BAB 2 LANDASAN TEORI & PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Efisiensi Pasar Pasar dapat dikatakan efisien jika informasi yang diberikan oleh pasar mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Dengan kata lain, pasar modal yang efisien adalah pasar yang mencerminkan seluruh berita dan informasi yang tersedia. Pasar yang efisien juga cepat dalam menyerap informasi baru dan menyesuaikan harga saham terhadap informasi tersebut (Investopedia).
Asumsi utama pasar modal yang efisien (Investopedia): a) Sebagian besar dari investor menganalisa dan menilai sekuritas untuk memperoleh keuntungan. b) Informasi baru muncul ke pasar bebas dari berita lain maupun dengan cara acak. c) Harga saham dengan cepat menyesuaikan pada informasi baru. d) Harga saham mencerminkan seluruh informasi yang ada.
Teori efisiensi pasar berasumsi bahwa pasar itu efisien. Tetapi, efisiennya pasar tersebut terbagi menjadi 3 kategori level (Investopedia): 1.
Teori Efisiensi Pasar – Lemah Teori efisiensi pasar – lemah menyatakan bahwa pasar adalah efisien, mencerminkan seluruh informasi pasar. Hipotesa ini berasumsi bahwa tingkat pengembalian pasar adalah bebas; tingkat dari yang sebelumnya tidak memiliki efek terhadap tingkat selanjutnya. Berdasarkan asumsi ini, ketentuan seperti trader menggunakannya sebagai indikator untuk membeli atau menjual sahamnya adalah tidak benar. Pengujian pada kondisi ini adalah: Pengujian statistikal untuk kebebasan – kondisi ini berasumsi bahwa tingkat pengembalian pasar adalah bebas, tidak terkait pada apa pun. Berdasarkan asumsi tersebut, pengujian ini dilakukan untuk melihat kondisi ini terhadap asumsi kebebasan tersebut. Contoh dari pengujian ini adalah pengujian 13
14 autokorelasi: pendapatan tidak berkorelasi secara signifikan setiap waktu dan menjalankan pengujian: harga saham berubah secara bebas setiap waktu. Pengujian perdagangan – kondisi ini berasumsi bahwa penghasilan sebelumnya tidak mengindikasikan hasil selanjutnya, karenanya ketentuan yang diiku oleh trader adalah salah. Contohnya adalah investor tidak dapat memperoleh penghasilan abnormal setelah biaya transaksi dilakukan. 2.
Teori Efisiensi Pasar – Sedang Teori efisiensi pasar – sedang menyatakan bahwa pasar adalah efisien, mencerminkan informasi publik yang tersedia. Hipotesa ini berasumsi bahwa saham menyesuaikan dengan cepat saat memperoleh informasi baru. Teori efisiensi pasar – sedang juga mencakup hipotesa teori efisiensi pasar – lemah. Diasumsikan saat harga saham mencerminkan seluruh informasi baru yang tersedia dan investor membeli saham tersebut setelah informasi ini dilepas ke publik, investor tidak dapat memperoleh keuntungan yang melebihi keuntungan pasar dengan trading menggunakan informasi baru. Pengujian pada kondisi ini adalah: Pengujian kejadian – kondisi ini berasumsi bahwa market mencerminkan seluruh informasi publik yang tersedia. Pengujian kejadian menganalisa sekuritas saat sebelum dan setelah kejadian, seperti pendapatan. Ide dibalaik pengujian kejadian ini adalah investor tidak akan dapat menuai diatas rata – rata tingkat pengembalian dari trading pada sebuah kejadian. Pengujian regresi / time-series – mengingat bahwa time-series forecasts returns bebasis pada data historis. Hasilnya, investor seharusnya tidak dapat memperoleh abnormal return berdasarkan metode ini.
3.
Teori Efisiensi Pasar – Kuat Teori efisiensi pasar – kuat menyatakan bahwa pasar adalah efisien, mencerminkan seluruh informasi, baik informasi publik maupun informasi privat, membentuk dan menggabungkan teori efisiensi pasar – lemah dan teori efisiensi pasar – sedang. Diasumsikan, harga saham mencerminkan seluruh informasi (publik dan privat), tidak ada investor yang akan mampu memperoleh keuntungan di atas rata – rata market, bahkan setelah memperoleh informasi baru. Pengujian pada kondisi ini adalah:
15 Insiders – insiders bagi sebuah perusahaan seperti senior manajer, memiliki akses atas informasi privat perusahaan. Exchange Specialists – merupakan seseorang yang dipanggil kembali untuk menjalankan ekuitas spesifik. Telah ditemukan, seorang exchange specialists dapat memperoleh keuntungan di atas rata – rata dengan informasi atas permintaan spesifik tersebut. Analysts – hasil analisa dan opini analis dapat membantu investor untuk memperoleh keuntungan di atas rata – rata. Institutionals Money Managers – merupakan seseorang yang bekerja untuk reksadana, dana pensiun, dan lainnya. Telah ditemukan bahwa para manajer keuangan dapat memperoleh return di atas rata – rata.
