BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1
Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, perasaan kewargaan memiliki kontribusi dan mampu memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa, sesuai dengan hipotesis alternatif peneliti. Begitu juga dengan decision fatigue yang juga mampu memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa, namun, kedua alternatif dari decision fatigue tidak mampu memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa, melainkan hanya satu alternatif saja, yaitu indecisive. Indecisive
memiliki
kontribusi
dan
mampu
berperan
dalam
memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa. Berbeda dengan impulsif yang ternyata tidak mampu memprediksikan apatisme politik pada mahasiswa yang dibuktikan dengan tidak sesuainya korelasi yang dihasilkan dan nilai yang tidak signifikan. 5.2
Diskusi Hipotesis peneliti dapat dibuktikan dengan adanya keterkaitan variabel perasaan kewargaan dengan perilaku apatisme terhadap politik. Korelasinya menunjukkan korelasi negatif yang berarti semakin tinggi perasaan kewargaan seseorang maka semakin rendah sikap apatisme terhadap politik. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perasaan kewargaan diadaptasi dari alat ukur yang mengukur global citizenship dan kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai yang sesuai untuk mengukur perasaan kewargaan yang terdiri atas, tanggung jawab sosial yang menurut Westheimer
49
50 dan Kahne, 2004 (dalam Morais & Ogden, 2010) merupakan sikap individu untuk merasa bertanggung jawab dan mengerti pentingnya masalah dan mencoba untuk mengembangkan lingkungannya sosialnya. Kompetensi menurut Noddings, 2005 (dalam Morais & Ogden, 2010) merupakan sikap mengerti dan menghargai keragaman budaya, agama, dan perbedaan yang berada di dalam lingkungannya. Keterlibatan kepada sipil menurut Westheimer dan Kahne, 2004 (dalam Morais & Ogden, 2010) adalah partisipasi individu secara aktif dalam memimpin sistem dan struktur komunitas yang mapan. Individu dapat dikatakan memiliki perasaan kewargaan yang baik apabila mereka memiliki nilai baik dari ketiga dimensi diatas. Dalam penelitian ini, ketiga dimensi lebih mengukur keterlibatan individu dari sisi politik, karena menurut Walzer (1989), menjadi seorang warga dari suatu negara merupakan anggota dari komunitas politik dan menurut Sears, Hudd & Jarvis (2003) kewargaan merupakan ekspresi dari hubungan antara individu dengan sistem politik. selain itu, Kostakopaulo, 2008 (dalam Sindic 2011) mengemukakan bahwa kewargaan adalah memiliki perasaan anggota dalam komunitas politik mulai dari hak dan kewajiban, keuntungan yang didapat, partisipasi, dan kelekatan pada identitasnya. Penelitian ini mengkhususkan kepada partisipasi politik, karena menjadi seorang warga berarti ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik di dalam negaranya sendiri. Kebanyakan remaja berpartisipasi dalam pemilu yaitu dengan memberikan suaranya beralasan bahwa memberikan suara dalam pemilihan merupakan keinginan mereka sendiri, beberapa ada yang menjawab bahwa memberikan suara sebagai ekspresi diri dan juga menganggap bahwa memberikan suara merupakan tanggung jawab.
51 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi yang membentuk perasaan kewargaan saling berkaitan satu sama lain sehingga tidak bisa dipisahkan salah satunya. Selain itu, dengan terbentuknya sifat-sifat kewargaan yang telah dijelaskan sebelumnya pada diri seseorang, dapat membentuk individu menjadi seorang warga yang baik dan memiliki kontribusi yang baik kepada komunitas atau bangsanya. Unsur-unsur yang membentuk dimensi kewargaan tentunya tidak lepas dari aspek politik, karena menjadi seorang warga berarti memiliki kontribusi terhadap aktivitas politik pada komunitas atau bangsanya, maka dari itu dapat dilihat kesinambungan antara perasaan kewargaan dan apatisme politik pada penelitian ini. Hipotesis peneliti juga didukung dengan adanya keterkaitan antara variabel decision fatigue dengan apatisme politik. Korelasi yang ditunjukkan oleh data yang telah dihitung merupaka korelasi positif yang artinya apabila decision fatigue yang dialami individu semakin tinggi maka semakin tinggi juga apatisme politik yang dimiliki oleh individu. Decision fatigue merupakan kondisi individu dimana mengalami kelelahan secara tanpa sadar, mereka tidak mengalami kelelahan secara fisik, melainkan kelelahan mental. Individu dapat mengalami decision fatigue apabila mereka dikondisikan atau diharuskan untuk membuat keputusan dari banyaknya pilihan yang ada. Semakin banyaknya pilihan yang harus dibuat oleh individu, semakin besar kemungkinan individu tersebut untuk mengambil jalan pintas dalam memilih yang mejadi dimensi dari decision fatigue, yaitu impulsif dan indecisive. Pengambilan keputusan secara impulsif dan indecisive merupakan akibat dari decision fatigue yang dialami seseorang. Individu yang mengambil
