami dan sisanya hanya 5,13% yang mengaku tidak memahami haknya tersebut. Berdasarkan jawaban responden tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat pemahamah masyarakat petani di kecamatan Belo terhadap arti penting pemilu dan hak-nya sebagai warga negara untuk memberikan suara dalam setiap pemilu sudah cukup baik atau tinggi.
86
Wawancara dengan ketua KPU Kabupaten Bima dan ketua PPK Kecamatan Belo pada tanggal 14 Juli 2015.
292
Namun demikian pemahaman yang cukup tinggi tersebut tidak diikuti dengan kesadaran yang tinggi pula untuk ikut secara pro-aktif menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab. Hal ini terlihat dari jawaban responden atas pertanyaan pada angka 6 di atas, yaitu “Apakah yang akan anda lakukan apabila mengetahui bahwa nama anda tidak tercatat dalam DPS atau DPT?”. Terhadap pertanyaan ini hanya 54,56% responden yang menjawab “akan mengurus supaya terdaftar”. Sedangkan selebihnya 40,69% masih harus didorong atau dibujuk dan masih ada 4,75% yang menyatakan tidak peduli. Oleh karena itu, program-program pendidikan politik (political education) bagi masyarakat, khususnya masyarakat petani di kecamatan Belo ini merupakan keharusan pada masa yang akan datang, dan ini bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggungjawab partai-partai politik dan semua komponen masyarakat yang pro demokrasi. Dapat dipastikan bahwa perilaku apatisme dan pragmatisme masyarakat terhadap pemilu seperti yang diuraikan di atas, tidak saja terjadi di kalangan masyarakat petani di kecamatan Belo, tetapi juga terjadi di berbagai wilayah atau daerah lainnya di Indonesia. Banyak variabel yang dapat dituding sebagai penyebab munculnya perilaku masyarakat seperti ini, misalnya kejenuhan karena terlalu banyaknya macam Pemilu, ketidak percayaan masyarakat terhadap program-progran yang ditawarkan dan janji-janji politik berdasarkan pada pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya dan sikap tidak demokratis yang ditunjukan oleh para elit politik dan para calon anggota legislatif, seperti pembelian suara (money politic), pembagian barang-barang atas mana sumbangan, pemberian hadiah dan lain-lain. Hal ini diperparah lagi oleh sistim pemilu proporsional terbuka yang kita anut, yang telah membuka ruang kompetisi yang sangat ketat, bukan saja antar partai politik peserta pemilu tetapi juga antar para calon anggota legistaif dalam satu partai politik peserta pemilu. Akibatnya berbagai cara dilakukan oleh para calon anggota legislatif untuk merebut suara pemilih, rambu-rambu etika dan moral demokrasi dan hukum diabaikan dan perilaku masyarakat tumbuh mengekor menjadi semakin pragmatis.87
87
Focus group discussiion yang dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 2015 di kantor KPU Kabupaten Bima mengungkapkan bahwa perilaku para calon anggota legislatif yang tidak demokratis ini merupakan fenomena umum yang terjadi di kecaman Belo dan kecamatan lainnya di kabupaten Bima pada legislatit tahun 2014.
293
D.3. Perilaku Pemilih Masyarakat Petani Membahas perilaku pemilih berarti membahas perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). Perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, sedangkan perilaku tidak memilih adalah kebalikannya. Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku politik merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Banyak faktor yang dapat memengaruhi perilaku pemilih dalam mengambil keputusan politiknya. Visi-misi dan pandangan politik, kecakapan, latar belakang calon (atau parpol) dan lain-lain, tetapi ada juga sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap mewakili kelompok (desa—issue primordial), representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Bagaimana dengan perilaku pemilih masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima? Berdasarkan jawaban responden dalam penelitian ini, maka dapat dijelaskan perilaku pemilih masyarakat petani di kecamatan Belo dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 sebagai berikut: 1. Perilaku Memilih (Voting Behavior) Berdasarkan jawaban dari 526 responden dalam penelitian ini, terdapat 407 (77,38%) responden yang memberikan hak suara pada pemilu legislatif tahun 2014, sedangkan sisanya 119 (22,62) tidak memberikan hak suaranya. Angka-angka ini tidak jauh berbeda dengan angka tingkat partisipasi ril masyarakat di kecamatan Belo dan di tingkat kabupaten Bima pada pemilu legislatif tahun 2014, yaitu masing-masing 79,92% dan 76,14%. Sedangkan untuk pemilu Presiden dan wakil presiden, jumlah responden yang memberikan hak suaranya adalah sebanyak 335 (63,69) responden, sedang selebihnya 191 (36,31%) responden tidak memberikan hak suara pada Pemilu presiden 294
dan wakil presiden tahun 2014. Angka ini juga tidak jauh berbeda dengan angka tingkat partisipasi ril pemilih pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014 di kecamatan Belo 60,44% dan tingkat kabupaten Bima 66,27%.
Hal ini menunjukan bahwa
responden yang dipilih dalam penelitian ini cukup repsentatif mewakili keadaan yang sesungguhnya. Untuk mengetahui perilaku pemilih masyarakat petani di kecamatan Belo pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014, dapat dianalisis dari jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam tabel di bawah ini; Tabel 8.7 Perilaku memilih masyarakat petani Di kecamatan Belo, Kabupaten Bima, Propinsi NTB No Pertanyaan 01 Faktor apa yg mendorong anda memberikan suara pada Pemilu legislatif tahun 2014
Jawaban Kesadaran sendiri Ada kenalan/keluarga dekat yg menjadi calon Ada parpol yang dikagumi Ada calon anggota legislatif yg dikagumi Ada keuntungan secara ekonomi 02 Faktor apa yg mendorong Kesadaran sendiri anda memberikan suara Kagum pada pada Pemilu Presiden dan Capres/Cawapres tertentu wakil presiden tahun 2014 Ada parpol/Timses yang mengajak/menyuruh Ada keuntungan secara ekonomi 03 Apakah yg menjadi Kedekatan hukungan pertimbangan utama anda keluarga/pergaulan dengan dalam memberikan suara calon tertentu pada parpol atau calon Kedekatan dengan parpol tertentu dalam Pemilu tertentu legislatif Janji politik (Visi, misi dan program yg ditawarkan) oleh Parpol/Calon
Jlh 167 185
% 41.03 45,45
2 23
0,49 5,65
30
7,37
255 34
76,12 10,15
20
5,97
26
7,76
243
59,70
2
0,49
29
7,12
295
No
Pertanyaan
Jawaban
Track record (Rekam jejak calon) Adanya keuntungan ekonomi yg diperoleh dari calon 04 Apakah yg menjadi Janji politik (Visi, misi dan pertimbangan utama anda program yg ditawarkan) oleh dalam memberikan suara Parpol/Calon pada Pemilu Presiden dan Track record (Rekam jejak wakil Presiden. calon) Parpol pengusung calon Popolaritas calon Adanya keuntungan ekonomi yg diperoleh dari calon/Timses
Jlh
%
71
17,44
62
15,23
46
13,73
58
17,31
29 126 76
8,66 37,61 22,69
Berdasarkan awaban responden atas pertanyaan-pertanyaan dalam tabel 4,2 di atas , dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Motivasi kehadiran pemilih masyarakat petani di kecamatan Belo untuk memberikan suaranya di TPS pada pemilu Legislatif tahun 2014
lebih disebabkan karena
pertimbangan subjektif, yaitu karena adanya hubungan keluarga atau hubungan pergaulan dengan calon anggota legislatif, bukan karena kesadaran untuk menggunakan hak pilihnya secara bertangungjawab. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden terhadap pertanyaan pada angka 1 dalam tabel 4,5 di atas, di mana 45,45% responden menyatakan bahwa faktor yang mendorong responden untuk memberikan suara pada Pemilu legislatif tahun 2014 adalah karena ada kenalan/keluarga dekat yang menjadi calon anggota legislatif. Demikian juga dalam menentukan pilihan, 59,70% responden menyatakan bahwa yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan adalah kedekatan hubungan kekeluargaan atau pergaulan dengan calon yang dipilih.
Faktor lainnya yang mempengaruhi keputusan petani untuk
menentukan pilihannya pada pemilu legislatif tahun 2014 adalah track record (rekam jejak) Calon 17,44%; keuntungan ekonomi (Money politik) 15, 23%; Janji politik (Visi,
296
misi dan program yang ditawarkan) 7,12 % dan ikatan emosional atau kedekatan dengan parpol tertentu 0,49%. Grafik 8.7 GrafikPerilaku Memilih Masyarakat Petani di Kecamatan Belo pada Pemilu Legislatif Tahun 2014
2.
Berbeda dengan Pemilu Legislatif, motivasi utama masyarakat petani di kecamatan Belo untuk memberikan suaranya pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden adalah faktor kesadaran politik untuk menggunakan hak pilihnya. Kesimpulan ini didasarkan pada jawaban responden terhadap pertanyaan pada angka 2 dalam tabel di atas, di mana 76,12% responden
menyatakan hal yang demikian itu. Sedangkan dalam
menentukan pilihannya sangat dipengaruhi oleh popularitas calon, yaitu 37,61%, keuntungan ekonomi (Money politik)
22,69%; track record (rekam jejak) Calon
297
17,31%; Janji politik (Visi, misi dan program yang ditawarkan) 13,73 %; dan parpol pengusung pasangan calon 8,66%.
Grafik 8.8 Grafik Perilaku Memilih Masyarakat Petani Di Kecamatan Belo Pada Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2014
Dengan demikian perilaku memilih masyarakat Petani di kecamatan Belo pada pemilu legislatif masih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat sosiologis, terutama faktor kedekatan hubungan keluarga atau pergaulan sosial dengan calon anggota legislatif yang akan dipilihnya. Faktor inilah yang menjadi alasan munculnya fenomena “Jago kandang” pada setiap desa dari para caleg yang berasal dari kecamatan Belo pada pemilu Legislatif tahun 2014, seperti Caleg atas nama Drs. NOERDIN H.M JACUB (untuk DPRD Provinsi Dapil NTB 6) yang memperoleh suara sebesar 3.788 di kecamatan Belo, dengan capaian 3.193 suara (jumlah pengguna hak pilih 3.811 di desa Renda) —desa asal caleg yang bersangkutan, menunjukkan relasi dimaksud. 88 Begitu pula capaian 2.068 suara yang diperoleh oleh 3 orang caleg asal Desa Renda yang memperebutkan jatah Kursi DPRD Kabupaten di Dapil Bima 3 yaitu: a) H. ABURRAHMAN, S.SOS, Partai Hanura 846 suara; b) 88
Sertifikat Model DA-1 DPRD Propinsi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dari Setiap Kelurahan Di Tingkat Kecamatan Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Propinsi NTB Tahun 2014
298
ARDIWIN PAN 634 suara; dan c) MUSMULYADIN Partai Golkar 588 suara semakin menasbihkan faktor “relasi kenalan/ keluarga dekat yang menjadi calon”. 89 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Kedekatan hubungan keluarga dan hubungan kekerabatan masih sangat kental di kalangan masyarakat pada semua desa yang ada di kecamatan Belo. Pergaulan hidup sehari-hari yang didasari dengan semangat kekeluargaan yang tinggi, mempengaruhi pula perilaku mereka dalam hal politik. Apabila ada salah seorang keluarga yang menjadi calon anggota legislatif, maka keluarga yang lainnya akan memberikan suara bahkan membantu mempengaruhi pemilih lainnya untuk memberikan suara. Mereka akan meninggalkan pekerjaannya sebagai petani dan menyempatkan diri untuk memberikan suara keluarga atau kenalannya yang menjadi calon anggota legislatif tersebut. Hal ini tercermin dari jawaban responden atas pertanyaan: “Bagaimana sikap anda jika ada calon anggota DPR/ DPD/ DPRD yang merupakan kenalan dekat atau keluarga dekat anda?”. Didapatkan jawaban sebagai berikut: Tabel 8.9 Perilaku memilih masyarakat petani di kecamatan Belo jika ada calon anggota DPR/ DPD/ DPRD yang merupakan kenalan dekat atau keluarga dekat Akan memberikan suara tanpa syarat apapun
69,58%
Tidak akan memberikan suara karena mengutamakan pekerjaan
13,69%
Akan memberikan suara kalau bersedia memberikan uang
8,75%
transpor dan ganti kerugian Akan memberikan suara kalau bersedia memberikan transpor
7,98%
saja Selain faktor sosiologis, meskipipun jumlahnya tidak besar, masih ditemukan perilaku memilih petani pada Pemilu Legislatif yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, yaitu perilaku memilih yang digantungkan pada kedekatan atau ikatan emosional yang kuat dengan partai 89
diolah dari sertifikat Model DA-1 DPRD Kabupaten/Kota Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dari Setiap Kelurahan Di Tingkat Kecamatan Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten Bima Tahun 2014.
