9
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAHAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1. Teori Sinyal (Signalling Theory) Menurut Agus (2001) isyarat atau signal adalah suatu tindakan yang diambil perusahaan untuk memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan merupakan hal yang penting, karena pengaruhnya terhadap keputusan investasi pihak diluar perusahaan. Informasi tersebut penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran, baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup perusahaan dan bagaimana efeknya pada perusahaan. Signalling theory menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor dan kreditur).
Kurangnya
informasi
bagi
pihak
luar
mengenai
perusahaan
menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan
9
10
dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar. Integritas informasi laporan keuangan yang mencerminkan nilai perusahaan merupakan sinyal positif yang dapat mempengaruhi opini investor dan kreditur atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Laporan keuangan seharusnya memberikan informasi yang berguna bagi investor dan kreditor untuk membuat keputusan investasi, kredit dan keputusan sejenis. Signalling theory menyatakan bahwa keputusan investasi yang diambil perusahaan akan memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham di pasar modal yang merupakan salah satu indikator nilai perusahaan. Peningkatan penggunaan hutang diartikan oleh pihak luar sebagai kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban di masa yang akan datang atau adanya risiko bisnis yang rendah, hal tersebut akan direspon secara positif oleh pasar (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Kebijakan dividen sering dianggap sebagai sinyal bagi investor dalam menilai baik buruknya perusahaan, hal ini disebabkan karena kebijakan dividen dapat membawa pengaruh terhadap harga saham perusahaan. Kenaikan jumlah dividen tunai dianggap sebagai sinyal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa depan. Kenaikan dividen tunai seringkali menyebabkan kenaikan harga saham yang berarti bahwa nilai perusahaan meningkat, sementara pemotongan dividen umumnya menyebabkan penurunan harga saham yang berarti penurunan nilai perusahaan.
11
Peningkatan hutang juga dapat diartikan pihak luar tentang kemampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya di masa yang akan datang, sehingga penambahan hutang akan memberikan sinyal positif. Dikarenakan perusahaan yang meningkatkan hutang dapat dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Profitabilitas yang tinggi menunjukkan prospek perusahaan baik, sehingga investor akan merespon positif sinyal tersebut dan nilai perusahaan akan meningkat. Hal tersebut dapat dipahami karena
perusahaan
yang
berhasil
membukukan
laba
yang
meningkat,
mengindikasikan perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang baik, sehingga dapat menciptakan sentimen positif para investor dan dapat membuat harga saham perusahaan meningkat. Meningkatkan harga dipasar, maka akan meningkatkan nilai perusahaan. 2.1.2. Nilai Perusahaan Tujuan perusahaan didirikan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan atau adanya pertumbuhan perusahaan. Pertumbuhan perusahaan yang mudah terlihat adalah adanya penilaian yang tinggi dari eksternal perusahaan terhadap aset perusahaan maupun terhadap pertumbuhan pasar saham. Nilai perusahaan merupakan kondisi tertentu yang telah dicapai oleh suatu perusahaan sebagai gambaran dari kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan setelah melalui suatu proses kegiatan selama beberapa tahun, yaitu sejak perusahaan tersebut didirikan sampai dengan saat ini. Masyarakat menilai dengan bersedia membeli saham perusahaan dengan harga tertentu sesuai dengan persepsi dan keyakinannya. Meningkatnya nilai perusahaan adalah sebuah prestasi yang sesuai dengan
12
keinginan para pemiliknya, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan maka kesejahteraan para pemilik juga akan meningkat dan ini adalah tugas dari manajer sebagai agen yang telah diberi kepercayaan oleh para pemilik perusahaan untuk menjalankan perusahaannya (Sudiyatno, 2010). Menurut Agus (2006), nilai perusahaan sangat penting, karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi pendanaan (financing), dan manajemen asset. 1) Konsep Nilai suatu Perusahaan Menurut Christiawan dan Josua (2007), terdapat beberapa konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan antara lain: 1. Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif. 2. Nilai pasar sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar saham. 3. Nilai intrinsik merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini bukan
13
sekedar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian hari. 4. Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi. 5. Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung berdasarkan neraca performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan likuidasi. 2) Pengukuran Nilai Perusahaan Pengukuran nilai perusahaan menurut Yulianto (2001) dalam rasio penilaian perusaan terdiri dari : 1.
