Bab 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran 5.1 Simpulan Berdasarkan uji hipotesa dengan analisa regresi berganda dihasilkan bahwa H01 ditolak, berarti ada pengaruh waktu luang bersama pasangan dan inisiasi berhubungan seksual dalam memprediksikan kepuasan pernikahan pada suami dan istri dewasa muda bekerja di Jakarta. Asumsi ini diperoleh dari uji bersama-sama (uji F) bahwa jika F hitung lebih besar dari F tabel (17,831 > 3,145258), maka H0 ditolak. Besar nilai pengaruh variabel predictor dalam memprediksikan variabel criterion sebesar 0,604 dan sumbangsih yang diberikan sebesar 34,5% yang berarti bahwa ada 65,5% varian dari aspek lain yang tidak di teliti dalam penelitian ini. Dari beta weights (b) masing-masing variabel diperoleh persamaan regresi, yaitu: y′=63,512+0,031x1+0,330x2 Persamaan ini memberikan arti bahwa jika waktu luang (x1) dan inisiasi berhubungan seksual (x2) memiliki nilai 0, maka kepuasan pernikahan (y′) hanya memiliki nilai sebesar 63,512. Jika waktu luang (x1) mengalami kenaikan sebesar 1 poin dan inisiasi berhubungan seksual (x2) memiliki nilai tetap, maka kepuasan pernikahan (y′) mengalami kenaikan 0,031. Jika inisiasi berhubungan seksual (x2) mengalami kenaikan sebesar 1 poin dan waktu luang (x1) memiliki nilai tetap, maka kepuasan pernikahan (y′) mengalami kenaikan 0,330. Dari uji hipotesa dengan analisa regresi berganda juga dihasilkan bahwa H02 diterima, berati tidak ada pengaruh waktu luang bersama pasangan dalam memprediksikan kepuasan pernikahan pada suami dan istri dewasa muda bekerja di Jakarta secara parsial. Asumsi ini dapatkan dari uji parsial (uji t) yang menghasilkan
t hitung lebih kecil dari pada t tabel (0,632 < 1,998971), maka H0 diterima. Sedangkan untuk uji parsial (uji t) dari inisiasi hubungan seksual didapatkan t hitung lebih besar dari pada t tabel (5,412 > 1,998971), maka H03 diterima. Berarti ada pengaruh
inisiasi
berhubungan
seksual
dalam
memprediksikan
kepuasan
pernikahan pada suami dan istri dewasa muda bekerja di Jakarta secara parsial. 5.2 Diskusi Dari penelitian ini dihasilkan bahwa ada pengaruh waktu luang bersama pasangan dan inisiasi berhubungan seksual dalam memprediksikan kepuasan pernikahan pada suami dan istri dewasa muda bekerja di Jakarta. Hal ini didukung dengan penelitian Holman, Holman dan Jacquart, Miller, Orthner, Smith, Snyder & Monsma (dalam Johnson, Zabriskie, dan Hill, 2006) menyatakan bahwa secara konsisten penelitian menghasilkan bahwa suami-istri yang berbagi waktu luang bersama akan lebih puas dengan pernikahannya dibanding yang tidak. Selanjutnya, Byers dan Heinlein (dalam Harvey, Wenzel, dan Sprecher, 2004) menjelaskan bahwa kepuasan seksual yang tinggi akan diperoleh ketika penerimaan terhadap inisiasi juga tinggi dan diikuti peningkatan kepuasan pernikahan. Dalam penelitian ini juga dihasilkan bahwa secara parsial inisiasi berhubungan seksual berpengaruh dalam memprediksi kepuasan pernikahan, sedangkan waktu luang bersama pasangan tidak. Dari hasil olah data waktu luang bersama keluarga dapat dilihat bahwa pasangan muda yang keduanya bekerja memiliki waktu luang bersama pasangan yang sangat rendah, sedangkan hasil olah data inisiasi hubungan seksual memperoleh nilai yang cukup tinggi terutama pada hubungan tidak langsung. Dari olah data kepuasan pernikahan ditemukan bahwa aspek seksualitas menjadi nilai tertinggi yang dapat dicapai oleh keseluruhan responden, sedangkan pembagian peran ditemui sebagai aspek dengan nilai paling