299
politik tertentu sebesar 0,49%. Penelururan lebih jauh terhadap perilaku
pemilih ini
mengungkapkan bahwa mereka selalu memilih parpol yang sama pada setiap Pemilu dan sulit mengubah pilihannya tersebut. Sedangkan pemilih yang memilih karena pertimbangan janji politik (Visi, misi dan program yang ditawarkan oleh parpol atau calon) 7,12% dan yang memilih karena pertimbangan track record parpol atau calon sebesar 17,44%. Perilaku memilih dari kedua kategori ini yang disebut terakhir ini dapat dikatakan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional (Rational choice). Selebihnya sebasar 15,23% adalah pemilih pragmatis, yang menggantungkan pilihannya pada materi yang diberikan oleh partai politik peserta pemilu atau candidat calon anggota legislatif. Sedangkan pada Pemilu Presiden dan wakil presiden, perilaku memilih masyarakat petani di kecamatan Belo sangat dipengaruhi oleh popularitas pasangan calon, yaitu sebesar 37,61%. Jadi perilaku memilih yang tidak rasionak, karena hanya menilai calon dari sisi luarnya saja dan mudah dimanipulasi oleh media masa, terutama Televisi. Namun demikian jumlah pemilih rasional juga cukup besar yaitu 31,04%, dan yang cukup memprihatinkan adalah tingginya angka perilaku memilih yang bersifat pragmatis, yaitu sebesar 22,69%. 2. Perilaku tidak memilih (Non voting behavior) Telah disinggung pada bab penduhuan bahwa angka tingkat non voting pemilih di kecamatan Belo pada Pemilu legislatif tahun 2014 adalah sebesar 20,08% dan pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden sebesar 39,56%. Angka non voting pada Pemilu Legislatif tersebut dapat dikatakan cukup menggembirakan, setidaknya karena angka tersebut berada di bawah angka non voting di tingkat kabupaten Bima maupun di tingkat Nasional. Namun angka non voting pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan semua kecamatan lainnya yang ada di kabupaten Bima, dan juga berada di atas angka non voting di tingkat kabupaten Bima maupun di tingkat nasional. Hampir sama dengan data empirik yang dikemukakan di atas, hasil angket (Questioner) dalam penelitian ini menunjukan bahwa angka non voting pemilih masyarakat 300
petani di kecamatan Belo adalan 22,62% pada Pemilu Legislatif dan 36,31% pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014. Berkenaan dengan perilaku non voting pada kedua Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2014 tersebut, respon memberika jawan sebagai berikut : Tabel 8.10 Perilaku non voting masyarakat petani di kecamatan Belo Pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presideng dan wakil Presiden tahun 2014 No Pertanyaan 01 Faktor apa yang menjadi kendala anda tidak memberikan suara pada pemilu legislatif tahun 2014
02
Tabel
Jawaban Sedang berada di luar wilayah desa Sedang sibuk dengan pekerjaan sbg petani Tdk ada parpol/calon yang memberi biaya transpor/ganti rugi Tdk ada keluarga/kenalan dekat yg jadi calon Ada hajatan lain/musibah/ketiduran Alasan lain Faktor apa yang Sedang berada di luar menjadi kendala anda wilayah desa tidak memberikan Sedang sibuk dengan suara pada pemilu pekerjaan sbg petani Presiden dan wakil Tdk ada parpol/calon Presiden tahun 2014 yang memberi biaya transpor/ganti rugi Tdk ada Calon yang saya inginkan. Ada hajatan lain/musibah/ketiduran Alasan lain
Jlh 20
% 16,81
75
63,02
12
10,08
11
9,24
1
0.84
0 44
0 23,04
129
67,54
14
7,33
3
1,57
1
0,52
0
0
di atas memperlihatkan bahwa perilaku non voting masyarakat Petani di
kecamatan Belo pada Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun
301
2014 terutama disebabkan kesibukan mereka sebagai patani, yaitu 63,02% pada Pemilu Legislatif dan 67,54% pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden. Angka ini masih di tanbah dengan pemilih yang berada di luar wilayah desanya yang hampir seluruhya karena alasan kerja pula, yaitu 16,81% pada Pemilu Legislatif dan 23,04% pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden. Hal ini dapat difahami mengingat pelaksanaan Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 bertepatan dengan musim tanan bawang merah dan pelaksanaan Pemilu Presiden dan wakil Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 bertepatan dengan musim tanam padi dan musim panen bawang merah. Faktor lainnya yang menjadi alasan perilaku non voting masyarakat petani di kecamatan Belo pada Pemilu Legislatif tahun 2014 adalah karena tidak ada parpol/calon yang memberi biaya transpor/ganti rugi 10,08%; tidak ada kenalan atau keluarga dekat yang menjadi calon anggota legislatif 9,24%; dan karena ada hajatan lain/musibah/ketiduran 0,84%. Grafik 8.11 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Non Voting Masyarakat Petani Di Kecamatan Belo Pada Pemilu Legislatif 2014
302
Sedangkan pada faktor lain yang mempengaruhi perilaku non voting pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden adalah karena tidak ada parpol yang memberi uang transpor/ganti rugi 7,33%; tidak ada calon yang sesuai dengan keinginan 1,57 % dan karena ada hajatan lain/musibah/ketiduran 0,52%. Grafik 8.12 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Non Voting Masyarakat Petani Di Kecamatan Belo Pada Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden 2014
Pada prinsipnya masyarakat petani di kecamatan Belo meyakini bahwa melalui Pemilu akan dapat menjamin terpilihnya para pemimpin (Anggota Legislatif/Presiden dan wakil presiden) yang baik dan sunguh-sungguh akan memperjuangkan kepentigan rakyat. Hal ini terlihat dari jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan itu sebagai berikut : Tabel 8.13 Kepercayan masyarakat petani di kecamatan Belo Pada mekanisme Pemilu tahun 2014 Pertanyaan
Jawaban
Apakah anda percaya bhw Pemilu akan Percaya menjamin terpilihnya pemimpin yg baik dan Tidak percaya sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan Tidak tahu rakyat
% 77,56 0,03 22,05
303
Namun demikian, memperhatikan jawaban responden di atas mengindikasikan adanya kecenderungan apatisme masyarakat petani di kecamatan Belo terhadap pemilu. Meskipun pemilu diyakini oleh mereka sebagai suatu mekanisme demokrasi yang menjanjikan perubahan dan perbaikan masa depan bersama, namun tidak dianggap sebagai sesuatu yang lebih penting dari pekerjaan mereka sehari-hari sebagai petani. Mereka enggan untuk meninggalkan pekerjaannya walau sejenak untuk menyempatkan diri memberikan suara di TPS. Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku non voting masyarakat petani di kecamatan Belo pada pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan wakil presiden tahun 2014, yang paling utama adalah faktor pekerjaan (alasan sosial ekonomi), kemudian faktor sikap mental pragmatisme dan faktor teknis. Oleh karena tingkat pendidikan rata-rata para petani yang rendah, maka dalam penelitian ini tidak ditemukan perilaku non voting yang disebabkan oleh alasan yang bersifat politis atau alasan idiologis. D.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014 adalah sebesar 60,44%, yang merupakan angka tingkat partisipasi terendah dibandingkan dengan semua kecamatan lainnya yang ada di wilayah kabupaten Bima. Angka ini berada jauh di bawah angka tingat partisipasi pemilih tingkat kabupaten Bima maupun tingkat Nasional. Apabila dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif yang dilaksanakan hanya berselang tiga bulan sebelumya yang mencapai angka 79,92%, terjadi penurunan sebesar 19,48%. Demikian juga apabila dibandingkan dengan angkat tingkat partisipasi pemilih pada pemilu yang sama periode sebelumnya yang berada pada tingkat 76,50%, terjadi penurunanan sebesar 17,06%. Hal ini tentunya merupakan pertanda buruk bagi pembangunan kehidupan demokrasi di Negara Kita, sehinga tidak bisa dibiarkan dan harus dicarikan jawaban agar dapat dirumuskan kebijakan untuk mengatasinya.
304
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di kecamatan Belo pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden ini tahun 2014 ini juga tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Pemilih petani di daerah itu yang sudah dibahas sebelumnya, baik perilaku memilih (Voting Behavior) maupun perilaku tidak memilih (Non voting Behavior). Dari pembahasan mengenai perilaku memilih masyarakat petani di kecamatan Belo di atas telah dapat diketahui bahwa faktor utama yang mempengaruhinya adalah faktor sosiologis, yaitu kedekatan hubungan keluarga atau hubungan pergaulan sosial, sedangkan faktor utama yang mempengaruhi perilaku non voting adalah faktor sosial ekonomi atau faktor pekerjaan. Oleh karena itu menjadi hal yang wajar apabila tingkat partisipasi masyarakat petani dalam memberikan hak suaranya pada Pemilu legislatif mencapai angka yang relatif tinggi. Karena pada Pemilu Legislatif ini ada kepentingan subjektif yang bersifat langsung atau tidak langsung dari para pemilih petani itu sendiri yang mereka perjuangkan, yaitu mewujudakan kepentingan keluarga atau kenalan dekat mereka dan tentunya dengan harapan agar pada giliran nanti merekapun akan dapat menikmati hasil dari perjuangannya itu. Hal ini masih didukung lagi oleh adanya mobilisasi pemilih oleh parpol atau para calon anggota legislatif atas biaya mereka, adanya praket politik uang dan semacamnya yang dapat menggiring para pemilih untuk memberikan suaranya pada Pemilu Legislatif. Hal-hal yang demikian ini tidak akan dijumpai pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat petani di kecamatan Belo yang rendah dan pemahaman politik yang minim bahkan kebanyakan a politik, dan keterbiasaan mereka dalam suasana pemilu legislatif yang dapat memberikan manfaat langsung berupa uang atau kaos dan sejenisnya pada pemilu legislatif telah membangun preferensi yang keliru dalam benak mereka, seolah-olah pemilu Legislatif lebih penting dari pada pemilu Presiden dan wakil Presiden. Hal ini terlihat dari jawaban responden atas pertanyaan “Andaikan
305
dihadapkan pada pilihan harus memilih pada Pemilu Legislatif atau Pemilu Presiden dan wakil Presiden, yang manakah yang akan anda pilih?” Terbahadap pertanyaan tersebut, 74,15% responden menjawab akan memberikan suara pada Pemilu Lagslatif dan sisanya 25, 85% menjawab akan memberikan suara pada pemilu Presiden dan wakil Presiden. Grafik 8.15 Sikap Masyarakat Petani di kecamatan BeloTerhadap Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014
Tingginya angka non voting pada pemilu Presiden dan wakil presiden di kecamatan Belo juga disebabkan karena tingginya angka non voting dari masyarakat petani di daerah itu yang disebabkan karena faktor pekerjaan, terlebih lagi karena Pemilu Presiden dan wakil presiden tersebut dilaksanakan pada bulan Juli, yang berarti bertepatan dengan musim tanan padi dan musim tanam bawang merah, di mana sebahagian besar dari masyarakat petani di kecamatan belo sedang berada di luar daerahnya. Berdasarkan pada pembahasan di mukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
306
1.
Faktor utama yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima pada Pemilu Legislatif tahun 2014 adalah faktor sosiologis, terutama kedekatan hubungan keluarga atau pergaulan sosial dengan calon anggota legislatif yang akan dipilihnya 59,70%. Faktor kedekatan hubungan keluarga atau kedekatan hubungan pergaulan ini bukan saja menjadi faktor penentu bagi pemilih petani untuk menentukan pilihannya tetapi juga menjadi faktor pendorong yang memotivasi mereka untuk memberikan suaranya pada pemilu Legislatif. Faktor lainnya adalah, pertimbangan rasional yang didasarkan pada penilaian terhadap track record parpol/calon 17,44% dan janji politik (Visi, misi dan program yang ditawarkan) 7,12%, kemudian faktor money politic 15,23% dan faktor kedekatan dengan parpol tertentu 0,49%. Sedangkan Faktor utama yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat petani di kecamatan Belo, kabupaten Bima pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2014 adal popularitas pasangan calon 37,61%, kemudian faktor Track record pasangan calon 17,31%, faktor parpol pengusung pasangan calon 8,66% dan faktor money politik 22,69%.
2.
Faktor utama yang mempengaruhi perilaku non voting masyarakat petani di kecamatan Belo, yang juga menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan wakil presiden tahun 2014 adalah faktor pekerjaan. yakni terkait dengan kesibukan masyarakat petani yang bertepatan antara pelaksanaan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden dengan musim bertani mereka. Di samping itu masih cukup banyak ditemukan pemilih yang bersifat pragmatis, yang menggantungkan pilihannya pada materi yang diberikan oleh peserta pemilu. Sehubungan dengan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut : 1.
Oleh karena faktor utama yang mempegaruhi perilaku masyarakat petani di kecamatan Belo pada Pemilu Legislatif adalah faktor kedekatan kekeluargaan atau pergaulan sosial, demikian juga karena perilaku memilih masyarakat pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden sangat dipengaruhi oleh popularitas calon, di mana kedua faktor tersebut 307
merupakan faktor yang bersifat irrasional dilihat dari substansi dan urgensi Pemilu, maka perlu adanya pendidikan politik yang dilaksanakan secara intens, terencana dan sistimatis bagi masyarakat a politik seperti para petani di kecamatan Belo ini. Hal ini tentunya menjadi tanggungjawab Negara dengan memberdayakan intitusi Negara yang ada, terutama KPU selaku Penyelenggara pemilu yang merupakan Lembaga Negara yang bersifat permanen. 2.
Untuk kebutuhan jangka pendek, guna meningkatkan pertisipasi pemilih masyarakat petani di kecamatan Belo dalam memberikan hak suranya pada pemilu yang akan datang, perlu dipikirkan untuk mendekatkan Tempat Pemungutan suara (TPS) pada tempat-tempat tertentu yang merupakan tempat konsentrasi para petani dalam menjalankan pekerjaannya sebagai petani, misalnya berupa TPS keliling. TPS keliling ini berisi surat suara daerah pemilihan (Dapil) yang meliputi wilayah kecamatan Belo namun dapat bergerak memasuki wilayah Dapil lainnya bahkan kabupaten lainnya di mana para petani kecamatan Belo berkonsentrasi.