Price Earning Ratio (PER) Menurut Tandelilin (2008) PER adalah perbandingan antara harga saham
perusahaan dengan earning per share dalam saham. PER adalah fungsi dari perubahan kemampuan laba yang diharapkan dimasa yang akan datang. Semakin besar PER , maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. PER dapat dihitung dengan rumus : ππΈπ
=
Harga pasar perlembar saham πΏπππ πππ ππππππ π πβππ
2. Price to Book Value (PBV) Menurut Prayitno dalam Afzal (2012) Price to Book Value (PBV) menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu
14
perusahaan. Makin tinggi rasio ini, berarti pasar percaya akan prospek perusahaan tersebut. PBV juga menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan yang relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. PBV juga dapat berarti rasio yang menunjukkan apakah harga saham yang diperdagangkan over valued (diatas) atau under valued (dibawah) nilai buku saham tersebut (Fakhruddin, 2001). Secara sistematis PBV dapat dihitung dengan rumus : ππ΅π =
Harga pasar perlembar saham Nilai buku saham
3. Tobinβs Q Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai nilai perusahaan adalah dengan menggunakan Tobinβs Q. Tobinβs Q ini dikembangkan oleh professor James Tobin (Yulianto, 2004). Rasio ini merupakan konsep yang sangat berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental. Tobinβs Q dihitung dengan membandingkan rasio nilai pasar saham perusahaan dengan nilai buku ekuitas perusahaan. Rumusnya sebagai berikut : π=
(EMV + D) (EBV + D)
Dimana : Q
= Nilai Perusahaan
EMV
= Nilai Pasar Ekuitas
EBV
= Nilai Buku dari Total Aktiva
D
= Nilai Buku dari Total Hutang
15
EMV diperoleh dari hasil perkalian harga saham penutupan pasar akhir tahun (closing price) dengan jumlah sahan yang beredar pada akhir tahun. EBV diperoleh dari selisih total asset perusahaan dengan total kewajibannya. 2.1.3 Kebijakan Investasi Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lain yang dilakukan saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang. Kebijakan investasi sering juga disebut capital budgeting problem, adalah masalah bagaimana manajer harus mengalokasikan dana kedalam bentuk-bentuk investasi yang akan dapat mendatangkan keuntungan di masa depan (Indriyo dan Basri, 2002). Adanya pilihan investasi yang dapat menghasilkan keuntungan di masa datang merupakan kesempatan bertumbuh bagi perusahaan yang akan menaikkan nilai perusahaan. Pilihan-pilihan investasi di masa datang ini kemudian dikenal dengan istilah Set Kesempatan Investasi atau Investment Oportunity Set (IOS). Bentuk, macam dan komposisi dari investasi mempengaruhi dan menunjang tingkat keuntungan di masa depan. Keuntungan di masa depan yang diharapkan dari investasi tersebut adalah tidak dapat diperkirakan secara pasti. Oleh karena itu investasi akan menanggung resiko atau tidak pasti. Resiko dan hasil yang diharapkan dari investasi itu akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan kebijaksanaan maupun nilai perusahaan. Keputusan investasi mencakup pengalokasian dana, baik dana yang berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi.
16
Gitman (2000) menyatakan bahwa kebijakan investasi sangat penting karena akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan dan merupakan inti dari seluruh analisis keuangan. Sedangkan menurut Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa keputusan investasi dapat berperan sebagai mekanisme transmisi antara kepemilikan dan nilai perusahaan. Implementasi keputusan investasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana dalam perusahaan yang berasal dari sumber pendanaan internal (internal financing) dan sumber pendanaan eksternal (external financing). Dengan memperhatikan sumber-sumber pembiayaan, perusahaan memiliki beberapa alternatif pembiayaan untuk menentukan struktur modal yang tepat bagi perusahaan. Dalam perspektif manajerial, keputusan struktur modal tidak hanya menentukan komposisi sumber internal dengan eksternal, tetapi keinginan dan pilihan yang hendak dicapai seorang manajer pun dapat menjadi pertimbangan di dalam menentukan keputusan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Barton dan Gordon (1988) bahwa βMore recent work has looked to a managerial perspective in an attempt to provide an explanation for the variations in capital structure.β Jadi, inti dari fungsi pendanaan ini adalah bagaimana perusahaan menentukan sumber dana yang optimal untuk mendanai berbagai alternatif investasi, sehingga dapat memaksimalkan nilai perusahaan yang tercermin pada harga sahamnya. Bentuk β Bentuk Investasi Kebijaksanaan investasi jangka panjang dibutuhkan sebagai persoalan capital budgeting investment berarti pula sebagai pengeluaran pada saat ini di
17
mana hasil yang diharapkan dari pengeluaran itu baru akan diterima lebih dari satu tahun mendatang. Suatu perusahaan melakukan investasi terhadap aktiva tetap dalam beberapa bentuk seperti : 1.
Penggantian aktiva tetap
2.
Ekspansi atau perluasan
3.
Diversifikasi produk
4.
Eksplorasi
5.
Penelitian dan pengembangan. Salah satu tugas utama di dalam persoalan kebijakan investasi adalah
mengadakan estimasi terhadap pengeluaran dan penerimaan uang yang akan diterima dari investasi tersebut pada waktu yang akan datang demi tercapainya nilai perusahaan yang baik. Kriteria Penilaian Investasi Pada dasarnya kriteria penilaian investasi dapat digolongkan menjadi dua golongan, adalah : a) Kriteria investasi yang mendasarkan pada konsep keuntungan/income adalah Average Rate of Return (ARR). b) Kriteria investasi yang mendasarkan pada konsep cash flow. Sedangkan kriteria investasi yang mendasarkan pada konsep cash flow dapat dirinci : a. Konsep cash flow yang tidak memperhatikan nilai waktu dan uang atau faktor diskonto yaitu metode pay back.
18
b. Konsep cash flow yang memperhatikan nilai waktu dan uang atau faktor diskonto, antara lain : 1. Nilai sekarang bersih/neto. 2. Net Present Value (NPV). 3. Indeks keuntungan / Probability Index (PI). 4. Internal Rate of Return (IRR). Risiko Investasi Pada umumnya risiko dari investasi muncul tiga kemungkinan (Indriyo dan Basri, 2002) yaitu : 1) Besarnya investasi Suatu investasi yang besar memiliki risiko yang lebih besar dari investasi kecil terutama dari unsur kegagalannya. Apabila proyek itu mengalami kegagalan maka hal itu dapat berakibat nilai perusahaan akan turun. 2) Penanaman kembali dari cash flow Bahaya dari kemungkinan tidak terbukanya kemungkinan investasi kembali dari hasil investasi itu akan merupakan tambahan risiko dari penanaman kembali cash flow yang diperoleh. 3) Penyimpangan dari cash flow Forecasting yang tepat terhadap cash flow dari hasil yang akan diperoleh adalah merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Ketidakpastian dari apa yang diharapkan itulah yang merupakan sumber dari resiko ini.
