BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Sumber Penerimaan Daerah Salah satu kemampuan yang dituntut terhadap daerah adalah kemampuan daerah tersebut untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (self supporting) dalam bidang keuangan. Bidang keuangan merupakan suatu faktor yang penting dalam mengukur suatu daerah atas keberhasilan otonominya. Adapun sumber-sumber peneriman dari suatu daerah menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah terdiri dari: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Penerimaan pajak daerah Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan, sedang pelaksanaanya dapat dipaksakan. b. Penerimaan Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan pungutan yang secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah yang bersangkutan.
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, yang disetor ke kas daerah baik perusahaan Hasil perusahaan milik daerah yang merupakan pendapatan daerah adalah keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang dipisahkan, sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat perusahaan daerah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambahkan penghasilan daerah, memberi
jasa
penyelenggaraan
kemanfaatan
umum,
dan
memperkembangkan perekonomian daerah. d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Lain-lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat pembuka kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam hal kegiatan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah suatu bidang tertentu. Beberapa macam lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yaitu: a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan b. Jasa giro c. Pendapatan bunga d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
2. Dana Perimbangan Dana perimbangan diperoleh melalui bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan baik dari sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan dari sumber daya alam serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 3. Pinjaman Daerah Pinjaman daerah adalah pinjaman dalam negeri yang bersumber dari pemerintah, lembaga komersial dan atau penerbitan obligasi daerah dengan diberitahukan kepada pemerintah sebelum tidaknya usulan pinjaman daerah diproses lebih lanjut. Sedangkan yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman daerah adalah kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah atas persetujuan DPRD. 4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah antara lain hibah atau penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kabupaten/Kota lainnya, dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.1.2 Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa untuk membiayai pembangunan di daerah, penerimaanya bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah). Pemerintah daerah melakukan upaya maksimal dalam pengumpulan pajak daerah dan retribusi daerah. Besarnya penerimaan daerah dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di daerah serta dapat mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sesuai dengan harapan yang diinginkan dalam otonomi daerah.
2.1.3 Kendala Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar. Akan tetapi, saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upaya peningkatan penerimaan daerah, antara lain (Mardiasmo, 2002): 1. Tingginya tingkat kebutuhan daerah (fiscal need) yang tidak seimbang dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang dimiliki daerah. 2. Kualitas layanan publik yang masih memprihatinkan meyebabkan produk layanan publik yang sebenarnya dapat dijual ke masyarakat, direspon secara negatif. Keadaan tersebut juga menyebabkan keengganan masyarakat untuk taat membayar pajak dan retribusi daerah. 3. Lemahnya infrastruktur prasarana dan sarana umum. 4. Berkurangnya dana bantuan dari Pemerintah Pusat (Dana Alokasi Umum dari pusat yang tidak mencukupi).
5. Belum diketahui potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mendekati kondisi riil.
2.1.4 Penerangan Jalan Umum Lampu jalan atau dikenal juga sebagai Penerangan Jalan Umum (PJU) adalah lampu yang digunakan untuk penerangan jalan dimalam hari sehingga mempermudah pejalan kaki, pesepeda, dan pengendara kendaraan dapat melihat dengan lebih jelas jalan/medan yang akan dilalui pada malam hari, sehingga dapat meningkatkan keselamatan lalu lintas dan keamanan dari para pengguna jalan dari kegiatan/aksi kriminal. Penerangan jalan mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a. Menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan b. Sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan c. Meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, khususnya pada malam hari d. Mendukung keamanan lingkungan e. Memberikan keindahan lingkungan jalan Penerangan Jalan Umum (PJU) dipasang, dipelihara dan dibayar rekeningnya oleh Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai kontrak yang telah disepakati dengan PLN. Pengelolaan penerangan jalan umum sepenuhnya wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda setempat/Pemerintah kota) melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Instansi tersebut mengelola penerangan jalan umum dari perencanaan, penambahan, perluasan, pemasangan jaringan, pemeliharaan, perbaikan, dan pengawasannya. singkat kata instansi pemda tersebut berwenang dan bertanggung jawab penuh atas penerangan jalan umum. Mulai dari pecahnya bola lampu, rusaknya tiang lampu, sampai pembayaran rekening penerangan jalan umum.
