BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi mengenai hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian, serta keterbatasan penelitian. Selain itu, dalam bab ini juga diajukan saran-saran yang dapat digunakan untuk penelitian di masa mendatang, agar kekurangan-kekurangan yang terdapat pada penelitian ini dapat dihindari. 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar atau 53 subjek mahasiswa Universitas Bina Nusantara tidak mengalami disonansi kognitif terkait perilaku prokrastinasi akademik karena subjek yang masuk dalam kategori disonan menganggap bahwa perilaku prokrastinasi akademik yang mereka lakukan bukanlah hal yang mengkhawatirkan karena tidak memiliki dampak yang luar biasa bagi mereka, serta tidak adanya konsep diri mereka yang “terganggu” akibat perilaku yang mereka lakukan tersebut. Tidak ada satupun subjek yang masuk dalam kategori disonansi kognitif tinggi karena memang menurut subjek dalam penelitian ini, prokrastinasi akademik bukanlah sesuatu yang sangat penting yang harus dikhawatirkan. Sumber disonansi kognitif yang sering dialami mahasiswa pelaku prokrastinasi akademik pada kelompok disonansi rendah dan sedang adalah sumber inkonsistensi logis, disusul oleh sumber pengalaman masa lalu. Kedua sumber ini menjadi dominan disonansi kognitif itu sifatnya subjek dan kedua sumber ini berasal dari diri sendiri yaitu keyakinan yang dimiliki dan pengalaman
pribadi yang dialami, sehingga sumber lain yang berasa dari luar individu (pendapat umum dan nilai-nilai budaya) menjadi sumber disonansi kognitif yang tidak dominan dialami oleh subjek dalam penelitian ini. Cara mengurangi disonansi kognitif yang sering dilakukan mahasiswa Universitas Bina Nusantara pelaku prokrastinasi akademik adalah dengan mengubah elemen kognitif tingkah laku sejalan dengan teori dari Festinger (1957) Cara selanjutnya yang cukup banyak dilakukan adalah dengan menambah elemen kognitif baru, sedangkan cara mengurangi disonansi kognitif dengan mengubah elemen kognitif lingkungan menjadi cara yang paling sedikit dilakukan subjek. Hal ini diperkuat oleh teori dari Festinger yang menyatakan bahwa memang mengubah elemen kognitif lingkungan menjadi cara yang paling suilit dilakukan karena memerlukan kontrol penuh terhadap lingkungan yang ingin diubah tersebut. 5.2 Diskusi Penelitian mengenai gambaran disonansi kognitif pada mahasiswa pelaku prokrastinasi akademik ini memberikan gambaran bahwa sebagian besar subjek penelitian atau sebanyak 53 subjek berada pada kategori tidak disonan. Hal ini dapat saja terjadi karena menurut Festinger (1957) kuatnya disonansi kognitif itu ditentukan oleh kadar kepentingan elemen atau hal yang menyebabkan disonansi itu terjadi atau elemen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku prokrastinasi akademik itu sendiri. Subjek dalam penelitian ini bisa saja menganggap bahwa perilaku prokrastinasi akademik yang mereka lakukan bukanlah suatu hal yang sangat penting yang dapat memberikan efek yang luar
biasa bagi mereka sehingga perilaku prokrastinasi akademik dianggap tidak cukup kuat untuk memunculkan keadaan yang disonan tersebut. Menurut Aronson (1960) disonansi kognitif semakin besar dan jelas ketika bukan hanya dua elemen kognitif yang terlibat, melainkan terdapat hal lain yaitu konsep diri yang “terganggu” akibat dari ketidaksesuaian antara elemen-elemen kognitif tersebut (dalam Aronson, 1997). Subjek yang berada pada kategori tidak mengalami disonansi mungkin saja karena mereka tidak memiliki konsep diri yang bertentangan dengan perilaku prokrastinasi akademik yang mereka lakukan. Hasil wawancara dengan 4 subjek yang terdiri dari 2 subjek yang tidak mengalami disonansi dan 2 subjek yang mengalami disonansi menghasilkan gambaran bahwa kedua subjek yang tidak mengalami disonansi kognitif merasa bahwa prokrastinasi akademik bukanlah hal yang terlalu megkhawatirkan bagi mereka, karena selama ini prokrastinasi tersebut tidak memiliki dampak yang luar biasa bagi mereka, sedangkan menurut 2 subjek yang mengalami disonansi kognitif, salah satu dari mereka mengaku bahwa prokrastinasi akademik yang ia lakukan adalah hal yang mengkhawatirkan dan cukup menjadi hal yang ia perhatikan, karena prokrastinasi tersebut telah berdampak buruk bagi dirinya. Selain itu subjek ditanya mengenai pandangan mereka terhadap diri masing-masing, 2 subjek yang tidak mengalami disonansi memiliki pandangan bahwa mereka adalah pribadi yang santai, tidak kaku, cenderung tidak disiplin dan pemalas, sedangkan bagi 2 subjek yang masuk dalam kategori disonan, mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi yang cukup disiplin, serius, dan tidak kaku.
