Bab 2 Landasan Teori
Di dalam bab kedua yang berisi mengenai landasan teori ini, penulis akan memberikan teori-teori yang akan digunakan penulis untuk menganalisis data di dalam bab selanjutnya.
2.1 Teori Semantik Dalam menganalisis lagu, kita tidak dapat terlepas dari lingkungan semantik. Keraf (2002: 31-32) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan semantik adalah sebagai berikut: “Telah dikemukakan bahwa kata atau bentuk bahasa mempunyai relasi dengan dunia nyata. Sehingga istilah referensi dipakai untuk menyatakan relasi antara bahasa dengan sesuatu yang bukan bahasa. Bidang yang mempelajari hubungan itu biasanya disebut semantik.” (Keraf, 2002: 31-32). Di pihak lain terdapat juga relasi antara unsur-unsur bahasa sendiri yang dikaitkan dengan dunia pengalaman seseorang. Relasi semacam ini dinamakan pengertian (sense). Jadi di dalam bahasa terdapat dua relasi, yaitu relasi bahasa dengan dunia pengalaman yang disebut dengan referensi atau makna. Relasi yang kedua adalah relasi antar unsur-unsur bahasa sendiri yang disebut pengertian (Keraf, 2002: 32).
8
2. 2 Pengertian Makna Denotatif dan Makna Konotatif Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai dua jenis relasi yang terdapat dalam bahasa, maka makna kata dalam frase atau kalimat dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Keraf (2007:27) mengemukakan bahwa bentuk kata dalam tata bahasa setiap bahasa lazim dibicarakan, namun mengabaikan makna kata. Padahal masalah ketepatan pilihan kata atau kesesuaian pilihan kata tergantung pula pada makna yang didukung oleh bermacam-macam bentuk itu. Makna kata pertama-tama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif; sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum dinamakan makna konotatif atau konotasi (Keraf, 2007: 27-28). Menurut Slametmuljana dalam Pradopo (1990: 48), makna denotatif dan konotatif yang dimiliki sebuah kata sangat penting karena kata adalah alat penting yang digunakan seorang pengarang, dalam hal ini penulis lirik, untuk mencapai nilai seni yang dijelmakan dalam sebuah karya.
2. 2. 1 Pengertian Makna Denotatif Menurut Keraf (2007:27-28), yang dimaksud dengan makna denotatif adalah sebagai berikut :
9
“Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah seperti : makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna refensial, atau makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat dicerap pancaindria (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini juga disebut makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.” Makna denotasi dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Jika seorang penulis ingin menyampaikan suatu informasi, terutama dalam bidang ilmiah, maka penulis tersebut memiliki kecenderungan untuk menggunakan kata-kata yang denotatif. Tujuan utama dari penggunaan kata-kata denotatif tersebut adalah untuk mengarahkan secara jelas terhadap fakta yang khusus, dan penulis tersebut tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih kata-kata yang konotatif. Sebab itu untuk menghindari interpretasi yang mungkin timbul, penulis akan berusaha memilih kata dan konteks yang relatif bebas interpretasi (Keraf, 2007:28). Setiap kata memiliki makna denotasi, karena itu seorang penulis harus mempersoalkan apakah kata yang dipilihnya sudah tepat yang tampak dari kesanggupannya untuk menuntun pembaca kepada gagasan yang ingin disampaikan, yang ingin disampaikan, yang tidak memungkinkan interpretasi lain selain dari sikap pembicara dan gagasan-gagasan yang akan disampaikan itu. Memilih sebuah denotasi yang tepat, dengan sendirinya lebih mudah dari memilih konotasi yang tepat. Seandainya ada kesalahan dalam denotasi, maka hal itu mungkin disebabkan oleh
10
kekeliruan atas kata-kata yang mirip bentuknya, kekeliruan tentang antonim, atau kekeliruan karena tidak jelas maksud dan referennya (Keraf, 2007:28-29). Makna denotatif dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya. Pengertian kursi adalah ciri-ciri yang membuat sesuatu disebut sebagai kursi, bukan sebuah kursi individual (Keraf, 2007:29).