3. Perlu adanya upaya untuk meingkatkan peran dan fungsi partai politik untuk membangun budaya politik yang sehat dan bermartabat, termasuk memberikan pendidikan politik yang sehat pada masyarakat umumnya, terutama masyarakat yang a politik, baik yang dilakukan secara formal maupun melalui keteladanan dalam sikap dan perbuatannya. Hal ini sangatlah penting mengingat munculnya sikap pragmatis di kalangan masyarakat seperti di kecamatan Belo ini, merupakan hasil inter aksi yang tidak demokratis dengan partai politik atau para aktor politik yang menginginkan suara mereka. Adalah imposible merubah perilaku masyarakat, apalagi masyarakat a politik seperti para petani di kecamatan Belo ini apabila perilaku parpol dan para aktor politik/kandidal calon anggota legislatif tidak berubah.
308
DAFTAR PUSTAKA
Bismar Arianto. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji. Vol. 1, No. 1, 2011. BPS Kabupaten Bima. Bima Dalam Angka Tahun 2012. Eka Suaib, 2010. Problematika Pemutakhiran Data Pemilih di Indonesia. Penerbit Koekoesan. Depok. Elvi Juliasyah. 2007. Pilkada, Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. CV. Mandar Maju, Bandung. Huntington, S.P. & Nelson, J. 1977. No easy choice political participation in developing countries. Cambridge: Harvard University Press. Joko J. Prihatmoko, 2008. Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis. cet ke1 Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joseph A. Schumpeter. 1942. Capitalism, Socialism, and Democracy, 2d ed. (New York: Harper). Lili Romli, 2007. Potret Otonomi daerah dan Wakil rakyat di tingkat lokal. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Miriam, Budiardjo, 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik, (edisi revisi). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Muhammad Asfar. 1998. Perilaku Non Voting Di Bawah Sistem Politik Hegemonik, Tesis Program Studi Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. GP Press Group, Jakarta. 2013. Ndraha, Taliziduhu. 1993. Partisipasi Masyarakat. Yayasan Karya Dharma, IIP Jakarta. Nur Hidayat Sardini. 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Fajar Media Press. Yogyakarta. Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 309
Soebagio. Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di Indonesia Makara, Sosial Humaniora, vol. 12, no. 2, Desember 2008. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung. Syarifuddin Jurdi. 2010. Historiografi Muhammadiyah. Wahyudinsyah. 2012. Preferensi dan Model Penyelesaian Kasus Hukum (Studi di Masyarakat Kecamatan Belo Kabupaten Bima). Tesis Program PascaSarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
310
Bab IX Analisis Perilaku Pemilih di Kota Bima Bukhari * Agus Salim * Fatmahul Fitriah Tamrin * M.Saleh Abubakar
A. Pengantar Seiring dengan keterbukaan informasi dan proses demokrasi, rakyat Indonesia memiliki peluang untuk mengevaluasi pemimpin pada tingkat lokal dan nasional. Survei berupa jajak pendapat itu dilakukan untuk mendapatkan informasi dari tangan pertama tentang kinerja dan tingkat kepercayaan masyarakat atau responden terhadap pemimpin di wilayahnya. Hasil dari survei ini biasanya diumumkan sebagai masukan bagi pemimpin yang dievaluasi tersebut baik presiden, wakil presiden, penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota dan provinsi, politisi, dan tokoh-tokoh masyarakat. Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu tetapi lebih jauh dijadikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang dijadikan perdebatan. Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktek politik demokrasi perwakilan. Persoalannya adalah terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang gelap yang terus menjadi pertanyaan, seperti fluktuasi kehadiran pemilih di TPS, suara tidak sah yang tinggi, politik uang, misteri derajat melek politik warga dan langkanya kesukarelaan pemilih. Masalah tersbut tentu harus dibedah agar diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang diimajinasikan. Dalam konteks ini riset dapat memainkan peran memberi pendekatan dan jawaban atas berbagai pertanyaan diatas. Namun demikian, usaha-usaha untuk mewujudkan survei yang ilmiah terkadang terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga hasil-hasil penelitian tersebut seringkali mengandung bias. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian lembaga-lembaga tersebut tentang suatu topik yang dalam banyak hal saling 311
bertentangan. Akibatnya masyarakat menerima hasil survei tersebut kebingungan. Ironisnya, pemerintah tidak memiliki lembaga sandaran untuk menjawab hasil-hasil survei organisasi-organisasi lain. Sebenarnya pemerintah memiliki lembaga statistik atau Badan Pusat Statistik (BPS) namun hasilnya seringkali diragukan oleh masyarakat. Kemungkinan besar karena posisinya sebagai lembaga pemerintah. Berbagai aspek inilah kemudian yang melatarbelakangi ketertarikan melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Perilaku Pemilih di Kota Bima Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengajukan rumusan masalah bagaimanakah perilaku pemilih di Kota Bima?. B. Tinjauan Teoritis B.1. Konseptualisasi Tentang Pemilu Pemilihan Umum sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan, selanjutnya disebut Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum merupakan media dan mekanisme pelibatan rakyat dalam wilayah demokrasi untuk menentukan keputusan politik yang strategis, dimana suara setiap rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih yang merupakan wujud kontrak sosial antara negara dan rakyat sebagaimana Joanes Joko memberikan esensi penting pemilu yakni merupakan kontrak sosial antara mereka yang terpilih dengan rakyat yang banyak. Jangan sampai rakyat menjadi apatis terhadap pemilu dan menganggap pemilu hanya untuk sekedar memenuhi prosedur demokrasi. Apalagi jika pemilu sampai kehilangan esensinya dimana pemilu diikuti bukan lagi atas dasar kesadaran rasional, namun atas dorongan ideologis irasional (Joko,2004 : 6) Berdasarkan definisi pemilu menurut Joanes Joko dan peraturan perundangundangan dapat dirumuskan pemilu merupakan proses dimana rakyat melibatkan diri secara bebas dan langsung menggunakan hak pilihnya untuk menentukan wakilnya baik
312
legislatif maupun eksekutif tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga rakyat merasa puas dengan pilihannya. B.2. Perihal Partisipasi politik Ramlan Surbakti memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Surbakti, 1999:140). Sedangkan Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori berikut : Pertama, apatis. Artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator. Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. Keempat, pengritik, yakni dalam bentuk partisipasi tidak konvensional.(dalam Surbakti 1999:143) Model partisipasi tersebut dapat membantu peneliti untuk menganalisa bentuk partisipasi dan rasionalisasi penggunaan hak pilih pada kelompok pemilih pemula dalam konteks pasca pilkada kota Malang. B.3. Teori Pilihan Rasional Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa “tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi)” (1990:13). Untuk memberikan analogi dalam merealisaskan teorinya Coleman menggunakan dua unsur utama, yakni aktor dan sumberdaya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Friedman dan Hechter (1988) Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktorpun dipandang mempunyai pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan 313
rasional tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Interpretasi teori pilihan rasional dalam penelitian ini adalah bahwa tindakan pemilih pemula baik secara individu maupun berkelompok dalam melakukan sebuah tindakan untuk berpartisipasi ataupun menggunakan hak pilih dalam pilkada mengarah pada sebuah tujuan yang sudah tentu didasarkan oleh nilai ataupun sebuah pilihan. Pada prinsipnya pemilih pemula dan elit dalam partai politik merupakan dua orang aktor yang masing-masing memiliki sumber daya dan berusaha mengendalikan satu sama lain, yang menjadi dasar dari tindakan keduanya adalah tujuan dan nilai untuk mewujudkan kepentingan masing-masing secara maksimal, karena itu kedua aktor tersebut terlibat dalam sebuah mekanisme sistem dan saling tergantung satu-sama lain, yang membedakan adalah rasio penguasaan terhadap kekuatan untuk mengendalikan sumberdaya pihak lain. Elit partai memiliki posisi tawar yang lebih strategis dan lebih solid untuk mengendalikan pemilih pemula sebagai sumberdaya untuk memenangkan kepentingan partainya, sedangkan posisi pemilih pemula tidak dalam ikatan solid karena didasari oleh berbagai latar belakang yang berbeda sehingga pemilih pemula kurang dapat mengendalikan elit partai sebagai sumberdaya untuk memaksimalkan kepentingannya. Teori pilihan rasional dapat digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini, Pemilih pemula adalah sebuah entitas yang plural dan majemuk yang mana perilaku kolektif mereka dapat dipastikan tidak stabil dan kacau, sebagai contoh : dalam peristiwa pilkada kota Malang maka perilaku mereka dipastikan majemuk dan tidak stabil baik dari model partisipasi ataupun penggunaan hak pilih dan berbagai faktor yang mendasarinya, sehingga terjadi pemindahan kontrol secara sepihak oleh kalangan elit partai kepada kelompok pemilih pemula. Idealnya tercipta keseimbangan sistem tetapi realitanya sering terjadi penguasaan aktor satu kepada aktor yang lain. 314
B.4. Perilaku Memilih (Voting Behavior) B.4.1. Teori Perilaku Yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar. (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme – Respon. Skiner membedakan adanya dua proses, yaitu : a. Respondent respon atau reflexsive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena menimbulkan respon – respon yang relative tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respon ini juga mencakup perilaku emosinal misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya. b. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job description) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
315
perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. 2) Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice). Diatas telah dituliskan bahwa perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Hal ini berarti meskipun bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap orang. Faktor – factor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a) Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. b) Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering menjadi factor yang dominanyang mewarnai perilaku seseorang.
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: (1). Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu. (2). Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. (3). Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. (4). Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. (5). Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
316
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting). 2. Perilaku Memilih Menurut Jack Plano voting behavior atau perilaku memilih adalah: “Salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka.” Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah: “Kegiatan warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan di daftar sebagai seorang pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya”. Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang di maksud di sini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara. Menurut Josep Kristiadi penelitian mengenai voting behavior dalam pemilu pada dasarnya mempergunakan beberapa mazhab yang telah berkembang selama ini yakni : a. Pendekatan Sosiologis Mazhab sosiologis pada awalnya berasal dari Eropa yang kemudian berkembang di Amerika Serikat, yang pertama kali dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih di kenal dengan kelompok Colombia. Kelompok ini melakukan penelitian mengenai The People’s Choice pada tahun 1948 dan voting pada tahun 1952. Di dalam dua karya tersebut terungkap perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan
317
seperti sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. b. Pendekatan Psikologis Mazhab ini pertama kali dipergunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan (University of Michigan`s Survey Research Centre) sehingga kelompok ini dikenal dengan sebutan kelompok Michigan. Hasil penelitian kelompok ini yang dikenal luas adalah The Voter`s Decide (1954) dan The American Voter (1960). Pendekatan mazhab psikologis ini menekankan kepada 3 aspek variabel psikologis sebagai telaah utamanya yakni, ikatan emosional pada suatu Partai Politik, orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat. Inti dari mazhab ini adalah identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap para calon dan isu-isu politik yang berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih. Campbell (1960) menjelaskan proses terbentuknya perilaku pemilih dengan istilah “Funnel of Causality”. Pengandaian itu dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena voting yang di dalam model terletak paling atas dari “funnel”(Cerobong). Digambarkan bahwa di dalam cerobong terdapat as (axis) yang mewakili dimensi waktu. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu sama lain bergerak dalam dimensi waktu tertentu mulai dari mulut sampai ujung cerobong. Mulut cerobong adalah latar belakang sosial (ras, agama, etnik, daerah), status sosial (pendidikan, pekerjaan, kelas) dan watak orang tua. Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi kepartaian seseorang yang merupakan bagian berikutnya dari proses tersebut. Pada tahap berikutnya, identifikasi kepartaian akan mempengaruhi penilaian terhadap para kandidat dan isu-isu politik. Sedangkan proses yang paling dekat dengan perilaku pemilih adalah kampanye sebelum pemilu maupun kejadian-kejadian yang diberitakan oleh media massa. Masingmasing unsur dalam proses tersebut akan mempengaruhi perilaku pemilih, meskipun titik berat studi Kelompok Michigan adalah identifikasi kepartaian dan isu-isu politik para calon, dan bukan latar belakang sosial atau budayanya.