19
2.1.4 Kebijakan Hutang Teori yang menjelaskan mengenai kebijakan hutang diantaranya yaitu Trade Off Theory dan Pecking Order Theory. Trade Off
Theory menggambarkan
tentang keputusan kontroversi utang-ekuitas perusahaan antara perlindungan pajak bunga dan biaya masalah keuangan. Nilai perusahaan dengan utang akan semakin meningkat dengan meningkatnya hutang, tetapi pada titik tertentu nilai tersebut akan turun. Gabungan teori antara teori struktur modal MM dengan memasukkan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan mengindikasikan adanya trade-off antara penghematan pajak dan utang dengan biaya keuangan. Jadi, diperlukan tingkat utang yang optimal pada titik tertentu agar nilai perusahaan naik dan tidak timbul biaya kebangkrutan (Hanafi, 2010). Pecking Order menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana para manajer pertama kali akan memilih untuk menggunakan laba ditahan, hutang dan penerbitan saham sebagai pilihan terakhir (Hanafi, 2004). Penggunaan hutang lebih disukai karena biaya yang dikeluarkan untuk hutang lebih murah dibandingkan dengan biaya penerbitan saham. Menurut Brealey et al., (2008:25), urutan pendanaan menurut teori pecking order adalah Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal, karena dana ini terkumpul tanpa mengirimkan sinyal sebaliknya yang dapat menurunkan harga saham. Jika dana eksternal dibutuhkan, perusahaan menerbitkan utang lebih dahulu dan hanya menerbitkan ekuitas sebagai pilihan terakhir. Pecking order ini muncul karena penerbitan utang tidak terlalu diterjemahkan sebagai pertanda buruk oleh investor bila dibandingkan dengan penerbitan ekuitas.
20
Hutang merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai kebutuhan dananya. Dalam pengambilan keputusan akan penggunaan hutang ini harus mempertimbangkan besarnya biaya tetap yang muncul dari hutang berupa bunga yang akan menyebabkan semakin meningkatnya
leverage
keuangan
dan
semakin
tidak
pastinya
tingkat
pengembalian bagi para pemegang saham biasa. Tingkat penggunaan hutang dari suatu perusahaan dapat ditunjukkan oleh salah satunya menggunakan rasio hutang terhadap ekuitas (DER), yaitu rasio jumlah hutang terhadap jumlah modal sendiri. Hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi yang akan timbul dimasa yang akan datang yang disebabkan oleh kewajiban-kewajiban di saat sekarang dari suatu badan usaha yang akan dipenuhi dengan mentransfer aktiva atau memberikan jasa kepada badan usaha lain dimasa datang sebagai akibat dari transaksi-transaksi yang sudah lalu (Baridwan, 2004). Hutang merupakan suatu mekanisme yang bisa digunakan untuk mengurangi atau mengontrol konflik keagenan. Dengan adanya hutang perusahaan harus melakukan pembayaran periodik atas bunga dan principal (Jensen, 1986 dalam Masdupi, 2005). Penggunaan hutang perusahaan akan memaksa manajemen untuk bertindak lebih efisien dan tidak konsumtif karena adanya risiko kebangkrutan (Bathala dkk, 1994 dalam Nugroho, 2002). Penggunaan hutang dapat untuk mengurangi agency conflict dan asimetri informasi perusahaan mengeluarkan hutang berarti memberikan signal kepada
21
investor akan kemampuan kondisi keuangan perusahaan di masa depan (Haris dan Raviv, 1994, dalam Nugroho, 2002). Menurut Baridwan (2004) Hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi yang akan timbul dimasa yang akan datang yang disebabkan oleh kewajibankewajiban di saat sekarang dari suatu badan usaha yang akan dipenuhi dengan mentransfer aktiva atau memberikan jasa kepada badan usaha lain dimasa datang sebagai akibat dari transaksi-transaksi yang sudah lalu. Kebijakan hutang perusahaan yang merupakan hasil pembagian antara kewajiban jangka panjang dengan jumlah total antara kewajiban jangka panjang dan modal sendiri. Pendanaan dari luar akan menurunkan besarnya konflik antara pemegang saham dengan manajemen disamping itu utang juga akan menurunkan excess cash flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang dilakukan manajemen (Jensen,et al. 1992). Hutang merupakan jumlah uang yang dinyatakan atas kewajiban-kewajiban untuk menyerahkan uang, barang dan jasa-jasa kepada pihak lain di masa yang akan datang. Komponen utang antara lain : 1)
Hutang lancar (jangka pendek) Hutang-hutang
yang
akan
diselesaikan
pembayaranya
dengan
menggunakan aktiva lancar atau dengan menciptakan utang (lancar) yang baru. Yang termasuk dalam utang lancar adalah utang yang timbul dari pembelian barang-barang dan jasa (utang dagang, utang gaji dan upah), serta penerimaan uang dimuka atas barang barang yang digunakan atau jasa yang akan diserahkan (pendapatan sewa yang diterima).
22
2)
Hutang Jangka Panjang Semua utang yang jatuh tempo pembayarannya melampaui batas waktu
satu tahun sejak tanggal neraca atau pembayarannya tidak akan dilakukan dalam periode siklus operasi perusahaan, tetapi lebih panjang dari batas waktu tersebut. Misalnya : utang obligasi, utang bank (kredit investasi). Hutang merupakan suatu mekanisme yang bisa digunakan untuk mengurangi atau mengontrol konflik keagenan. Dengan adanya hutang perusahaan harus melakukan pembayaran periodik atas bunga dan principal (Jensen dalam Masdupi, 2005). Penggunaan hutang perusahaan akan memaksa manajemen untuk bertindak lebih efisien dan tidak konsumtif karena adanya risiko kebangkrutan (Bathala dkk dalam Nugroho, 2002). Penggunaan hutang dapat untuk mengurangi agency conflict dan asimetri informasi perusahaan mengeluarkan hutang. Hutang berarti memberikan signal kepada investor akan kemampuan kondisi keuangan perusahaan di masa depan (Hans dan Raviv dalam Nugroho, 2002). Kebijakan hutang perusahaan dapat dilihat dari rasio leverage perusahaan. Leverage adalah rasio yang membandingkan antara dana yang berasal dari pemilik dengan dana yang berasal dari kreditur. Pada umumnya kreditur dan calon kreditur memerlukan informasi berapa dana pemilik sebagai dasar menentukan tingkat keamanan kredit. Leverage menggambarkan kemampuan perusahaan menggunakan aktiva atau dana yang mempunyai beban tetap untuk memperbesar tingkat penghasilan bagi pemilik perusahaan. Tingkat leverage terlihat dari
23
besarnya sumber dana hutang yang digunakan perusahaan dalam struktur modalnya. Perusahaan yang lebih besar memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil, karena perusahaan tersebut lebih dikenal oleh publik. Biaya transaksi perusahaan lebih tinggi daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar lebih mudah dijangkau publik, oleh karena itu memiliki biaya hutang yang lebih rendah dimana dipengaruhi oleh masalah informasi asimetris. Salah satu sebab timbulnya konflik keagenan antara manajer dan pemegang saham disebabkan oleh keputusan pendanaan. Keputusan pendanaan secara sederhana dapat diartikan sebagai keputusan manajemen dalam menentukan sumber-sumber pendanaan dari modal internal, yakni laba ditahan atau dari modal eksternal, yakni modal sendiri dan atau melalui utang (Waluyo dan Kaβaro, 2002). Menurut Agus (2001) sumber pendanaan yang berasal dari penggunaan hutang dengan beban bunga memiliki keuntungan dan kelemahan bagi perusahaan. Keuntungan penggunaan hutang: 1.
Biaya bunga mengurangi penghasilan kena pajak sehingga biaya efektif menjadi lebih rendah.
2.
Kreditor hanya mendapat biaya bunga yang relatif bersifat tetap, sehingga kelebihan keuntungan merupakan klaim bagi perusahaan.
3.
Bondholder
tidak
memiliki
hak
suara
sehingga
mengendalikan perusahaan dengan dana yang lebih kecil.
pemilik
dapat
24
Kelemahan penggunaan hutang: 1. Hutang
yang
semakin
tinggi
meningkatkan
resiko
sehingga
suku
bunganya akan semakin tinggipula. 2. Bila bisnis perusahaan tidak dalam kondisi yang bagus, pendapatan operasi menjadi rendah dan tidak cukup menutup biaya bunga sehingga kekayaan pemilik berkurang. Pada kondisi ekstrim, kerugian tersebut dapat membahayakan perusahaan karena dapat terancam kebangkrutan dan nilai perusahaan akan berkurang tingkatnya. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, pemegang saham lebih menginginkan pendanaan perusahaan dibiayai dengan hutang karena dengan penggunaan hutang, hak mereka terhadap perusahaan tidak akan berkurang. Tetapi manajer tidak menyukai pendanaan tersebut dengan alasan bahwa hutang mengandung resiko yang tinggi. Manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini disebut sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality). Teori keagenan yang dikemukakan oleh Jensen dan Mackling merupakan salah satu explanatory variable untuk mengetahui adanya variasi dalam kebijakan hutang perusahaan. 2.1.5 Kebijakan Dividen Dividen adalah pembagian laba yang diperoleh perusahaan kepada para pemegang saham yang sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki (Baridwan, 1997). Biasanya dividen dibagikan dengan interval waktu yang tetap. Besarnya dividen biasanya berkisar antara nol sampai sebesar laba bersih tahun berjalan
25
atau tahun lalu. Baik waktu maupun besarnya dividen yang dibagikan ditentukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Agus (2001) menyatakan kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan sebagai laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang. Apabila suatu perusahaan memilih untuk membagikan labanya sebagai dividen, maka dividen tersebut akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya juga akan mengurangi total sumber dana internal atau intern financing. Sedangkan perusahaan memilih untuk menahan laba yang telah diperoleh, maka pembentukan dana intern akan semakin besar. Kebijakan dividen mempunyai pengaruh terhadap naik dan turunnya harga saham pada perusahaan, karena kebijakan dividen dapat digunakan sebagai informasi mengenai bagaimana keadaan perusahaan. Dalam kestabilan pembagian dividen dapat mencerminkan keadaan perusahaan stabil, sehingga dapat menarik minat investor. Agus (2001) menyebutkan terdapat 3 teori dari preferensi investor mengenai kebijakan dividen yang dapat mempengaruhi pandangan kita terhadap kebijakan dividen yaitu : 1. Dividend Irrelevance Theory Dividend Irrelavance Theory adalah suatu teori yang menyatakan bahwa kebijakan dividen perusahaan tidak mempunyai pengaruh baik terhadap perusahaan maupun biaya modalnya. Teori ini mengikuti pendapat Modigliani dan Miller (MM), mereka berpendapat bahwa nilai perusahaan hanya dapat ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk menghasilkan laba dan resiko
26
bisnisnya. Dengan perkataan lain, MM berpendapat bahwa nilai perusahaan tergantung semata-mata pada pendapatan yang dihasilkan oleh aktivanya, bukan pada bagaimana pendapatan itu dibagi diantara dividen dan laba yang ditahan. 2. Bird In The Hand-Theory Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Lintner, mereka berpendapat bahwa pengembalian yang disyaratkan atas ekuitas akan turun apabila rasio pembagian dividen dinaikan karena investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gains) yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan dengan seandainya mereka menerima dividen. Gordon dan Lintner berkata bahwa sesungguhnya investor jauh menghargai pendapatan yang diharapkan dari dividen daripada pendapatan yang diharapkan dari keuntungan modal karena komponen hasil dividen resikonya lebih kecil. MM tidak setuju dengan pendapat ini, menurut pandangan MM kebanyakan investor merencanakan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka dalam saham dari perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis, dan dalam banyak kasus, tingkat resiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam jangka panjang hanya ditentukan oleh tingkat arus kas operasinya, bukan oleh kebijakan pembagian dividennya. 3. Preferency Tax-Theory Ada 3 alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai pembagian dividen yang rendah dari pada dividen yang tinggi, alasan tersebut adalah : a. Tarif pajak terhadap pendapatan dividen lebih tinggi dibandingkan tarif pajak terhadap keuntungan modal.