rendah. Padahal, kegiatan core masuk dalam aktifitas rumah tangga yang membutuhkan pembagian peran yang adil (Scanzoni dalam DeGenova, 2008). Selain itu, seksual adalah prioritas (Glass dalam DeGenova, 2008) dan merupakan ungkapan rasa sayang di kehidupan awal pernikahan (Ted Huston dan Heidi Melz dalam Strong, DeVault, dan Cohen, 2008). Alasan lain yang mendasari rendahnya nilai waktu luang bersama keluarga adalah waktu, usaha, dan biaya yang dikeluarkan untuk beberapa aktivitas waktu luang terutama jenis balance (Zabriskie & McCormick dalam Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012), padahal wanita bekerja terutama disebabkan karena faktor ekonomi (DeGenova, 2008) dan adanya pengaruh ketidakcocokan antara pasangan untuk jenis waktu luang terhadap rendahnya kepuasan (Crawford, Houts, Huston, dan George, 2002). Hasil dari penelitian ini memang menunjukkan adanya pengaruh dari beberapa variabel predictor yaitu waktu luang bersama pasangan dan inisiasi hubungan seksual dalam memprediksi satu variabel criterion yaitu kepuasan pernikahan. Namun, pengaruh yang diperoleh dari penelitian ini bukan sebab-akibat tetapi hanya mengambarkan peranan. Karena, desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi dan korelasi berganda dengan pengolahan data analisa regresi berganda. Lebih spesifik dapat dilihat dari hasil olah data kepuasan pernikahan, didapatkan bahwa kepuasan cukup tinggi terutama pada aspek seksualitas, keterbukaan, dan finansial. Hal ini berarti banyak responden yang melakukan aspekaspek kepuasan tersebut. Hasil ini tidak mengejutkan karena hampir semua status tinggal pasangan muda adalah di rumah sendiri atau kontrak, yang berarti tidak dengan orang tua atau mertua. Asumsi ini didukung Holmes dan Rahe (1967) yang menyatakan bahwa sumber stres pasangan salah satunya didapat dari masalah
dengan mertua. Selanjutnya, stres yang timbul akibat masalah yang dialami dengan mertua akan mempengaruhi kepuasan perkawinan karena hubungan dengan keluarga besar merupakan salah satu aspek kepuasan perkawinan (Clayton, 1975). Mengarah pada data demografis, budaya merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam melakukan penelitian tentang dual-earner (pasangan yang berpenghasilan ganda), karena perubahan peran gender berhubungan
dengan
masalah
ekonomi,
namun
terlebih
ini tidak
hanya
budaya
yang
melatarbelakanginya dan budaya dapat memberikan gambaran berbeda tentang alasan seseorang bekerja (Troost, Matthijs, Vermulst, Gerris, dan WelkenhuysenGybels, 2006) dan merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan (Zainah, Nasir, Hashim, dan Yusof, 2012). Sedangkan dalam penelitian ini, sudah dibatasi ruang lingkupnya yaitu hanya pada masyarakat urban. Kemudian, keberadaan anak dan lama pernikahan merupakan variabel demografis yang dapat berhubungan dengan peningkatan kepuasan pernikahan (Zainah, Nasir, Hashim, dan Yusof, 2012). Dalam penelitian ini sudah dapat dikontrol kedua jenis variabel demografis ini dengan baik, karena rentang usia pernikahan sudah dibatasi yaitu 1-5 tahun, sehingga hasilnya juga berpengaruh pada ada atau tidak keberadaan anak. Terbukti bahwa rata-rata banyak yang belum memiliki anak pada tahap awal pernikahan. Menurut Zainah, Nasir, Hashim, dan Yusof (2012) pendidikan terakhir dapat berhubungan dengan kenaikan kepuasan pernikahan. Untuk variabel demografis pendidikan terakhir terkait erat dengan penghasilan. Dalam penelitian ini memang sengaja dilakukan pengelompokan pendidikan terakhir dan penghasilan responden dalam rentang yang luas untuk akhirnya dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut yaitu melihat perbedaan kepuasan pernikahan antara suami yang memiliki
