Bab 2 Landasan Teori
Pada bab ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu konsep pendidikan Jepang pada zaman Meiji. Konsep pendidikan di Jepang pada zaman Meiji berbeda dengan konsep pendidikan di negara-negara barat. Penulis bermaksud menjelaskan konsep tersebut terlebih dahulu agar pembaca dapat lebih memahami analisis data yang dilakukan oleh penulis di bab selanjutnya. Setelah menjelaskan konsep pendidikan Jepang pada zaman Meiji, penulis akan menjelaskan konsep modernisasi secara umum dan konsep modernisasi dalam pendidikan. Disini penulis akan menuangkan beberapa pendapat dari para ahli kebudayaan mengenai konsep tersebut. Kemudian penulis akan menjelaskan konsep Akulturasi Budaya dan konsep Asimilasi Budaya karena dalam analisis data pada bab selanjutnya, kedua konsep ini akan digunakan untuk menjelaskan peran Fukuzawa Yukichi dalam menerapkan idealisme pendidikan baratnya kedalam sistem pendidikan Jepang pada saat itu. Penulis memilih keempat konsep tersebut karena menurut penulis keempat data tersebut sangat berkaitan erat satu sama lain untuk menjelaskan peran Fukuzawa Yukichi dalam modernisasi pendidikan Jepang pada zaman Meiji. Pembahasan dari keempat konsep tersebut akan dijabarkan secara detil di bawah ini. 2.1
Konsep Pendidikan Jepang Pada Zaman Meiji
8
Pada tahun 1853, Jepang yang tengah menikmati masa damainya selama 260 tahun terisolasi dari dunia luar dikejutkan oleh kedatangan Angkatan Laut Amerika ke Jepang. Jepang tiba-tiba menyadari bahwa mereka jauh tertinggal dari peradaban Barat --khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi-- setelah mereka berperang melawan pasukan Amerika, Inggris, dan Perancis hanya dengan menggunakan senjata dan perlengkapan yang usianya sudah 200 tahun. Setelah pecah peperangan menduduki daerah Jepang oleh pasukan Amerika, Inggris, dan Perancis dan juga setelah terjadi Perang Sipil, terjadilah Revolusi Meiji pada tahun 1868, dan Jepang memulai modernisasi mereka dengan pemerintahan baru dibawah kepemimpinan seorang Kaisar. Pemerintah baru saat itu tengah berusaha keras mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara Barat. Mereka ingin mencapai apa yang negara-negara Eropa capai dalam 200 tahun hanya dalam waktu 30 tahun. Tetapi Jepang percaya akan pentingnya nilai pendidikan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang untuk kemakmuran ekonomi di masa mendatang. Pendekatan seperti ini memang tampaknya akan membutuhkan waktu yang lama, tetapi mereka percaya bahwa pendekatan seperti ini akan memberikan efek yang lebih baik untuk jangka panjang. Pada tahun 1871, Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan monbukagakushou (文部科学省) membentuk dan menrencanakan sebuah strategi komprehensif yang ditujukan untuk sistem pendidikan pada tahun 1872. Berdasarkan perencanaan ini, didirikanlah 25.000 sekolah dasar di seluruh negeri pada tahun 1880. Dua puluh tahun kemudian, di permulaan abad kedua puluh, sekitar 99% anak laki-laki dan perempuan telah belajar di pendidikan dasar (wajib belajar 6 tahun) (Okamoto, 1992:10).
9
Menurut Okamoto (1992:10) ada beberapa konsep pendidikan penting yang berlaku dalam pengembangan sumber daya manusia di zaman Meiji, yaitu: 2.1.1
Konsep Pendidikan Egalitarian Laki-laki dan perempuan diperlakukan secara sama dan adil dalam
kesempatan mendapatkan pendidikan dimana hal ini tidak lazim dalam masyarakat Jepang pada saat itu. Semua pendidikan dasar pada saat itu menganut sistem yang sama tanpa perbedaan, dan ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penghapusan kelas-kelas Shinoukoushou (士農工商). Shinoukoushou adalah golongan masyarakat yang dibentuk pada pemerintahan bakufu (keshogunan) pada tahun 1603 untuk menguasai jumlah petani yang jumlahnya hampir delapan puluh persen dari seluruh jumlah penduduk. Para petani dan pedagang pada pemerintahan bakufu dikuasai oleh kaum militer. Pajak yang dipungut dari para petani dan pedagang merupakan sumber pendapat utama bakufu. Shi pada kanji (士) bearti samurai, nou pada kanji (農) bearti petani, kou pada kanji (工) berati pekerja dan shou pada kanji (商) bearti pedagang, dengan kata lain shinoukoushou bearti pembagian masyarakat kedalam golongan-golongan tertentu.(golongan samurai, petani, pekerja, dan pedagang) (Surajaya, 2001:74).
2.1.2
Prioritas Terhadap Pendidikan Dasar Berbeda dengan negara-negara lain yang lebih memprioritaskan
pendidikan menengah dan tinggi pada saat itu, Jepang justru lebih memprioritaskan pengembangan terhadap pendidikan dasar. Jepang sadar bahwa perbaikan pada standar pendidikan secara umum lebih penting untuk perkembangan ekonomi dan
10
teknologi di masa mendatang dan mereka percaya bahwa pendekatan seperti itu akan memberikan imbas yang lebih baik dalam jangka panjang meskipun pada awalnya terlihat lamban.
2.1.3
Pendekatan Praktis dan Pragmatik Sistem dan materi yang dipakai dalam pendidikan pada zaman Meiji
didesain dan diatur dengan pendekatan secara praktis dan pragmatik.
2.1.4
Konsep Kontribusi Terhadap Negara dan Masyarakat Pendidikan dasar di Jepang sejak zaman Meiji telah memprioritaskan
pengembangan
terhadap
kepribadian
dan
nilai-nilai
masyarakat
Jepang
dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan skill. (Okamoto, 1992:10-12) Pendidikan itu sendiri menurut Perkumpulan Penelitian Sistem Pendidikan (教育制度研究会) adalah sebagai berikut:
教育とは、他者の生きるための自己学習の援助であり、この援 助によって他者に 最善の利益 を与えようとする活動である 。 Artinya: Pendidikan adalah suatu alat pendukung dalam pembelajaran terhadap diri sendiri untuk kehidupan orang lain, dan melalui alat pendukung ini ada sebuah aktivitas memberikan “keuntungan terbaik” kepada orang lain. (Kyouiku Seido Kenkyuukai, 1991:2)
11
2.1.5
Konsep Pendidikan Menurut Mori Arinori Pada tahun 1885, pemerintahan Meiji menghapus sistem pemerintahan
feodal “Dajokan” dan membentuk sistem Kabinet dalam pemerintahan Jepang untuk pertama kalinya. Hal ini dapat berarti bangkitnya sebuah sistem pemerintahan modern pada zaman itu. Ketika Mori Arinori diangkat menjadi Menteri Pendidikan paling pertama di Jepang dibawah sistem pemerintahan baru tersebut pada tahun 1885, ia segera mereformasi sistem sekolah di Jepang dan mengumumkan Tatanan Universitas Kekaisaran diikuti oleh Tatanan Sekolah Normal, Tatanan Sekolah Dasar, dan Tatanan Sekolah Menengah. Berdasarkan tatanan-tatanan ini, struktur-struktur untuk berbagai sistem sekolah menengah dan profesional selesai dikerjakan antara tahun 1892 sampai dengan 1906. (Aso dan Amano, 1972:19) Dalam hal ini, reformasi pendidikan oleh Mori Arinori telah membawa pendidikan Jepang dari tahap “persiapan tinggal landas” menuju “tahap tinggal landas”. Konsep pendidikan Mori Arinori terdiri dari tiga buah pilar penting, yaitu: 1) Pendidikan untuk memperkaya dan memperkuat negara 2) Pendidikan untuk pencerahan yang didesain untuk mengubah pandangan tradisional 3) Pendidikan untuk pembangunan tradisi nasional Jepang seperti yang ia ungkapkan dalam pernyataannya berikut ini: “Di bawah garis keturunan Kaisar yang tak terputuskan dan berlanjut dalam keabadian seperti surga dan bumi, Jepang,
12
dengan kekuatan superiornya belum pernah dipermalukan oleh negara asing manapun, dan terlebih lagi, semangat orang Jepang mempertahankan negaranya dan karakter setia dan loyal orang Jepang yang diwariskan dari generasi sebelumnya dan telah dipupuk sejak dulu masih tidak terhapuskan.” Idealisme Mori mengenai pendidikan mewakili penyatuan dari ketiga pilar yang telah disebutkan diatas. Mori mewujudkan idealisme sistem pendidikan baru tersebut dengan berdasarkan sebuah pembedaan yang jelas antara “pencarian ilmu” dengan “ pendidikan”. Menurut Mori, “pencarian ilmu” berbeda dengan “pendidikan”. Ia juga berpendapat bahwa “Universitas adalah tempat untuk pencarian ilmu, sedangkan sekolah menengah dan sekolah dasar adalah tempat untuk melaksanakan pendidikan”. Tujuan “pencarian ilmu” menurut Mori Arinori adalah untuk “menyelami kebenaran akan berbagai hal” atau untuk “memperkaya pengetahuan bagi mereka yang akan turun dalam pekerjaan”. Sebaliknya, “pendidikan” menurut Mori Arinori adalah untuk “melatih orang-orang agar setiap individu dapat benar-benar mengerti akan kewajibannya sebagai orang Jepang, selain itu juga untuk mempelajari etika agar mereka benar-benar layak menikmati kesejahteraan” (Aso and Amano, 1972:19-22). 2.2
Konsep Modernisasi Dalam bukunya Peranan Jepang Dalam Pasca “Abad Amerika”, Bey