27
b. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual. Karena adanya efek nilai waktu, sejumlah pajak yang dibayarkan dimasa mendatang mempunyai biaya efektif yang lebih rendah daripada sejumlah pajak yang dibayarkan dihari ini. c. Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang karena ahli waris yang menggunakan saham itu dapat menggunakan nilai saham pada hari kematian sebagai dasar biaya mereka, dengan demikian mereka terhindar dari pajak keuntungan modal. Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian, para investor mau bayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi. Menurut Agus (2001) jenis-jenis dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu seperti berikut ini: a. Dividen Tunai (Cash Dividend) Dividen tunai merupakan dividen yang dibagikan dalam bentuk kas. Hal utama yang perlu diperhatikan oleh manajemen sebelum membuat pengumuman adanya pembagian dividen tunai adalah apakah jumlah uang kas yang ada mencukupi untuk pembagian dividen tersebut. Keputusan dalam pembagian dividen tunai ditentukan dalam RUPS. Dewan direksi melakukan pemungutan suara untuk mengumumkan dividen tunai dan jika hasilnya disetujui maka dividen segera diumumkan. Sebelum dividen dibayarkan, daftar pemegang saham terakhir
28
harus disiapkan. Karena itu, biasanya terdapat tenggang waktu antara saat pengumuman dan pembayaran. b. Dividen Non Kas (Property Dividend) Dividen non kas dapat berupa surat-surat berharga perusahaan lain yang dimiliki oleh perusahaan seperti barang dagang, real estate, atau investasi, atau bentuk lainnya yang dirancang oleh dewan direksi. c. Dividen dengan Utang Wesel (Scrib Dividend) Dividen utang wesel timbul apabila perusahaan tidak membayar dividen sekarang dikarenakan saldo kas yang ada tidak mencukupi sehingga pimpinan akan mengeluarkan scrib dividend, yaitu janji tertulis untuk membayar jumlah tertentu di waktu yang akan datang. Scrib dividend ini mungkin berbunga mungkin juga tidak. d. Dividen Likuidasi (Liquidation Dividend) Dividen likuidasi adalah dividen yang sebagian merupakan pengembalian dari investasi pemegang saham. Apabila perusahaan membagi dividen likuidasi, maka para pemegang saham harus diberitahu mengenai berapa jumlah pembagian laba dan berapa yang merupakan pengembalian modal, sehingga para pemegang saham bisa mengurangi investasinya. Dengan demikian transaksi ini identik dengan penarikan modal sendiri oleh pemegang saham. Jika manajemen ingin mengkapitalisasi sebagian dari laba dan dengan demikian menahan laba dalam perusahaan atas dasar permanen, maka perusahaan dapat menerbitkan dividen saham. Dividen saham adalah pembayaran tambahan saham (dividen dalam bentuk saham) kepada pemegang saham. Dividen saham
29
kurang lebih merupakan penyusunan kembali modal perusahaan (rekapitalisasi), sedangkan proporsi kepemilikan tidak mengalami perubahan. 2.1.6 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah pemegang saham pihak insiders perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan perusahaan seperti dewan direksi dan manajer. Dalam kepemilikan saham oleh manajer (insider ownership) ditentukan oleh beberapa hal yaitu : risiko bisnis, ukuran perusahaan dan jumlah divisi dalam suatu perusahaan. Kepemilikan tersebut umumnya berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Keuntungan yang diperoleh dari kepemilikan saham insider adalah berhubungan dengan keuntungan pengawasan yang dilakukan manajer yang mempunyai kepemilikan sahamnya besar dalam parusahaan. 2.1.7 Kepemilikan Institusional Kepemilikan Institusional merupakan investor yang berasal dari sektor keuangan seperti perusahaan efek, perusahaan asuransi, berbankan, perusahaan investasi, dana pensiun, dan berasal dari kepemilikan institusi lain diluar perusahaan (Tarjo, 2008). Investor intitusi biasanya mempunyai saham pada suatu perusahaan dalam jumlah besar, sehingga jika mereka melikuidasi sahamnya akan mempengaruhi nilai saham secara keseluruhan. Peran atau fungsi struktur kepemilikan institusional adalah kepemilikan institusional atau investor institusi diyakini mampu memonitor tindakan manajemen lebih baik, sehingga kepemilikan juga disebut sebagai agen monitor. Dengan adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena
30
kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung keberadaan manajemen. Selain itu dengan adanya peningkatan kepemilikan institusional menyebabkan kinerja manajerial diawasi secara optimal dan terhindar dari perilaku opportunity. Distribusi saham antara pemegang saham dari luar seperti institusional investor dapat mengurangi agency cost. Pada kasus Indonesia, kepemilikan institusional cukup mampu menjadi alat monitoring yang baik. Hal ini dikarenakan pemegang saham institusi telah memiliki kemampuan dan sarana yang memadai untuk memonitor perusahaan dimana saham mereka miliki sehingga terjadi peningkatan nilai perusahaan dengan meningkatkan kepemilikan institusional dapat mengurangi masalah keagenan. Sehingga dengan kepemilikan institusional yang tinggi dapat membantu kinerja perusahaan. 2.1.8 Penelitian Terdahulu Sukirni (2012) meneliti tentang kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan deviden, kebijakan hutang analisis terhadap nilai perusahaan. Hasil dari penelitian tersebut adalah Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif secara signifikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan institusional berpengaruh positif secara signifikan terhadap nilai perusahaan, kebijakan deviden berpengaruh positif secara tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, kebijakan hutang berpengaruh positif secara signifikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan deviden dan kebijakan hutang berpengaruh secara bersama-sama terhadap nilai perusahaan.
