BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teory Agensi Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (principal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agent) yaitu manajemen. Teori agensi pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai bahwa manajemen (agent) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang saham (principal), sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham. Hubungan keagenan dapat menyebabkan dua permasalahan yaitu: (a) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai informasi keuangan perusahaan yang sebenarnya dibandingkan pihak luar perusahaan dan (b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidaksamaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Konflik kepentingan tersebut dapat menimbulkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemegang saham, yang biasa disebut biaya agensi (agency cost).Biaya agensi adalah biaya yang terjadi ketika principal membayar agent untuk menjalankan sebuah tugas, namun kepentingan agent bertentangan dengan kepentingan principal. Biaya keagenan terbagi menjadi monitoring cost, bonding cost, dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal dan berikutnya residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.
11
12 2.1.2 Teori Legitimasi Teori legitimasi merupakan suatu gagasan tentang kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat. Pada dasarnya, perusahaan akan memperoleh dukungan dari para stakeholders dan melanjutkan aktivitasnya sejauh aktivitas tersebut memberikan manfaat atau tidak merugikan masyarakat luas. Menurut teori ini, perusahaan berusaha memastikan bahwa aktivitas mereka sejalan dengan batasan dan norma yang diterapkan masyarakat sehingga aktivitas perusahaan diterima sebagai legitimasi. Atas usaha tersebut, perusahaan berusaha agar aktivitasnya dapat diterima beradasarkan persepsi pihak eksternal (Khan, Muttakin, & Siddiqui, 2013). Teori legitimasi juga berpendapat bahwa perusahaan harus melaksanakan dan mengungkapkan aktivitas CSR semaksimal mungkin agar aktivitas perusahaan dapat diterima oleh masyarakat. Pengungkapan ini digunakan untuk melegitimasi aktivitas perusahaan di mata masyarakat, karena pengungkapan CSR akan menunjukkan tingkat kepatuhan suatu perusahaan (Branco dan Rodrigues, 2008) dalam (Rosiana, Juliarsa, & Ratna Sari, 2013). Legitimasi didapatkan jika apa yang dijalankan oleh perusahaan telah selaras dengan apa yang juga diinginkan oleh masyarakat. Kelangsungan hidup perusahaan akan terancam jika tidak adanya keselarasan antara sistem nilai perusahaan dengan sistem nilai masyarakat dan menyebabkan perusahaan tidak memperoleh legitimasi (Sindhudiptha & Yasa, 2013). Menurut Khan, Muttakin, & Siddiqui(2013), teori legitimasi menyatakan bahwa top management (manajemen puncak) bertanggung jawab mengatasi legitimacy gap (kesenjangan legitimasi) dan praktik – praktik sosial yang diperlukan sehingga
sesuai
dengan
kepentingan
para
stakeholders
dalam memenuhi
akuntabilitas perusahaan. Legitimacy gap (kesenjangan legitimasi) adalah suatu keadaan dimana aktivitas perusahaan tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat atau nilai – nilai perusahaan tidak sesuai dengan nilai – nilai sosial masyarakat maka legitimasi perusahaan akan terancam. Dengan demikian, legitimasi telah menjadi sumber daya dan perusahaan sangat membutuhkan ini untuk kelangsungan usahanya. Teori ini menjadi relevan karena adanya persepsi bahwa pengungkapan lingkungan sangat bermanfaat untuk pemulihan, peningkatan serta mempertahankan legitimasi perusahaan, sehingga dibutuhkan sebuah aksi lingkungan yang dipublikasi secara efektif (Hadjoh & Sukartha, 2013).
13 Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat dipandang sebagai wujud akuntabilitas perusahaan kepada publik untuk menjelaskan berbagai dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan baik dalam pengaruh yang baik maupun dampak yang buruk (Kristi, 2013).
2.1.3 Teori Stakeholder Stakeholder merupakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan yang meliputi karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, pemerintah selaku regulator, pemegang saham, kreditur, pesaing, dan lain-lain. Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitasyang hanya beroperasi untuk kepentingannyasendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (Purwanto, 2011). Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah stakeholder merupakan sistem yang berbasis pada pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas.
Oleh karena
itu organisasi memiliki
akuntabilitas
terhadap
stakeholdernya (Nur & Priantinah, 2012). Stakeholder theory menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan selama periode tertentu yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan. Dikaitkan dengan CSR adalah segala informasi yang diberikan perusahaan mengenai kinerja perusahaan kepada stakeholder tidak hanya didasarkan pada kinerja keuangan saja. CSR mampu memberikan informasi tambahan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan yang nantinya juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan (Sindhudiptha & Yasa, 2013). Teori stakeholder menyatakan bahwa para stakeholder memiliki hak untuk mengetahui semua informasi baik informasi wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary) serta informasi keuangan dan nonkeuangan. Dampak aktivitas perusahaan kepada stakeholder dapat diketahui melalui pertanggungjawaban yang diberikan perusahaan berupa informasi keuangan dan non-keuangan (sosial). Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pengungkapan sosial dan lingkungan. Perusahaan akan berusaha untuk memuaskan stakeholder agar tetap
14 bertahan, yaitu dengan mengungkapkan informasi yang dibutuhkan (Purwanto, 2011). Praktik pengungkapan CSR memainkan peran yang penting bagi perusahaan karena perusahaan hidup di lingkungan masyarakat sehingga kemungkinan aktivitasnya memiliki dampak sosial dan lingkungan. Perusahaan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan informasi yang dibutuhkan melalui pengungkapan CSR. Dengan demikian perusahaan mendapatkan dukungan oleh para stakeholder yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan (Sembiring, 2003) dalam (Kristi, 2013).
2.1.4 Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Undang – Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 Pasal 74 ayat 1 menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas yang menjalankan usaha di bidang sumber daya alam dan di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Memang sangat mudah mengindikasi PT yang menjalankan usahanya dibidang sumber daya alam. PT yang seperti ini adalah PT yang mengeksploitasi sumber daya alam seperti pertambangan, perkebunan, pemegang hak penebangan hutan dan lain-lain.Kemudian pada UU No. 25 tahun 2007 pasal 15 (b) menyatakan bahwa setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Apabila UU No.32 Tahun 2009 ini dikaitkan dengan CSR, maka hak atas lingkungan memang harus dipenuhi oleh perusahaan. Hal tersebut sesuai dengan pasal-pasal yang menyangkut CSR yaitu, pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan yang lebih baik dan sehat , pasal 6 ayat (2) menyebutkan setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup, pasal 14 ayat (1) menyebutkan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar buku mutu dan criteria baku kerusakan lingkungan hidup.. Dalam hal ini dimaknai sebagai tanggung jawab sosial korporat (CSR) yang mengarah
pada
pengembangan
masyarakat
lokal
sekitar
perusahaan
itu
berdiri.Sedangkan pemerintah baik pusat maupun daerah menyediakan perangkat
15 peraturannya sebagai regulator dalam hubungan antara masyarakat, swasta dan pemerintah. Awalnya CSR telah dikenal sejak tahun 1970. Menurut (Rudito & Famiola, 2013:12-13) CSR berkembang pada akhir tahun 90’an dengan ditandainya munculnya definisi CSR oleh WBSD (World Business Council for Sustainable Development) tahun 1995, sebuah lembaga forum bisnis yang digagas oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk kalangan bisnis agar dapat berkontribusi dalam pembangunan. Konteks saat itu adalah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), suatu konsep pembangunan demi masa depan tanpa merusak sumber daya alam, dimana mencoba menyatukan 3 elemen pembangunan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Definisi CSR oleh WBSD, “ Corporate social responsibility is the continuing commitment by business to contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the community and society at large” (1995). Atau dalam konteks ini CSR dimaknai sebagai komitmen bisnis untuk berperilaku etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, serta masyarakat lokal dan masyarakat pada umumnya. Menurut (Rahmatullah & Kurniati, Juli 2011:2-3) dulu perusahaan memaknai CSR, atau istilah lain seperti Community Development (CD), Program Kemitraan, Program Bina Lingkungan, sebagai sebuah beban atau biaya resiko, karena tidak menghasilkan timbal balik terhadap keuntungan perusahaan. Sedangkan saat ini perusahaan semakin menyadari bahwa CSR bukan lagi beban, melainkan bagian dari modal sosial, dimana keberlanjutan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh profit (keuntungan), tetapi juga daya dukung planet (lingkungan alam) dan people (masyarakat). Perkembangan
CSR
tidak
bisa
terlepas
dari
konsep
pembangunan
berkelanjutan (sustainability development). Definisi pembangunan keberlanjutan dalam buku Panduan Praktis Pengelolaan CSR menurut The World Commission on Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karenanya, konsep Sustainability Development dibangun diatas tiga pilar yang berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya.
16 Ketiga pilar tersebut adalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam The United Nation 2005 World Summit Outcome Document (Solihin:2009). Pengenalan konsep Sustainability Development memberikan dampak kepada perkembangan definisi dan konsep CSR selanjutnya. Sebagai contoh, The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai kontribusi bisnis bagi pembangunan keberlanjutan, serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility) kemudian berkembang tanpa pedoman yang jelas, karena memang tidak ada standar yang jelas. Oleh karena itu, terdapat beberapa definisi CSR lainnya, baik yang dikemukakan para pakar maupun lembaga internasional menurut (Rahmatullah & Kurniati, Juli 2011:4-6), diantaranya adalah: a. Suatu pendekatan bisnis yang menciptakan nilai pemangku kepentingan dengan merangkum semua peluang dan mengelola semua risiko yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan ekonomi, lingkungan, dan sosial (Heel & iema, 2004). b. Komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2004). c. Bagaimana corporate besar berusaha memenuhi kebutuhan modal dari para pemegang saham, sementara dipihak lain dalam waktu yang bersamaan meningkatkan dampak positif pada masyarakat secara umum (Patir, Ziva, 2002). d. Komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, berikut komunitaskomunitas setempat (lokal), masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan (WBCSD, 2002). e. Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan (European Commission).