2.1.2. Relevansi Nilai dari Informasi Akuntansi Penelitian tentang relevansi nilai dari informasi akuntansi sudah sangat banyak diteliti dari sejak abab ke-19. Sejalan dengan perkembangan waktu, penelitian tentang nilai relevansi ini terus berkembang dan melibatkan variabel – variabel yang semakin luas. Penelitian – penelitian tersebut berasal dari seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia. Dwimulyani (2010) meneliti bagaimana kekuatan hubungan nilai informasi yang terkandung dalam neraca, apakah menunjukkan hubungan yang rendah, sedang, atau kuat. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan (1) nilai informasi yang terkandung dalam neraca, yaitu aktiva dikurang hutang mempunyai kekuatan hubungan dengan nilai perusahaan adalah sedang, dan (2) nilai informasi yang terkandung dalam neraca, yaitu nilai buku ekuitas ditambah laba berjalan mempunyai kekuatan hubungan dengan nilai perusahaan adalah kuat. Santoso (2010) meniliti bagaimana relevansi nilai dari laba, nilai buku, dan arus kas pada perusahaan yang terdaftar di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa laba, nilai buku, dan arus kas memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap harga saham (value relevant). Cahyonowati & Ratmono (2012) meneliti bagaimana adopsi dari standar akuntansi IFRS (International Financial Reporting Standards) dapat mempengaruhi relevansi nilai dari informasi akuntansi di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa tidak adanya peningkatan relevansi nilai dengan adanya adopsi IFRS di Indonesia.
16 Chandrapala (2013) meneliti tentang nilai relevansi akuntansi pada Colombo Stock Exchange (CSE), Sri Lanka pada tahun 2005 – 2009, yang dikaitkan dengan konsentrasi kepemilikan dan besar perusahaan. Menemukan bahwa (1) relevansi penghasilan dan nilai buku pada CSE berada di bawah rata – rata, (2) perusahaan yang terkonsentrasi memiliki relevansi yang lebih tinggi, (3) perusahaan yang besar memiliki relevansi yang lebih tinggi, dan (4) relevansi nilai buku lebih tinggi dibandingkan penghasilan. Johan (2013) meneliti tentang perbandingan relevansi nilai dari permanent earnings dan transitory earnings, yang diintermediasi oleh nilai buku per lembar saham (BVPS). Penelitian ini menghasilkan 3 kesimpulan, yaitu (1) Permanent earnings dan BVPS sebagai variabel intermediat adalah berpengaruh signifikan terhadap harga saham, (2) Transitory earnings dan BVPS sebagai variabel intermediat adalah berpengaruh signifikan terhadap harga saham, dan (3) Transitory earnings lebih relevan dibandingkan dengan permanent earnings.
2.1.2.1. Pengertian Nilai Relevansi Menurut Beisland (2009), nilai relevansi adalah kemampuan suatu informasi akuntansi dalam menangkap dan meringkas nilai perusahaan. Nilai relevansi ini dinilai dengan perhitungan statistik antara informasi yang dihasilkan oleh laporan keuangan dan harga pasar saham perusahaan tersebut. Selanjutnya, Francis dan Schipper (1999) dalam Kusuma (2006) memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap nilai relevansi, yaitu dengan memberikan 4 kemungkinan interpretasi konstruk relevansi nilai, yaitu: 1. Informasi keuangan mempengaruhi harga saham karena memiliki nilai intrinsik saham, sehingga berpengaruh pada harga saham tersebut; 2. Informasi laporan keuangan merupakan nilai yang relevan bila mengandung variabel yang dapat digunakan untuk memprediksi variabel – variabel tersebut; 3. Hubungan statistik digunakan untuk mengukur apakah investor benar – benar menggunakan informasi tersebut dalam penetapan harga, sehingga nilai relevansi ini diukur dengan kemampuan informasi tersebut dalam mengubah harga saham yang menyebabkan investor mengubah ekspektasinya; 4. Relevansi nilai diukur dengan kemampuan informasi keuangan dalam menangkap berbagai macam informasi yang dapat mempengaruhi harga saham.
17 Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa relevansi nilai informasi akuntansi merupakan kemampuan sebuah informasi yang dihasilkan oleh laporan keuangan dalam menggambarkan harga saham suatu perusahaan. Semakin tinggi nilai relevansi suatu laporan keuangan, maka laporan keuangan tersebut semakin menggambarkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya yang terlihat dari harga sahamnya (harga pasar). Berdasarkan penelitian – penelitian sebelumnya, penilaian relevansi informasi laporan keuangan ini berasal dari beberapa komponen – komponen laporan keuangan, yaitu penghasilan (laporan laba rugi), nilai buku (laporan posisi keuangan, bagian ekuitas), dan arus kas (laporan posisi keuangan, bagian aset dan laporan arus kas).
2.1.2.2. Laporan Keuangan 2.1.2.2.1. Pengertian Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf ke 7 (Revisi 2009), “Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas”. Sedangkan menurut investopedia, laporan keuangan adalah pelaporan yang mencatat ringkasan aktivitas keuangan sebuah bisnis, perorangan, ataupun organisasi. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan sebuah laporan yang berisikan ringkasan aktivitas keuangan sebuah organisasi / individu, yang dapat menggambarkan posisi dan kinerja keuangannya.
2.1.2.2.2. Tujuan Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf ke 7 (Revisi 2009), “tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka”. Dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi aset, liabilitas, ekuitas, penghasilan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, dan arus kas.