2. 2. 2 Pengertian Makna Konotatif Keraf (2007:29) menyebutkan pengertian dari makna konotatif adalah sebagai berikut : “Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju – tidak setuju, senang – tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.” Memilih makna konotasi jauh lebih sulit dibandingkan dengan memilih makna denotasi. Oleh karena itu, pilihan kata atau diksi berkaitan erat dengan pemilihan kata yang bersifat konotatif. Bila sebuah kata mengandung konotasi yang salah, misalnya kurus-kering untuk menggantikan kata ramping dalam konteks yang saling melengkapi, maka kesalahan semacam itu mudah diketaui dan diperbaiki. Sangat sulit adalah perbedaan makna antara kata-kata yang bersinonim, tetapi mungkin mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu (Keraf, 2007:29).
11
Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Misalnya kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasi yang sama, yaitu ”peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya”. Namun kata meninggal, wafat, berpulang mempunyai konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan, sedangkan mangkat mempunyai konotasi lain yaitu mengandung nilai ”kebesaran”, dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. Sebaliknya kata persekot, uang muka, atau panjar hanya mengandung makna denotatif (Keraf, 2007:30).
2.3 Teori Analisis Medan Makna Pada awal analisis linguistik struktural, para linguis sangat dipengaruhi oleh psikologi asosionistik dalam pendekatan terhadap makna. Para linguis dengan intuisi mereka sendiri menyimpulkan hubungan di antara seperangkat kata. Dengan demikianlah pada awalnya konsep asosiasi makna yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure (Parera, 1991: 137). Dalam memberikan gambaran mengenai hubungan asosiatif makna, Saussure membedakan dengan kesamaan formal dan semantik, similaritas semantik, similar sufiks-umum biasa, similar kebetulan (Parera, 1991: 138). Bally, seorang murid Saussure, memasukkan konsep medan asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan terperinci. Ia melihat medan asosiatif sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan
12
leksikalnya. Ia menggambarkan kata “ox” yang menyebabkan seseorang berpikir tentang kata seperti “cow”, lalu makin jauh orang berpikir tentang “plow”, dan akhirnya “strength”, dan sebagainya. Misalnya, medan asosiatif ini terjadi dalam kata “kerbau” dalam bahasa Indonesia. Dengan kata “kerbau” mungkin seseorang akan berpikir tentang kekuatan atau kebodohan. Jadi, medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas atau kesamaan, kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (Parera, 1991:138). Buah pikir F. de Saussure dan muridnya C. Bally, juga buah pikir dari W. von Humboldt, Weisgerber, dan R. M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J. Trier dalam pengembangan teori medan makna, J. Trier seperti yang dikemukakan oleh Parera (1991: 139), adalah sebagai berikut: “J. Trier melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medanmedan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antarsesama makna. Ia mengatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai satu mosaik. Setiap medan makna itu kan selalu tercoockkan antarsesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih.”
2.4 Teori Pengkajian Puisi Sebelum memulai dengan teori pengkajian puisi, penulis akan memberikan pengertian mengenai lirik lagu terlebih dahulu karena penulis akan menggunakan lirik lagu sebagai sumber analisis data. Kemudian, penulis akan memberikan teori pengkajian puisi yang akan menjadi landasan teori untuk melakukan analisis lirik lagu di dalam bab 3.
13
2.4.1 Pengertian Lirik Lagu Pertama-tama penulis akan memberikan pengertian lagu dan lirik karena penulis akan menganalisis lirik lagu yang merupakan bagian dari sebuah lagu. Waluyo (1995: 1) berpendapat bahwa puisi memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan kita sehari-hari, dunia telah diperindah dengan adanya puisi. Nyanyian-nyanyian yang kita dengarkan tidaklah semata-mata hanya lagunya yang indah, tetapi terlebih lagi isi puisinya mampu menghibur manusia. Dan Waluyo (1995: 2) juga menambahkan bahwa nyanyian-nyanyian yang banyak dilagukan adalah contoh puisi yang populer. Bahasanya harus mudah dipahami karena pendengar harus cepat memahami isi lagu tersebut sementara lagu tersebut dinyanyikan.Berdasarkan pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa isi dari lagu adalah puisi. Dan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (Waluyo, 1995: 25). Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa lagu merupakan bagian dari puisi. Oleh karena itu, dalam mengemukakan perngertian lagu, penulis memakai pengertian puisi. Dalam usaha memahami puisi, banyak puisi yang mampu bicara sendiri. Dalam keadaan demikian, usaha pemahaman puisi tidak memerlukan acuan faktor di luar acuan tersebut. Setiap puisi pasti berhubungan dengan penyairnya karena puisi diciptakan dengan mengungkapkan diri penyair sendiri. Karena itu, lirik dalam puisi memberikan tema, nada, perasaan, dan amanat yang dapat ditafsirkan dengan tepat jika kita berusaha memahami rahasia penyairnya (Waluyo, 1995: 2).
14
Menurut Waluyo (1995: 25), yang dimaksud dengan puisi adalah sebagai berikut: 1. Dalam puisi terjadi pengkonsentrasian atau pemadatan segala unsur kekuatan bahasa; 2. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi; 3. Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif; 4. Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif; 5. Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh menyaturaga tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya; Dan, Waluyo (1995: 25) juga mengungkapkan definisi puisi sebagai berikut: “Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.” Struktur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat. Sementara struktur fisik puisi terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi, dan tipografi puisi (Waluyo, 1995: 28). Sementara itu, menurut Pradopo (2005: 7), ada tiga unsur yang membentuk puisi, yang pertama yaitu pemikiran, ide, atau emosi. Yang kedua adalah bentuk, dan yang ketiga adalah kesannya. Semuanya itu terungkap dalam media bahasa. Jadi, puisi membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan
15
rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, dan digubah dalam wujud yang mengesankan. Shelley dalam Pradopo (1990: 6) juga mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita, yaitu peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat. Bagian puisi, yaitu larik adalah baris di dalam puisi yang biasanya dikelompokkan dalam bait-bait (Budianta, 2002: 182). Kemudian, yang dimaksud dengan bait adalah sekelompok larik yang membentuk sebuah bagian puiis dan memiliki struktur yang sama dengan sejumlah atau semua bagian lainnya di dalam puisi itu dari segi panjang lariknya dan rimanya. Sebuah bait biasanya disusun terpisah dari bait lainnya (Budianta, 2002: 176).
2.4.2 Teori Pengkajian Puisi Menurut Pradopo Dalam menganalis puisi, atau dalam hal ini lagu yang merupakan bagian dari puisi, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai teori yang menjadi dasar analisis puisi itu sendiri. Berikut ini adalah teori pengkajian puisi menurut Pradopo. Pradopo mengemukakan bahwa pengkajian puisi terbagi dalam dua bagian. Yang pertama adalah analisis struktur puisi berdasarkan lapis-lapis normanya yang merupakan fenomena puisi yang ada. Lapis norma puisi adalah rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga yang berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan (Pradopo, 1990 : 15).
16
Bagian yang kedua adalah analisis sajak satu per satu yang membicarakan kaitan antar unsur dan sarana-sarana kepuitisan yang menyeluruh. Dalam analisis ini, lapislapis norma puisi dilihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Hal ini dikarenakan norma-norma puisi itu saling berhubungan erat dan memiliki makna yang saling berhubungan pula (Pradopo, 1990 : 117). Sehingga untuk mendapatkan makna sajak sepenuhnya diperlukan analisis secara struktural, yaitu susunan unsur-unsur yang bersistem, semiotik, dan intertekstual, yaitu hubungan antarteks dengan sajak-sajak yang ada sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antarteks.
2. 5 Konsep Kematian Orang Jepang Menurut Agama Budha Shinto adalah ‘kepercayaan mengenai kehidupan’ (Coogan, 2003: 266), karena itu di Jepang lazim bahwa kelahiran dirayakan dengan upacara ala Shinto, sementara kematian dengan upacara ala agama Budha (Yamakage, 2006: 44). Dalam upacara kematian, jasad dikremasi setelah satu atau dua hari setelah meninggal. Setelah kremasi dilakukan, keluarga dan orang terdekat almarhum mengambil tulang yang tersisa, lalu ditempatkan di dalam pot, yang kemudian diletakkan di makam keluarga. Hal ini menandakan bersatunya almarhum dengan para leluhurnya (Foley, 2005: 84). Dalam kepercayaan orang Jepang zaman pertengahan menurut agama Budha, diyakini bahwa kehidupan dan kematian adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Kehidupan dan kematian adalah satu. Kehidupan dan kematian bukanlah awal atau akhir, melainkan keberadaan dan ketidakberadaan (Stone, 2003:78).
17
Sementara dalam konsep agama Budha Mahayana, semua hal yang ada di dunia ini dianggap tidak ada yang abadi dan kosong, jadi kehidupan di dunia ini pun hanya sementara karena semua makhluk hidup pasti akan mati (Yamawaki, 1997:158). Dan sebelum mencapai surga, atau nirwana yang merupakan tempat tinggal sang Budha, yang berarti berakhirnya siklus hidup dan mati, arwah makhluk hidup akan melalui proses samsara, yaitu penghakiman terhadap hal-hal yang dilakukan semasa hidup dan lingkaran reinkarnasi (Coogan, 2003: 266). Dalam konsep kematian, surga dan neraka adalah suatu hal yang tak dapat dipisahkan, demikian pula dengan konsep neraka dalam agama Budha. Konsep neraka dalam agama Budha merupakan suatu hal yang kontradiksi. Neraka dianggap sebagai hukuman atau pembalasan atas dosa yang dilakukan semasa hidup, yang terjadi di saat proser reinkarnasi (Ashkenazi, 2003: 102). Konsep neraka dalam agama Budha mendapat pengaruh dari pandangan Shinto mengenai adanya dunia orang mati atau yang disebut yomi. Sementara itu, dalam agama Budha, neraka yang disebut dengan istilah jigoku ini dikuasai oleh Enma. Setiap arwah akan diadili oleh Enma, apakah ia akan lahir kembali sebagai binatang, dewa, atau manusia. Setelah itu, arwah-arwah yang terlepas dari siksaan neraka tersebut akan mendapatkan kebebasan yang abadi, yaitu nirwana (Coogan, 2002: 267). Bagi Budha dan penganut agama Budha, perubahan terbesar dalam keberadaan diakibatkan oleh kematian (Foley, 2005: 70). Konsep kematian orang Jepang menurut agama Budha juga seperti dikemukakan sebagai berikut:
18
「[死]という絶対的な壁を人間存在の正面に対置し思索したバタイユ 等の出現により、初めて西洋思潮が今日的なものとして存在意味を持ち、 死の概念を肌でとらえる存在となったものの、そこには未だに人間存の 絶対性が複雑に色濃く絡まっている。」と述べている (Ume, 2001: 52). Terjemahan: “’Kematian’ adalah batasan yang pasti dalam keberadaan manusia dan merupakan hal yang wajar berlawanan dengan pemikiran Bataiyu, pemikiran Barat dan modern pertama yang mengemukakan arti mengenai keberadaan, konsep kematian dengan menangkap bagian luar saja, kararteristik dari keberadaan manusia yang sesungguhnya masih tersamar dalam kompleksitas yang belum terpecahkan.” Pandangan mengenai kematian juga diunggapkan sebagai berikut : 「死なる概念は、単に生物が活動を停止した結果としての[生命の喪 失]だけでなく、人間としての存在意識の現前が係わる全てを支配する 絶対的概念であり、人間存在が係わるあらゆる領域 - 思弁から行動、創 造から放出に至る全ての領域 - を支配する概念なのである。」と述べて いる (Ume, 2001: 53). Terjemahan: “Konsep kematian secara mudah adalah berhentinya aktivitas yang dilakukan oleh makhluk hidup dengan hasil tidak hanya "ketidakberadaan dari keberadaaan", tetapi juga kesadaran dari keberadaan manusia adalah segala hal yang dengan pasti mengatur hubungan seseorang, yang menghubungkan keberadaan semua manusia dalam suatu teritori yang diatur - dari spekulasi hingga tindakan, dari semua hal yang dibuat hingga membuahkan hasil.” Konsep kehidupan dan kematian ini juga berkaitan dengan kematian dan kebangkitan. Konsep kehidupan dan kematian ini juga mendapat pengaruh dari konsep kehidupan atau kebangkitan setelah kematian dalam agama Kristen di mana jiwa orang yang telah meninggal akan bangkit di hari penghakiman terakhir, dan mendapat kehidupan kekal (Yamawaki, 2003: 158).
19