318
c. Pendekatan Ekonomi Pendekatan ini lahir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis dan psikologis. Pemikiran baru ini mempergunakan pendekatan ekonomi yang sering pula disebut sebagai pendekatan rasional. Tokoh dalam pendekatan ini antara lain Downs dengan karyanya “An Economic Theory of Democracy” (1957) dan Riker & Ordeshook, yang dituangkan dalam tulisan berjudul “A Theory of the Calculus Voting”, (1962). Para penganut aliran ini mencoba memberikan penjelasan bahwa perilaku pemilih terhadap partai politik tertentu berdasarkan perhitungan, tentang apa yang diperoleh bila seseorang menentukan pilihannya, baik terhadap calon presiden maupun anggota parlemen. B.4.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Memilih (Theori Rational Choice) Model pilihan rasional bersumber pada karya Anthony Downs, James Buchannan, Gordon Tullock dan Manchur Olsen. Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh penilaian terhadap keadaan ekonomi-sosial-politik ditingkat individu (egosentrik) dan ditingkat lokal-regional-nasional (sosiotropik). Pendekatan ini berkembang atas kritikan terhadap kedua pendekatan sebelumnya baik itu pendekatan sosiologis maupun pendekatan psikologis yang menempatkan pemilih pada ruang dan waktu yang kosong (determinan). Pemilih seakan-akan menjadi pion yang mudah ditebak langkahnya. Pendekatan sosiologis menekankan bahwa perilaku memilih ditentukan oleh struktur sosial masyarakat seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, agama dll. Perilaku memilih merupakan faktor yang ditentukan oleh strukturstruktur sosial tadi. Pada pendekatan psikologis mengasumsikan jika perilaku memilih individu ditentukan oleh faktor psikis seseorang seperti identifikasi diri terhadap partai politik, kesukaan terhadap kualitas kepribadian kandidat, dan informasi politik. Pendekatan ini menekan bahwa perilaku memilih ditentukan oleh faktor-faktor psikis tadi. Sementara itu, menurut pendekatan pilihan rasional, yang menentukan dalam sebuah pemilu bukanlah adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, melainkan hasil penilaian rasional dari warga. Pendekatan sosiologis dan psikologis
319
menempatkan individu sebagai obyek yang tidak dapat bertindak “bebas” karena ditentukan oleh struktur sosial dan aspek psikis atau disebutkan juga determinan, sementara pilihan rasional menempatkan individu sebagai aspek yang bebas atau voluntary dalam menentukan pilihannya. Menurut Anthony Downs melalui deskripsinya mengenai homo economicus, bahwa sang pemilih rasional hanya menuruti kepentinganya sendiri atau kalaupun tidak, akan senantiasa mendahulukan kepentingannya sendiri diatas kepentingan orang lain. Ini disebut juga dengan self-interest axiom. Walaupun menurut Downs, tidak semua orang merupakan orang yang egois, namun ia tiba pada kesimpulan bahwa “sosok-sosok heroik” ini dari segi jumlah dapat diabaikan. Manusia bertindak egois, terutama oleh karena mereka ingin mengoptimalkan kesejahteraan material mereka, yakni pemasukan atau harta benda mereka. Jika hal ini diterapkan kepada perilaku pemilih, maka ini berarti bahwa pemilih yang rasional akan memilih partai yang paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Pemilih tidak terlalu tertarik kepada konsep politis sebuah partai, melainkan kepada keuntungan terbesar yang dapat ia peroleh apabila partai ini menduduki pemerintah dibandingkan dengan partai lain. Pendekatan pilihan rasional dalam kajian perilaku pemilih diadaptasi dari ilmu ekonomi yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesarbesarnya. Maka dalam perilaku memilih rasional (rational choice), pemilih bertindak rasional yaitu memilih partai politik atau kandidat yang dianggap mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya dan menekan kerugian sekecil-kecilnya. Down menjelaskan bahwa perilaku memilih berhubungan dengan kebijakan pemerintah (government actions) dalam suatu periode sebelum Pemilu dilaksanakan. Perilaku memilih ditentukan manfaat terhadap pendapatan yang diterima akibat dari kebijakan pemerintah atau kepercayaan terhadap janji politik dari parta oposisi. “Voting decision is based on a comparasion of the utility income he actually received during this period from the actions of the incumbent party and those he believes he would have received had each of the opposition parties been in power”. “……….He votes for whatever party he believes would provide him with the highest utilities income from government action”. 320
Down menjelaskan secara makro bahwa government action selain dipengaruhi oleh sektor swasta juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat. Konteks masyarakat disini salah satunya adalah harapan pemerintah untuk dipilih kembali. Kaitan terhadap hal ini adalah preposisi bahwa masyarakat akan memilih kembali partai atau kandidat pemerintah jika ada manfaat pendapatan (utilities income) yang mereka terima akibat kebijakan pemerintah. Atau jika hal ini tidak diterima oleh masyarakat, maka mereka akan memilih partai oposisi. Terhadap hal ini dapat diketahui bahwa prasyarat pilihan rasional adalah adanya sistem multi partai dan oposisi. Down menyatakan bahwa seorang pemilih umumnya tidak memiliki informasi yang baik dibidang politik oleh karena informasi yang diterima tidak seimbang, sehingga menyebabkan mereka memilih tidak rasional. Terhadap hal ini diketahui prasyarat lainnya dari pilihan rasional adalah adanya akses informasi terhadap kebijakan pemerintah oleh masyarakat, tanpa akses informasi ini mustahil masyarakat dapat menilai kebijakan pemerintah dikaitkan dengan manfaat pendapatan (utilities income). Teori Downs ini kemudian dapat membantu menjelaskan kemunduran tingkat partisipasi pemilu pada tahun 1980 an dan 1990 an di Jerman. Dalam penelitian Saiful Munjani juga menjadikan pendekatan pilihan rasional (rational choice/ekonomi-politik) untuk menjelaskan fenomena atau trend perilaku memilih masyarakat Indonesia pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Menurut perspektif rasionalitas pemilih, seseorang berprilaku rasional yakni menghitung bagaimana caranya mendapatkan hasil maksimal dengan ongkos minimal. Model ini memberi perhatian pada dinamika ekonomi-politik, sehingga asumsinya pilihan politik banyak dibentuk oleh evaluasi atas kondisi ekonomi, personal maupun kolektif. Evaluasi positif warga terhadap kondisi ekonomi akan memberikan reward (ganjaran) terhadap pejabat yang sedang menjabat. Sebaliknya, jika evaluasinya negatif, maka dia akan memberikan hukuman terhadapnya dengan cara memilih pihak oposisi. Orang memilih calon atau partai apabila calon atau partai tersebut dipandang dapat membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya: kehidupan ekonomi. Bagaimana seseorang pemilih mengetahui bahwa partai dan calon tertentu dapat membantu mencapai 321
kepentingan ekonominya tersebut tidak membutuhkan informasi yang terlalu detail dan akurat, cukup dengan mempersepsikan keadaan ekonomi dirinya (egosentrik) dibawah sebuah pemerintahan (partai atau calon). Dalam model ekonomi-politik ini ditekankan bahwa perilaku politik pemilih dipengaruhi oleh kepentingan ekonominya (manfaat ekonomi). Bila keadaan ekonomi rumah tangga seseorang pemilih dibawah pemerintahan sekarang lebih baik dibanding periode sebelumnya, maka pemilih tersebut cenderung akan memilih partai atau calon presiden yang sedang memerintah sekarang dan begitu juga sebaliknya. Salah satu penelitian yang menggunakan teori pilihan rasional (rational choice) di Indonesia adalah studi oleh Saiful Munjani dkk. Studi ini salah satunya untuk menjawab pertanyaan: mengapa PDIP menang pada Pemilu tahun 1999, Partai Golkar menang pada tahun 2004, dan kemudian Partai Demokrat menang pada tahun 2009. Hampir tiga kali Pemilu pasca reformasi dimenangkan oleh partai yang berbeda. Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat dijelaskan dengan pendekatan pilihan rasional melalu 2 variabel yaitu: 1. Evaluasi atas kinerja pemerintah 2. Evaluasi atas tingkat pendapatan diri dan keluarga C. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam proses penelitian ini yaitu penelitian deskriptif dengan
pendekatan
kuantitatif
yang
bertujuan
untuk
mendeskripsikan
atau
menggambarkan dan menganalisa tentang perilaku pemilih di Kota Bima. Walaupun penelitian ini tergolong penelitian deskriptif, bukan berarti hanya akan mendeskripsikan data dan fakta yang diperoleh. Akan dilakukan juga interpretasi dan analisa yang mendalam sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas untuk selanjutnya dapat disimpulkan secara generalisasi. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Bima secara sengaja. Dalam teknik pengambilan lokasi secara sengaja, dikenal juga sebagai sampling pertimbangan, terjadi apabila pengambilan lokasi dilakukan berdasarkan pertimbangan peneliti.
322
Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kota Bima yang memiliki hak pilih pada Pemilu Legislatif (DPRD Kota Bima, DPRD Provinsi, DPR, DPD), Presiden Tahun 2014 dan Pilkada Kota Bima Tahun 2013. Sedangkan sampaelnya sebanyak 300 orang yang telah memiliki hak pilih (17 tahun keatas/pernah/telah menikah) untuk diwawancara. Responden terpilih nantinya akan dikelompokkan berdasarkan kriteria seperti disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 9.1: Pengelompokan Responden KRITERIA
KELOMPOK
1. Latar belakang pendidikan
a. Pendidikan rendah b. Pendidikan menengah c. Pendidikan tinggi
2. Jenis kelamin
a. Laki-laki b. Perempuan
3. Pekerjaan
a. Formal b. Nonformal
4. Umur
a. Remaja b. Dewasa c. Tua
KOTA BIMA
KEC.
KEC.
R T
R T
R T
R T
R T
R T
R T
R T
R T
R T
Gambar 9.1: Alur Penentuan Responden
323
Pengumpulan data dilakukan dengan metode Multi Stage Random Sampling yang melakukan pengacakan bertingkat mulai dari pengacakan lokasi (Kelurahan) hingga penentuan responden terpilih yang akan diwawancara dengan menggunakan metode acak Kish Grid. Sebagai kontrol, tiap responden akan diberikan kartu kontrol yang nantinya akan didatangi lagi sebagai pengecekan ulang apakah wawancara benar-benar dilakukan. Quality control dilakukan terhadap 20 persen responden secara acak dan dilakukan oleh pendata dari STISIP Mbojo Bima sebagai pelaksana project survey. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan instrumen kuesioner yang telah disiapkan kemudian kuesioner tersebut diisi oleh setiap responden dengan teknik wawancara oleh surveyor yang terlatih. Surveyor yang melakukan kegiatan pengumpulan data lapangan 15 (lima belas) orang, dimana masing-masing orang memperoleh jatah wawancara 20 (dua puluh orang) responden dengan rincian 10 (sepuluh) orang responden setiap kelurahannya. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Sciance (SPSS). Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Pemeriksaan data (editing) Pemeriksaan data atau editing ini dilakukan ketika semua data dari kuesioner atau angket terkumpul, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa kembali kuesioner tersebut satu persatu, sehingga diharapkan angket yang akan diolah sesuai dengan harapan yaitu sudah diisi dengan benar dan jelas, seperti kuesioner yang masuk diperiksa dari kesalahan-kesalahan seperti kurang jawaban, kesalahan jawaban. 2) Pemberian Kode (coding) Langkah ini merupakan pemberian kode terhadap jawaban-jawaban yang diperoleh dari responden. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan data-data yang diperoleh, dengan tujuan memudahkan analisa data, contoh data yang ada dikelompokkan pada karakteristik responden. 3) Tabulasi Aktivitas tahap ini dilakukan pada saat semua angket telah diperiksa. Tahap pertama adalah tabel-tabel kerja sesuai dengan variabel-variabel pertanyaan, sehingga dapat 324
digunakan untuk memudahkan pembacaan terhadap data serta mempermudah karakteristik responden berdasarkan jawaban yang diberikan dalam kuesioner. Tahap analisis data merupakan usaha untuk memecahkan suatu masalah dan hipotesis dalam suatu penelitian. Agar tujuan dalam penelitian ini dapat tercapai maka dilakukan analisis data statistik menggunakan program SPSS yang kemudian dianalisis serta dideskripsikan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu bagaimana perilaku pemilih di Kota Bima. D. Hasil Penelitian D.1. Gambaran Umum Responden Penelitian Dari total 300 orang responden, 93 orang reponden atau 31% responden dengan latar belakang pendidikan tidak tamat SD, tamatan SD dan SMP/sedarajat. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi asumsi sementara penyebab terjadinya error dalam pemilu tahun 2014. Tabel 9.2. Tingkat Pendidikan Frequency
Percent
Valid
Cumulative Percent
Percent Valid
SD/ MI/ sederajat
39
13.0
13.0
13.0
40
13.3
13.3
26.3
SLTA/ MA
127
42.3
42.3
68.7
SMK
16
5.3
5.3
74.0
D1/ D2
2
.7
.7
74.7
D3/ Akademi
5
1.7
1.7
76.3
D4/ Sarjana
56
18.7
18.7
95.0
Pasca Sarjana
1
.3
.3
95.3
14
4.7
4.7
100.0
300
100.0
100.0
SMP/ MTS/ sederajat
Tidak Sekolah/ belum tamat SD Total
325
Grafik 9.2. Tingkat Pendidikan (%) 0,3
4,7
SD/ MI/ Sederajat
13
SMP/ MTS/ Sederajat
13,3
SLTA/ MA
18,7
SMK D1/ D2
1,7 0,7
D3/ Akademi
5,3
D4/ Sarjana
42,3
Pasca Sarjana Tidak Sekolah/ Belum tamat SD
Dari total keseluruhan sample, yang bekerja di Sector Formal (PNS, Guru, Profesional, Pegawai BUMN/BUMD, Karyawan Swasta) dengan rata-rata penghasilan menengah keatas sebesar 62 orang responden (20,7%). Sedangkan pada Sector dengan penghasilan standar rata-rata menengah kebawah atau disebut Sector Informal (Pedagang, Petani, Nelayan, Buruh Industri, Ibu Rumah Tangga) sebesar 218 (72,6%) dan sisanya adalah terkategori Pensiunan dan Pelajar sebesar 20 orang (6,7%). Tabel 9.3. Pekerjaan Pekerjaan
Valid
8.7
Valid Percent 8.7
Cumulative Percent 8.7
20
6.7
6.7
15.3
1
.3
.3
15.7
5
1.7
1.7
17.3
11
3.7
3.7
21.0
Frequency
Percent
PNS
26
Guru/Pengajar/Dosen Buruh Pabrik/Buruh Perkebunan Pegawai BUMD/BUMN Karyawan Swasta
326
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
49
16.3
16.3
37.3
41
13.7
13.7
51.0
Nelayan/Tambak
3
1.0
1.0
52.0
Petani/Ternak
3
1.0
1.0
53.0
Jasa Transportasi
3
1.0
1.0
54.0
Ibu Rumah Tangga
79
26.3
26.3
80.3
Pelajar/Mahasiswa
11
3.7
3.7
84.0
bekerja tidak tetap
22
7.3
7.3
91.3
tidak bekerja
16
5.3
5.3
96.7
Pensiunan
9
3.0
3.0
99.7
Lainnya
1
.3
.3
100.0
300
100.0
100.0
Pekerjaan Pekerja Pertambangan Wiraswasta/Pedagang /Usaha Sendiri/
Total
PNS
Grafik 9.3. Jenis Pekerjaan
Guru/Pengajar/Dosen
0,3 5,3
3
8,7 6,7
7,3
3,7
0,3 1,7 3,7
Buruh Pabrik/Buruh Perkebunan Pegawai BUMD/BUMN Karyawan Swasta Pekerja Pertambangan
16,3 26,3 13,7 1 11
Wiraswasta/Pedagang/Usaha Sendiri Nelayan/Tambak Petani/Ternak Jasa Transportasi
327
1.
Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 Dari total 300 responden yang diwawancara, sebanyak 10,7 % tidak
menggunakan hak pilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 yang lalu dan sebanyak 89,3 % menggunakan hak pilih. Error yang terjadi dalam Pemilu lalu lebih disebabkan karena rusaknya surat suara, sehingga asumsi ini tidak mendasar pada tidak digunakannya hak pilih. Adapun alasan responden tidak menggunakan hak pilih, dari 10,7% terdapat sebanyak 9.3% mengaku tidak terdaftar dalam DPT dan 0,3% mengaku tidak memiliki waktu untuk melakukan pencoblosan dikarenakan kesibukan bekerja dan 1 % memilih untuk tidak menjawab. Mengenai pemilu presiden tahun 2014 juga terdapat kemiripan pola dengan perbedaan hasil yang tidak terpaut jauh dari Pemilu Legislatif Tahun 2014. Dari hasil yang ada, sebanyak 37 pemilih (12,3%) tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan yang sama seperti pada ketidakikutsertaan responden dalam Pemilu lagislatif yaitu tidak terdaftar dalam DPT. Adapun dari total 12,3% responden yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu Presiden tahun 2014 yaitu sebanyak 8,7% tidak terdaftar dalam DPT dan sisanya dengan alasan tidak mengetahui informasi dan tidak memiliki waktu datang ke TPS serta karena alasan tidak ada calon yang sesuai dengan aspirasi. Pertimbangan ini menjadi rekomendasi untuk maksimalisasi pencatatan pemilih dalam DPT pada Pemilu yang akan datang. Tabel 9.4. Penggunaan hak pilih dalam Pemilu Legislatif yang lalu
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Ya
268
89.3
89.3
Cumulative Percent 89.3
Tidak
32
10.7
10.7
100.0
Total
300
100.0
100.0
328
Grafik 9.4. Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 Ya
10,7
Tidak
89,3
D.2. Penggunaan Hak Pilih D.2.1. Alasan Tidak menggunakan Hak Pilih Tabel 9.5. Alasan tidak menggunakan hak pilih pada Pemilu Legislatif
Frequency Percent Valid
Tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) Tidak memiliki waktu yang cukup menuju TPS TT/TM
28
9.3
Valid Percent 87.5
Cumulative Percent 87.5
1
.3
3.1
90.6
3
1.0
9.4
100.0
Total
32
10.7
100.0
Grafik 9.5; Alasan tidak menggunakan hak pilih pada Pemilu Legislatif
9,3
0,3 1
Tidak Terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tidak Memiliki Waktu Yang Cukup Menuju TPS TT/TM
329
D.2.2. Penggunaan Hak Pilih Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Tabel 9.6. Penggunaan Hak Pilih Pada Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014
Valid
Cumulative
Frequency
Percent
Valid Percent
Ya
263
87.7
87.7
87.7
Tidak
37
12.3
12.3
100.0
Total
300
100.0
100.0
Percent
Grafik 9.6. Penggunaan Hak Pilih Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014
Ya 12,3
Tidak
87,7
330
2. Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2014 Tabel 9.7. Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Tidak terdaftar dalam 26 8.7 70.3 70.3 daftar pemilih tetap (DPT) Tidak mengetahui informasi mengenai Pemilu Presiden dan wakil presiden Tidak memiliki waktu yang cukup menuju TPS Tidak ada calon Presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan aspirasi
Valid
1
.3
2.7
73.0
5
1.7
13.5
86.5
2
.7
5.4
91.9
TT/TM
3
1.0
8.1
100.0
Total
37
12.3
100.0
Grafik 9.7. Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tidak Terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
0,3 1,7 8,7
0,7
Tidak Mengetahui Informasi Mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tidak Memiliki Waktu Yang Cukup Menuju TPS
1 Tidak Ada Calon Presiden dan Wakil Presiden Yang Sesuai Dengan Aspirasi
331
D.2.3. Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilukada Kota Bima Tahun 2013 Berbeda dengan pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, terhadap pertanyaan tentang penggunaan hak pilih pada Pemilukada Kota Bima Tahun 2013, terdapat perubahan perilaku pemilih dari Pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 banyak responden yang tidak menggunakan hak pilih (tidak mencoblos). Sedangkan pada pemilukada Tahun 2013 yang tidak menggunakan hak pilih dari total 100% responden hanya sebanyak 6.0 % tidak menggunkan hak pilih. Meski jumlahnya tidak begitu besar, alasan tidak terdaftar dalam DPT masih menjadi alasan dengan urutan teratas. Tabel 9.8. Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilukada Kota Bima
Valid
Frequency
Percent 94.0
Valid Percent 94.0
Cumulative Percent 94.0
Ya
282
Tidak
18
6.0
6.0
100.0
Total
300
100.0
100.0
Grafik 9.8. Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilukada Kota Bima Lalu
6 Ya
Tidak
94
332
D.2.4. Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pemilukada Kota Bima Tahun 2013 Tabel 9.9. Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pemilukada Kota Bima
Valid
Tidak Terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tidak Mengetahui Informasi Mengenai Mengenai Pemilukada Tidak Memiliki Waktu Yang Cukup Menuju TPS Tidak Ada Calon Kepala Daerah Yang Sesuai Dengan Aspirasi Tidak Ada Calon Kepala Daerah Yang Visi-Misinya Jelas Tidak Ada Calon Kepala Daerah Yang Memberikan Uang
Freque Percent ncy
Valid Percent
Cumulative Percent
6
2.0
33.3
33.3
2
.7
11.1
44.4
1
.3
5.6
50.0
3
1.0
16.7
66.7
1
.3
5.6
72.2
2
.7
11.1
83.3
TT/TM
3
1.0
16.7
100.0
Total
18
6.0
100.0
Grafik 9.9. Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pemilukada Kota Bima 2
0,7
1
0,3 0,7 0,3
1
Tidak Terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tidak Mengetahui Informasi Mengenai Mengenai Pemilukada Tidak Memiliki Waktu Yang Cukup Menuju TPS Tidak Ada Calon Kepala Daerah Yang Sesuai Dengan Aspirasi Tidak Ada Calon Kepala Daerah Yang VisiMisinya Jelas
333
D.3. Pertimbangan Memilih Pada Pileg, Pilpres dan Pemilukada Pada pertayaan pertimbangan masyarakat dalam mengikuti pemiihan umum terdapat beragam alasan pertimbangan masyarakat. Pertimbangan objektif seperti kemampuan dan kepribadian kandidat (calon) menempati urutan teratas dengan persentase 37,9% atau 30 orang responden dari total 300 sampel. Sementara berdasarkan pertimbangan objektif lain yaitu track record/rekam jejak calon, menempati urutan ketiga sebesar 18,4% yang diikuti pertimbangan latar belakang profesi/pekerjan kandidat (calon) sebesar 10.6%. Diluar pertimbangan objektif pemilih, memilih dengan pertimbambangan karena memiliki hubungan keluarga, latar belakang kesamaan identitas kesukuan menempati posisi kedua sebesar 20,2%. Hal
ini terbilang wajar mengingat ikatan emosional kekeluargaan
merupakan identitas pengikat yang paling dasar dalam sistem sosial. Adapun responden yang memilih calon kandidat tertentu karena dipengaruhi oleh anak, saudara dan tetangga di lingkungannya sebesar 9,6%, kemudian repsonden yang mengaku memilih karena dipaksa oleh tokoh masyarakat di lingkungannya sebesar 2.0% dan memilih karena pertimbangan menerima pemberian uang/sembako dll dari calon/partai/ tim suksesnya mempati urutan bawah yaitu 1,1%. Terhadap pertanyaan tentang pengetahuan atau informasi yang diperoleh masyarakat tentang adanya bantuan, hadiah, sumbangan dll dari kandidat (grafik dan tabel 11), lebih dari setengah responden (55%) mengaku mengetahui bahwa ada praktik pemberian uang atau hadiah dan lain-lain untuk mempengaruhi perilaku pemilih dan 41% responden mengaku tidak mengetahui informasi tentang hal tersebut dan sisanya 4% memilih untuk tidak menjawab. Melalui pertanyaan terbuka, responden diminta untuk menceritakan bentuk dari pada praktik bantuan, hadiah, sumbangan dll yang mereka ketahui seperti ditunjukan pada grafik dan tabel 12 yaitu dalam bentuk uang (fresh money) berada diurutan teratas sebesar 48%, dalam bentuk sembako sebanyak 31%, pemberian dalam bentuk baju 10,3% dan pemberian lainnya (seperti kursi plastik,dll) sebesar 8,3%. Adapun yang memberikan dalam bentuk hewan peliharaan sebesar 2% dan voucher belanja 1%. Sikap yang ditunjukan masyarakat terhadap calon/kandidat tertentu yang memberikan sumbangan/bantuan/hadiah berupa uang, dll ditunjukan secara beragam seperti pada tabel 334
dan grafik nomor 13 yaitu 32% menyatakan sikap independennya dengan tidak menerima pemberian hadiah/bantuan/uang dll dan tidak memilih candidat/calon yang melakukan praktek money politik. Jika urutan teratas masyarakat menyatakan sikap independennya, namun tidak demikian pada urutan kedua yang lebih pragmatis atau mudah terpengaruh dengan politik uang dan politik bantuan dari kandidat/calon yaitu sebesar 24% responden. Pada urutan ketiga sebesar 19,3% reponden lebih menunjukan sikap selektif untuk menerima uang/bantuan/hadiah dari calon/kandidat yang diinginkan oleh mereka sendiri. Sementara itu sebesar 7,7% responden menunjukan sikap “lebih pintar” yaitu tetap menerima bantuan/uang/hadiah dll meski tidak memilih calon atau kandidat tersebut. Pada grafik dan tabel 14 data menujukan terdapat 13,7% dari 300 orang responden yang diwawancarai menyatakan menerima bantuan dari para calon/ kandidat dan sebanyak 68,7% menjawab tidak menerima bantuan/ uang/ hadiah, dll serta 17,7% responden memilih untuk tidak menjawab atau tidak mengetahui. Terhadap pertanyaan lanjutan apakah bantuan/ hadiah/ uang dll mempengaruhi pilihan masyarakat (grafik dan tabel 15) sebanyak 21,7% responden menjawab bahwa bantuan/ uang/ hadiah yang diberikan mempengaruhi pilihan mereka. Sementara itu sebesar 66,0% menyatakan tidak terpengaruhi oleh politik bantuan atau politik uang. Atas pertanyaan lanjutan tentang money politik dan sejenisnya, responden ditanyakan mengenai reaksi mereka apabila mendapat bantuan/ uang/ hadiah dll dari dua atau lebih calon/ kandidat dan apabila mendapat hadiah/ bantuan/ aauang dalam nomianal atau jumlah yang sama, maka bagaimana masyarakat menyikapi masalah tersebut (tabel dan grafik 16 dan 17). Sebanyak 11,3% respoden menjawab mencoblos kandidat atau calon dengan bantuan/ hadiah/ uang terbanyak. 75,5% mengatakan tidak terpengaruh oleh pemberian kandidat dengan alasan pertimbangan yang lain. Sementara itu, sebanyak 6,7% dalam posisi dilematis mengaku mencoblos semua kandidat atau calon yang memberikan hadiah/sumbangan/ uang dan sebanyak 6,3% menyikapi posisi dilematisnya dengan bersikap abstain atau tidak memilih/ mencoblos. Scor yang kuang lebih hampir sama dengan pertanyaan apabila mendapat bantuan/ hadiah/ uang dengan nominal yang sama dari banyak kandidat. Sebesar 13,0 responden menjawab mencoblos semua nama/ gambar
335
kandidat yang memberikan uang/ bantuan/ hadiah, 11,3% memilih untuk tidak mencoblos atau abstain dan sebanyak 75% responden menjawab tidak terpengaruh oleh bantuan/ hadiah/ uang yang diberikan dengan alasan pertimbangan yang lain. Meski tidak begitu besar dan bukan sebagai variable tunggal, politik uang/ politik bantuan mempengaruhi banyaknya kertas suara rusak. Posisi dilematis masyarakat akan money politik dari semua candidat/ calon membuat masyarakat mengambil sikap untuk abstain atau tidak melakukan pencoblosan dan atau memutuskan untuk mencoblos semua kandidat/ calon yang memberikan uang/ bantuan/ hadiah dll. Tabel 9.10. Pertimbangan Memilih Pada Pileg, Pilpres, Pemilukada Lalu
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
57
19.0
20.2
20.2
52
17.3
18.4
38.7
30
10.0
10.6
49.3
107
35.7
37.9
87.2
3
1.0
1.1
88.3
27
9.0
9.6
97.9
6
2.0
2.1
100.0
282
94.0
100.0
Tidak memilih
18
6.0
Total
300
100.0
Hubungan keluarga/suku dengan calon Track record/rekam jejak dari calon Latar belakang profesi/ pekerjaan calon Kemampuan dan kepribadian calon Menerima pemberian uang/sembako dll dari calon/partai/ tim suksesnya Diberi masukan/saran dari sanak saudara/tetangga di sekitar Dipaksa/ dipengaruhi oleh tokoh masyarakat di lingkungan anda Total
336
Grafik 9.10. Alasan Memilih Pada Pileg, Pilpres, Pemilukada Lalu Hubungan keluarga/suku dengan calon Track record/rekam jejak dari calon
19 2
6 17,3
9 1
10 35,7
Latar belakang profesi/ pekerjaan calon Kemampuan dan kepribadian calon Menerima pemberian uang/sembako dll dari calon/partai/ tim suksesnya Diberi masukan/saran dari sanak saudara/tetangga di sekitar Dipaksa/ dipengaruhi oleh tokoh masyarakat di lingkungan anda Tidak memilih
337
DAFTAR PUSTAKA Sumber dari buku : Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Cet. Keenam, September 2006, hal 7-9 Anthony Down, An Ecnomic Theory Of Political Action In A Democracy, at The Journal of Political Economy, Volume 65, Issue 2. US: 1957. Hal. 140 Budiardjo, Miriam. “DASAR-DASAR ILMU POLITIK”. JAKARTA,2008. Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-Teori, Instrumen dan Metode. Jakarta: Friedrish-Naumann-Stiftung fur die Freiheit. 2008. hal. 48 Fransiskus Sudiarsis (ed), dalam Deny JA, Memperkuat Pilar Kelima, Pemilu 2004 dalam Temuan Survei LSI, LkiS, Jogjakarta, Agustus, 2006, hal.ix Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta, Cet,. Kesepuluh 2003, hal. 63. Hans-Dieter Klingemann dkk, Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Maret 2000, hal 8 Joanes Joko dan Esti Wulandari, Pemilu 2004 Sebuah Tinjauan Kritis, Solo, 2004, hal 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, Cet. Duapuluh Edisi Revisi, 2004, hal. 6 Kusnardi, Moehamad et al.ILMU NEGARA. JAKARTA, 1988. Marijan, Kacung. SISTEM POLITIK INDONESIA. JAKARTA, 2010. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. Keduapuluh dua, Agustus 2002, hal 161 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, Cet keempat, 1999, hal.140 Ritzer, George & Goodman, Douglas J, (2004). Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media Roth, Op.Cit hal. 49. Kutipan dari Buku karya Anthony Down, Economic Theory of Democracy, New York 1957