penghasilan lebih dari istri, pengasilan setara, atau istri yang memiliki penghasilan lebih dari suami. Namun, penghasilan pasangan seharusnya diisi oleh pasangan itu sendiri, mengingat penelitian pada keluarga seharusnya melakukan evaluasi pada kedua pihak (Buss; Watson, Hubbard, dan Wiese dalam Kurdek, 2005). Kurdek (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah variabel yang sangat penting untuk diperhatikan ketika melakukan penelitian pada kepuasan pernikahan, karena jenis kelamin bisa mempengaruhi orang dalam berbagai aspek biologis dan psikologis. Selain itu, dalam meneliti pasangan berpenghasilan ganda, sangat penting melihat jenis kelamin, karena jenis kelamin mempengaruhi bagaimana seseorang memaknai keuangan keluarga dan memutuskan untuk bercerai (Dew, 2009). Selain itu, kepuasan pernikahan pada wanita akan rendah dalam pernikahan berpenghasilan ganda, dibandingkan laki-laki (Troost, Matthijs, Vermulst, Gerris, dan Welkenhuysen-Gybels, 2006). Sedangkan dalam penelitian ini tidak dibagi dengan seimbang antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, dalam melakukan penelitian tentang kepuasan pernikahan pada pasangan sebaiknya melakukan penilaian dari kedua pihak yang hidup pada satu kondisi keluarga yang sama, sehingga dapat dilihat hubungan antara masing-masing variabel dari kedua pihak dan akhirnya didapatkan evaluasi secara menyeluruh tentang sebuah keluarga, kemudian baru bisa dilakukan pebandingan dengan keluarga yang lain (Buss; Watson, Hubbard, dan Wiese dalam Kurdek, 2005). Sedangkan dalam penelitian ini tidak mengevaluasi kedua pihak dalam satu keluarga, tetapi hanya salah satu saja. Penelitian tentang kepuasan pernikahan seharusnya melibatkan karakteristik serta proses interaksi yang terjadi di dalamnya (Robinson & Blanton dalam RosenGrandon, Myers, dan Hattie, 2004). Melihat juga dari pernyataan Bookwala dan
Jacobs (2004) bahwa proses interaksi yang terjadi pada pasangan muda adalah negatif.
Proses
interaksi
yang
negatif
ini
disebabkan
karena
banyaknya
ketidaksetujuan antara pasangan, pembagian peran yang tidak adil, dan strategi penyelesaian konflik yang buruk. Menurut Lewis dan Spanier (dalam RosenGrandon, Myers, dan Hattie, 2004) interaksi dalam pernikahan sendiri dapat dilihat dari 3 hal penting, yaitu: konsensus (persetujuan dengan pasangan), kohesi (perasaan terhubung dengan pasangan), dan afeksi (kasih sayang dengan pasangan). Dalam penelitian ini pengukuran kepuasan pernikahan sudah cukup memasukkan proses interaksi tersebut, hanya saja variabel predictor tidak menambahkan aspek konsensus dan kohesi. Terkait dengan proses interaksi dengan pasangan, kepribadan masingmasing pasangan dan kesesuaian kepribadian antara pasangan penting untuk diketahui, sebagai pembeda cara tiap-tiap pasangan dalam melakukan proses interaksi terutama pada cara komunikasi untuk menghasilkan kepuasan pernikahan (Schneewind dan Gerhard, 2002). Sedangkan dalam penelitian ini tidak dilibatkan pengukuran mengenai kepribadian masing-masing pasangan. Selain itu melihat pada sampel penelitian, jumlah sampel hanya sedikit karena waktu yang sempit dalam mencari sampel, jumlah item cukup banyak dan bersifat pribadi, sehingga responden banyak yang mengosongi beberapa bagianbagian dan akhirnya banyak kuesioner yang terbuang. Kemudian, pengambilan sampel pada penelitian ini hanya pada suami dan istri dewasa muda bekerja di Jakarta, sehingga generalisasi hasil penelitian hanya pada suami-istri dengan kriteria dewasa muda (20-40 tahun), berada pada tahap awal pernikahan (1-5 tahun), kedua pasangan bekerja (bekerja di Jakarta), dan tinggal di Jabodetabek.