(1990:35) berpendapat bahwa modernisasi dalam makna keseluruhannya menunjuk kepada proses perubahan yang mencakup sedikitnya tiga dimensi. Dimensi pertama menunjuk kepada perubahan atau penyesuaian dari nilai-nilai pokok suatu masyarakat dalam menanggapi tuntutan zaman. Dimensi kedua berupa transformasi maupun penerapan nilai-nilai baru itu ke dalam kehidupan politik,
13
ekonomi maupun kebudayaan masyarakat bersangkutan, sedangkan dimensi ketiga menunjuk kepada aspek-aspek teknologi. Dimensi pertama merupakan nilai-nilai hidup yang menjadi landasan bagi ketahanan maupun kelestarian masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Dimensi pertama bertindak sebagai tangan yang tidak kelihatan atau invisible hand yang mengarahkan dan menyinari dua dimensi lainnya. Menurut Bey (1990:35-36), suatu masyarakat yang menuju ke arah modernisasi harus menyelesaikan penyesuaian nilai pada dimensi pertama terlebih dahulu. Jika tidak maka akan terjadi sebuah kontradiksi kebudayaan. Menurut Soekanto (1990:383), Modernisasi adalah proses perubahan masyarakat dan kebudayaan dari masyarakat dan kebudayaan tradisional ke masyarakat dan kebudayaan modern dalam seluruh aspeknya. Menurut Soekanto(1990:384), proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas yang kadang-kadang tak dapat diterapkan batas-batasnya secara mutlak. Dalam masyarakat Jepang zaman Meiji salah satu contoh modernisasi dalam bidang pendidikan adalah penerapan sistem pendidikan barat dalam menggantikan sistem pendidikan Terakoya yang diwarisi dari zaman pemerintahan Tokugawa. Menurut Soekanto (1990:384), pada dasarnya pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra-modern (dalam arti teknologi dan organisasi) ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang modern. Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosialbudaya, yang biasanya merupakan perubahan yang terarah (directed change) yang didasarkan pada suatu perencanaan sosial (social planning). Maksud dari
14
modernisasi ini adalah mengadakan perubahan yang terarah untuk kemajuan serta perbaikan nasib manusia. Menurut Soekanto (1990:383), modernisasi secara historis dapat dikatakan sebagai proses perubahan yang mengarah pada pembentukan tipe-tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad 17-19. Sistem baru ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya dan juga ke negara-negara Amerika Selatan, Asia dan Afrika pada abad ke 19 dan 20, termasuk Jepang. Modernisasi dapat diwujudkan melalui beberapa kriteria atau syarat seperti yang diungkapkan oleh Soekanto (1990:387) berikut ini. 1. Menerapkan cara berpikir ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dikalangan kelas penguasa dan masyarakat, melalui sistem pendidikan dan pengajaran yang terencana baik. 2. Memiliki sistem administrasi negara yang baik dan benar-benar mewujudkan birokrasi. 3. Mempunyai sistem pengumpulan data yang baik, teratur, dan akurat, serta terpusat dalam suatu lembaga atau badan tertentu. 4. Menciptakan iklim yang baik dan mendukung (favourable) dari masyarakat terhadap modernisasi melalui penggunaan media komunikasi massa yang efektif. 5. Meningkatnya organisasi yang tinggi dalam artian displin dan pengurangan kemerdekaan karena pelaksanaan disiplin yang tinggi memiliki konsekuensi berkurangnya kemerdekaan atau
15
kebebasan. 6. Melakukan
sentralisasi
wewenang
dalam
melaksanakan
perencanaan sosial (social planning) karena bila hal ini tidak dilakukan maka perencanaan yang telah disusun mudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang ingin mengubah perencanaan tersebut demi kepentingan golongan tertentu. Modernisasi pada hakikatnya menggunakan unsur-unsur teknologi dan pengetahuan ilmiah yang bersumber dari barat, namun modernisasi tak bisa disamakan dengan westernisasi, karena keduanya memiliki makna yang berbeda. Westernisasi menurut Koentjaraningrat (1990:261) lebih didasarkan pada peniruan gaya hidup orang barat secara berlebihan, mulai dari pola tingkah laku, pergaulan, kebiasaan hingga gaya hidup dan mode.
