BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah dimulai secara efektif pada tanggal 1 januari 2010, merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi yang sesungguhnya (Maimunah,2006). Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah pada hakikatnya berkenan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan, kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat (Halim, 2001). Dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004 tujuan otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatakan kesejahteraan masyarakat, menggalakan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta peningkatan potensi daerah secara optimal, terpadu, nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal (Halim,2001). Dalam penerapannya pemerintah pusat tidak lepas tangan secara penuh dan masih memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa dana perimbangan yang dapat
digunakan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan dan menjadi komponen pendapatan daerah dalam APBD. Pemerintah daerah harus dapat menjalankan rumah tangganya secara mandiri dan dalam upaya peningkatan kemandirian ini, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pelayanan publiknya. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Abimayu,2005). Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme, Pemerintah daerah perlu melakukan rekayasa ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakat. Untuk Indonesia, perkembangan manajemen dan administrasi publik memang dinilai kurang maju. Tetapi dengan adanya otonomi daerah menyebabkan muncul era baru dalam administrasi pemerintahan dan manajemen publik. Disahkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 memberikan harapan baru dalam pengembangan otonomi yang sebenarnya. Pengembangan otonomi daerah saat ini diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Mardiasno, 2002). Halim (2001) mengemukakan bahwa tujuan otonomi dibedakan menjadi dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Dari kepentingan pemerintah pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara itu, dari sisi kepentingan pemerintah daerah mempuntai tiga tujuan yaitu :
1. Untuk mewujudkan apa yang disebut political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah. 2. Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi daerah akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat. 3. Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi daerah.
2.1.2 Desentralisasi Krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami bangsa Indonesia telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Disamping itu reformasi telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pembangunan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai bidang kehidupan. Akibat dari reformasi tersebut pemerintah mengeluarkan dua undang-undang yang sangat penting artinya dalam sistem pemerintah pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002). Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut (Litvack, 1999) desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Semakin besar suatu negara (dilihat dari penduduk dan luas wilayah) maka biasanya semakin kompleks dan “heterogen” pemerintahnya, yang tercermin dari tingkatan pemerintah
daerah. Desentralisasi (dan sentralisasi) adalah cara untuk melakukan penyesuaian tata kelola pemerintah dimana dilakukan distribusi fungsi pengambilan keputusan dan kontrol. Secara garis besar, dalam rangka melihat dampak atau kaitannya dengan layanan publik, desentralisasi bisa dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999): a. Desentralisasi politik, melimpahkan kepada daerah kewenangan yang lebih besar menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. b. Desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan syarat agar hal ini bisa lebih efektif. c. Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber pandapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Ketiga jenis desentralisasi ini saling berkaitan dan untuk melihat dampaknya ke berbagai hal, tidak bisa dilakukan evaluasi secara terpisah. Desentralisasi politik dan administrasi secara bersamaan diyakini menjadi prasyarat awal bagi peningkatan kualitas layanan publik, terutama untuk kelompok miskin. Sebab, partisipasi masyarakat (miskin) dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas pemerintah daerah hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik sudah berlangsung. Desentralisasi administrasi kemudian memperkuat kondisi tersebut lewat pembentukan kelembagaan yang bertanggung jawab menjalankan proses tersebut. Kemudian, desentralisasi fiskal menjadi bagian yang melengkapi persyaratan awal tadi agar ada kepastian bahwa semua program dan target dapat dilaksanakan.
Walaupun demikian, dengan desentralisasi bukan berarti semua proses pengambilan keputusan di setiap tingkat pemerintahan dilakukan terpisah (sendiri-sendiri) secara independen. Untuk banyak sektor, tidak jarang keputusan dilakukan mixedoleh berbagai tingkat pemerintahan. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapakan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap (Shah, 1997). Desentralisasi fiskal ini merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa diiringi dengan desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk dapat melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan publik tanpa diberi wewenang dalam penerimaan maupun pengeluaran desentralisasi fiskal tidak akan efektif. Dengan demikian, desentralisasi fiskal akan memberi keleluasan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal. Terdapat beberapa alasan untuk mempunyai sistem pemerintahan yang terdesentralisasi (Simanjuntak, 2001): (1) Representatif demokrasi, untuk memastikan hak seluruh warga negara untuk berpartisipasi secara langsung pada keputusan yang akan mempengaruhi daerah atau wilayah (2) Tidak dapat dipraktekkannya pembuatan keputusan yang tersentralisasi, adalah tidak realistis pada pemerintahan yang sentralistis untuk membuat keputusan mengenai semua pelayanan rakyat seluruh negara, terutama pada negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia (3) Pengetahuan lokal (lokal knowledge), mereka yang berada pada daerah lokal mempunyai pengetahuan yang lebih banyak mengenai kebutuhan lokal, prioritas, kondisi, dll (4)
Mobilitas sumber daya, mobilitas pada bantuan dan sumber daya dapat di fasilitasi dengan hubungan yang lebih erat di antara populasi dan pembuat kebijakan pada tingkat lokal (Pujati, jurnal).
2.1.3 Flypaper effect Flypaper effect merupakan suatu kondisi dimana pemerintah daerah merespon belanja daerahnya lebih banyak berasal dari transfer/grants yang bersifat tidak bersyarat (unconditional grants) daripada pendapatan aslidaerahnya sehingga akan menimbulkan pemborosan dalam belanja daerah. Istilah Flypaper effect dikembangkan oleh Dollerybdan Worthington (1995) yang menyatakan bahwa pemerintah daerah menggunakan pendapatan transfer (grants) untuk memperluas belanja publik daripada pendapatan daerah (lokal), baik secara langsung melalui rapat atau tidak langsung melalui pengurangan pajak. Akibatnya berkaitan dengan alasan politik dan birokratis, yaitu transfer untuk pemerintah daerah cenderung mengarah pada pengeluaran daerah lebih besar daripada pendapatan daerah (Shah 1997). Namun pada kenyataannya dana transfer ini menjadikan pemerintah daerah menjadi semakin bergabung karena dominanya dana transfer ini dalam pendapatan daerah. Pengaruh transfer pada kinerja fiskal pemerintah daerah dapat dijelaskan dari teori perilaku konsumen. Wilde (1968) mempelopori analisis transfer ke dalam format kendala anggaran dan kurva indiferensi. Analisis Wilde yang menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik. Layaknya seorang individu, masyarakat mempunyai preferensi seperti ditunjukkan oleh kurva indiferensi. Fenomena Flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull, 1998). Anomali yang timbul tersebut menghasilkan dua aliran pemikiran dari para pengamat ekonomi mengenai telaah Flypaper effect, yaitu:
1. Model Birokratik (bureaucratic model) Pemikiran birokratik berpandangan posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan keputusan publik dimana berusaha untuk memaksimalkan anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Model birokratik juga menegaskan Flypaper effectsebagai akibat dari perilaku birokrat yang leluasa untuk membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak (Shinta, 2009). 2. Model Ilusi Fiskal (fiscal illusion model) Model ini pertama kali dikemukakan oleh ekonomi Italia bernama Amilcare Puviani yang menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam suatu institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan (rekayasa) sehingga mampu mengarahkan pihak lain pada penilaian maupun tindakan tertentu. Maksud dari penjelasan di atas dalam konteks penelitian ini adalah pemerintah daerah melakukan rekayasa terhadap anggaran agar mampu mendorong masyarakat untuk memberikan kontribusi lebih besar dalam hal membayar pajak atau retribusi, dan juga mendorong pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana dalam jumlah yang lebih besar. Apabila terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan maupun pengeluaran maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal (Shinta, 2009).
2.1.3.1 Identikasi flypaper effect Asumsi penentuan terjadinya Flypaper effect pada penelitian ini fokus pada perbandingan pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah. Melo (2002) dan Venter (2007) menyatakan bahwa Flypaper effect terjadi apabila: 1. Pengaruh atau nilai koefisien DAU terhadap belanja daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah, dan nilai keduanya signifikan.
2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh atau respon PAD terhadap Belanja Daerah tidak signifikan, maka dapat disimpulkan terjadi Flypaper effect.
2.1.4 Anggaran Pemerintah Daerah 2.1.4.1 Anggaran Pemerintah Daerah Untuk melaksanakan hak dan kewajibannya serta melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat, pemerintah harus mempunyai suatu rencana yang matang untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Rencana-rencana tersebut yang disusun secara matang nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam setiap langkah pelaksanaan tugas negara. Oleh karena itu rencana-rencana pemerintah untuk melaksanakan keuangan negara perlu dibuat dan rencana tersebut dituangkan dalam bentuk anggaran (Ghozali, 1997). Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai oleh suatu organisasi dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam satuan moneter, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil perumusan strategi dan hasil perencanaan strategi yang telah dibuat. Anggaran merupakan managerial plan for action untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi (Mardiasno, 2004). Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Dalam organisasi sektor publik anggaran merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran sektor publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi
keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas. Menurut Mardiasmo (2004) secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran sektor publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan: 1. Berapa biaya-biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja). 2. Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah yang menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tinginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran serta menggambarkan juga perkiraan penerimaan tertentu dan sumber-sumber penerimaan daerah yang menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud (Halim, 2006). Penyusunan APBD yang perlu menjadi acuan (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 2005 dalam Kawedar, dkk 2008) sebagai berikut: 1. Transparansi dan akuntabilitas anggaran Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, transparansi anggaran merupakan hal yang penting, APBD merupakan salah satu sarana evaluasi kinerja pemerintah yang memberikan informasi mengenai tujuan,sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek. 2. Disiplin anggaran Anggaran yang disusun perlu diklasifikasikan dengan jelas agar tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Oleh karena itu, pemyusunan anggaran harus bersifat efisien, tepat guna, tepat waktu, dan dapat dipertanggung jawabkan. 3. Keadilan anggaran
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dikenakan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penggunaannya harus dialokasikan secara adil dan proposional agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat.
4. Efisien dan efektifitas anggaran Dana yang dihimpun dan digunakan untuk pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dengan melakukan efisiensi dan efektifitas. 5. Disusun dengan pendekatan kinerja APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kinerja dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja setiap organisasi kerja yang terkait. Menurut Safitri (2008) menyatakan bahwa anggaran tidak hanya sebagai rencana keuangan yang menetapkan biaya serta pendapatan pusat pertanggung jawaban dalam suatu perusahaan, tetapi juga merupakan alat bagi manajer tingkat atas untuk mengendalikan, mengkoordinasikan,
mengkomunikasikan,
mengevaluasi
kinerja,
dan
memotivasi
bawahannya. Anggaran merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah Proses penyusunan APBD secara keseluruhan berada di tangan Sekretaris Daerah yang bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan APBD. Sedangkan proses penyusunan belanja rutin disusun oleh Bagian Keuangan Pemerintah Daerah, proses
penyusunan penerimaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja pembangunan disusun oleh Badan Pembangunan Daerah (Bapeda) .
2.1.4.2 Konsep Anggaran Pemerintah Daerah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda, yang pada akhirnya pemerintah melakukan transfer dana. Transfer dana ini berupa Dana Perimbangan. Menurut Undangundang No. 33 Tahun 2004, Dana perimbangan adalah pengeluaran alokatif anggaran pemerintah pusat untuk daerah yang ditujukan untuk keperluan pemerintah daerah. Dana Perimbangan ini terdapat berbagai macam, yaitu DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DBH (Dana Bagi Hasil). Menurut Mardiasmo (2002) Dana Perimbangan itu ditunjukkan untuk: 1. Menjamin terciptanya perimbangan secara vertikal di
bidang keuangan antar tingkat
pemerintah; 2. Menjamin terciptanya perimbangan secara horizontal di bidang keuangan antar pemerintah di tingkat yang sama; dan 3. Menjamin terselenggaranya kegiatan-kegiatan tertentu di daerah yang sejalan dengan kepentingan nasional. Dana yang biasanya ditransfer dari pemerintah pusat adalah DAU.
2.1.4.3 Mekanisme Penyusunan Anggaran Daerah Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang dimaksud dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
ditetapkan dengan peraturan Daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Prinsip penyusunan APBD harus mengedepankan prinsip-prinsip good governance, sebagaimana dikemukakan Saragih (2003) bahwa prinsip-prinsip
dasar pengelolaan
keuangan publik adalah akuntabilitas, transparansi, responsivitas, efektif, efisiensi dan partisipatif. Samuel dalam Priya (2012) menyebutkan bahwa penganggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan, yakni (1) perumusan proposal anggaran, (2) pengesahan proposal anggaran, (3) pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum. Secara teknis proses penyusunan APBD diawalai dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang akan dijadikan dasar dalam penyusunan APBD. Kemudian Pemerintah Daerah menyusun Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk selanjutnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah PPAS telah disetujui DPRD, maka disusunlah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD.
2.1.5 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Salah satu undang-undang yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah adalah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tujuan suatu kerangka hubungan keuangan pusat-daerah adalah untuk menjelaskan tiga hal pokok, yaitu:
1.
Pembagian kekuasaan pemerintah dalam memungut dan membelanjakan sumber dana pemerintahan, yakni pembagian yang sesuai dengan pola umum desentralisasi;
2.
Pembagian yang memadai dari sumber-sumber dana secara keseluruhan umtuk membiayai
pelaksanaan fungsi-fungsi,
penyediaan pelayanan dan
pelaksanaan
pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah; dan 3.
Distribusi pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah satu dengan lainnya. Davey, sebagaimana dikutip Yuswanto (2010), bahwa hubungan keuangan antara pusat
dan daerah adalah menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatankegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai perimbangan antara berbagai pembagian, disamping itu antara potensi dan sumber daya masing-masing daerah dapat sesuai. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan fungsi pelayanan publik di daerah, pemerintah membutuhkan anggaran sebanding dengan kegiatan yang harus dijalankan. Kebutuhan keuangan daerah dapat diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah dan bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat. Namun kenyataanya dana bantuan (grants) dari pemerintah pusat dominasinya masih terlalu kuat bagi daerah di dalam pembiayaan pembangunan daerah. Hal ini dapat dilihat dari laporan realisasi APBD Tahun Anggaran 2012 yang mana penerimaan dari sektor dana beantuan/perimbangan. Dalam pandangan Ekanan (2010), selalu ada campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pemerintah yang dalam pecaturan ekonomi negaranya berperan semata-mata sebagai “wasit” atau “polisi”, yang hanya berfungsi membuat undang-undang dan peraturan, untuk kemudian menjadi pelerai jika timbul masalah. Tidak ada satu perekonomian pun, termasuk negara maju, bebas dari intervensi pemerintahannya. Dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dipilah menjadi empat macam, yakni:
1. Peran alokatif, yakni peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatnya bisa optimal dan mendukung efisiensi produksi; 2. Peran distributif, yakni peran pemerintah dalam mendistribusikan sumber daya, kesempatan dan hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar. 3. Peran stabilitas, peran pemerintah dalam memelihara stabilitas perekonomian dan memulihkannya jika berada dalam disequiblrium, dan; 4. Peran dinamisatif, peran pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih cepat tumbuh, berkembang dan maju.
2.1.6 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan asli daerah diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu sendiri. Pendapatan asli daerah adalah suatu pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah untuk menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan daerah (Sutrisno, 1984). Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 18, Pendapatan asli daerah selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi pengertian pendapatan asli daerah dapat dikatakan sebagai pendapatan rutin dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi-potensi sumber-sumber keuangan untuk membiayai tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 33 Tahun 2004 pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain. Pendapatan asli daerah memiliki tujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai mewujudkan asas desentralisasi. Adapun kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu:
1. Pajak Daerah Pajak merupakan iuran yang dapat dipaksakan kepada wajib pajak oleh pemerintah dengan balas jasa yang tidak langsung dapat ditunjuk. Pada pokoknya pajak memiliki dua peranan utama yaitu sebagai sumber penerimaan negara (fungi budget) dan sebagai alat untuk mengatur (fungsi regulator) (Suparmoko, 2002). Sedangkan menurut Mardiasmo (1997) mendefinisikan pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga daerah tersebut. Menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunna daerah.Berdasarkan kewenangan memungutnya pajak digolongkan menjadi dua yaitu: a. Pajak Daerah Provinsi, yang terdiri dari: 1) Pajak Kendaraan Bermotor; 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air bawah Tanah dan Air Permukaan; dan 5) Pajak Rokok. b. Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yang terdiri dari: 1) Pajak Hotel dan Restoran; 2) Pajak Hiburan;
3) Pajak Reklame; 4) Pajak Penerangan Jalan; 5) Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C; 6) Pajak Parkir; 7) Pajak Bumi dan Bangunan Pendesaan dan Perkotaan; dan 8) Pajak Sarang Burung Walet. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak derah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. 2.
Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
karena
seseorang atau badan hukum menggunakan jasa dan barang pemerintah yang langsung dapat ditunjuk (Sutrisno, 1984). Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2002 tentang retribusi daerah pasal 1 menyebutkan bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Pada dasarnya retribusi adalah pajak, tetapi merupakan jenis pajak khusus, karena ciriciri dan atau syarat-syarat tertentu tersebut antara lain: berdasarkan undang-undang atau peraturan yang sederajat harus disetor ke kas negara atau daerah dan tidak dapat dipaksakan. Batasan pengertian retribusi ini sendiri merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah karena seseorang dan atau badan hukum menggunakan barang dan jasa pemerintah yang langsung dapat ditunjuk. Retribusi dibagi atas tiga golongan, yaitu:
a. Retribusi Jasa Umum, terdiri dari: 1) Pelayanan Kesehatan; 2) Pelayanan Kebersihan dan Persampahan; 3) Penggantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil; 4) Pelayanan Pemakaman; 5) Pelayanan Parkir ditepi jalan umum; 6) Pelayanan Pasar; 7) Pelayanan Air Bersih; 8) Pengujian kendaraan bermotor; 9) Pengujian terhadap kapal perikanan. b. Retribusi Jasa Usaha, terdiri dari: 1) Pemakaian kekayaan daerah; 2) Pasar Grosir atau Pertokoan; 3) Pelayanan Terminal; 4) Pelayanan tempat khusus parkir; 5) Penginapan atau villa; 6) Rumah potong hewan; 7) Tempat rekreasi dan olah raga; dan 8) Pengelolaan air limbah. c. Retribusi perizinan tertentu, terdiri dari: 1) Ijin Penggunaan Tanah; 2) Ijin Mendirikan Bnagunan (IMB); 3) Ijin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 4) Ijin Gangguan; 5) Ijin Proyek; dan
6) Ijin Pengambilan Hasil Hutan. 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; antara lain bagian laba atas pemerataan modal pada perusahaan milik daerah (BUMD), bagian penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah (BUMN) dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 4. Penerimaan Lain-lain yang Sah; Adalah penerimaan yang diperoleh daerah kabupaten/kota di luar pajak, retribusi, bagian laba BUMD. Berikut beberapa contoh yang termasuk penerimaan lain-lain, seperti: a. Hasil penjualan aset milik pemerintah daerah dan jasa giro rekening pemerintah daerah kabupaten/kota; b. Penerimaan bunga deposito; c. Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; d. Penerimaan ganti rugi atas kehilangan/kerugian kekayan daerah; e. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; f. Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BULD); g. Pendapatan dari penyelenggaran Pendidikan dan Pelatihan; h. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; dan i. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/jasa oleh daerah.
2.1.7 Belanja Daerah Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah dirinci menurut urusan pemerintah daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek
belanja. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangan-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup: 1.
Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan Umum.
2.
Perumahan Rakyat, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan.
3.
Perhubungan, Lingkungan Hidup, Pertahanan.
4.
Kependudukan dan catatan sipil
5.
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
6.
Keluarga berencanadan keluarga sejahtera.
7.
Sosial, Ketenega kerjaan, Koperasi dan usaha kecil dan menengah.
8.
Penanaman modal, Kebudayaan, Kepemudaan dan olah raga
9.
Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri.
10. Otonomi daerah, Pemerintahan umum, Administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian. 11. Ketahanan pangan, Pemberdayaan masyarakat dan desa. 12. Statistik, Kearsipan, Komunikasi, dan Informatika, Perpustakaan. Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
1.
Pelayanan Umum, Ketertiban dan Ketentraman.
2.
Ekonomi, Lingkungan Hidup.
3.
Perumahan dan fasilitas umum
4.
Kesehatan, Pariwisata dan Budaya.
5.
Pendidikan, dan Perlindungan Sosial. Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan,
belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terakait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: 1.
Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2.
Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal Outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
3.
Belanja Subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan niaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu yang menghasilkan produk dan jasa pelayanan umum masyarakat agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak.
4.
Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan
daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. 5.
Belanja Bantuan Sosial, digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat dan partai politik.
6.
Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
7.
Belanja Bantuan Keuangan, digunakan untuk menganggarakan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan atau peningkatan kemampuan keuangan.
8.
Belanja Tidak Terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulanagn bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian tas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang
terdiri dari: 1.
Belanja Pegawai, digunakan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.
2.
Belanja Barang dan Jasa, digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.
3.
Belanja Modal, digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan (Warsito, dkk 2008).
2.1.8 Latar Belakang Pemberian Transfer Menurut Sidik et al. (2002) tujuan pemebrian transfer, yaitu: 1. Penerimaan Vertikal (vertical equalization): Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara. Sedangkan, pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak lokal. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, karena pemerintah pusat begitu mendominasi penerimaan pajak dan sumber daya alam daerah. Akibatnya, daerah dengan sumber daya alam yang melimpah tidak dapat sepenuhnya merasakan hasil kekayaan daerah mereka sendiri. Kondisi inilah yang akan diatasi dengan menggunakan Dana Perimbangan, khususnya Dana Bagi Hasil. Dengan dana perimbangan. daerah penghasil penerimaan akan mendapat porsi yang lebih besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing). 2.
Pemerataan Horizontal (Horizontal equalization) Kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi tergantung kondisi daerah bersangkutan. Hal ini berimplikasi pada kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah yang bersangkutan. Disamping itu, tiap daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang berbeda-beda tergantung pada jumlah penduduk, proporsi penduduk dan keadaan geografis daerah. Hal ini berimplikasi pada bervariasinya kebutuhan fiskal (fiscal need) di daerah-daerah bersangkutan. Selisih antara kebutuhan fiskal dan
kemampuan fiskal daerah disebut dengan celah fiskal (fiscal gap). Celah fiskal inilah yang akan ditutup dengan transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU. 3.
Menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah; Setiap daerah memiliki kemampuan yang bervariasi dalam menyediakan pelayanan umum untuk masyarakatnya, karena perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh tiap daerah. Sementara itu, standar pelayanan minimum untuk tiap pemerintah daerah di Indonesia sama dan harus tetap dijaga. Oleh karena itu pemerintah pusat harus menjamin standar pelayanan umum di tiap daerah dengan memberikan subsidi.
4.
Mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik; Setiap jenis pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah tertentu tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan saja. Misalnya, pendidikan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya antar daerah, dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Namun tanpa adanya imbalan (dalam bentuk pendapatan), pemerintah daerah biasanya enggan berinvestasi dalam hal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik dapat dipenuhi oleh daerah.
5.
Stabilisasi; Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan transfer sebagai stabilizer pada saat aktivitas ekonomi daerah lesu ataupun pada saat aktivitas ekonomi meningkat. Pada saat aktivitas perekonomian daerah sedang lesu, pemberian transfer dapat ditingkatkan, dan sebaliknya pada saat perekonomian meningkat pemberian transfer dapat dikurangi. Namun, dalam melakukan hal
ini diperlukan kecermatan dalam mengkalkulasi
penurunan dan peningkatan transfer, dan menetukan saat yang yang tepat dalam
melakukan penurunan dan peningkatan transfer tersebut agar tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi. Transfer pemerintah pusat kepada daerah dapat dibedakan menjadi bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grants). Grantssendiri dapat dikelompokkan menjadi block grant (besarnya ditentukan berdasarkan formula) dan special grant(ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidential dan mempunyai fungsi khusus). Dalam dana perimbangan yang diterapkan di Indonesia, Dana bagi hasil berperan sebagai revenue sharing, Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai block grant dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai special grants. 2.1.9 Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi (UU No 33 Tahun 2004). Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi dana umum bagi daerah yang potensi fiskalnya besarnamun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh aloksi dana umum yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi dana umum relatif besar. Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikuramgi dengan belanja pegawai. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut (Halim, 2009): 1.
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
2.
DAU untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum sebagaimana ditetapkan diatas.
3.
DAU untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
4.
Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia (Bambang Prakorsa,2004). Dalam UU No 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenagan
Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri DAU, DAK, dab DBH yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam, Disamping Dana Perimbangan tersebut, Pemerintah daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan pendapatan lain lain yang sah. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan potensi daerah. Dana Alokasi Umum digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.
2.1.10 Penelitian Terdahulu Selain berpedoman kepada teori-teori yang didapatkan pada literatur-literatur yang dijadikan acuan. penelitian ini juga melihat pada penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan. Sukriy dan Halim (2003) melakukan penelitian tentang “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Pemerintah Daerah di Pulau Jawa dan Bali”. Yang sebelumnya telah diteliti dengan mengahasilkan analisi bahwa ketika tidak digunakan tanpa
lag, pengaruh PAD terhadap belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh DAU terhadap belanja daerah justru lebih kuat daripada PAD dengan tujuan untuk mengetahui transfer DAU dan PAD terhadap belanja daerah. Hal ini berarti terjadi flypaper effect dalam respon Pemerintah Daerah terhadap DAU dan PAD. Haryo Kuncoro (2007) meneliti tentang “fenomena flypaper effect pada kinerja keuangan pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia”. Studi ini berbeda dengan studi-studi sebelumnya di Indonesia setidaknya dalam tiga hal. Pertama, studi ini mengklarifikasi keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya pemerintah daerah dalam menggali PAD. Kedua, dari sisi belanja adalah dengan mengganti sensitivitas belanja pemerintah daerah dalam merespon perolehan transfer. Ketiga, kedua aspek tersebut diatas dirangkum ke dalam satu kerangka kerja dengan memperhatikan ekternalitas fiskal (budget spillover) baik sisi penerimaan dan bealnja yang muncul secara timbal balik antara daerah. Afrizawati (2012) dalam penelitiannya mengenai “Analisis flypaper effect pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan” hasilnyamenujukkan bahwa pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih kecil daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi atau tidaknya flypaper effect. Hal ini membuktikan bahwa terjadi tidakflypaper effect pada belanja daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Indih (2011) dalam penelitiannya menangani “Analisis flypaper effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)”. Menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berhubungan dalam efisiensi Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sedangkan Pendaptan Asli Daerah (PAD) tidak mempunyai hubungan yang signifikan dalam efisiensi Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), perbandingan anatara PAD dan DAU berhubungan dalam efisiensi Kinerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jika dilihat lebih lanjut tingkat ketergantunagn kinerja dari Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lebih dominan terhadap DAU dan PAD. Maimunah (2006) menyatakan bahwa flypaper effect disebut suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak (lebih boros) dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD. Abdul Halim (2004) menyatakan bahwa DAU dan PAD berpengaruh terhadap Belanja Pemerintah Daerah.Kesit Bambang Prakosa (2004) menyatakan bahwa secara empiris membuktikan bahwa besarnya belanja daerah di pengaruhi oleh jumlah DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Dalam model prediksi belanja daerah. daya prediksi DAU terhadap belanja daerah lebih tinggi dibanding daya prediksi PAD. Penelitian ini dilakukan di DIY dan Jawa Tengah. Suyanto (2012) dalam penelitiannya “flypaper effect Theorydalam Implementasi Kebijakan Desentralisasi Fiskal” menyatakan bahwa kebijakan dana desentralisasi membuat daerah otonom semakin tergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat untuk membiayai pengeluarannya. Disisi lain, kebijakan dana desentralisasi yang ditransfer mendorong timbulnya flypaper effect sehingga peningkatan dana desentralisasi yang ditransfer dari pemerintah pusat telah mendorong peningkatan pengeluaran daerah otonom secara lebih besar dibandingkan peningkatan pada kapasitas fiskal daerah.
2.2
Rerangka Pemikiran PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain Pendapatan yang Sah. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi besar-kecilnya transfer yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), yang termasuk dalam bagian Dana Perimbangan yang mempengaruhi Anggaran Belanja Daerah. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari sumber-sumber daya yang terdapat di daerah tersebut juga akan mempengaruhi Anggaran Belanja Daerah tersebut. Apabila dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah digunakan lebih besar daripada penerimaan dari daerah tersebut maka akan terjadi fenomena flypaper effect. Fenomena ini mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah. Terjadinya flypaper effect dalam beberapa kajian dikelompokkan dalam 2 (dua) aliran pemikiran yaitu model birokratik dan ilusi fiskal. Model birokratik menelaah flypaper effectdari sudut pandang dari birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerah. Dalam birokrat pemerintah daerah dan masyarakat memandang bahwa transfer yang diterima pada saat yang sedang berjalan tetap memiliki nilai sekarang (present value) yang lebih tinggi daripada jumlah transfer yang diterima pada waktu-waktu yang akan datang meskipun dengan nilai sekarang yang lebih tinggi.
2.3
Perumusan Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: 2.3.1 Pengaruh PAD dan DAU Terhadap Belanja Daerah Penilitian mengenai pengaruh pendapatan daerah terhadap pengeluaran daerah sudah pernah dilakukan antara lain oleh Aziz et al. (2000), Blackley (1986), Joulfaian dan
Mokeerjee (1990), Legenzi dan Milas (2001), Von Fursternberg et al. (dalam Sukriy dan Halim, 2003). Menunjukkan dalam beberapa penelitian hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah mempengaruhi anggaran belanja Pemerintah daerah disebut dengan taxspend hypotesis. Hipotesis ini mengandung makna bahwa kebijakan Pemerintah Daerah dalam menganggarkan belanja daerah disesuaikan dengan pendapatan yang diterima. Namun di sisi lain, transfer yang diterima dari pemerintah pusat juga turut mempengaruhi besarnya anggaran belanja daerah yang akan dianggarkan oleh Pemerintah Daerah. Legrensi dan Milas (2001) dalam Maimunah (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel municipalitiesdi Italia dan memperoleh hasil bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja Daerah. Kebijakan-kebijakan belanja daerah jangka pendek yang dibuat Pemerintah daerah sangat bergantung pada transfer yang diterima. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H1: DAU dan PAD memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah.
2.3.2 Flypaper effect Oates (1999) dalam Sukriy dan Halim (2002) menyatakan bahwa beberapa penelitian mengenai perilaku Pemerintah Daerah dalam merespon transfer Pemerintah Pusat yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa respon Pemerintah Daerah berbeda untuk transfer dan pendapatan daerahnya sendiri. Ketika respon Pemerintah Daerah lebih besar untuk transfer dibandingkan pendapatan daerahnya sendiri maka hal ini disebut flypaper effect. Penelitian yang dilakukan oleh Maimunah (2006) dengan mengambil sampel pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Hasilnya menunjukkan bahwa secara terpisah maupun serempak DAU dan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah, baik tanpa lag. Ketika di regres secara serempak baik dengan maupun tanpa lag. Pengaruh DAU
terhadap BD lebih kuat daripada pengaruh PAD. Ini berarti telah terjadi flypaper effectpada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera (Maimunah, 2006). Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, maka hipotesis untuk mengetahui ada tidaknya flypaper effectadalah: H2 : Pengaruh DAUt terhadap BDt lebih besar daripada pengaruh PADt terhadap BDt. H3 : Pengaruh DAUt-1 terhadap BDt lebih besar daripada pengaruh PADt-1 terhadap BDt 2.3.3 Flypaper Effect Pada Daerah Kaya dan Miskin Pada penelitian yang dilakukan oleh Maimunah (2006) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PADnya tinggi maupun pada daerah yang PADnya rendah. Ini berarti flypaper effect yang terjadi pada daerah miskin PAD. Atau dengan kata lain, flypaper effect tidak hanya terjadi pada daerah miskin PAD, namun juga daerah kaya PAD. Berdasarkan pada hal tersebut maka penulis menarik hipotesis sebagai berikut H4 : Daerah dengan PAD rendah dan PAD tinggi mengalamiflypaper effect