BAB 2 PENDEKATAN TEORETIS
Tinjauan Pustaka Filsafat Kuasa/Pengetahuan Di tengah kritik lemahnya landasan filosofis karya ilmiah di Indonesia (Sajogyo, 2006: 65), satu bagian khusus perihal landasan filosofis penelitian ini perlu disertakan, pertama, untuk mengetengahkan posisi filosofis penelitian, dengan menunjukkan ide-ide filosofis tertentu yang digunakan dalam penyusunan teori dan metode. Posisi penelitian ini berada dalam ranah episteme. Kedua, untuk mengajukan kritik dan membuka peluang penelitian baru dalam ilmu-ilmu sosial. Kajian beragam diskursus kemiskinan dalam suatu waktu yang sama dimungkinkan, dengan terlebih dahulu mengetengahkan domainnya yang berbeda-beda. Adapun interaksi antar beragam diskursus –sebagai konsekuensi dari kemunculannya dalam waktu yang bersamaan—berpeluang dikaji melalui konsep kekuasaan dan praktik sosial. Konsep episteme, yang mula-mula berkembang dalam filsafat Perancis, digunakan sebagai pangkal tolak pembahasan. Sementara konsep epistemologi – yang lebih dikenal—menggali berbagai cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan pengetahuan, episteme secara khusus merujuk pada kegiatan untuk menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya, hingga berubahnya suatu pengetahuan atau disiplin.1 Dalam penelitian ini episteme diarahkan pada perkembangan pengetahuan perihal kemiskinan. Georges Canguilhem menyajikan kekhususan kajian terhadap sejarah pengetahuan tersebut. Filsuf lainnya membedakan atau menyusun demarkasi pengetahuan ilmiah dari pengetahuan masyarakat umumnya, dan secara sengaja hanya mengkaji ilmu pengetahuan yang ilmiah (Popper 2008: viii), namun episteme sengaja tidak membedakan kedua jenis pengetahuan tersebut. Golongan 1
Pembedaan pengertian ini diambil dari K. Bertens (2006: 178).
10
filsuf yang meninggikan derajat ilmu pengetahuan mendasarkan argumennya pada pandangan bahwa susunan jenis pengetahuan ini sistematis. Sebaliknya dalam episteme berkembang pandangan bahwa dalam tiap jenis pengetahuan, termasuk pengetahuan umum dalam masyarakat, terdapat susunan yang terstruktur dan sistemik. Struktur tersebut telah ditemukan baik pada masyarakat Barat1 maupun dalam komunitas tribal.2 Canguilhem (2005: 79) menjelaskannya sebagai berikut. A culture is a code that orders human experience in three respects – linguistic, perceptual, practical; a science or a philosophy is a theory or an interpretation of that ordering. But the theories and interpretations in question do not apply directly to human experience. Science and philosophy presuppose the existence of a network or configuration of forms through which cultural productions are perceived. These forms already constitute, with respect to that culture, knowledge different from the knowledge constituted by sciences and philosophies. This network is invariant and unique to a given epoch, and thus identifiable through reference to it. Diskontinuitas sejarah pengetahuan berkaitan dengan pandangan, bahwa perkembangan tiap jenis pengetahuan terbatas menurut ruang dan waktu, tidak bersifat universal baik dalam arti teorinya berguna untuk masyarakat sedunia, atau teorinya berlaku sepanjang waktu. Konsekuensinya metode untuk menilai atau mengontrol pengetahuan juga tidak universal, melainkan hanya sesuai dengan ruang dan waktu perkembangan jenis pengetahuan tersebut. Konsekuensi yang lebih mendasar muncul dalam perumusan sejarah pengetahuan. Perkembangan pengetahuan tidak bersifat kumulatif, melainkan bersifat diskontinu. Adapun hubungan antar diskursus yang telah memiliki domainnya sendirisendiri dapat dilakukan melalui filsafat kekuasaan. Pengetahuan tidak disusun atas fakta-fakta obyektif atau realis, melainkan terbatas pada tafsir atas metafora (Nietzsche 2002: 45-47). Dengan kata lain, pengetahuan menjadi bersifat imajiner, yang menyembunyikan perspektif dan hasrat penyusunnya. Kesadaran
1
Canguilhem (2005: 90) menunjukkan dikotomi "yang normal" dan "yang abnormal" (atau pernah disebutnya "yang patologis" (Foucault 2002: 394)) dalam struktur pengetahuan Barat masa kini. 2 Levi Strauss menemukan struktur majemuk dikotomis dalam masyarakat tribal (lihat Levi Strauss 2005: 375-433).
11
pengetahuan seseorang selalu berupa kesadaran-atas-hierarki antara penafsir yang lebih kuat dan yang lebih lemah. Tafsir tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya sebagaimana pandangan konstruktivisme, namun di sini tafsir terkuat muncul sebagai tanda bekerjanya kekuasaan tertinggi yang melingkupinya. Tafsir atas sesuatu diketahui melalui kekuasaan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya. Dengan demikian kekuasaan mendominasi realitas, sehingga suatu hubungan antara diskursus dan praktik yang satu dengan lainnya selalu menunjukkan kekuasaan penafsiran terkuat. Persepsi yang disusun peneliti terhadap realitas tersebut juga merupakan ekspresi atas kekuasaan-kekuasaan yang membentuk realitas tersebut. Peneliti dapat menangkap makna dari perang diskursus pada saat mengetahui kekuasaan utama yang menyusun tafsir tersebut. Suatu kekuasaan yang ditemukan, sebaliknya, dapat menjadi petunjuk tafsir utama yang mungkin diambil dari hasil perang diskursus tersebut. Namun demikian, hierarki penafsiran tidak membuat pemaknaan homogen, namun pemaknaan atas sesuatu senantiasa bersifat plural. Obyek tidak pasif, namun ia sendiri merupakan kekuasaan, atau yang mengekspresikan kekuasaan untuk memaknai. Oleh sebab itu terdapat kekuatan tarik menarik antara obyek dengan kekuatan yang menguasainya (Nietzsche 2000: 81-83). Dalam bentuk saling berkaitan atau berinteraksi dengan kekuasaan lain, kekuatan ini dinamakan sebagai kehendak untuk berkuasa (Nietzsche 2002: 4547). Yang diinginkan oleh kehendak untuk berkuasa ialah menegaskan perbedaannya, distingsinya, atau diskontinuitasnya dari kekuatan lain. Kelahiran pembedaan menunjukkan kehendak untuk berkuasa sebagai elemen genealogis, dengan cara tidak menghapuskan kesempatan (misalnya praktik untuk melarang), sebaliknya mengimplikasikan peluang berpraktik atau bersifat produktif. Suatu kesempatan akhirnya membawa kekuasaan dalam suatu hubungan praktis atau hubungan sosial, dan kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip yang menentukan praktik ini.
12
Pemandangan Baru Sosiologi Gerakan akademis berupa putaran linguistik (linguistic turn) yang bermula di Perancis pada dekade 1960-an dan 1970-an telah mengubah karakteristik ilmuilmu sosial masa kini, yang benar-benar berbeda dari era sebelumnya (Ritzer 2006: 1-3; Sutherland 2008: 46-66). Tantangan tidak hanya berlaku pada teoriteori umum, namun juga pada teori-teori yang dikembangkan dari wilayah khusus, misalnya dari Indonesia (Dhakidae 2002: 60-66; Philpott 2003: 56-67). Pengaruh putaran linguistik tidak sekedar berupa pengembangan strukturalisme sebagai konsekuensi dari teori linguistik dari Saussure (1993: 85-101), melainkan hingga kritiknya dalam bentuk pascastrukturalisme dan pascamodernisme (Hoed 2008: 55-73). Kritik terhadap strukturalisme inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Salah satu konsep dasar Saussure (1993: 85-87) tentang hierarki antara langue yang lebih umum dan parole yang spesifik diadaptasi dalam menganalisis hubungan hierarkis antara struktur sosial yang lebih abstrak, lebih umum serta tahan lama, dan interaksi sosial yang lebih kongkrit, spesifik lokasi dan waktu.1 Selain itu, hubungan antara petanda yang lebih konseptual dan penanda yang lebih operasional
(Saussure
1993:
145-151)
mengantarkan
pemikiran
untuk
menganalisis hubungan sosial secara lebih mendalam. Hubungan antara petanda dan penanda sejajar dengan representasi sosial yang bersifat lebih abstrak dalam hubungannya dengan referen secara fisik, hubungan antara struktur dan agensi, serta antara habitus dan arena. Analisis tidak hanya diterapkan pada interaksi antar individu sebagai hubungan sosial primer, melainkan lebih difokuskan pada hubungan refleksif (Bourdieu 2011: 173-174; Giddens 2003: 49-53) yang mampu mempertanyakan konsep-konsep dasar dalam kehidupan sosial (Habermas 1996: 94-99) maupun menjelaskan hubungan yang lebih abstrak antar institusi (2002a: 64). Pengaruh
strukturalisme
telah
melemahkan
posisi
subyek,
menghilangkannya, atau meletakkannya sebagai anonimitas (Habermas 1996: 2841; Bourdieu 2010a: 3-25). Subyek tidak bisa muncul dan bertindak secara bebas sebagaimana diteorikan oleh tindakan sosial weberian (Weber 1978: 4-26), 1
Tampaknya Saussure menggunakan ide dualisme struktur dan interaksi sosial dari Durkheim (Kridalaksana 1993: 5)
13
melainkan dimunculkan oleh atau mengambil posisi terbatas dalam institusi atau arena yang sudah ditentukan (Bourdieu 2010a: 3-25; Foucault 2007: 62-69) atau berperan sebagai agensi yang dipengaruhi struktur (Giddens 2003: 6-34). Menggunakan hasil analisis Freud (2003: 140-158) tentang keberadaan id (ketidakrasionalan) yang mempengaruhi ego, serta hipotesis Darwin (2003: 434461) tentang evolusi manusia dari makhluk yang sederhana, hadir penyangkalan terhadap dominasi subyek yang rasional sekaligus mempertanyakan rasionalitas, bahkan meletakkannya di bawah posisi ketidakrasionalan. Sebagai gantinya dikemukakan kehendak dan kekuasaan sebagai pengarah penting tingkah laku manusia1
(Foucault
2002d:
65-66,
2008:
120-126).
Sebagian
teoretisi
mengemukakan konsep kesempatan (chance) untuk menjelaskan “ruang kosong” yang mempengaruhi pilihan dan tindakan individu dan kelompok tersebut (Sibeon 2004: 34-45). Pembalikan posisi subyek rasional di bawah ketidakrasionalan memungkinkan kajian mendalam terhadap suara lapisan terbawah, seperti sastra pascakolonial (Said 2001: 3-20), kemiskinan radikal (Rahnema 1992: 158-172), orang gila (Foucault 2002b: 323-334), homoseksual (Foucault 2008: 56-74), dan sebagainya. Pengaruh linguistik saussurean juga menguatkan relasi atau jaringan baik antar orang atau antar institusi. Satu pihak saja tidak dapat mendefinisikan sesuatu tanpa berinteraksi dengan pihak lain (Levi-Strauss 2005: 43-73), dan hanya dalam interaksi itulah dapat dimunculkan pengetahuan, konsensus untuk bersikap atau bertindak. Konsekuensinya bagi sosiologi mendalam, karena pandangan tersebut menghancurkan konsep struktur yang kaku dalam bentuk pembagian kerja (Durkheim 1933: 70-132) atau kelas (Marx dan Engels 1960: 49-67), sebagai pola-pola yang dapat digunakan untuk memprediksi sikap, tindakan, dan pemikiran. Pada saat ini paling-paling yang dapat dimunculkan berupa proses menuju penciptaan struktur namun relatif cair atau mudah berubah, misalnya berupa strukturasi (Giddens 2003: 19-34) atau arena (Bourdieu 2010a: 5). Konsekuensi berikutnya berupa semakin pentingnya interaksi sebagai penghasil konsep kunci sosiologis lainnya. Kekuasaan tidak bisa lagi dialamatkan pada suatu status, posisi, atau institusi sosial apa adanya (Weber 1958: 180-195; 1
Salah satu pendapat awal tersebut dikemukakan oleh Lacan (Bracher 2009: 29-73)
14
Parsons, 1977: 204-228; Marx dan Engels 1960: 49-67), melainkan kekuasaan hanya muncul dalam suatu interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault, 2002a: 62-65, 2002d: 120-128). Kekuasaan menjadi muncul di mana-mana, sejauh interaksi sosial berlangsung. Hal itu mengantarkan pada pemikiran, bahwa kekuasaan melandasi interaksi sosial. Dalam kaitan dengan tanda-tanda yang dianalisis linguistik saussurean, kekuasaan ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mendominasi tafsir terhadap tanda tersebut. Sebuah tanda dapat memiliki tafsir yang beragam dan bertingkat-tingkat, namun pada akhirnya suatu definisi atau makna atas tanda dalam suatu masyarakat tergantung kepada pemilik kekuatan dominan (Nietzsche 2000: 81-83). Konsekuensi lebih jauh lagi pada pascastrukturalisme berupa upaya untuk menunda hubungan langsung antara penanda dan petanda.1 Ruang kosong antara penanda dan petanda diisi dengan kekuasaan (Foucault 2002d: 120-128), sehingga pemikiran Nietzsche mendapatkan landasan empirisnya. Selain menggugat hubungan langsung antara petanda dan penanda, para penganut pascamodernisme menghilangkan penanda. Ketika suatu petanda mengemukakan referennya, yang yang dimaksud bukan lagi suatu penanda yang esensial atau riil, melainkan berupa petanda lainnya. Jaringan hubungan antar petanda akhirnya membentuk simulakra yang tidak berakhir (Baudrillard 2001: 181-194), sehingga mewujudkan pemikiran antiesensialisme. Perkembangan sosiologi masa kini memiliki konsekuensi dalam kajian kemiskinan. Pertama, konsep kemiskinan dapat dianalisis recara refleksif atau sebagai diskursus. Kedua, refleksi dan diskursus kemiskinan dihasilkan melalui interaksi sosial. Ketiga, interaksi sosial mengandung kekuasaan untuk mendominasi pemaknaan dan penciptaan diskursus kemiskinan, serta memerangi diskursus lainnya. Keempat, golongan miskin, simpatisan atau pengelolanya dalam suatu kondisi dan waktu tertentu dipandang memiliki diskursus kemiskinan tersendiri yang sistematis, sehingga salah satu tugas peneliti ialah menemukan sistem pengetahuan khas tersebut. Kelima, dimungkinkan munculnya beragam diskursus kemiskinan dari golongan sosial yang berbeda-beda. 1
Sebagaimana diuraikan oleh Derrida (Spivak 2003: 133-156).
15
Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial Analisis sosiologis dapat dilakukan dalam tataran diskursus, refleksif, struktur sosial, dan pengelolaan benda-benda (Foucault 2002a: 62-65). Saat ini belum ditemui teori sosiologi yang membicaraan sekaligus keempat tataran tersebut, sehingga dalam penelitian ini dipadukan teori diskursus dari Foucault dan teori sosiologi dari Bourdieu. Meskipun Foucault telah menunjukkan keempat tataran analisis ilmu sosial tersebut, namun ia hanya mengembangkan secara mendalam teori diskursus. Adapun Bourdieu (2010aa: 9-10) menyetujui analisis diskursus Foucault, namun lebih banyak mengembangkan tataran refleksif dan interaksi sosial. Keduanya sama-sama mengkaji susunan benda-benda, dalam kaitannya dengan tataran analisis di atas. Keduanya juga bersepakat dalam paham filosofis diskontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan, mengembangkan orientasi teori pada praktik sehari-hari, menyepakati konsep predisposisi sebagai refleksi individu sebelum bertindak, dan munculnya kekuasaan secara inheren dalam interaksi sosial. Teori diskursus sendiri telah dikembangkan oleh banyak ahli, diantaranya Foucault, Habermas, Laclau dan Moffe. Dibandingkan teori diskursus lainnya, karya Foucault memiliki metode yang lengkap, dan telah dipraktikkan pada berbagai bidang, termasuk dalam kritik pembangunan dan kemiskinan. Pada tataran refleksif, Bourdieu (2010a: 5-58) menyatakan bahwa dalam diri agensi terwujud predisposisi sikap untuk melakukan tindakan, yang dinamakannya habitus. Interaksi sosial antar agensi terstrukturkan dalam suatu arena. Konsep agensi digunakan untuk menunjukkan kemampuannya membentuk struktur, sekaligus kenyataan bahwa dirinya turut dipengaruhi oleh struktur sekelilingnya. Dalam arena tersebut, hubungan antar agensi secara empiris didorong oleh habitus dan berbagai modal yang dimilikinya. Modal tersebut dapat dirumuskan sebagai modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Sebenarnya Foucault (2003: 12-17) sempat menuliskan hubungan antara diskursus dan lembaga sosial. Dengan membandingkan kesamaan tataran analisis, konsep lembaga menurut Foucault setara dengan arena menurut Bourdieu (Tabel 1).
16
Tabel 1. Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu Tataran Analisis Sosiologi Diskursus Refleksif Struktur sosial Susunan benda-benda
Konsep Foucault Diskursus Refleksif Lembaga Susunan benda-benda
Konsep Bourdieu Diskursus Habitus Arena Modal ekonomi
Suatu interaksi, baik berupa interaksi sosial dalam arena atau lembaga, maupun interaksi antar diskursus, dijelaskan sebagai suatu strategi (Bourdieu 2010a: 5; Foucault 2002a: 89-98). Konsep ini digunakan karena persis pada saat interaksi berlangsung, maka turut serta kekuasaan yang dilimpahkan dari satu agensi, struktur atau diskursus kepada pihak lainnya. Di sini kekuasaan tidak didefinisikan sebagai semacam entitas tersendiri atau terstruktur hanya pada lembaga politik, namun lebur dalam setiap interaksi. Gambar 1. Paduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial Diskursus
arena
Habitus 2
strategi
modal
Habitus 1
modal
Perpaduan teori diskursus Foucault dan teori sosiologi Bourdieu dapat disusun dengan menempatkan diskursus sebagai konteks yang mendasari keseluruhan refleksi dan tindakan sosial (Gambar 1). Hubungan antara diskursus dan arena atau habitus tidak terjadi secara langsung, namun hanya saat diskursus secara efektif mendukung eksistensi arena atau habitus tersebut.
17
Interaksi sosial antar agensi dapat digambarkan sebagai hubungan antar habitus dalam suatu arena. Sementara habitus bersifat subyektif, arena memiliki sifat obyektif dan terstruktur secara lebih ketat. Hubungan antara habitus dan arena hanya dapat berlangsung ketika prasyarat untuk memasuki arena sesuai dengan predisposisi habitus. Predisposisi tersebut diperoleh melalui sejarah dan pemikiran refleksif. Berbagai jenis modal turut mendorong interaksi antar habitus. Hubungan interaktif tersebut berlangsung sebagai suatu jaringan sosial, meskipun melewati struktur yang hierarkis. Interaksi berlangsung sebagai suatu strategi yang melibatkan kekuasaan antar agensi. Diskursus menurut Foucault Di antara beragam teori diskursus, terdapat tiga teori diskursus yang lebih kuat sebagai landasan bagi munculnya analisis hingga teori sosial baru. Pertama, teori diskursus dari Foucault (2002a: 28-188; 2003: 9-62), sebagai basis pengembangan teori poskolonial, kekuasaan yang produktif untuk memampukan atau memberdayakan, teori gay, teori pasca pembangunan, kritik modernitas (Sachs 1992: 1-5; Said 2001: 3-20). Kedua, teori diskursus dari Laclau dan Moffe (2008: 1-63), sebagai basis analisis hegemoni masa kini, post-Marxis, konstruktivisme marxian dalam antropologi dan psikologi. Ketiga, teori diskursus dari Habermas (1996: 118-132), dikembangkan dalam teori demokrasi deliberatif dan analisis terhadap konflik (Dryzek 2002: 20-30). Perbandingan antar teori diskursus tersebut tersaji pada Tabel 2. Keseluruhan teori diskursus tidak memandang realitas sosial sebagai fakta, melainkan sebagai metafora atau makna sesuai pandangan agensi. Manusia sebagai subyek yang bebas dalam merekayasa dan meramalkan kejadian sosial tidak lagi dipercaya. Secara khusus penelitian kali ini menggunakan teori diskursus dari Foucault, karena selama ini juga digunakan dalam menganalisis pihak-pihak yang di-Lain-kan (Othered) atau tersisih, yaitu orang gila, orang sakit, narapidana, gay. Dalam penelitian ini, upaya untuk menampilkan golongan miskin di tingkat lokal
18
pedesaan sebagai pihak yang di-Lain-kan dilandasi penolakan penggunaan tipe ideal dari narasi besar modernisasi, kesediaan menggali beragam diskursus dan praktik yang rasional (modernisasi) maupun bukan rasional (dari orang miskin sendiri), serta pandangan kekuasaan yang menyebar dalam seluruh interaksi sosial (sehingga orang miskin dipandang turut memiliki kekuasaan pula). Tabel 2. Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas Keterangan
Teori Diskursus Foucault
Realitas Filsafat subyek Universalisme
Antiesensialisme Ditolak
Diskontinuitas
Diterima
Rasio
Bawah sadar mendahului rasio Tidak mempercayai tipe ideal
Tipe ideal
Ditolak, dikembangkan narasi lokal
Kekuasaan
Kekuasaan inheren dalam interaksi
Peran diskursus
Memungkinkan munculnya refleksi, pemikiran dan susunan benda-benda
Wilayah diskursus
Hanya pada tataran diskursus, bukan pada tataran refleksif/institusional, interaksi sosial, dan pengorganisasi benda Didisiplinkan oleh diskursus dan institusi Diperhatikan, tidak bersifat diskursif
Tindakan manusia Susunan benda-benda
Teori Diskursus Laclau dan Moffe Antiesensialisme Ditolak
Teori Diskursus Habermas Antiesensialisme Ditolak
Ditolak, tergantung konstruksi masing-masing masyarakat Diterima
Klaim-klaim kebenaran bersifat universal
Sistematis Tidak mempercayai tipe ideal, realitas sesuai konstruksi masyarakat Kekuasaan diskursif dalam bentuk hegemoni atau resistensi Memahami realitas sesuai konstruksi kepentingan tiap masyarakat Pada seluruh tataran, baik diskursus, organisasi dan institusi, interaksi sosial, dan susunan benda-benda Dipengaruhi hegemoni Tidak diperhatikan, bersifat diskursif
Ditolak, karena terdapat konsensus Rasio prosedural Tindakan komunikatif merujuk tipe ideal Muncul dalam filsafat subyek Memungkinkan komunikasi yang bersifat reflektif (bukan komunikasi naif) Hanya pada praksis tindakan komunikatif
Bersifat rasional, untuk mencapai konsensus Tidak diperhatikan, tidak bersifat diskursif
Analisis diskursus sebagai kesatuan dapat dilakukan karena menerima pandangan diskontinuitas untuk memperoleh pengetahuan yang benar-benar berbeda (distinctif). Analisis diskursus menurut Foucault dibatasi pada tataran diskursus, sedangkan tataran tindakan manusia dan susunan benda-benda tidak memiliki hubungan langsung dengan diskursus. Hubungan yang tidak langsung
19
ini memungkinkan interaksi antar diskursus, dan memungkinkan analisis perubahan sosial yang bersumber dari tataran diskursus maupun praktik. Pembentukan Diskursus Diskursus
didefinisikan
sebagai
pernyataan
yang
memungkinkan
sekelompok tanda-tanda sebagai obyek suatu diskursus menjadi eksis (Foucault 2002a: 152-153), serta memungkinkan hadirnya bentuk dan aturan-aturan kehadiran tanda-tanda kemiskinan tersebut. Sebuah pernyataan dikaitkan dengan kemungkinan aturan-aturan bagi eksistensi obyek-obyek kemiskinan yang dinamai, ditunjuk dan ditandai dalam pernyataan tersebut, dan bagi relasi antar agensi yang diakui atau dibentuk di dalamnya. Tabel 3. Kesejajaran Level Analisis Umum dan Pembentukan Diskursus Foucault Level Analisis Umum Teori Proposisi Konsep Fakta
Level Formasi Diskursus Strategi Modalitas penyampaian Konsep Pernyataan
Kajian pembentukan diskursus terdiri atas level strategi, modalitas penyampaian, konsep, positivitas, dan pernyataan (Tabel 3). Mengadaptasi pemikiran Foucault (2002a: 56-77), bentuk diskursif kemiskinan ialah sekelompok pernyataan yang menunjukkan: (1) seperangkat aturan umum yang membentuk sendiri obyek kemiskinan (pemikiran, tindakan, susunan bendabenda), (2) secara teratur memilah-milah hal yang boleh disampaikan, dan (3) referensi dari suatu domain tindakan dan pemikiran. Bentuk diskursif terdiri atas analisis pernyataan kemiskinan (pembentukan obyek, pembentukan posisi subyek, pembentukan konsep, pembentukan pilihan strategi), yang berkorespondensi dengan analisis domain tempat fungsi penyampaian informasi kemiskinan bekerja (wilayah peristiwa diskursif dan modalitas penyampaian). Hal ini tersaji pada Gambar 2. Obyek diskursus kemiskinan dibentuk mula-mula dengan dipetakannya kemunculan obyek pikiran, tindakan dan benda-benda pertama kali (surface of
20
emergence). Bagi penganutnya, obyek diskursus baru dipandang lebih rasional daripada diskursus lama. Analisis diarahkan kepada cara untuk menentukan dan membatasi domain suatu diskursus kemiskinan, hal-hal yang boleh dibahas di antara penganutnya, status suatu obyek dihubungkan dengan obyek kemiskinan lainnya, penamaannya, dan pengelompokan yang dimungkinkan.
Analisis Pernyataan
Domain diskursus
Pembentukan strategi Modalitas penyampaian
Pembentukan konsep
Pembentukan subyek
Wilayah peristiwa diskursif
Pembentukan obyek
Gambar 2. Bentuk Diskursif Pembentukan subyek dikembangkan melalui situasi yang memungkinkan golongan miskin dan pihak lain bertindak dalam kaitannya dengan berbagai peluang tindakan yang diperbolehkan, yang disebut domain diskursus. Situasi tersebut dikondisikan oleh jangkauan pemikiran, tindakan dan penyusunan benda yang paling optimal, penggunaan perantara untuk memodifikasi informasi, dan posisi di mana subyek bisa masuk ke dalam jaringan informasi. Pengembangan
diskursus
kemiskinan
secara
khusus
menciptakan
kebutuhan analisis modalitas penyampaian. Analisis mencakup, pertama, subyek yang berbicara: yang memiliki hak, yang berkompeten, sumber untuk mendapatkan kemampuan khusus itu, dan status subyek tersebut. Kedua, institusi atau arena tempat subyek menyusun suatu diskursus kemiskinan, menerima sumber diskursus, atau mengaplikasikannya. Ketiga, posisi subyek dalam hubungannya dengan situasi untuk saling berhubungan dalam suatu diskursus kemiskinan, serta kondisi tentang batas diskursus, instrumen yang digunakan, dan posisinya dalam jaringan informasi kemiskinan. Analisis wilayah diskursif
21
diarahkan untuk menentukan syarat eksistensi golongan miskin, menjelaskan batas-batas eksistensinya, menentukan korelasinya dengan pernyataan-pernyataan lain yang mungkin tidak termasuk ke dalam wilayah diskursif tersebut. Pengelolaan Diskursus Lembaga sosial dan susunan benda-benda tidak bersifat diskursif. Sementara diskursus bisa menemukan diskontinuitas dan berkembang lebih jauh, lembaga sosial memainkan peranan utama untuk mengurangi efek revolutif diskursus dalam melakukan perubahan sosial (Foucault 2003: 9-62). Penataan diarahkan pada pengurangan atau pendisiplinan interaksi sosial yang secara inheren menyebarkan kekuasaan. Lembaga sosial menyusutkan kekuatan diskursus melalui aturan penyisihan, yang mengontrolnya secara eksterior (Gambar 3). Aturan penyisihan meliputi, pertama, aturan pengecualian (exclusion), yang berisi larangan (prohibition) untuk membahas aspek-aspek tertentu dari kemiskinan. Kedua, aturan pembagian (division) dan penolakan (rejection) dari suatu konsep kemiskinan. Ketiga, oposisi salah dan benar atas suatu pernyataan tentang kemiskinan yang disampaikan. Aturan internal suatu diskursus kemiskinan mempertanyakan kontrol yang dilakukannya sendiri. Pertama, pengaturan klasifikasi penataan dan distribusi berbagai pernyataan tentang kemiskinan. Kedua, perhatian terhadap komentar tentang kemiskinan karena memainkan dua peranan, yaitu berpeluang menciptakan diskursus kemiskinan yang baru, atau sebaliknya dengan mengatakan hal-hal biasa tanpa munculnya pernyataan baru. Ketiga, pengarang (author) bukan sebagai subyek, melainkan sebagai kesatuan prinsip dalam satu kelompok tulisan atau pernyataan-pernyataan tertentu, sebagai dudukan bagi keterpaduan sistem pemikiran dalam suatu diskursus kemiskinan. Keempat, keberadaan disiplin kemiskinan tertentu (bukan sains), yang dibentuk oleh kelompok obyek, metode, sekelompok proposisi yang diandaikan benar, aneka ragam aturan dan definisi, teknik dan peralatan sehingga membentuk tata aturan yang anonim.
22
Obyek yang ditutupi Aturan pengecualian
Ritual dan keadaan ritual Hak bicara istimewa dan eksklusif
Aturan penyisihan Aturan pembagian dan penolakan Oposisi salah dan benar Prinsip klasifikasi, penataan, distribusi Institusi sosial
Aturan internal
Komentar Aspek pengarang Disiplin Ritual
Aturan pengelolaan kekuasaan
Fellowship of discourse Kelompok doktrinal Penyisihan sosial
Gambar 3. Sirkulasi Diskursus Aturan pengelolaan kekuasaan dalam diskursus kemiskinan meliputi, pertama, ritual, berupa tindakan berulang dalam suatu diskursus kemiskinan. Kedua, persahabatan diskursus (fellowship of discourse), berupa interaksi solidaritas suatu diskursus kemiskinan dengan diskursus kemiskinan lainnya. Ketiga, kelompok doktrinal dalam suatu diskursus kemiskinan. Keempat, penyisihan sosial (social exclusion) bagi pihak lain yang dipandang sebagai orang luar dari suatu diskursus kemiskinan. Diskontinuitas Diskursus Pembentukan diskursus kemiskinan tidak hanya membuka peluang munculnya diskursus yang sudah dikenal, namun sekaligus dapat menemukan
23
domain bagi munculnya calon diskursus kemiskinan lainnya. Domain bagi suksesi suatu diskursus tersebut berupa suatu kejanggalan (Gambar 4).
Arkeologi Diskursus Transformasi
Kesatuan diskursus
Kontradiksi
Formasi dan Sirkulasi diskursus Kejanggalan
Gambar 4. Arkeologi Diskursus Kejanggalan yang menguat menghasilkan kontradiksi kemiskinan. Terdapat dua level kontradiksi (Foucault 2002a: 150-179), pertama, kontradiksi penampakan, yang telah didamaikan dalam kesatuan diskursus kemiskinan yang lama. Kedua, kontradiksi fondasi, yang melahirkan diskursus kemiskinan yang baru. Analisis diarahkan kepada tipe-tipe kontradiksi kemiskinan, perbedaan level sesuai dengan kemampuan kontradiksi tersebut dipetakan, dan perbedaan peran terhadap diskursus kemiskinan yang bisa dikaji. Kontradiksi
yang
memuncak
menghasilkan
transformasi
atau
diskontinuitas diskursus. Diskontinuitas merupakan praktik untuk menghasilkan perbedaan, diferensiasi atau distingsi dari diskursus kemiskinan sebelumnya. Praktik Sosial menurut Bourdieu Hubungan antara diskursus dan praktik sosial berkaitan dengan efektivitas diskursus untuk dijalankan dalam tindakan-tindakan sosial (Bourdieu 2011: 110112). Diskursus dan praktik dilaksanakan dalam ruang sosial (bukan ruang
24
geografis) di mana ketika agensi, kelompok atau institusi semakin dekat satu sama lain, maka makin banyak sifat umum yang mereka miliki. Bourdieu (2011: 31-32, 88) mengetengahkan teori tentang praktik untuk menganalisis kejadian-kejadian sosial. Sementara lazimnya teori sosiologi mencari struktur atau makna dalam jangka panjang, teori tentang praktik sosial memperdalam tindakan yang diambil agensi dalam suatu ruang dan waktu yang terbatas. Analisis diarahkan terhadap struktur sosial atau arena yang membatasi, namun
juga
kemampuan
agensi
untuk
menggunakan
pengalaman
dan
pemikirannya dalam memutuskan sesuatu perihal kemiskinan pada saat itu (saat habitus bersesuaian dengan arena kemiskinan tertentu). Habitus Habitus merupakan sistem disposisi dari agensi (orang miskin, pengelola praogram dan sebagainya), yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan melalui sosialisasi atau pendidikan (Bourdieu 2010a: 5-58). Disposisi tersebut diperoleh sepanjang pengalaman hidupnya, menciptakan prinsip-prinsip tindakan sehingga dapat berfungsi untuk menyusun struktur pengelolaan kemiskinan. Dalam merumuskan habitus, Bourdieu menggunakan berbagai sudut pandang. Habitus yakni disposisi berdasarkan peraturan yang akan melahirkan perilaku-perilaku berdasarkan aturan dan teratur (Bourdieu 2011: 85). (Habitus adalah) asal-usul berupa skema persepsi, pikiran dan tindakan (Bourdieu 2011: 164). Habitus…yaitu struktur-struktur mental yang mereka pakai untuk memahami dunia sosial, sebenarnya merupakan internalisasi struktur dunia tersebut (Bourdieu 2011: 173). Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik… Konsekuensinya habitus memproduksi praktik dan representasi yang dapat diklasifikasi, yang dapat dipilah-pilah secara obyektif (Bourdieu 2011: 174). Dalam kaitan pedesaan dan orang miskin, Bourdieu mengemukakan kekhasan habitus sebagai berikut.
25
Dalam masyarakat di mana kodifikasi hukum belum terlalu canggih, habitus adalah prinsip cara-cara praktik yang paling utama (Bourdieu 2011: 85). Karena disposisi perseptif cenderung disesuaikan dengan posisi, maka para agen, bahkan yang tidak beruntung sekalipun, cenderung memahami dunia sebagai sesuatu yang alamiah dan memang begitu adanya serta menerimanya dengan enteng melebihi apa yang bisa dibayangkan orang (Bourdieu 2011: 173). Sistem dalam habitus dibentuk melalui oposisi-oposisi pemikiran untuk memahami lingkungan kemiskinan. Oposisi disusun menjadi beragam kode-kode biner,
sehingga
bisa
dipraktikkan
melalui
permainan
homologi,
yaitu
menggunakan kode-kode yang setara untuk memahami diskursus kemiskinan yang lain (Bourdieu 2010a: 25-28). Permainan homologi antar oposisi terpenting dapat membentuk struktur atau arena, dan menstrukturkan hubungan kekuasaan serta antar lapisan sosial atas dan bawah. Homologi-homologi yang bersifat oposisional tersebut juga membentuk aliansi di antara posisi-posisi yang serupa (homolog). Hubungan antara habitus dan arena dimulai dari pandangan, bahwa arena merupakan serangkaian kesempatan atau prasyarat sosial yang obyektif, sebagaimana halnya persyaratan untuk mendapatkan proyek pengurangan kemiskinan. Agensi perlu menyesuaikan disposisinya yang subyektif dengan ruang kesempatan obyektif yang sesuai, misalnya melalui pelatihan bagi golongan miskin. Biasanya agensi memilih di antara kesempatan tersebut yang paling mudah dimasuki, atau bersifat kontinum. Habitus yang bersifat diskontinu terhadap persyaratan arena menyulitkan agen untuk memasuk arena tersebut. Arena Arena dapat dipandang sebagai struktur sosial yang hierarkis, yang didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidahnya sendiri, dan dengan relasi kekuasannya sendiri. Strukturnya dibentuk oleh hubungan antar posisi dalam arena, misalnya mekanisme hubungan kewajiban dan hak antara pengelola proyek pengurangan kemiskinan di pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa. Bourdieu (2010a: 5) sendiri mendefinisikan arena sebagai berikut.
26
Dan struktur arena, yaitu ruang posisi-posisi, tak lain adalah struktur distribusi modal properti-properti spesifik yang mengatur keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba eksternal atau laba spesifik (seperti prestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya Pengalaman keragaman posisi yang pernah ditempati agensi dinamakan lintasan (Bourdieu 2010a: 5-58), sebagaimana seringkali dimiliki pendamping berbagai proyek pengurangan kemiskinan. Adapun hubungan antar agensi yang melibatkan kekuasaan yang inheren disebut sebagai strategi. Strategi lazimnya dilaksanakan secara tidak sadar dan bersifat jaringan. Strategi dilakukan antar agensi dengan mempertimbangkan modal yang dimiliki, baik berupa modal ekonomi dan sarana benda-benda, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Distribusi agensi dalam arena tergantung dari jumlah modal sosial mereka secara keseluruhan maupun jumlah relatif menurut jenis modal yang spesifik. Modal lazimnya bersifat spesifik dalam suatu arena tertentu, dan dengan modal tersebut agensi dapat bertahan dengan cara menegaskan perbedaannya, membuat diri mereka diketahui dan diakui. Perubahan dalam ruang kemungkinan atau kesempatan dalam arena merupakan hasil dari hubungan kekuasaan yang membentuk ruang posisi-posisi baru. Agensi yang baru yang lebih kuat dapat memodifikasi ruang posisi tersebut, dan dapat terbentuk diskontinuitas arena baru. Kemunculan Kekuasaan melalui Interaksi Sosial Menurut Foucault (2008: 120-126) dan Bourdieu (2011: 195), kekuasaan belum muncul ketika relasi sosial tidak terjadi, dan baru muncul sejalan dengan relasi tersebut. Pemahaman kekuasaan semacam ini menggeser pemikiran sebelumnya, misalnya pemikiran Weber (1958: 180-195) serta Marx dan Engels (1960: 49-67), yang memandang kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain. Di sini kekuasaan berdiam atau menempati seseorang atau kelompok, atau kekuasaan sudah ada dalam diri seseorang atau kelompok. Berbeda dari itu, dalam memandang kaitan diskursus, refleksi dan interaksi sosial, kekuasaan tidak bersifat untuk dimiliki atau selalu represif,
27
melainkan bersifat praktis atau untuk dipraktikkan. Melalui hubungan antar diskursus, habitus dan arena, operasi kekuasaan dapat bersifat produktif untuk mengembangkan kesempatan agar individu bisa menggunakan kemampuannya setinggi mungkin. Pada saat ini, misalnya, konsep pemberdayaan digunakan pendamping untuk membuka peluang orang miskin agar mampu menjalankan usaha ekonomi mikro. Sewaktu memproduksi diskursus kemiskinan, kekuasaan menghasilkan subyek atau agensi, seperti orang orang, keluarga miskin, pengusaha miskin, dan sebagainya. Subyek aktif atau agensi memproduksi golongannya sendiri, meskipun terikat hanya pada aturan-aturan diskursif yang sudah terbentuk. Agensi tidak sepenuhnya muncul secara alamiah, melainkan diciptakan, misalnya melalui ilmu pengetahuan sosial (Foucault 2007: 394-407). Kekuasaan masuk ke dalam subyektivitas melalui diskursus dan habitus. Di sini subyek membentuk kondisikondisi obyektif agar suatu pengetahuan dapat muncul ke permukaan arena sosial (Bourdieu 2010a: 5-58). Secara material maupun kultural, kekuasaan menampakkan jejaknya dalam tubuh orang miskin. Agensi juga menampakkan diri dalam tubuh, dan kekuasaan ditempelkan menjadi konstruksi identitas tubuh miskin (Bourdieu 2010b: 10-31). Menurut Foucault (2002d: 71) tubuh sosial bukanlah merupakan konsensus, namun lebih tepat dipandang sebagai perwujudan operasi kekuasaan. Kebenaran suatu pengetahuan menginduksi efek-efek kekuasaan secara teratur. Sesuai kaidah diskontinuitas, setiap masyarakat memiliki rezim kebenaran sendiri. Rezim kebenaran ialah tipe diskursus tertentu yang diterima dan difungsikan sebagai sesuatu yang benar (Foucault 2002d: 164-165). Suatu rezim kebenaran kemiskinan tertentu mencakup berbagai mekanisme dan instansi yang memampukan orang membedakan pernyataan yang benar dan salah atas suatu tafsir kemiskinan, di mana setiap penilaian tersebut memiliki sanksi-sanksinya sendiri. Rezim kebenaran juga beroperasi dalam bentuk teknik dan prosedur untuk mencapai tafsir kemiskinan yang diharapkan. Rezim kebenaran selanjutnya memberikan status sosial bagi subyek yang berani mengatakan aspek kemiskinan yang dianggap benar.
28
Kajian Diskursus Kemiskinan secara Dikotomis Di luar Indonesia, pembahasan kemiskinan sebagai diskursus telah dimulai Rahnema (1992: 158-172), dengan informasi yang dapat ditelusuri dari abad ke 10, sebagaimana tercantum dalam tulisan sosiologis Ibn Khaldun dan kisah sufi perempuan Rabiah
Al-Adawiyah.
Rahnema selanjutnya
mendikotomikan
diskursus kemiskinan alternatif atau partisipatoris, dengan penguatan World Bank dalam mengelola kemiskinan dari tingkat nasional hingga global melalui proyekproyek pengurangan kemiskinan. Pembentukan diskursus kemiskinan global ini dimulai dari pidato Truman pada tahun 19471 (Esteva 1992: 6-25). Kemiskinan dibentuk sebagai obyek diskursus yang terkoordinasi hingga tingkat nasional dan internasional. Kemiskinan pun tidak lagi dipandang sebagai masalah individu atau kerabat, melainkan turut membesar sebagai masalah suatu negara, bahkan ke tingkat dunia. Modalitas untuk mengembangkan diskursus ini disampaikan melalui teks yang menstandarisasi pengurangan kemiskinan di seluruh dunia, yaitu dokumen Millennium Development Goals. Modalitas kepada negara penerima donasi World Bank juga dikembangkan secara seragam melalui disiplin perencanaan program dan anggaran yang tercantum dalam Poverty Reduction Strategy Paper (Levinsohn 2003: 9-13). Konsep kemiskinan distandardisasi sebagai penduduk yang memiliki pendapatan minimal 1 dolar AS per hari untuk negara miskin – yang di-Lain-kan dari negara maju dengan garis lebih tinggi yaitu 2 dolar AS per hari. Adapun strategi untuk mengurangi kemiskinan tercantum dalam teori CDD (community-driven development), yang dimaknai sebagai pengambilan keputusan oleh komunitas (Dongier dkk. 2003: 3-4). Pengambilan keputusan dilakukan menurut kaidah rasionalitas ekonomi, yaitu mengambil peluang yang paling efisien di antara hierarki tujuan dan sumberdaya proyek. Upaya efisiensi proyek pada akhirnya meninggalkan lapisan termiskin, dan memilih golongan pengusaha kecil yang masih mampu mengembalikan pinjaman proyek. 1
Presiden Truman mengatakan, “We must embark on a bold new program for making the benefit of our scientific advances and industrial progress available for the improvement and growth of underdeveloped areas. The old imperialisme –exploitation for foreign profit—has no place in our plan. What we envisage is a program of development based on the concepts of democratic fair dealing”. Dikutip dari Esteva (1992: 6).
29
Rahnema (1992: 158-172) mengemukakan pula diskursus kemiskinan alternatif atau partisipatoris berupa upaya pengembangan kapasitas penduduk miskin. Akan tetapi, sejak istilah pembangunan partisipatoris menjadi populer untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, sebagian organisasi menggunakan konsep ini hanya untuk mendapatkan legitimasi dalam perolehan dana (Cooke dan Kothari 2001: 1-15). Kegiatan pemberdayaan biasanya melewati birokratisme pemerintah, namun dengan menyalurkan bantuan melalui elite komunitas sebenarnya kegiatan itu juga sedang memarjinalisasi golongan miskin (Mosse 2001: 16-35). Oleh karena donor biasanya juga menyalurkan sumberdaya melalui kelompok yang memiliki organisasi lebih baik, maka pembangunan partisipatoris justru melemahkan kelompok lokal dari golongan miskin yang belum berpengalaman dalam proyek pengurangan kemiskinan (Mohan 2001: 153-167). Terlihat di sini, bahwa meskipun telah diperoleh indikasi beragam diskursus kemiskinan (yang dikembangkan sufi, World Bank, dan pengamat pembangunan partisipatoris), namun selama ini yang dikembangkan sekedar dikotomi antara diskursus kemiskinan ciptaan donor dan diskursus kemiskinan alternatif. Mekanisme hubungan keduanya juga dikaji secara sederhana sebagai dominasi pihak pertama kepada pihak kedua. Kajian yang berpusat pada sifat dikotomi tersebut menghilangkan peluang munculnya kemajemukan diskursus kemiskinan dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Analisis kekuasaan yang diterapkan dalam kajian-kajian selama ini juga tertuju pada sifat dominasi, yang menutupi kekuatan untuk memunculkan subyek miskin itu sendiri. Kerangka Penelitian Kerangka penelitian disusun dengan mempertimbangkan kemajuan kajian
diskursus
kemiskinan
yang
masih
bersifat
dikotomis,
serta
mempertimbangkan masalah dan tujuan penelitian ini. Berkaitan dengan itu, kerangka penelitian ini disusun sebagai pembentukan diskursus, praktik pelembagaan diskursus, dan mekanisme kekuasaan dalam interaksi antar diskursus maupun praktik kemiskinan di pedesaan.
30
Mula-mula dikaji pembedaan (distinctiveness) dari beragam teori dan konsep formal kemiskinan (Gambar 5), seperti kemiskinan absolut dan relatif. Pembedaan tersebut dikembangkan lebih lanjut dengan membandingkan pembedaan statistika dan data-data sekunder tentang kemiskinan, sehingga menghasilkan lebih banyak lagi pembedaan sesuai dengan data pendukungnya. Contohnya pembedaan jumlah orang miskin dan sumber kemiskinan dari sumber statistika atau dokumen yang sama maupun berbeda. Oleh karena berada dalam ranah studi pembangunan, dikaji pula pembedaan isi beragam kebijakan yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti kebijakan untuk subyek kemiskinan yang berbeda-beda. Sebagaimana hasil pembedaan data sekunder, pembedaan yang muncul dalam kebijakan tersebut juga digunakan untuk mengembangkan kemajemukan tafsir kemiskinan.
Pembedaan beragam data statistika dan data sekunder
Pembedaan beragam teori dan konsep kemiskinan
Pembedaan beragam kebijakan tentang kemiskinan
Pembedaan diskursus kemiskinan
Modal spesifik pendukung habitus
Pembedaan konsekuensi habitus tentang kemiskinan
Pembedaan konsekuensi beragam arena
Perang antar diskursus, habitus, dan arena yang berbeda
Analisis kemunculan golongan miskin
Gambar 5. Kerangka Penelitian
31
Pada tahap selanjutnya, diinterpretasi berbagai pernyataan yang memungkinkan munculnya temuan kemajemukan pembedaan teori, konsep, statistika, data sekunder lainnya, serta kebijakan. Kelompok pernyataan yang mampu menjelaskan kemunculan masing-masing golongan teori, data dan kebijakan tersebut dinyatakan sebagai diskursus kemiskinan. Tahap berikutnya berupa penggalian argumentasi alasan dan sejarah atas munculnya berbagai dokumen kebijakan, tindakan-tindakan yang berpola, hingga pengelompokan benda-benda tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak responden dan informan untuk berefleksi atas pengalamannya pribadi, lalu membandingkan dengan refleksi agensi lainnya. Argumentasi alasan dan sejarah tersebut distrukturkan dalam keragaman oposisi biner, yang bisa diuji dalam menjelaskan praktik yang berlangsung. Hal ini dinyatakan sebagai habitus. Adapun kekuatan yang mendukung habitus suatu agensi dalam berhubungan dengan agensi lainnya dinyatakan sebagai modal spesifik. Modal dapat berupa benda atau harta yang bersifat ekonomis, keeratan hubungan sosial, hingga penguasaan simbol-simbol yang berprestise tinggi. Analisis berikutnya diarahkan pada hubungan antara keragaman diskursus yang telah tersusun, dengan keragaman susunan habitus ini. Digali sampaimana diskursus yang spesifik memunculkan habitus tertentu. Pada tahap selanjutnya analisis diarahkan pada beragam aturan atau lembaga dan organisasi yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Di sinipun digali pembedaan antar prasyarat untuk masuk, modal yang dinilai lebih tinggi, aturan-aturan yang dikembangkan lebih lanjut, serta posisi-posisi sosial pada
kelompok-kelompok
lembaga
dan
organisasi.
Dengan
kata
lain,
dikembangkan susunan arena yang beragam. Pengembangan arena tertentu juga dianalisis dalam kaitannya dengan diskursus
yang
spesifik.
Digali
kemampuan
diskursus
tersebut
dalam
memunculkan arena tertentu. Digali pula hubungan antara arena dan habitus tertentu, berupa kecocokan antara prasyarat dan aturan dalam suatu arena dengan penguasaan modal dan refleksi pemikiran dalam habitus tertentu. Sampai di sini analisis sudah mulai memperluas cakrawala kajian diskursus kemiskinan. Analisis, lebih jauh lagi, dapat membawa penelitian untuk
32
mencapai tujuan menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi penggunaan kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan. Analisis juga mampu menjawab pertanyaan penelitian perihal alasan kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Setelah melakukan analisis di dalam diskursus dan praktik (analisis habitus dan arena) tersebut, berikutnya analisis diarahkan pada hubungan peperangan antar kelompok diskursus dan praktik kemiskinan yang berbeda-beda. Analisis dilakukan pada masing-masing level diskursus, habitus, dan arena. Perang tersebut dapat saling menggunakan dan memanipulasi beragam aspek diskursus dan praktik yang berbeda-beda, maupun berupa upaya dominasi antar kelompok diskursus dan praktik. Analisis perang diskursus dapat mengarahkan penelitian ini pada tujuan untuk menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Analisis ini juga dapat menjawab pertanyaan penelitian tentang alasan perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus menerus. Interpretasi lebih lanjut dipusatkan pada peluang dan kenyataan munculnya orang miskin di antara beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan, serta selama perang berlangsung. Dianalisis operasi kekuasaan untuk memunculkan atau menenggelamkan golongan miskin, serta hubungan golongan miskin dengan agensi lainnya. Analisis perihal kemunculan golongan miskin diharapkan dapat menjawab tujuan untuk memunculkan golongan miskin dalam rangka menanggulangi kemiskinannya sendiri. Analisis ini juga hendak menjawab pertanyaan pokok berupa alasan operasi kekuasaan dalam diskursus dan praktik belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Konsep Kerja Dalam
penelitian
ini
telah
disusun
konsep-konsep
kerja
untuk
mempermudah pencarian data di lapangan dan data sekunder, serta penyusunan
33
analisisnya. Diskursus kemiskinan dipahami sebagai pemikiran, pengetahuan, kebijakan, peraturan perundangan untuk mengelola kemiskinan dan golongan miskin di tingkat desa, kabupaten, provinsi, nasional dan global. Praktik kemiskinan meliputi pengembangan habitus, penyusunan arena, institusi sosial, interaksi sosial, strategi, lintasan, penggunaan modal dan susunan benda-benda yang dikembangkan untuk mengelola suatu diskursus kemiskinan tertentu. Praktik kemiskinan mencakup, pertama, arena, meliputi lembaga atau aturan lokal, kelompok, organisasi, proyek dan program penanggulangan kemiskinan. Kedua, strategi, merupakan interaksi sosial obyektif yang terjadi antar agensi dengan melibatkan kekuasaan. Ketiga, habitus, meliputi sejarah, pola pemikiran, dan harapan terhadap suatu tindakan. Keempat, modal, merupakan benda dan jasa yang dimiliki agensi untuk mendukung interaksi dengan agensi lainnya, baik berupa modal ekonomi atau susunan benda-benda, tubuh orang miskin, wilayah tempat kemiskinan muncul, simbol kemiskinan, pemikiran yang ditumbuhkan, dan jaringan sosial yang dimiliki. Kemiskinan dipahami sebagai diskursus tentang lapisan sosial terbawah atau kondisi keterbatasan, di mana penempatan posisi sosial pada tingkat terbawah dan kondisi keterbatasan diperoleh melalui susunan obyektif arena yang dikembangkan dari subyektivitas pengetahuan lokal. Kekuasaan dipandang sebagai pola tindakan dalam hubungan sosial yang diarahkan secara strategis untuk mengidentifikasi, memelihara dan menghilangkan kehadiran orang miskin atau kemiskinan, mengatur aspek-aspek kemiskinan yang-bisa-dikatakan dan yang-bisa-dilihat, serta berupaya menghasilkan makna terkuat atau pandangan yang dinilai paling benar tentang kemiskinan. Pengetahuan didefinisikan sebagai kehendak terhadap kekuasaan yang diterapkan dalam bentuk pengembangan rezim kebenaran tertentu tentang kemiskinan.
Kehendak
pengetahuan
dioperasionalkan
dalam
penyusunan
predisposisi sosial dalam bentuk pola pemikiran yang argumentatif untuk mendukung klaim kebenaran atas suatu metafora kemiskinan agar bisa diterima masyarakat. Pembangunan dilihat sebagai diskursus tentang transformasi sosial yang terutama disusun oleh negara atau lembaga internasional, dengan dukungan ilmu
34
pengetahuan formal. Pembangunan sekaligus mengandung kehendak untuk mengambil kekuatan dari pengetahuan informal, seperti hasil-hasil perencanaan partisipatoris.