2.1.5 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Waluyo,2013). Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (dalam Mardiasmo, 2013) pajak adalah iuaran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan membayar pengeluaran umum. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur berikut : 1.
Iuaran rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara dengan iuaran berupa uang bukan barang.
2.
Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3.
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4.
Digunakan untuk membiayai keperluan rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarat luas.
2.1.6
Prinsip-prinsip Perpajakan Menurut Soemitro (2001) pengenaan pajak wajib memenuhi empat syarat,
yaitu: 1. Kesamaan dan keadilan (equality dan equity) Prinsip kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Prinsip kesamaan ini sering disebut juga tidak ada perbedaan (non discrimination), sehingga wajib pajak yang berada dalam keadaan yang sama akan diperlukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar. Prinsip keadilan yaitu beban pajak harus sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak.
2. Kepastian (certainly) Prinsip kepastian dalam pengertian pajak mengandung arti pajak hendaknya tegas, jelas dan pasti bagi setiap wajib pajak, dalam hal ini adalah kepastian hukum. Kepastian hukum diwujudkan dalam undang-undang yang tegas, jelas dan tidak mengandung arti ganda sehingga dapat membuka peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum juga akan memudahkan administrasi. 3. Kenyamanan pembayaran (convenience of payment) Prinsip kenyamanan pembayaran artinya pajak dipungut pada saat yang tepat, misalnya pada saat wajib pajak mempunyai uang sehingga akan memberikan kenyamanan (convenient) dan tidak menyusahkan atau membebankan wajib pajak. 4. Pemungutan ekonomi (economics of collection) Dalam pemungutan pajak hendaknya mempertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus relatif lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan pajak dengan kata lain efisien. Jika biaya pemungutan pajak lebih besar dibandingkan dengan penerimaannya, maka akan terjadi kerugian atau tidak efisien.
2.1.7 Aspek Ekonomi dalam Perpajakan Sistem pajak yang baik dipandang dari ilmu ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiki pengaruh yang baik (Suhendi, 2006). Konsep sistem pajak adalah membatasi masalah keadilan sistem pajak.
Ada dua prinsip keadilan yang digunakan yaitu prinsip manfaat (benefit principle) dan prinsip kemampuan (ability to pay). Norma keadilan yang ada disini untuk mengenakan pajak yang sama untuk hal-hal yang sama dan tidak sama untuk hal-hal yang tidak sama. Suatu pajak dapat disebut progresif, proporsional atau regresif jika membebani pendapatan orang lain lebih besar dibanding mereka yang miskin dalam proporsi yang sama.
2.1.8 Fungsi Pajak Mardiasmo (2013) menyatakan bahwa ada dua fugsi pajak, yaitu: 1. Fungsi budgetir Pemungutan pajak bertujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara baik untuk pengeluaran rutin dalam melaksanakan mekanisme pemerintahan maupun pengeluaran untuk membiayai pembangunan. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada lapangan perekonomian, pengaturan pajak memberikan dorongan kepada pengusaha untuk memperbesar produksinya, dapat juga memberikan keringanan atau pembesaran pajak pada para penabung dengan maksud menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya antara lain ke sektor produktif.
Contoh: a. Pajak yang tinggi dkenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
2.1.9 Asas-asas Pemungutan Pajak Pemungutan pajak baik dikelola oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Mardiasmo,2003) yaitu: a.
Asas kebangsaan Bahwa pajak pendapatan dipungut terhadap orang-orang bertempat tinggal di Indonesia.
b. Asas tempat tinggal Pajak pendapatan dipungut bagi orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia di tentukan menurut keadaan. c. Asas sumber penghasilan Jika sumber penghasilan berada di Indonesia dengan tidak memperhatikan subjek tempat tinggal. Selain asas-asas berpedoman kepada hal tersebut di atas, ada asas-asas pemungutan pajak yang dilandasi oleh falsafah hukum.