5.3 Saran Dari hasil diskusi di atas, baik teoritis ataupun metodologis, dihasilkan beberapa saran yang dapat digunakan secara praktis atau untuk pengembangan dan perbaikan penelitian selanjutnya. 1. Untuk pasangan urban yang berada pada tahapan dewasa muda (20-40 tahun), di awal usia pernikahan (1-5 tahun), keduanya bekerja di Jakarta, dan tinggal di Jabodetabek dan yang utama ditujukan bagi yang memiliki permasalahan dengan pernikahannya, serta untuk konselor atau terapis yang menemui
klien
dengan
kriteria
pasangan
seperti
yang
disebutkan
sebelumnya dan dalam permasalahan dengan pernikahannya, maka dapat disarankan beberapa hal: a. Lebih memperhatikan pengaruh waktu luang bersama pasangan dan inisiasi
hubungan
seksual
dalam
memprediksikan
kepuasan
pernikahannya. b. Jika waktu yang dimiliki bersama pasangan sedikit, maka dapat mendahulukan untuk melakukan inisasi hubungan seksual dalam keadaan mandiri tanpa waktu luang bersama pasangan untuk tetap dapat memprediksikan kepuasan pernikahan. Inisiasi berhubungan seksual yang bisa didahulukan adalah bersifat lebih halus dan tidak langsung, seperti: menyiapkan sarapan spesial untuk pasangan. c. Selain berusaha meningkatkan kepuasan pernikahan lewat kedua hal di atas, pasangan bisa mengecek apakah ketiga aspek kepuasan pernikahan ini telah berjalan dengan baik, yaitu: seksualitas, keterbukaan, dan finansial.
d. Mengarah pada status tinggal, sebisa mungkin memiliki rumah sendiri atau setidaknya kontrak, sehingga tidak tinggal bersama orang tua atau mertua. 2. Saran yang ditujukan untuk penelitian selanjutnya ada beberapa hal: a. Sebaiknya membagi jenis kelamin dalam jumlah yang seimbang, lebih baik jika penilaian terhadap kepuasan pernikahan bisa diambil dari
kedua
pihak
(suami-istri)
dalam
satu
keluarga,
dapat
memasukkan unsur proses interaksi dalam tiap variabel penelitian, dan melakukan penilaian pada kepribadian masing-masing pasangan. b. Tetap melakukan kontrol terhadap budaya dan data demografis yaitu ada atau tidaknya keberadaan anak dan lama pernikahannya dengan menentukan sampel secara spesifik seperti penelitian ini. c. Untuk upaya pengembangan penelitian yang seragam, dapat memberikan variasi berupa perbedaan antara penghasilan pasangan, yaitu: suami lebih besar dari istri, istri lebih besar dari pada suami, atau sama sebagai fenomena utama yang disoroti. d. Dalam upaya memaksimalkan sampel maka, alat ukur sebisa mungkin diisi oleh orang-orang yang dikenal atau setidaknya teman dari orang yang kita kenal, sehingga bisa cukup terbuka dalam memberikan jawaban, menyediakan waktu yang cukup lama, sehingga dapat memberikan responden waktu yang panjang untuk mengisi kuesioner dengan item yang cukup banyak. e. Mengingat bahwa pengunaan hasil penelitian ini hanya bisa digambarkan pada orang dengan kriteria sampel yang telah disebutkan,
sehingga
penelitian
selanjutnya
bisa
melakukan
penelitian pada kriteria sampel yang lain atau spesifikasi kriteria pada sampel yang sama untuk makin meluaskan dan menyempurnakan penelitian tentang keluarga dan kepuasan pernikahan. Kemudian, hal lain yang perlu diingat bahwa agar penelitian ini nantinya tidak disalahartikan sebagai penelitian pengaruh dalam konteks sebabakibat, tetapi hanya sebatas pada peranan.