31
Mahatma dan Wirajaya (2013) meneliti tentang pengaruh struktur modal, profitabilitas dan ukuran perusahaan pada nilai perusahaan. Hasil dari penelitian tersebut adalah struktur modal berpengaruh negatif dan signifikan pada nilai perusahaan, profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan pada nilai perusahaan dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh pada nilai perusahaan. Utomo (2009) meneliti tentang
pengaruh kebijakan hutang, kebijakan
investasi, dan kebijakan deviden terhadap nilai perusahaan. Hasil dari penelitiannya adalah Kebijakan hutang yang diproksikan denga Long Term Debt Equity Ratio (LDE) berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan PBV, sementara itu kebijakan hutang yang diproksikan Debt to Equity Ratio (DER) dan Book Debt to Asset Ratio (BDA) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, Keputusan investasi yang diproksikan Market to Book Value of Equity Ratio (MVE/BVE) dan Book Value of Grow Property, Plant, & Equipment to the Book Value of Asset Ratio (PPE/BVA) berpengaruh terhadap PBV yang merupakan proksi dari nilai perusahaan. Sementara itu, untuk keputusan investasi yang di proksikan dengan INV tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, Keputusan pendanaan yang diproksikan dengan Devidend Payout Ratio (DPR) dan Dividend Yield Ratio (DYR) berpegaruh terhadap nilai perusahaan. Listiadi (2014) meneliti tentang pengaruh kebijakan hutang terhadap nilai perusahaan dengan kebijakan dividen sebagai variabel moderasi. Dengan hasil penelitiannya Kebijakan hutang (DER) berpengaruh negatif dengan nilai perusahaan sehingga variabel kebijakan dividen sebagai variabel moderating tidak dapat mempengaruhi hubungan antara kebijakan hutang dan nilai perusahaan.
32
Rakhimzah (2011) meneliti tentang pengaruh keputusan investasi, keputusan pendanaan, kebijakan deviden, dan tingkat suku bunga terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitiannya adalah keputusan investasi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, keputusan pendanaan tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, kebijakan deviden berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, sedangkan tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Safitri (2015) meneliti tentang pengaruh struktur modal dan keputusan investasi terhadap profitabilitas dan nilai perusahaan. Dengan hasil penelitiannya yaitu variabel struktur modal tidak berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas, Keputusan investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas, Variabel struktur modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, Keputusan investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, Profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Wida dan Suartana (2014) meneliti tentang pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitiannya yaitu kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan sedangkan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Sudiyatno dan Elen (2010) meneliti tentang pengaruh kebijakan perusahaan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitiannya yaitu insentif manajer berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, keputusan pendanaan berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan dan capital expenditure tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
33
Dengan adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin menguji kembali dengan variabel kebijakan perusahaan dan struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2009). Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaan pertama terletak pada variabel independen yaitu struktur kepemilikan, penelitian sebelumnya
tidak
menambahkan
variabel
struktur
kepemilikan
sebagai
independen dalam penelitiannya. Sedangkan penelitian ini menambahkan variabel independen yaitu struktur kepemilikan. 2.2
Rerangka Pemikiran
Kebikajan Perusahaan Kebijakan Hutang, Kebijakan Investasi, Kebijakan Dividen
Struktur Kepemilikan Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial
Signalling Theory
Reaksi Investor
Membeli
Menjual
Nilai Perusahaan
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Menahan
34
2.3 Pengembangan dan Perumusan Hipotesis 2.3.1
Kebijakan Hutang terhadap Nilai Perusahaan MM berpendapat bahwa semakin besar penggunaan hutang akan semakin
besar pula risiko dan berarti biaya modal sendiri bertambah. Dengan demikian penggunaan hutang tidak akan meningkatkan nilai perusahaan karena keuntungan dari biaya hutang yang lebih murah ditutup dengan naiknya biaya modal sendiri. Pendapat ini kemudian direvisi sendiri oleh MM pada tahun 1963, yaitu bila ada pajak penghasilan perusahaan maka penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan karena biaya bunga hutang adalah biaya yang mengurangi pembayaran pajak (tax deductable expense). Suatu perusahaan yang mempunyai return pendanaan yang lebih tinggi dari cost of debt maka nilai perusahaan akan meningkat. Peningkatan hutang juga dapat diartikan pihak luar tentang kemampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya di masa yang akan datang, sehingga penambahan hutang akan memberikan sinyal positif. Ini karena perusahaan yang meningkatkan hutang dapat dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Profitabilitas yang tinggi menunjukkan prospek perusahaan baik, sehingga investor akan merespon positif sinyal tersebut dan nilai perusahaan akan meningkat. Hal tersebut dapat dipahami karena
perusahaan
yang
berhasil
membukukan
laba
yang
meningkat,
mengindikasikan perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang baik, sehingga dapat menciptakan sentimen positif para investor dan dapat membuat harga saham
35
perusahaan meningkat. Meningkatkan harga dipasar, maka akan meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Agus (2003), penggunaan hutang juga dapat mempengaruhi harga saham perusahaan. Semakin besar hutang, maka akan semakin meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan dapat meningkatkan laba perlembar sahamnya yang akhirnya akan meningkatkan harga saham perusahaan yang berarti akan meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Yulianto (2001) kebijakan hutang adalah kebijakan yang menentukan seberapa besar kebutuhan dana perusahaan dibiayai oleh hutang. Solvabilitas (leverage) digambarkan untuk melihat sejauh mana asset perusahaan dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan modal sendiri. Kebijakan hutang termasuk kebijakan pendanaan perusahaan yang bersumber dari eksternal. Penentuan kebijakan hutang ini berkaitan dengan struktur modal karena hutang merupakan salah satu komposisi dalam struktur modal. Peningkatan penggunaan debt financing akan mempengaruhi pemindahan equity capital. Jensen (1986) menyatakan bahwa dengan adanya hutang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen, dengan demikian menghindari investasi yang sia-sia. Penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai tersebut dikaitkan dengan harga saham dan penurunan hutang akan menurunkan harga saham (Masulis, 1988). Namun demikian peningkatan hutang juga akan menimbulkan peningkatan risiko kebangkrutan bila tidak diimbangi dengan penggunaan hutang yang hati-hati.