18 2.1.2.2.3. Komponen Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf ke 8 (Revisi 2009), komponen laporan keuangan yang lengkap terdiri dari: 1. Laporan posisi keuangan pada akhir periode; 2. Laporan laba rugi komprehensif selama periode; 3. Laporan perubahan ekuitas selama periode; 4. Laporan arus kas selama periode; 5. Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelas lainnya; 6. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos – pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos – pos dalam laporan keuangannya.
1. Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf ke 52 (Revisi 2009), laporan posisi keuangan minimal mencakup penyajian jumlah pos – pos berikut: a. Aset tetap; b. Properti investasi; c. Aset tidak berwujud; d. Aset keuangan (tidak termasuk jumlah yang disajikan pada 5), 8), dan 9)); e. Investasi dengan menggunakan metode ekuitas; f. Aset biolojik; g. Persediaan; h. Piutang dagang dan piutang lainnya; i. Kas dan setara kas; j. Total aset yang diklasifikasikan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual dan aset yang termasuk dalam kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai yang dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58; k. Utang dagang dan terutang lainnya; l. Kewajiban diestimasi; m. Liabilitas keuangan (tidak termasuk jumlah yang disajikan dalam 11) dan 12));
19 n. Liabilitas dan aset untuk pajak kini, sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46; o. Liabilitas dan aset pajak tangguhan, sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46; p. Liabilitas
yang
termasuk
dalam
kelompok
yang
dilepaskan
yang
diklasifikasikan sebagai yang dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58; q. Kepentingan non-pengendali, disajikan sebagai bagian dari ekuitas; r. Modal saham dan cadangan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk.
2. Laporan Laba Rugi Komprehensif Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf ke 80 (Revisi 2009), laporan laba rugi komprehensif minimal mencakup penyajian jumlah pos – pos berikut: a. Pendapatan; b. Biaya keuangan; c. Bagian laba rugi dari entitas asosiasi dan joint ventures yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas; d. Beban pajak; e. Suatu jumlah tunggal yang mencakup total dari: f. Laba rugi setelah pajak dari operasi yang dihentikan; g. Keuntungan atau kerugian setelah pajak yang diakui dengan pengukuran nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual atau dari pelepasan aset atau kelompok yang dilepaskan dalam rangka operasi yang dihentikan. h. Laba rugi; i. Setiap komponen dari pendapatan komprehensif lain yang diklasifikasikan sesuai dengan sifat (selain jumlah dalam 8)); j. Bagian pendapatan komprehensif lain dari entitas asosiasi dan joint ventures yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas; k. Total laba rugi komprehensif.
3. Laporan Perubahan Ekuitas Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf 104, laporan perubahan ekuitas menunjukkan:
20 a. Total laba rugi komprehensif selama suatu periode, yang menunjukkan secara terpisah total jumlah yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan kepada kepentingan non-pengendali; b. Untuk tiap komponen ekuitas, pengaruh penerapan retrospektif atau penyajian kembali secara retrospektif yang diakui sesuai dengan PSAK 25; c. Untuk setiap komponen ekuitas, rekonsiliasi antara jumlah tercatat pada awal dan akhir periode, secara terpisah mengungkapkan masing-masing perubahan yang timbul dari: 1) Laba rugi; 2) Masing-masing pos pendapatan komprehensif lain; 3) Transaksi dengan pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, yang menunjukkan secara terpisah kontribusi dari pemilik dan distribusi kepada pemilik dan perubahan hak kepemilikan pada entitas anak yang tidak menyebabkan hilang pengendalian.
4. Laporan Arus Kas Berdasarkan PSAK No. 2, informasi dari laporan arus kas ini berguna bagi para pengguna laporan keuangan untuk menilai kemampuan suatu entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas, dan menilai bagaimana kebutuhan entitas dalam menggunakan arus kas tersebut. Laporan arus kas ini mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan selama suatu periode. “Jika digunakan dalam kaitannya dengan laporan keuangan lainnya, laporan arus kas dapat memberikan informasi yang memungkinkan para pengguna untuk mengevaluasi perubahan dalam aset bersih entitas, struktur keuangan (termasuk likuiditas dan solvabilitas) dan kemampuan mempengaruhi jumlah serta waktu arus kas dalam rangka penyesuaian terhadap keadaan dan peluang yang berubah. Informasi arus kas berguna untuk menilai kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas dan memungkinkan para pengguna mengembangkan model untuk menilai dan membandingkan nilai sekarang dari arus kas masa depan (future cash flows) dari berbagai entitas. Informasi tersebut juga meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai entitas karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama”.
21 5. Catatan Atas Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK No. 1 paragraf 110, catatan atas laporan keuangan meliputi: a. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan akuntansi tertentu yang digunakan sesuai dengan paragraf 115 – 122; b. Mengungkapkan informasi yang disyaratkan SAK yang tidak disajikan di bagian manapun dalam laporan keuangan; c. Memberikan informasi yang tidak disajikan di bagian manapun dalam laporan keuangan, tetapi informasi tersebut relevan untuk memahami laporan keuangan.
2.1.2.2.4. Pengguna Pelaporan Keuangan Menurut Sudjito (2006), pihak – pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan, antara lain: 1. Pemilik perusahaan; 2. Manajer atau pimpinan perusahaan; 3. Kreditur; 4. Investor; 5. Pemerintah; 6. Karyawan.