2.3 Konsep Perubahan Kebudayaan
Menurut
Soekanto
(1990:338),
perubahan
kebudayaan
adalah
perubahan yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan. Menurut Soekanto (1990:352-360), faktor-faktor perubahan kebudayaan tersebut ada yang bersifat internal, yaitu berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, dan ada yang bersifat eksternal, yaitu berasal dari luar masyarakat.
16
Faktor-faktor internal perubahan kebudayaan antara lain sebagai berikut. 1) Adanya ketidakpuasan terhadap sistem nilai yang berlaku. 2) Adanya individu yang menyimpang dari sistem nilai yang berlaku. 3) Adanya penemuan baru yang diterima dalam masyarakat. 4) Adanya perubahan jumlah dan kondisi penduduk. Faktor-faktor eksternal perubahan kebudayaan, antara lain sebagai berikut. 1) Adanya bencana alam, seperti gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya. 2) Timbulnya peperangan. 3) Kontak dengan masyarakat lain. Proses perubahan budaya menyangkut penyebaran unsur-unsur baru yang berupa ide-ide, gagasan-gagasan, keyakinan maupun hasil-hasil kebudayaan kebendaa (artefak). Proses ini disebut difusi. Proses selanjutnya adalah bertemu dan diterimanya unsur-unsur tersebut oleh masyarakat, proses ini meliputi akulturasi dan asimilasi. (Koentjaraningrat, 1990:228)
2.3.1
Konsep Difusi Budaya Difusi kebudayaan adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan
(ide-ide, keyakinan, hasil-hasil kebudayaan, dan sebagainya) dari individu satu kepada individu lain, dari suatu golongan ke golongan lain dalam suatu masyarakat atau dari masyarakat ke masyarakat lain. (Koentjaraningrat, 1990:244) Tipe-tipe difusi:
17
1. Difusi intra-masyarakat (intra society diffusion), yaitu difusi unsur kebudayaan antar individu/golongan dalam suatu masyarakat 2. Difusi antarmasyarakat (intersociety diffusion), yaitu difusi unsur kebudayaan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. (Soekanto, 1990:245) Difusi dapat terjadi melalui: 1.
Symbiotic, yaitu pertemuan antara individu-individu dari satu masyarakat dan individu-individu dari masyarakat lainnya tanpa mengubah kebudayaan masing-masing. Ada tiga macam proses symbiotic, yaitu: a. Mutualistik, yaitu simbiose yang saling menguntungkan b. Komensalistik, satu pihak untung dan pihak lain tidak untung juga tidak rugi c. Parasitistik, satu pihak mendapatkan keuntungan dan pihak lain menderita kerugian 2. Penetration pasifique, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan cara damai tanpa kekerasan dan paksaan. 3. Penetration violente, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan cara paksaan. Cara paksaan tersebut dapat berupa penjajahan atau
peperangan.
Negara
yang
menang
memaksakan
kebudayaannya pada negara yang kalah. (Koentjaraningrat,
18
1990:245-246)
2.3.2
Konsep Akulturasi Budaya Pengertian akulturasi menurut Encyclopaedia Britannica I (1979:59)
adalah sebagai berikut: “Acculturation, the processes of change in artifacts, customs, and beliefs that result from the contact of societies with different cultural traditions. The term is also used to refer to the result of such changes.” Artinya adalah sebagai berikut: “Akulturasi adalah sebuah proses perubahan dalam benda-benda peninggalan, kebudayaan, dan kepercayaan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah kontak dengan masyarakat yang berbeda tradisi atau kebudayaan. Istilah akulturasi dapat juga digunakan untuk merujuk pada hasil dari perubahan-perubahan tersebut.”