2.1.10 Kendala Pemungutan Pajak Daerah Merupakan tugas Negara dalam pemungutan dan pengelolaan uang pajak demi pengelolaan dan pembiayaan tugas-tugas Negara, sehingga Negara bisa memaksa warganya untuk melakukan pembayaran pajak yang telah diatur dalam Undang-Undang, akan tetapi bagi petugas pajak daerah dalam hal pemungutan pajak tidak semudah yang diamanahkan oleh Undang-Undang. Seringkali petugas pajak daerah menjumpai kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak daerah. Beberapa kendala dalam pemungutan pajak daerah adalah sebagai berikut: 1. Realisasi pengawasan peraturan daerah tentang pajak daerah relatif lemah. Ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 mengamantkan bahwa peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat, yaitu ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 hari sejak ditetapkan. Akan tetapi, tidak semua provinsi dan kabupaten/kota menyampaikan peraturan daerah ke pemerintah pusat, masih banyak provinsi dan kabupaten/kota yang tidak memperhatikan amanat dalam ketentuan Undang-Undang tersebut. Kurangnya kesadaran provinsi maupun kabupaten/kota dalam memenuhi amanat Undang-Undang tersebut pastinya melemahkan pemungutan pajak daerah, dengan tidak adanya penyampaian peraturan daerah tersebut dapat terjadi kemungkinan terbitnya peraturan daerah yang dikemudian hari ternyata bermasalah karena kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dalam pengawasan pemungutan pajak daerah. Semua aktivitas pelaksanaan pemerintahan di daerah tetap diperlukan adanya suatu sistem pengawasan dari pemerintahan pusat. Namun, pengawasan hendaknya tidak lagi menyisakan celah bagi pemerintah pusat untuk menerapkan sentralisasi kekuasaan yang nantinya dapat menimbulkan konflik antar pusat dan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, karena jika demikian maka otonomi daerah menjadi kabur. Pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang terlalu ketat dapat melemahkan pungutan pajak dikarenakan dengan adanya pengawasan Pemerintah Pusat yang terlalu ketat dapat membatasi keleluasaan pemerintah dan masyarakat daerah sehingga pemerintah daerah tidak dapat mandiri dalam mengelola aspek kehidupannya sesuai dengan aspirasi, rasa keadilan dan budaya masing-masing. 3. Kurang siapnya daerah dalam menangani sengketa pajak. Permasalahan yang timbul dalam sengketa pajak pada umumnya ialah bagaimana menentukan jenis pajak daerah yang dapat dikenakan (langsung atau tidak langsung), kepada siapa dan ditingkat pemerintahan mana (kabupaten atau kota). Sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dan pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan
perpajakan,
termasuk
gugatan
atas
pelaksanaan penagihan berdasar Undang-Undang Penagihan Pajak dengan surat paksa. Adanya sengketa pajak tersebut baik sengketa regulasi, sengketa ketetapan pajak maupun sengketa pelaksanaan penagihan pajak secara otomatis melemahkan pemungutan pajak. 4. Pemberian perizinan, rekomendasi dan pelaksanaan pelayanan umum yang kurang atau tidak sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. 5. Kurangnya pembinaan terhadap seluruh perangkat Dinas. 6. Kurangnya kemampuan untuk mendengar, menanggapi dan mencari solusi dari keluhan staf, baik yang bertugas sebagai pendata, penganalisis data, perhitungan, penerbitan SKPD, atau penagihan. 7. Belum dapat diterapkannya sistem self assessment system dalam pemungutan pajak daerah.
2.1.11 Sistem Pemungutan Pajak Daerah 1. Sistem Official Assessment Pemungutan pajak daerah berdasarkan penetapan kepala daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Wajib Pajak setelah menerima SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan tinggal melakukan pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) pada kantor pos atau bank persepsi. Jika Wajib Pajak tidak atau kurang membayar akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah.
2. Sistem Self Assessment Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak daerah yang terutang. Dokumen yang digunakan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). SPTPD adalah formulir untuk menghitung, memperhitungkan, membayaran dan melaporkan pajak yang terutang. Jika wajib pajak tidak atau kurang membayar atau terdapat salah hitung atau salah tulis dalam SPTPD maka akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).
2.1.12 Pembagian Jenis Pajak Di Indonesia, dewasa ini dikenal berbagai jenis pajak dan diberlakukan meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Banyak ahli pajak yang memberikan/membuat pembagian pajak, yang memiliki perbedaan antara satu ahli dengan ahli lainnya. Pembagian pajak yang berbeda tersebut dikaitkan dengan sudut pandang masing-masing ahli terhadap pajak tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis pembagian pajak: 1.
Menurut Golongannya Menurut golongannya pajak dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung.
a.
Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain.
b.
Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Misalnya pada Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan karena adanya pertambahan nilai atas barang dan jasa. Pajak ini dibayarkan oleh pihak produsen atau pihak yang menjual barang namun dibebankan kepada konsumen atau pembeli secara eksplisit ataupun implisit dengan memasukkannya ke dalam harga jual barang atau jasa.
2. Menurut Sifatnya Menurut sifatnya pajak dibagi menjadi pajak subjektif dan pajak objektif. a. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan pada keadaan subjeknya. Misalnya pada pengenaan Pajak Penghasilan untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.
b. Pajak Objektif Pajak objektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Contohnya pada Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan. 3.
Menurut Wewenang Pemungutnya Menurut wewenang pemungutnya pajak dibedakan menjadi pajak negara dan
pajak daerah. a. Pajak Negara Pajak Negara merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak Negara yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah: 1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPn BM), dasar hukumnya adalah undang-undang no.8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang no.18 tahun 2000. undang-undang PPN & PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 april 1985 dan merupakan pengganti UU pajak Penjualan 1951. 2) Pajak Penghasilan (PPh), dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah undang undang no.7 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang undang no.17 tahun 2000.
3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dasar hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah undang-undang no.12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no.12 tahun 1994. undang-undang PBB berlaku mulai tanggal 1 januari 1986 dan merupakan pengganti. 4) Bea
Materai,
dasar
hukum
pengenaan
bea
materai
adalah
undangundang no.13 tahun 1985. undang-undang bea materai berlaku mulai tanggal 1 januari 1986 menggantikan peraturan dan undangundang bea materai yang lama (aturan bea materai 1921). 5) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dasar hukum pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah undangundang no.21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang no.20 tahun 2000. undang-undang BPHTB berlaku sejak tanggal 1 januari 1998 menggantikan Ordonansi bea balik nama staasblad 1924 No.291. b. Pajak Daerah Pajak daerah adalah yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Dasar hukum pengenaan pajak daerah adalah Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009. Menurut undang-undang tersebut pajak daerah merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah. bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beberapa jenis pajak daerah berdasarkan undang-undang tersebut antara lain: 1) Pajak Propinsi Pajak-pajak yang termasuk pajak propinsi antara lain: a) Pajak Kendaraan Bermotor yaitu pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. d) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, yaitu pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan/atau air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau bada, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat. e) Pajak Rokok pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 2) Pajak Kabupaten/Kota Jenis-jenis pajak yang temrasuk ke dalam pajak kabupaten/kota yaitu:
a) Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Hotel
adalah
fasilitas
penyedia
jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). b) Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. c) Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. d) Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya
dirancang
untuk
tujuan
komersial
memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
e) Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. g) Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. h) Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. i) Pajak
Sarang Burung
Walet
adalah
pajak
atas
kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
2.1.13 Pengertian Pajak Penerangan Jalan Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah pajak penerangan jalan merupakan salah satu pajak daerah kabupaten/kota. Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 tahun 2002 pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik dengan ketentuan bahwa di wilayah Daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah. Penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah. Sehingga penerimaan
pajak yang diperoleh dari pajak penerangan jalan akan digunakan untuk membiayai penerangan jalan pada jalan umum meliputi pemeliharaan dan perbaikan lampu jalan. Pemungutan pajak penerangan jalan dilakukan dengan cara withholding system dengan PT.PLN sebagai wajib pungut. Sistem seperti ini memudahkan dalam hal pelaksanaannya, karena tagihan atas pembebanan rekening listrik di dalamnya termasuk pembebanan pungutan pajak penerangan jalan. Hal ini membuat pajak penerangan jalan cocok ditetapkan sebagai pajak daerah.
2.1.14 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penerangan Jalan Pajak Penerangan Jalan sebagai salah satu pajak daerah memiliki dasar hukum agar dipatuhi oleh masyarakat dan juga pihak-pihak terkait. Pajak Penerangan Jalan di Kabupaten Sidoarjo mempunyai landasan hukum dalam pemungutannya sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
3.
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan yang merupakan pengganti dari Perda Nomor 7 Tahun 2008.
2.1.15 Objek Pajak Penerangan Jalan Menurut Peraturan daerah (Perda) Kota Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan yang ditetapkan sebagai obyek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. Listrik yang dihasilkan sendiri yaitu meliputi seluruh pembangkit listrik.
2.1.16 Bukan Objek Pajak Penerangan Jalan Yang termasuk pengecualian pada Pajak Penerangan Jalan berdasarkan Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2011 adalah: 1. Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah. 2. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait, dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Penggunaan tenaga listrik untuk keperluan tempat ibadah.
2.1.17 Subjek Pajak dan Wajib Pajak Penerangan Jalan Pada Pajak Penerangan Jalan, subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik. Secara sederhana subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha penerangan jalan. Sementara itu, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan dan atau pengguna tenaga listrik. Dalam hal ini
berarti subjek pajak sama dengan wajib pajak, atau dengan kata lain orang atau badan yang menggunakan tenaga listrik merupakan subjek pajak yang ditetapkan menjadi wajib pajak. Jika tenaga listrik disediakan oleh PLN, pemungutan Pajak Penerangan Jalan dilakukan oleh PLN.
2.1.18 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Penerangan Jalan 1.
Dasar Pengenaan Pajak Penerangan Jalan Dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik (NJTL). Nilai jual tenaga listrik dibedakan menjadi dua, yaitu: a.
Dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik.
b.
Dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Kabupaten Sidoarjo.
2.
Tarif Pajak Penerangan Jalan Tarif pajak penerangan jalan Kabupaten Sidoarjo ditetapkan sebagai berikut:
a.
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 9% (sembilan persen) untuk golongan Rumah Tangga (R) dan Bisnis (B). Tarif tenaga listrik untuk keperluan Rumah Tangga (R), terdiri atas: 1) Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil pada tegangan rendah, dengan daya sampai dengan 2.200 VA (R-1/TR). 2) Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga menengah pada tegangan rendah, dengan daya 3.500 VA-5.500 VA (R-2/TR). 3) Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga besar pada tegangan rendah, dengan daya 6.600 VA ke atas (R-3/TR). Tarif tenaga listrik untuk keperluan Bisnis, terdiri atas: 1) Golongan tarif untuk keperluan bisnis kecil pada tegangan rendah, dengan daya 450 VA-5.500 VA (B-1/TR). 2) Golongan tarif untuk keperluan bisnis menengah pada tegangan rendah, dengan daya 6.600VA-200 kVA (B-2/TR). 3) Golongan tarif untuk keperluan bisnis nesar pada tegangan menengah, dengan daya di atas 200 kVA (B-3/TM).
b.
Dikecualikan dari penetapan tarif Pajak Penerangan Jalan yaitu: 1) Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam. Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik dari sumber lain ditetapkan sebesar 3% (tiga persen). Tarif tenaga listrik untuk keperluan industri, terdiri atas:
a) golongan tarif untuk keperluan industri kecil atau industri rumah tangga pada tegangan rendah, dengan daya 450 VA14 kVA (I-1/TR). b) Golongan tarif untuk keperluan industri sedang pada tegangan rendah, dengan daya diatas 14 kVA-200 kVA (I2/TR). c) Golongan tarif untuk keperluan industri menengah pada tegangan menengah, dengan daya di atas 200 kVA (I-3/TM). d) Golongan tarif untuk keperluan industri besar pada tegangan tinggi, dengan daya 30.000 kVA ke atas (I-4/TT). 2) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri. Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen). 3.
Perhitungan Pajak Penerangan Jalan Pajak penerangan jalan dapat dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Atau bila dituliskan dalam bentuk rumus sebagai berikut: Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Nilai Jual Tenaga Listrik Jika pajak penerangan jalan dipungut oleh PLN, besarnya pokok pajak terutang dihitung berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan PLN. Umumnya dalam rekening listrik sudah tercantum perhitungan besarnya pajak penerangan jalan yang harus dibayar
berdasarkan jumlah pemakaian listrik dan biaya langganan yang digunakan oleh pelanggan PLN (jumlah yang tercantum dalam rekening listrik). 2.1.19 Masa Pajak, Tahun Pajak, Saat Terutang Pajak dan Wilayah Pemungutan Pajak Penerangan Jalan Pada pajak penerangan jalan, masa pajak merupakan jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota. Dalam pengertian masa pajak bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh. Selain masa pajak, dalam pajak penerangan jalan juga ditentukan tahun pajak, yaitu jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim, kecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Pajak yang terutang merupakan pajak penerangan jalan yang harus dibayar oleh wajib pajak pada suatu saat, dalam masa pajak, atau dalam tahun pajak menurut ketentuan peraturan daerah tentang pajak penerangan jalan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat. Saat pajak terutang dalam masa pajak ditentukan sejak diterbitkannya Surat Keetetapan Pajak Daerah (SKPD) pajak penerangan jalan oleh bupati/walikota. Pajak penerangan jalan yang terutang dipungut di wilayah kabupaten/kota tempat penggunaan tenaga listrik. Hal ini terkait dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang hanya terbatas atas setiap penggunaan tenaga listrik (baik yang berasal dari PLN maupun bukan dari PLN) yang berlokasi dan terdaftar dalam lingkup wilayah adminitrasinya. Praktik pemungutan pajak penerangan
jalan dilakukan dengan cara bekerja sama dengan PLN dan atau intansi lain yang ditunjuk oleh bupati/walikota. Tata cara pemungutan pajak penerangan jalan ditetapkan lebih lanjut oleh kepala daerah. 2.1.20 Penetapan Pajak Penerangan Jalan Penetapan
pajak
penerangan
jalan
ditetapkan
dengan
Surat
Pemeberitahuan Pajak Daerah (STPD) yang ditetapkan oleh Walikota. Setiap Wajib Pajak yang menggunakan tenaga listrik bukan PLN wajib mengisi SPTPD. SPTPD harus disampaikan kepada Walikota selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak. Sedangkan untuk wajib pajak yang menggunakan tenaga listrik dari PLN daftar rekening listrik yang diterbitkan oleh PLN merupakan STPD.
2.1.21 Potensi Penerimaan Pajak Penerangan Jalan Potensi Pajak Penerangan Jalan ini diperoleh dengan cara mengalikan basis pajak (tax Base) Pajak Penerangan Jalan dengan tarif pajak yang berlaku. Basis pajak (Tax Base) merupakan hasil perhitungan biaya tarif beban dengan biaya pemakaian listrik (KWH). Untuk mendapatkan hasil biaya tarif beban dengan cara mengalikan persentase Pajak Penerangan Jalan berdasarkan golongan pelanggan PLN (Golongan Rumah Tangga, Bisnis dan Industri), jumlah pelanggan PLN dan rata-rata tarif dasar listrik dari masing-masing golongan pelanggan PLN. Sedangkan untuk mendapatkan hasil biaya pemakaian listrik (KWH) dengan cara mengalikan persentase pajak penerangan jalan berdasarkan golongan pelanggan PLN (Golongan Rumah Tangga, Bisnis dan Industri), jumlah
pemakaian listrik (KWH) dan rata-rata tarif dasar listrik dari masing-masing golongan pelanggan PLN (Hamrolie, 2003).
2.1.22 Efektivitas Pajak Penerangan Jalan Menurut Simanjuntak (2001) efektivitas merupakan ukuran antara hasil output hasil pungut suatu pajak dengan potensi pajak itu sendiri. Efektivitas digunakan untuk mengukur keberhasilan hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan tujuan atau target yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2002). Adapun rumus untuk mengukur efektivitas pungutan pajak menurut Simanjuntak (2001) yaitu sebagai berikut: Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak x 100% Potensi Penerimaan Pajak Dari pengertian efektivitas tersebut disimpulkan bahwa efektivitas bertujuan untuk mengukur rasio keberhasilan, semakin besar rasio maka semakin efektif, standar minimal rasio keberhasilan adalah 100% atau 1 (satu) dimana realisasi sama dengan target yang telah ditentukan. Rasio dibawah standar minimal keberhasilan dapat dikatakan tidak efektif. Selama ini belum ada ukuran baku mengenai kategori efektifitas, ukuran efektifitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan saja (judgement). Tingkat efektifitas dapat digolongkan kedalam beberapa kategori yaitu: 1. Hasil perbandingan tingkat pencapaian diatas 100 persen berarti sangat efektif. 2. Hasil perbandingan tingkat pencapaian 100 persen berarti efektif.
3. Hasil perbandingan tingkat pencapaian dibawah 100 persen berarti tidak efektif.
2.2
Rerangka Pemikiran Basis Pajak Penerangan Jalan x Tarif Pajak
Potensi Penerimaan Pajak Penerangan Jalan
Realisasi Penerimaan Pajak Penerangan Jalan
Efektivitas Pajak Penerangan Jalan
Peningkatan Pajak Daerah
Gambar 1 Rerangka Pemikiran