338
Saiful Munjani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat, Jakarta: Mizan Publika. 2012. hal 98 Tim Kontras, Pemilu dan Kebebasan Sipil dalam Mempertimbangkan Pemilu Aceh di Bawah Darurat Militer, Kontras, Maret 2004, hal. 9 Sumber Non Buku : Kompas, Kamis, 26 Februari 2004 Sinar Harapan, Kamis 12 September 2002 _____ , PDIP Incar Pemilih Pemula 2009, Antara News, Kamis 17 Januari 2008 _____ , Coblosan Pilkada Dimulai, www.pemilu-online.com, 5 November 2007 _____ , Eddy-Budi Pemenang Pilkada, www. pemilu-online.com, 16 November 2007 PP No 6 Tahun 2005 tenang Pemilihan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah http://www.in-christ.net/files/favicon.gif http://lanskap-artikel.blogspot.com/2008/10/memahami-eksistensi-golput-dalam.html http://www.infoskripsi.com/Free-Resource/Konsep-Perilaku-Pengertian-Perilaku-BentukPerilaku-dan-Domain-Perilaku.html http://leo4kusuma.blogspot.com/2008/12/tentang-golput-1-pengertian-secara-umum.html
339
BAB X PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILU Figuritas, Tokoh Panutan, Dan Kemandirian Pemilih Analisa Penelitian Partisipasi Memilih di Kel. Pancor Lombok Timur Tahun 2015 M. Saleh * Musa Al Hadi * Taharuddin Zinurrain * M.Lutfi Sarifudin A. Pengantar Apakah partisipasi memilih merupakan satu-satunya bentuk dari partisipasi politik masih menjadi perdebatan di kalangan sarjana ilmu politik. Bagi sebagian kalangan partisipasi memilih (voting) hanya salah satu dari sekian banyak bentuk partisipasi politik. Ada banyak bentuk partisipasi yang bisa dilakukan warganegara, baik yang umum dan biasa sampai yang ekstrem sekalipun. Warganegara yang ikut serta dan memperhatikan gosip berita tentang politik dan pemerintahan termasuk telah melaksanakan partisipasi politik. Pun yang paling ekstrem misalnya melakukan kudeta atas pemerintahan yang sah termasuk berpartisipasi dalam politik. Sedangkan bagi yang lain partisipasi kemudian berarti bertindak (to act) sehingga bincang-bincang tidak termasuk dalam partisipasi. Dan kemudian tingkat partisipasi politik mencapai puncaknya ketika pemilihan umum. Maka dipersempit partisipasi memilih merupakan partisipasi politik utama warganegara. (Saiful Mujani. R. William Liddle, Kusrido Ambardi, 2011) Studi perilaku memilih (voting behavior) berkisar pada empat pertanyaan, (1) Mengapa seorang memilih partai tertentu dan bukan partai lainnya; (2) Mengapa seseorang memilih kandidat tertentu dan bukan lainnya; (3) Mengapa seseorang bersetia memilih satu partai dari pemilu ke pemilu; (4) sementara ada pemilih yang berganti-ganti pilihan pada tiap kali pemilu. Secara garis besar ada dua mazhab besar yang dipakai dalam penelitian tentang perilaku pemilih, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis (Josef Kristiadi, 1993). Pendekatan sosiologis dipelopori oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Columbia (Colombia University Bureau of Applied Science). Berdasar inilah pendekatan sosiologis dalam 340
studi voting disebut juga sebagai mazhab Colombia atau Kelompok Colombia. Dalam karyakarya yang diterbitkan kelompok ini diungkapkan bahwa perilaku politik seseorang terhadap partai politik tertentu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. Pendekatan Psikologis dipelopori oleh Pusat Penelitian dan Survei Universitas Michigan (University of Michigan’s Survey Research Centre). Karena itulah studi voting yang menggunakan pendekatan psikologis dikenal juga sebagai mazhab Michigan atau Kelompok Michigan. Pendekatan ini sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk melengkapi pendekatan sosiologis yang kadang-kadang dari segi metodologis agak sulit menentukan kriteria pengelompokan masyarakat. Selain itu, ada kecenderungan bahwa semakin lama dominasi kelas tertentu terhadap partai politik tertentu tidak lagi mutlak. Pendekatan psikologis yang awalnya dikembangkan di Amerika memusatkan pada tiga aspek, yakni keterikatan seseorang dengan partai politik, orientasi seseorang kepada para calon presiden maupun anggota parlemen, dan orientasi seseorang terhadap isu-isu politik. Misalnya, kalau seseorang mempunyai kecenderungan mengidentifikasikan diri dengan Partai Demokrat, dan kemudian terpikat isu-isu dan kandidat, maka dalam pemilu akan memilih Partai Demokrat.Inti pendekatan psikologis adalah identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap para calon dan isu-isu politik yang berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih. Untuk menjelaskan perilaku memilih di Kelurahan Pancor penelitian ini menetapkan figuritas, visi peserta pemilu, pemimpin opini, partai politik, media, dan keinginan sendiri sebagai faktor independen. Tiga kali pelaksanaan pemilihan; Pemilihan Kepala Daerah tahun 2013, Pemilihan Legislatif tahun 2014, dan Pemilihan Presiden tahun 2014 menjadi bahan kajian dalam menentukan faktor yang menentukan perilaku memilih di Kelurahan Pancor. Masalah figuritas peserta pemilu menjadi salah satu penjelasan perilaku memilih di Indonesia. Penelitian yang diadakan Saiful Mujani dan William Liddle menunjukan 341
pentingnya faktor figur pemimpin partai dalam perilaku memilih pasca Orde Baru. Pemilih kemudian mendukung PDI-P karena faktor Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum partai. Begitu pula dengan PAN dengan Amien Rais, mantan Ketua Umum Muhammadiyah organisasi terbesar kedua di Indonesia, PKB dengan Gus Dur, bekas Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi islam terbesar di Indonesia. Dan yang terakhir munculnya Partai Demokrat dengan SBY dan Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto. Mereka memilih pemimpin partai, bukan partainya. Hal ini dengan jelas dapat dilihat pada pelaksanaan pemilukada. Penelitian yang dilakukan Bafadal (2009) peran partai politik sangat minimal, dan digantikan oleh kelompok yang disebut tim sukses atau nama lain. Pemenang pemilukada tidak jarang dari pasangan yang didukung koalisi partai dengan suara minimal, bahkan pasangan yang maju melalui jalur independen. Tidak ada korelasi antara dukungan pada partai politik dengan dukungan pada pasangan calon dalam pemilukada. Pemilih memilki kebebasan relatif dan tidak terikat pada dukungan partai politik. Berdasarkan hal ini kemudian peran partai politik dalam menentukan pasangan calon yang didukung pemilih kemudian kecil sekali, bahkan lebih pada level yang lebih buruk, tidak ada sama sekali. Perilaku pemilih yang otonom juga dijelaskan oleh Leo Agustanto (2009), pada pemilukada pemilih menjadi swinging voters. Maksudnya bisa saja pada tahun ini seorang pemilih mendukung pasangan X dan bukan pasangan Y namun lima tahun berikutnya ia akan mendukung pasangan Y bergantung pada apa yang ditawarkan oleh peserta pemilukada tersebut. Dengan ringan dan gampangnya pemilih kemudian berpindah-pindah dari satu pasangan ke pasangan lain. Ini bukan hanya khas indonesia tetapi merupakan gejala pemilih di negara berkembang, ketika angka masa mengambang (floating mass) dan pemilih berayun (swinging voters) masih sangat tinggi. Bila demikian muncul pertanyaan, apakah dengan demikian visi dan misi peserta pemilu begitu penting? Leo Agustanto (2009) membantahnya. Pemilih dipandang tidak mementingkan program peserta pemilu. Mereka berpikir pragmatis, apa yang bisa didapatkan dengan cepat dari peserta pemilu. Bagi pemilih, belum tentu program yang dijanjikan peserta pemilu akan mampu direalisasikan dalam kepemimpinannya nanti. Maka 342
dari itu peserta pemilu kemudian menjawabnya dengan menyajikan kampanye dengan model pembagian sembako, kaos, bahkan dengan membagikan uang dalam jumlah tertentu. Kampanye yang dialogis dan intelek dipandang tidak akan mampu menyenangkan dan merebut hati pemilih. Peserta pemilu hanya mengikuti pola pikir masyarakat yang jangka pendek. Padahal salah satu tujuan pemilihan langsung adalah menipiskan peluang terjadinya politik uang. Sebagaimana disampaikan Joko J. Prihatmoko (2005) pemilukada merupakan ikhtiar untuk menipiskan praktik politik uang. Jika dipilih oleh DPRD maka politik uang sulit untuk dihindarkan, peserta pemilihan akan memberi uang kepada anggota DPRD untuk memilihnya. Dengan pemilihan langsung politik uang tidak akan efektif karena calon pemberi uang tidak mudah melakukan kontrol. Apalagi mekanisme pengawasan pemilukada dilakukan secara ketat oleh lembaga tersendiri (Panitia Pengawas/panwas). Masyarakat bisa bersaksi jika terjadi politik uang. Mengenai fenomena politik uang, Adjie Alfaraby – Peneliti Senior Lingkaran Survei Indonesia – menyampaikan toleransi masyarakat terhadap politik uang masih sangat tinggi. Meskipun tiap daerah tingkat toleransinya berbeda-beda namun umumnya masih menjadi gejala umum dalam pemilu. Hal ini yang membuat persepsi mahalnya biaya menjadi peserta pemilu. Strategi memenangkan pemilu diasumsikan dengan menyiapkan segunung uang, dukungan banyak partai politik, dan semaraknya kampanye yang mahal. Salah satu faktor penting dalam partisipasi politik masyarakat berkaitan dengan keberadaan elit. Sebagaimana dijelaskan Haryanto (2005), elit merupakan anggota masyarakat yang mempunyai keunggulan daripada masyarakat lain. Dalam setiap cabang kehidupan selalu muncul kelompok elit ini. Dalam mengendalikan partisipasi politik masyarakat ada dua sifat perilaku yang mungkin dilakukan oleh elit. Partisipasi politik yang sifatnyamobilisir atau dikerahkan terjadi apabila elit mengadakan upaya-upaya untuk melibatkan massa ke dalam aktivitas-aktivitas politik. Sementara itu partisipasi politik yang sifatnya mandiri atau sukarela terjadi apabila elit hanya menganjurkannya atau menghimbau agar massa melakukan aktivitas-aktivitas politik. Dalam partisipasi politik yang sifatnya mandiri, elit tidak mempunyai kemampuan dan sekaligus juga tidak mempunyai kemauan 343
untuk melakukan tindakan pemaksaan atau penindasan agar massa melakukan aktivitasaktivitas politik. Partai Politik merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi dan pemilu sebagai mekanisme penyertanya. Keikutsertaan dalam pemilu merupakan salah satu ciri khas dari partai politik. Sebagaimana disampaikan oleh Sigit Pamungkas (2011) partai politik didefiniskan sebagai sebuah organisasi untuk memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan struktur kekuasaan dan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaan dalam pemilihan umum. Partai politik berbeda dengan organisasi sosial dan organisasi ekonomi. Partai politik didirikan bukan untuk memberi pelayanan sosial dan amal, bukan pula untuk meraih keuntungan ekonomi. Partai politik didirikan untuk meraih kekuasaan dan memperjuangkan ideologi yang dianutnya. Partai politik juga berbeda dengan kelompok kepentingan yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah namun tidak berusaha untuk meraih jabatan-jabatan publik. Peran ideologis partai politik dipertanyakan oleh Guno Tri Tjahjoko (2011). Penelitian yang dilakukannya di Malang Raya menunjukan partai politik telah bergeser jauh dari peran ideologis menjadi peran karikatif sebagaimana organisasi sosial. Alih-alih menguatkan ideologi bagi para kader dan pemilihnya, partai politik kemudian lebih mengambil peran memberikan banyak sumbangan pada pemilih baik secara organisasi maupun pribadi kader. Perilaku seperti ini dipandang lebih menarik bagi pemilih daripada pembinaan ideologis. Program partai pun terkesan pragmatis dan dalam usaha untuk begerak ke tengah menjangkau pemilih yang lebih heterogen. Pada akhirnya hubungan antara partai dengan pemilih lebih bersifat transaksional dan mencapai puncaknya menjelang pelaksanaan pemilihan. Terkait dengan peran media massa dalam politik di Indonesia, Kacung Marijan (2010) menjelaskan ada empat pola. Pertama, apa yang disampaikan media massa sesungguhnya hanya mengabarkan apa yang terjadi di dalam masyarakat, tidak ada agenda tersembunyi. Kedua, media tidak dapat menentukan apa yang dipikirkan tetapi dapat mempengaruhi apa yang dipikirkan. Ketiga, media massa mempengaruhi pikiran dengan menentukan fokus pada suatu kejadian sehingga mempengaruhi penafsiran dari pemirsa. 344
Dan terakhir media memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk di dalamnya perilaku politik. Media tidak hanya mereflesikan realitas melainkan memiliki pengaruh terhadap realitas itu termasuk di dalamnya memberikan makna pada realitas. Pemilih pun dapat bertindak secara otonom untuk menyatakan dukungannya pada peserta pemilu. Sebagaimana disampaikan Aulia A. Rachman (2006) pemilih dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, pemberi suara rasional yaitu pemilih yang memiliki pertimbangan sendiri dalam mendukung dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Pemilih jenis ini akan konsisten mendukung peserta yang sama ketika diberikan pilihan yang sama pada masa yang berbeda. Kedua, pemberi suara reaktif yaitu pemilih yang mendasarkan diri pada pertimbangan jangka panjang yang biasa berupa atribut sosial dan demografis seperti pekerjaan, pendidikan, agama, ras, tempat tinggal dan sebagainya. Ketiga, pemberi suara responsif yaitu pemberi suara yang kerap berpindah-pindah dukungan dan mendasarkan pada kepentingan jangka pendek sesuai dengan program dan janji kampanye peserta pemilu. B.