36
Nilai perusahaan ditentukan oleh struktur modal (Mogdiliani & Miller, 1963). Semakin tinggi proporsi hutang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan hutang lebih kecil daripada biaya yang ditimbulkannya. Jensen (2001) menjelaskan bahwa untuk memaksimumkan nilai perusahaan tidak hanya nilai ekuitas saja yang harus diperhatikan, tetapi juga semua klaim keuangan seperti hutang, warran, maupun saham preferen. Menurut Howton et. al. (1998) mengutip Opler dan Titman (1993) dan Johnson (1995) dalam (Utomo, 2009) perusahaan leveraged memiliki peluang investasi yang tidak menguntungkan serta arus kas bebas yang tinggi. Dengan membedakan perusahaan yang pembayaran dividennya tinggi dengan yang rendah, Johnson mengatakan bahwa perusahaan yang pembayaran dividennya rendah mempengaruhi harga saham secara positif pada pengumuman penawaran hutang. Kebijakan hutang dinyatakan dalam rasio leverage. H1 : Kebijakan hutang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2.3.2
Kebijakan Investasi terhadap Nilai Perusahaan Teori yang mendasari keputusan investasi adalah signalling theory. Teori
tersebut menyatakan bahwa pengeluaran investasi memberikan sinyal positif terhadap pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Teori ini menunjukkan bahwa pengeluaran investasi yang dilakukan oleh perusahaan memberikan sinyal, khususnya kepada investor maupun kreditur bahwa perusahaan tersebut akan tumbuh di masa mendatang.
37
Kebijakan investasi merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, dalam hal ini pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Menururt Kallapur dan Trombley (1999) bahwa kebijakan investasi perusahaan tidak dapat diobservasi untuk pihak-pihak di luar perusahaan sehingga diperlukan suatu proksi untuk melihatnya. Kegiatan investasi yang dilakukan perusahaan akan menentukan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan dan kinerja perusahaan di masa yang akan datang. Apabila perusahaan salah di dalam pemilihan investasi, maka kelangsungan hidup perusahaan akan terganggu dan hal ini tentunya akan mempengaruhi penilaian investor terhadap perusahaan. Untuk itu, sebaiknya manajer (keuangan) hendaknya menjaga pertumbuhan investasi agar dapat mencapai tujuan perusahaan melalui kesejahteraan pemegang saham sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini sesuai dengan penelitian Fama (1998). Michelle & Megawati (2005) dalam
Utomo (2009)
menyatakan bahwa tingkat pengembalian investasi berupa dividen bagi investor dapat diprediksi melalui rasio profitabilitas, likuiditas, dan leverage (hutang) dari perusahaan. Dalam hubungannya dengan nilai perusahaan, maka setiap keputusan investasi yang dibuat oleh manajer keuangan akan berdampak terhadap harga saham perusahaan tersebut. Menurut Chaerul (2001) maksimalisasi kekayaan pemegang saham yaitu maksimalisasi harga pasar saham perusahaan karena seluruh keputusan keuangan akan tercermin di dalamnya. Kebijakan investasi
38
yang buruk akan mengakibatkan para investor bereaksi dan membuat harga saham menjadi turun. Kebijakan investasi merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, dalam hal ini pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Kebijakan investasi perusahaan tidak dapat diobservasi untuk pihak-pihak di luar perusahaan sehingga diperlukan suatu proksi untuk melihatnya. Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. H2 : Kebijakan Investasi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2.3.3
Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Dalam teori sinyal menunjukkan bahwa Kebijakan dividen sering dianggap
sebagai sinyal bagi investor dalam menilai baik buruknya perusahaan, hal ini disebabkan karena kebijakan dividen dapat membawa pengaruh terhadap harga saham perusahaan. Kenaikan jumlah dividen tunai dianggap sebagai sinyal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa depan. Kenaikan dividen tunai seringkali menyebabkan kenaikan harga saham yang berarti bahwa nilai perusahaan meningkat, sementara pemotongan dividen umumnya menyebabkan penurunan harga saham yang berarti penurunan nilai perusahaan. Menurut teori MM bahwa kebijakan dividen tidak relevan terhadap nilai perusahaan yang berarti tidak ada kebijakan dividen yang optimal karena dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Sementara itu, GordonLintner yaitu dividen lebih kecil risikonya daripada capital gains, sehingga dividen setelah pajak dan menawarkan dividend yield yang lebih tinggi akan meminimumkan biaya modal.
