BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1
Pajak Ada beberapa pendapat tentang pengertian pajak dari para ahli. Salah
satunya menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang dikutip oleh Mardiasmo (2011:1) mendefinisikan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Waluyo dan Wirawan (2003) menyatakan bahwa pajak juga dapat dipandang dari berbagai aspek. Dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Pajak juga sebagai motor penggerak ekonomi masyarakat. Dari sudut pandang hukum, pajak merupakan masalah keuangan negara, sehingga diperlukan peraturan-peraturan yang digunakan pemerintah untuk mengatur masalah keuangan negara tersebut. Dari sudut pandang keuangan, pajak dipandang bagian yang sangat penting dalam penerimaan negara. Dari sudut pandang sosiologi ini pajak ditinjau dari segi masyarakat yaitu yang menyangkut akibat/dampak terhadap masyarakat atas pungutan dan hasil apakah yang dapat disampaikan pada masyarakat sendiri.
8
9
Adapun definisi pajak ditinjau dari sudut pandang peralihan aset dari sektor privat ke sektor publik yaitu “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum” Djajadiningrat (dalam Tjahjono, 2009:2). Pajak menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan (Brotodihardjo. R. S., 1991). Dari beberapa definisi mengenai pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik secara langsung untuk membiayai pengeluaran umum. Dalam rangka menjalankan berbagai kegiatan, pemerintah memerlukan sumber dana untuk membiayai seluruh aktivitas kementrian/lembaga negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang salah satunya berasal dari penerimaan pajak.
10
1.
Fungsi Pajak Terdapat dua fungsi pajak menurut Resmi (2009:3) yaitu:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut
ditempuh
dengan
cara
ekstensifikasi
maupun
intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain. 2. Fungsi Regulerend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah: a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Makin mewah suatu barang tersebut makin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah).
11
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. c. Tarif pajak ekspor sebesar 0%; dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara. d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain: dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan). e. Pembebasan
pajak
penghasilan
atas
sisa
hasil
usaha
koperasi:
dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia. f. Pemberlakuan tax holding: dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia. Berdasarkan kedua jenis fungsi pajak tersebut, dapat dipahami bahwa fungsi budgetair dikaitkan dengan sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sedangkan fungsi regulerend artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuantujuan tertentu di luar bidang keuangan.
12
2.
Pengelompokan Pajak Menurut Mardiasmo (2011:5) dalam perpajakan terdapat berbagai jenis
pajak yang terbagi menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya. Berikut ini adalah pengelompokan pajak: 1. Menurut Golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifatnya a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan. b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
13
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: 1) Pajak propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2) Pajak kabupaten/kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
3.
Asas-asas Pemungutan Pajak Di dalam melakukan pemungutan pajak baik yang dikelola oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Mardiasmo, 2003) yaitu: a. Asas Kebangsaan Bahwa pajak pendapatan dipungut terhadap orang–orang bertempat tinggal di Indonesia. b. Asas Tempat Tinggal Pajak pendapatan dipungut bagi orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia di tentukan menurut keadaan. c. Asas Sumber Penghasilan Jika sumber penghasilan berada di Indonesia dengan tidak memperhatikan subyek tempat tinggal. Disamping asas-asas berpedoman kepada hal tersebut diatas, ada asas-asas pemungutan pajak yang dilandasi oleh falsafah hukum.
14
4.
Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak Menurut Resmi (2009:6) beberapa teori yang mendukung hak negara
untuk memungut pajak dari rakyatnya, antara lain: 1. Teori Asuransi Teori ini menyatakan bahwa negara bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentingannya, meliputi keselamatan dan keamanan jiwa, dan juga harta bendanya. Seperti halnya dalam perjanjian asuransi (pertanggungan), untuk melindungi orang dan kepentingan tersebut diperlukan pembayaran premi. Dalam hubungan negara dengan rakyatnya, pajak nilai yang dianggap sebagai premi tersebut yang sewaktu-waktu harus dibayar masing-masing individu. Meskipun teori ini hanya sekedar untuk memberi dasar hukum kepada pemungut pajak, namun beberapa pakar menentangnya. Mereka berpendapat bahwa pembandingan antara pajak dan perusahaan asuransi tidaklah dapat, karena: a) Dalam hal timbul kerugian, tidak ada pengganti secara langsung dari negara, dan b) Antara pembayaran jumlah pajak dan jasa yang diberikan oleh negara tidaklah terdapat hubungan langsung. 2. Teori Kepentingan Teori ini awalnya hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas pemerintah, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh karena
15
itu, sudah sewajarnya jika biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada mereka. 3. Teori Gaya Pikul Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk kepentingan tersebut diperlukan biayabiaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Teori ini menekankan pada asas keadilan, bahwasannya pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang. Gaya pikul seseorang dapat diukur dengan memperhitungkan besarnya pengeluaran dan pembelanjaan seseorang. Dalam pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, daya pikul untuk pengeluaran atau pembelanjaan dinyatakan dengan sejumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak. 4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti) Berlawanan dengan tiga teori sebelumnya, yang tidak mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini mendasarkan pada paham Organische Staatsleer. Paham ini mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara maka timbulah hak mutlak untuk memungut pajak. Orangorang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan tidak akan ada individu. Oleh karena itu, persekutuan (yang menjelma menjadai negara) berhak atas satu dan yang lain. Akhirnya setiap orang menyadari bahwa suatu
16
kewajiban mutlak untuk membuktikan tanda buktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak. 5. Teori Asas Gaya Beli Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya melihat pada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak.