17 f. Bentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari Corporate Social Responsibility. Tindakan dalam hal ini terhadap luar corporate atau erat kaitannya dengan lingkungan seperti komunitas lokal dan lingkungan alam, atau bagaimana corporate menerapkan atau memenuhi kebutuhan komunitas sekitarnya. Sedangkan nilai CSR lebih kepada nilai corporate yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan – tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya (Goyder). g. Tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan kegiatan suatu organisasi bagi masyarakat dan lingkungannya, melalui perilaku transparan dan etis yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Memperhatikan ekspektasi dari stakeholders-nya, sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma sikap, dan juga terintegrasi kepada keseluruhan organisasi (Draft 3, ISO 26000). h. Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerja sama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara–cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan (International Finance Corporation).
Akan tetapi menurut (Sankat,Clement K,2002) bahwa CSR (Corporate Social Responsibility) dapat dipahami sebagai komitmen usaha untuk bertidak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. Pengertian ini sama dengan apa yang telah ditelorkan oleh The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)bahwa CSR (Corporate Social Responsibility) adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitaskomunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Dari pernyataan ini, terlihat adanya usaha untuk ikut terlibat dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan sehingga dengan demikian kemandirian sebuah masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah usaha. Menurut (Rudito dan Famiola 8 Juli 2013:106) menyatakan bahwa dari kedua pendapat tersebut dapat dimaksudkan bahwa peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat
18 untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan - perubahan yang ada sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain merupakan cara perusahaan mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada masyarakat. Tidak adanya standar atau pedoman tentang pelaksanaan CSR sehingga perlu diberikan standar atau pedoman pelaksanaan CSR yang baik sehingga dapat menjadi rujukan sesuai dengan standar international, dan sesuai dengan keadaan lokal, serta memperhatikan kebudayaan Indonesia. Didalam standar / pedoman tersebut tercakup: 1. Perlunya data-data sosial dari masing-masing korporat tentang kondisi kehidupan masyarakat disekitar korporat yaitu adanya data social mapping. Data pemetaan sosial dari korporat dapat menjadi data dasar bagi sistem deteksi dini terhadap terjadinya konflik sosial. 2. Adanya sistem reward untuk korporat yang telah melakukan kegiatan CSR dengan baik (pengurangan pajak, kemudahan izin) tentunya dengan ukuran keberhasilan yang jelas, dan mengacu kepada prioritas pembangunan daerah dan permasalahan yang dihadapi oleh korporat. Baik oleh pihak pemerintah pusat, dan mendukung oleh pemerintah daerah. 3. Adanya proses sinergitas antara program CSR yang dimiliki oleh korporat dengan program pemerintah setempat, juga dengan korporat lainnya. Dikelola dan difasilitasi oleh Bappeda tingkat II ataupun Bappeda Propinsi. Jadi sharing informasi dan prioritas program, bukan dana. 4. Adanya sistem informasi yang transparan dan pelaporan yang jelas, yang dapat dipantau oleh masyarakat tentang program CSR (Corporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh korporat. Baik peruntukkan, focus prioritas serta capaian program. Secara umum CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan - perubahan yang ada sekaligus memelihara. Dengan demikian dapat dikatakan sebagai cara perusahaan mengatur proses usaha untuk dampak positif pada masyarakat atau dapat dikatakan sebagai proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik secara internal (pekerja,
19 stakeholders dan penanam modal) maupun eksternal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain). Menurut (Rudito & Famiola, 8 Juli 2013:26-27) menyatakan bahwa CSR (Corporate Social Responsibility) pada prinsipnya adalah perwujudan dari etika bisnis dari suatu korporat dimana ketika korporat bertindak secara etis dalam berbisnis maka penempatan tanggung jawab sosial korporat merupakan sebuah kebutuhan dan juga sebagai bagian dari modal usaha dalam meningkatkan kepercayaan korporat terhadap stakeholder-nya. Mau tidak mau, korporat dan masyarakat merupakan sebuah ikatan solidaritas yang bersifat organic dan terbentuk menjadi sebuah mekanisme solidaritas yang menyatu dalam hubungan saling membutuhkan. Korporat yang mempunyai etika bisnis adalah korporat yang salah satunya mempunyai
tanggung
jawab
sosial
terhadap
masyarakat
yang
hidup
di
lingkungannya, apakah komunitas korporat lainnya, ataukah komunitas lokal sebagai penduduk kedalam korporat itu sendiri yaitu hubungan antara para karyawannya, atasan dan bawahan dalam korporat serta dengan keluarga karyawannya. Sebagai satu kesatuan masyarakat, korporat mempunyai etika yang sama atau relatif sama dengan etika yang berkembang dimasyarakat itu sendiri, sehingga proses bisnis yang terwujud didalamnya berkaitan erat dengan moralitas yang berlaku dimasyarakat yang bersangkutan yang dijadikan pedoman bagi moralitas secara keseluruhan anggota masyarakat. Moralitas yang merupakan etika bisnis adalah moralitas hubungan sosial dan juga hubungan manusia dengan lingkungan alam, artinya hubungan antar-individu atau kelompok korporat dalam masyarakat serta hubungan antar korporat dengan lingkungan alamnya. Hal ini berkaitan dengan bahwa korporat itu pada dasarnya adalah sebuah masyarakat yang bersama-sama dengan komunitas lainnya mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat yang lebih luas.
2.1.5 Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Ardianto & Machfudz, (2011:39-40) menyatakan bahwa konsep CSR pertama kali dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 dan sejak itu hingga sekarang telah mengalami “pengayaan konsep”. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan yang pertama kali dikemukakan oleh Howard R.
20 Bowen (1953), dikembangkan dalam konsep Cost Benefit Ratio versus Social Benefit Ratio, yang di Fakultas Ekonomi UI dikembangkan oleh Salim (1956) dengan kesimpulan bahwa “setiap perusahaan berskala besar hendaknya jangan hanya bermotivasi mencapai profit sebesar-besarnya dengan membandingkan cost dan benefit (least cost combination); tanpa sama sekali melihat ratio antara cost dengan social benefit (manfaat sosial); keberadaan perusahaan terhadap lingkungan”. Salim mengingatkan, jangan sampai perusahaan berskala besar menjadi enclave (pulau) di tengah-tengah samudra kemiskinan, atau perusahaan tidak mampu menjadi sentra pertumbuhan ekonomi lingkungan. Pengertian CSR yang relatif lebih mudah dipahami dan dioperasionalkan adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (profit, planet dan people) yang digagas Elkington (1998). Dalam bukunya Cannibals With Forks: The Tripple Bottom Line in 21st Century Business (1998), Elkington menegaskan bahwa perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula, memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Suharto,2008) dalam (Suharto, 2010:4-5). Berikut adalah gambaran mengenai konsep 3P, adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Konsep 3P
Menurut (Wibisono, 2007:32-37) dalam Felicia (2015) menyatakan bahwa pengertian Triple Bottom Line oleh John Elkington memberikan pandangan bahwa perusahaan yang ingin bertahan dan berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P” yakni:
21 1. Profit Profit merupakan tujuan utama bagi kegiatan suatu usaha. Tidak heran bagi setiap kegiatan bisnis berlomba-lomba untuk meningkatkan profit mereka atau keuntungan dari kegiatan bisnis mereka. Profit ini pada intinya adalah menambahkan setiap pendapatan demi keberlangsungan kedepannya dalam kegiatan usaha. 2. People Mengingat bahwa masyarakat disekitar perusahaan merupakan stakeholder bagi perusahaan, sehingga masyarakat dapat memberikan dukungan mengenai adanya kegiatan usaha dan perkembangan yang sedang di jalankan perusahaan.Dengan arti kata bahwa masyarakat dapat membantu perusahaan untuk tetap melangsungkan kegiatan usaha yang sedang berlangsung dengan baik. Tanpa adanya masyarakat maka suatu kegiatan usaha tidak akan berjalan dengan lancar. Dan ini adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Sehingga perusahaan harus memberikan timbal balik kepada masyarakat sekitar, karena perlu diingat bahwa dalam hal ini jika perusahaan tidak memberikan timbal balik kepada masyarakat sekitar akibat nya adalah banyak dampak buruk yang akan diterima oleh masyarakat. 3. Planet Dalam pengertian planet ini adalah lingkungan. Apabila perusahaan ingin tetap terus berkembang didunia usaha, maka perusahaan harus memikirkan dampak buruk yang dihasilkan perusahaan terhadap lingkungan dengan cara melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial. Sama halnya dengan masyarakat (people) yang sama-sama memerlukan tanggung jawab sosial ini.Dengan melaksanakan tanggung jawab sosial ini maka perusahaan dapat menanggulangi dampak buruk yang diakibatkan oleh perusahaan.
2.1.6 Program Tanggung Jawab Sosial dan Manfaat Sosial 2.1.6.1
Bentuk Tanggung Jawab Sosial Program kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam konteks tanggung
jawab sosialnya dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, menurut (Rudito & Famiola, 2013:107-111) menyatakan bahwa: 2.1.6.1.1
Public relations
Usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada masyarakat tentang kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Biasanya berbentuk kampanye yang tidak terkait sama sekali dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang
22 bersangkutan. Bentuk ini lebih ditekankan pada penanaman persepsi tentang perusahaan dan si perusahaan membuat suatu kegiatan sosial tertentu dan khusus sehingga tertanam dalam image masyarakat bahwa perusahaan tersebut banyak melakukan kegiatan sosial sampai anggota masyarakat tidak mengetahui produk apa yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Atau sebaliknya anggota masyarakat mengetahui produk yang dihasilkan oleh perusahaan, akan tetapi tertanam dibenak anggota masyarakat bahwa perusahaan yang bersangkutan selalu menyisihkan sebagian keuntungannya untuk kegiatan sosial. Kegiatan atau usaha ini lebih mengarah pada menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya menanamkan sebuah persepsi yang baik tentang perusahaan terhadap masyarakat. 2.1.6.1.2
Strategi defensive
Usaha yang dilakukan oleh perusahaan guna menangkis anggapan negatif masyarakat luas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan terhadap karyawannya, dan biasanya untuk melawan ‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas atau masyarakat yang sudah terlanjur berkembang, kegiatan ini biasanya dilakukan dengan sasaran yang berbeda dengan anggapan yang telah berkembang atau bertolak belakang dengan persepsi-persepsi yang ada dimasyarakat pada umumnya. Prinsipnya hampir sama dengan bentuk kegiatan public relations, akan tetapi berbeda pada proses kejadiannya. Pada public relations, pada dasarnya menjalin hubungan yang belum ada, sedangkan pada strategy defensif mengarah pada proses melawan kejadian yang pernah dialami, artinya anggapan masyarakat terhadap perusahaan sudah ada sebelumnya dan anggapan ini biasanya bernada negatif yang pada umumnya bicara tentang aktivitas dari perusahaan yang bersangkutan yang negatif terhadap sesuatu hal. Usaha Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukannya adalah untuk mengubah anggapan sebelumnya dengan mengantinya dengan yang baru sebagai suatu anggapan baru yang bersifat positif.
2.1.6.1.3
Keinginan tulus untuk melakukan kegiatan yang baik yang benar
benar berasal dari visi perusahaan itu. Melakukan program untuk kebutuhan masyarakat atau komunitas sekitar perusahaan atau kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri. Kegiatan perusahaan dalam konteks ini adalah sama sekali tidak mengambil
23 suatu keuntungan secara materil tetapi berusaha untuk menanamkan kesan baik terhadap komunitas atau komunitas berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Biasanya bentuk keinginan tulus suatu perusahaan dalam kegiatan tanggung jawab sosialnya adalah berkaitan erat dengan kebudayaan perusahaan yang berlaku (corporate culture).
2.1.6.2 Keuntungan Melakukan Corporate Social Responsibility Menurut Dr. AB Susanto dalam bukunya yang berjudul “Reputation Driven Corporate Social Responsibility” terdapat 6 keuntungan yang dapat diperoleh oleh perusahaan jika melakukan program CSR, yaitu: 1. Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang menuduh perusahaan menjalankan perilaku serta praktik-praktik yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelaannya. Karyawan pun akan berdiri di belakang perusahaan, membela institusi tempat mereka bekerja. 2. Berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring atau bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih muda memahami dan memaafkannya. 3. Memunculkan keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebangaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada peningkatan kinerja dan produktivitas. 4. Memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan stakeholder-nya (pemangku kepentingan).
24 Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.Hal ini mengakibatkan para stakeholder senang dan merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan. 5. Meningkatkan penjualan. Konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memiliki reputasi yang baik. 6. Memperbesar kemungkinan mendapat insentif-insentif lain seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu diperhatikan guna mendorong perusahaan agar lebih giat lagi menjalankan tanggung jawab sosialnya.
2.1.7 Profitabilitas Profitabilitas adalah suatu kemampuan yang dimiliki setiap perusahaan dalam menghasilkan laba atau keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan.Profitabilitas merupakan salah satu dalam analisis rasio keuangan. Rasio profitabilitas (Profitability Ratio) menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan.Rasio laba umumnya diambil dari laporan keuangan laba rugi. Menurut (Warren, Carl S & Reeve, James M & Fess, Philip E, 2005 :315) menyatakan bahwa analisis profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba tergantung pada efisiensi dan efektivitas pelaksanaan operasi, serta sumber daya yang tersedia untuk melakukannya. Dengan demikian analisis profitabilitas secara umum memfokuskan pada hubungan antara hasil operasi, seperti yang dilaporkan dalam laporan laba rugi, dan sumber daya yang tersedia bagi perusahaan, seperti yang dilaporkan dalam neraca. Dalam penelitian ini, rasio profitabilitas yang diggunakan adalah Return on Equity (ROE), Return on Assets (ROE) ini dapat diperoleh dengan cara:
ROE =
25 2.1.8 Struktur Kepemilikan Saham Menurut Pujiningsih 2011 (dalam Ika 2012:25) Struktur kepemilikan merupakan bentuk komitmen dari para pemegang saham untuk mendelegasikan pengendalian dengan tingkat tertentu kepada para manajer.Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting didalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan equity tetapi juga oleh persentase kepemilikan oleh manajer dan institusional. Pada perusahaan modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat menyebar.Struktur kepemilikan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya.Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Agency
problem
dapat
dikurangi
dengan
adanya
struktur
kepemilikan.Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang saham.
2.1.8.1
Kepemilikan Saham Manajerial Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai prosentase suara yang
berkaitan dengan saham dan option yang dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan. Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan oleh emiten kepemilikan saham dilaporkan dalam bentuk prosentase. Menurut Susanto dan subekti (2013) kepemilikan manajerial berpengaruh secara signfikan dengan arah koefisien positif terhadap nilai perusahaan.Penelitian tersebut menunjukan bahwa kepemilikan manajerial salah satu mekanisme corporate governance yang mampu meningkatkan nilai perusahaan.Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kepemilikan manajerial maka semakin rendah juga nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial mampu membuat para manajer akan berusaha untuk meningkatkan nilai kekayaannya sebagai pemegang saham perusahaan, yang akhirnya juga akan meningkatkan nilai perusahaan. Namun Kusumaningrum (2013) menyatakan jika proporsi kepemilikan perusahaan yang dimiliki oleh manajer semakin meningkat, maka keputusan yang diambil oleh manajer cenderung akan menguntungkan dirinya dan secara keseluruhan akan merugikan perusahaan sehingga kemungkinan nilai perusahaan akan cenderung mengalami penurunan.
26 2.1.8.2
Kepemilikan Saham Institusional Kepemilikan Institusional adalah saham yang dimiliki oleh institusi seperti
asuransi, dana pensiun, pemerintah, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusional lain. Kepemilikan institusional dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajer karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan yang lebih optimal agar dapat meningkatkan nilai perusahaan. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Menurut Susanto dan Subekti (2013) kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal tersebut disebabkan ketika calon investor akan menanamkan saham, para calon investor tidak melihat siapa investor institusionalnya, melainkan melihat manajemen perusahaan dan nilai perusahaan tersebut. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Reny dan Priantinah (2012), yang menyatakan bahwa meningkatnya kepemilikan saham oleh investor institusi menyebabkan tekanan kepada perusahaan untuk menerapkan good corporate governance pun semakin besar sehingga mampu mendorong peningkatan nilai perusahaan.
2.1.8.3
Kepemilikan Saham Publik Perusahaan go public dan telah terdaftar dalam BEI adalah perusahaan-
perusahaan yang memiliki proporsi kepemilikan saham oleh publik, yang artinya bahwa semua aktivitas dan keadaan perusahaan harus dilaporkan dan diketahui oleh publik sebagai salah satu bagian pemegang saham. Akan tetapi tingkat kepemilikan sahamnya berbeda-beda satu sama lain (Nur & Priantinah, 2012). Kepemilikan saham oleh publik maksudnya adalah jumlah saham yang dimiliki oleh publik.Pengertian publik disini adalah pihak individu di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan saham publik, semakin banyak pihak yang membutuhkan informasi tentang perusahaan, sehingga banyak pula butir-butir informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan. Untuk mendorong kemauan publik dalam berinvestasi pada sebuah perusahaan, perusahaan harus menampilkan keunggulan yang dimiliki terutama aktivitas sosialnya. Semakin besar komposisi saham
27 perusahaan yang dimiliki publik, maka dapat memicu melakukan pengungkapan secara luas termasuk pengungkapan CSR (Putra, 2011). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa publik mempunyai peran penting dalam menciptakan well-fuctioning government system karena meraka memiliki
financial
interest
dan
bertindak
independen
dalam
menilai
manajemen.Semakin besar persentase saham yang ditawarkan kepada publik, maka semakin besar pula internal yang harus diungkapkan kepada publik sehingga kemungkinan dapat mengurangi intensitas terjadinya manajemen laba.Oleh karena itu kepemilikan publik dianggap berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Menurut Situmorang (2015) Nilai perusahaan penting bagi perusahaan karena menggambarkan keadaan perusahaan secara umum, untuk meningkatkan hal tersebut manajer akan mengmbil beberapa keputusan. Salah satu keputusan yang diambil manajer adalah melalui struktur kepemilikan saham publik. Dengan adanya struktur kepemilikan saham publik, maka pihak manajemen perusahaan berupaya untuk meningkatkan tingkat akuntabilitas, transparansi, dan ketepatan waktu dalam menyajikan laporan keuangan atau kondisi perusahaan. Semakin tinggi tingkat kepemilikan saham publik maka semakin baik pula nilai perusahaan dimata masyarakat. Keputusan lain yang diambil manajer adalah penggunaan hutang (leverage). Hutang yang dimiliki perusahaan akan dianggap oleh calon investor sebagai pertanda bauk karena perusahaan akan mampu melakukan investasi lain dan melunasi hutang tersebut. Selain itu, untuk meningkatkan nilai perusahaan, manajer juga menerapkan kebijakan dividen. Dimana kebijakan dividen akan dipersepsi baik oleh pemegang saham, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.9 Leverage Leverage mencerminkan tingkat resiko keuangan perusahanaan, rasio ini berhubungan dengan keputusan pendanaan dimana perusahaan lebih memilih pembiayaan hutang dibandingkan modal sendiri. Rasio ini juga menunjukkan seberapa besar perusahaan dibiayai oleh pihak luar atau kreditor. Peusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi berarti sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan yang mempunyai tingkat leverage lebih rendah lebih banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri.
28 2.1.10 Ukuran Perusahaan Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu perusahaan besar (largefirm), perusahaan menengah (medium size) dan perusahaan kecil (smallfirm). Menurut Gibson,C.H.(2011), perusahaan besar biasanya memiliki akses ke pasar modal yang lebih luas dan lebih canggih, dapat membeli jumlah besar, dan pasar layanan yang lebih luas. Ukuran yang berbeda dari perusahaan yang dibandingkan dapat dilihat dari relative sales, assets, atau profit size. Dalam penelitian ini yang dijadikan tolak ukur dalam variabel ukuran perusahaan adalah assets yang dilihat berdasarkan total aktiva karena total aktiva dapat mewakili seberapa besar perusahaan tersebut. Sehingga semakin besar total aktiva yang dimiliki perusahaan, maka semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut.
2.1.11 Nilai Perusahaan Pada umumnya, tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Memaksimalkan nilai perusahaan ditujukan untuk mencapai kemakmuran stakeholder, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan meliputi karyawan, manajemen, kreditur, pemasok, masyarakat sekitar, pemerintah, pemegang saham, dan lain-lain. Nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar, karena nilai pasar perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham. Nilai perusahaan dapat dicapai secara maksimum apabila para pemodal meyerahkan pengelolaannya kepada para profesional yaitu manajer atau komisaris (Retno dan Priantinah, 2012). Indikator nilai perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalahTobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh professor James Tobin (1967). Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena menunjukan estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dollar investasi instrumental. Jika rasio Tobin’s Q diatas satu, ini menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi, hal ini akan merangcang investasi baru. Apabila Tobin’s Q dibawah satu, investasi dalam aktiva tidak akan menarik bagi investor. Jadi Tobin’s Q merupakan ukuran yang lebih teliti
29 tantang seberapa efektif manajemen memanfatkan sumber-sumber daya ekonomis dalam kekuasaannya. Secara sistematis Tobin’s Q dapat dihitung dengan formulasi rumus sebagai berikut : Q=
Dimana : Q EMV
= Nilai Perusahaan = Nilai pasar ekuitas (EMV = closing price x jumlah saham yang beredar)
D
= Nilai buku dari total hutang
Total Assets
= nilai total assets
2.1.12 Pengertian Laporan Tahunan (annual report) Laporan tahunan (Annual Report) merupakan suatu bentuk laporan yang berisi penyampaian informasi oleh manajemen kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Laporan tahunan mengkomunikasikan kondisi keuangan dan informasi lainnya seperti kinerja sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan kepada para pemegang saham, kreditor, dan stakeholders lainnya. Laporan tahunan merupakan mencakup hal - hal seperti pembahasan dan analisis manajemen, catatan atas laporan keuangan dan laporan pelengkap yang berisi informasi lain seputar kinerja perusahaan. Mengacu pada pendapat Menurut Brigham & Houston (2010:84) laporan keuangan adalah beberapa lembar kertas dengan angka-angka yang tertulis di atasnya, tetapi penting juga untuk memikirkan aset-aset nyata yang berada dibalik angka tersebut. laporan keuangan tahunan menyajikan empat laporan keuangan dasar neraca, laporan laba rugi, laporan laba ditahan, dan laporan arus kas. Semua laporan ini memberikan gambaran operasional dan posisi keuangan perusahaan. 1. Neraca Menurut Brigham & Houston (2010:87) neraca menggambarkan posisi suatu perusahaan pada suatu titik waktu tertentu. Neraca di bagi menjadi dua bagian, yaitu sebelah kiri untuk menyajikan aset yang dimiliki perusahaan. Sisi sebelah kanan
30 menyajikan kewajiban dan ekuitas perusahaan yang mencerminkan klaim terhadap aset. 2. Laporan Laba Rugi Menurut Brigham & Houston (2010:93) laporan laba rugi merupakan laporan yang merangkum pendapatan dan beban perusahaan selama suatu periode akuntansi, biasanya satu kuartal atau satu tahun.Laporan laba ditahan (Statement of Retained Earnings), menunjukkan perubahan laba ditahan antara dua tanggal neraca. Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukannya aktiva per ekuitas pemegang saham. Penjualan bersih disajikan pada bagian atas laporan, sedangkan laba bersih tersedia bagi pemegang saham biasa. Laba dan deviden per saham disajikan pada bagian bawah laporan. Laba per saham disebut “garis bawah”, dan menunjukkan seluruh pos dalam laporan laba rugi, EPS biasanya merupakan pos terpenting bagi pemegang saham. 3. Laporan Laba Ditahan Menurut Brigham & Houston (2010:100) laporan laba ditahan adalah laporan yang menyajikan seberapa besar jumlah laba perusahaan yang ditahan di dalam usaha dan tidak dibayarkan sebagai deviden. Angka laba ditahan dalam neraca merupakan jumlah laba ditahan tahunan untuk setiap tahun sepanjang riwayat perusahaan. 4. Laporan Arus Kas Menurut Brigham & Houston (2010:98) laporan yang melaporkan dampak aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan suatu perusahaan pada arus kas sepanjang periode akuntansi.
2.1.13 International Framework (IR) Berdasarkan kamus Merriam-Webster, kerangka dapat didefinisikan sebagai struktur konseptual dasar ide atau standar. Kemudian, International Framework dalam integrated reporting dapat didefinisikan sebagai struktur konseptual atau standar pelaporan terintegrasi yang dapat diimplementasikan secara global. Berdasarkan ifac.org, International Integrated Report Committee (IIRC) didirikan pada tanggal 2 Agustus 2010 karena inisiasi dari Global Reporting Initiative (GRI) danPrince of Wales Accounting for Sustainability Project dan Federasi Internasional Akuntansi, dikenal sebagai A4S (Integrated Keuangan dan Pelaporan Keberlanjutan di Amerika Serikat & aicpa.org, April 2013).
31 GRI, sebagai organisasi berbasis jaringan yang telah mengembangkan beberapa
kerangka
penandatanganan
pelaporan
MoU
of
keberlanjutan
International
di
dunia,
Integrated
mengumumkan
Reporting
Committee
(IIRC).Anggota IIRC terdiri dari koalisi global profesi akuntan profesional.Tujuan IIRC adalah untuk mengembangkan suatu kerangka kerja yang menggabungkan keuangan dan informasi tata sosial lingkungan. Komite ini melihat bahwa itu diperlukan untuk berkomunikasi dengan penciptaan nilai bahwa perusahaan dibuat berdasarkan survei penelitian dan wawancara dilakukan oleh IIRC pada 21 perusahaan yang terdaftar, 11 perusahaan swasta, 6 organisasi sektor publik, dan 7 organisasi lain yang termasuk bank pembangunan dan serikat kredit-anggota yang dimiliki. Kerangka ini akan segera diakui sebagai Integrated Reporting framework yang digunakan sebagai kerangka yang memandu organisasi mengkomunikasikan informasi yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan untuk menilai prospek jangka panjang organisasi secara jelas, ringkas, terhubung dan sebanding Format (GRI Laporan Bulanan Integrated Reporting, 2012). Buku ini diterbitkan pada tanggal 9 Desember 2013. Internasional
Kerangka terutama dibagi menjadi dua bagian.Bagian pertama adalah Pendahuluan dan bagian kedua adalah Integrated Reporting. Pada bagian pertama, The International Kerangka sebagian besar berbicara tentang informasi dasar mengenai Integrated Reporting, Internasional Kerangka itu sendiri, dan bagaimana menggunakan Framework. Pada bagian kedua, The International Kerangka dibagi menjadi dua bab utama : 1. Guiding Principles chapter: digunakan sebagai dasar tentang bagaimana laporan terpadu disiapkan dan disajikan, bagaimana menginformasikan isi laporan dan bagaimana informasi dalam laporan terpadu disajikan. Pedoman Prinsip ini diimplementasikan secara individu dan kolektif untuk tujuan penyusunan dan penyajian laporan terpadu. Dalam rangka melaksanakan Guiding Principles ke dalam laporan yang terintegrasi, perlu pertimbangan terutama ketika ada konflik antara prinsip-prinsip, seperti keringkasan dan kelengkapan. 2. Isi Elemen bab: terdiri dari konten yang perlu diungkapkan dalam laporan terpadu. Namun, Elemen Konten pada dasarnya berhubungan antara satu sama lain dan tidak dimaksudkan untuk berdiri sendiri secara eksklusif dalam satu bab. Elemen konten dimaksudkan untuk membuat informasi yang diungkapkan dalam laporan terpadu
32 terkait antara satu sama lain dan hubungan ini menjadi lebih terlihat. Isi laporan yang terintegrasi akan disesuaikan dengan kondisi masing-masing organisasi. Dengan demikian, Unsur Konten muncul sebagai pertanyaan yang harus dijawab dalam laporan terpadu bukan daftar periksa. Oleh karena itu, perlu pertimbangan untuk menerapkan Prinsip-Prinsip untuk menentukan jenis informasi yang diungkapkan, dan bagaimana hal itu dilaporkan, seperti dibahas lebih lanjut dalam bab Konten Elements.
2.1.13.1
The Fundamental Concepts of International Framework
Internasional Framework (Kerangka) ini dimaksudkan untuk membuat keseimbangan kombinasi yang mengakui berbagai fleksibilitas dan resep dalam keadaan individual di antara organisasi yang berbeda. Pada saat yang sama, memberikan gelar yang cukup komparatif antara organisasi dalam rangka untuk memenuhi tuntutan informasi yang relevan. Kerangka memberikan beberapa persyaratan yang harus diterapkan untuk laporan dalam rangka dikatakan sesuai dengan kerangka.Namun, Kerangka tidak mendefinisikan indikator kinerja utama yang spesifik, metode pengukuran, atau pengungkapan hal-hal individual. Kerangka dapat dibagi ke dalam beberapa kategori berdasarkan nilai-nilai yang mengubah suatu perusahaan, seperti nilai keuangan, nilai penghasilan, nilai intelektual, nilai kemanusian, nilai sosial dan hubungan, dan nilai modal alam. Daripada itu, kenggunaan dari semua kategori tadi tidak diperlukan dalam menyiapkan dan menstruktur penggabungan laporan dengan permodalan. Kerangka yang dibuat menggunakan prinip-prinsip berdasarkan pendekatan.
2.1.13.2 Tujuan dari International Framework Tujuan dari International Framework adalah untuk membangun Guiding Principles dan Elemen Konten yang mengatur keseluruhan isi laporan yang terintegrasi, dan untuk menjelaskan konsep dasar yang mendukung mereka (The International Framework, 2013). Prinsip-Prinsip Panduan berkaitan dengan penyusunan laporan terpadu dan bagaimana informasi tersebut akan disajikan dalam laporan terpadu. Unsur Konten terdiri dari jenis informasi yang harus diungkapkan dalam integrated report. Kerangka ini memberikan informasi yang dapat dimasukkan dalam integrated reporting dan alamat beberapa penilaian untuk kemampuan organisasi
33 dalam menciptakan nilai. Kerangka tersebut tidak mengatur beberapa benchmark karena beberapa diferensiasi dalam kualitas strategi organisasi dan tingkat kinerjanya. Kerangka ini terutama ditulis untuk pribadi dan perusahaan profit di berbagai ukuran. Untuk sektor publik dan perusahaan non profit, mereka dapat menyesuaikan dan diadaptasi berdasarkan kebutuhan nya.
