7
BAB 2 Landasan Teori
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai konsep-konsep yang akan digunakan sebagai dasar analisa pada bab pembahasan.
2.1 Konsep Budaya Kebudayaan berasal dari bahasa latin cultura yang berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Cakupan dari definisi kebudayaan menjadi sangat luas, karena dalam kehidupannya, manusia akan memelihara, mengolah dan mengerjakan berbagai hal yang menghasilkan tindakan budaya. Sehingga makna kebudayaan menjadi sangat luas dan beragam (Endraswara, 2006:20).
Menurut Endraswara
terdapat beberapa definisi mengenai kebudayaan, yaitu: 1. Keseluruhan hidup manusia yang kompleks meliputi hukum, seni, moral dan adat istiadat yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. 2. Suatu warisan dan tradisi pada masyarakat atau kelompok tertentu. 3. Suatu cara dan aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku. 4. Suatu langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. Berdasarkan definisi-definisi tersebut terlihat bahwa pengertian budaya tidak terbatas pada hal-hal yang kasat mata, tapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak. Kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat dapat dimiliki dengan cara belajar. Kebudayaan tidak ada dengan sendirinya dalam diri manusia, baik secara biologis juga genetis. Seperti contoh, manusia memiliki kebutuhan dasar yang dilakukan sejak dilahirkan yaitu makan. Makan bukanlah bagian dari kebudayaan, tapi bagaimana cara mereka makan dan apa yang mereka makan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari
8
kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda-beda (Siregar, 2002).
2.1.1 Pengaruh Budaya Asing Dan Hubungan Antar Budaya Sama dengan manusia yang merupakan mahluk sosial dan memiliki sifat yang dapat berubah, kebudayaan juga bersifat dinamis. Budaya yang sudah ada pada suatu lingkungan masyarakat, dapat dipengaruhi oleh adanya kebudayaan lain yang masuk kedalam lingkungan tersebut (Sutardi, 2007:14-17). Menurut Sutardi terdapat beberapa hal yang mempengaruhi adanya perubahan kebudayaan diantaranya adalah: 1. Difusi WA. Haviland (dalam Sutardi, 2007:14) menyatakan bahwa difusi adalah perubahan budaya dikarenakan adanya penyebaran kebiasaan atau istiadat dari kebudayaan yang satu kepada kebudayaan yang lain. Prosesnya berlangsung menggunakan teknik meniru. Contohnya adalah cara makan orang eropa yang menggunakan sendok, ditiru oleh orang Indonesia. 2. Akulturasi Koentjaraningrat (2009:203-204) menyatakan bahwa akulturasi adalah pencampuran kebudayaan yang ditimbulkan adanya pengaruh dari budaya lain. Hal tersebut dikarenakan masyarakat berhadapan langsung dengan unsur kebudayaan lain dalam kehidupan sosialnya. Seiring berjalannya waktu, kebudayaan asing yang masuk akan diterima oleh masyarakat setempat. 3.
Asimilasi Menurut Koentjaraningrat (2009:209) asimilasi atau pembauran adalah pencampuran antara kebudayaan setempat dan kebudayaan asing yang disebabkan adanya interaksi sosial, sehingga membentuk budaya yang terdiri dari campuran budaya asli dan budaya asing.
9
Masuknya kebudayaan tersebut, membentuk suatu karakter masyarakat yang berasal dari penggabungan suku bangsa yang beranekaragam (Koentjaraningrat, 2009: 221).
2.1.2 Karakteristik Masyarakat Indonesia Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya, wilayah yang strategis dan tanah yang subur dengan kekayaan alamnya. Sehingga banyak orang asing datang ke Indonesia dan secara tidak langsung membawa kebudayaan mereka. Masuknya budaya tersebut ke Indonesia mempengaruhi kebudayaan yang ada secara turun temurun (Sutardi, 2003:9). Selain itu Indonesia juga terdiri atas beberapa suku bangsa, agama, ras, politik, ekonomi yang dipersatukan dan diatur oleh sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat dan cenderung bersifat heterogen (Bagja, 2007:86). Adanya perbedaan SARA dalam masyarakat Indonesia, menimbulkan adanya perbedaan sudut pandang. Hal ini dapat menimbulkan rasa solidaritas, rasa saling menghormati, kerjasama dan sikap saling tolong menolong. Namun juga dapat menimbulkan suatu konflik diantara kelompok tersebut (Sherman, 2012:341). Dengan adanya perbedaan ini, masyarakat heterogen mengungkapkan pendapatnya secara tegas dan jelas. Seperti pernyataan Itoh (1991:104) berikut ini: In heterogeneous societies, people always have to define concepts and clearly explain what they are trying to say. Circumlocutions do not work because people do not share the same cultural and linguistic backgrounds. Terjemahan: Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat heterogen selalu menentukan konsep dan mengatakan apa yang mereka katakan dengan jelas, perkataan panjang lebar tidak akan berkerja karena mereka tidak berbagi kesamaan budaya dan latar belakang bahasa.