5.
Unsur-unsur dan Ciri-ciri Pajak Unsur adalah sesuatu yang harus ada supaya sesuatu itu ada. Maka dapat
disebutkan unsur-unsur pajak adalah (Soemitro, 1990): 1. Adanya penguasaan pemungut pajak 2. Adanya subjek pajak 3. Adanya objek pajak 4. Adanya masyarakat atau kepentingan umum 5. Adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) 6. Adanya Undang-Undang pajak yang mendasari
17
Ciri adalah apa yang tampak dari luar kepada kita melalui panca indera. Ciri-ciri yang melekat pada pajak (Tjahjono dan Husein, 2000): 1. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasarkan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak-pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah atau tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu. 3. Penyelenggaraan pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi dari negara. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya surplus, dipergunakan untuk membiayai public invesment. 5. Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang. 6. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu mengatur.
6.
Sistem Pemungutan Pajak Menurut Waluyo dan Wirawan (1999) sistem pemungutan pajak dapat
dibagi menjadi tiga yaitu: 1. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Cirinya adalah
18
wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak yang ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak. 2. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang. Cirinya adalah: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus b. Wajib pajak bersifat pasif c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 3. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Cirinya adalah: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. b. Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
7.
Hukum Pajak Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo (2009:4) menyatakan bahwa
hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut:
19
1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. 2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut: a. Hukum Tata Negara b. Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif) c. Hukum Pajak d. Hukum Pidana Dengan demikian, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialis derogate Lex Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain yang sudah ada sebelumnya.
2.1.2
Pajak Daerah
1.
Pengertian Pajak Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah bahwa Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan perundangundangan yang berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
20
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Adapun jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah tingkat I menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 sebanyak 4 (empat) jenis yang terdiri dari: 1. Pajak Kendaraan Bermotor 2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengambilan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Sedangkan untuk daerah tingkat II (kota/kabupaten) menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri dari tujuh macam jenis pajak, yaitu: 1. Pajak Hotel dan Restoran
Adalah pajak atas pelayanan hotel dan restoran. Menurut peraturan daerah No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel dan Restoran, yang dimaksud dengan Pajak Hotel dan Restoran adalah pungutan daerah atas pelayanan hotel dan restoran. Subyek pajak hotel dan restoran adalah orang atau pribadi yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel dan restoran, sedangkan obyek pajaknya adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel dan restoran. Besarnya tarif pajak adalah 10% dari jumlah pembayaran. 2. Pajak Hiburan
Adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga.
21
Pajak Hiburan dipungut berdasarkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan baik untuk dan atas nama sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya. Subyek pajak ini adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan dan objek pajaknya adalah semua penyelenggaraan hiburan. 3. Pajak Reklame
Adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat perbuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk mencari perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan atau didengarkan dari suatu tempat umum kecuali yang perlukan oleh pemerintah. Subyek pajak ini adalah orang pribadi atau badan hukum yang menyelenggarakan atau memesan reklame, sedangkan obyek pajak ini adalah semua penyelenggaraan reklame. Tarif pajak ini ditetapkan sebesar 25% dari nilai sewa reklame. 4. Pajak Penerangan Jalan
Adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Pajak penerangan jalan umum dipungut berdasarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2001. Subyek pajak ini adalah orang pribadi
22
atau badan yang menggunakan tenaga listrik, sedangkan obyek pajak ini adalah setiap pengguna tenaga listrik. 5. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C
Pajak ini dipungut berdasarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1998. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan pengambilan bahan galian golongan C. Subyek pajak ini adalah orang pribadi atau badan yang mengambil bahan galian golongan C, sedangkan obyek pajak ini adalah kegiatan pengambilan bahan galian golongan C. Besarnya tarif pajak ini ditetapkan sebesar 20% dari dasar pengenaan pajak yaitu nilai jual hasil pengambilan bahan galian golongan C. 6. Pajak Parkir
Adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. 7. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Pajak ini adalah pajak atas setiap pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Subyek pajak ini adalah orang pribadi atau badan yang mengambil dan atau pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, sedangkan objek pajak ini adalah pengambilan air bawah tanah dan air permukaan. Besarnya tarif pajak ini ditetapkan sebesar 20% dari nilai
23
perolehan air. Selain memungut pajak, Pemerintah Daerah juga bisa memungut retribusi. Adapun yang dimaksud retribusi menurut UndangUndang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
2.
Tarif Pajak Daerah Menurut Siahaan (2005:61) salah satu unsur penghitungan pajak yang
akan menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah tarif pajak sehingga penentuan besarnya tarif pajak yang diberlakukan pada setiap jenis pajak daerah memegang peranan penting. Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah, yaitu: 1) Tarif PKB & KAA ditetapkan paling tinggi 5% 2) Tarif BBNKB & KAA ditetapkan paling tinggi 10% 3) Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi 5% 4) Tarif PPPABTAP ditetapkan paling tinggi 20% 5) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10% 6) Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10% 7) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35% 8) Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25% 9) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10%
24
10) Tarif Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ditetapkan paling tinggi 20% 11) Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 20%
2.1.3 Pendapatan Asli Daerah 1.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan suatu pendapatan yang menunjukkan
kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai pengeluaran rutin. Jadi dapat dikatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah sebagai pendapatan rutin dari usaha-usaha Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan potensi-potensi sumber keuangan daerahnya sehingga dapat mendukung pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah dan pembangunan daerah (Nurmayasari, 2010:40).
