Bab 2 Landasan Teori Di dalam bab kedua yang berisi landasan teori ini, penulis akan memberikan teori – teori yang akan digunakan penulis untuk menganalisis data di dalam bab selanjutnya. 2.1 Teori Semantik Dalam menganalisis lagu, kita tidak dapat terlepas dari lingkungan semantik. Keraf (2002;31-32) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan semantik adalah sebagai berikut: “Telah dikemukakan bahwa kata atau bentuk bahasa mempunyai relasi dengan dunia nyata. Sehingga istilah referensi dipakai untuk menyatakan relasi antara bahasa dengan sesuatu yang bukan bahasa. Bidang yang mempelajari hubungan itu biasanya disebut semantik.” (Keraf,2002;31-32). Di pihak lain terdapat juga relasi antara unsur-unsur bahasa sendiri yang dikaitkan dengan dunia pengalaman seseorang. Relasi semacam ini dinamakan pengertian (sense). Jadi di dalam bahasa terdapat dua relasi, yaitu relasi bahasa dengan dunia pengalaman yang disebut dengan referensi atau makna. Relasi yang kedua adalah relasi antar unsure-unsur bahasa sendiri yang disebut pengertian (Keraf,2002;32). Seperti yang dikatakan oleh Ikegami, 言語における意味の問題は、本然言語学の一部門として意味論の対象に
な る 。 意 味 論 は 、 持 に 区 別 さ れ る と き は 「 言 語 学 的 な 意 味 論 」 (linguistic
semantics) 、 「 哲 学 的 な 意 味 論 」 (philosophical semantics) 、 「 一 般 意 味 論 」 (general semantics)というふうにそれぞれ呼ばれるが、多くはいずれの場合に対 しても「意味論」(semantics)という名称が使われる (Ikegami,1991; hal. 19). Terjemahan : Masalah makna dalam bahasa menjadi objek semantik yang merupakan salah satu bagian dalam linguistik. Semantik yang jika secara khusus dibedakan sesuai dengan 7
sebutannya menjadi semantik linguistik, semantik filosofi, dan semantik umum, tetapi sering digunakan nama yang sama yaitu “semantik” dalam berbagai macam masalah makna lainnya.
2.2 Pengertian Makna Denotatif dan Konotatif Di dalam bahasa, makna kata di dalam sebuah frase atau kalimat dapat dibagi menjadi dua, yaiktu makna denotatif dan makna konotatif. Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif. Sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum dinamakan makna konotatif atau konotasi (Keraf,2007;27-28). 2.2.1 Pengertian Makna Denotatif Menurut Keraf (2007;27-28) makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual atau ideasional karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal hal yang dapat diserap panca indra (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi informasi atau pernyataan pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.
8
Makna denotatif biasanya dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk mempergunakan kata kata yang bersifat denotatif. Sebab pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan utamanya. Ia tidak mengijinkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih kata kata yang bersifat konotatif. Sebab, itu untuk menghindari interpretasi yang mungkin timbul, penulis akan berusaha untuk memilih kata dan konteks yang relatif bebas interpretasi (Keraf, 2007;28). Karena setiap kata memiliki denotasi, maka penulis harus mempersoalkan apakah kata yang dipilihnya sudah tepat. Ketepatan pilihan kata itu tampak dari kesanggupanya untuk menuntun pembaca kepada gagasan yang ingin disampaikan, yang tidak memungkinkan interprestasi lain selain dari sikap pembicara dan gagasan-gagasan yang akan disampaikan itu, memilih sebuah denotasi yang tepat, dengan sendirinya lebih mudah dari memilih konotasi yang tepat. Seandainya ada kesalahan dalam denotasi, maka hal itu mungkin disebabkan oleh kekeliruan atas kata-kata yang mirip bentuknya, kekeliruan tentang antonim, atau kekeliruan karena tidak jelas maksud dan referennya (Keraf, 2007:28-29). Makna denotatif dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu relasi antara sebuah kata dengan barang individual dan relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya (Keraf, 2007:29).