52 jalan pintas impulsif akan menentukan pilihannya tanpa memikirkan konsekuensi atas pilihannya tersebut. Individu yang mengambil jalan pintas secara indecisive lebih memilih untuk menghindari segala pilihan yanag ada dan akhirnya tidak memilih. Menghindari segala pilihan dan tidak memilih memang dapat meringankan beban mental sementara, namun dapat menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Menurut Hurm (2011), ciri-ciri individu yang indecisive adalah memiliki perasaan frustasi atau cemas pada saat proses mengumpulkan informasi dimana ia menemukan bahwa dirinya masih merasa kekurangan pengetahuan baik tentang dunia sosialnya maupun tentang dirinya sendiri. Chiu (2007), merumuskan ciri utama indecisive yaitu “tidak mampu memobilisasikan dirinya untuk bertindak mengambil keputusan”. Ia juga menemukan daktor-faktor psikologis dari indecisive, yaitu penundaan pengambilan keputusan (decisional procrastination) dan ketakutan terhadap komitmen (fear of commitment). Berarti, individu yang individu mengerti tentang pilihan-pilihan yang ada dan apa yang ia pertaruhkan namun individu memilih untuk tidak komit atau berpartisipasi. Decisional
procastinantion
merupakan
sebuah
pola
coping
penghindaran defensive dimana individu menangani konflik keputusan yang dialaminya dengan cara menunda keputusan (Mann et al., 1997, dalam Chiu, 2007). Sedangkan fear of commitment disebabkan oleh pesimisme atau persepsi mengenai hasil negatif (negative outcomes) yang mungkin dihasilkan
setelah
pengambilan
keputusan,
seperti
salah
memilih,
mengecewakan orang-orang, kehilangan pilihan, ketidak sempurnaan hasil, kinerja yang buruk, dan sebagainya.
53
Pada penelitian ini, dimensi impulsif tidak berkontribusi terhadap munculnya sikap apatisme politik melainkan hanya dimensi indecisive yang berkontribusi terhadap munculnya sikap apatisme politik. Indecisive ditemukan memiliki korelasi kearah positif dan mampu memprediksi apatisme politik. Terdapat dua jenis impuslivitas, yaitu impulsivitas fungsional dan impuslivitas disfungsional. Perbedannya adalah (Dickman, 1990, halaman 95): “Dysfunctional impulsivity is the tendency to act with less forethought than most people of equal ability when this tendency is a source of difficulty. Fuctional impulsivity is the tendency to act with relatively little forethought when such style is optimal” Chiu (2007), menyatakan bahwa impulsivitas yang disfungsional merupakan sumber kesulitan, sedangkan impulsivitas yang fungsional adalah sumber kefasihan. Keduanya menurut Dickmann tidak memiliki korelasi tinggi dan memiliki pola-pola yang berbeda dalam korelasinya dengan variabel-variabel psikologis lain. Impulsivitas yang disfungsional berkorelasi kuat
dengan
ketidakteraturan
(disorderliness)
dan
kecenderungan
mengabaikan fakta-fakta penting (hard facts) sepanjang proses pengambilan keputusan, sedangkan impulsivitas yang fungsional tidak berkorelasi dengan hal itu. Chiu (2007, halaman 19) menambahkan bahwa orang-orang yang impulsif secara disfungsional: “They will have a greater urge to enact their decision behaviorally even when they are experiencing conflict with their
54 available choices, and regardless of their awareness of preference and/or consequences related to the decision” Penelitian ini tidak membedakan secara tegas dalam pengukuran antara impulsivitas yang fungsional dan impulsivitas yang disfungsional, sehingga peneliti tidak menemukan adanya korelasi dengan apatisme. Peneliti menduga bahwa impulsivitas yang disfungsional berhubungan atau mencerminkan apatisme, sedangkan impulsivitas yang fungsional berhubungan dengan nonapatisme karena seperti yang telah dijelaskan termasuk sebagai strategi mengambil keputusan politik untuk berpartisipasi dalam politik atau tidak. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk menguji dugaan ini. 5.3 Saran 5.3.1 Saran Teoritis 1. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar dapat mencari sampel penelitian dengan klasifikasi yang lebih spesifik lagi. 2. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya untuk mendata aktivitas politik subjek. 5.3.2 Saran Praktis 1. Diharapkan bagi masyarakat untuk lebih aktif dalam berpartisipasi dalam politik demi terciptanya bangsa yang lebih baik. 2. Diharapkan bagi para pelaku politik untuk bisa mensejajarkan perkembangan politik dengan perkembangan zaman agar dapat menarik minat anak muda untuk terlibat dalam dunia politik.