2.
Sumber Penerimaan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2004
Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah menetapkan sumber-sumber penerimaan daerah, sebagai berikut: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1) Pajak Daerah 2) Retribusi Daerah 3) Bagian Laba Pengelolaan Aset Daerah yang dipisahkan 4) Lain-lain PAD yang Sah
25
b. Transfer Pemerintah Pusat 1) Bagi Hasil Pajak 2) Bagi Hasil Sumber Daya Alam 3) Dana Alokasi Umum 4) Dana Alokasi Khusus 5) Dana Otonomi Khusus 6) Dana Penyesuaian
2.1.4
Pajak Reklame
1.
Pengertian Pajak Reklame Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, definisi Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Sedangkan definisi dari reklame merupakan benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan atau dinikmati oleh umum. Pajak sebagai alat kebijakan fiskal yang digunakan terus menerus oleh negara. Pajak reklame adalah pajak daerah yang penerimaanya diserahkan dan digunakan untuk kepentingan pemerintah daerah. Pajak reklame tersebut dikenakan terhadap objek pajak yaitu berupa reklame dan nilai sewa reklame dan didasarkan pada besarnya
biaya pemasangan reklame, besarnya
biaya
pemeliharaan reklame, lama pemasangan reklame, nilai strategis pemasangan
26
reklame dan jenis reklame. Pajak reklame adalah pajak daerah, sebagaimana dimaksud dalam UU No 18 Tahun 1997 yang diperbaharui dengan UU No 34 Tahun 2000. Pembaharuan Undang-Undang didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak lain yang terkait, dan juga untuk memberikan peluang kepada daerah Kabupaten/Kota untuk memungut pajak jenis pajak daerah lain yang dipandang memenuhi syarat dan potensial di daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah Kabupaten/Kota dalam mengantisipasi kondisi serta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan perkembangan potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakat serta memenuhi kriteria yang ditetapkan (Siahaan, 2005).
2.
Dasar Hukum Pemungutan Pajak Reklame Menurut Siahaan (2005:325) dasar hukum pajak reklame di Indonesia saat
ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan pajak reklame pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 3. Peraturan Daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang Pajak Reklame.
27
4. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang pajak reklame sebagai aturan
pelaksanaan
peraturan
daerah
tentang
pajak
reklame
pada
kabupaten/kota dimaksud. Pembaharuan Undang-Undang dan sistem pajak daerah diharapkan kesadaran masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan Pajak Daerah yang umumnya dan Pajak Reklame pada khususnya juga akan meningkat.
3.
Objek Pajak Reklame Objek berarti suatu benda yang dapat dikenai suatu pekerjaan tertentu.
Objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame. Berdasarkan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 70 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, ditetapkan bahwa objek pajak reklame sebagaimana yang dimaksud adalah: 1. Reklame Permanen dan Terbatas Reklame permanen merupakan reklame Megatron dan reklame Papan dengan luas bidang 8 m2 (delapan meter persegi) ke bawah yang diselenggarakan di persil atau reklame berjalan, sedangkan Reklame terbatas adalah reklame Megatron dan reklame Papan dengan luas bidang lebih dari 8 m2 (elapan meter persegi) yang diselenggarakan di lokasi persil atau yang diselenggarakan di lokasi bukan persil. a. Reklame Papan/Billboard Merupakan reklame yang bersifat tetap atau tidak dapat dipindahkan dan terbuat dari papan, kayu, termasuk seng, tinplate, collibrite, vynil,
28
aluminium, fiberglass, kaca, batu, tembok atau beton, logam atau bahan lain yang dipasang pada tempat yang disediakan (berdiri sendiri) atau digantung atau ditempel atau dibuat pada bangunan tembok, dinding, pagar, tiang, dan sebagainya baik bersinar, disinari maupun yang tidak bersinar. b. Reklame Megatron/Large Electronic Display (LED) Yaitu reklame yang bersifat tetap (tidak dapat dipindahkan) menggunakan layar monitor maupun tidak, berupa gambar dan atau tulisan yang dapat berubah-ubah, terprogram, dan menggunakan tenaga listrik. Termasuk di dalamnya videotron dan elektronik display. c. Reklame Berjalan Yaitu reklame yang ditempatkan atau ditempelkan pada kendaraan atau benda yang dapat bergerak, yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dengan cara dibawa/ditarik oleh orang. Termasuk didalamnya reklame pada gerobak/rombong, kendaraan baik bermotor ataupun tidak. 2. Reklame Insidentil Reklame insidentil merupakan reklame yang diselenggarakan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun dan bersifat sementara. Reklame insidentil terdiri dari:
29
a. Reklame Baliho Yaitu reklame yang terbuat dari papan kayu atau bahan lain dan dipasang pada
konstruksi
yang
tidak
permanen
dan
tujuan
materinya
mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil. b. Reklame Kain/Spanduk/umbul-umbul Yaitu reklame yang tujuan materinya jangka pendek atau mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil dengan menggunakan bahan kain, termasuk plastik atau bahan lain yang sejenis. Termasuk didalamnya adalah spanduk, umbul-umbul, bendera, flag chain (rangkaian bendera), tenda, krey, banner, giant banner dan standing banner. c. Reklame Melekat (Stiker) Yaitu reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara ditempelkan, dilekatkan, dipasang atau digantung pada suatu benda. d. Reklame Selebaran Yaitu reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan, atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, diletakkan, dipasang, atau digantung pada suatu benda lain, termasuk di dalamnya adalah brosur, leaflet, dan reklame dalam undangan. e. Reklame Udara Yaitu reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan gas, laser, pesawat, atau alat lain yang sejenis.