Itoh (1991:105-120) juga menjelaskan bahwa salah satu negara yang berkarakter heterogen adalah Indonesia. Pada pekerjaannya, masyarakat heterogen menganggap perusahaan atau organisasinya hanyalah tempat untuk mencari uang dan tidak lebih dari itu.
10
2.1.3 Karakteristik Masyarakat Jepang Kebudayaan negara Jepang juga dipengaruhi budaya dari negara lain. Contohnya dalam segi bahasa, seni, arsitektur, agama dan lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan China dan Korea. Tulisan Jepang dipengaruhi oleh budaya China, Korea mengajarkan cara untuk memanen padi, ekonomi modern dan model perusahaan di Jepang juga dipengaruhi oleh Amerika, Inggris dan Prancis. Kebudayaan minum teh yang berasal dari ajaran zen budhisme juga berasal dari India. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Jepang merupakan negara berbudaya multikultural dan seharusnya bersifat heterogen, namun yang terlihat dari kehidupan sosialnya, Jepang lebih cenderung terlihat homogen (Hafner 2009:17-18). Kehidupan sosial masyarakat homogen berdasarkan pada kesamaan ras, budaya dan latar belakang sejarah. Pada dasarnya, masyarakat homogen berbagi kesamaan nilai-nilai, kepercayaan, bahasa dan istiadat. Sehingga mereka tidak perlu menetapkan ideologi yang hanya membuat perdebatan antara yang satu dengan yang lainya (Itoh, 1991:104). Sugimoto dan Mouer (dalam Gudykunts, 1993:24) juga mengatakan bahwa masyarakat berkarakteristik homogen memiliki tingkat konflik yang rendah, menekankan diri dalam suatu bagian kelompok dan menekan sifat egoisme untuk keharmonisan kelompok. Selain itu ajaran konfusianisme dari China yang menekankan keharmonisan, hubungan baik antar sesama dan juga kesetiaan kepada tenno membentuk karakter masyarakat Jepang yang memiliki perhatian yang tinggi kepada kelompoknya (Jawwad, 2004:358). Pada organisasi atau kelompoknya, masyarakat berkarakteristik homogen menganggap bahwa kelompok atau organisasinya adalah tempat berbagi dan juga kesamaan takdir. Jika kelompok atau organisasi mereka sukses, maka mereka akan mendapatkan keuntungannya, tapi jika gagal semuanya juga akan menderita. Dalam pekerjaannya, masyarakat homogen selalu menjaga keharmonisan, hubungan baik dengan manusia di dalam kelompok dan saling mempercayai. Kebersamaan jauh lebih penting dibandingkan dengan perjanjian kontrak dan hukum. Mereka juga menganggap bahwa perusahaan bukan hanya tempat mencari uang, tapi lebih dari itu (Itoh, 1991:121).
11
集団主義)
2.2 Konsep Shuudan Shugi (
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat berkelompok yang telah diketahui memiliki kekurangan dalam ego dan memiliki kebudayaan yang. Hal ini sering terlihat pada saat menjelaskan perilaku dan ciri khas masyarakat Jepang dari masyarakat lainnya (Gudykunst, 1993:24). Mendukung pernyataan Gugykunst, Yoshino (dalam Hasegawa & Hirose, 2005) menyatakan bahwa masyarakat Jepang lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu yang dikenal dengan istilah shuudan shugi. Karena Individu tersebut bekerja dalam suatu kelompok, maka memiliki tingkat kerjasama yang tinggi dan memiliki ego yang rendah, seperti pernyataan Takano & Eizaka yang dikutip Wang & Nakamura (2005:79) berikut ini:
集団主義とは個人が集団隷属しているので協調性が高いが、個我が確 立していないために個性に乏しく、集団目標を個人の目標より優先す ることをさしている。 Terjemahan: Karena individu bekerja untuk kelompok, maka memiliki tingkat kerja sama yang tinggi, tapi ego individu tidak terbentuk sehingga kurang memiliki kepribadian, tujuan kelompok lebih diutamakan dibandingkan tujuan pribadi, hal inilah yang disebut konsep berkelompok (Shuudan Shugi). Seseorang yang bergabung dalam suatu kelompok akan diberikan bantuan oleh kelompoknya, namun sebagai gantinya mereka harus memberikan kesetian kepada kelompok mereka (Hoffstede dalam Gudykunst, 1993: 29). Tidak akan ada yang menolong apabila mereka keluar dari kelompoknya, sehingga mereka harus mengerjakan tugasnya seorang diri. Orang-orang yang keluar dari kelompoknya cenderung memiliki tingkat stress yang tinggi dan perasaan yang tidak nyaman (Yoshinori, 2009:17). Hal tersebut membuat masyarakat Jepang lebih merasa aman dalam kelompok, karena orang yang terpisah dari kelompoknya akan disebut sebagai penyendiri. Seperti pernyataan Mitsue (1991:41) berikut ini:
たしかに、日本人は集団で物事をするのを好み、特定の集団に属して いると安心する傾向がある。個性が強く、ムラから離れて一人我 が道 を行くタイプの人は一匹狼などと呼ばれたりする。
12
Terjemahan: Orang Jepang memang suka bergaul dengan kelompok dan cenderung akan merasa tenang dan aman jika sudah berada dalam suatu kelompok tertentu. Tipe orang yang individual, pergi sendiri dan terpisah dari kelompoknya akan disebut penyendiri. Konsep shuudan shugi tidak hanya terbatas pada perusahaan saja, namun dapat ditemukan juga dalam kelompok sekolah, kelompok organisasi dan kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan berkelompok masyarakat Jepang, mempunyai hubungan dengan konsep
「 場 」 yang
artinya adalah keberadaan
seseorang dalam institusi, organisasi, atau tempat seseorang menjalin suatu hubungan dalam sebuah kelompok (Nakane, 1991: Hal 1-2). Shuudan shugi juga mencakup tiga nilai-nilai budaya seperti rasa kerjasama, solidaritas dan rasa kebersatuan (ittaikan) dari semua anggota dalam satu kelompok. Kerjasama adalah interaksi saling mengisi yang dilakukan setiap anggota dalam melakukan kegiatan untuk menunjukkan harmoni kelompok, sehingga menghasilkan solidaritas. Solidaritas adalah sikap yang ditimbulkan oleh kepercayaan, perasaan dan tingkah laku yang sama dalam menunjukkan kebersatuan (Cahyani, 2011:17). Mendukung pernyataan tersebut, Gudykunst (1993:25) juga mengatakan bahwa pada Collectivism melibatkan adanya kerjasama, solidaritas juga kebersatuan didalamnya. Seperti pernyataan berikut ini: Point out that collectivism involves cooperation and solidarity and the sentimental desire for the warm feeling of ittaikan (feeling of oneness) with fellow members of one’s groups, and this feeling is shared widely in japan. Terjemahan: Point di dalam collectivism adalah keterlibatan kerjasama, solidaritas dan keinginan yang sentimental sebagai perasaan yang hangat dari adanya rasa persatuan (ittaikan) dengan sesama anggota dalam satu kelompok, dan perasaan ini tersebar secara luas di Jepang.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat dikatakan shuudan shugi merupakan cerminan kehidupan berkelompok pada masyarakat Jepang. Kuatnya rasa berkelompok ini dipengaruh dari kegiatan masyarakat Jepang sejak zaman dulu.
13
2.2.1 Terbentuknya Konsep Shuudan Shugi Fukutake (dalam Madubrangti, 2004:50-51) menjelaskan bahwa rasa berkelompok pada masyarakat Jepang sudah terbentuk sejak abad ke-2 dan ke-3 sebelum masehi. Pada zaman tersebut, mereka menggarap sawah dengan membentuk kesatuan kerja kelompok. Para petani melakukan pembagian tugas sesuai dengan keahlian masing-masing agar dapat menghasilkan padi yang baik pada saat panen. Kelompok petani ini membagi tugas dengan membentuk kelompok yang lebih kecil yang bertugas sebagai penggembur tanah, pembajak sawah, mengairi sawah, dan kelompok yang menanam bibit padi. Setelah selesai dengan tugasnya, mereka akan kembali ke dalam kelompok induk. Pada zaman itu, panen padi sangat penting bagi kehidupan masyarakat Jepang, karena menunjukan usaha keberhasilan masyarakat dalam mensejaterahkan anggotanya. Karena itulah mereka secara bersama-sama merayakan panen padi dengan festival yang diselenggarakan secara berkala. Festival dilakukan secara seremonial yang dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dalam kegiatan itu, mereka saling berkerjasama dalam persiapan dan pelaksanaanya, sehingga terjadi interaksi antara para petani dan membentuk suatu kehidupan berkelompok. (Gakken dalam Madubrangti, 2004:51). Mendukung pendapat tersebut, Mitsue (1991:41-42) juga menjelaskan bahwa kesadaran masyarakat Jepang akan berkelompok sudah ada sejak dulu. Ketika itu kehidupan sosial masyarakat Jepang adalah bertani dan bekerja secara bersama-sama. Pada waktu merayakan panen, mereka juga melakukannya secara bersama-sama. Rasa berkelompok ini secara bertahap berkembang ke masyarakat perkotaan.