Tiga Pemilu Tiga Pemenang Untuk menjelaskan perilaku memilih di Kelurahan Pancor penelitian ini
menggunakan pelaksanaan tiga pemilu di tingkat lokal. Definisi pemilu di tingkat lokal tidak hanya bermakna pemilu pada tingkatan lokal seperti pemilihan kepala daerah tetapi juga pemilu nasional yang terjadi di lokal Lombok Timur. Tiga pemilu yang dimaksud terdiri atas Pemilihan Umum Kepala Daerah Lombok Timur (Pemilukada Lotim) yang berlangsung tahun 2013, Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014. Pemilukada Lotim 2013 diikuti oleh empat pasangan calon, yaitu Sukiman Azmy dan Syamsul Lutfi (SUFI), Ali Bin Dahlan dan Khairul Warisin (ALKHAER), Abdul Wahab dan Lale Yaqutunnafis (WALY), serta Usman Fauzi dan Ichwan Sutrisno (MAFAN). Dua pasangan yang diramalkan akan bersaing dengan ketat yaitu SUFI yang didukung oleh NW PANCOR dan mayoritas partai politik di Lombok Timur serta selaku petahana, dan ALKHAER yang mana Ali BD merupakan bupati periode 2003-2008 dan peserta Pemilukada Lotim tahun 2008 dan kali ini muncul sebagai calon independen. Sementara pasangan WALY dianggap sebagai pasangan yang bisa saja muncul sebagai kejutan karena didukung oleh NW ANJANI. 345
Pemilukada berlangsung satu putaran dimenangkan oleh ALKHAER dengan selisih suara yang sedikit saja sebagaimana Tabel di bawah ini:
Sebagaimana pemilu nasional, pileg 2014 di Lombok Timur diikuti oleh dua belas partai politik. Pada pileg tahun 2014 Partai Demokrat yang didukung NW Pancor berhasil meraih suara terbanyak, dengan menempatkan 6 (enam) orang kadernya di DPRD Lombok Timur. Kesuksesan Partai Demokrat sebagai pemenang pileg tidak dapat dilepaskan dari dukungan NW PANCOR, dan kemudian berhasil menempatkan kadernya, Khairul Rizal, sebagai Ketua DPRD Lotim. Sebelumnya, Khairul Rizal adalah anggota legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan menjadi Wakil Ketua DPRD. Selain sebagai politikus, dirinya juga dikenal sebagai suami dari Siti Rohmi Djalilah, Ketua DPRD Lotim sebelumnya dan juga kakak kandung dari TGB Zainul Majdi, Ketua Partai Demokrat NTB sekaligus tokoh sentral NW PANCOR. Partai politik lain mendapatkan perolehan suara secara merata, dan tidak ada partai yang dominan sebagaimana Tabel di bawah ini:
346
Pileg 2014 diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PRAHARA) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JOKOWI-JK). PRAHARA didukung oleh partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PKS, PAN, dan PBB. Sementara JOKOWI-JK didukung oleh partai dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yaitu Partai NASDEM, PKB, PDIP, Partai HANURA, dan PKPI. Partai Demokrat pada pileg ini memilih sebagai ‘penyeimbang’ sehingga kader-kadernya terpecah pada dua kubu yang berseberangan. Untuk lokal Lombok Timur, Pilpres dimenangkan oleh PRAHARA dengan selisih suara yang cukup jauh. Faktor apakah yang menjadi penentu kemenangan belum diketahui pasti. Faktanya NW PANCOR mendukung PRAHARA sementara NW ANJANI terlihat lebih mendukung pasangan JOKOWI-JK sebagaimana Tabel dibawah ini :
C.
Penjelasan Alternatif tentang Perilaku Memilih di Pulau Lombok Terdapat semacam keyakinan selama ini bila perilaku memilih di Lombok Timur
khususnya, dan Lombok secara umumnya dipengaruhi oleh faktor pemimpin opini. Lebih spesifik pemimpin opini diperankan oleh tokoh agama – di Pulau Lombok disebut dengan Tuan Guru. Dengan pandangan seperti ini maka tiap kali pemilihan yang terjadi adalah perebutan atau saling klaim mendapatkan dukungan dari Tuan Guru. Tidak jarang seorang Tuan Guru kemudian diklaim oleh lebih dari peserta pemilihan. Logika yang dibangun, bila Tuan Guru sudah mendukung maka akan diikuti oleh pengikut (jamaah) yang jumlahnya begitu banyak dan tersebar di Pulau Lombok. Tuan Guru utama yang begitu berpengaruh adalah Maulanasyekh Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid, pendiri dan pemimpin utama organisasi Nahdatul Wathan (NW). Kariernya sebagai pemuka agama dan politisi begitu cemerlang. Pernah menjadi pemimpin 347
utama Masyumi untuk Sunda Kecil dan kemudian berpindah mendukung Partai Golkar sejak Orde Baru. Selain karier pribadi, kecermelangan juga ditunjukan dengan keberhasilan mengembangkan NW ke seluruh Nusantara. Meskipun hubungan dengan berbagai madrasah yang tersebar bersifat pribadi kultural, tidak ditangani secara formal organisatoris sebagaimana Muhammadiyah. Meskipun pada alumni berbagai sekolah NW yang dijuluki arbituren terdapat potongan dari gaji yang diperoleh sebagai bentuk terima kasih dan memelihara hubungan dengan organisasi. Sepeninggal Maulanasyekh, NW tetap menjadi salah satu faktor utama dalam menjelaskan politik di Lombok. Dalam politik pemerintahan formal, perannya kemudian dilanjutkan oleh Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, yang menjadi Gubernur NTB selama dua periode sejak tahun 2008. Sebelumnya ia sempat menduduki jabatan sebagai anggota DPR sejak tahun 2004 mewakili Partai Bulan Bintang (PBB). Kadernya yang lain, Syamsul Lutfi dan Gde Syamsul menjadi anggota DPR sejak tahun 2014 masing-masing mewakili Partai Demokrat dan Partai Hanura. Sebelumnya Syamsul Lutfi menjadi Wakil Bupati Lombok Timur tahun 2008-2013. Lalu Mujiharta (2005) mengadakan penelitian yang bermaksud untuk menemukan tentang keterlibatan tuan guru (TG) dalam politik, terutama di Kabupaten Lombok Tengah. Penelitian ditujukan pada perilaku TG pasca reformasi dengan membandingkannya dengan pengalaman Orde Baru (orba). Pentingnya penelitian tentang pergeseran orientasi politik TG karena memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil pemilu. Menurut Mujiharta, pergeseran orientasi politik TG memilki pengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilu. Dalam penelitian ditemukan telah terjadi pergeseran orientasi perjuangan tuan guru dalam kaitannya dengan politik. Pada suasana totaliter orba, tuan guru tidak punya pilihan politik lain dengan mendukung Golkar. Orientasi politik pada masa itu ialah untuk menyelamatkan eksistensi pondok pesantren atau lembaga pendidikan lain di bawah pimpinannya. Tanpa mendukung Golkar, akan banyak ditemui kesulitan baik dari birokrasi pendidikan maupun pendanaan. Pasca keterbukaan terjadi pergeseran orientasi politik. Dengan sistem “multipartai sederhana”, memberikan kelonggaran bagi TG untuk memilih salah satu dari sekian banyak partai sebagai afiliasi politiknya. Sistem dan suasana keterbukaan 348
menyebabkan terjadinya pergeseran dari mempertahankan eksistensi lembaga menjadi harapan untuk meraih kekuasaan. Ditambahkan, pergeseran orientasi juga ditunjukan dengan makin terlibatnya tuan guru dalam perebutan beberapa jabatan dalam pemerintahan, terutama posisi anggota legislatif. Keterlibatan TG dalam politik ditujukan untuk menghindarkan adanya eksploitasi dan pemanfaatan keberadaannya untuk pemenangan pemilu oleh para politikus. Penelitian yang dilakukan Bafadal dan Bambang Eka Cahyo Widodo (2005) mengenai peningkatan peroleh suara Partai Bulan Bintang pada Pemilihan Legislatif tahun 2004 di Kabupaten lombok Timur menemukan pentingnya peran TG. Peningkatan peroleh suara PBB tahun 2004 disebabkan tiga faktor; (1) struktur kepengurusan partai di tingkat lokal yang mengakomodir Pengurus NW, (2) Kandidat dalam daftar calon yang banyak terdiri dari mereka yang selama ini dikategorikan sebagai tokoh NW, dan (3) isu kampanye berupa penegakan syariat Islam yang menarik perhatian para pemilih. Selain yang telah disebutkan sebelumnya, faktor utama yang menyebabkan peningkatan perolehan suara PBB pada Pemilu 2004 di Kabupaten Lombok Timur adalah dukungan dari NW. Pesona Tuan Guru Zainul Majdi, sebagai Ketua Dewan Tanfidziah NW, mampu menarik simpati dari jamaah NW, maupun dari masyarakat luas. Sistem patriarkhi yang masih kental dalam masyarakat Lombok Timur menempatkan sosok Tuan Guru sebagai tokoh agama yang dijunjung dan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Fatwa atau keputusan Tuan Guru kerap tidak hanya bersifat profan (keduniawian) tetapi juga mengandung nilai ukhrawi. Ahmad Husni Mubarak (2006) kemudian membahas mengenai bagaimana partai politk peserta pemilihan umum tahun 2004 berebut untuk mendapatkan dukungan NW. Sebagai kelompok kepentingan yang memiliki pengikut terbesar di Lombok maka dukungan NW diharapkan akan menjadi faktor penentu kemenangan partai politik tersebut. Memanfaatkan sifat NW yang selama ini tidak menjauh dari politk praktis maka dua partai kemudian mendapatkan dukungan, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Golkar. Dukungan ini tidak sekadar himbauan massa tetapi juga tokoh NW tidak segan untuk menjadi juru kampanye memenangkan partai politik yang didukungnya.
349
Namun pada tahun 2010 asumsi NW sebagai faktor utama mendapatkan keraguan. Studi yang dilakukan Bafadal (2014) menunjukan keraguan dimulai dengan pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Lombok Tengah. Pasangan calon yang didukung NW ternyata mengalami kekalahan meskipun mampu melaju hingga putaran kedua. Padahal pasangan L. Gde Sakti-Elyas Munir (SALAM) ketika itu didukung oleh seluruh faksi yang ada di NW namun ternyata tak mampu mendongkrak perolehan suara. Pasangan ini dikalahkan oleh Suhaili-L. Normal Suzana (Maiq-Meres) yang didukung oleh organisasi islam lain (baca:Yatofa). Kekalahan pasangan yang didukung NW mengejutkan banyak pihak, dan memicu pemikiran untuk meninjau kembali asumsi NW sebagai faktor dominan dalam politik di NTB.Peninjauan kembali atas dominasi NW kemudian menguat pada pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Lombok Timur tahun 2013. Ketika itu pasangan Sukiman-Lutfi (SUFI) yang didukung NW, juga pasangan petahana, meraih suara lebih sedikit dibandingkan pasangan Ali BD-Khaerul Warisin (ALKHAER). Pada saat yang bersamaan digelar pula pelaksanaan Pemilukada Provinsi NTB, dimana Tuan Guru Bajang Zainul Majdi-M. Amin (TGB-Amin) yang didukung NW memenangkan pemilihan. Mengapa di NTB menang sementara di Lombok Timur kalah? Hipotesis yang ditawarkan sosok personal TGB Zainul Majdi telah melampaui suara organisasi NW. D. Figuritas, Tokoh Panutan, dan Pemilih Otonom Penelitian ini menemukan tingginya angka partisipasi memilih. Dari 40 responden, 34 responden menyatakan diri ikut memilih sementara sisanya tidak. Ini berarti 85% dari responden menyatakan diri memilih dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014. Adapun alasan untuk memilih mayoritas didorong oleh keinginan sendiri. Lainnya secara berturutturut karena figur populer, himbauan tokoh panutan, kesamaan partai politik, dan terakhir sevisi seperti Tabel dibawah ini :
350
Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa dalam pemilihan legislatif pemilih bersifat otonom paternalistik. Dikatakan bersifat otonom karena partisipasi memilih didorong kenginan sendiri bukan atas dorongan lain. Namun demikian peran elit dalam memobilisasi juga tidak dapat dikesampingkan. Selisih di antara kedua tidak begitu besar. Bila figur populer dan himbauan tokoh diasumsikan sebagai jenis partisipasi mobilisasi maka angkanya melampaui partisipasi otonom. Dalam Pemilihan Presiden tahun 2014, tingkat partisipasi memilih lebih tinggi. Penelitian ini menemukan 35 orang menyatakan diri ikut memilih. Artinya 87.5% pemilih menggunakan haknya. Mengapa demikian? Jawaban singkat hal ini disebabkan terlalu banyak calon dalam pemilihan legislatif sehingga membingungkan pemilih. Kebingungan ini kemudian mendorong mereka tidak menggunakan haknya. Adapun alasan menggunakan partisipasi memilih mayoritas karena figur populer. Lainnya secara berturut-turut keinginan sendiri, himbauan tokoh panutan, kesamaan partai politik, dan terakhir sevisi Sebgaimana Tabel dibawah ini:
Dalam Pemilihan Presiden dapat disimpulkan partisipasi disebabkan karena figuritas dari peserta pemilu. Hal ini tidak lepas dari massifnya kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu di berbagai saluran komunikasi massa. Peserta pemilu begitu teringat dalam benak pemilih dengan beragam persepsi yang dihasilkan. Selain itu, faktor keinginan sendiri dan himbauan tokoh juga menjadi faktor lain yang cukup menentukan partisipasi memilih dalam pemilihan presiden yang lalu. Dalam Pemilihan Kepala Daerah angka partisipasi juga tinggi, di atas 80% tepatnya 82.5% menyatakan menggunakan hak pilihnya. Adapun dasar dari partisipasi memilih 351
terutama didorong oleh keinginan sendiri, berturut-turut figur populer, himbauan tokoh panutan, kesamaan partai politik, dan terakhir senang dan sevisi sebagaimana Tabel dibawah ini:
Dari data tersebut ditemukan fakta bahwa partisipasi pemilih bersifat otonom penokohan. Disebut otonom karena penggunaan hak memilih dalam pemilihan umum kepala daerah didorong oleh keingian sendiri. Meskipun demikian pada sisi lain figur populer dan himbauan tokoh tidak dapat dikesampingkan dan menjadi faktor lain yang mendorong partisipasi memilih. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini menemukan tiga faktor dominan dalam menentukan perilaku pemilih –sebagai salah satu bentuk partisipasi memilih – di Kelurahan Pancor yaitu Figur Populer, Himbauan Tokoh, dan Keinginan Sendiri. Dengan demikian terlihat ada jenis partisipasi yang terombang-ambing dari bentuk otonom dan mobilisasi. Hal ini menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya tentang kuatnya figuritas dan pengaruh tokoh dalam menentukan perilaku memilih di Pulau Lombok. Selain itu, penelitian ini menemukan rendahnya faktor partai politik dalam tiap pelaksanaan pemilu. Alasan kesamaan partai politik dalam menentukan pilihan dalam pemilu kecil sekali dalam pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan umum kepala daerah berturut-turut 5.13%, 2.5%, dan 2.63%. Data ini mengindikasikan kekhawatiran para sarjana tentang terjadinya deparpolisasi, ketika kehadiran partai politik tidak dirasakan dan dianggap penting oleh pemilih. Partai Politik kemudian hanya dijadikan jalan bagi calon untuk ikut serta dalam pemilihan umum karena peraturan perundangan mensyaratkan demikian.
352
Tingginya angka partisipasi memilih tidak dapat dilepaskan dari kepuasan pemilih sosialisasi pendidikan pemilih yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sebagaimana diketahui bersama, pasca reformasi terjadi perubahan dalam partisipasi memilih dari yang semula didasari ketakutan menjadi penuh kesadaran. Memilih kemudian menjadi hak bukan lagi kewajiban sebagaimana masa lalu. Mayoritas pemilih menyatakan kepuasan bahkan sangat puas (65%) terhadap sosialisasi pendidikan pemilih, dan hanya 22.5% yang tidak puas, sisanya biasa saja sebagaimana ditunjukkan Tabel dibawah ini:
Ada berbagai saluran sosialisasi pendidikan pemilih yang digunakan. Mayoritas responden menilai bahwa adanya sosialisasi melalui media cukup ampuh (32,5%)mengajak masyarakat untuk berpartisipasi memilih di TPS. Selanjutnya informasi yang tertera pada ruang publik maupun mencari informasi sendiri sebesar 17,5%, melalui pengurus parpol yang menyampaikan kegiatan internalnya sebesar 15% dan melalui corong penerangan masyarakat sebesar 15%. Adapun penyampaian langsung dan melalui forum oleh pelaksana teknis pemilu bergugus sebesar 20%. Sebagaimana diitunjukkan tabel dibawah ini:
353
Pentingnya sosialisasi menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan partisipasi memilih dalam pemilu. Sebagian besar responden – mencapai 2/3 dari total – menyatakan persetujuannya sosialisasi mampu meningkatkan partisipasi memilih, bahkan 30% menyatakan sangat setuju. Sisanya menjawab tidak tahu. Sebagaimana Tabel dibawah ini
Terkait dengan manfaat pemilu terhadap kehidupan demokrasi, mayoritas responden menyatakan sangat bermanfaat (72.5%) bahkan yang menjawab sangat bermanfaat sebesar 22.5%. Hal ini menegaskan penerimaan mayoritas pemilih di Indonesia terhadap demokrasi beserta perangkat pendukungnya seperti pemilihan umum. Meskipun mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim yang dalam kehidupannya merujuk pada ajaran Tuhan melalui Al-Qur’an dan Sunnah Rasul namun penerimaan terhadap demokrasi yang berasal dari tradisi Yunani berdasar pemikiran manusia cukup besar. (bandingkan dengan Saiful Mujani, Muslim Demokrat). Hanya 5% dari responden yang menjawab biasa saja. sebagaimana Tabel dibawah ini
354
Meskipun pada masa pasca reformasi warganegara diberikan kebebasan untuk menggunakan atau tidak hak memilihnya mayoritas responden menyatakan pentingnya partisipasi dalam pembangunan demokrasi. Lebih dari setengah responden menyatakan pentingnya hak pilih dalam pembangunan demokrasi. Bahkan lebih sepertiga menyatakan sangat penting, hanya sedikit responden yang menjawab biasa saja sebagaimana Tabel dibawah ini:
Persepsi positif atas partisipasi memilih tidak lepas dari penilaian masyarakat terhadap pengelolaan teknis pemilu. Mayoritas responden menyatakan puas terhadap pengelolaan teknis pemilu oleh penyelenggara pemilu. Responden yang menjawab tidak puas dan biasa saja memang ada namun jumlahnya tidak besar sebagaimana tabel dibawah ini:
Penilaian positif terhadap pengelolaan teknis karena masyarakat merasa dimudahkan dengan sarana dan prasarana penunjang pemilu. Mayoritas responden menyatakan sarana dan prasarana pemilu sudah memadai baik keseluruhan dan sebagian. Hanya sedikit
355
responden yang menyatakan sarana prasarana yang ada belum memadai sebagaimana Tabel dibawah ini:
Meskipun memiliki persepsi positif terhadap pelaksanaan pemilu namun responden menginginkan perbaikan terhadap proses pelaksanaan pemilu di masa yang akan datang. Pendaftaran Pemilih merupakan bagian yang mendapat perhatian utama bagi responden untuk diperbaiki dalam pemilu berikutnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin seorang warganegara menggunakan haknya dalam pemilu. Peraturan Pelaksana dan Sosialisasi menjadi bagian lain yang mendapat perhatian dari responden sebagaimana Tabel dibawah ini:
Terkait dengan preferensi dalam melakukan partisipasi dalam pemilu ditemukan fakta kuatnya faktor tokoh dalam masyarakat (pemimpin opini). Ada beragam jenis tokoh dalam masyarakat. Tokoh agama menjadi figur penting yang menentukan preferensi responden dalam melaksanakan hak pilihnya. Selain itu ada tokoh budaya, tokoh pemerintahan, tokoh partai, dan pemuda sebagaimana Tabel dibawah ini:
356
Bukan hanya tokoh, media juga menjadi salah satu faktor yang menjadi preferensi dari pemilih. Responden dalam penelitian ini menganggap media televisi paling efektif untuk menyampaikan sosialisasi pemilu, disamping media-media lainnya (radio, koran dan ruang publik) sebagai sarana sosialisasi. Sedangkan media lainnya berupa seni pertunjukan, corong penerangan dan sebagainyasebagaimana Tabel dibawah ini:
Penelitian ini juga memberikan pertanyaan terbuka bagi responden. Beberapa jawaban yang diberikan responden terutama berkisar pada dua hal, yaitu Sosialisasi Pemilu dan Penigkatan Kualitas Penyelenggaraan Pemilu. Masayrakat mengingikan sosialisasi pemilu dilaksanakan dengan mengadakan pertemuan langsung terhadap elemen masyarakat pemilih, dengan menyampaikan, (1) informasi kepemiluan, (2) pendaftaran pemilih, (3) tahapan pemilu, (4) tata cara memilih, (5) alat peraga sosialisasi, (6) visi misi calon/peserta pemilu dan sebagainya. Sementara terkait dengan Peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu khususnya di TPS dari aspek: (1) SDM, (2) kapasitas pemahaman tata kelola, (3) rekruitmen petugas teknis pemilu pada tingkatan TPS, (4) sarana penunjang, (5) keamanan penghitungan, (6) distribusi kotak suara, (7) transparansi dan waktu efektif pengumuman perolehan pemilu. E.
Kesimpulan Secara umum penelitian ini menyimpulkan partisipasi memilih dalam pemilu di
Kelurahan Pancor tergolong tinggi. Tingginya angka partisipasi tidak dapat dilepaskan dari massifnya sosialisasi pendidikan pemilih yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Tokoh panutan menjadi salah satu faktor penting dalam pelaksanaan partisipasi memilih sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini. Apakah dengan demikian dikatakan jenis 357
partisipasi yang terjadi mobilisasi? Penelitian ini menyatakan jawaban persetujuan. Ke depan diharapkan muncul inovasi sosialisasi pendidikan pemilih yang melibatkan stakeholder untuk menciptakan pemilih yang otonom. Termasuk di dalamnya keragaman jumlah alat peraga dan media sosialisasi terkait tata cara pemilihan. Sementara itu terkait dengan perilaku memilih, penelitian ini menemukan tiga faktor yaitu Figuritas, Tokoh Panutan (vote getter), dan kesadaran sendiri pemilih. Temuan dalam penelitian ini menguatkan asumsi masih pentingnya faktor figur dan tokoh panutan dalam perilaku memilih di Pulau Lombok. Kedua hal ini mampu meredam faktor visi dan misi peserta pemilu, dan yang lebih memperihatinkan ketika kehadiran partai politik tidak mendapat respon yang cukup baik. Kemandirian pemilih ke depannya mungkin akan terus meningkat dengan makin terbukanya informasi dan iklim kebebasan pada masa reformasi ini.
358