30
f. Reklame Suara Yaitu reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh perantara alat. g. Reklame Film/Slide Yaitu reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise (celluloide) berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan atau dipancarkan. h. Reklame Peragaan Yaitu reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara. i. Reklame Apung Yaitu reklame insidentil yang diselenggarakan di permukaan air atau di atas permukaan air.
4.
Wajib Pajak Reklame Dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 79 Tahun 2012 tentang Tata
Cara Penyelenggaraan Reklame disebutkan bahwa wajib pajak reklame adalah penyelenggara reklame, yaitu orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya.
31
5.
Tarif Pajak dan Cara Perhitungan Nilai Sewa Reklame Tarif Pajak dan Cara Penghitungan Nilai Sewa Reklame menurut
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 70 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Walikota Surabaya pada Bab III adalah sebagai berikut: Pasal 7 1. Tarif pajak ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen). 2. Besarnya pajak terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 8 1. Untuk materi reklame rokok, besarnya nilai sewa reklame ditambah 25% (dua puluh lima persen). 2. Setiap penambahan ketinggian sampai dengan 15 m (lima belas meter) pertama dan kelipatannya, besarnya Nilai Sewa Reklame ditambah 20% (dua puluh persen). 3. Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu jenis reklame, maka nilai pajaknya ditetapkan menurut jenis reklame yang tarifnya paling tinggi. 4. Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu kelas jalan reklame, maka nilai pajaknya ditetapkan menurut kelas jalan yang tarifnya paling tinggi. 5. Penetapan nilai pajak reklame dibulatkan ke atas menjadi kelipatan Rp 100,00 (seratus rupiah).
32
6. Ukuran luas dan ketinggian reklame, dibulatkan ke atas menjadi dua digit dibelakang koma. Penyelenggaraan Reklame Penyelenggaraan Reklame menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 08 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame antara lain: Pasal 12 Penyelenggaraan reklame harus sesuai dengan kepribadian dan budaya bangsa, tidak boleh bertentangan dengan norma keagamaan, kesopanan, ketertiban, keamanan, kesusilaan, dan kesehatan. Pasal 13 1. Untuk menjunjung estetika kota, keamanan dan keselamatan masyarakat serta untuk mengatur reklame dalam suatu komposisi yang baik sehingga lebih efektif dalam menyampaikan pesan, penyelenggaraan reklame di kawasan tertentu diatur dalam ketentuan mengenai Kawasan Penataan Reklame. 2. Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kawasan
penataan
reklame
dan
penyelenggaraan reklame pada kawasan penataan reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan reklame ada bangunan, fasilitas publik milik/dikuasai oleh Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
33
Pasal 15 (1) Penyelenggaraan Reklame wajib: a. Memasang plat ijin atau stempel masa berlaku ijin dan ukuran bidang reklame yang dapat terlihat jelas oleh umum; b. Memasang nama dan nomer telepon biro reklame yang dapat terlihat dengan jelas oleh umum, bagi reklame terbatas; c. Memelihara benda-benda dan alat-alat yang dipergunakan untuk reklame agar selalu dapat berfungsi dan dalam kondisi baik; d. Menyelesaikan pembongkaran reklame paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah ijin berakhir; e. Menanggung
segala
akibat
jika
penyelenggaraan
reklame
yang
bersangkutan menimbulkan kerugian pada pihak lain; f. Membayar Biaya Jaminan Bongkar (2) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
besarnya
biaya
jaminan
bongkar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 16 Setiap orang atau badan dilarang menyelenggarakan reklame: a. Dilokasi persil kantor instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah daerah; b. Pada bangunan atau tempat-tempat lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah;
34
c. Pada titik-titik yang tidak sesuai dengan ketentuan Kawasan Penataan Reklame yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah; d. Dengan materi minuman beralkohol/minumn keras. Pasal 17 Penyelenggaraan reklame harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Diselenggarakan dengan tidak menutup pandangan rambu, lampu pengatur, dan kamera lalu lintas; b. Konstruksi reklame dapat dipertanggungjawaban menurut persyaratan teknis sesuai ketentuan yang berlaku; c. Menggunakan dua atau lebih tiang konstruksi bagi reklame dengan luas bidang paling sedikit 30 m2 (tiga puluh meter persegi); d. Lampu reklame yang dipasang diarahkan ke bidang reklame sehingga tidak menyilaukan pandangan pemakai jalan; e. Instalasi listrik yang dipasang harus memenuhi persyaratan teknis sehingga tidak membahayakan keselamatan umum. Pasal 18 Lokasi penyelenggaraan reklame dibedakan atas lokasi bukan persil dan lokasi persil. Pasal 19 (1) Penyelenggaraan reklame di Lokasi Bukan Persil harus memenuhi ketentuan: a. Mendapat persetujuan tertulis dari pemilik atau yang menguasai lahan; b. Mendapat persetujuan tertulis pemilik persil, apabila bidang reklame masuk ke dalam/diatas persil;
35
c. Luas bidang reklame paling besar 50 m2 (lima puluh meter persegi); d. Tidak menutup/mengganggu pandangan perlintasan terhadap sebidang kereta api; e. Jarak dari rel kereta api sampai bidang/konstruksi reklame terdekat harus mendapat rekomendasi dari PT. KAI; f. Jarak jaringan kabel listrik tegangan menengah ke atas harus mendapat rekomendasi dari PT. PLN; g. Tidak mengganggu fungsi atau merusak sarana dan prasarana kota serta tidak mengganggu pemeliharaannya; h. Kaki konstruksi tidak boleh berada diatas saluran air, sungai atau badan jalan (2) Penyelenggaraan reklame di trotoar harus memenuhi ketentuan: a. Lebar trotoar paling sedikit 1,5 m (satu setengah meter); b. Di bawah trotoar tidak terdapat saluran tepi yang lebarnya sama atau lebih besar dari lebar trotoar; c. Diameter tiang reklame paling besar 10% (sepuluh persen) dari lebar trotoar; d. Titik pondasi/sepatu kaki konstruksi (pile cap) harus terletak pada sisi trotoar yang berbatasan/berdekatan dengan persil; e. Titik pondasi/sepatu kaki konstruksi (pile cap) tidak berada di atas saluran tepi (apabila dibawah trotoar terdapat saluran tepi);
36
f. Titik pondasi/sepatu kaki konstruksi (pile cap) dan bidang reklame tidak mengganggu/merusak jaringan utilitas baik yang berada dibawah (dalam tanah) maupun di atas; g. Ketinggian/elevasi dari pondasi/sepatu kaki konstruksi (pile cap) harus rata dengan permukaan trotoar; h. Bidang reklame tidak melebihi sisi trotoar bagian luar, yang berbatasan dengan badan jalan, dan tinggi bidang reklame paling sedikit 3 (tiga) meter; i. Mendapat persetujuan tertulis pemilik persil, apabila bidang reklame masuk ke dalam/di atas persil. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi penyelenggaraan reklame pada sejalur tanah dan di bahu jalan. (4) Dalam hal pada ruas jalan terdapat sejalur tanah, maka penyelenggraaan reklame dilarang dilaksanakan di trotoar dan/atau di bahu jalan. (5) Dalam hal pada ruas jalan tidak terdapat sejalur tanah, maka penyelenggaraan reklame dapat dilaksanakan pada trotoar. (6) Penyelenggaraan reklame di median jalan atau jalur hijau atau pulau jalan, bidang reklame dilarang melebihi median atau pulau jalan yang bersangkutan. Pasal 20 Penyelenggaraan reklame di Lokasi Persil sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, harus memenuhi ketentuan: a. Mendapat persetujuan tertulis dari pemilik persil;
37
b. Bidang reklame beserta konstruksinya, tidak diperbolehkan menembus atap bangunan; c. Bidang reklame tidak boleh melebihi GSP; d. Penyelenggaraan reklame menempel pada bangunan dapat dipasang dengan ketentuan bidang reklame tidak melebihi GSP; e. Penyelenggaraan reklame di atas bangunan, diselenggarakan dengan ketentuan bidang reklame tidak boleh melebihi bidang atap tepat reklame tersebut; f. Penyelenggara reklame di halaman, lebar bidang reklame tidak boleh melebihi 60% (enam puluh persen) dari lebar sisi halaman tempat reklame tersebut diselenggarakan. Pasal 21 (1) Reklame yang diselenggarakan di Bando Jalan, Jembatan atau Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) lebar bidang reklame paling besar 3 (tiga) meter dan luas bidang reklame paling besar 50 m2 (lima puluh) meter persegi. (2) Jarak antara bando jalan atau antara JPO dan bando jalan dalam satu ruas jalan paling sedikit 500 (lima ratus) meter. (3) Penyelenggara reklame bando jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memperoleh dan melaksanakan rekomendasi dari Dinas Perhubungan. (4) Reklame yang diselenggarakan pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), letak bidang reklame dengan ketinggian 1,5 m (satu setengah meter) diatas lantai jembatan penyeberangan orang.
38
Pasal 22 Penyelenggaraan reklame Sign Net harus memenuhi ketentuan: a. Ketinggian paling banyak 3 (tiga) meter; b. Jarak antara reklame Sign Net paling sedikit 25 (dua puluh lima) meter; c. Jarak reklame paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari persimpangan jalan dan tempat berbalik arah; d. Penyelenggaraan Reklame Sign Net di media jalan: 1. Dengan lebar 5 (lima) meter atau lebih, luar Sign Net paling besar 4 m2 (empat meter persegi); 2. Dengan lebar kurang dari 5 (lima) meter, luas Sign Net paling besar 2 m 2 (dua meter persegi). Pasal 23 Penyelenggaraan reklame insidentil jenis Kain harus memenuhi ketentuan: a. Tidak boleh diselenggarakan pada tiang lampu pengatur lalu lintas, tiang kamera lalu lintas, tiang listrik, tiang telepon, pohon dan pagar; b. Tidak boleh diselenggarakan pada bidang atau konstruksi reklame jenis Megatron dan jenis Papan; c. Tidak boleh diselenggarakan melintang di atas jalan; d. Materi reklame bersifat jangka pendek atau mempromosikan suatu kegiatan yang bersifat insidentil.