古来日本人の社会生活は土地を基盤とした農耕生活での、ムラ(群 れ)、ムラがり(群がり)という村集団から始まり、徐々に近世の町 や市へと発展した。 Terjemahan: Masyarakat Jepang zaman dulu didasari dari kehidupan agrikultur dengan dasar lahan tanah, dimana dalam satu desa terdapat perkumpulan dan orangorang yang berkumpul yang disebut mura shuudan merupakan permulaan bentuk kelompok yang terus berkembang di kota modern.
14
Berdasarkan pernyataan tersebut, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para petani ini membentuk rasa berkelompok yang berkembang hingga saat ini atas dasar kesadaran kelompok (shuudan ishiki), kerangka berpikir kelompok (shuudan shikou), kehidupan berkelompok (shuudan seikatsu) dan rasa kebersatuan (ittaikan).
2.2.2 Shuudan Ishiki (
集団意識)
Shuudan Ishiki adalah kesadaran berkelompok pada masyarakat Jepang yang memprioritaskan keharmonisan kelompok. Untuk menjaga keharmonisan tersebut, setiap anggota dalam kelompok harus menjaga prilaku dan memiliki kesadaran dalam berkelompok. Kesetiaan pada kelompok merupakan tindakan yang mulia yang harus dikerjakan. Kepentingan kelompok menjadi lebih diutamakan dibandingkan kepentingan individunya sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Ikeno (2002:195), berikut ini: Most Japanese society, people are primary group oriented and give more priority to group harmony than to individuals. Most Japanese consider it an important virtue to adhere to the values of the groups which they belong. Terjemahan: Sebagian besar dari Masyarakat Jepang, merupakan masyarakat yang lebih memprioritaskan kepentingan berkelompok daripada kepentingan diri sendiri atau individual. Sebagian besar menyakini bahwa kesetiaan pada kelompok merupakan suatu tindakan yang mulia yang harus dikerjakan.
Kesadaran akan berkelompok pada masyarakat Jepang, dapat dilihat pada saat mereka memperkenalkan diri. Berbeda dengan masyarakat dari negara lain yang akan memperkenalkan diri mereka terlebih dahulu, masyarakat Jepang akan lebih dulu memperkenalkan tempat mereka berkerja. Seperti yang dikemukakan oleh Mitsue (1991:41) yang menyatakan:
個人主義の強い外国人に比べ、日本人は集団性を強くもった国民であ るといわれる。外国人は自分の仕事について聞かれると、会計係りと か秘書とか職種で答えるのに対し、日本人はOO会社に勤めていると いうように、自分の所属する“場”で答えるとよくいわれる。 Terjemahan: Masyarakat Jepang memiliki sifat berkelompok yang kuat dibandingkan dengan Negara lain yang lebih cenderung bersifat individu. Jika menanyakan
15
mengenai pekerjaan pada orang dari Negara lain, maka mereka akan menjawab sekertaris atau akutansi, sedang kan pada orang Jepang, mereka akan menjawab nama tempat mereka bekerja. Kesadaran yang tinggi pada kelompok akan membentuk suatu pola pikir yang terpusat pada kepentingan kelompok yang disebut dengan shuudan shikou.
