BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1. Definisi Aset Tetap Dalam SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009: 68), aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan ke pihak lain, atau untuk tujuan administratif dan diharapkan akan digunakan lebih dari satu periode. Sedangkan menurut pajak, sesuai dengan Pasal 11 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, aset tetap adalah harta berwujud yang dapat disusutkan dan terletak atau berada di Indonesia, dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak serta mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. 2.1.2
Perolehan Aset Tetap Aset tetap yang diperoleh dengan pembelian dalam bentuk siap pakai
dicatat sejumlah harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang terjadi pada saat perolehan atau konstruksi atau jika dapat diterapkan, jumlah yang dapat diatribusikan ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam SAK-ETAP. Biaya-biaya tersebut seperti baiya pengiriman, biaya bongkar muat, biaya pemasangan, biaya profesional, bea masuk, pajak
8
9
masukan yang tidak boleh dikreditkan, dan lain-lain ditambahkan ke dalam harga perolehan. Dalam penjelasan Pasal 10 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan. Sedangkan apabila terdapat hubungan istimewah adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima. Adanya hubungan istimewah antara pembeli dan penjual menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewah. 2.1.3
Penyusutan Aset Tetap Pengertian penyusutan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yaitu
“alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.”(IAI, 2011:16.3) Seluruh aset tetap kecuali tanah akan mengalami penyusutan nilai manfaat. Oleh karena itu, aset tetap akan disusutkan agar perusahaan dapat mengetahui bahwa nilai dari aset tetap yang tercatat tidak lagi dapat mewakili
10
nilai manfaat yang dimiliki aset tersebut. Pengalokasian manfaat atas aset tetap ini juga perlu dilakukan secara sistematis. Menurut PSAK (IAI, 2011 : 16.4) pengertian umur manfaat adalah : (1) Periode aset diperkirakan dapat digunakan oleh perusahaan. (2) Jumlah produksi atau unit serupa yang diperkirakan akan diperoleh oleh perusahaan. Pengertian nilai residu dari aset menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah “estimasi jumlah yang dapat diperoleh entitas saat ini dari pelepasan aset, setelah dikurangi estimasi biaya pelepasan, jika aset telah mencapai
umur
dan
kondisi
yang
diperkirakan
pada
akhir
umur
manfaatnya.”(IAI, 2011:16.3) Terdapat beberapa metode untuk menghitung aset tetap. Metode penyusutan yang digunakan akan disesuaikan dengan karakteristik manfaat ekonomik masa depan aset oleh perusahaan. Berikut ini beberapa metode yang dapat digunakan dalam penyusutan aset tetap, diantaranya : (1) Metode garis lurus (straight line method) menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat aset jika nilai residunya tidak berubah. (2) Metode saldo menurun (deminishing balance method) menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat aset. (3) Metode jumlah unit produksi (sum of the unit of production method) menghasilkan pembebanan berdasarkan pada penggunaan atau output yang diharapkan dari suatu aset. Suatu entitas harus memilih metode penyusutan yang mencerminkan ekspektasi dalam pola penggunaan manfaat ekonomi masa depan aset.
11
Berdasarkan UU PPh 36 Tahun 2008, pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun harus dibebankan sebagai
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dengan mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Penggunaan metode penyusutan harus dilakukan secara taat asas. Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan perpajakan adalah sebagai berikut: a.
Metode garis lurus (straight line method) untuk kelompok bangunan dan bukan bangunan.
b.
Metode saldo menurun (decliningbalance method) untuk kelompok bukan bangunan saja, dan pada akhir masa manfaat disusutkan sekaligus (closed ended). Didalam perpajakan tidak mengenal nilai sisa karena prinsip penyusutan
dalam ketentuan Pasal 11 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 adalah mekanisme pengalokasian biaya yang dikeluarkan untuk perolehan aset selama masa manfaat. Menurut peraturan perpajakan, penyusutan aset tetap dimulai pada saat tahun pengeluaran, untuk tahun 2000 dan sebelumnya menggunkan peraturan UU PPh Nomor 17 Tahun 1983, untuk tahun 2001 menggunkan peraturan UU PPh Nomor 17 Tahun 2000, dan untuk tahun 2009 sampai dengan sekarang menggunkan peraturan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 yaitu penyusutan dimulai pada saat bulan pengeluaran aset tetap tersebut, kecuali
12
apabila aset yang masih dalam proses pengerjaan yaitu pada bulan selesainya pengerjaan aset tersebut. Dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan aset tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan aset yang bersangkutan mulai menghasilkan. Tabel 1 Tarif Penyusutan Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun A. Bukan Bangunan Kelompok 1 4 tahun 25% 50% Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25% Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50% Kelompok 4 20 tahun 5% 10% B. Bangunan Permanen 20 tahun 5% Tidak Permanen 10 tahun 10% Sumber : Pasal 11 ayat (6) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
2.1.4
Pengungkapan Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 16
(2011:16.22) menyatakan bahwa laporan keuangan mengungkapkan untuk setiap kelompok aset tetap: 1.
Dasar pengukuran yang digunakan untuk menentukan jumlah tercatat bruto.
2.
Metode penyusutan yang digunakan.
3.
Umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan.
13
4.
Jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan pada awal dan akhir periode.
5.
Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan penambahan, pelepasan, perolehan melalui kombinasi bisnis, peningkatan atau penurunan akibat dari revaluasi, rugi penurunan nilai yang diakui dalam laba rugi, pembalikan rugi penurunan nilai dalam laba rugi, penyusutan, selisih kurs neto yang timbul dalam penjabaran laporan keuangan dari mata uang fungsional menjadi mata uang pelaporan yang berbeda termasuk penjabaran dari kegiatan usaha luar negeri menjadi mata uang pelaporan dari entitas pelapor, dan perubahan lainnya. Untuk memilih metode penyusutan dan estimasi umur manfaat aset
diperlukan pertimbangan. Oleh karena itu, pengungkapan metode yang digunakan dan estimasi umur manfaat atau tarif penyusutan memberikan informasi bagi pengguna laporan keuangan dalam mengkaji kebijakan yang dipilih manajemen dan dapat pula menjadi perbandingan bagi perusahaan lain. Jika aset tetap disajikan pada jumlah revaluasi, hal berikut perlu diungkapkan: a.
Tanggal efektif revaluasi.
b.
Apakah penilai independen dilibatkan.
c.
Metode dan asumsi signifikan yang digunakan dalam mengestimasi nilai wajar aset.
14
d.
Penjelasan mengenai nilai wajar aset tetap yang ditentukan secara langsung dengan mengacu pada harga yang didapat dari hasil penelitian dalam pasar aktif atau transaksi pasar terbaru yang wajar atau diestimasi menggunakan teknik penilaian lain.
e.
Untuk setiap kelompok aset tetap, jumlah tercatat aset seandainya aset tersebut dicatat dengan model biaya.
f.
Surplus revaluasi, yang menunjukkan perubahan selama periode dan pembatasan-pembatasan distribusi kepada pemegang saham.
2.1.5
Revaluasi Aset Tetap
Revaluasi aset tetap adalah penilaian kembali aset tetap perusahaan yang diakibatkan adanya kenaikan nilai aset tersebut di pasaran atau karena rendahnya nilai aset tetap dalam laporan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh devaluasi atau sebab lain. Hal ini mengakibatkan nilai aset tetap dalam laporan keuangan tidak mencerminkan nilai yang wajar atau dapat juga dikatakan revaluasi aset tetap merupakan penilaian kembali aset tetap yang tercatat di dalam buku perusahaan dan masih digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan. Tujuan revaluasi adalah agar nilai yang tercantum didalam buku perusahaan atau laporan keuangan perusahaan sesuai dengan nilai wajar yang berlaku pada saat dilakukannya revaluasi. Revaluasi aset tetap dapat digunakan sebagai sarana bagi pemerintah atau Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari Pajak Penghasilan Badan, sedangkan bagi wajib pajak sendiri penilaian kembali aset
15
dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perencanaan perpajakannya dengan tujuan untuk menghemat pembayaran pajak penghasilan badan. Penilaian kembali aset tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aset tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah (Mardiasmo, 2011: 166). Menurut Mulyono (2009: 391) dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aset yang bersangkutan. Penilaian kembali aset tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai. Selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun – tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No.36 Tahun 2008 yang berlaku, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen), namun ada tarif khusus di PMK RI No. 191/PMK.010/2015. Kompensasi kerugian fiskal tetap harus dilakukan terlebih dahulu meskipun dalam tahun pajak dilakukannya penilaian kembali terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari keuntungan usaha. Apabila kondisi keuangan Wajib Pajak tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang atas selisih lebih
16
revaluasi seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada Pasal 9 ayat (4) dimaksud mengatur masalah kewenangan Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran. Dalam hal
besarnya
Pajak
Penghasilan
yang
terutang
lebih
dari
Rp
2.000.000.000.000,- (dua triliun rupiah), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran lebih dari 1 (satu) tahun hingga paling 5 (lima) tahun kepada Direktur Jenderal Pajak. Sejak bulan dilakukannya revaluasi, dasar penyusutan fiskal aset tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali mulai bulan dilakukannya penilaian kembali adalah nilai sisa buku fiskal yang baru. Terhadap penyusutan fiskal aset tetap perusahaan yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali (Waluyo, 2012). Penilaian aset tetap memberikan keuntungan dan kerugian bagi perusahaan. Beberapa keuntungannya adalah sebagai berikut: 1.
Neraca akan menunjukkan posisi kekayaan yang wajar sehingga pemakai laporan keuangan dapat memperoleh informasi yang lebih akurat dan tepat.
17
2.
Selisih lebih penilaian kembali juga akan meningkatkan struktur modal sendiri, yang artinya perbandingan antara pinjaman (debt) dengan modal sendiri (equity) atau Debt to Equity Ratio (DER) membaik.
3.
Dengan membaiknya Debt to Equity Ratio (DER), perusahaan dapat menarik dana melalui pinjaman dari pihak ketiga maupun emisi saham.
4.
Naiknya beban penyusutan aset tetap yang dibebankan dalam laba rugi, sehingga laba akan turun, yang mengakibatkan turunnya biaya pajak terhutang.
Kekurangan dari revaluasi aset tetap antara lain: 1.
Dari sisi perpajakan, selisih lebih yang diakibatkan dari revaluasi aset tetap merupakan objek pajak yang dikenai pajak final. Dengan adanya berbagai kelebihan dan kekurangan yang ditimbulkan
oleh revaluasi, pihak manajemen perusahaan harus mempertimbangkan secara baik-baik manfaat dan kerugian yang akan dialami perusahaan di masa sekarang dan masa depan apabila memutuskan untuk melakukan revaluasi aset tetap (Hutagaol, 2007). 2.1.6 Perbedaan Revaluasi Aset Tetap Menurut Perpajakan dan Komersial Perlakuan revaluasi aset tetap menurut perpajakan dan komersial pasti tetap mengandung beberapa perbedaan yang substansial. Di satu sisi PMK RI No 191/PMK.010/2015 mengakomodasi target penerimaan pajak tahun 2015 dan untuk lebih mendorong roda perekonomian nasional secara masif,
18
sedangkan di sisi lain PSAK 16 memberikan pilihan measurement model after recognition (pengukuran setelah pengakuan), dimana salah satunya adalah model revaluasi dengan latar belakang untuk memberikan informasi pelaporan keuangan yang lebih relevan dan useful bagi decision-making. Artinya, sudah terdapat 2 (dua) aturan yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula. PMK No 191/PMK.010/2015 merupakan pengembangan dari PMK RI Nomor 79/PMK.03/2008 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sedangkan PSAK 16 adalah standar akuntansi keuangan resmi di Indonesia yang menggunakan IAS 16 - Property, Plant and Equipment sebagai acuan utama dan dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia. Dari 2 (dua) standar tersebut, paling tidak terdapat 8 (delapan) perbedaan signifikan sebagai berikut:
19
Tabel 2 Perbedaan Revaluasi Aset Tetap Menurut Perpajakan dan Komersial Point
Aspek
PMK RI 191 (2015) – Perpajakan Dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh aset tetap (psl 3) Dapat dilakukan kembali setelah 5 tahun sejak penilaian sebelumnya (pasal 3)
PSAK 16 (2011) Komersial Harus dilakukan atas kelompok aset yang sama (par. 36) Jika nilai wajar dari asaet yang direvaluasi berbeda secara material dengan jumlah tercatat, maka direvaluasi kembali (par. 34) Tidak diatur, menggunakan nilai pasar hasil apprasisal saja (par. 32)
1
Aset yang direvaluasi
2
Frekuensi revaluasi
3
Hasil penilaian oleh appraisal tidak mencerminkan keadaan sebenarnya Masa manfaat aset setalah revaluasi
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar atau aset yang bersangkutan (pasal 4) Kembali menjadi masa manfaat penuh sesuai dengan kelompok perpajakn (pasal 7)
Berlaku prospektif. Disusutkan berdasarkan sisa manfaat aset yang bersangkutan (par. 43)
5
Konsenkuensi atas penjualan aset tetap yang sudah direvulasi
Jika aset dijual dalam 10 tahun setelah revaluasi dilakukan, maka suplus revaluasi aset terkait dikenakan tambahan PPh final dengan tarif tertinggi yang berlaku pada saat revaluasi dilakukan – aset kelompok 3,4, tanah, bangunan (pasal 8)
Jika aset dijual, maka surplus revaluasi atas aset tersebut dipindah ke saldo laba, bukan di OCI lagi. Untuk penjualannya, tidak ada perlakuan khusus, gain/loss membandingkan NBV hasil revaluasi dengan hasil penjualan (par. 41)
6
Nama akun atas surplus revaluasi dalam neraca
4
Disajikan sebagai Tidak diatur secara “Selisih Lebih Penilaian khusus, namun secara Kembali Aset Tetap tersirat disebutkan Wajib Pajak surplus revaluasi (par. Tanggal.....” (pasal 9) 41) Sumber : PMK No. 191 Tahun 2015 dan PSAK No. 16 Tahun 2011
20
2.1.7 Perbedaan PMK RI Nomor 191/PMK.010/2015 dan PMK RI 79/PMK.03/2008 Kali ini Direktorat Jenderal Pajak memberikan fasilitas di bidang perpajakan, yaitu pengurangan tarif PPh Pasal 19 untuk Wajib Pajak. Insentif pajak ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Dapat dipahami bahwa PMK RI Nomor 191/PMK.010/2015 merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai Revaluasi Aktiva Tetap, maka PMK RI Nomor 191/PMK.010/2015
tidak mencabut atau
mengubah PMK RI Nomor 79/PMK.03/2008, yang berarti bahwa setelah tahun 2016 ketentuan tentang PPh atas Revaluasi Aktiva Tetap kembali lagi merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 dengan tarif yang dikenakan yaitu 10%.
21
Tabel 3 Perbedaan PMK 191 Tahun 2016 dan PMK 79 Tahun 2008 Point Aspek 1 Tarif 2 Dasar Pengenaan Pajak
PMK 191/PMK.010/2015 3%, 4%, 6%
PMK 79/PMK.03/2008 10%
1. Selisih nilai lebih aktiva tetap hasil penilaian kembali di atas nilai nilai sisa buku fiskal semula
Selisih lebih nilai aktiva tetap hasil penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula Seluruh aktiva tetap berwujud Bulan dilakukannya penilaian kembali
3 Penilaian aktiva Sebagian atau seluruh aktiva tetap berwujud tetap 1. 1 Januari 2016, bagi 6 Saat Wajib Pajak yang Penyusutan melakukan penilaian kembali aktiva tetap pada tahun 2015 2. Bulan dilakukannya penilaian kembali, bagi wajib pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap pada tahun 2016 dan 2017 7 Jangka Waktu 1. Pengajuan permohonan Penilaian tahun 2015 KJPP/Ahli menggunakan laporan Penilai Dengan KJPP/ahli penilai tahun Pengajuan 2015 Permohonan 2. Pengajuan permohonan Penilaian tahun 2016 menggunakan laporan Kembali KJPP/ahli penilai tahun 2016 8 Pelunasan Pajak Sebelum mengajukan permohonan Terutang
15 hari setelah dikeluarkan keputusan
Paling lama 12 bulan ersetujuan Sumber : PMK No. 191/PMK.010/2015 dan PMK No 79/PMK.03/2008
9 Angsuran
Tidak dapat diangsur
Pengajuan permohonan penilaian kembali menggunakan laporan KJPP/ahli penilai paling lama 1 tahun sebelumnya
22
2.1.8
Pemahaman mengenai PMK No. 191/PMK.010/2015
Saputra (2006) menyatakan bahwa bagi dunia usaha, pajak merupakan sumber pengeluaran tanpa mereka memperoleh imbalan secara langsung, sehingga dalam hal membayar pajak biasanya perusahaan berupaya agar pengeluaran pajaknya menjadi sekecil mungkin melalui perencanaan pajak. Tujuannya adalah mengefisiensikan jumlah pajak terhutang melalui penghindaran pajak tanpa harus melanggar undang – undang perpajakan, salah satu penerapan perencanaan pajak yang relevan untuk dilakukan dunia usaha saat ini adalah melalui kebijakan akuntansi revaluasi aset tetap yang mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No.79 Tahun 2008 Tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Pertimbangan adanya perkembangan harga yang mencolok atau adanya perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat berakibat adanya beban pajak yang kurang wajar, maka perlu pengaturan tentang revaluasi. Kemudian, Menteri Keuangan mengatur UU No.36 Tahun 2008 Pasal 19 ayat (2) mengatur akibat revaluasi yaitu atas selisih lebih aset diakui sebagai penghasilan dan dikenai dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.36 Tahun 2008. Selisih lebih yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) No.36 Tahun 2008, setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun – tahun sebelumnya berdasarkan No.36 Tahun 2008
23
yang berlaku, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10 persen. Kali ini Direktorat Jenderal Pajak memberikan fasilitas di bidang perpajakan, yaitu pengurangan tarif PPh Pasal 19 ayat (2) No.36 Tahun 2008 untuk Wajib Pajak. Insentif pajak ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Dapat dipahami bahwa PMK RI No. 191/PMK.010/2015 merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai Revaluasi Aset Tetap, maka PMK RI No. 191/PMK.010/2015 tidak mencabut atau mengubah PMK RI No. 79/PMK.03/2008, yang berarti bahwa, setelah tahun 2016 ketentuan tentang PPh atas Revaluasi Aset Tetap kembali lagi merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 dengan tarif yang dikenakan yaitu 10%. Dalam hal ini tujuan penilaian kembali aset tetap perusahaan dimaksudkan agar perusahaan dapat melakukan penghitungan penghasilan dan biaya lebih wajar sehingga mencerminkan kemampuan dan nilai perusahaan yang sebenarnya. Wajib Pajak yang dimaksudkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan wajib pajak orang pribadi yang melakukan pembukuan. Wajib Pajak dapat melakukan penilaian kembali aset tetap untuk tujuan perpajakan dengan mendapatkan perlakuan khusus apabila permohonan
24
penilaian kembali diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2016. Beberapa perlakuan khusus atau failitas diberikan melalui PMK RI No. 191/PMK.010/2015 ini yang tidak ada dalam peraturan sebelumnya, antara lain: 1. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final diberikan pemotongan, sehingga besarnya tarif menjadi : a. 3% (tiga persen) , untuk permohonan yang diajukan sejak 15 Oktober 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. b. 4% (empat persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016. c. 6% (enam persen) , untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016. Pemotongan tarif PPh Final tersebut hanya sampai 31 Desember 2016, dengan kata lain mulai 1 Januari 2017, tarif PPh Final atas revaluasi aset tetap kembali ke tarif semula yaitu 10%. 2. Tambahan Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak yang bisa melakukan penilaian kembali aset tetap untuk tujuan perpajakan meliputi Wajib Pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT) , dan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pembukuan, termasuk : a. Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
25
b. Wajib Pajak yang belum melewati jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aset tetap terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/ PMK. 03/2008. Pada peraturan sebelumnya hanya Wajib Pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), tidak termasuk Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat dan tidak termasuk juga Wajib Pajak yang belum melewati 5 tahun sejak penilaian kembali aset tetap yang terakhir. 3. Penilaian kembali aset tetap dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh aset tetap berwujud yang berada di Indonesia, dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pada peraturan sebelumnya mensyaratkan penilaian kembali harus dilakukan terhadap keseluruhan aset. 4. Penilaian kembali aset tetap dilakukan oleh kantor jasa penilai publik (KJPP) atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah. Dalam hal nilai pasar atau nilai Wajar yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aset tetap yang bersangkutan. 5. Penilaian kembali dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang belum melakukan penilaian kembali aset tetap, dalam arti Wajib Pajak boleh
26
menggunakan perkiraan nilai pasar wajar terlebih dahulu sebelum melakukan penilaian kembali. Tata Cara Permohonan penilaian kembali aset tetap untuk tujuan perpajakan diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Ketentuan dan tatacara permohonan sebagai berikut : 1.
Untuk Wajib Pajak yang telah melakukan penilaian kembali aset tetap yang dilakukan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai yang memperoleh izin dari Pemerintah, tetapi belum digunakan untuk tujuan perpajakan, dengan ketentuan: a.
Penilaian kembali aset tetap dilakukan pada tahun 2015 untuk permohonan yang diajukan pada tahun 2015.
b.
Penilaian kembali aset tetap dilakukan pada tahun 2016 untuk permohonan yang diajukan pada tahun 2016. Permohonan tersebut diajukan dengan menggunakan nilai aset tetap
hasil penilaian kembali aset tetap berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset tetap serta harus melampirkan: 1) Surat Setoran Pajak bukti pelunasan Pajak Penghasilan atas penilaian kembali aset tetap. 2) Daftar aset tetap hasil penilaian kembali. 3) Fotokopi surat izin usaha kantor jasa penilai publik (KJPP) atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah yang dilegalisir oleh
27
instansi Pemerintah yang berwenang menerbitkan surat izin usaha tersebut. 4) Laporan penilaian aset tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai yang memperoleh izin dari Pemerintah. 5) Laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aset tetap. 2.
Untuk Wajib Pajak yang belum melakukan penilaian kembali aset tetap, permohonan diajukan dengan menggunakan perkiraan nilai pasar atau nilai wajar aset tetap menurut Wajib Pajak sebagai perkiraan awal, permohonan ini harus melampirkan : a)
Surat Setoran Pajak bukti pelunasan Pajak Penghasilan atas perkiraan penilaian kembali aset tetap.
b) Daftar aset tetap yang akan dinilai kembali beserta perkiraan nilainya. 2.1.9
Pemahaman mengenai PMK No. 169/PMK.010/2015
Sebelum Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor169/PMK.010/2015 tersebut terbit, sebelumnya telah terdapat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang mengatur besaran perbandingan antara hutang terhadap modal. Ketentuan tersebut termuat dalam Keputusan Menteri
Keuangan
Nomor
1002/KMK.04/1984
tentang
Penentuan
Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Pada KMK tersebut ditetapkan rasio
28
maksimal hutang terhadap modal adalah tiga banding satu (3:1), namun ketentuan
tersebut
ditunda
pelaksanaannya
254/KMK.05/1985 tentang Penundaan Keuangan
Republik
Indonesia
sesuai
dengan
Pelaksanaan Keputusan
KMKMenteri
Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang
Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Praktis sejak 1985 tidak ada pengaturan batasan rasio hutang terhadap modal. Rasio hutang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio (DER) diatur kembali dengan 169/PMK.010/2015. ini
mulai
berlaku
Ketentuan tahun
mengenai
PMK-
Debt Equity Ratio (DER)
2016. Dalam PMK-169/PMK.010/2015 ini
menentukan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sebesar empat berbanding satu (4 : 1), sehingga ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal ini berlaku sejak Tahun Pajak 2016. Akibatnya Wajib Pajak akan terdorong mengikuti penilaian kembali aktiva tetap, agar biaya pinjaman yang telah diperhitungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak tidak dikoreksi fiskal. Subjek yang terkena dampak dari PMK 169 ini adalah wajib pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham – saham, dengan kata lain Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas , persekutuan komanditer (CV) tidak perlu kuatir jika biaya pinjaman akan difiskal. Hutang yang dimaksud adalah saldo rata-rata hutang pada satu tahun
29
pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan: 1.
Rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan.
2.
Rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan. Saldo hutang ini meliputi hutang jangka panjang, hutang jangka pendek,
serta hutang dagang yang dibebani bunga. Modal yang dimaksud adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
a.
Rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan.
b.
Rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan. Saldo modal yang dimaksud meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud
dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa. Saldo hutang berhubungan dengan biaya pinjaman. Biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana, biaya ini meliputi: 1) Bunga pinjaman. 2) Diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman.
30
3) Biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings). 4) Beban keuangan dalam sewa pembiayaan. 5) Biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang. 6) Selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf 2, huruf 3, huruf 4, dan huruf 5. Biaya pinjaman yang dapat dibiayakan sesuai dengan PMK RI No. 169/PMK.010/2015 harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Biaya terkait dengan hutang tidak melampaui batas DER maksimum. Jika DER melampaui DER maksimal, maka biaya pinjaman yang tidak boleh dibebankan sebesar selisih DER dikali biaya pinjaman. Sebagai contoh jika DER 6:1, maka biaya yang dapat dibebankan adalah sebesar 4/6 x biaya pinjaman atau koreksi biaya=2/6 x biaya pinjaman. b) jika Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak. c) Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
31
diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008. d) Biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Entitas yang wajib mengikuti ketentuan PMK RI 169/PMK.010/2015 adalah Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham. Entitas yang dikecualikan mengikuti ketentuan PMK RI 169/PMK.010/2015 : 1.
Wajib Pajak bank.
2.
Wajib Pajak lembaga pembiayaan.
3.
Wajib Pajak asuransi dan reasuransi.
4.
Wajib
Pajak
yang
menjalankan
usaha
di
bidang pertambangan
minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya
yang
terikat
kontrak bagi
hasil,
kontrak
karya,
atau
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal.
32
5.
Wajib
Pajak
Penghasilan
yang yang
atas bersifat
seluruh
penghasilannya
dikenai
Pajak
final berdasarkan peraturan perundang-
undangan tersendiri. 6.
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur. Ketentuan Khusus dalam PMK RI 169/PMK.010/2015 adalah sebagai
berikut: a.
Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan : 1)
Jika dalam kontrak atau perjanjian mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal, ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal dimaksud berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian tersebut.
2)
JIka dalam kontrak tidak mengatur, maka ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal mengikuti ketentuan PMK RI 169/PMK.010/2015.
b.
Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. Jika tidak menyampaikan laporan, maka atas biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut
33
tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak. 2.2
Rerangka Pemikiran
Pajak Terhutang Wajib Pajak Badan Keuntungan atau Kerugian atas Revaluasi Aset Tetap
Revaluasi Aset Tetap Laporan Posisi Keuangan dengan Harga Wajar Gambar 1 – Rerangka Pemikiran