39
Pasal 24 Penyelenggaraan
reklame
insidentil
jenis
Melekat
tidak
diperbolehkan
ditempelkan pada rambu lalu lintas, tiang listrik, tiang Penerangan Jalan Umum (PJU), tiang telepon atau sarana dan prasarana kota lainnya. Pasal 25 Penyelenggaraan reklame insidentil jenis Baliho harus memenuhi ketentuan: a. Luas bidang reklame paing besar 24 m2 (dua puluh empat) meter persegi; b. Materi reklame yang mempromosikan suatu kegiatan atau event yang bersifat insidentil. Pasal 26 Penyelenggaraan reklame insidentil Balon Udara, titik jatuhnya tidak boleh berada pada Ruang Milik Jalan. Pasal 27 (1) Penyelenggaraan reklame pada kendaraan bermotor harus sesuai dengan desain dan konstruksi rumah-rumah pada kendaraan bermotor dimaksud. (2) Penyelenggaraan reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di larang untuk reklame jenis Megatron. Pasal 28 (1) Setiap penyelenggaraan reklame dapat merubah materi reklame, kecuali reklame insidentil (2) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam masa pajak berjalan dan hanya bagi kategori materi yang sama.
40
(3) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus berukuran sama dan sebangun dengan materi sebelumnya. (4) Perubahan materi reklame sebagaiman dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu diberitahukan secara tertulis kepada Kepala Daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 29 Bangunan konstruksi reklame dilarang tanpa materi reklame.
6.
Dasar Pengenaan Pajak Reklame Menurut Peraturan Walikota Surabaya Nomor 70 Tahun 2010 tentang
Perhitungan Nilai Sewa Reklame, dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame (NSR). NSR merupakan nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan besarnya Pajak Reklame. Berdasarkan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 70 Tahun 2010 Pasal 2 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, besarnya Nilai Sewa Reklame dapat dihitung berdasarkan penjumlahan Nilai Jual Objek Pajak Reklame (NJOR) dan Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame (NSPR), atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Nilai Sewa Reklame = Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) + Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR) Menurut Siahaan (2013:388) Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) adalah keseluruhan pembayaran/pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik dan atau penyelenggara reklame, termasuk dalam hal ini adalah biaya/harga beli bahan
41
reklame, konstruksi, instalasi listrik, pembayaran/ongkos perakitan, pemancaran, peragaan, penayangan, pengecatan, pemasangan dan transportasi pengangkutan, dan lain sebagainya sampai dengan bangunan reklame selesai dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan atau terpasang di tempat yang telah diizinkan. Rumus perhitungan NJOR adalah sebagai berikut: NJOR = (Ukuran Reklame x Harga Dasar Ukuran Reklame) + (Ketinggian Reklame x Harga Dasar Ketinggian Reklame) Menurut Siahaan (2005:328) Nilai Strategis Pemasangan Reklame yang selanjutnya disingkat (NSPR) adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame tersebut, berdasarkan kriteria kepadatan pemanfaatan tata ruang kota untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha. Perhitungan nilai strategis didasarkan pada besarnya ukuran reklame, dengan indikator: nilai fungsi ruang (NFR) lokasi pemasangan; nilai fungsi jalan (NFJ); dan nilai sudut pandang (NSP). Besarnya NSPR dihitung dengan rumus sebagai berikut: NSPR = (NFR + NSP + NFJ) x Harga Dasar Nilai Strategis. NSPR = [{Fungsi Ruang (= Bobot x Skor)} + {Fungsi Jalan (= Bobot x Besarnya reklame untuk danNilai rokok Skor)}pajak + Sudut Pandang (= reklame Bobot xminuman Skor)}] xberalkohol Harga Dasar Strategis. ditambah dua puluh lima persen dari nilai sewa reklame. Perhitungan di atas berlaku hanya untuk satu sisi saja, sementara apabila terdiri dari dua sisi (dapat dilihat dari sebelah depan maupun belakang), maka dikalikan dua. Untuk menghitung luas reklame sebagai dasar pengenaan pajak dilakukan dengan cara sebagai berikut:
42
a. Reklame yang mempunyai bingkai atau batas, dihitung dari bingkai atau batas paling luar di mana seluruh gambar, kalimat, atau huruf-huruf tersebut berada di dalamnya. b. Reklame yang tidak berbentuk persegi dan tidak berbingkai, dihitung dari gambar, kalimat, atau huruf-huruf yang paling luar dengan jalan menarik garis lurus vertikal dan horizontal, sehingga merupakan empat persegi. c. Reklame yang berbentuk pola, dihitung dengan rumus berdasarkan bentuk benda masing-masing reklame.
7.
Tata Cara Perhitungan Pajak Reklame Besarnya pajak reklame yang terutang dapat dihitung berdasarkan hasil
perkalian dari tarif pajak reklame sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan Nilai Sewa Reklame yang dapat dihitung dengan mempertimbangkan beberapa komponen penentu besarannya, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 70 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, besarnya pokok Pajak Reklame yang terutang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Pajak Reklame = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Nilai Sewa Reklame
8.
Jaminan Biaya Bongkar Dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 70 tahun 2010 tentang
Perhitungan Nilai Sewa Reklame dijelaskan bahwa jaminan biaya bongkar adalah biaya yang dibayarkan oleh penyelenggara reklame kepada Pemerintah Daerah
43
yang digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk membongkar reklame dan untuk pemulihan atau perbaikan kembali lokasi atau tempat bekas di selenggarakannya reklame, apabila lokasi atau tempat tersebut merupakan milik atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah. Berikut ini merupakan ketentuan besarnya biaya bongkar yang harus dibayarkan pada tiap jenis penyelenggaraan reklame: 1. Setiap penyelenggaraan reklame wajib membayar biaya bongkar kecuali reklame berjalan. Nilai jaminan biaya bongkar untuk reklame berukuran sampai dengan 8 m2 (delapan meter persegi) ditetapkan sebesar Rp 50.000,00/m2/tahun (lima puluh ribu rupiah per meter persegi per tahun). 2. Nilai jaminan biaya bongkar untuk reklame berukuran lebih dari 8 m2 (delapan meter persegi) ditetapkan sebesar Rp 200.000,00/m2/tahun (dua ratus ribu rupiah per meter persegi per tahun). 3. Nilai jaminan bongkar untuk reklame jenis baliho dan kain/spanduk/umbulumbul ditetapkan sebesar Rp 5.000,00/m2 (lima ribu rupiah per meter persegi). 4. Nilai jaminan bongkar untuk reklame jenis stiker/melekat ditetapkan sebesar Rp 25,00/cm2 (dua puluh lima rupiah per senti meter persegi).
2.1.5
Pertumbuhan Ekonomi
1.
Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Menurut Boediono (2009:1-2) pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dimana penekanannya pada tiga hal yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi
44
merupakan suatu “proses”, bukan merupakan gambaran ekonomi pada suatu saat. Disini dilihat aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan “output perkapita”. Dalam pengertian ini ada dua sisi yang perlu diperhatikan yaitu output total dan jumlah penduduk, sebab hanya apabila kedua aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan output perkapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan ekonomi perspektif waktu jangka panjang, yaitu apabila selama jangka waktu yang cukup panjang tersebut output perkapita menunjukkan kecenderungan yang jelas untuk menaik.
2.
Teori Pertumbuhan Ekonomi a. Teori Pertumbuhan Ekonomi Historis Aliran historis berkembang di Jerman dan kemunculannya merupakan reaksi terhadap pandangan kaum klasik yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat dengan revolusi industri, sedangkan aliran historis menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dilakukan secara bertahap. Pelopor aliran historis antara lain, Frederich List, Karl Bucher, Bruno Hildebrand, Wegner Sombart, dan W.W. Rostow.
45
b. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut pandangan ahli ekonomi klasik seperti Adam Smith dan David Richardo, ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: 1) Jumlah penduduk 2) Jumlah stok barang-barang modal 3) Luas tanah dan kekayaan alam 4) Tingkat teknologi yang digunakan Dalam teori pertumbuhan mereka, dimisalkan luas tanah dan kekayaan alam adalah tetap jumlahnya dan tingkat teknologi tidak mengalami perubahan. c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neoklasik Teori pertumbuhan neoklasik melihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari segi penawaran. Menurut teori ini, yang dikembangkan oleh Abramovits dan Solow pertumbuhan ekonomi tergantung kepada perkembangan faktor-faktor produksi.
2.1.6
Penelitian Terdahulu Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali informasi tentang penelitian
Pajak Reklame yang sudah diteliti oleh peneliti lain. Dengan penelusuran penelitian terdahulu maka akan dapat dipastikan ruang yang didapat oleh penelitian ini. Berkaitan dengan pajak reklame terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
46
Rahayuningsih (2009). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Analisis Efektivitas Pajak Reklame terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Banyuwangi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penerimaan pajak reklame selama tahun 2005-2007 secara terus menerus mengalami peningkatan, dapat di rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9,5%. Kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah pada tahun 20052006 apabila di rata-rata mengalami penurunan sebesar 4,15% dan pada tahun 2007 mengalami peningkatan dengan rata-rata 4,05%. Sedangkan efektivitasnya dari tahun 2005-2006 mengalami penurunan dari 51% menjadi 49%, namun mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebesar 52%. Nio Anggun Sripradita, Topowijono, Achmad Husaini (2014). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Analisis Efektivitas Penerimaan Pajak Reklame dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kediri). Hasil dari penelitin ini menunjukkan bahwa tingkat efektivitas penerimaan pajak reklame dalam kurun waktu tahun 2008-2012 adalah 120,14%, 116,88%, 104,84%, 120,15%, dan 100,39%. Rata-rata efektivitas penerimaan pajak reklame periode 2008-2012 sebesar 111,02%. Kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun periode 20082012 berturut-turut adalah 3,27%, 3,11%, 3,51%, 4,13%, dan 2,32%. Rata-rata kontribusi penerimaan pajak reklame terhadap pajak daerah Kabupaten Kediri sebesar 3,12%.
47
Arvian Triantoro (2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame dan Kontribusinya terhadap Penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ratarata laju pertumbuhan pajak reklame di Kota Bandung selama enam tahun terakhir dari tahun 2001 sampai dengan 2006 adalah sebesar 53,94% per tahun. Efektifitas pajak reklame Kota Bandung pada tahun 2006 mencapai 53,56%, atau dapat pula dikatakan bahwa tingkat efektifitas pajak reklame kota Bandung pada tahun 2006 cukup baik. Rata-rata kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah selama tahun 2006, berdasarkan realisasi yang diterima mencapai 15,84%. Sedangkan berdasarkan potensi yang seharusnya diterima dapat mencapai 29,77%. Sulistiyoningsih (2014). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Kontribusi Pajak Reklame dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya. Hasil dari penelitian ini adalah laju pertumbuhan pajak reklame kota Surabaya di tahun 2008 hingga 2012 rata-rata mencapai 19,61% pertahun; kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah dari tahun 2008 sampai dengan 2012 berada dalam kriteria kurang, hal ini bisa dilihat berdasarkan hasil penelitian bahwa prosentase rata-rata kontribusi pajak reklame pada tahun 2008 hingga 2012 sebesar 12,26%, kontribusi
terbesar terjadi
pada tahun 2010 dimana
pencapaiannya 18,79%, sedangkan kontribusi terendah terjadi pada tahun 2011, dimana nilai kontribusinya hanya mencapai 6,06%; kontribusi pajak reklame terhadap PAD dari tahun 2008 hingga 2012 dinilai masih sangat kurang, hal ini bisa dilihat dari hasil pengolahan data dimana nilai rata-rata kontribusi pajak reklame terhadap PAD selama lima tahun tersebut hanya mencapai 7,45%
48
sebagaimana dengan kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah yang pencapaian terendahnya adalah tahun 2011, kontribusi pajak reklame terhadap PAD juga mengalami hal yang sama, tingkat efektivitas pajak reklame di Kota Surabaya berfluktuasi, tetapi jika dilihat dari rata-rata dari tahun 2008 hingga 2012, tingkat efektivitas pajak reklame berada dalam kriteria cukup efektif, tingkat efektivitas pengelolaan pajak reklame Kota Surabaya terjadi pada tahun 2012 dimana tingkat efektivitas pajak reklame mencapai 104% atau berada pada kriteria sangat efektif, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan dari sektor pajak reklame mulai mengalami kemajuan yang positif. Dari uraian tersebut diatas, maka ringkasan penelitian terdahulu dapat diketahui pada tabel berikut ini: Tabel 1 Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti / No Tahun 1.
Rahayuningsih (2009)
Teknik Analisis Data yang Digunakan Untuk Analisis menganalisis deskriptif apakah kualitatif efektivitas dan pemungutan deskriptif pajak reklame kuantitatif dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Tujuan Penelitian
Hasil Penelitian Laju pertumbuhan penerimaan pajak reklame tahun 20052007 mengalami peningkatan sebesar 9,5%. Kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah tahun 2005-2006 mengalami penurunan sebesar 4,15%, tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 4,05%. Efektivitas tahun 2005-2006 mengalami penurunan sebesar 49%, tahun 2007 mengalami peningkatan 52%.
49
Lanjutan Tabel 1 Penelitian Terdahulu Teknik Nama Peneliti / Tujuan Analisis No Hasil Penelitian Tahun Penelitian Data yang Digunakan 2. Nio Anggun Untuk Analisis Rata-rata efektivitas Sripradita, mengetahui laju deskriptif penerimaan pajak Topowijono, pertumbuhan dan reklame tahun 2008Achmad efektivitas pajak 2012 sebesar 111,02%. Husaini reklame dan Rata-rata kontribusi (2004) PAD serta penerimaan pajak kontribusi pajak reklame terhadap pajak reklame terhadap daerah Kabupaten pajak daerah dan Kediri sebesar 3,12%. terhadap PAD 3. Arvian Untuk Analisis Laju pertumbuhan pajak Triantoro menemukan deskriptif reklame di Kota (2010) jawaban atas Bandung tahun 2001tingkat 2006 sebesar 53,94% efektivitas per tahun. Efektifitas pemungutan pajak reklame tahun pajak reklame di 2006 mencapai 53,56%. Kota Bandung, Rata-rata kontribusi dan pajak reklame terhadap kontribusinya pajak daerah selama terhadap tahun 2006, mencapai penerimaan 15,84%. pajak daerah 4. Sulistiyoningsih Untuk Analisis Laju pertumbuhan pajak (2014) mengetahui deskripif reklame Kota Surabaya seberapa besar kualitatif di tahun 2008-2012 ratakontribusi pajak rata mencapai 19,61% reklame terhadap pertahun. Prosentase PAD dan upayarata-rata kontribusinya upaya yang pada tahun 2008-2012 dilakukan sebesar 12,26%. Tingkat pemerintah Kota efektivitas pajak Surabaya untuk reklame berada dalam meningkatkan kriteria cukup efektif. penerimaan pajak Kota Surabaya Sumber: Diolah penulis
50
2.2
Rerangka Pemikiran
Pajak Reklame
Target Pajak Reklame
Realisasi Pajak Reklame
Efektivitas dan Kontribusi Pajak Reklame
Pendapatan Asli Daerah Gambar 1 Rerangka Pemikiran Sumber: Diolah penulis
Pada dasarnya, pajak merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi warga negara dalam meningkatkan pembangunan. Berdasarkan rerangka pemikiran dalam penelitian ini, pajak reklame merupakan pajak daerah yang pengelolaan
dan
kabupaten/kota
penerimaannya
sehingga
diserahkan
pemerintah
daerah
kepada
pemerintah
daerah
yang
bersangkutan
dapat
memanfaatkan penerimaan pajak reklame tersebut secara efektif dan memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.
51
2.3
Proposisi Penelitian Proposisi pada dasarnya merupakan jawaban sementara atas masalah yang
dikemukakan di dalam penelitian. Namun proposisi tersebut dapat berubah sejalan dengan proses penelitian tergantung temuan penelitian. Berdasarkan gambar rerangka pemikiran di atas dapat dijelaskan bahwa besarnya realisasi penerimaan pajak reklame yang ada dengan target penerimaan pajak reklame digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan kontribusi pajak reklame yang diharapkan mampu untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya. Besarnya efektivitas dan kontribusi merupakan potensi yang diharapkan mampu di dapat secara optimal.