1. Pemilik Perusahaan Laporan keuangan diperlukan oleh pemilik perusahaan untuk menilai hasil – hasil yang telah dicapai, dan menilai kemungkinan hasil yang akan dicapai pada masa depan, sehingga dapat menafsirkan keuntungan yang akan diterima dan perkembangan harga saham miliknya.
2. Manajer atau Pimpinan Perusahaan Laporan keuangan diperlukan oleh para manajer untuk mengadakan suatu koreksi atas pencapaian usaha yang selama ini telah dilakukan. Hasil analisis tersebut akan menjadi dasar pengambilan keputusan oleh manajer, untuk penyusunan rencana dan kebijakan yang akan dilakukan di masa mendatang.
22 3. Kreditur Laporan keuangan diperlukan oleh kreditur untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kembali hutang – hutang (pinjaman) beserta dengan beban bunganya. Hasil analisis tersebut yang menjadi dasar pengambilan keputusan kreditur, apakah memberi pinjaman atau menolak pemberian pinjaman kepada perusahaan tersebut.
4. Investor Laporan keuangan diperlukan oleh investor untuk mengukur prospek keuntungan masa depan dan perkembangan perusahaan tersebut guna mengetahui jaminan investasinya. Hasil analisis tersebut akan menjadi dasar pengambilan keputusan investor, apakah akan menanamkan sahamnya di perusahaan tersebut atau tidak.
5. Pemerintah Laporan keuangan diperlukan oleh pemerintah untuk menentukan jumlah pajak yang harus ditanggung oleh perusahaan. Selain itu, laporan keuangan juga diperlukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Tenaga Kerja sebagai dasar perencanaan. Khusus untuk industri perbankan, laporan keuangan digunakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bank Indonesia (BI) sebagai acuan perhitungan tingkat kesehatan bank umum.
6. Karyawan Laporan keuangan diperlukan oleh para karyawan perusahaan untuk menilai
bagaimana
kemampuan
perusahaan
tempat
bekerjanya
dalam
memberikan gaji / upah dan jaminan sosial kepada para karyawannya. Selain itu, karyawan juga berkepentingan terhadap penghasilan yang diterimanya ataupun pembagian laba / bonus yang biasa diberikan pada akhir tahun.
2.1.2.3. Penghasilan Penghasilan (earnings) merupakan sejumlah keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan pada periode tertentu (per 3 bulan atau 1 tahun). Penghasilan berupa pendapatan setelah dikenakan dengan pajak. Penghasilan juga sebagai penentu dari harga saham perusahaan tersebut karena penghasilanlah yang mengindikasikan
23 apakah bisnis tersebut akan menguntungkan dan memiliki keberlangsungan di masa yang akan datang (Investopedia). Penghasilan (earnings) adalah angka yang paling utama dalam sebuah laporan keuangan karena penghasilan menunjukkan profitabilitas perusahaan. Penghasilan perusahaan per 3 bulan atau per tahun digunakan sebagai pembanding untuk menganalisis apa yang dapat dihasilkan oleh perusahaan itu sendiri. Pada kebanyakan situasi, saat penghasilan tidak bertemu dengan apa yang di estimasikan, harga saham dari bisnis tersebut akan cenderung turun. Pada sisi lainnya, saat penghasilan tersebut sesuai dengan apa yang telah diperkirakan, harga saham bisnis tersebut akan melonjak naik (Investopedia). Menurut Weygandt, Kimmel, & Kieso (2011: 13), pendapatan (revenue) adalah kenaikan bruto dari ekuitas yang dihasilkan dari aktivitas bisnis. Berdasarkan IAS (International Accounting Standards) 18 / AASB (Australian Accounting Standards Board) 118, paragraf 7 dalam , pendapatan (revenue) adalah arus masuk manfaat ekonomi bruto pada suatu periode yang muncul dari aktivitas normal perusahaan saat arus masuk tersebut menghasilkan peningkatan ekuitas, selain peningkatan yang berasal dari partisipasi ekuitas. Sedangkan penghasilan (income) adalah peningkatan dari manfaat ekonomi pada periode akuntansi dalam bentuk arus masuk atau peningkatan aset atau penurunan liabilitas yang menghasilkan peningkatan ekuitas (Godfrey, Hodgson, Tarca, Hamilton, & Holmes 2010). Berdasarkan berbagai pengertian pendapatan dan penghasilan di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan merupakan pendapatan setelah ditambah atau dikurangi oleh pendapatan dan beban lainnya. Dengan kata lain, pendapatan merupakan kenaikan manfaat ekonomi perusahaan yang masih bersifat bruto / kotor, sedangkan penghasilan merupakan manfaat ekonomi perusahaan yang sudah bersifat bersih. Penghasilan dinilai pada setiap satu periode akuntansi, yang menyebabkan adanya peningkatan aset / penurunan liabilitas perusahaan yang menghasilkan peningkatan ekuitas perusahaan. Sebagai alat yang dapat menunjukkan peningkatan manfaat ekonomi sebuah perusahaan, penghasilan sering menjadi proksi utama sebuah perusahaan, yang dilihat dari bagaimana sebuah perusahaan dapat meningkatkan jumlah ekuitasnya. Dengan meningkatnya ekuitas perusahaan yang digambarkan oleh peningkatan laba
24 perusahaan, jelas merupakan harapan utama seorang investor pada saat menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Laba yang digunakan sebagai proksi utama adalah laba tiap lembar saham yang beredar, di mana merupakan laba sebelum pos luar biasa yang dibagi dengan jumlah saham beredar (EPS – Earning per Share). EPS digunakan sebagai proksi karena EPS menggambarkan laba yang dapat diberikan kepada setiap para pemegang saham perusahaan tersebut. Sehingga, EPS juga akan menjadi proksi utama pada penelitian ini yang akan dihubungkan dengan harga saham.
2.1.2.4. Nilai Buku Menurut Investopedia, nilai buku dapat diartikan ke dalam beberapa penjelasan, antara lain: 1. Nilai dari sebuah aset yang tertera pada neraca, perhitungannya berupa biaya atas aset tersebut dikurangi dengan depresiasi; 2. Nilai bersih aset sebuah perusahaan, perhitungannya berupa total aset dikurangi dengan aset tidak berwujud (paten, goodwill) dan kewajiban perusahaan; 3. Biaya pengeluaran awal dari sebuah investasi, dapat berupa biaya bersih maupun kotor seperti biaya transaksi, pajak penjualan, biaya pelayanan, dan lainnya; 4. Nilai total dari aset perusahaan yang di mana secara teoritis pemegang saham akan memperolehnya jika perusahaan tersebut dilikuidasi; 5. Saat dibandingkan dengan nilai pasar perusahaan, nilai buku dapat diindikasikan saat saham perusahaan tersebut underpriced atau overpriced; 6. Dalam artian keuangan pribadi, nilai buku dari sebuah investasi merupakan harga yang dibayarkan untuk sebuah sekuritas atau pinjaman. Saat saham tersebut dilepas atau dijual, harga jual dikurang dengan nilai buku adalah capital gain (loss) dari investasi tersebut. Berdasarkan pengertian di atas, nilai buku dari sebuah perusahaan dapat diartikan menjadi nilai sebuah perusahaan berdasarkan nilai awal perolehan. Nilai perusahaan ini merupakan total dari nilai aset dikurang dengan aset tidak berwujud dan kewajiban perusahaan, yang di mana merupakan ekuitas perusahaan itu sendiri. Nilai buku yang digunakan adalah nilai buku ekuitas per lembar saham (Book Value of Equity per Share – BVPS). BVPS digunakan sebagai proksi utama karena menggambarkan nilai perusahaan sesungguhnya (pada saat perolehan). BVPS merupakan nilai minimum ekuitas perusahaan, dengan kata lain, BVPS merupakan
25 nilai asli dari saham perusahaan yang disesuaikan dari arus keluar (dividen dan pembelian saham kembali) dan arus masuk (retained earnings) yang dinilai berdasarkan nilai per lembar saham (Investopedia). Dengan demikian, BVPS juga akan menjadi proksi utama pada penelitian ini.
Preposisi 1: Laba dan nilai buku memiliki nilai relevansi
2.1.3. Manajemen Laba Penelitian tentang manajemen laba juga sudah banyak dilakukan oleh peneliti – peneliti sebelumnya. Whelan (2004), meneliti bagaimana manajemen laba dapat mempengaruhi relevansi informasi akuntansi suatu perusahaan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan perhitungan manajemen laba baru, yaitu manajemen laba discretionary accruals yang dibagi lagi ke dalam 2 jenis, yaitu manajemen laba via short-term accruals dan via long-term accruals. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan (1) Laba dan nilai buku memiliki relevansi nilai, (2) Manajemen laba via total discretionary accruals tidak memiliki dampak yang signifikan, (3) Manajemen laba via short-term discretionary accruals mengurangi relevansi laba, dan tidak memiliki dampak terhadap relevansi nilai buku, (4) Manajemen laba via long-term discretionary accruals mengurangi relevansi laba, dan tidak memiliki dampak terhadap relevansi nilai buku, dan (5) Manajemen laba via long-term discretionary accruals memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan via short-term discretionary accruals. Selanjutnya, penelitian dari Habib (2004), yang meneliti bagaimana manajemen laba dapat mempengaruhi relevansi akuntansinya, menemukan bahwa manajemen laba memiliki dampak yang negatif terhadap kualitas informasi yang diberikan kepada investor. Kusuma (2006) meneliti bagaimana kaitan manajemen laba terhadap relevansi akuntansi di Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan model manajemen laba yang dikembangkan oleh Whelan (2004). Hasil dari penelitian ini adalah (1) Manajemen laba mengurangi relevansi laba dan meningkatkan relevansi nilai buku, (2) Manajemen laba melalui short-term accruals tidak memiliki dampak apapun terhadap relevansi laba & nilai buku, (3) Manajemen laba melalui long-term accruals menurunkan relevansi laba, tetapi tidak memiliki dampak terhadap nilai buku, dan
26 (4) Saat diuji bersama, kedua jenis manajemen laba tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan. Sudjito (2006) menganalisis bagaimana tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia yang ingin melakukan IPO (Initial Public Offering). Pada penelitian ini, terdapat kesimpulan bahwa (1) Reaksi pasar lebih kuat pada perusahaan yang memperbesar laba dibandingkan perusahaan yang mengecilkan laba, (2) Terdapat korelasi positif tetapi tidak signifikan antara manajemen laba income increasing dengan reaksi pasar, (3) Risiko investasi lebih tinggi pada perusahaan yang memperbesar laba dibandingkan perusahaan yang mengecilkan laba, dan (4) Terdapat korelasi positif tetapi tidak signifikan antara manajemen laba income increasing dengan risiko pasar. Selanjutnya, Subekti (2007) meneliti bagaimana Integrated Earnings Management (IEM) dapat mempengaruhi relevansi nilai dari informasi akuntansi. Hasilnya adalah IEM mengurangi relevansi nilai dari laba dan nilai buku, mengindikasikan bahwa kualitas yang rendah pada informasi akuntansi saat perusahaan melakukan IEM. Sholilah (2013) meneliti bagaimana dampak dari manajemen laba terhadap relevansi laba dan nilai buku. Penelitian ini menghasilkan (1) Laba dan nilai buku memiliki relevansi nilai, (2) Laba memiliki relevansi nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai buku, dan (3) Manajemen laba mengurangi relevansi nilai dari laba dan nilai buku. Terakhir,
Abdurrahman
dan
Handayani
(2014)
meneliti
bagaimana
manajemen laba dapat mempengaruhi relevansi nilai dari laba dan nilai buku menggunakan pendekatan signaling dan oportunistik. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa manajemen laba menurunkan relevansi dari laba dan meningkatkan relevansi dari nilai buku.
2.1.3.1. Pengertian Manajemen Laba Menurut Davidson, Stickney, dan Weil (1987) dalam Sulistyanto (2008: 4849), “manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas – batas prinsip akuntansi yang diterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan”. Menurut Schipper (1989) dalam Sulistyanto (2008: 49), “manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan
27 untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses)”. Menurut National Association of Certified Fraud Examiners (1993) dalam Sulistyanto (2008: 49), “manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat / keputusannya”. Menurut Fisher dan Rosenzweig (1995) dalam Sulistyanto (2008: 49), “manajemen laba adalah tindakan – tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikkan (penurunan) keuntungan ekonomi jangka panjang”. Menurut Lewitt (1998) dalam Sulistyanto (2008: 50), “manajemen laba adalah fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan diri dengan inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba ketika publik memanfaatkan hasilnya. Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan sesungguhnya. Itu semua untuk menutupi konsekuensi dari keputusan – keputusan manajer”. Menurut Healy dan Wahlen (1999) dalam Sulistyanto (2008), “manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka – angka akuntansi yang dilaporkan itu”. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan tindakan manajer yang dengan sengaja mengubah hasil pelaporan keuangan tanpa adanya dampak pada kondisi keuangan yang sesungguhnya dengan tujuan tertentu yang tidak objektif.
2.1.3.2. Tindakan Manajemen Laba Menurut Scott (1997) dalam Sudjito (2006), beberapa tindakan manajemen laba yang biasa dilakukan oleh manajer adalah:
28 1. Meningkatkan penghasilan, yaitu mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya, dan memindahkan biaya untuk periode lain. Dilakukan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, dan menghindari pelanggaran kontrak hutang; 2. Meminimalkan penghasilan, yaitu penghapusan barang modal, pembebanan pengeluaran iklan, serta pembebanan biaya riset & pengembangan yang dipercepat. Dilakukan saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud untuk menghindari adanya biaya politis; 3. Taking a bath, atau biasa disebut juga dengan big bath, yaitu dengan meninggikan laba pada periode yang akan datang. Dilakukan saat terjadi tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi (penggantian CEO); 4. Perataan laba, yaitu dengan memperkecil atau memperbesar laba untuk mengurangi gejolak dalam pelaporan laba agar perusahaan terlihat stabil / tidak berisiko tinggi. Dilakukan untuk memberikan persepsi bahwa kondisi laba yang stabil dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.3.3. Motivasi Melakukan Manajemen Laba Berdasarkan Scott (1995) dalam Sudjito (2006), motivasi manajer dalam melakukan majemen laba terdiri dari:
1. Perencanaan Bonus Motivasi ini berasal dari bonus yang diberikan kepada manajer saat ia berhasil mencapai targetnya. Biasanya, laba lah yang menjadi indikator penilaian prestasi manajer perusahaan, dengan menetapkan target laba yang harus dicapai pada suatu periode. Penelitian Healy (1985) dalam Sudjito (2006) membuktikan kompensasi yang didasarkan pada data akuntansi menjadi pendorong manajer untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat memaksimalkan bonus yang akan diterimanya.
2. Insentif Kontrak Motivasi selanjutnya adalah persyaratan dalam pemberian kredit yang mengharuskan ketersediaan debitur untuk menjaga tingkat rasio modal kerjanya, meminimalkan tingkat rasio debt to equity, memaksimalkan pemberian dividen kepada pemegang saham, ataupun batasan – batasan lain yang biasa diwajibkan oleh kreditur. Karena alasan inilah, saat kondisi keuangan perusahaan berada pada posisi
29 yang hampir melanggar perjanjian kredit tersebut, manajer perusahaan berinsentif untuk melakukan manajemen laba dalam rangka meminimalkan kemungkinan pelanggaran perjanjian kredit. Penelitian De Fond dan Jiambalvo (1994) dalam Sudjito (2006) membuktikan bahwa pada satu periode sebelum pelanggaran perjanjian kredit, perusahaan berusaha untuk melakukan manipulasi akrual (manajemen laba). Penelitian ini dilakukan dengan menguji hipotesis debt to equity terhadap 94 perusahaan yang melanggar perjanjian kredit, menggunakan model Jones untuk memproksi normal accrual. Selanjutnya, Sweeney (1994) dalam Sudjito (2006) juga memberikan hasil yang konsisten dengan De Fond dan Jiambalvo (1994), yaitu kecenderungan manajer dalam memilih metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba saat perusahaannya hampir melanggar perjanjian kredit. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan hipotesis debt covenant pada perubahan metode akuntansi dari 130 perusahaan yang melanggar perjanjian kredit.
3. Efek Harga Saham Motivasi ini terlihat pada saat sebuah perusahaan ingin melakukan peluncuran saham perdananya ke publik (IPO – Intial Public Offering). Manajemen melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi pasar, yaitu persepsi investor. Informasi laba yang diberikan oleh perusahaan memegang peran yang sangat penting dalam penentuan harga saham perdana oleh underwriter, yang kemudian sangat penting untuk mendongkrak harga saham seterusnya. Perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu jenis manajemen laba yang biasa dilakukan pada kasus ini. Perataan laba ini didasari oleh keyakinan bahwa angka laba yang stabil dari tahun ke tahun akan memberikan menyebabkan peningkatan nilai bersih perusahaan. Penelitian Neill, Pourciau, dan Schaefer (1995) dan Teoh, Welch, dan Wong (1998) dalam Sudjito (2006) mengungkapkan bahwa sebagian perusahaan mencoba menyusun laporan keuangan dengan agresif untuk mempengaruhi penerimaan kas dari penawan perdananya pada saat IPO.
4. Motivasi Politik Motivasi politik yang biasa menjadi alasan manajer untuk melakukan manajemen laba seperti:
30 a. Memperkecil laba dalam rangka mengurangi biaya politis dan pengawasan dari pemerintah; b. Memperkecil laba dalam rangka memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah, seperti subsidi ataupun perlindungan dari pesaing luar negeri; c. Memperkecil laba dalam rangka meminimalkan tuntutan serikat buruh. Penelitian Jones (1991) dalam Sudjito (2006) menemukan bahwa dalam menghadapi investigasi import relief oleh United State International Trade Comission (ITC), para manajer (dalam hal ini adalah produsen domestik) melakukan penurunan laba perusahaan selama masa investigasi untuk memperoleh perlindungan impor. Selanjutnya, penelitian Cahan (1992), Naim dan Hartono (1996), dan Makar dan Alim (1998) dalam Sudjito (2006) membuktikan bahwa perusahaan yang menjadi target praktek monopoli atau pelanggaran UU antirust, juga melakukan manajemen laba untuk memperkecil laba perusahaan dengan manupulasi akrual selama masa investigasi. Terakhir, penelitian dari Han dan Wang (1998) menemukan bahwa penurunan laba juga dilakukan oleh industri petroleum refining selama masa krisis teluk untuk meminimalkan campur tangan pemerintah yang dapat mengurangi laba industri tersebut.
5. Motivasi Pajak Motivasi ini berlandaskan insentif manajer untuk mengurangkan laba untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar perusahaan. motivasi ini dibuktikan oleh penelitian Frankel dan Trezervant (1994) dan Maydew (1996) dalam Sudjito (2006), yang membuktikan bahwa reduksi pajak tersebut menjadi insentif bagi manajemen untuk melakukan rekayasa laba akuntansi.
6. Penggantian CEO (Chief Executive Officer) Motivasi ini muncul pada saat akhir periode tugas seorang manajer, di mana seorang manajer akan melakukan manajemen laba untuk meningkatkan laba perusahaan. manajemen laba ini dilakukan agar CEO yang baru akan merasa sangat berat untuk mencapai tingkat laba tersebut. Dengan keadaan seperti ini, manajer yang oportunis akan memilih metode akuntansi yang agresif jika keberhasilan seorang manajer dinilai dari informasi akuntansi yang dihasilkan, Christie dan Zimmerman (1994) dalam Sudjito (2004).
31 2.1.3.4. Discretionary Accruals dan Non-Discretionary Accruals Penilaian manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu Discretionary Accruals (DA) dan Non-Discretionary Accruals (non-DA). DA merupakan komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajemen, atau manajer melakukan intervensi dalam proses pelaporan keuangan, dan non-DA merupakan komponen akrual yang berasal dari luar kebijakan manajemen (Kusuma 2006). Penguraian manajemen laba menjadi dua komponen DA dan non-DA, mengakui bahwa tidak seluruh kebijakan akrual menggambarkan manajemen laba. Kebijakan akrual juga dapat digunakan untuk membuat laporan keuangan menjadi lebih informatif. Kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana menentukan kategori kebijakan akrual yang dilakukan oleh perusahaan, apakah merupakan akrualisasi yang memang harus dilakukan, atau akrualisasi yang sengaja dilakukan oleh manajemen untuk mengatur laba nya (Whelan 2004). Dengan memisahkan komponen manajemen laba DA dan non-DA, investor dapat menentukan perusahaan mana yang melakukan intervensi dalam pelaporan keuangannya. Praktik manajemen laba ini menunjukkan indikator buruknya reabilitas laba perusahaan. Kurangnya reabilitas ini akan menurunkan kepercayaan investor terhadap laba perusahaan pada proses perhitungan. Saat investor mengetahui jika sebuah perusahaan melakukan praktik manajemen laba, maka investor tersebut tidak akan menggunakan laba sebagai proksi penilaian untuk perusahaan tersebut. Melainkan, para investor akan berpindah menggunakan nilai buku sebagai proksi utama dalam proses perhitungan, dan proses pengambilan keputusan mereka (Whelan 2004). Selain itu, penelitian Habib (2004) juga mendukung adanya perpindahan fokus penilaian investor ini. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa EPS dan BVS dapat saling menggantikan, ketika relevansi nilai dari laba berkurang, maka relevansi nilai dari nilai buku akan meningkat (Anggono & Baridwan 2003; Collins et al. 1997 dalam Kusuma 2006).