Menurut Koentjaraningrat (1990:248), akulturasi budaya adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Misalnya kebudayaan Hindu memasuki kebudayaan Bali, menjadi kebudayaan Hindu-Bali. Unsur-unsur kebudayaan Bali tidak akan hilang atau tetap bertahan walaupun sudah dimasuki kebudayaan Hindu. Proses akulturasi sudah ada sejak sejarah kebudayaan umat manusia. Akan tetapi, proses akulturasi yang mempunyai sifat khusus baru timbul ketika kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai menyebar ke semua daerah lain dan mempengaruhi masyarakat suku19
suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin. (Koentjaraningrat, 1990:249) Penelitian akulturasi dalam lapangan antropologi dimulai setengah abad yang lalu. Banyak sarjana antropologi tertarik kepada suku-suku bangsa di luar Eropa yang mempunyai kebudayaan asli atau belum terkena pengaruh kebudayaan Euro-Amerika. Hasil penelitian membuktikan bahwa hampir tidak ada lagi suku bangsa yang “asli” seperti itu. (Koentjaraningrat, 1990:249) Difusi
dan
akulturasi
memiliki
persamaan
dan
perbedaan.
Persamaannya, difusi dan akulturasi memerlukan adanya suatu kontak. Tanpa kontak tidak mungkin kedua proses tersebut dapat berlangsung. Perbedaannya, difusi berlangsung dalam keadaan yang didalamnya kontak tidak perlu ada secara langsung dan berkelanjutan. Misalnya, difusi dari penggunaan tembakau yang tersebar ke seluruh dunia. Sedangkan akulturasi memerlukan hubungan yang dekat, langsung, serta bekesinambungan. (Koentjaraningrat, 1990:247-248)
2.3.3
Konsep Asimilasi Budaya Pengertian asimilasi menurut Encyclopaedia Britannica (1979:594)
adalah sebagai berikut: “Assimilation, the process whereby individuals or groups of differing ethnic heritage are absorbed into the dominant culture of a society. Usually they are immigrants or hitherto isolated minorities who, through contact and participation in the larger culture, gradually give up most of their former culture traits to such a degree that socially they become indistinguishable from other members of the society. Assimilation does not denote racial or othe biological fusion, though such fusion may be related. (Encyclopaedia Britannica I, 594:1979)
20
Artinya adalah sebagai berikut: “Asimilasi adalah sebuah proses dimana individu-individu atau kelompok-kelompok dari etnis yang memiliki kebudayaan yang berbeda terserap dalam sebuah kebudayaan asli dari sebuah masyarakat. Individu-individu atau kelompok-kelompok tersebut biasanya terdiri dari para imigran atau masyarakat yang terisolasi pada suatu masa. Melalui berbagai kontak dan partisipasi dalam masyarakat dengan kebudayaan asli tersebut, mereka melepaskan sebagian besar kebudayaan asal mereka sehingga secara sosial mereka menjadi sulit untuk dibedakan dengan anggota-anggota dari masyarakat asli tersebut. Asimilasi tidak merujuk pada penggabungan ras atau biologis, meskipun dalam beberapa kasus hal tersebut mungkin berhubungan.”
Menurut Koentjaraningrat (1990:255), asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul secara intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi kebudayaan campuran. Faktor-faktor yang mempermudah asimilasi antara lain: 1) Toleransi antar kebudayaan yang berbeda 2) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi 3) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya 4) Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat 5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan 6) Perkawinan campuran 7) Adanya musuh bersama dari luar Faktor-faktor yang menghambat asimilasi antara lain: 1) Terisolir dari kehidupan kelompok
21
2) Kurangnya pengetahuan akan kebudayaan lain 3) Perasaan takut terhadap kebudayaan lain 4) Pandangan yang menganggap bahwa kebudayaan sendiri lebih tinggi dari kebudayaan lain 5) Perbedaan warna kulit dan ciri fisik 6) In-group feeling yang kuat 7) Golongan minoritas mendapat gangguan dari mayoritas 8) Perbedaan kepentingan Soekanto (1990:365)
22