集団思考)
2.2.3 Shudan Shikou (
Shuudan Shikou adalah kerangka berpikir kelompok pada masyarkat Jepang yang memperlihatkan keberadaannya dalam kelompok ketika berinteraksi dengan kelompoknya. Mereka juga akan melakukan tugas dan kewajibannya dengan sebaikbaiknya untuk kepentingan kelompok mereka (Shimara dalam Madubrangti, 2004:50). Kerangka berpikir kelompok ini terjadi dalam suatu kehidupan sosial masyarakat Jepang atas dasar rasa kerjasama dalam kehidupan berkelompok. Kesamaan pemikiran yang memprioritaskan kepentingan kelompok tersebut, membentuk kerjasama pada anggota kelompok. Seperti yang dijelaskan oleh Kawamoto (dalam Madubrangti, 2004:50) yang menyatakan bahwa: Shuudan Shikou sebagai kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari atas kesadaraan yang tinggi terhadap kepentingan berkelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang di ikat oleh kehidupan bekerjasama di dalam satu kesatuan kehidupan kelompok atau masyarakat. Mendukung Kawamoto, Ibrahim (2006:198) juga menyatakan bahwa pandangan masyarakat Jepang, selalu sesuai dengan kepentingan kelompoknya atau sesuai dengan pendapat anggota lainnya saat berpendapat. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik yang akan membawa perpecahan dalam kelompok. Perbedaan pendapat dari masing-masing anggota tersebut, menyebabkan hasil keputusan yang keliru dan tingkat keberhasilan yang rendah, karena tidak terpusat pada kepentingan kelompok. Untuk mencegah adanya perbedaan tersebut, masyarakat Jepang cenderung mengikuti kelompoknya. Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Janis (dalam Iseda, 2007:36-37) menyatakan:
16
そうした意思決定に共通してクリティカルシンキングを妨げたのは、 集団が結束していることと一致を求める傾向性であると考え、これが 「集団思考」の中心的特徴だ。 Terjemahan: Pola pikir yang mencegah pemikiran kritis agar memiliki kesamaan pemikiran dalam pengambilan keputusan yang di ikat oleh kelompok dan kecenderungan mengikuti kelompok, ini adalah ciri utama Shuudan Shikou.
Ketika masyarakat Jepang terlibat dalam suatu perbincangan, pemimpin kelompok akan meminta anggotanya agar menjaga ucapannya dan juga meminta mereka untuk berusaha menyampaikan pendapatnya dengan baik, agar dapat diterima oleh anggota lainnya. Bahkan untuk menjaga hal tersebut, mereka mengungkapkan pendapatnya dengan gaya bahasa yang tidak langsung (Jawwad, 2004:357). Muchlas (2009:262) menyatakan bahwa kelompok yang didalamnya terdapat perselisihan pendapat dan kekurangan spirit kooperatif, secara relative menjadi kurang efektif dalam menyelesaikan tugas-tugas dibandingkan dengan kelompok yang memiliki kesamaan pendapat, kooperatif dan saling menyukai.
集団生活)
2.2.4 Shuudan Seikatsu (
Shuudan Seikatsu adalah kehidupan berkelompok yang berlangsung atas dasar kerjasama kelompok. Kesadaran yang tinggi akan kepentingan kelompok yang diikat oleh aturan, sistem, pola, dan pedoman tentang kehidupan yang menekankan kerjasama di dalam kelompok atau masyarakatnya akan membentuk kehidupan berkelompok (Kawamoto dalam Madubrangti, 2004:51). Dalam kehidupan berkelompok, masing-masing anggota dibagikan tugas dan kewajiban yang sama pada kegiatan berkelompok. Hal tersebut dilakukan untuk untuk kepentingan dan kesejaterahan kelompoknya. Adanya tugas yang diberikan pada anggota akan membentuk rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, sehingga dapat bermanfaat bagi diri mereka dan kelompoknya. Tugas dan kewajiban pada diri anggota akan membentuk rasa tanggung jawab dan menghasilkan kehidupan berkelompok (Shimara dalam Madubrangti, 2004:51-52).
17
一体感)
2.2.5 Ittaikan (
Dalam kehidupan masyarakat Jepang yang bersifat homogen, baik dalam kehidupan bekerja dan jenjang karier di Jepang juga sangat dipengaruhi dengan suatu perasaan yang diberikan oleh seseorang terhadap perusahaan atau kelompoknya. Perasaan tersebut dapat berubah-ubah, mereka dapat menjadi suka terhadap sesuatu dan memiliki keinginan terhadap hal tersebut yang dikenal dengan istilah ittaikan (Ishiguro, 2012:162). Ittaikan berdasarkan semangat kerjasama dan gotong royong dalam suatu kelompok yang mempunyai tujuan melindungi keharmonisan kelompoknya (Hamaguchi dalam Madubrangti, 2004:58). Gotong royong adalah interaksi yang dilakukan oleh anggota dalam melakukan kegiatannya yang bertujuan untuk menunjukan suatu keharmonisan kelompok. Hal tersebut menghasilkan solidaritas yang ditimbulkan karena adanya rasa percaya dan rasa seperjuangan, sehingga menunjukan suatu rasa kebersatuan dalam suatu kelompok (Cahyani, 2011:17). Ittaikan juga didefinisikan sebagai suatu rasa yang menghubungkan individu dengan kelompoknya. Ketika seseorang sudah memiliki ittaikan pada kelompoknya, mereka akan selalu memberikan yang terbaik pada kelompok atau organisasi tempat mereka berada. Selain itu, mereka juga bersedia untuk mengikuti arah dan tujuan dari organisasi tersebut, saling berbagi informasi, juga menyumbangkan ide-ide kreatif kepada kelompoknya. Seperti pernyataan Stallard (2002), berikut ini: When people feel connected to their organization, they give their best efforts, align their behavior with organizational goals, share information and insights with decision makers even when it may dangerous to do so, and participate in the organization’s marketplace of ideas that feeds innovation and creativity. Terjemahan: Ketika seseorang sudah merasa terhubung dengan organisasinya, mereka akan memberikan yang terbaik untuk kelompoknya, bersedia menyesuaikan kebiasaanya dengan tujuan organisasinya, berbagi informasi dan wawasan walaupun berbahaya, serta berpartisipasi dalam inovasi dan ide-ide kreatif. Ittaikan juga dilihat dengan pandangan yang sederhana pada perusahaan atau organisasi di Jepang. Rasa kebersatuan ini bukan hanya dilihat dari apa yang anggotanya lakukan saja, namun juga dari hal-hal yang sederhana dengan
18
mengucapkan terimakasih atas bantuan dari anggota lain dan memberikan rasa kepedulian terhadap anggota lain. Seperti pernyataan Honma (2006) berikut ini:
職場で一体感が感じられる場面や状態が一日に何回あるかを細かく見 ていくと小さなやりとりの中にも「ありがとう」と言う言葉が交わさ れたり、「OOさんが休みだけど、どうしたんですか?」というよう な気にかけているせりふがあったりするものです。
Terjemahan: Apabila melihat dari hal kecil yang terjadi dalam keseharian di tempat kerja banyak kejadian dan adegan yang memperlihatkan rasa kebersatuan, seperti mengatakan “Terima kasih”, serta memperlihatkan rasa kepedulian seperti menanyakan keadaan teman satu kelompok yang tidak masuk. Selain itu, mengucapkan aisatsu pada saat memulai sesuatu kegiatan dalam kehidupan kelompok juga akan menimbulkan rasa kebersatuan. Karena baik orang yang mengucapkan dan yang mendengarkan memperlihatkan adanya rasa kebersatuan (ittaikan), seperti pernyataan Yamagata (2011:34-35) berikut ini:
「おはようございます」と語りかける。たいていの人は口の中でぼそ ぼそと「おはようございます」を繰り返す。…. それでお腹の調子が いいかたはもう1回おはようございます」こう切り出すと大低の人は 気持ちのよい大きな声で挨拶を返してくれる。こんな挨拶のやりとり が、聞き手と話してに一体感をもらったしてくれる。話し手だけでは なく、聞き手も大きな声を出すことで…. Terjemahan: Saat mengucapkan “Selamat Pagi” dan biasanya orang-orang menjawab kembali “Selamat Pagi” dengan bergumam…. Kemudian saya melakukan sekali lagi dengan suara yang lantang dan orang-orang membalasnya juga dengan suara lantang. Cara aisatsu seperti itu memberikan Ittaikan pada si pendengar karena bukan hanya si pembicara, namun si pendengar juga mengatakan “Selamat Pagi” dengan lantang. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa ittaikan dapat terbentuk dari hal-hal yang sederhana, seperti mengucapkan aisatsu kepada anggota lain, juga mengucapkan kata-kata yang dapat menunjukan adanya rasa kepedulian terhadap anggota tersebut. Rasa kebersatuan dalam suatu kelompok sangat diperlukan, karena kelompok yang memiliki rasa kebersatuan yang tinggi cenderung lebih produktif dibandingkan dengan kelompok yang memiliki tingkat kebersatuan yang rendah (Omlstead, 2002:56). Kuatnya rasa berkelompok akan mengantarkan kelompok pada kesuksesan.