2.1.14 Integrated Reporting Integrated Reporting dapat dilihat sebagai cara nilai berkomunikasi di abad ke-21. Pelaporan terintegrasi dipicu oleh dirilis Raja III Kode Etik Prinsip Tata Pemerintahan di Afrika Selatan pada tahun 2009. Pemerintah di Afrika Selatan telah merekomendasikan penyusunan dan penerbitan laporan terintegrasi. Pada tahun 2010, laporan terpadu menjadi salah satu persyaratan daftar oleh Bursa Efek Johannesburg Afrika Selatan. Peraturan ini telah membuat Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menggunakan pelaporan terintegrasi (The Institute of Chartered Accountants of Sri Lanka, 2014). Pelaporan terintegrasi dapat dipahami secara umum sebagai konvergensi dari laporan keberlanjutan dengan laporan keuangan ke dalam satu laporan. Melalui pelaporan terintegrasi, perusahaan mengungkapkan kualitas manajemen dan kinerja keuangan. Berdasarkan Internasional Framework, laporan terpadu dapat didefinisikan sebagai alat komunikasi tentang bagaimana sebuah organisasi menciptakan nilai selama masa melalui strategi organisasi, tata kelola, kinerja dan prospeknya, dalam konteks lingkungan eksternal. Laporan terintegrasi tidak hanya memberikan informasi kuantitatif, tetapi juga memberikan informasi kualitatif. Informasi kuantitatif dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana perusahaan menciptakan nilai dan dampaknya ke berbagai ibukota di mana perusahaan memiliki. Informasi kualitatif dapat berguna untuk mengungkapkan kegiatan dan strategi bisnis dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Tak satu pun dari informasi kuantitatif dan kualitatif yang lebih penting dari yang lain. Kedua jenis informasi yang sama pentingnya. Menyajikan KPI bersama dengan penjelasan naratif dapat menjadi cara yang efektif bagi perusahaan untuk berkomunikasi. 2.1.14.1
Manfaat Integrated Reporting
Seperti disebutkan sebelumnya, laporan terintegrasi memberikan manfaat tidak hanya bagi organisasi, tetapi juga bagi para stakeholder. Untuk investor sebagai
34 penyedia modal keuangan, laporan terpadu memberikan keuntungan yang lebih daripada laporan keuangan biasa. Para investor akan bisa mendapatkan informasi yang jelas dan ringkas tentang nilai suatu organisasi. Para investor akan memiliki akses mudah ke informasi dengan memiliki satu laporan yang terdiri dari informasi yang luas mengenai organisasi. Melalui pelaporan terintegrasi, organisasi meningkatkan kemampuannya untuk yang dibandingkan ke tingkat yang lebih tinggi dari informasi global. Investor juga akan dapat menilai risiko dan peluang investasi mereka dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Dengan demikian, hal itu akan menyebabkan mereka menjadi keputusan yang lebih baik membuat untuk berinvestasi di perusahaan yang tepat, karena pelaporan yang terintegrasi juga mencerminkan implementasi keberhasilan pemikiran terpadu. Untuk pengambilan keputusan, juga memberikan manfaat bagi manajemen untuk menganalisis model bisnis pesaing dan strategi untuk menghasilkan arus kas masa depan. Untuk organisasi, pelaporan terpadu merupakan terobosan dalam memahami bagaimana sebuah organisasi menciptakan atau menghancurkan nilai mereka. Organisasi yang menerapkan pelaporan terintegrasi memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mengembangkan bisnis mereka untuk tujuan jangka panjang. Dan juga perubahan interaksi antar departemen dalam organisasi. Melalui pelaporan terintegrasi, masing-masing departemen dalam organisasi adalah memiliki kolaborasi yang lebih baik pada apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka lakukan untuk organisasi. Dengan menerapkan pelaporan terintegrasi, perusahaan dapat meningkatkan merek mereka kepada stakeholder, karena menunjukkan bahwa perusahaan siap dan mematuhi peraturan pemerintah dan mampu bertahan di persaingan yang sehat di antara para pesaingnya.
2.1.15 Bursa Efek Indonesia (BEI) Menurut UU No.8 Tahun 1995 Bursa Efek adalah
pihak yang
menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak – pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara mereka. Berdasarkan situs resmi Bursa Efek Indonesia (BEI), secara historis pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek
35 telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC. Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya. Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Menurut UU No.8 Tahun 1995 pasal 7, tujuan didirikannya bursa efek adalah menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar dan efisien. Visi BEI adalah menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Sedangkan misi BEI adalah menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui pemberdayaan Anggota Bursa dan Partisipan, penciptaan nilai tambah, efisiensi biaya serta penerapan good governance. Semua perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) diklasifikasikan ke dalam 9 sektor BEI yang didasarkan pada klasifikasi industri yang ditetapkan oleh NEJ yang disebut JASICA (Jakarta Stock Exchange Industrial Classifiaction). Kesembilan sektor tersebut adalah : a.
Sektor Utama (Industri Penghasil Bahan Baku) 1. Sektor Pertanian 1.1 Sub sektor tanaman pangan 1.2 Sub sektor perkebunan 1.3 Sub sektor peternakan 1.4 Sub sektor perikanan 1.5 Sub sektor kehutanan 1.6 Sub sektor lainnya 2. Sektor Pertambangan 2.1 Sub sektor pertambangan batubara 2.2 Sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi
36 2.3 Sub sektor pertambangan logam dan mineral lainnya 2.4 Sub sektor pertambangan batu - batuan 2.5 Sub sektor pertambangan lainnya b.
Sektor Kedua (Industri Manufaktur) 3. Sektor Industri Dasar dan Kimia 3.1 Sub sektor semen 3.2 Sub sektor keramik, porselen dan kaca 3.3 Sub sektor logam dan sejenisnya 3.4 Sub sektor kimia 3.5 Sub sektor plastik dan kemasan 3.6 Sub sektor pakan ternak 3.7 Sub sektor kayu dan pengolahannya 3.8 Sub sektor pulp dan kertas 3.9 Sub sektor lainnya 4. Sektor Aneka Industri 4.1 Sub sektor mesin dan alat berat 4.2 Sub sektor otomotif dan komponennya 4.3 Sub sektor tekstil dan garmen 4.4 Sub sektor alas kaki 4.5 Sub sektor kabel 4.6 Sub sektor elektronika 4.7 Sub sektor lainnya 5. Sektor Industri Barang Konsumsi 5.1 Sub sektor makanan dan minuman 5.2 Sub sektor rokok 5.3 Sub sektor farmasi 5.4 Sub sektor kosmetik dan barang keperluan rumah tangga 5.5 Sub sektor peralatan rumah tangga 5.6 Sub sektor lainnya c.
Sektor Ketiga (Industri Jasa)
6.
Sektor Properti dan Real Estate
6.1
Sub sektor properti dan real estate
6.2
Sub sektor konstruksi bangunan
6.3
Sub sektor lainnya
37 7.
Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
7.1
Sub sektor energi
7.2
Sub sektor jalan tol, pelabuhan, bandara dan sejenisnya
7.3
Sub sektor telekomunikasi
7.4
Sub sektor transportasi
7.5
Sub sektor konstruksi non bangunan
7.6
Sub sektor lainnya
8.
Sektor Keuangan
8.1
Sub sektor bank
8.2
Sub sektor lembaga pembiayaan
8.3
Sub sektor perusahaan efek
8.4
Sub sektor asuransi
8.5
Sub sektor lainnya
9.
Sektor Perdagangan, Jasa, dan Investasi
9.1
Sub sektor perdagangan besar barang produksi
9.2
Sub sektor perdagangan eceran
9.3
Sub sektor restoran, hotel dan pariwisata
9.4
Sub sektor advertising, printing dan media
9.5
Sub sektor kesehatan
9.6
Sub sektor jasa computer dan perangkatnya
9.7
Sub sektor perusahaan investasi
9.8
Sub sektor lainnya
2.1.16 Industri Pertambangan 2.1.16.1
Definisi Industri Pertambangan
Industri pertambangan adalah jenis usaha yang bergerak di bidang penggalian alami bahan yang tidak dapat diperbaharui. Bahan-bahan alami bisa dalam bentuk padat, seperti batu bara dan bijih, cairan seperti minyak mentah, dan gas-gas seperti gas alam. Industri pertambangan di Indonesia dibagi menjadi beberapa sub sektor yaitu : 1. Sub sektor pertambangan batu bara Batubara di Indonesia pada dasarnya dibagi menjadi lima kelas yaitu anthracite, bituminous, sub-bituminous, lignite, danpeat. Anthracite adalah kelas tertinggi batubara, berkilauan hitam metalik. Hal ini terbuat dari 86% sampai 98%
38 karbon dan kelembaban kurang dari 8%. Bituminous mengandung 68% -86% dari karbon dan air selama 8% -10%. Sub-bituminous mengandung lebih banyak air daripada karbon. Untuk lignite, lignite dikenal sebagai batubara coklat. Ini adalah jenis batubara yang lembut mengandung 35% -75% air dari berat. Jenis terakhir adalah gambut(peat). Gambut (peat) pori dan memiliki komposisi air selama lebih dari 75%. Ini adalah jenis yang memiliki nilai kalori terendah di antara jenis lainnya bara. Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2014, Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai produsen batubara top pada 2013 dengan total produksi mencapai 258,9 Mt. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012, secara umum, ada dua jenis perusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Ada perusahaan pertambangan batubara dan layanan batubara perusahaan pertambangan. Perusahaan tambang batubara adalah perusahaan yang kegiatan lingkup rangka eksploitasi mineral atau batubara yang meliputi tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pasca tambang. Dalam jenis usaha pertambangan batubara, ada 72 perusahaan tambang perusahaan batubara di Indonesia. Perusahaan tambang batubara yang layanan layanan bisnis yang kegiatan terkait dengan tahapan dan / atau bagian dari kegiatan pertambangan. Ada 44 perusahaan yang menyediakan layanan perusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Dari semua jenis-jenis perusahaan pertambangan batu bara, hanya ada 22 perusahaan tambang batu bara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi Perusahaan minyak dan gas di Indonesia diklasifikasikan menjadi perusahaan upstream dan downstream. Kegiatan perusahaan upstream meliputi mencari potensi minyak mentahdi bawah tanah atau di bawah air dan gas, pengeboran untuk sumur, dan membawa minyak mentah dan/atau gas alam ke permukaan. Kegiatan perusahaan downstream termasuk penyulingan minyak mentah dan pemurnian gas alam mentah sampai pemasaran dan distribusi produk yang berasal dari minyak mentah dan gas alam. Di sub sektor minyak dan gas ada 144 perusahaan diIndonesia, termasuk 100 perusahaan minyak dan gas upstream dan 44 perusahaan downstream minyak dan gas. Dari perusahaan-perusahaan, ada 7 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
39 3. Sub sektor pertambangan logam dan mineral lainnya Logam dan mineral adalah bahan berupa tambang bijih yang dapat bertindak sebagai konduktor listrik, seperti bijih besi, nikel, emas, tembaga, timah dan bijih bauksit. Logam dan mineral biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu bahan logam murni dan bahan logam campuran. Bahan logam murni biasanya digunakan dalam kondisi murni tanpa campuran apapun, seperti emas, bijih besi, nikel, timah, dan bijih bauksit. Bahan logam campuran biasanya digunakan untuk bahan campuran untuk perlawanan terhadap proses atau kondisi berubah. Di Indonesia, ada 8 perusahaan logam dan tambang mineral yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4. Sub sektor pertambangan batu-batuan Di Indonesia, ada dua perusahaan tambang yang bergerak disektor kegiatan batuan. Ada Citatah Industri Marmer Tbk untuk pertambangan marmer, dan Mitra Investindo Tbk untuk pertambangan granit.
2.1.16.2
Overview Industri Pertambangan di Indonesia
Industri pertambangan di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan di Indonesia. Industri pertambangan di Indonesia telah menarik banyak investor lokal dan investor asing. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pertumbuhan di sektor pertambangan selalu meningkat dari tahun ke tahun bukannya krisis. Pada tahun 2010, Produk Domestik Bruto peroleh dengan industri pertambangan tumbuh untuk 3,86%, 1,39% pada tahun 2011, dan 1,49% pada tahun 2012. Pada semester pertama 2013, industri pertambangan mendominasi pasar dan kemudian diikuti oleh sektor transportasi, manufaktur, telekomunikasi, industri makanan, dan industri kertas. Berdasarkan harga saham di Bursa Efek Indonesia pada 3 Desember 2013, ada lima perusahaan batubara dengan kapitalisasit erbesar untuk Rp36,46triliun, yaitu PT. Adaro Energy Tbk (ADRO), PT. Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT. Bayan Resources Tbk (BYAN), PT. Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT. Golden Energy Mines Tbk (GEMS).
40 2.2 Penelitian Terdahulu 2.2.1
Viryananda (2014), Pengaruh ukuran perusahaan, likuiditas, Earning per
Share dan tingkat Leverage terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada perusahaan farmasi, kimia, semen dan tambang yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011 - 2013. Dalam Penelitian ini terdapat 4 variabel independen diantaranya adalah tingkat likuiditas, leverage, EPS dan size. Data yang telah digunakan pada penelitian tersebut berupa data sekunder yang didapat dari Bursa Efek Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut pada tingkat likuiditas tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial, akan tetapi pada variabel leverage ini menggunakan variabel DER sehingga terdapat pengaruh negatif antara variabel tingkat leverage terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial. Namun pada variabel EPS beserta Size memiliki pengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial. Dalam penelitian tersebut juga memiliki beberapa saran terhadap peneliti selanjutnya yaitu, perusahaan yang dijadikan sampel adalah perusahaan yang memiliki laporan keberlanjutan (sustainability report) terpisah dari laporan tahunan dan sudah menggunakan standar GRI sebagai acuan, menggunakan industri lain yang memiliki potensi merusak lingkungan dan variabel – variabel lain yang mungkin memiliki pengaruh yang signifikan.
2.2.2 Nuraina, Elva. 2012.
Pengaruh Kepemilikan Institusional Dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Kebijakan Hutang Dan Nilai Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bei). Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), 19(2): 110 – 125 Variabel independen yang digunakan dalam penelitian tersebut terdapat 2 variable independen yaitu kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan, dan menggunakan 2 variabel dependen yaitu kebijkan hutang dan nilai perusahaan.Data yang digunakan pada penelitian tersebut merupakan data sekunder yang didapat di Bursa Efrek Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan , ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signfikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang ha ini dikarenakan pemegang saham menghendaki ada pihak ketiga yang ikut mengawasi kinerja manajemen dalam hal ini debtholder yang berkepentingan atas hutangnya dalam perusahaan sehingga akan
41 ikut memonitor kinerja manajemen, selanjutnya ukuran perusahaan yang tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan karena penelitian ini mengacu pada Pecking Order Theory (POT) perusahaan besar lebih sukan mencari sumber pendanaan dari sumber internal. Dalam penelitian tersebut juga memiliki beberapa saran terhadap peneliti selanjutnya yaitu, penelitian ini belum dapat membuktikan pengaruh ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang perusahaan, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan lain di luar perusahaan manufaktur, penelitian selanjutnya disarankan untuk memperpanjang periode penelitian, penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji variable lain yang diduga berpengaruh terhadap kebijakan hutang dan nilai perusahaan, seperti indeks corporate governance, indeks intelektual capital atau likuiditas perusahaan.
2.2.3 Diyong Murdi Janra (2015). Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Leverage,Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Perngungkapan Informasi Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan (studi empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2010-2013). Variable independen yang digunakan dalam penelitian ini terdapat 4 variabel yaitu kepemilikan manajerial, leverage, profitabilitas, dan ukuran perusahaan. Data yang digunakan untuk melakukan penelitian ini dengan menggunakan data sekunder yang di dapat dari website BEI (www.idx.co.id), website perusahaan, dan pojok BEI UNP. Dari hasil penelitian tersebut kepemilikan manajerial tidak mempengaruhi pengungkapan
informasi
leveragetidak
berpengaruh
pertanggungjawban terhadap
sosial
pengungkapan
perusahaan, tanggung
jawab
variable sosial
perusahaan, variable profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, variable ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam penelitian ini juga terdapat beberapa saran untuk peneliti selanjutnya yaitu, peneliti selanjutnya sebaiknya mempertimbangkan menggunakan variabel lain yang memepengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan di luar variabel yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti selanjutnya perlu mempertimbangkan sampel yang lebih luas. Hal ini bertujuan agar kesimpulan yang dihasilkan tersebut memiliki cakupan yang lebih luas.
42 2.2.4 Yustisia Puspaningrum (2014), Pengaruh Corporate Social Responsibility dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas dan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Moderating (studi empiris pada perusahaan pertambangan di Bursa Efek Indonesia) Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu Corporate Social Responsibility dan Kepemilikan Manajerial. Serta menggunakan 2 variabel moderating yaitu profitabilitas dan Ukuran Perusahaan. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut berupa data sekunder yang didapat di Bursa Efrek Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut menemukan bahwa CSR tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan.Hasil tersebut menunjukkan bahwa besar kecilnya luas pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan tidak mempengaruhi peningkatan nilai perusahaan. Temuan lain menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
signifikan terhadap nilai perusahaan
karena rendahnya kepemilikan saham oleh manajemen mengakibatkan pihak manajemen belum merasa ikut memiliki perusahaan dikarenakan tidak keseluruhan keuntungan perusahaan dapat dinikati oleh manajemen sehingga manajemen termotivasi untuk memaksimalkan kepentingannya. Dengan rendahnya kepemilikan saham oleh manajemen juga cenderung rendah sehingga tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hasil temuan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh signifikan dalam pengaruh CSR terhadap nilai perusahaan karena sebesar apapun tingkat profitabilitas perusahaan tidak dapat mempengaruhi hubungan CSR dan nilai perusahaan. Tidak berpengaruhnya profitabilitas Sebagai variabel moderating di dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan antara lain disebabkan oleh banyak perusahaan pertambangan yang tergolong perusahaan ekonomis/pelit. Selain itu ukuran perusahaan memperkuat pengaruh CSR terhadap nilai perusahaan dan memeperkuat pengaruh kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan.
2.2.5 Lina Junita (2014), Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan, Struktur Modal dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2012 Variable independen yang digunakan yaitu pertumbuhan perusahaan, struktur modal, dan pengungkapan Corporate Social Responsibility. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut berupa data sekunder yang didapat di Bursa Efrek
43 Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut menemukan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, struktur modal berpengaruh signifikan negatif
terhadap
nilai
perusahaan,
serta
pengungkapan
Corporate
Social
Responsibility berpengaruh signifikan positif terhadap nilai perusahaan. Dalam penelitian ini juga terdapat beberapa saran untuk peneliti selanjutnya yaitu peneliti selanjutnya dapat menambah kategori perusahaan yang dijadikan sample penelitian, misalnya seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI, menambah variable lain yang diidentifikasi dapat mempengaruhi nilai perusahaan, pertumbuhan perusahaan, struktur modal dan Corporate Social Responsibility.
2.2.6 Suman Sen (2011), Corporate Social Responsibility in Small and Medium Enterprises: Application of Stakeholder Theory and Social Capital Theory. Studi ini meneliti konsep multi disiplin Corporate Social Responsibility (CSR) dalam kaitannya dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana UKMdi wilayah Gold Coast Australia berpartisipasi dalam kegiatan tanggung jawab sosial serta menguji apakah teori stakeholder dan atau sosial teori modal berhasil dapat menjelaskan pendekatan CSR yang dilakukan oleh mereka. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 12 UKM di wilayah Gold Coast Australia. Hasil penelitian Suman Sen (2011) menyatakan bahwa UKM memiliki persepsi positif dari sosial tanggung jawab bisnis. Keterbatasan yang timbul dari sifat penelitian dan ukuran bisnis yang layak di perhatikan lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan di sektor UKM dari wilayah Gold Coast Australia. Sampel terdiri organisasi yang dipilih yang mempekerjakan kurang dari 100 karyawan dan oleh karena itu tidak mengikuti ABS’s definition of SMEs (organisasi dengan kurang dari 200 karyawan) karena waktu dan sumber daya menjadi kendala. Meskipun semua upaya dilakukan untuk memasukkan berbagai industri dalam sampel, itu masih belum dapat mencerminkan penampang ideal sektor UKM di Gold Coast atau di tempat lain. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun pemangku kepentingan utama seperti karyawan, pelanggan dan pemasok penting untuk tujuan ekonomi, keterlibatan sosial dengan para pemangku kepentingan sekunder di masyarakat, dan modal sosial yang dihasilkan dari mereka kegiatan sosial, yang lebih penting untuk kelangsungan hidup UKM. Dengan demikian, UKM melihat BSR sebagai sumber modal sosial dan kesempatan untuk mengkompensasi sumber daya mereka terbatas.
44 2.2.7 Khan, Muttakin, & Siddiqui (2013) Corporate governance and corporate social responsibility disclosure: evidence from an emerging economy. Pada Penelitian yang berjudul Corporate governance and corporate social responsibility disclosure: evidence from an emerging economy , studi ini menguji hubungan antara kepemilikan manajerial, kepemilikan saham publik, kepemilikan asing, board independence, CEO duality, dan kehadiran komite audit terhadap tingkat pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan (CSR). Sampel terdiri dari semua 135 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Dhaka (DSE) di Bangladesh 2005-2009. Kecuali
19 perusahaan yang memiliki informasi tidak
lengkap. Sampel akhir terdiri dari perusahaan yang tersisa (116) dengan total 580 perusahaan-tahun pengamatan. Sampel terdiri dari berbagai sektor seperti: semen (7), keramik (4), teknik (19), makanan (21), rami (3), kertas dan percetakan (2), lain-lain (11), obat-obatan (21) , penyamakan kulit (5), kertas dan percetakan (2) dan tekstil (23) .Data yang diperoleh untuk di analisis i berasal dari sumber multipl. Dengan mengumpulkan data keuangan dan kepemilikan dari laporan tahunan perusahaan sampel yang terdaftar di Dhaka bursa. Informasi tanggung jawab sosial adalah yang dikumpulkan dari pengungkapan CSR, pengungkapan tata kelola perusahaan, laporan direksi, pernyataan Ketua, dan catatan atas laporan keuangan yang terdapat dalam laporan tahunan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR sedangkan kepemilikan saham publik, kepemilikan asing, board independence, dan kehadiran komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkan CSR.
2.2.8 Wendy Stubbs dan Colin Higgins (2014) Integrated Reporting and Internal Mechanisms of Change Studi ini menyelidiki mekanisme internal yang digunakan oleh pengadopsian awal pelaporan terintegrasi di Autralia untuk mengelola proses pelaporan dan mengeksplorasi
apakah
pelaporan
terintegrasi
merangsang
pengungakapan yang inovatif. Data yang digunakan dalam
mekanisme
meneliti integrated
reporting didapat dari situs web ASX50 (50 perusahaan terbesar yang terdaftar di Bursa Efrek Australia). Metode penelitian yang digunakan adalah dengan cara modus
45 interpretative
penyelidikan
berdasarkan
data kuliatatif,
wawancara
dengan
menganalisis wawancara tersebut dengan menggunakan teknik coding kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Sementara organisasi yang mengadopsi integrated reporting menunjukkan adanya perubahan proses dan struktur mereka, mereka adopsi dari pelaporan terpadu belum tentu mendorong inovasi baru dalam mekanisme keterbukaan. Penelitian ini tidak mengungkap radikal, perubahan transformatif untuk proses pelaporan, tetapi kenaikan perubahan yang lebih untuk proses
dan
struktur
yang
sebelumnya
didukung pelaporan keberlanjutan.
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sampel yang digunakan kecil dan pemangku kepentingan yang berpartisipasi, dan fokus pada satu negara. Keuangan, akuntansi dan strategi yang sangat kurang terwakili dalam penelitian ini, serta pemangku kepentingan eksternal, dan kesimpulan hanya bisa tentatif sampai diuji lebih lanjut.Penelitian selanjutnya diperlukan dengan organisasi melakukan terintegrasi pelaporan di negara yang berbeda, dan dengan jangkauan yang lebih luas dari pemangku kepentingan internal dan eksternal, untuk lebih memahami mekanisme yang mempromosikan dan memfasilitasi pelaporan terintegrasi. Selain itu, studi longitudinal yang cocok untuk mengeksplorasi perubahan mekanisme pelaporan dalam menanggapi pelaporan yang terintegrasi.
2.2.9 Axel Haller dan Chris Van Staden (2014) The Value Addes StatementAn Appropriate Instrument For Integreted Reporting Studi ini untuk memberikan kontribusi tentang konsep Pelaporan Terpadu (IR) dan memberikan proposal praktis dan berguna yang bisa membantu untuk menerapkan konsep IR dalam praktek perusahaan. Hasil penelelitian berdasarkan kajian komprehensif dari literatur internasional dan penelitian, kertas berpendapat bahwa presentasiterstruktur dari ukuran tradisional "nilai tambah" di apa yang disebut "pernyataan nilai tambah”
(Value Added
Statement) memiliki potensi untuk melayani sebagai praktis dan instrumen pelaporan yang efektif untuk IR. Value Added Statement yang diusulkan tidak hanya memenuhi prinsip-prinsip IR tetapi juga melaporkan efek moneter dari berbagai jenis modal termasuk dalam IR dan dengan cara ini melengkapimerupakan konsep IR sangat baik. Keterbatasan penelitian para penulis bermaksud untuk merangsang akademik serta diskusi kelembagaan tentang bagaimana menerapkankonsep IR di tingkat perusahaan. Sebagai karakteristik Value Added Statement yang diusulkan sesuai
46 dengan baik dengan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang dikembangkan dalam proyekintegrated Reporting Framework project of the International Integrated Reporting Council (IIRC) dan dengan tujuan akhir dari pemikiran terpadu, penelitian dapat menginformasikan pertimbangan saat di dalam dan luar dari IIRC.
2.3
Perumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Teori legitimasi menyarankan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Dengan menggunakan laporan tahunan , perusahaan menggambarkan tanggung jawab lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat. Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan antara lain di dalam laporan disebut Sustainability Reporting (laporan keberlanjutan) apabila program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias darin karyawan akan menjadikan program-program tersebut bagaikan program penebusan dosa dari pemegang saham belaka. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari programprogram tersebut akan memberikan arti sendiri yang sangat besar bagi perusahaan. Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan terjamin timbul secara berkelanjutan (sustainable) apabila perusahaan memeprhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan hidup karena keberkelanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan , dan masyarakat. Dimensi tersebut dapat di dalam penerapan Corporate Social
Responsibility
yang
dilakukan
perusahaan
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban sosial dan kepedulian terhadap lingungan di sekitar perusahaan. Hasil penelitian pengaruh pengungkapan
Corporate Social Responsibility
berdasarkan pedoman GRI terhadap nilai perusahaan yang dilakukan William (2012) menyatakan bahwa semakin bear pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan maka nilai perusahaan akan meningkat. Para investor maupun stakeholder akan melihat pengaruh positif dari pengungkapan CSR di dalam laporan tahunan perusahaan. Astiari, Atmadja, dan Darmawan (2014) menyatakan bahwa adanya hubungan antara pertanggungjawaban sosial perusahaan dengan nilai perusahaan menunjukkan bahwa semakin luas pengungkapan pertanggungjawaban sosial
47 perusahaan maka nilai perusahaan juga akan semakin meningkat. Tingginya nilai perusahaan menyebabkan keberadaan perusahaan tersebut akan lebih disorot oleh stakeholder-nya, apabila perusahaan dapat memaksimalkan manfaat yang diterima stakeholder maka akan timbul kepuasan bagi stakeholder yang akan meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan uraian di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H₁
: Corporate Social Responsibility berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
2.3.2 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Profitabilitas
perusahaan
merupakan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba bersih dari aktivitas yang dilakukan pada periode akuntansi. Profitabilitas dapat menjadi pertimbangan penting bagi investor dalam keputusan investasinya, karena semakin menghemat biaya modal, di sisi lain para manajer menjadi meningkat powernya bahkan bisa meningkatkan kepemilikannya akibat penerimaan dividen sebagai hasil keuntungan yang tinggi, diharapkan dapat menarik minat investor di dalam berinvestasi. Pengungkapan sosial perusahaan diwujudkan melalui kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial.Semakin baik kinerja yang dilakukan perusahaan di dalam memperbaiki lingkungannya (kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial), maka nilai perusahaan semakin meningkat sebagai akibat dari para investor yang menanamkan sahamnya pada perusahaan. Hal tersebut dikarenakan para investor lebih tertarik untuk menginvestasikan modalnya pada korporasi yang ramah lingkungan. Menurut Dewi dan Wirajaya (2013) menyatakan profitabilitas yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi pemegang saham.Semakin besar keuntungan yang diperoleh semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividennya, dan hal ini berdampak pada kenaikan nilai perusahaan. Dengan rasio profitabilitas yang tinggi yang dimiliki sebuah perusahaan akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya diperusahaan. Pernyataan tersebut sejalan dengan Mardianti, Ahmad, dan Putri (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai profit yang didapat maka akan semakin tinggi nilai perusahaan. Karena profit yang tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham. Permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan yang meningkat. Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
48 H
: Profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan
2.3.3 Pengaruh Kepemilikan Saham Manajerial Terhadap Nilai Perusahaan Berdasarkan teori keagenan, hubungan antara manajemen dengan pemegang saham, rawan terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan bahwa salah satu cara nntuk memperkecil adanya konflik agensi dalam perusahaan adalah dengan memaksimalkan jumlah kepemilikan manajerial. Dengan menambah jumlah kepemilikan manajerial, maka manajemen akan merasakan dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil karena mereka menjadi pemilik perusahaan (Jensen dan Mecling, 1976). Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri (Ross,et al., 2002 dalam Tamba, 2013). Hal ini dikarenakan manajemen sendiri yang menetapkan keputusan, mengambil keputusan serta merasakan dampak langsung dari hasil keputusan yang mereka ambil. Dalam hal ini manajer akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan dirinya dibandingkan kepentingan perusahaan. Sebaliknya semakin besar kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata lain biaya kontrak dan pengawasan menjadi rendah. Manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut. Menurut Jensen dan Meckling 1976 menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen maka semakin kuat kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H
: Kepemilikan saham menejemen berpengaruh terhadap nilai perusahaan
2.3.4 Pengaruh Kepemilikan Saham Institusional terhadap Nilai Perusahaan Jensen dan Mecling (1976) menyebut kepemilikan institusional sebagai kepemilikan saham ole pihak institusi lain yaitu kepemilikan oleh perusahaan atau lembaga lain. Kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang terbentuk institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lain. Menurut Jensen dan Mecling (1976) Kepemilikan institusional merupakan salah satu
49 alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict . Semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional maka semakin kuat tingkat pengendalian yang dilakukan oleh pihak eksternal terhadap perusahaan sehingga agency cost yang terjadi di dalam perusahaan semakin berkurang dan nilai perusahaan juga dapat semakin meningkat (Nuraina, 2012). Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, maka para pemegang saham besar seperti kepemilikan institusional akan dapat memonitor tim manajemen secara lebih efektif dan nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Selain itu, pemilik institusional akan berusaha melakukan usaha-usaha positif guna meningkatkan nilai perusahaan miliknya (Mutia, 2010). Dapat disimpulkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4
: Kepemilikan saham institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan
2.3.5 Pengaruh Kepemilikan Saham Publik terhadap Nilai Perusahaan Untuk mencapai tujuan utama suatu perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaannya, diperlukan pendanaan yang dapat diperoleh baik melalui pendanaan internal maupun pendanaan eksternal. Masalah pendanaan berpengaruh pada tingkat kapitalisasi modal tingkat kapitalisasi modal yang rendah merupakan salah satu alas an kegagalan perusahaan (Gladstone, 2002, p. 2-4). Sumber pendanaan eksternal yang dimaksud yang diamksud diatas dapat diperoleh antara lain melalui saham dari masyarakat (publik). Untuk menggerakkan ekonomi secara riil tidak bisa hanya dari konsusmsi, secara fundamental diperlukan investasi. Salah satunya adalah pasar modal, terutama untuk memulihkan kepercayaan investor. Oleh karena itu diperlukan upaya yang besar dan waktu yang panjang untuk memulihkan kepercayaan, jika strategi yang diambil menggundang investasi langsung di sector riil. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa publik mempunyai peran penting dalam menciptakan well-fuctioning government system karena meraka memiliki financial interest dan bertindak independen dalam menilai manajemen. Semakin besar persentase saham yang ditawarkan kepada publik, maka semakin besar pula internal yang harus diungkapkan kepada publik sehingga kemungkinan dapat mengurangi intensitas terjadinya manajemen laba. Oleh karena itu kepemilikan publik dianggap berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Marzully dan Priantinah (2012) menyatakan dalam penelitiannya bahwa Kepemilikan saham publik tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR hal ini
50 dikarenakan kemungkinan kepemilikan publik pada perusahaan di Indonesia secara umum belum mempedulikan masalah lingkungan dan sosial sebagai isu kritis yang harus secara ekstensif untuk diungkapkan dalam laporan tahunan. Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5
: Kepemilikan saham publik berpengaruh terhadap nilai perusahaan
2.3.6 Pengaruh Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Moderating dalam Hubungan antara Corporate Social Responsibility , Profitabilitas , struktur kepemilikan saham, terhadap Nilai Perusahaan Firm size menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang dapat dinyatakan dengan total aset atau total penjualan bersih. Aset mencerminkan kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan, semakin besar aset perusahaan maka semakin besar kesempatan perusahaan untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini dimungkinkan karena dengan aset yang besar perusahaan mempermudah perusahaan untuk memperoleh sumber pendanaan, terutama modal dari dalam perusahaan sendiri. Pendanaan yang baik akan membuat perusahaan lebih mudah melakukan ekspansi usaha serta menjalin kerjasama dengan perusahaan lain yang nantinya dapat membuat perusahaan tumbuh lebih besar. Dalam penelitian Pantow, Murni dan Trang (2015) menyatakan bahwa Ukuran Perusahaan merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Para investor akan mencari perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi, karena dianggap mampu memberikan return yang tinggi, bagi para kreditor laba yang dihasilkan perusahaan akan digunakan untuk membayar tingkat bunga dan pokok pinjaman, sehingga para kreditor mengharapkan peningkatan laba dari perusahaan. Profitabilitas yang tinggi mampu meningkatkan harga saham perusahaan dan secara khusus nilai perusahaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ROA berpengaruh positif signifikan terhadap Nilai Perusahaan yang berarti peningkatan ROA akan mempengaruhi peningkatan Nilai Perusahaan secara signifikan Hal ini sesuai dengan penelitian dari Nuraina (2012) yang menyatakan bahwa ukuran berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil tersebut didukung oleh Pratiwi (2011) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan perpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan.Dapat disimpulkan bahwa firm size berpengaruh terhadap nilai perusahaan.CSR merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan dalam
51 memperbaiki kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas operasional perusahaan. Para konsumen akan lebih mengapresiasi perusahaan yang mengungkapkan CSR dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengungkapkan CSR, mereka akan membeli produk yang sebagian laba dari produk tersebut disisihkan untuk kepentingan sosial lingkungan.Hal ini akan berdampak positif terhadap perusahaan, selain membangun image yang baik di mata para stakeholder karena kepedulian perusahaan terhadap sosial lingkungan, juga akan menaikkan laba perusahaan melalui peningkatan penjualan. Dengan demikian nilai profitabilitas akan tinggi, dan akan menarik perhatian para investor untuk investasi serta pengaruh bagi peningkatan kinerja saham di bursa efek (Hadi, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Tamayo dan Servaes (2013), menguji pengaruh CSR (Corporate Social Responsibility) activities terhadap firm value dimana hasil penelitiannya menunjukkan hubungan antara CSR activities mempengaruhi firm value. Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H6
: Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Moderating memiliki pengaruh dalam
Hubungan
antara
Corporate
Social
Responsibility,
Profitabilitas,
struktur
kepemilikan saham, terhadap Nilai Perusahaan.
2.3.7 Pengaruh Leverage sebagai Variabel Moderating dalam Hubungan antara Corporate Social Responsibility , Profitabilitas , struktur kepemilikan saham, terhadap Nilai Perusahaan Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai asset perusahaan. Semakin tinggi tingkat leverage besar kemungkinan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha melaporkan laba yang lebih tinggi dengan cara mengurangi biayabiaya termasuk biaya pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Menurut Kristi (2013) perusahaan besar membutuhkan upaya yang lebih besar untuk memperoleh legitimasi stakeholder dalam rangka menciptakan keselarasan nilai-nilai sosial dari kegiatannya dengan norma perilaku yang ada dalam masyarakat.
Dengan
demikian,
semakin
besar
perusahaan
akan
semakin
berkepentingan untuk mengungkap informasi yang lebih luas. Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba (Gibson, 2011:301). Dengan profitabilitas yang tinggi, akan memberikan kesempatan yang lebih kepada manajemen dalam mengungkapkan serta melakukan program CSR
52 (Nur & Priantinah, 2012). Variabel leverage juga menjadi faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR. Rasio leverage merupakan proporsi total hutang terhadap rata-rata ekuitas pemegang saham. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi dan memberikan petunjuk serta arahan pada pengelolaan perusahaan atau pihak manajemen (Badjuri, 2011).Sebagai wakil dari prinsipal (pemegang saham) di dalam perusahaan, dewan komisaris dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan tanggung jawab sosial, karena dewan komisaris merupakan pelaksana tertinggi didalam suatu perusahaan (Nur & Priantinah, 2012). Pengungkapan lingkungan sangat bermanfaat untuk pemulihan, peningkatan serta mempertahankan legitimasi perusahaan, sehingga dibutuhkan sebuah aksi lingkungan yang dipublikasi secara efektif (Hadjoh & Sukartha, 2013). Menurut Nur & Priantinah (2012) pengkomunikasian CSR melalui media akan meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat. Pada pelaksanaannya, hal inilah yang menjadi bagian pada proses membangun perusahaan, membentuk norma yang diterima dan legitimasi praktik CSR. Menurut Verawati Hansen dan Juniarti (2014) Leverage tidak memiliki pengaruh terhadap profitabilitas namun memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Leverage memiliki pengaruh yang positif terhadap nilai perusahaan karena leverage dapat mengurangi beban pajak perusahaan sehingga pembagian terhadap return saham yang diperoleh oleh investor lebih tinggi, selain itu penggunaan leverage dapat meningkatkan kegiatan operasional perusahaan karena dengan hutang maka perusahaan memperoleh modal yang cukup dan pada akhirnya juga dapat membuat perusahaan bertahan dan bahkan berkembang sehingga akan mampu memberikan return yang tinggi pada investor (Brigham dan Houston, 2001). Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H7
: Leverage sebagai Variabel Moderating memiliki pengaruh dalam Hubungan
antara Corporate Social Responsibility, Profitabilitas, struktur kepemilikan saham, dan Nilai Perusahaan.
53 2.4 Model Penelitian
Variabel Independen
Variabel Moderating
Corporate Social Responsibility (CSR)
Ukuran Perusahaan (X6)
(X1) Leverage Profitabilitas
(X7)
(X2)
Kepemilikan Saham Manajerial Variabel Dependen
(X3)
Kepemilikan Saham Institusional
Nilai Perusahaan (Y)
(X4)
Kepemilikan Saham Publik (X5)
Gambar 2.2 Model Penelitian Sumber : Hasil pemikiran sendiri
54