9
2.2.2 Pengertian Makna Konotatif Keraf juga menyebutkan pengertian dari makna konotatif adalah sebagai berikut: Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju – tidak setuju, senang – tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar. Di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Memilih makna konotasi, seperti sudah disinggung di atas, adalah masalah yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan memilih denotasi, oleh karena itu, pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Bila sebuah kata mengandung konotasi yang salah, misalnya kurus-kering untuk menggantikan kata ramping dalam sebuah konteks yang saling melengkapi, maka kesalahan semacam itu mudah diketahui dan diperbaiki. Sangat sulit adalah perbedaan makna antara kata-kata yang bersinonim, tetapi mungkin mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu (Keraf, 2007;29). Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna konotatif. Misalnya kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasiyang sama yaitu “peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya”. Namun kata meninggal, wafat, berpulang mempunyai konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan, sedangkan mangkat
10
mempunyai konotasi lain yaitu mengandung nilai “kebesaran” dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. Sebaliknya kata persekot, uang muka, atau panjar hanya mengandung makna denotatif (Keraf, 2007;29). 2.3 Teori Analisis Medan Makna Menurut padangan F. de Saussure, pada awal analisis linguistik struktural para linguis sangat dipengaruhi oleh psikologi asosionistik dalam pendekatan mereka terhadap makna. Para linguis dengan intuisi mereka sendiri menyimpulkan hubungan diantara seperangkat kata (Parera, 1991;137). Bally (1974), seorang murid de Saussure, memasukan konsep medan asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan terperinci. Ia melihat medan asosiatif sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan leksikalnya. Ia mengambarkan kata ox yang menyebabkan seseorang berpikir tentang kata seperti cow, lalu makin jauh orang akan berpikir tentang plow, dan akhirnya tentang strength, dan sebagainya. Misalnya dengan kata kerbau mungkin seseorang akan berpikir tentang kekuatan atau kebodohan. Jadi medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas/kesamaan, kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (Parera,1991;38). Buah pikir F. de Saussure dan muridnya C. Bally juga buah pikir dari W. von Humboldt,Weisgerber, dan R.M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J. Trier dalam pengembangan Teori Medan Makna. Dalam bukunya tentang istilah-istilah bahas ajerman, Der Deutsche Wortschatz im Sinnbezirk des Verstandes (1891), J. Trier melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan dalam 11
medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antar sesama makna. Ia mengatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai satu mosaik. Setiap medan makna itu akan selalu tercocokkan antar sesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. 2.4 Teori Pengkajian Puisi Waluyo (2002;1) membagi karya sastra menjadi tiga bagian, yaitu prosa, puisi dan drama. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. Dilanjutkannya, puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan dengan pemilihan kata-kata yang bersifat kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif. 2.4.1 Pengertian Lirik Lagu Menurut Waluyo (2002;2) menyebutkan nyanyian-nyanyian yang banyak dilagukan adalah contoh puisi yang populer. Bahasanya harus mudah dipahami karena pendengar harus cepat memahami isi lagu itu sementara lagu didendangkan. Dalam puisi konsentrasi bahasa lebih intens daripada prosa. Majas, rima, ritma, dan diksi disusun secara lebih seksama dibandingkan dengan lirik-lirik lagu populer.
12
Dalam usaha memahami puisi, banyak puisi yang mampu bicara sendiri. Dalam keadaan demikian,usaha pemahaman puisi tidak memerlukan acuan faktor di luar puisi tersebut. Dalam hal demikian, pendekatan obyektif dapat digunakan dengan baik. Untuk memahami puisi puisi besar yang sudah sangat terkenal, pendekatan obyektif yang dapat digunakan, tanpa mengacu pendekatan lain. Akan tetapi, dalam puisi-puisi yang gelap atau puisi-puisi yang bersifat khas, usaha pemahaman puisi tidak dapat memencilkan karya puisi itu sendiri. Dengan kata lain, kita tidak dapat memandang puisi sebagai sesuatu karya yang bersifat otonom. Karenanya faktor di luar puisi harus turut dijadikan acuan pemahaman. Ditambahkannya bahwa setiap puisi pasti berhubungan dengan penyairnya karena puisi diciptakan dengan mengungkapkan diri penyair sendiri. Di dalam puisi, lirik memberikan tema, nada, perasaan, dan amanat. Rahasia dibalik majas, diksi, imaji, kata konkret, dan verivikasi akan dapat ditafsirkan dengan tepat jika kita berusaha memahami rahasia penyairnya. Dan kemudian peneliti di atas menyantumkan bahwa, yang dimaksud dengan puisi adalah sebagai berikut: a. Dalam puisi terjadi pengkonsentrasian atau pemadatan segala unsur kekuatan bahasa. b. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi. c. Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif. d. Bahasa yang digunakan bersifat konotatif. Hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan. Atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahsa figuratif. e. Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh menyatu tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam 13
kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhan.
Waluyo (2002;25) juga menambahkan definisi puisi sebagai berikut: “puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.”
Bentuk karya sastra puisi mempunyai struktur yang berbeda dengan prosa. Perbedaan itu tidak hanya dari struktur fisiknya, tetapi juga dalam hal struktur batin. Dalam hal struktur fisik dan struktur batin, penciptaan puisi menggunakan prinsip pemadatan atau pengkonsentrasian bentuk dan makna (Waluyo,2002;28-29). Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa lagu merupakan bagian dari puisi. Oleh karena itu, dalam mengemukakan pengertian lagu, penulis menggunakan pemakaian puisi. Bagian puisi, yaitu larik adalah baris di dalam puisi yang biasanya dikelompokkan dalam bait-bait. Kemudian, yang dimaksud dengan bait adalah sekelompok larik yang membentuk sebuah bagian puisi dan memiliki struktur yang sama dengan sejumlah atau semua bagian lainnya di dalam puisi itu dari segi panjang lariknya dan rimanya. Sebuah bait biasanya disusun terpisah dari bait lainnya (Waluyo,1995; hal 2). 2.5 Teori Wacana
Dalam linguistik, teori wacana semakin dirasakan kehadirannya. Rasanya menjadi tidak lengkap apabila sebuah paparan tentang kebahasaan tidak menyertakan teori wacana itu. Bahkan, buku Tata Bahasa Indonesia Baku menempatkan bab tentang wacana secara mandiri sejajar dengan bidang tata bahasa lainnya, seperti kalimat dan kata, sebuah terobosan dalam penulisan tata bahasa yang selama ini belum pernah 14
dilakukan. Buku-buku tata bahasa Indonesia yang disusun oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), C.A. Mees, Gorys Keraf, dan lain-lain tidak pernah menempatkan topik wacana dalam paparannya. Sebagai pisau analisis, teori wacana sudah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian sosial dan pendidikan. Dalam penelitian sosial, misalnya, desain “analisis wacana” dan “analisis wacana kritis” sudah banyak digunakan oleh para peneliti. Dalam penelitian pendidikan, khususnya penelitian pengajaran bahasa, desain “analisis wacana” juga sudah banyak digunakan para peneliti untuk menjawab persoalan-persoalan pengajaran. Teori wacana dan analisis wacana sudah bukan lagi menjadi kapling bidang kebahasaan, tetapi sudah menjadi milik bidang-bidang yang lain.
Istilah wacana diambil dari kata “discourse” secara luas digunakan dalam teori dan analisis sosial untuk merujuk berbagai cara menstrukturkan pengetahuan (knowledge) dan praktek sosial (Social Practice) (Brown and Yule, 1983; Coulthard, 1977). Seperti yang dikemukakan oleh Faircoulgh (1992), wacana termanifestasikan melalui berbagai bentuk khusus penggunaan bahasa dan simbol lainnya. Karena itu, wacana tidak dapat dilihat sebagai sebuah cerminan atau perwakilan dari entitas dan hubungan sosial, melainkan sebagai sebuah konstruksi atau semua itu. Wacana yang berbeda mengkonstruksi entitas kunci secara berbeda pula. Bisa dimengerti apabila wacana yang berbeda selalu memposisikan orang dalam cara yang berbeda sebagai subjek sosial. Berdasarkan inilah yang menjadi pusat perhatian dari sebuah analisis wacana. Dengan kata lain, analisis wacana menekankan pada kajian bagaimana sebuah realitas sosial dikonstruksikan melalui bahasa dan simbol lainnya menurut cara-cara yang tertentu dan yang dipahami sebagai sebuah usaha sistematis untuk menimbulkan efek yang khusus.
15
Konsep wacana memang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran sentral Foucault (1990) yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) yang merupakan kompetisi tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial itu diberi makna melalui cara-cara yang khas. Dalam pengertian yang demikian ini, ”wacana merujuk pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna yang didalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan objek dan efek tertentu ” (Weedon, 1987: 108). Dengan kata lain, wacana melekatkan apa yang didefinisikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan karena itu, juga kekuasaan (power). Melalui ini, wacana selalu menyertakan sebuah paket tentang kondisi-kondisi yang membuat sesuatu menjadi mungkin dan kendala-kendala institusional serta aturan-aturan internal tentang apa yang dapat dan tak dapat dikemukakan. Pemahaman tentang ikhwal ini sangat penting untuk mengerti bagaimana apa yang dikemukakan dalam sebuah pernyataan atau teks itu sesuai dengan seluruh jaringan yang di dalamnya memiliki sejarah dan kondisinya sendiri tentang keberadaannya –sebuah sejarah yang tentu saja berbeda maknanya dengan yang digunakan para filsuf dan sejarahwan (Barret, 1991: 126). Hasilnya, menurut Flax (1992) setiap wacana selalu memuat sesuatu yang memungkinkan (enabling) dan membatasi (limiting). Mengikuti pemikiran Foucault (1979, 1980), Flax (1992) melihat bahwa aturanaturan yang terdapat dalam sebuah wacana memungkinkan orang memproduksi sebuah pernyataan dan menghasilkan klaim kebenaran atasnya. Walaupun begitu, aturan-aturan itu pula lah yang mengharuskan orang untuk tetap berada di dalam sistem yang sedang beroperasi dan hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan aturan16
aturan itu. Karena itu, “sebagai sebuah kesatuan”, wacana tidak pernah salah atau benar karena kebenaran yang diproduksi selalu kontekstual dan bergantung pada aturan-aturan yang berlaku” (Flax, 1992: 452). Hal terpenting lainnya yang patut dicatat dalam memahami wacana adalah beroperasinya proses inklusi/eksklusi. Formasi wacana untuk tidak pernah merupakan sekedar urutan pernyataan sebagaimana lazimnya ditemukan dalam pemahaman klasik kita tentang gagasan, buku, sekolah dan semacamnya. Dalam setiap wacana selalu ada sistem yang mengorganisasikan pengetahuan (dan karena itu “kebenaran”, dan karena itu pula “realitas sosial”) dalam sebuah hierarkhi. Susunan hierarkhi inilah yang secara sistematis menempatkan apa-apa saja yang dianggap patut –tak patut, benar-salah, betukeliru ke dalam makna-makna partikular menurut definisi dan aturan yang beroperasi dalam wacana itu (Sparingga, 1997). Dalam prakteknya,aturan yang beroperasi dalam wacana itu selalu melibatkan konsep yang oleh Edward Said (1978) disebut dengan “other” –sebuah konstruksi realitas yang menempatkan kebenaran secara biner, berhadap-hadapan, frontal dalam sebuah spektrum dimana yang satu atau mendevaluasi (devalue), atau memarjinalkan (marginalise), atau bahkan membungkamkan (silencing) yang lain. 2.6 Teori Depresi Menurut American Psychiatric Association (2000), seseorang menderita gangguan depresi jika:
1. Keadaan emosi depresi/tertekan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari, yang ditandai oleh laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa) atau pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti ingin menangis). 17
2. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain) 3. Hilangnya berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau bertambahnya berat badan secara signifikan (misal: perubahan berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan) 4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari 5. Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif akan kegelisahan atau merasa lambat) 6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari 7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak wajar (bisa merupakan delusi) hampir setiap hari 8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau sulit membuat keputusan, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain) 9. Berulang-kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati), berulangkali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri Ditambahkan pula oleh Murakami (2005, halaman 148): アメリカ合衆国の操作的診断基準である DSM-IV-TR では、「大うつ病性 大うつ病性
障害」(英語:major depression)と呼ばれている。major を「大」と訳している 障害
ので誤解を生じやすいが、これは落ち込む程度の大、小のことではなく、「主 要な」あるいは、「中心的な」という意味での major である。「(小)うつは
病気ではないが、社会生活に支障をきたすほどうつが悪化すると、これは精神 疾患である。」という意味ではない。DSM-IV-TR では、症状の重症度について 別の基準で評価することになっている。 Terjemahan: Di dalam buku Diagnostic and statistical manual of mental disorders 、「大う
つ病性障害」disebut “depresi berat”. Kata “Berat” di terjemahkan sebagai 「大」itu cukup menyusahkan. Mudah menyesatkan tetapi dapat menjatuhkan. Ini tidak berarti bahwa kecil adalah besar dalam arti atau "besar" dan "inti". Ini tidak berarti "depresi (ringan) bukanlah suatu penyakit, tetapi memperburuk depresi mengganggu kehidupan sosial, ini adalah penyakit mental. kriteria yang berbeda untuk keparahan gejala itu harus dievaluasi oleh DSM-IV-TR.