Dari hasil wawancara tersebut, cukup menggambarkan bahwa bagi subjek yang tidak masuk dalam kategori disonansi merasa prokrastinasi akademik bukanlah hal yang mengkhawatirkan bagi mereka sehingga kecenderungan untuk mengalami disonansi kognitif menjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada karena kadar kepentingan elemen yang menyebabkan disonansi itu sendiri kecil, berbeda bagi orang yang mengalami disonansi. Kemudian berkaitan dengan gambaran diri atau konsep diri yang dimiliki subjek, untuk subjek yang tidak disonan, tidak ada konsep diri ataupun gambaran diri mereka yang “terganggu” akibat perilaku prokrastinasi akademik. Berbeda dengan subjek yang mengalami disonansi kognitif tetapi memiliki pandangan bahwa dirinya adalah pribadi yang disiplin dan serius, konsep diri yang mereka miliki tersebut bertentangan dengan perilaku prokrastinasi akademik yang mereka lakukan sehingga dapat menyebabkan disonansi kognitif. Peneliti tidak bisa memastikan sepenuhnya bahwa mahasiswa pelaku prokrastinasi akademik yang berada pada kategori tidak disonan memang tidak pernah mengalami disonansi kognitif sama sekali, karena menurut Festinger (1957) disonansi kognitif hampir selalu terjadi pada kehidupan manusia seharihari, untuk hampir setiap tindakan dan perasaan yang dialami manusia setidaknya ada pertentangan yang akan terjadi. Untuk itu, peneliti berpendapat bahwa walaupun banyak subjek yang masuk dalam kategori tidak disonan (sedangkan disonansi kognitif itu hampir selalu terjadi dan mendorong individu untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologis yang muncul) mereka setidaknya secara aktif selalu melakukan upaya mengurangi disonansi, sehingga tingkat disonansi mereka menjadi sangat kecil dan tidak terdeteksi.
Sumber disonansi kognitif yang sering dialami oleh pelaku prokrastinasi akademik adalah sumber inkonsistensi logis dan diikuti oleh sumber pengalaman masa lalu. Hal ini dapat terjadi karena kedua sumber ini berasal dari diri sendiri yaitu keyakinan yang dimiliki dan pengalaman pribadi yang dialami, sehingga dapat menjadi sumber disonansi kognitif yang lebih dominan dibandingkan dua sumber lain yang berasal dari luar yaitu nilai-nilai budaya dan pendapat umum. Cara mengurangi disonansi kognitif yang banyak digunakan adalah dengan mengubah elemen kognitif tingkah laku. Menurut Festinger (1957) cara ini memang yang paling sederhana dan paling mudah dilakukan, karena bila perilaku yang menyebabkan suatu keadaan kognitif itu dihilangkan maka secara otomatis elemen kognitif yang berkaitan dengan perilaku tersebut dalam hal ini disonansi kognitif juga akan hilang. Hal ini juga didukung bahwa dalam disonansi kognitif terhadap perilaku prokrastinasi akademik yang menjadi sumber masalah adalah perilakunya, maka yang diubah sudah pasti harus perilaku itu sendiri bukan pikiran ataupun hal lainnya. Mengubah elemen kognitif lingkungan menjadi cara yang paling sedikit dilakukan subjek sebab cara ini menurut Festinger (1957) merupakan cara yang paling sulit karena untuk mengubah elemen kognitif lingkungan, individu harus memiliki kontrol penuh terhadap lingkungan tersebut. Selain itu perilaku prokrastinasi akademik sendiri menurut pandangan etis adalah memang perilaku yang tidak baik dilakukan dan apabila individu mencoba untuk mengubah pandangan ini tentunya akan sangat sulit karena tugas utama dari seorang pelajar ataupun mahasiswa adalah belajar dan mengerjakan tugas akademik yang diberikan sehingga perilaku menunda akan dianggap salah bila terus dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara didapatkan fenomena baru bahwa individu yang memiliki tingkat prokrastinasi yang tinggi belum tentu mengalami disonansi kognitif. Terbukti dari hasil wawancara dengan seorang subjek yang masuk dalam kategori tidak disonan tetapi ketika di wawancara subjek tersebut mengaku bahwa dirinya hampir selalu melakukan penundaan pada tugas individu. Hal ini dapat terjadi dikarenakan disonansi itu sifatnya subjektif dan kadar kepentingan hal yang menyebabkan disonansi kognitif menentukan besar kecilnya disonansi yang terjadi (Festinger, 1957). Subjek tersebut mengaku bahwa penundaan yang ia lakukan bukanlah menjadi hal yang perlu dikhawatirkan karena selama ini penundaan tersebut tidak memiliki dampak yang luar biasa kepada dirinya sehingga dari pandangan subjektif yang dimiliki bahwa prokrastinasi akademik yang selama ini ia lakukan tidak terlalu mengganggu dirinya sehingga perilaku tersebut bukanlah menjadi sesuatu yang penting untuk dikhawatirkan. Fenomena ini juga dapat terjadi dikarenakan kelemahan dari alat ukur yang dibuat. Alat ukur yang peneliti konstruk sendiri ini bisa saja kurang memiliki kemampuan untuk mengantisipasi hal-hal lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu dalam penelitian ini tidak memperhatikan perbedaan tingkat prokrastinasi subjek, wawancara awal saat pre-eliminary study juga kurang mendalam sehingga peneliti kurang memiliki gambaran yang jelas tentang karakteristik khusus mahasiswa pelaku prokrastinasi yang berpotensi mengalami disonansi kognitif. Pada uji coba alat ukur pertama yang dilakukan peneliti untuk menguji reliabilitas alat ukur disonansi kognitif yang terdiri dari dua bagian kuesioner, didapat hasil reliabilitas yang rendah yaitu sebesar 0,116 untuk alat ukur disonansi
kogntif dan 0,454 untuk alat ukur mengurangi disonansi kognitif. Reliabilitas yang rendah tersebut dapat terjadi karena pernyataan tiap item pada uji coba alat ukur pertama memang terlalu panjang dan terkesan memiliki dua pilihan didalamnya sehingga mungkin membingungkan subjek yang mengisi kuesioner. Selain itu jumlah kuesioner yang cukup banyak dengan total 68 pernyataan tidak menutup kemungkinan subjek menjadi malas mengerjakannya dan mengisi kuesioner dengan tidak serius. Berdasarkan hasil uji coba alat ukur pertama yang memiliki reliabilitas alat ukur yang rendah, peneliti memutuskan untuk melakukan uji coba alat ukur kedua dengan terlebih dahulu membagi kuesioner disonansi kognitif menjadi tiga bagian. Kuesioner bagian pertama pada uji coba pertama dibagi menjadi dua bagian yaitu kuesioner untuk mengukur disonansi kognitif terhadap perilaku prokrastinasi akademik dan kuesioner untuk mengukur sumber disonansi kognitif. Kuesioner cara mengurangi disonansi kognitif tetap dibiarkan menjadi satu bagian, hanya saja jumlah itemnya di kurangi dan pernyataan tiap item dipersingkat agar mudah dipahami. Setelah melakukan uji coba kedua kepada 30 orang subjek, didapat reliabilitas alat ukur disonansi kognitif sebesar 0,578; untuk alat ukur sumber disonansi kognitif sebesar 0,493 dan untuk alat ukur mengurangi disonansi kognitif sebesar 0,779. Melihat hasil uji coba alat ukur kedua dimana masih ada alat ukur yang memiliki reliabilitas dibawah 0,6 (alat ukur disonansi kognitif dan sumber disonansi kognitif), peneliti memutuskan untuk kembali melakukan uji coba alat ukur yang disebut uji coba alat ukur ketiga / pilot study 3 dengan menggunakan metode try-out terpakai pada 100 subjek. Pada uji coba ketiga ini subjek penelitian yang digunakan dalam saat pilot study dan penelitian
lapangan adalah subjek yang sama, setelah mengetahui item-item yang valid dan gugur karena menggunakan metode try-out terpakai maka item-item yang valid dihitung lagi dan digunakan untuk penelitian. Dalam penelitian ini tentunya terdapat berbagai keterbatasan. Tujuan awal dari penelitian ini hanya melihat disonansi kognitif pada mahasiswa pelaku prokrastinasi akademik tanpa melihat tingkatan prokrastinasi akademik subjek, sehingga dari situ bisa saja mempengaruhi hasil yang didapat. Jumlah subjek yang kurang proporsional sehingga mungkin kurang dapat merepresentasikan populasi mahasiswa di Universitas Bina Nusantara. Kemudian dalam karakteristik subjek yang kurang spesifik, dilihat dari kategori yang hanya dibagi berdasarkan mahasiswa jurusan Psikologi dan Non-Psikologi. Mahasiswa Non-Psikologi tidak dijelaskan berasal dari jurusan apa saja sehingga hasil dari penelitian tidak dapat di generalisasikan untuk jurusan lain. Data kontrol dalam penelitian ini juga kurang spesifik sehingga mungkin ada hal-hal lain yang mempengaruhi hasil penelitian ini yang selain variabel yang diteliti.
5.3 Saran 5.3.1 Saran Metodologis 1. Untuk penelitian selanjutnya, sebisa mungkin menambah jumlah subjek serta memperluas karakteristik subjek (dibagi berdasarkan jurusan, angkatan, jenis kelamin) agar subjek yang digunakan dapat benar-benar merepresentasikan populasi. Selain itu jumlah subjek
berdasarkan perbedaan karakteristik harus seimbang, agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan. 2. Untuk mendapatkan validitas konstruk yang baik dari alat ukur disonansi kognitif disarankan untuk mengkorelasikan alat ukur disonansi kognitif dengan alat ukur lain yang sejenis, contohnya alat ukur stress atau konflik serta membandingkan pula dengan alat ukur yang tidak sejenis. 3. Data kontrol diperketat untuk menghindari adanya hal-hal lain diluar penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Saran peneliti menambahkan frekuensi prokrastinasi akademik dalam data control untuk mengetahui secara pasti sejauh mana tingkat prokrastinasi subjek sehingga dapat diketahui dengan jelas tingkat disonansinya, serta melakukan pre-eliminary study yang lebih mendalam sehingga mendapat gambaran lebih jelas tentang pelaku prokrastinasi akademik yang memiliki potensi mengalami disonansi kognitif 4. Untuk penelitian selanjutnya dapat melihat pengaruh tingkat prokrastinasi terhadap disonansi kognitif.
5.3.2 Saran Praktis Untuk individu yang mengalami sumber disonansi kognitif inkonsistensi logis, sebaiknya individu tersebut berusaha mengubah mindset yang dimiliki terkait perilaku prokrastinasi akademik yang mereka lakukan, karena inkonsistensi logis berkaitan dengan keyakinan subjektif yang dimiliki.
Berdasarkan hasil penelitian, untuk sumber disonansi kognitif ini, disonansinya dapat dikurangi dengan mengubah perilaku prokrastinasi akademik tersebut.