Preposisi 2: Praktik manajemen laba mengurangi nilai relevansi dari laba dan meningkatkan relevansi dari nilai buku.
32 2.1.3.5. Short-term dan Long-term Discretionary Accruals Berdasarkan pengembangan perhitungan total akrual dari model Jones (1991), Whelan (2004) mengklasifikasikan Discretionary Accruals (DA) menjadi dua bagian lagi, yaitu Short-term Discretionary Accruals (SDA), dan Long-term Discretionary Accruals (LDA). SDA merupakan akrual yang mempengaruhi akun working capital dan mencerminkan perubahan aset dan liabilitas lancar. Sedangkan LDA terdiri dari depresiasi, future tax benefits, employee entitlements, revaluasi aset, dan penyesuaian nilai wajar dari laporan keuangan (Whelan 2004). Karakteristik dari SDA adalah memiliki waktu interval yang kurang dari satu tahun, yaitu akrualisasi tersebut akan kembali dalam jangka waktu satu tahun atau kurang, seperti pengakuan penjualan, piutang datang, hutang dagang, dan lainnya. Sedangkan LDA memiliki waktu interval lebih dari satu tahun, yang berarti akrualisasinya akan kembali setelah lebih dari satu tahun, seperti depresiasi, pajak perusahaan, revaluasi, dan lainnya. Dengan karakteristik tersebut, SDA akan memiliki risiko yang lebih tinggi bagi manajemen karena para investor akan mengharapkan pengembalian secepat mungkin. Sedangkan manajemen laba melalui LDA akan lebih sulit dideteksi oleh investor karena sifat pengembaliannya yang lama dan mungkin tidak disadari / terlupakan oleh para investor (Whelan 2004; Kusuma 2006). Sehingga, para manajer akan lebih memilih untuk mengelola laba mereka melalui LDA, karena bagi para investor, metode ini adalah usaha manajer untuk membodohi mereka karena sifat akrualisasinya yang memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan manipulasi. Sedangkan manajemen laba melalui SDA dianggap sebagai tujuan signaling oleh para investor, karena manajer mungkin tidak akan cukup berani untuk melakukan manipulasi dengan kesempatan yang kecil dan risiko yang tinggi. Dengan kesempatan yang lebih besar untuk melakukan manipulasi, manajemen laba melalui metode LDA akan mengurangi persepsi reabilitas dari laba yanh lebih besar dibandingkan metode SDA. Oleh karena itu, dampak relevansi laba dan nilai buku akan lebih besar saat LDA digunakan sebagai alat manajemen laba dibandingkan SDA (Whelan 2004; Kusuma 2006).
Preposisi 3: Manajemen laba melalui long-term discretionary accruals memiliki dampak yang lebih besar terhadap nilai relevansi laba dan nilai buku dibandingkan manajemen laba melalui short-term discretionary accruals.
33 2.2. Kerangka Teori Berikut adalah kerangka teori pada penelitian ini. Pendapatan per lembar saham (X1) dan nilai buku ekuitas per lembar saham (X2) menjadi variabel bebas pada penelitian ini. Variabel tersebut akan dinilai relevansinya terhadap variabel terikat, yaitu harga saham (Y). dalam menilai relevansi nilai kedua variabel tersebut, terdapat variabel moderat, yaitu manajemen laba (dummy).
Sumber: Pribadi
Gambar 2.1: Kerangka Teori
2.3. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini, berdasarkan dari rumusan masalah dan preposisi adalah: H1
: Laba dan Nilai buku pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI memiliki nilai relevansi terhadap harga saham.
H2a
: Relevansi laba perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI akan menurun, dan relevansi nilai buku akan meningkat ketika perusahaan mengelola laba melalui short-term discretionary accruals.
H2b
: Relevansi laba perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI akan menurun, dan relevansi nilai buku akan meningkat ketika perusahaan mengelola laba melalui long-term discretionary accruals.
34 H2c
: Relevansi laba perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI akan menurun, dan relevansi nilai buku akan meningkat ketika perusahaan mengelola laba melalui total discretionary accruals.
H3
: Manajemen laba melalui long-term discretionary accruals yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI memiliki dampak yang lebih besar terhadap relevansi laba dan nilai buku dibandingkan dengan manajemen laba melalui short-term discretionar accruals.