18
2.7 Teori Keguguran Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah ”aborsi”, berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan seltelur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai dalamkalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah suatu proses pengakhiranhidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu. Secara umum, aborsi dapat dibagi dalam dua macam, yaitu pengguguran spontan (spontanueous aborsi) dan pengguguran buatan atau sengaja (aborsi provocatus), meskipun secara terminologi banyak macam aborsi yang bisa dijelaskan (C.B. Kusmaryanto, 2002), menguraikan berbagai macam aborsi, yang terdiri dari:
1. Aborsi/ Pengguguran kandungan Procured Abortion/ Aborsi Prvocatus/ Induced Abortion, yaitu penghentian hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup diluar kandungan. 2. Miscarringe/ Keguguran, yaitu terhentinya kehamilan sebelum bayi hidup di luar kandungan (viabilty).
19
3. Aborsi Therapeutic/ Medicalis, adalah penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan. 4. Aborsi Kriminalis, adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan lain, selain therapeutik, dan dilarang oleh hukum. 5. Aborsi Eugenetik, adalah penghentian kehamilan untuk meghindari kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit ginetis. Eugenisme adalah ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan keturunan hanya yang unggul saja 6. Aborsi langsung - tak langsung, adalah tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin yang ada dalam rahim sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah suatu tindakan (intervensi medis) yang mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri tidak dimaksudkan dan bukan jadi tujuan dalam tindakan itu. 7. Selective Abortion. Adalah penghentian kehamilan karena janin yang dikandung tidak memenuhi kriteria yang diiginkan. Aborsi ini banyak dilakukan wanita yang mengadakan ”Pre natal diagnosis” yakni diagnosis janin ketika ia masih ada di dalam kandungan. 8. Embryo
reduction
(pengurangan
embrio),
pengguguran
janin
dengan
menyisahkan satu atau dua janin saja, karena dikhawatirkan mengalami hambatan perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembanganya. 9. Partia Birth Abortion, merupakan istilah politis/hukum yang dalam istilah medis dikenal dengan nama dilation and extaction. Cara ini pertama-tama adalah dengan cara memberikan obat-obatan kepada wanita hamil, tujuan agar leher 20
rahim terbuka secara prematur. Tindakan selanjutnya adalah menggunakan alat khusus, dokter memutar posisi bayi, sehingga yang keluar lebih dahulu adalah kakinya. Lalu bayi ditarik ke luar, tetapi tidak seluruhnya, agar kepala bayi tersebut tetap berada dalam tubuh ibunya. Ketika di dalam itulah dokter menusuk kepala bayi dengan alat yang tajam. Dan menghisap otak bayinya sehingga bayi mati. Sesudah itu baru disedot keluar.
Sedangkan menurut Simpson dan Jauniaux (2012), yang di sebut dengan kehamilan adalah: “Awal janin terbentuk adalah dari segumpal darah, jika seorang ibu memiliki kelainan dalam pembekuan darah maka pada waktu janin memasuki fase gumpalan darah maka janin tidak akan terbentuk dan terjadi keguguran. Keguguran adalah fase di mana bayi dalam kandungan sebelum minggu ke-24 kehamilan. Tanda-tanda keguguran yang adalah mengalami pendarahan disertai kram dan kejang di perut. Setelah itu, Pendarahan biasanya akan berkurang dalam seminggu hingga 10 hari dan biasanya akan berhenti selepas dua minggu.“
21