39
Pendapat yang lain menyatakan bahwa karena dividen cenderung dikenakan pajak daripada capital gains, maka investor akan meminta tingkat keuntungan yang lebih tinggi untuk saham dengan dividend yield yang tinggi. Kelompok ini menyarankan bahwa dengan dividend payout ratio (DPR ) yang lebih rendah akan memaksimumkan nilai perusahaan. Ketiga pendapat nampak bertentangan, namun coba kita mempertimbangkan kandungan informasi, maka dapat dikatakan bahwa pembayaran dividen sering diikuti oleh kenaikan harga saham. Kenaikan pembayaran dividen dilihat sebagai signal bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik. Sebaliknya penurunan pembayaran dividen akan dilihat sebagai prospek perusahaan yang buruk. Rozeff dalam Suharli dan Oktorina (2005) menyatakan bahwa perusahaan yang leverage operasi atau keuangannya tinggi akan memberikan dividen yang rendah. Menurut Husnan (1994) terdapat dua alasan tentang pentingnya kebijakan dividen bagi perusahaan, yaitu sebagai berikut ini : a) Pembayaran dividen mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dalam harga saham (stock price) perusahaan tersebut. b) Pembayaran dividen akan mengurangi jumlah laba ditahan perusahaan, sehingga laba ditahan merupakan sumber data internal yang terpenting bagi perusahaan dalam kebijakan dividen. Chaerul (2001) menambahkan satu teori kebijakan dividen, yaitu Rasional Dividend Theory yang menyatakan bahwa dividen dibayarkan pada pemegang sahamnya apabila terdapat dana dari laba yang tidak digunakan dalam investasi modal, atau dengan kata lain kebijakan dividen merupakan proses akhir dari
40
proses investasi modal. Kebijakan dividen dalam teori ini dipengaruhi oleh hal-hal seperti kesempatan investasi, struktur modal perusahaan, dan kemampuan untuk menghasilkan sumber dana secara internal. Kebijakan dividen menentukan berapa banyak keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham. Keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham ini akan menentukan kesejahteraan para pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Semakin besar dividen yang dibagikan kepada pemegang saham, maka kinerja emiten atau perusahaan akan dianggap semakin baik pula dan pada akhirnya perusahaan yang memiliki kinerja manajerial yang baik dianggap menguntungkan dan tentunya penilaian terhadap perusahaan tersebut akan semakin baik pula, yang biasanya tercermin melalui tingkat harga saham perusahaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rozeff (Jogiyanto, 1998) yang menganggap bahwa dividen nampaknya memiliki atau mengandung informasi (informational content of dividend) atau sebagai isyarat prospek perusahaan. H3 : Kebijakan Dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2.3.4 Kepemilikan Manajerial Terhadap Nilai Perusahaan Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Kepemilikan manajerial merupakan proporsi kepemilikan saham oleh manajer atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajer (Christiawan dan Josua, 2007). Manajer yang sekaligus pemegang saham
akan meningkatkan nilai
perusahaan
karena
dengan
41
meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Susanti (2010) kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Manajer dalam hal ini memegang peranan penting karena manajer melaksanakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan serta pengambil keputusan. Penelitian yang dilakukan oleh Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwa semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen maka berkurang kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan. Wahyudi dan Pawestri (2006) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial secara langsung dan atau melalui keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan, hal ini disebabkan karena hubungan struktur kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan merupakan hubungan non-monotonik. Hubungan non-monotonik timbul karena adanya insentif yang dimiliki manajer dan mereka berusaha untuk melakukan pensejajaran kepentingan dengan outsider ownership dengan cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan meningkat. Sebab dengan adanya kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka dapat menimbulkan dugaan bahwa nilai perusahaan dapat meningkat jika kepemilikan manajemen meningkat.
42
Kepemilikan manajemen yang besar akan efektif untuk mengawasi aktivitas perusahaan. Selain itu, semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen maka berkurang kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan. Dengan kepemilikan manajemen yang tinggi juga mengakibatkan kinerja para manajemen yang maksimal, sehingga kepemilikan saham yang dimiliki oleh dewan direksi, manajemen, manajer dapat meningkatkan mekanisme nilai perusahaan. Penelitian Taswan dan Soliha (2002) menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan. Hasil penelitian (Soepriyanto, 2004) dalam (Sofyahningsih, 2011) juga membuktikan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Begitu pula menurut Siallagan dan (Machfoedz, 2006) dalam (Sofyahningsih, 2011) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q. Menurut Jensen dan Meckling (1976) semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen maka semakin kuat kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan. Berdasarkan pendapatpendapat tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4 : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan
43
2.3.5 Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan Kepemilikan institusional mempunyai arti penting dalam memonitor manajemen
dalam
disubstitusikan
mengelola
untuk
perusahaan.
melaksanakan
fungsi
Investor
institusional
monitoring
dapat
mendisiplinkan
penggunaan debt (utang) dalam struktur modal. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien fungsi monitoring terhadap manajemen dalam pemanfaatan asset perusahaan serta pencegahan pemborosan oleh manajemen. Menurut Tarjo (2008) dalam Andriani (2011), kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran
untuk
pemegang saham,
pengaruh kepemilikan
institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Sheiler dan Vishny (1986) menyatakan bahwa adanya pemegang besar seperti kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen dengan pengawasan yang lebih optimal. Wening (2009) dalam Permanasari (2010), mengungkapkan bahwa semakin besar kepemilikan oleh institusi, maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.
44
Bukti empiris mengenai pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan ditunjukkan dalam penelitian Sujoko dan Soebiantoro (2007) yang membuktikan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Meningkatkan
kepemilikan
institusional
menjadikan
fungsi
pengawasan akan berjalan secara efektif dan menjadikan manajemen semakin berhati-hati dalam memperoleh dan mengelola pinjaman (utang), karena jumlah utang yang semakin meningkat akan menimbulkan financial distress. Terjadinya financial distress akan mengakibatkan penurunan nilai perusahaan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5 : Kepemilikan Institusional Berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan