BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terpaan Informasi Pengertian terpaan informasi (information exposure), menunjukkan adanya aktivitas yang berkenaan dengan frekuensi informasi yang ditujukan kepada sasaran. Peran terpaan informasi cukup berpengaruh untuk mengisi pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang sesuatu yang hendak disosialisasikan. Dalam kaitan itu perlu diperhatikan media komunikasi yang digunakan, agar isi, frekuensi dan bentuknya disesuaikan dengan kapasitas masyarakat penerima informasi (Rakhmat, 2007). Menurut Siregar dalam Dadan Mulyana (2002), salah satu faktor penyebab perubahan pada
masyarakat adalah adanya penyebaran informasi termasuk juga
penyampaian informasi melalui media massa, seperti televisi. Oleh karena itu peranan media massa penting untuk mengubah tanggapan masyarakat. Isi dalam terpaan informasi adalah materi informasi tentang rumah sakit yang disampaikan, meliputi akurasi dan kelengkapan informasi. Frekuensi adalah jumlah paparan informasi yang dilakukan rumah sakit secara teratur dan berkesinambungan, serta bentuk informasi adalah jenis media yang digunakan rumah sakit dalam menyampaikan informasi tentang keberadaan rumah sakitnya (Rakhmat, 2007). Informasi
sebagai
segala
sesuatu
“yang
mengurangi
ketidakpastian
mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi” (Rakhmat, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Informasi yang diperoleh mengorganisasikan sebagai gambaran yang mempunyai makna. Sehingga gambaran tersebut menunjukkan keseluruhan informasi. Citra atau merk suatu perusahaan yang terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh konsumen sasaran bisa dilakukan dengan media. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi buat masyarakat sehingga informasi itu harus dapat membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra dari organisasi atau rumah sakit. Informasi pada media massa yang digunakan organisasi harus menggambarkan visi rumah sakit serta pelayanan yang tersedia secara jujur dan akurat atau sering disebut informasi harus memiliki bentuk dan isi yang sesuai dengan konsumen sasaran serta pelayanan yang tersedia. Citra suatu organisasi atau rumah sakit harus dilakukan secara berulang-ulang atau disebut dengan frekuensi yang secara kontinu dibuat di suatu media berupa iklan yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang (target sasaran) untuk secara cerdas memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Menurut McLuhan dalam Rakhmat (2007), media massa merupakan perpanjangan alat informasi. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Menurut Klapper dalam Rakhmat (2007), terpaan informasi merupakan salah satu faktor perantara dalam konsep komunikasi massa. McQuail menyatakan komunikasi massa efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting. Dengan demikian meningkatnya frekuensi dan kualitas bentuk penyajian informasi,
Universitas Sumatera Utara
akan membawa pengaruh pada pengenalan masyarakat terhadap objek yang dikomunikasikan. Menurut Oskamp dalam Rakhmat (2007) menyimpulkan adanya lima pengaruh media massa dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap,: 1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok. 2. Karena faktor-faktor satu di atas, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change) 3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain. 4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial. 5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh. McQuail (Rakhmat, 2007) merangkum semua penemuan penelitian pada periode 1970-an sebagai berikut : 1. Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering kali berbentuk peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada.
Universitas Sumatera Utara
2. Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau penilaian terhadap sumber komunikasi. 3. Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dihendaki 4. Suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan mempengaruhi kemungkinan pengaruh media massa – ”komunikasi massa efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting.” 5. Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok. 6. Struktur hubungan interpersonal pada khalayak mengantarai arus isi komunikasi, membatasi, dan menentukan efek yang terjadi. Pada konteks terpaan informasi, menurut Panuju dalam Brodie (2002) menggambarkan peran informasi dalam transformasi sosial budaya. Informasi seperti halnya gen dalam sel hidup manusia yang bisa membiak dan mengalami evolusi. Menurut Wilbur Schramm, Paul Lazarfeld, dan Raymond Bauer dalam Uchyana (1981) mengatakan : 1. Layar televisi, surat kabar, mempengaruhi nilai, pola pikir (mindset) maupun budaya masyarakat. Hal ini bisa mempengaruhi harapan, pengalaman dan eksistensi sosial. Pada proses komunikasi ada model jarum hipodermik yaitu komponen komunikasi (komunikator, pesan, media) yang mempengaruhi proses komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyebabkan komunikan pasif dalam menerima pesan. Audiensi tidak pasif tetapi terpengaruh oleh informasi yang berasal dari media atau bacaan. Hal ini menyebabkan terjadinya transaksi antara komunikan dan media yang didengar atau dibaca. 2. Model Teori Agenda Setting bahwa media tidak mempengaruhi sikap tetapi mempengaruhi persepsi. Dalam operasionalisasinya, agenda setting menyajikan suatu kejadian/ peristiwa dengan terlebih dahulu memberinya suatu bobot tertentu seperti panjangnya penyajian dan cara penonjolan. Khalayak yang menjadi orang-orang yang diterpa pesan akan menerima informasi tersebut sebagai sesuatu yang merupakan konsumsinya sesuai dengan faktor-faktor psiko-sosial-ekonomi yang dimilikinya.
2.2. Pengambilan Keputusan Menurut Griffin (2004) pengambilan keputusan adalah tindakan memilih satu alternatif dari serangkaian alternatif. Pengambilan keputusan menunjuk pada aktivitas seleksi dan komitmen. Pembuat keputusan memilih tujuan-tujuan yang disukai, pernyataan yang paling masuk akal, atau jalan yang paling baik. Menurut Terry dalam Syamsi (1995) mengklasifikasikan pengambilan keputusan berdasarkan : (1) Intuisi, (2) Rasio, (3) Fakta, (4) Pengalaman, dan (5) Wewenang. 1. Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi jelas lebih bersifat subjektif. Pengambilan keputusan ini relatif membutuhkan waktu yang pendek. Untuk
Universitas Sumatera Utara
masalah-masalah yang dampaknya terbatas, pengambilan keputusan intuitif memberikan kepuasan pada umumnya. Namun keputusan ini kurang benar, sulit diukur kebenarannya karena kesulitan mencari alat pembandingnya. Dengan menggunakan dasar intuitif, maka dasar-dasar lainnya sering kali diabaikan. 2. Keputusan yang bersifat rasional banyak berkaitan dengan pertimbangan dari segi daya guna. Masalah-masalah yang dihadapinya juga merupakan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan rasional. Keputusan ini lebih bersifat objektif. Dalam masyarakat, keputusan yang rasional itu dapat terasa apabila kepuasan optimal masyarakat dapat terlaksana dalam batas-batas nilai kemasyarakatan yang diakui saat itu. 3. Keputusan yang diambil berdasarkan fakta, data atau informasi merupakan keputusan yang baik, meski untuk mendapatkan informasi yang cukup sering kali sulit. Bahkan dengan bantuan komputer, kadang kala masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi yang terperaya. Dalam kaitan ini diperlukan tenaga terampil yang mampu mengolah data menjadi informasi yang baik. 4. Keputusan berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan memprakirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecahan
masalah.
Berbekal
pengalaman
dan
kemampuan
untuk
memprakirakan, seseorang dapat menduga permasalahannya walaupun hanya melihat sepintas lalu, dan sudah dapat menduga macam penyelesaian yang dianggap paling baik di antara bermacam-macam alternatif pemecahan masalah.
Universitas Sumatera Utara
5. Keputusan yang diambil dengan menggunakan kewenangan terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh pengambil keputusan. Keputusan yang bersandarkan pada wewenang belaka akan menimbulkan sifat rutin dan mengasosiasikannya dengan praktik diktatorial. Rogers dalam Hanafi (1981) mengungkapkan ada empat tahapan dalam diri seseorang sebelum memutuskan mengadopsi suatu perilaku baru : (1) pengenalan, seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang cara inovasi berfungsi, (2) persuasi, seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak terhadap inovasi, (3) keputusan, seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi, dan (4) konfirmasi, seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Menurut Griffin (2004), kondisi mempengaruhi seseorang atau organisasi dalam pengambilan keputusan. Situasi yang muncul bagi pengambilan keputusan adalah kepastian, risiko, atau ketidakpastian. Kondisi yang memiliki tingkat kepastian adalah kondisi di mana pengambil keputusan tahu dengan kepastian yang beralasan mengenai alternatif apa yang ada dan kondisi apa yang terkait dengan setiap alternatif. Kondisi berisiko adalah merupakan kondisi ketersediaan dari setiap alternatif serta potensi hasil dengan biayanya yang berkaitan dengan estimasi kemungkinan. Kondisi ketidakpastian merupakan suatu kondisi suatu pengambilan keputusan tidak mengetahui semua alternatif, risiko yang terkait dengan setiap alternatif, atau kemungkinan konsekuensi dari setiap alternatif.
Universitas Sumatera Utara
Model pengambilan keputusan yang klasik adalah pengambilan keputusan secara rasional. Langkah-langkah dalam pengambilan keputusan secara rasional adalah : (1) mengenali dan mendefinisikan situasi keputusan; (2) mengidentifikasi alternatif; (3) mengevaluasi alternatif; (4) memilih alternatif terbaik; (5) mengimplementasikan alternatif yang terpilih, dan (6) mengikuti dan mengevaluasi hasil. Menurut Griffin (2004), jika semua situasi keputusan didekati dengan cara selogis sebagaimana yang dideskripsikan dalam pengambilan keputusan secara rasional, maka semakin banyak keputusan yang akan terbukti berhasil. Namun sering kali, keputusan dibuat dengan sedikit pertimbangan logika dan rasio. Young yang dikutip Sabaruddin (2002) mengatakan, ada tiga pertanyaan yang biasanya dipakai dalam pengambilan keputusan, yaitu : 1. Alternatif apa yang dilihat anggota masyarakat agar mampu menyelesaikan masalahnya. Alternatif yang dimaksud adalah pengobatan sendiri, tradisional, paramedis, dokter dan rumah sakit. 2. Kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari beberapa alternatif yang ada. Kriteria dipakai untuk memilih sumber pengobatan adalah keparahan sakit, pengetahuan tentang pengalaman sakit dan pengobatannya, keyakinan efektivitas pengobatan dan obat, serta biaya dan jarak yang terjangkau. 3. Bagaimanakah proses pengambilan keputusan untuk memilih alternatif tersebut. Proses pengambilan keputusan ini dimulai dengan penerimaan
Universitas Sumatera Utara
informasi, memproses berbagai informasi dengan kemungkinan dampaknya, kemudian
mengambil
keputusan
dari
berbagai
kemungkinan
dan
melaksanakannya. Menurut Bukhari yang dikutip Sabaruddin (2002), faktor-faktor dari konsumen yang memengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut : 1. Faktor sosiopsikologis yang meliputi sikap/ persepsi terhadap pelayanan kesehatan secara umum, pengetahuan dan sumber informasi dari pelayanan kesehatan. 2. Faktor demografis, yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, besar keluarga, kebangsaan, suku bangsa, dan agama. 3. Faktor ekonomis meliputi status sosioekonomis (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) 4. Dapat digunakannya pelayanan kesehatan yang meliputi jarak antara rumah penduduk dengan tempat pelayanan kesehatan. 5. Variabel yang menyangkut kebutuhan (need) yang meliputi morbiditas, gejala penyakit yang dirasakan oleh penderita yang bersangkutan, status terbatasnya keaktifan kronis, hari-hari di mana tidak dapat melakukan tugas serta diagnosa. Rumah sakit harus melihat kebutuhan pasien di dalam pasar sasaran dengan cara memahami kebutuhan yang diperlukannya. Ada 5 jenis kebutuhan pelanggan, menurut Kottler (2000) : kebutuhan yang dikemukakanya (pelanggan ingin biaya rumah sakit yang murah), kebutuhan yang sebenarnya (pelanggan ingin kepastian
Universitas Sumatera Utara
diagnosa) , kebutuhan yang tidak dikemukakan (pelanggan mengharapkan pelayanan yang baik dari rumah sakit), kebutuhan kesenangan (pelanggan ingin berobat tapi juga dengan perasaan senang), dan kebutuhan rahasia (pelanggan juga ingin dilihat orang lain sebagai pembeli yang memiliki nilai). Rumah sakit oleh karena itu harus dapat merumuskan kebutuhan pelanggan dari sudut pelanggan, hal ini menyebabkan seorang pasien akan melakukan keputusan pembelian dengan adanya untung rugi yang dia peroleh. Sehingga rumah sakit harus melakukan terpaan informasi (information exposure) yang dikemas dalam isi, frekuensi dan bentuk yang dapat mempengaruhi keputusan pelanggan karena tahu secara pasti mengenai rumah sakit yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhannya untuk berobat dan meningkatkan derajat kesehatannya. Sebuah rumah sakit sebagai sebuah organisasi yang bukan hanya social orientedtapi tetapi juga harus profit oriented. Hal ini dilakukan agar dapat membiayai aktifitas rumah sakit dan dapat terus menerus melakukan pengembangan teknologi kesehatan yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk itu sebuah rumah sakit harus menggunakan pemasaran melalui media massa. Untuk memberi informasi dan menjaring pelanggan sasaran secara optimal. Hal ini akan menguntungkan baik bagi rumah sakit maupun pasien karena mengetahui citra rumah sakit. Menurut D. Bross dalam Syamsi (1995) membedakan keputusan menurut tingkatannya : (1) keputusan otomatis, (2) keputusan memori, (3) keputusan kognitif.
Universitas Sumatera Utara
1. Keputusan otomatis merupakan keputusan yang dilakukan berdasarkan gerak refleks atau insting. Pengambilan keputusan ini tingkatannya paling rendah (sederhana).
Pada
umumnya
keputusan
ini
tidak
berubah
atau
akan
disempurnakan kembali karena bukan berdasarkan pikiran. 2. Keputusan memoris ini semata-mata mendasarkan diri pada kemampuan mengingat akan wewenang dan tugas yang diberikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal ini kemampuan mengingat kembali sangat dibutuhkan untuk kelancaran pengambilan keputusan. 3. Keputusan kognitif. Keputusan ini berarti keputusan yang pembuatannya berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ini akan berhasil apabila pembuat keputusan itu
memperhatikan
faktor
lingkungan,
pengetahuan,
dan
pengalaman.
Pengambilan keputusan yang bersifat kognitif dalam suatu organisasi merupakan sebagian dari keseluruhan proses dalam organisasi tersebut. Kiranya perlu disadari bahwa baik keputusan pribadi maupun keputusan organisasi, dalam prosesnya sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan nilai-nilai yang kerap kali saling bertentangan. Pemecahan masalah yang terbaik bukan dipilih berdasarkan keinginan pengambil keputusan, tetapi lebih ditekankan pada alternatif pemecahan yang dapat diterima dan yang telah diseleksi.
2.3. Rumah Sakit Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 159b/Men Kes/Per/II/1988 tentang rumah
sakit,
rumah sakit adalah
sarana upaya kesehatan
yang
Universitas Sumatera Utara
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pasal 8 dinyatakan tugas rumah sakit melaksanakan pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) serta melaksanakan upaya rujukan. Rumah sakit adalah suatu bagian menyeluruh (integral) dari organisasi sosial dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan yang lengkap kepada masyarakat, baik kuratif maupun rehabilitatif di mana pelayanan keluarnya menjangkau keluarga dan lingkungan, dan rumah sakit juga merupakan pusat untuk latihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian bio sosial (Depkes, 1997). Rumah sakit merupakan pusat pelayanan rujukan medik spesialistik dan subpesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) pasien (Depkes,1989). Sesuai dengan fungsi utamanya tersebut, perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga rumah sakit mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dengan lebih berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) (Ilyas, 2001). Klasifikasi rumah sakit umum pemerintah terdiri atas : (1) Kelas A mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas; (2) Kelas B II mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan sub-spesialistik terbatas; (3) Kelas B I mempunyai
Universitas Sumatera Utara
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik sekurang-kurangnya 11 jenis spesialistik; Kelas C mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 4 Dasar lengkap; dan (5) Kelas D mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-kurangnya pelayanan medik dasar. Adapun rumah sakit kelas A dan B II dapat berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan (Permenkes, 1988). Adapun klasifikasi rumah sakit swasta, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. 0072/Yanmed/ RSKS/SK/ 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Rumah Sakit Swasta menetapkan klasifikasi rumah sakit atas 3 : (1) Kelas Utama, (2) Kelas Madya, dan (3) Kelas Pratama. Tercatat 160 buah rumah sakit, di mana 57 di antaranya merupakan rumah sakit pemerintah; 103 rumah sakit swasta di Sumatera Utara. Di antara rumah sakit pemerintah tersebut, 1 unit merupakan RS Pusat Departemen Kesehatan, 31 rumah sakit pemerintah daerah kabupaten/ kota, 10 unit rumah sakit TNI/ Polri, dan 14 unit merupakan RS BUMN. Dari kuantitas, jumlah rumah sakit itu tentunya lebih dari cukup untuk melayani masyarakat Sumatera Utara (Dinas Kesehatan Sumut, 2009). Pada era globalisasi, perumahsakitan di Indonesia dihadapkan pada suatu keadaan persaingan yang cukup ketat. Secara lambat atau cepat rumah sakit akan dituntut oleh sistem untuk mengubah visinya dari product oriented kepada customer satisfaction oriented (Mambodiyanto, 1999). Ini berarti bahwa tingkat kepuasan pelanggan menjadi salah satu parameter mutu pelayanan rumah sakit. Pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan rumah sakit akan menjadi triger zone terjadinya suatu tuntutan pasien kepada rumah sakit. Dalam kaitan itu kita perlu
Universitas Sumatera Utara
menyamakan persepsi mutu pelayanan dari berbagai sudut pandang, baik dari masyarakat, provider, pemilik maupun manajemen. Biasanya yang paling krusial adalah persepsi mutu pelayanan dari pandangan masyarakat dan provider, khususnya pada mutu pelayanan rawat darurat, rawat jalan dan rawat inap (Mambodiyanto, 1999).
2.4. Landasan Teori Menurut D. Bross dalam Syamsi (1995) membedakan keputusan menurut tingkatannya : (1) keputusan otomatis, (2) keputusan memori, (3) keputusan kognitif. 1. Keputusan otomatis merupakan keputusan yang dilakukan berdasarkan gerak refleks atau insting. Pengambilan keputusan ini tingkatannya paling rendah (sederhana).
Pada
umumnya
keputusan
ini
tidak
berubah
atau
akan
disempurnakan kembali karena bukan berdasarkan pikiran. 2. Keputusan memoris ini semata-mata mendasarkan diri pada kemampuan mengingat akan wewenang dan tugas yang diberikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal ini kemampuan mengingat kembali sangat dibutuhkan untuk kelancaran pengambilan keputusan. 3. Keputusan kognitif. Keputusan ini berarti keputusan yang pembuatannya berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ini akan berhasil apabila pembuat keputusan itu
memperhatikan
faktor
lingkungan,
pengetahuan,
dan
pengalaman.
Pengambilan keputusan yang bersifat kognitif dalam suatu organisasi merupakan sebagian dari keseluruhan proses dalam organisasi tersebut. Kiranya perlu
Universitas Sumatera Utara
disadari bahwa baik keputusan pribadi maupun keputusan organisasi, dalam prosesnya sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan nilai-nilai yang kerap kali saling bertentangan. Pemecahan masalah yang terbaik bukan dipilih berdasarkan keinginan pengambil keputusan, tetapi lebih ditekankan pada alternatif pemecahan yang dapat diterima dan yang telah diseleksi.
2.5 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan pembahasan di atas maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut: Variabel Independen
Terpaan Informasi • Isi • Frekuensi • Bentuk
Variabel Dependen
Pengambilan Keputusan Pasien Berobat ke Luar Negeri
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Sumber :Rakhmat (2007)dan D Bross dalam Syamsi (1995)
Universitas Sumatera Utara