BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1 Tinjauan teoretis 2.1.1 Pengertian Critical Success Factors secara umum Critical Success Factors merupakan faktor penting bagi perusahaan sebagai penunjang dalam mencapai keberhasilan. Sehingga dalam usahanya untuk mempertahankan
keberhasilan
jangka
panjangnya,
maka
yayasan
harus
menentukan strategi bersaingnya, yaitu berupa seperangkat kebijakan, prosedur yang mengarah pada keberhasilan bisnis dalam jangka panjang. Menurut Mahsun (2006:71) Critical Success Factors (Faktor Keberhasilan Utama) adalah suatu area yang mengidentifikasi kesuksesan kinerja unit kerja organisasi. Area CSF ini menggambarkan preferensi manajerial dengan memperhatikan variabel-variabel kunci finansial dan non finansial pada kondisi tertentu. Suatu CSF dapat digunakan sebagai indikator kinerja atau masukan dalam menetapkan indikator kinerja. Identifikasi terhadap CSF dapat dilakukan terhadap berbagai faktor misalnya, potensi yang dimiliki organisasi, kesempatan, keunggulan, tantangan, kapasitas sumber daya, dana, sarana-prasarana, regulasi atau kebijakan organisasi, dan sebagainya. Untuk memperoleh CSF yang tepat dan relevan, CSF harus secara konsisten mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi. Setiap organisasi mempunyai CSF yang berbeda-beda karena CSF yang berbeda-beda sangat tergantung pada unsur-unsur apa dari organisasi
tersebut yang dapat menentukan keberhasilan atau dari organisasi tersebut yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian tujuan. Dari definisi-definisi diatas, maka critical success factors dapat diartikan sebagai variabel-variabel penting dalam lingkungan usaha yang mempengaruhi kesuksesan perusahaan dalam mencapai tujuannya sehingga perlu diperhatikan oleh pihak manajemen. Menurut Ward dan Peppard (2002), manfaat dari analisa CFS adalah sebagai berikut : 1.
Teknik yang paling efektif Analisa CSF merupakan teknik yang paling efektif yang melibatkan
manajemen dalam mengembangkan strategi sistem informasi. Secara kesuluruhan, CSF telah mengakar atau terikat kuat pada bisnis dan memberikan solusi yang menjanjikan bagi para manajer dalam menggunakan sistem informasi yang disesuaikan dengan pencapaian tujuan perusahaan melalui faktor-faktor penentu keberhasilan. 2.
Berkolerasi dengan tujuan pembuatan Sistem Informasi Analisa CSF menghubungkan sebuah Sistem Informasi
yang akan
diimplementasikan dengan tujuan pembuatan Sistem Informasi itu sendiri. Dengan demikian, Sistem Informasi dapat dibuat sejalan dengan strategi bisnis perusahaan 3.
Perantara Informasi yang baik Dalam wawancara dengan manajemen senior, analisa CSF dapat menjadi
perantara yang baik dalam mengetahui informasi apa yang diperlukan oleh setiap
individu yang memiliki keterkaitan dengan bisnis atau proyek yang sedang dilakukan. 4.
Prioritas potensi investasi modal Dengan menyediakan suatu hubungan antara kebutuhan informasi dengan
CSF, CSF memegang peranan penting dalam memprioritaskan investasi modal yang potensial. 5.
Mengoptimalkan konsentrasi penyelesaian masalah-masalah penting Pada saat strategi bisnis tidak berjalan sesuai dengan tujuan perusahaan,
analisa CSF membantu memfokuskan manajemen untuk menyelesaikan masalahmasalah tertentu yang penting dan memiliki prioritas paling tinggi untuk diselesaikan. 6.
Mempermudah Identifikasi proses Apabila analisa CSF digunakan sejalan dengan Analisa Value Chain, analisa
CSF sangat berguna untuk mengidentifikasi proses yang paling kritis, serta memberikan fokus pada pencapaian tujuan melalui aksi-aksi atau proses yang paling tepat untuk dilaksanakan. 7.
Memberikan Gambaran lengkap tentang informasi Memungkinkan pihak manajemen puncak untuk memperoleh gambaran yang
lengkap mengenai sasaran, fungsi, informasi, faktor sukses kritikal, dan struktur organisasi dari perusahaan. 2.1.2 Karakteristik Critical Success Factors Critical success factors bersifat strategis dan generik, namun diminati oleh para pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979).
Critical Factor Success diidentifikasi, setelah visi, misi, dan obyektif bisnis ditentukan. Dalam Melakukan identifikasi critical success factors perlu dibuatkan pertimbangan faktor – faktor mana yang penting
dan kurang penting untuk
menunjang keberhasilan tujuan yang telah ditetapkan. Untuk memutuskan faktor apa yang sangat menujang keberhasilan tersebut, manajer biasanya lebih banyak memutuskan berdasarkan pengalaman yang diperoleh selama mengelola yayasan, agar tidak terjadi kesalahan dalam pengidentifikasi atau penentuan faktor kunci keberhasilan tersebut yang nantinya akan merugikan yayasan. Maka manajer harus mempelajari, mengevaluasi, dan menganalisis semua kenyataan yang terkait dengan aktivitas yayasan sehingga mampu bertahan atau bersaing dengan yayasan lain. Menurut Mardiasmo (2002 : 124) kunci sukses faktor memiliki beberapa karakteristik, antara lain : a.
Menjelaskan faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan organisasi. Dengan menjelaskan atau mengetahui secara jelas faktor – faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan suatu unit bisnis atau organisasi dalam bertahan atau bersaing maka dapat mempermudah para manajer dalam mengambil keputusan dalam menentukan faktor – faktor mana yang perlu diperhatikan secara khusus dimana faktor – faktor yang tidak begitu membutuhkan perhatian secara khusus.
b.
Sangat Volatile dan dapat berubah dengan cepat. Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu unit bisnis sering kali mudah berubah secara cepat dan biasanya perubahannya
tidak dapat dikendalikan oleh manajer, sehingga keadaan tersebut diperlukan penanganan yang cepat. Hal ini biasanya dapat kita lihat dalam perubahan perilaku donatur dan perilaku pesaing. c.
Perubahannya tidak dapat diprediksi. Perubahan yang terjadi merupakan salah satu faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu unit bisnis atau organisasi. Oleh karena itu yayasan harus siap dengan segala perubahan yang terjadi.
d.
Jika terjadi perubahan perlu diambil tindakan segera. Pada kondisi seperti ini ketelitian dan ketepatan manajer dalam membuat suatu keputusan sangat dibutuhkan, karena keputusan yang dapat diambil oleh manajer sangat berdampak bagi kelancaran operasional dalam suatu unit bisnis, dan critical success factors tersebut harus secara konsisten mengikuti perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar unit bisnis.
e.
Variabel tersebut dapat diukur, baik secara langsung maupun melalui ukuran antara (Surrogate). Keberhasilan variabel dalam critical success factors diukur oleh yayasan dengan cara mengukur pengaruh variabel tersebut terhadap kesuksesan yayasan.
2.1.3 Identifikasi Critical Success Factors Menurut Grant (2000:75) untuk mengidentifikasi critical success factors perusahaan atau organisasi harus memenuhi dua kriteria, yang pertama organisasi tersebut harus mengetahui keinginan donatur dan yang kedua suatu organisasi tersebut dapat bertahan terhadap persaingan. Sementara menurut Pearce dan
Robinson (1997:492) faktor – faktor penentu keberhasilan merupakan faktor – faktor yang mengidentifikasi bidang kinerja yang paling penting dalam mengimplementasikan strategi yayasan dan kriterianya harus mendapatkan perhatian yang terus – menerus dari manajemen. Oleh sebab itu, dalam mengidentifikasi critical success factors sangat diperlukan pemahaman mengenai badan usaha sacara menyeluruh, serta dalam menentukan critical success factors manajer harus melakukannya dengan hati – hati, sehingga tidak mengidentifikasi semua faktor sebagai critical success factors. Untuk memutuskan faktor yang sangat berpengaruh, manajer biasanya lebih banyak memutuskan berdasarkan pengalaman yang diperoleh selama mengelola yayasan. Selain itu, dalam mengidentifikasi dan perancangan critical success factors suatu yayasan didasari pada tujuan (goal), sasaran (objektif), dan strategi yang ditetapkan oleh yayasan. Sehingga critical success factors yang dihasilkan atau dirumuskan benar - benar mencerminkan keadaan yayasan. Analisis yang salah terhadap atas faktor – faktor penting tersebut akan berdampak pada tujuan jangka panjang yayasan khususnya dalam hal kesuksesan memilih keunggulan bersaing dan berdampak terhadap arah strategi yang diterapkan. Berikut merupakan variable kunci untuk mengukur critical success factors (Anthony dan Govindarajan, 2005:176-177) : 1) Variable Kunci yang berfokus pada faktor keuangan a. Likuditas, yaitu mengukur tingkat laba operasi, trend laba, cash flow adecuacy, trend in cash flow, tingkat perputaran aset, tingkat perputaran persediaan, tingkat perputaran piutang.
b. Penjualan, diukur pada pengukuran tingkat penjualan kelompok utama, penjualan dari produk baru. 2) Variable Kunci yang berfokus pada faktor pelanggan a. Pemesanan. b. Pesanan tertunda, pesanan tertunda dapat menandakan ketidakpuasan pelanggan. c. Pangsa pasar. d. Pesanan dari pelanggan kunci.pesanan yang diterima dari pelanggan penting tertentu departemen store besar, rantai toko diskon, supermarket, pesanan lewat pos, dapat mengindikasikan di awal mengenai keberhasilan seluruh strategi pemasaran. e. Kepuasan pelanggan. Diukur melalui survei pelanggan, pendekatan, dan jumlah surat keluhan. f. Retensi pelanggan. Diukur melalui lamanya hubungan dengan pelanggan. g. Loyalitas pelanggan. Diukur dalam pembelian berulang – ulang. 3) Variable Kunci yang berkaitan dengan proses bisnis internal a. Utilitas kapasitas. b. Pengiriman tepat waktu. c. Perputaran persediaan. d. Kualitas. e. Moral kerja. Diukur dengan jumlah keluhan terhadap karyawan. f. Kompetensi. Diukur dengan kemampuan beradaptasi tingkat perputaran kerja.
Beberapa contoh faktor kunci keberhasilan dalam berbagai industri disajikan dalam tabel 1 : Tabel 1 Faktor Kunci Keberhasilan Dalam Berbagai Industri Dinas/Unit Kerja Rumah Sakit dan Hotel
Faktor Kunci Keberhasilan Tingkat hunian kamar (kamar yang dipakai : Jumlah total kamar yang tersedia)
Klinik Kesehatan
Jumlah pelanggan (masyarakat) yang dilayani per hari
Perusahaan Listrik Negara KWH yang terjual Perusahaan Telekomunikasi
Jumlah pulsa yang terjual
Perusahaan Air Minum
Jumlah debit air yang terjual
DLLAJ
Jumlah alat angkutan umum (paid seats/ capacity seats)
Pekerjaan Umum
Panjang jalan yang dibangun/diperbaiki Panjang jalan yang disapu/dibersihkan
Kepolisian
Jumlah kriminalitas yang ditangani Jumlah kecelakaan/pelanggaran lalu lintas Jumlah pengaduan masyarakat yang tertangani
DPR / DPRD
Jumlah pengaduan dan tuntutan masyarakat yang tertangani Jumlah rapat yang dilakukan Jumlah undang - undang atau perda yang Dihasilkan Jumlah peserta rapat per total anggota
Dispenda
Jumlah pendapatan yang terkumpul
Sumber : Mardiasmo (2004 :124)
Sedangkan menurut Tunggal (2003 : 30) ukuran keberhasilan yang bersifat keuangan dan non keuangan pada faktor kunci keberhasilan (Critical Success Factors) sebagai berikut : Tabel 2 Faktor Kunci Keberhasilan Dalam Berbagai Industri Ukuran keberhasilan yang Bersifat Non Keuangan Keuangan Pertumbuhan Penjualan Pertumbuhan Laba Pertumbuhan Dividen Obligasi dan PenilaianKredit Aliran Kas Peningkatan Harga Saham
Sumber : Tunggal (2003 : 30)
Ukuran keberhasilan yang Bersifat Keuangan Keuangan Ukuran dari sisi Pelanggan (Customer Measures) Pangsa Pasar dan Pertumbuhan Pangsa Pasar Pelayanan kepada Pelanggan Pengiriman yang Tepat Waktu Kepuasan Pelanggan Pengakuan terhadap Merk Posisi pada Pasar yang Menguntungkan Posisi Bisnis Internal (Internal Business Prosses) Mutu Produk yang Tinggi Inovasi dalam Manufacturing yang tinggi Waktu Siklus (Cycle Time) Hasil dan Penurunan Pemborosan Inovasi dan Pembelajaran (Sumber Daya Manausia) Kompetensi dan Integritas Manajer Moral dan Budaya Perusahaan Pendidikan dan Pelatihan Inovasi Produk Baru Metode Manufacturing
2.1.4 Mengukur Critical Success Factors Sebelum mengukur critical success factors tahapan yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengidenfikasi CSF-nya, dimana yayasan akan memfokuskan perhatiannya pada faktor – faktor tersebut. Untuk mengetahui bagaimana kinerja layanan yayasan pada CSF- nya, maka harus dibuat ukuran – ukuran kinerja tertentu pada masing – masing CSF-nya. Dengan mengukur kinerja CSF-nya akan diketahui sejauh mana keberhasilan yayasan dalam mencapai tujuan yayasan. Untuk mengukur critical success factors harus dilakukan studi yang cermat terhadap kinerja dan proses bisnis perusahaan secara keseluruhan. Ukuran keuangan dari keberhasilan, misalnya : pertumbuhan penjualan, pertumbhan laba, dan arus kas. Sedangkan ukuran non keuangan dari keberhasilan dapat dipandang dari tiga sudut pandang, yaitu : 1) Ukuran dari sisi pelanggan, misalnya : layanan pelanggan, kepuasan pelanggan. 2) Proses bisnis internal, misalnya : kualitas produk yang tinggi, inovasi dalam produksi. 3) Inovasi dan pembelajaran (SDM), misalnya pelatihan, pendidikan dan variasi produk baru. Beberapa contoh bagaimana mengukur Critical Success Factors disajikan dalam tabel 3 :
Tabel 3 MENGUKUR CRITICAL SUCCESS FACTORS CSF Probabilitas Likuiditas
Penjualan
Market value Kepuasan pelanggan Dealer dan distributor Pemasaran dan penjualan Ketepatan pengiriman Kualitas
Kualitas
Produktivitas
Fleksibilitas Kesiapan peralatan Keamanan Inovasi produk Ketepatan waktu atau produk Baru
BAGAIMANA MENGUKUR CSF Fakor - faktor keuangan Laba operasi, trend laba. Cash flow adequency, trend in cash flow kemampuan membayar bunga, tingkat perputaran asset, tingkat perputaran persediaan, tingkat perputaran piutang. Tingkat penjualan pada kelompok, produk utama, trend penjualan, persentase penjualan yang berasal dari produk baru, akurasi peramalan penjualan. Harga saham. Faktor pelanggan Pengembalian produk dan keluhan pelanggan, penelitian tentang pelanggan. Kekuatan hubungan dengan dealer dan distributor. Trend kerja penjualan, aktivitas pelatihan dan riset pasar. Kinerja ketepatan waktu pengiriman, waktu mulai pemesanan sampai pengiriman kepada pelanggan. Keluhan pelanggan, biaya jaminan, kecepatan dan efektivitas pelayanan. Proses bisnis internal Jumlah produk cacat, jumlah pengembalian, penelitian terhadap pelanggan, jumlah sisa produksi, jumlah perbaikan, laporan penelitian lapangan, klaim jaminan, tingkat kecacatan barang dari pemasok. Waktu siklus (scycle time) mulai dari bahan mentah sampai produk selesai, efisiensi tenaga kerja, jumlah pemborosan, perbaikan dan sisa produksi. Waktu setup, waktu siklus, keefektifan penjadwalan. Down time, pengalaman operator, kapasitas mesin, aktivitas pemeliharaan. Jumlah kecelakaan, dampak kecelakaan. Pembelajaran dan inovasi Jumlah perubahan desain, jumlah hak paten atau hak cipta baru, keahlian staf riset dan pengembangan. Jumlah kelebihan atau kekurangan hari dari tanggal pengiriman.
Pengalaman keahlian Moral pekerja
Jumlah pelatihan, peningkatan kinerja keahlian. Tingkat perputaran pekerja, jumlah keluhan, penelitian terhadap pekerja/karyawan. Kompetensi Tingkat perputaran, pelatihan, pengalaman, kemampuan beradaptasi, ukur-ukuran keuangan dan operasional. Faktor-faktor lain Pemerintah Jumlah pelanggaran dan aktifitas jasa kepada masyarakat. Sumber : Edward J. Blocher, Kung H. Chen dan Thomas W. Lin 2000 Manajemen biaya dengan tekanan stratejik. Edisi pertama.Terjemahan Jakarta. Salemba Empat. P. 45. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa CSF suatu perusahaan dapat berasal dari faktor – faktor non keuangan. Ukuran keuangan menunjukkan dampak kebijakan dan prosedur perusahaan pada posisi keuangan perusahaan pada saat ini atau jangka pendek. Sebaliknya, berikutnya faktor – faktor non keuangan menunjukkan posisi kompetitif perusahaan untuk saat ini dan masa yang akan datang. 2.1.5 Pengertian Kinerja Menurut Mahsun (2006 : 25) Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / program / kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategik planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau terget, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukurnya.
Menurut Tim Studi Lapangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (BPKP, 2002 ; 80), kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program kebijksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan strategi (strategi planning) suatu organisasi. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kinerja merupakan prestasi yang dapat dan harus dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Pencapaian kinerja yang dinyatakan dalam pengukuran kinerja sangat diperlukan untuk menunjukkan seberapa jauh tingkat keberhasilan maupun kegagalan organisasi dalam mencapai visi dan misi organisasi. 2.1.6 Pengukuran Kinerja Sedangkan pengukuran kinerja Menurut Mahsun (2006 : 25) (performace measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas efesiensi pengguna sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan). Menurut Hatry dalam Harimurti (2004 : 1) menyatakan bahwa penilaian / pengukuran kinerja adalah sama dengan pengukuran kinerja outcome dan efisiensi jasa atau program berdasarkan basis yang regular. Manajer organisasi publik mengetahui apakah jasa yang diberikan telah sesuai baik kualitas maupun kuantitas
dengan
tujuan
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya.
Dengan
menyelengarakan penilaian kinerja, organisaasi akan dapat mengetahui posisi yang telah diraih dalam rangka perjalanan kearah yang telah ditentukan. Menurut Larry D. Stout dalam Bastian (2001 : 329), Pengukuran/Penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasilhasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun proses. Maksudnya, setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah organisasi di masa akan datang yang dinyatakan dengan visi dan misi organisasi. Produk jasa yang dihasilkan diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi. Koontz et al (dalam Hutauruk, 1986:50-52) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai kinerja pegawai, antara lain: 1.
Intelijensia yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk mengerti kesadaran mental.
2.
Pertimbangan yaitu berhubungan dengan sikap membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan lainnya.
3.
Inisiatif yaitu berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh akal; berkemampuan dan berintelijensi untuk bertindak atas tanggung jawabnya sendiri.
4.
Kekuatan yaitu berhubungan dengan kekuatan moril yang dimiliki dan digunakan untuk mencapai hasil.
5.
Kepemimpinan yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan, dan mempengaruhi orang lain dalam tindakan yang tertentu dan dalam menjaga disiplin.
6.
Keberanian moril yaitu berhubungan dengan sifat mental yang membuat seseorang untuk melakukan apa yang dikatakan oleh hati nuraninya tanpa takut-takut.
7.
Kerjasama yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
8.
Kesetiaan yaitu berhubungan dengan kesesuaian, kesetiaan, kelanggengan, pengabdian semua terhadap otoritas yang lebih tinggi.
9.
Keteguhan yaitu berhubungan dengan upaya mempertahankan tujuan atau saran walaupun ada hambatan.
10. Reaksi terhadap keadaan darurat yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak secara masuk akal dalam situasi yang sulit dan tak terduga. 11. Daya tahan yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja dalam kondisi apapun. 12. Kerajinan yaitu berhubungan dengan prestasi kerja dari segi tenaganya. Dan dilihat dari penampilan dan kerapihan diri serta pakaian. Menurut Nawawi (2000 : 395 – 396), pengertian penilaian kinerja secara sederhana berarti proses organisasi melakukan penilaian terhadap pegawai / karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Adapun beberapa pengertian dari penilaian kinerja yang bersifat komprehensif, sebagai berikut:
a.
Penilaian kinerja adalah usaha mengidentifikasi, mengukur / menilai dan mengelola pelaksanaan oleh para pegawai / karyawan.
b.
Penilaian kinerja adalah usaha mengidentifikasi dan menilai aspek – aspek pelaksanaan pekerjaan yang berpengaruh pada kesuksesan organisasi non profit dalam mencapai tujuannya.
c.
Penilaian kinerja adalah kegiatan mengukur / menilai untuk menetapkan seorang
pegawai/karyawan
sukses
atau
gagal
dalam
melaksanakan
pekerjaannya dengan mempergunakan standar pekerjaan sebagai tolok ukurnya. Dari pengertian diatas jelas bahwa aspek –aspek yang dinilai adalah : a.
Apa yang telah dikerjakan oleh seorang pekerja selama periode tertentu, mungkin setelah satu semester/ satu tahun/ lebih singkat, sesuai jenis dan sifat pekerjaannya.
b.
Bagaimana cara pegawai / karyawan yang dinilai dalam melaksanakan pekerjaannya selama periode diatas.
c.
Mengapa pegawai / karyawan tersebut melaksanakan pekerjaannya seperti itu. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk bersedekah memicu timbulnya
gejolak yang berakar pada ketidakpuasan. Tuntutan yang semakin tinggi diajukan terhadap pertanggungjawaban yang diberikan oleh penyelenggara yayasan atas kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Dengan kata lain, kinerja layanan yayasan kini lebih banyak mendapat sorotan, karena masyarakat mulai mempertanyakan manfaat yang mereka peroleh atas pelayanan yayasan tersebut.
Kondisi ini mendorong peningkatan kebutuhan adanya suatu pengukuran kinerja terhadap penyelenggara yayasan yang telah menerima amanat dari rakyat. Pengukuran tersebut akan melibat seberapa jauh kinerja yang telah dihasilkan dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan yang telah direncanakan. 2.1.7 Elemen Pokok Pengukuran Kinerja Menurut Mahsun (2006 :26-28) Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan elemen pokok suatu pengukuran kinerja antara lain: a.
Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi Tujuan adalah pernyataan secara umum (belum secara eksplisit) tentang apa yang ingin dicapai organisasi. Sasaran merupakan tujuan organisasi yang sudah dinyatakan secara eksplisit dengan disertai batasan yang jelas. Strategi adalah cara atau teknik yang digunakan organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Tujuan, sasaran dan strategi tersebut ditetapkan dengan berpedoman pada visi dan misi organisasi. Berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi tersebut selanjutnya dapat ditentukan indikator dan ukuran kinerja secara tepat.
b.
Merumuskan indikator dan ukuran kinerja Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal – hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi – indikasi kinerja. Indikator kinerja dan ukuran kinerja sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat ketercapaian tujuan, sasaran, sasaran dan strategi. Indikator kinerja dapat berbentuk faktor – faktor keberhasilan utama (critical success faktors) dan indikator kinerja kunci (key performance indikator). Faktor keberhasilan
utama suatu area yang mengindikasikan kesuksesan kinerja unit kerja organisasi.
Area
ini
menggambarkan
prefensi
manajerial
dengan
memperhatikan variabel–variabel kunci finansial dan non finansial pada kondisi waktu tertentu. Faktor keberhasilan utama ini harus secara konsisten mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi. Sedangkan indikator kinerja kunci merupakan sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang bersifat finansial maupun nonfinansial untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit bisnis. Indikator ini dapat digunakan oleh manajer untuk mendeteksi dan memonitor pencapaian kinerja. c.
Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi Jika kita sudah mempunyai indikator dan ukuran kinerja yang jelas, maka pengukuran kinerja bisa diimplementasikan. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan, sasaran dan strategi adalah membandingkan hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Analisis antara hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja ini menghasilkan penyimpangan positif, penyimpangan negatif, atau penyimpangan nol. Penyimpangan positif berarti pelaksanaan kegiatan sudah berhasil mencapai serta melampaui indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. Penyimpangan negatif berarti pelaksanaan kegiatan belum berhasil mencapai indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. Penyimpangan nol berarti pelaksanaan kegiatan sudah berhasil mencapai atau sama dengan indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan.
d.
Evaluasi kinerja (feedback, penilaian, kemajuan organisasi, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas). Evaluasi kinerja akan memberikan gambaran kepada penerima informasi mengenai nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Pencapaian kinerja organisasi dapat dinilai dengan skala pengukuran tertentu. Informasi capaian kinerja dapat dijadikan feedback dan reward-punishment, penilaian kemajuan organisasi dan dasar peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. 1) Feedback Hasil pengukuran terhadap capaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen atau pengelola organisasi untuk perbaikan kinerja pada periode berikutnya. Selain itu, hasil ini pun bisa dijadikan landasan pemberian reward and punishment terhadap manajer dan anggota organisasi. 2) Penilaian kemajuan organisasi Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai orgaisasi. Kriteria yang digunakan untuk menilai kemajuan organisasi adalah tujuan yang telah ditetapkan. Dengan membandingkan hasil aktual yang tercapai dengan tujuan organisasi yang dilakukan secara berkala (triwulan, semester, tahunan) maka kemajuan organisasi bisa dinilai. Semestinya ada perbaikan kinerja secara berkelanjutan dari periode ke periode berikutnya. Jika pada suatu periode, kinerja yang dicapai ternyata lebih
rendah dari pada periode sebelumnya, maka harus diidentifikasi dan ditemukan sumber penyebabnya dan alternatif solusinya. 3) Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas Meningkatkan kinerja menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan manajemen maupun stakeholders. Keputusan–keputusan yang bersifat ekonomis dan strategis sangat membutuhkan dukungan informasi kinerja ini. Informasi kinerja ini membantu menilai keberhasilan manajemen atau pihak yang diberi amanah untuk mengelola dan mengurus organisasi. 2.1.8 Siklus Pengukuran Kinerja Menurut Mahsun (2006 : 55): Siklus pengukuran kinerja merupakan tahaptahap pengukuran kinerja yang harus dilakukan secara berkesinambungan agar pengukuran kinerja bisa diterapkan dengan efektif dan efisien. Tidak ada tahapan yang baku dalam pengukuran kinerja organisasi publik. Menurut Lohman (2003), pengembangan siklus pengukuran kinerja organisasi publik meliputi 9 (sembilan) tahap utama, yaitu: a.
Mendefinisikan misi organisasi.
b.
Mengidentifikasi tujuan strategi organisasi dengan berlandaskan pada misi.
c.
Mengidentifikasi peran dan tanggung jawab setiap bidang fungsional organisasi dalam mencapai tujuan strategis.
d.
Untuk setiap bidang fungsional, dikembangkan ukuran kinerja umum yang kapabel.
e.
Menetapkan kriteria kinerja yang lebih spesifik pada level operasional pada setiap bidang fungsional.
f.
Menjamin adanya konsistensi dengan tujuan strategis atas kriteria kinerja di setiap level.
g.
Menjamin ukuran kinerja yang digunakan pada seluruh bidang fungsional sudah harmonis (compatible).
h.
Implementasi sistem pengukuran kinerja.
i.
Mengevaluasi secara periodik terhadap sistem pengukuran kinerja untuk melihat kesesuaiannya dengan adanya perubahan lingkungan.
2.1.9 1.
Indikator Kinerja
Pengertian Indikator Kinerja Ada beberapa pengertian indikator kinerja yang dikutip Mahsun (2006 :71)
dari beberapa pendapat, pengertian indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Sementara menurut Lohman (2003), indikator kinerja (performance indikators) adalah suatu variabel
yang digunakan untuk
mengekspresikan secara kuantitatif efektifitas dan efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman pada target-target dan tujuan organisasi. Jadi jelas bahwa indikator kinerja merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi yang diwujudkan dalam ukuran-ukuran tertentu. Indikator kinerja (performance indikators) sering disamakan dengan ukuran kinerja (performance measure). Namun sebenarnya, meskipun keduanya merupakan kriteria pengukuran kinerja, terdapat perbedaan makna. Indikator
kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja, sehingga bentuknya cenderung kualitatif. Sedangkan ukuran kinerja adalah kriteria kinerja yang mengacu pada penilaian kinerja secara langsung. Sehingga bentunya lebih bersifat kuantitatif. Indikator kinerja dan ukuran ini sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat ketercapaian tujuan, sasaran, dan strategi. 2.
Pengembangan Indikator Kinerja Penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah suatu
aktivitas atau program telah dilakukan secara efisien dan efektif. Indikator untuk tiap-tiap unit organisasi berbeda-beda tergantung pada tipe pelayanan yang dihasilkan. Penentuan indikator kinerja perlu mempertimbangkan komponen berikut mahsun (2006:73-74): a.
Biaya pelayanan (cost of service) Indikator biaya biasanya diukur dalam bentuk biaya unit (unit cost), misalnya biaya per unit pelayanan. Beberapa pelayanan mungkin tidak dapat ditentukan biaya unitnya, karena output yang dihasilkan tidak dapat dikuantifiaksi atau tidak ada keseragaman tipe pelayanan yang diberikan. Untuk kondisi tersebut dapat dibuat indikator kinerja proksi, misalnya belanja per kapita.
b.
Penggunaan (utilization) Indikator penggunaan pada dasarnya membandingkan antara jumlah pelayanan yang ditawarkan (supply of service) dengan permintaan publik.
Indikator ini harus mempertimbangkan preferensi publik, sedangkan pengukurannya biasanya berupa volume absolute atau persentase tertentu. c. Kualitas dan standar pelayanan (quality and standars) Indikator kualitas dan standar pelayanan merupakan indikator yang paling sulit diukur, karena menyangkut pertimbangan yang sifatnya subyektif. Penggunaan indikator kualitas dan standar pelayanan harus dilakukan secara hati-hati karena kalau terlalu menekankan indikator ini justru dapat menyebabkan kontraproduktif. d. Cakupan pelayanan (converage) Indikator cakupan pelayanan perlu dipertimbangkan apabila terdapat kebijakan atau peraturan perundangan yang mensyaratkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan minimal yang telah ditetapkan. e. Kepuasan (satisfaction) Indikator kepuasan biasanya diukur melalui metode jajak pendapat secara langsung. Bagi yayasan, metode penjaringan anspirasi masyarakat (need assessment), dapat juga digunakan untuk menetapkan indikator kepuasan. Namun demikian, dapat juga digunakan indikator proksi misalnya jumlah komplain. Pembuatan indikator kinerja tersebut memerlukan kerja sama antar unit kerja. 3.
Syarat-syarat indikator ideal Indikator kinerja bisa berbeda untuk setiap organisasi, namun setidaknya ada
persyaratan umum, untuk terwujudnya suatu indikator yang ideal. Menurut Mahsun (2006:74), Syarat-syarat indikator yang ideal adalah sebagai berikut:
a.
Consistency, berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indikator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi.
b.
Comparibility, indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak.
c.
Clarity, indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami.
d.
Controllability, pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikan.
e.
contingency,
perumusan
indikator
kinerja
bukan
variable
yang
independent dari lingkungan internal dan eksternal. Struktur organisasi, gaya manajemen, ketidakpastian, dan kompleksitas lingkungan ekternal harus dipertimbangkan dalam perumusan indikator kinerja. f.
Comprehensiveness, indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek prilaku yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manajerial.
g.
Boundedness, indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi.
h.
Relevance, berbagai penerapan membutuhkan indikator yang spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu.
i.
Feasibility, target-target yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator kinerja harus merupakan harapan yang realisis dan mudah dicapai.
Sementara itu, syarat indikator kinerja adalah sebagai berikut: 1) Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interprestasi. 2) Dapat diukur secara obyektif baik secara kuantitatif. 4.
Indikator Kinerja Sebagai Pembanding Yayasan dapat melakukan sejumlah perbandingan dalam upaya melakukan
pengukuran kinerja di organisasinya. Beberapa perbandingan yang bisa dilakukan antara lain: a. Membandingkan kinerja tahun ini dengan kinerja tahun lalu. b. Membandingkan kinerja tahun ini dengan berbagai standar yang ada. c. Membandingkan kinerja atau seksi yang ada pada sebuah depertemen dengan unit atau seksi departemen lain yang menyediakan jasa layanan yang sama. d. Membandingkan dengan berbagai ketentuan pada sektor swasta. e. Membandingkan semua bidang dan fungsi yang menjadi tanggung jawab yayasan dengan bidang dan fungsi yang sama pada yayasan lain. 5.
Menyusun Indikator Kinerja Terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam menyusun dan menetapkan indikator kinerja. Langkah penyusunan indikator kinerja adalah sebagai berikut: Mahsun (2006:79): a. Susun dan tetapkan rencana strategis lebih dahulu (visi, misi, falsafah, tujuan, sasaran, strategi, program, anggaran).
b. Identifikasi data / informasi yang dapat dijadikan atau dikembangkan menjadi indikator kinerja. Dalam hal ini, data / informasi yang relevan, lengkap, akurat, dan kemampuan dan pengetahuan kita tentang bidang yang akan dibahas akan banyak menolong kita untuk menyusun dan menetapkan indikator kinerja yang tepat dan relevan. c. Pilih dan tetapakan indikator yang paling relevan dan berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan/program/kegiatan. 2.1.10
Pengertian Organisasi Sektor Publik (Nirlaba)
Secara umum, organisasi nirlaba (non profit organization) adalah suatu institusi yang dalam menjalankan operasinya tidak berorientasi mencari laba. Namun demikian, bukan berarti organisasi nirlaba tidak diperbolehkan menerima atau menghasilkan keuntungan. Keuntungan tersebut digunakan untuk menutup biaya operasional / kembali disalurkan untuk kegiatan utamanya lagi. Sedangkan menurut Anthony & Govindarajan (2005 : 406) juga mempunyai pendapat yang hampir sama tentang pengertian organisasi nirlaba. Mereka berpendapat bahwa organisasi nirlaba adalah organisasi yang tidak dapat mendistribusikan aktiva atau labanya kepada, atau untuk manfaat dari, anggotanya, pejabatnya, maupun direkturnya. Akan tetapi, organisasi nirlaba dapat mengompensasi karyawannya, termasuk pejabat dan anggotanya, untuk jasa yang diberikan dan untuk barang-barang yang dipasok. Definisi ini tidak menghalangi organisasi untuk memperoleh laba.
Organisasi sektor publik merupakan salah satu bentuk dari berbagai bentuk organisasi nirlaba. Bentuk-bentuk dari organisasi nirlaba dalam Siregar (1999 : 2) meliputi : a.
Pemerintahan
: Pusat, Daerah, Kota, dan Unit Organisasi Pemerintahan lainnya termasuk Daerah Khusus.
b.
Pendidikan
: Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, Sekolah Menengah
Tingkat Atas, Sekolah Menengah Tingkat
Pertama. c.
Kesehatan
: Rumah sakit, Rumah Bersalin, Puskesmas, dan Posyandu.
d.
Keagamaan
: Masjid, Gereja, Pura, dan Vihara.
e.
Yayasan
: Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial dan Yayasan Supersemar.
Organisasi sektor publik dibentuk umumnya untuk menjalankan aktivitas layanan terhadap masyarakat luas. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditentukan dalam bentuk kualitatif, misalnya peningkatan keamanan, mutu pendidikan, mutu kesehatan, dan keimanan. Segala aktivitas tersebut dilaksanakan semata-mata untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan layanan tersebut dimasa yang akan datang. Karena orientasi utama yang ingin dicapai, sebagai akibatnya, sulit untuk mengukur prestasi pengelola organisasi sektor publik karena tidak terdapat pengukuran laba. Organisasi nirlaba (sektor publik) memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada dari mana sumber daya organisasi berasal, tujuan utama organisasi, dan pemilikan modal.
Karakteristik yang biasanya melekat pada organisasi nirlaba adalah sebagai berikut (IAI, 2004 : Par 01) : a.
Sumber
daya
entitas
berasal
dari
para
penyumbang
yang
tidak
mengaharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan b.
Menghasilkan barang dan jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri / pemilik entitas tersebut.
c.
Tidak ada kepemilikann seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak pernah dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporasi pembagian sumber daya entitas pada saat likuidasi atau pembubaran entitas.
Jadi, dengan adanya ciri-ciri organisasi sektor publik diatas dapat disimpulkan bahwa apabila dibandingkan dengan organisasi lain, organisasi sektor publik memiliki karakteristik unik, yaitu: a.
Motif mencari laba bukan merupakan orientasi utama.
b.
Dimiliki secara kolektif oleh masyarakat, dan kepemilikan tidak dibuktikan dalam bentuk saham yang dapat diperjual belikan, karena segala catatan yang bersifat pribadi tidak ditemui dalam organisasi pemerintahan.
c.
Kontribusi sumber keuangan yang diberikan masyarakat tidak secara langsung berhubungan dengan jasa yang diberikan oleh pemerintah.
1.
Pihak Pihak Yang Berkepentingan Dalam Organisasi Nirlaba Menurut Belkaoui (2000 : 145) ada empat kelompok tertentu secara spesifik
berkepentingan dengan informasi yang disediakan oleh pelaporan Organisasi Nirlaba. Empat kelompok tersebut adalah : a. Penyedia sumber daya : Peminjam, Pemasok, Karyawan, Pembayar Pajak, Anggota dan Pemberi Konstribusi. b. Konstituen yang menggunakan dan memperoleh manfaat dari jasa yang diberikan oleh organisasi. c. Badan – badan Pengatur dan Pengawas yang bertanggung jawab untuk menyusun kebutuhan dan mengawasi serta menilai manajer organisasi non bisnis. d. Manajer organisasi non bisnis. 2.
Fokus Pengukuran Kinerja Sektor Publik Menurut Mahsun (2006 : 29) Pengukuran Kinerja merupakan suatu aktivitas
penilaian target – target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Jadi pengukuran kinerja harus berbasis pada strategis organisasi. Pemilihan indikator dan ukuran kinerja dan penetapan target untuk setiap ukuran ini merupakan upaya konkret dalam memformulasikan tujuan strategis organisasi sehingga lebih berwujud dan terukur. Menurut Mahsun (2006:31) terdapat aspek-aspek pokok yang harus dipertimbangkan dalam pengukuran kinerja organisasi komersial, antara lain :
a.
Sumber daya: 1) Biaya (misalnya biaya produksi, biaya pemasaran, biaya pelayanan, biaya yang berhubungan dengan persediaan, biaya distribusi dan sebagainya). 2) Assets (biaya operasional)
b. Output: 1) Keuangan (penjualan, keuntungan, return on investment). 2) Waktu (waktu respons pelanggan, ketepatan waktu pelayanan). 3) Kualitas (keluhan donatur). c.
Fleksibilitas : 1) Fleksibilitas volume (kemampuan merespons perubahan permintaan). 2) Fleksibilitas pengiriman (tingkat kecepatan atau pengiriman). 3) Fleksibilitas campuran (kemampuan melayani berbagai jenis pengiriman).
3.
Aspek – Aspek Pengukuran Sektor Publik Organisasi sektor publik memerlukan ukuran penilaian kinerja yang lebih
luas, tidak hanya tingkat laba, tidak hanya efesiensi dan juga tidak hanya ukuran finansial. Pengukuran kinerja sektor publik meliputi aspek – aspek antara lain: a. Kelompok masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. b. Kelompok proses (process) adalah ukuran kegiatan, baik dari kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. c. Kelompok keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible).
d. Kelompok hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah yang mempunyai efek langsung. e. Kelompok manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan kegiatan. f. Kelompok dampak (impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. Berdasarkan aspek – aspek kinerja yanng harus diukur pada sektor publik tersebut dapat ditelusuri sampai sejauh mana cakupan pengukuran kinerja sektor publik ini. Menurut BPKP (2000) cakupan pengukuran kinerja seektor publik harus mencakup item – item sebagai berikut : Mahsun (2006 : 31-33) a.
Kebijakan
(policy):
untuk
membantu
pembuatan
maupun
pengimplementasian kebijakan. b.
Perencanaan dan penganggaran (planning and budgeting): untuk membantu perencanaan dan pengangggaran atas jasa yang diberikan dan untuk memonitor perubahan terhadap rencana.
c.
Kualitas (quality): untuk memajukan standarisasi atas jasa yang diberikan maupun keefektifan organisasi.
d.
Kehematan (economy): untuk me-review pendistribusian dan keefektifan penggunaan sumber daya.
e.
Keadilan (equity): untuk menyakini adanya distribusi yang adil dan dilayani semua masyarakat.
f.
Pertanggung jawaban (accountability): untuk meningkatkan pengendalian dan mempengaruhi pembuatan keputusan.
4. Kategori Pengukuran Kinerja Sektor Publik Dari berbagai aspek dan perspektif dalam pengukuran kinerja sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat dirinci berbagai kategori sebagai tolok ukur penilaian kinerja organisasi sektor publik. Kategori-kategori ini dapat diterapkan pada setiap jenis organisasi sektor publik dengan modifikasi sesuai dengan karakteristik dan keunikan organisasi yang bersangkutan.Mahsun (2006:129-131). a.
Ukuran – ukuran Finansial 1) Ukuran Biaya a) Kemampuan
untuk
mencapai
pengukuran
biaya
yang
telah
atau
biaya
dianggarkan (budgeted cost reducation). b) Kemampuan
untuk
merealisasikan
pengeluaran
sebagaimana dianggarkan dalam satu periode secara efisien. c) Kemampuan
untuk
merealisasikan
pengeluaran
atau
biaya
sebagaimana direncanakan dalam anggaran fleksibel satu periode secara efisien (misalnya biaya-biaya yang bisa dikeluarkan dalam batas toleransi tertentu untuk setiap unit produk atau layanan yang dihasilkan dan disediakan). 2) Ukuran Pendapatan a) Kemampuan untuk mencapai penjualan (penyediaan layanan) atau target pertumbuhan penjualan (penyediaan layanan) sebagaimana dianggarakan dengan efektif.
b) Kemampuan untuk mencapai peningkatan atau perluasan market share (pasang pasar) dengan efektif. 3) Ukuran Tingkat Pengembalian dan Surplus a) Kemampuan
untuk
mencapai
marjin
kontribusi
sebagaimana
ditargetkan. b) Kemampuan untuk mencapai tingkat surplus atau income tertentu sebagai ditargetkan. c) Kemampuan untuk mencapai arus kas tertentu sebagaimana ditargetkan. d) kemampuan
untuk
mencapai
tingkat
surplus
setelah
mempertimbangkan investasi total atau beban biaya modal (misalnya dengan menghitung (residual income-nya). e) Kemampuan untuk mencapai return on asset (ROA), return on investment (ROI), dan return on equity (ROE). f) Peningkatan harga pasar saham organisasi jika organisasi yang bersangkutan go publik melalui pasar modal. b. Ukuran Non Finansial 1) Ukuran Produktifitas a) Jumlah output yang bisa dihasilkan untuk setiap pegawai atau setiap jam kerja efektif. b) Jumlah output yang bisa dihasilkan setiap pelayanan. c) Tingkat pengukuran atau penurunan pelayanan.
d) Jumlah waktu yang dibutuhkan organisasi secara keseluruhan untuk menghasilkan setiap layanan. e) Proporsi nilai tambah (value-added) dari total jam kerja efektif. f) Proporsi waktu menganggur (idle time) dari total jam kerja efektif. 2) Ukuran Kualitas a) Persentase layanan tidak sempurna (defective products) misalnya layanan yang tidak memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). b) Jumlah biaya yang digunakan untuk mengganti (warratycost) atau membayar kembali (reimbursements) atas pelayanan yang tidak memadai. c) Jumlah biaya-biaya kualitas yang dikeluarkan dalam penerapan sistem manajemen mutu terpadu (total quality management sistem). d) Penilaian pelanggan (masyarakat sebagai direct users) atas kualitas layanan. 3) Ukuran pelayanan a) Kepuasan pelanggan (masyarakat sebagai direct users) atas kualitas layanan yang disediakan. b) Penilaian pihak ketiga (misalnya LMS, YLKI, atau auditor independent) atas tingkat kepuasan pelanggan. c) Persentase layanan yang disediakan secara tepat waktu. d) Jumlah keluhan atau komplain pelanggan (masyarakat sebagai direct users) setiap periode tertentu misalnya hari, minggu atau bulan. e) Kemampuan untuk melayani kebutuhan masyarakat (donatur).
4.
Ukuran Inovasi a) Jumlah layanan baru yang berhasil disediakan setiap layanan. b) Persentase penyediaan layanan yang digunakan untuk pengembangan yayasan. c) Waktu yang diperlukan untuk mengenalkan layanan baru kepada masyarakat. d) Perbandingan dengan organisasi sejenis lain yang memiliki kinerja terbaik (bencmarking).
5.
Ukuran Personalia a) Tingkat perputaran pegawai (turnover). b) Jumlah pegawai yang membolos (absent) setiap bulan. c) Tingkat kepuasan pelanggan. d) Jumlah pelatihan dan pengembangan pegawai.
2.2 Rerangka Pemikiran Rerangka berfikir menurut Sugiono (2003:49) merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berikut adalah proses rerangka berfikir dalam penelitian ini:
Identifikasi Critical Success Factors
Ukuran Produktifitas
Ukuran Kualitas
Critical Success Factors Yayasan Dana Sosial al Falah Surabaya
Sumber : Disusun olen peneliti
Gambar 1 Proses Rerangka Berfikir
Ukuran Pelayanan
2.3 Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan bahan masukan karena tema penelitian berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitiaan ini, yaitu: 1. Noventien Kartika Marbun (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Critical Success Factors Dalam Menilai Kinerja Layanan Pada Puskesmas Pucang Sewu Kecamatan Gubeng”. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa layanan kesehatan yang diberikan Puskesmas Pucang Sewu Surabaya menunjukkan kinerja yang baik, karena masyarakat merasa puas dengan pelayanan kinerja ini puskesmas dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan yang dimiliki sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan kebijakan. Selain itu diharapkan pihak Puskesmas Pucang Sewu Surabaya dapat semakin meningkatkan kinerja pelayanannya, karena dapat memberikan pelayanan yang optimal. Para pengguna layanan Puskesmas Pucang Sewu Surabaya akan merasa puas sehingga tidak segan untuk kembali berobat. Hal ini tentunya akan dapat meningkatkan kinerja layanan dari Puskesmas Pucang Sewu Surabaya. 2. Yudharta (2006) melakukan analisis internal dan eksternal dalam perumusan strategi organisasi pada studi kasus rumah sakit “X”. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa berdasarkan analisis internalnya terlihat adanya harta pada lingkungan internal rumah sakit “X” yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan untuk menghadapi pesaing. Berdasarkan analisis eksternal dapat diketahui adanya peluang di lingkungan
eksternal rumah sakit “X” yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pangsa pasar dan peningkatan pendapatan. Serta berdasarkan tujuan dan analisis internal dan eksternal lingkungan rumah sakit “X” maka strategi yang dapat diterapkan oleh organisasi adalah strategi pertumbuhan. Dengan strategi ini rumah sakit “X” dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, meningkatkan pendapatan yang tinggi, meningkatkan pangsa pasar, dan unggul dalam persaingan. 3. Laili Indriana, (STIESIA 2007) dengan judul “Identifikasi Critical Success Factors sebagai pendukung dalam mencapai keunggulan bersaing pada PT.Kereta Api (Persero) daerah opersi VIII Surabaya”. Hasil penelitiannya disimpulkan bahwa: a.
Kekuatan yang dimiliki PT.Kereta Api (Persero) daerah opersi VIII Surabaya adalah pengalaman, monopoli jaringan, perbaruan teknologi, inovasi, sarana transportasi yang bebas macet, koordinasi internal yang baik.
b.
Kelemahan yang dimiliki PT.Kereta Api (Persero) daerah opersi VIII Surabaya meliputi masih kurangnya SDM yang dimiliki, gerbang kereta yang sudah beroperasi lebih dari 20 tahun, dan juga jalur kereta monorel.
c.
Peluang yang dimilki PT.Kereta Api (Persero) daerah opersi VIII Surabaya meliputi masih tingginya kebutuhan masyarakat akan penyediaan sarana transportasi, dan adanya sinergi dengan kebijakan daerah.
d.
Ancaman bagi PT.Kereta Api (Persero) daerah opersi VIII Surabaya adalah berupa lingkungan yang tidak sinkron dengan arah pengembangan perkeretaapian, dan juga terjadinya persaingan harga tiket yang ketat.
4. Rudi Dwi Yanto (2010) STIESIA dengan judul “Analisis Critical Success Factors dalam menilai kinerja layanan drive thru pada KB Samsat Manyar– Surabaya Timur”. Hasil penelitiannya disimpulkan bahwa: a.
Kelemahan : harusnya suatu sistem antrian mobil yang tidak membuat macet, atau menambah lokut layanan drive tthru apabila jumlah masyarakat yang menggunakan fasilitas ini terus meningkat tiap tahun.
b.
Sebaiknya samsat manyar menambah jumlah mesin (komputer dan printer) supaya dapat mengurangi antrian yang panjang.
c.
Hendaknya layanan drive thru samsat Surabaya timur jangan hanya objek pajak kendaraan pribadi roda empat, akan lebih baik apabila layanan ini juga dilakukan pada kendaraan pribadi dan roda dua.
5. Risman Falutvi (2012) STIESIA dengan judul Critical Success Factors pada PT. Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya. Hasil penelitiannya disimpulkan bahwa: a.
Keunggulan yang dimiliki Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya adalah memiliki unit pembantu cabang yang terbesar di lima wilayah yang berbeda, produk dan layanan yang beraneka ragam dan tiap produk memiliki keunggulan masing – masing, memiliki sumber daya yang ahli dibidangnya, memiliki kualitas layanan yang baik dengan
menjalankan hubungan kekerabatan dengan pelanggannya, memiliki hari kerja lebih banyak dibanding pesaing dan lokasi yang strategis. b.
Kelemahan yang dimiliki Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya adalah penerapan produk yang belum maksimal dikarenakan kurangnya formasi pegawai, strategi pemasaran yang masih belum tepat, citra / image di masyarakat yang kurang baik sehingga masyarakat masih malu melakukan transaksi di Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya dan pemanfaatan teknologi yang belum terkini.
c.
Peluang yang dimiliki Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya adalah tren kenaikan harga emas, dan peraturan pemerintah yang membatasi pihak perbankan dalam menyalurkan kredit berbasis gadai.
d.
Ancaman yang timbul saat ini untuk Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya saat ini misalnya pesaing baru khususnya di pihak perbankan, dan biaya yang masih relatif lebih tinggi dibanding pesaing.
Tabel 4 Persamaan, Perbedaan, dan Hasil Penelitian Terdahulu No
1
Nama peneliti, dan Tahun Peneliti Noventien Kartika Marbun (2012)
Persamaan
1. Menggunakan Rumus Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). 2. Menghitung Kualitas dan Kepuasan Masyarakat. 3. Jenis penelitian dengan menggunakan pendekatan Kualitatif
2
Yudharta (2006)
Perbedaan
1. Objek dalam penelitian ini adalah pasien Puskesmas Pucang Sewu.
Hasil
Layanan kesehatan yang diberikan Puskesmas Pucang Sewu Surabaya menunjukkan kinerja yang baik
2. Lokasi Penelitian (Puskesmas Pucang Sewu).
1. Menghitung Kualitas.
1. Menggunakan analisis SWOT.
2. Jenis penelitian dengan menggunakan pendekatan Kualitatif.
2. Objek dalam penelitian ini adalah pasien Rumah Sakit X. 3. Lokasi penelitian (Rumah Sakit X).
Dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, meningkatkan pendapatan yang tinggi, meningkatkan pangsa pasar, dan unggul dalam persaingan.
3
Laili Indriana, (2007)
1. Menghitung Kualitas dan kepuasan.
2. Jenis penelitian dengan menggunakan pendekatan Kualitatif.
1. Menggunakan analisis SWOT.
2. Objek dalam penelitian ini adalah penumpang KAI.
Diketahui bahwa layanan transportasi darat yang diberikan PT.KAI Surabaya menunjukkan kinerja yang baik.
3. Lokasi penelitian (PT. KAI Surabaya). 4
Rudi Dwi Yanto (2010)
1. Menghitung 1. Jenis penelitian Produktivitas, Kuantitatif. kualitas, dan 2. Menggunakan kepuasan SPSS. manyarakat. 3. Objek dalam penelitian ini adalah pengguna layanan drive thru. 4. Lokasi penelitian (Samsat Manyar– Surabaya Timur).
Diketahui bahwa layanan drive thru pada KB Samsat Manyar– Surabaya Timur menunjukkan kinerja yang baik.
5
Risman Falutvi (2012)
1. Jenis 1. Menggunakan penelitian analisis SWOT. dengan menggunakan 2. Objek dalam penelitian ini pendekatan adalah pengguna Kualitatif. jasa pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem 2. Menghitung Surabaya. Kualitas dan Kepuasan 3. Lokasi penelitian Masyarakat. (PT. Pegadaian Syariah Cabang Klampis Ngasem Surabaya).
Sumber : Disusun oleh peneliti
Memiliki kualitas layanan yang baik terhadap pelangganny, memiliki hari kerja lebih banyak dibanding pesaing dan lokasi yang strategis.