BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Pajak 1. Definisi Pajak Sejak pajak mulai diperhitungkan sebagai salah satu pemasukan paling penting bagi sebuah negara, banyak ahli ekonomi mengemukakan pendapatnya tentang definisi pajak. Berikut disajikan sejumlah pendapat para ahli mengenai pajak : a. Definisi pajak menurut Dr. N. J. Feldmann Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. b. Definisi pajak menurut Prof.Dr. Rochmat Soemitro, S.H. Pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: a. Iuran dari rayat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2. Fungsi Pajak a. Fungsi budgetair Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. b. Fungsi Regularend (Pengatur) Artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuantujuan tertentu di luar bidang keuangan.
2.1.2 Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak 1. Subjek Pajak Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan
Pajak Penghasilan. Subjek Pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008, Subjek Pajak dikelompokkan sebagai berikut: a. Subjek Pajak orang pribadi. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. b. Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak Pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. c. Subjek Pajak badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nakma dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. d. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT). Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi uang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebigh dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
2.1.3 Objek Pajak Penghasilan Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 1. Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak Berdasar Pasal 4 UU Nomor 36 Tahun 2008, penghasilan yang termasuk Objek Pajak adalah: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aset. n. Premiasuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. s. Surplus Bank Indonesia. 2. Penghasilan Tidak Termasuk Objek Pajak Pengecualian objek pajak (bukan merupakan Objek Pajak) diatur dalam UU No.36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3) , sebagai berikut: a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. c. Warisan. d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dariWajib Pajak atau Pemerintah.
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BadanUsaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat sebagai berikut: 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan 2) Bagi perseroan terbatas, BUMN, BUMD yang menerima dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan Modal Ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan; 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuanbgan. n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.1.4 Pengurangan Penghasilan 1. Prinsip Taxable dan Deductible Prinsip Taxable dan Deductible merupakan prinsip yang lazim dipakai dalam perencanaan pajak yang pada umumnya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan atau sebaliknya mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak, dengan konsekuensi terjadinya
perubahan pajak
terutang akibat pengubahan tersebut. (Zain, 2008:75). 2. Deductible Expense Berdasar Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk; a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antaralain: 1) Biayapembelian bahan; 2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3) Bunga, sewa, danroyalti; 4) Biayaperjalanan; 5) Biaya pengolahan limbah; 6) Premi asuransi;
7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; 8) Biaya administrasi; dan 9) Pajak kecuali pajak penghasilan; b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal11a; c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan; d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. Kerugian selisih kurs matauangasing; f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia; g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat; 1) Telah dibebankan sebagai biayadalam laporan laba rugi komersial; 2) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada direktorat jenderal pajak; dan 3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang
menangani piutang negara; atau
adanya perjanjian pembebasan
tertulis
mengenai
penghapusan
piutang/
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utangtertentu; 4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah. l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; dan m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah. 3. Non Deductible Expense Untuk menentukan besarnya PKPbagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dengan biaya–biaya sesuai dengan Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008. Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: a. Pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan danacadangan, kecuali : 1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan pajak piutang; 2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial; 3) Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan; 4) Cadangan biayareklamasi untuk usaha pertambangan; 5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premiter sebut
dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk naturadan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. Harta
yang
dihibahkan,
bantuan
atau
sumbangan,
dan
warisan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf I sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah; h. Pajak penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2.1.5
Penghasilan Tidak Kena Pajak Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan jumlah penghasilan
tertentu yang tidak dikenakan pajak. Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak kena Pajak. Penyesuaian PTKP dapat dilihat pada table berikut. Tabel 2.1 Besaran PTKP (dalam rupiah) Keterangan
WP Sendiri Tambahan untuk WP kawin Tambahan untuk penghasilan istri digabung Tanggungan (maks.3org)
Pasal 7 UU No.17 Tahun 2000 (mulai berlaku 1 Januari 2001) 2.880.000
PMK No.564/KM K03/2004 (mulai berlaku 1 Januari 2005) 12.000.000
PMK No.137/PM K.03/2005 (mulai berlaku 1 januari 2006) 13.200.000
Pasal 7 UU No.36 Tahun 2008 (mulai berlaku 1 Januari 2009) 15.840.000
PMK 162/PMK.0 11/2012 (mulai berlaku 1 Januari 2013) 24.300.000
1.440.000
1.200.000
1.200.000
1.320.000
2.025.000
2.880.000
12.000.000
13.200.000
15.840.000
24.300.000
1.440.000
1.200.000
1.200.000
1.320.000
2.025.000
2.1.6
Menghitung Pajak Penghasilan Pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan mengalkikan tarif
tertentu terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak digunakan sebagai dasar mjenghitung PPh tersebut dihitung dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada jenis Wajib Pajak. Secara umum, pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan formula sebagai berikut: PPh Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak 1. Tarif Pajak Tarif pajak merupakan presentase tertentu menghitung
besarnya
PPh.
Tarif
PPh
yang
yang digunakan untuk berlaku
di
Indonesia
dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum sesuai Pasal 17 UU No.17 Tahun 1983 (sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah dalam UU No. 36 Tahun 2008) dan tarif lainnya. Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dibagi menjadi dua, yaitu Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dan Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk usaha tetap. a. Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh), yaitu:
Tabel 2.2 Tarif PPh untuk WP Orang Pribadi dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
5% (lima persen)
Di atas Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
15% (lima belas persen)
Di atas Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
25% (dua puluh lima persen)
Di atas Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
30% (tiga puluh persen)
b. Tarif PPh untuk Wajib Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh) adalah 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) berlaku mulai Tahun Pajak 2010. (Pasal 17 ayat (2a) UU PPh). Tarif pajak untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah kleseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif untuk Wajib Pajak Badan pada umumnya. (Pasal 17 (2b) UU PPh).
Perhitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Jika Peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 maka perhitungan PPhterutang yaitu sebagai berikut: PPh Terutang = 50% X 25% X Seluruh Penghasilan Kena Pajak 2. Jika Peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000 penghitungan PPh terutangnya adalah sebagai berikut : (50% X 25% ) X Penghasilan PPh Terutang =
25% X Penghasilan
Kena Pajak dari bagian Peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
kena Pajak dari bagian +
peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
a. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas yaitu : Rp 4.800.000 Peredaran Bruto
X Penghasilan Kena Pajak
b. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.
2.1.7
Metode Perhitungan PPh Pasal 21 Terdapat 3 macam metode pemotongan pajak PPh Pasal 21, yaitu
1. Net Method Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya. 2. Gross Method Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya. 3. Gross-Up Method Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan. Gross-up method diformulasikan untuk menyamakan jumlah pajak yang akan dibayar denganb tunjangan pajak yang diberikan perusahaan terhadap karyawannya. a. Rumus metode Gross-Up Terdapat 4 lapisan dalam perhitungan gross-up menurut pasal 17 UU PPh No.36 Tahun 2008 : 1) Lapisan pertama PKP Rp 0,0 s/d Rp 50.000.000 Tarif pajak penghasilan 5% dan tidak memiliki komponen pengurang Tunjangan PPh = (PKP x 5%) 0,95 2) Lapisan kedua PKP Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 Tunjangan PPh = (PKPx15%) – Rp 5.000.000 0,85
3) Lapisan ketiga PKP Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000 Tunjangan PPh = (PKPx25%) – Rp 30.000.000 0,75 4) Lapisan keempat PKP lebih dari Rp 500.000.000 Tunjangan PPh = (PKP x 30%) – Rp 55.000.000 0,70
2.1.8
Manajemen Pajak Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan
dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (Sophar Lumbantoruan, 1996). Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut . a. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar b. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsinya yaitu : a. Perencanaan pajak Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak.
b. Pelaksanaan kewajiban perpajakan Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementsikannya baik secara formal maupun material. c. Pengendalian pajak Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Hal terpenting dalam pengendalian pajak adalah pemeriksaan pembayaran pajak.
2.1.9
Perencanaan Pajak (Tax Planning) Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan
perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak: 1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Bila suatu perencanaan pajak dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, bagi Wajib Pajak merupakan risiko dan yang sangat berbahaya dan justru mengancam keberhasilan perecanaan pajak tersebut. 2. Secara bisnis masuk akal Karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan, baik jangka panjang
maupun jangka pendek, maka perencanaan pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri. 3. Bukti-bukti pendukungnya memadai, misalnya dukungan perjanjian, faktur dan juga perlakuan akuntansinya. 1.
Motivasi Perencanaan Pajak Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu : a. Kebijakan Perpajakan Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak. b. Jenis Pajak yang akan dipungut : Dalam sistem perpajakan modern terdapat berbagai jenis pajak yang harus menjadi pertimbangan utama, baik berupa pajak langsung maupun pajak tidak langsung dan cukai sebagai berikut : 1) Pajak Penghasilan Badan atau Orang Pribadi, 2) Pajak atas keuntungan modal ( capital gains ) 3) Withholding tax atas gaji,dividen,sewa,bunga, royalti, dan lain-lain, 4) Pajak atas impor, ekspor, serta bea masuk, 5) Pajak atas undian/hadiah, 6) Bea materai 7) Capital transfer taxes/transfer duties,
8) Lisensi usaha dan pajak perdagangan lainnya. c. Subjek Pajak Adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran deviden badan usaha kepada pemegang saham perseorangan yang menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain.Disamping itu ada pertimbangan untuk menunda pembayaran deviden dengan cara meningkatkan jumlah laba yang ditahan. Bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan penundanaan pembayaran pajak.
d. Objek pajak Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah.Sebagai contoh, transaksi modal perseroan atas dividend dan keuntungan modal; di mana atas pembyaran dividen kepada pemegang saham perorangan diterapkan tariff progresif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, sedangkan keuntungan modal dikenakan pajak dengan tariff tetap sebesar 0,1% atau 0,6% dari jumlah bruto nilai penjualan saham. Karena objek pajak merupakan basis perhitungan (tax bases) besarnya pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih (karena bisa mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (agar tidak harus membayar sanksi yang berarti pemborosan dana). a. Tarif pajak Adanya penerapan scheduler taxation tarif yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak berusaha sedapat mungkin dikenakan tarif yang paling rendah. Barry Bracewell dan Milnes (1980), mengatakan : “Semakin besar beban pajak, semakin kuat motif, dan semakin luas ruang lingkup terjadinya penghindaranpajak, karena Wajib Pajak dapat menghindari tarif pajak yang lebih tinggi namun tetap terutang tarif pajak yang lebih rendah.”
b. Prosedur pembayaran pajak Sistem self-assessment system dan sistem pembayaran mengharuskan perencana pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik. Saat ini system pemungutan withholding tax di Indonesia makin ditingkatkan penerapannya. c. Undang-undang Perpajakan Kenyataan menunjukkan bahwa di manapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya (Peraturan
Pemerintah,
selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain Keputusan
Presiden,
Kepurusan
Menteri
Keuangan, dan Kepurusan Dirjen Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan mencapai tujuan yang lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk perencanaan pajak yang baik. d. Administrasi Perpajakan Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return), karena pajak ikut memengaruhi pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang oleh kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah, untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama
(karena
pemerintah
mempunyai
tujuan
lain
tertentu)
dengan
memanfaatkan antara lain sebagai berikut. 1) Perbedaan tarif pajak (tax rates) 2) Perbedaan perlakuan atas objek sebagai dasar pengenaan pajak (tax base) 3) Loopholes, shelters, havens 2.
Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini. a. Menganalisis informasi (basis data) yang ada. Hal ini hanya biasa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secacar total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien. b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakan-tindakan berikut: 1) Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau hubungan internasional. 2) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari negara tersebut. c. Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
d. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak. Perlu dilakukannya evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. e. Mencari kelemahan, kemudian memperbaiki rencana pajak. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mugkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan/perundang-undangan. Tindakan perubahan (up to date planning) harus tetap dijalankan walaupun
diperlukan
penambahan
biaya
atau
kemungkinan
keberhasilannya sangat kecil. Sepanjang penghematan pajak masih besar, rencana tersebut harus tetap dijalankan, karena bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal. Pembuatan suatu rencana sebaiknya disertai dengan gambaran atau perkiraan berapa peluang kesuksesan dan berapa laba setelah pajak yang akan diperoleh jika berhasil maupun kerugian jika terjadi kegagalan. f. Memutakhirkan rencana pajak. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
2.1.10 Perencanaan Pajak untuk Pajak Penghasilan Sebelum melakukan strategi perencanaan pajak, terlebih dahulu harus dipahami adanya perbedaan antara laba akutansi dan penghasilan kena pajak, perbedaan disini baik dalam pengakuan pendapatan maupun biaya. 1. Laba Akuntansi versus Penghasilan Kena Pajak a. Laba Akuntansi Laba akuntansi (accounting income) atau disebut juga laba komersial adalah pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis. Laba akuntansi dihitung berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, di Indonesia diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK). b. Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak atau PKP (taxable income) merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, minimal ada lima komponen yang perlu diperhatikan sebagai berikut. 1) Penghasilan yang menjadi objek. 2) Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. 3) Penghasilan yang pajaknya secara final. 4) Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 5) Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
2.1.11 Strategi untuk Mengefisienkan Beban PPh Badan 1. Pemilihan Alternatif Dasar Pembukuan Seperti halnya akuntans dasar pembukuan yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis). Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya hak dan kewajiban, meskipun uangnya belum diterima atau dibayar. Sedangkan pada basis kas, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Basis kas yang dimodifikasi dalam rangka menghitung PPh Badan sebagai berikut: a.
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang nontunai.
b.
Biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar.
c.
Dalam perolehan harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya yang boleh dibebankan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
Jadi, perbedaan antara basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi menurut versi perpajakan terletak pada biaya administrasi dan umum. Pada basis akrual, biaya administrasi dan umum dibebankan pada saat timbulnya kewajiban; sedangkan pada basis kas, biaya tersebut baru dibebankan pada
saat terjadinya pembayaran. Dengan demikian, dari sisi efisiensi beban pajak lebih menguntungkan memilih basis akrual. 2. Pengelolaan
Transaksi
yang
Berhubungan
dengan
Pemberian
Kesejahteraan Karyawan Perusahaan memiliki banyak peluang untuk melakukan efisiensi PPh Badan terhadap biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan yang sangat tergantung dari kondisi perusahaan sebagai berikut : a. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp100.000.000) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mugkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. b. Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final, sebaiknya memberikan kesejahteran karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk objek PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak memengaruhi besarnya PPh Badan karena PPh Badan Final dihitung dari presentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. c. Bagi peusahaan yang masih rugi, pemberi natura dan kenikmaan akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
3. Pemilihan Metode Penilaian Persediaan Penentuan
metode
penilaian
persediaa
cukup
penting
dalam
perencanaan pajak terutama untuk perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan perdagangan. Untuk efisiensi pajak, terutama dalam kondisi perekonomian yang inflasi dimana harga barang cenderung naik, maka metode rata-rata akan menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih tinggi dibanding dengan metode FIFO. Harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih ecil sehingga penghasilan kena pajak akan menjadi lebih kecil. 4. Pemilihan Metode Penyusutan Aset Tetap atas Aset Tak Berwujud Penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tak berwujud yang diakui oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri atas dua metode yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun. a. Terhadap aktiva yang termasuk kelompok I s.d IV, wajib pajak diperkenankan untuk memilih antara metode garis lurus (straight line method) atau metode saldo menurun (decline balance method). b. Terhadap aktiva kelompok bangunan, wajib pajak harus menerapkan metode garis lurus. c. Penggunaan metode penyusutan harus dilakukan secara taat asas. d. Masa mafaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta Berwujud Non Bangunan Kelompok 1 kelompok 2 kelompok 3 kelompok 4 Bangunan Permanen Non Permanen
Tabel 2. 3 Tarif Penyusutan Tarif Garis Lurus Masa Manfaat
Tarif Saldo Menurun
4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun
25% 12,5% 6,25% 5%
50% 25% 12,5% 10%
20 Tahun 10 Tahun
5% 10%
-
Untuk efisiensi beban pajak, sebelum menentukan metode mana yang akan digunakan, terlebih dahulu seorang perencanaan pajak (tax planner) harus melihat kondisi dari perusahaan yang bersangkutan. Jika kondisi perusahaan adalah laba dan besarnya penghasilan kena pajak sudah mencapai tarif pajak yang tinggi atau tertinggi, maka metode saldo menurun akan lebih menguntungkan. Sebaliknya jika kondisi perusahaan rugi maka lebih baik memilih metode garis lurus. 5. Transaksi yang berkaitan dengan perusahaan sebagai Pemungut Pajak Selain sebagai pembayar pajak, perusahaan juga sebagai pemotong pajak tehadap pihak ketiga (withholding tax). Masalah yang sering kali timbul adalah pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila perusahaan tidak memotong withholding tax (misalnya PPh pasal 23 atas jasa konsultan), maka perusahaan akan menanggung akibatnya jika dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena perusahaan akan dikenakan kewajiban untuk
membayar
withholding
taxdimaksud
ditambah
denda
bunga
atas
keterlambatan penyetoran sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pokok pajak. Untuk mengatasinya, perusahaan sebaiknya me-mark up nilai transaksi supaya nilai tersebut sudah termasuk pajak, karena jika perusahaan hanya membayar PPh Pasal 23 maka PPh yang dibayar oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya. 6. Optimalisasi Pengkreditan Pajak Penghasilan yang Telah Dibayar Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan selain angsuran masa bulanan (PPh Pasal 25) atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah Pajak Penghasilan yang dibayar maupun yang dipungut oleh pihak lain yang bersifat tidak final. 7. Rekonsiliasi SPT Sebaiknya perusahaan melakukan rekonsiliasi secara periodik antara rekening-rekening yang ada di SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal 21, dan SPT PPN. Jika ada perbedaan segera dapat dilakukan koreksi, hal ini untuk menghindari pengenaan sanksi. a. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ini terdiri atas gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan dan penghasilan lain yang
diberikan kepada pihak perorangan lainnya yang menjadi objek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama antara yang ada dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21. b. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP untuk mengecek apakah jumlah omzet penjualan dalam SPT PPh Badan dengan jumlah omzet menurut SPT PPN bulan Desember tahun yang bersangkutan sudah sama. Perlu diperhatikan mengapa omzet oenjualan antara yang tercantum dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPN bisa berbeda, dikarenakan hal-hal berikut ini: 1) Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan lebih besar dari omzet penjualan SPT PPN karena penjualan untuk SPT PPh Badan menggunakan asas basis akrual sehingga atas penjualan kredit, jika barang telah diserahkan maka penjualannya sudah dilaporkan; sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit baru dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan setelah penyerahan barang. 2) Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh bisa lebih kecil dari omzet penjualan di SPT PPN karena uang muka atas penjualan yang barangnya belum diserahkan sudah harus dibuat faktur pajaknya, sementara penjualan tersebut bar dilaporkan setelah penyerahan barang.
2.1.12 Koreksi Fiskal Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal. Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedan tersebut dapat berupa : 1. Beda Tetap Terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya yang sesuai akuntansi secara komersial. 2. Beda Waktu Terjadi karena adanya perbedaan pengakuan besarnya waktu secara akuntansi komersial dibandingkan dengan secaa fiskal, misalnya dalam hal : a. Waktu pengakuan dari aktiva yang akan dilakukan penyusutan atau amortisasi b. Waktu diperolehnya penghasilan c. Waktu diakuinya biaya Perbedaan adanya koreksi fiskal dapat menimbulkan koreksi yang dapat berupa: a. Koreksi Positif Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakui dalam laporan laba-rugi secara komersial menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak.
b. Koreksi Negatif Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba-rugi secara komersial sehingga menjadi semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak.
2.2
Penelitian Terdahulu Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini merujuk pada penelitian
sebelumnya. Lourens Silitonga (2013) tentang penerapan tax planning atas pajak penghasilan badan pada CV. Andi Offset Cabang Manado. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perencanaan pajak untuk mengefisienkan pembayaran pajak pada CV Andi Offset Cabang Manado berdasarkan peraturan perpajakan tahun 2008. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah pada perusahaan tempat dilakukaanya penelitian.
2.3 Rerangka Pemikiran
Rekonsiliasi Fiskal Laporan Laba Rugi PT. Multi Clean Jaya Lestari
Menggunakan Tax Planning (Pethitungan PPh 21 pegawai tetap dengan metode gross-up)
Tidak menggunakan tax planning (Perhitungan PPh 21 pegawai tetap menggunakan metode net basis )
Laporan Laba Rugi (metode gross-up)
Laporan Laba Rugi (metode net basis)
Pengaruh efisiensi terhadap perhitungan PPh Badan Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran