BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori 2.1.1 ACFTA (Asean-China Free Trade Area) FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerja sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk original negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Dalam FTA, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka masingmasing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Tujuan strategis FTA adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai suatu kesatuan unit produksi. Oleh karena itu, penghapusan rintangan tarif dan non-tarif di antara negara-negara anggota diharapkan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas, dan daya saing negara-negara anggota ASEAN (Hady, 2004). Asean-China Free Trade Area (ACFTA), ialah sebuah area perdagangan bebas yang terdiri atas negara-negara yang menjadi anggota ASEAN serta Republik Rakyat Cina (RRC). RRC pertama kali menginisiasi ide ini pada bulan November tahun 2000. Dasar inisiasi ACFTA ialah penandatanganan ASEAN- China Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal 6 November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei
Darussalam.
Sebagai
titik
awal
proses
pembentukan
ACFTA,
ditandatanganilah Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China di Pnomh Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002 dan ditandangani oleh sebelas kepala pemerintahan, antara lain:
10
a. Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand b. Goh Chok Tong, Perdana Menteri Singapura c. Gloria Macapagal Arroyo, Presiden Filipina d. Than Shwe, Perdana Menteri Myanmar e. Mahathir bin Mohammad, Perdana Menteri Malaysia f. Bounhang Vorachith, Perdana Menteri Myanmar g. Megawati Sukarnoputri, Presiden Indonesia h. Hun Sen, Presiden Kamboja i. Hassanal Bolkiah, Sultan Brunei j. Phan Van Kai, Perdana Menteri Vietnam k. Zhu Rongji, Perdana Menteri Republik Rakyat Cina Setelah dilakukan negosiasi, ACFTA diluncurkan secara formal, ditandai dengan penandatanganan Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Amandemen yang pertama kali ini berfokus pada area perdagangan bebas terutama di Vietnam, agar Vietnam menurunkan tarif dan menempatkan amandemen tersebut sebagai panduan. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006. Persetujuan jasa ACFTA dilakukan saat pertemuan keempat puluh satu Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN pada tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand. ACFTA merupakan area perdagangan bebas terbesar, dalam ukuran populasi, dan area ketiga terbesar dalam ukuran jumlah nominal GDP (Gross Domestic Product) atau Pendapatan Domestik Bruto. Secara keseluruhan, anggota ACFTA memiliki GDP yang bervariasi, dengan nilai total US$6 triliun pada tahun 2008.
11
Volume perdagangan ini hanya dikalahkan oleh European Academic Area dan North American Free Trade Area. Tujuan dari pembentukan ACFTA adalah menciptakan kawasan ekonomi yang memiliki pasar sebesar 1,7 miliar konsumen dan menghasilkan total GDP yang diharapkan senilai 2 triliun dolar. Di samping itu, ASEAN dan RRC juga bertujuan untuk menggiatkan perdagangan di antara kedua belah pihak. Pada tanggal 1 Januari 2010, ACFTA akhirnya diwujudkan di sebelas negara peserta. Ketika ACFTA mulai diimplementasikan, RRC mengalahkan Amerika Serikat sebagai partner perdagangan ketiga terbesar setelah Jepang dan Eropa. Antara tahun 2003 hingga 2008, perdagangan dengan ASEAN meningkat dari US$59,6 juta menjadi US$192,5 juta. RRC pun menobatkan negaranya sebagai eksportir terbesar di dunia. Dalam rangka akomodasi kepentingan ACFTA tersebut, dan berdasarkan isi perjanjian dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China, sebagaimana telah diratifikasi melalui KEPPRES nomor 48 Tahun 2004, pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ACFTA, diantaranya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade
Area,
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
nomor
21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan
12
Republik Indonesia nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area (Setyo, 2012). Perjanjian ACFTA ini menghapuskan tarif atas 7881 kategori produk dan 90% produk impor. Penghapusan tarif ini sangat mempengaruhi RRC dan keenam negara ASEAN, antara lain Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Keempat negara lainnya akan mengimplementasikan ACFTA pada tahun 2015. Persentase tarif rata-rata pada barang Cina yang dijual di ASEAN menurun dari 12,8% menjadi 0,6% menunda implementasi area perdagangan bebas di Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Sementara itu, barang ASEAN yang dijual ke RRC mengalami penurunan tarif dari 9,8% menjadi 0,1%. Keenam negara ASEAN juga mengurangi tarif atas barang yang dijual bersama dari 99.11% menjadi 0%. Manfaat yang dirasakan Indonesia antara lain terbukanya akses pasar produk pertanian Indonesia ke China, terbukanya pasar ekspor Indonesia ke China yang pada tahun 2005 mendapatkan tambahan tarif 40% dari normal track diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0,5%, serta terbukanya pasar ekspor Indonesia ke China yang pada tahun 2005 mendapat tambahan 20% dari normal track diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0,5%.
13
2.1.2 Financial Performance 2.1.2.1 Definisi Financial Performance Financial Performance ialah level performa suatu bisnis pada periode waktu tertentu, yang diwujudkan dalam profit dan loss pada periode waktu yang bersangkutan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa performa finansial merupakan ukuran seberapa baik perusahaan dapat menggunakan asetnya dalam menjalankan bisnis dan mendapatkan pendapatan. Financial Performance juga merupakan istilah untuk membandingkan beberapa perusahaan yang bergerak pada industri ataupun bidang yang sama. Menurut Sucipto (2003), kinerja keuangan (financial performance) ialah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menciptakan laba. Menurut Arief Habib (2008:91), “Kinerja keuangan dapat diukur dari berbagai indikator, salah satunya ialah rasio keuangan”. Rasio keuangan merupakan analisis fundamental untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan. Untuk melakukan analisis rasio, maka dibutuhkan data keuangan dan pengetahuan mengenai analisa rasio keuangan yang mencukupi.
2.1.2.2 Tujuan Analisis Financial Performane Menurut Jumingan (2009: 239) analisis financial performance memiliki beberapa tujuan, antara lain: a. Untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan keuangan perusahaan terutama kondisi likuiditas, kecukupan modal dan profitabilitas, yang dicapai dalam tahun berjalan maupun tahun sebelumnya.
14
b. Untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan semua aset yang dimiliki dalam menghasilkan profit secara efisien. Menurut John D. Martin dan William Petty (Foundations of Finance, 2011:86), tujuan analisis finansial ialah untuk menciptakan nilai bagi shareholder, sebagai oposisi dari data keuangan akuntansi. Data finansial dalam bentuk rasio akan digunakan sebagai pedoman bagi pemegang saham. Selain itu, tujuan menghitung rasio ialah mengukur kemampuan perusahaan dari tahun ke tahun serta membandingkannya dengan industri lainnya.
2.1.2.3 Pengukuran Financial Performance Menurut Robert Ang (1997:13-24), financial performance (kinerja keuangan) dapat ditinjau dari lima aspek kinerja yaitu kinerja likuiditas, kinerja aktivitas, kinerja solvabilitas, kinerja profitabilitas dan kinerja pasar. Berikut ini deskripsi mengenai masing-masing kinerja: a. Kinerja Likuiditas Kinerja Likuiditas ialah kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendek. Kinerja likuiditas dapat diukur melalui rasio likuiditas. Rasio ini membandingkan antara kewajiban jangka pendek dengan sumber daya jangka pendek untuk memenuhi kewajiban tersebut, Jika perusahaan dapat membayar kewajiban jangka pendek dengan aset jangka pendeknya, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan likuid. Jika perusahaan dalam keadaan ilikuid, maka dapat mempengaruhi tumpukan kewajiban jangka pendek yang berubah menjadi kewajiban utang jangka panjang. Hal ini tentunya akan memperburuk performa finansial
15
perusahaan di masa depan. Robert Ang (1997:41) mengatakan kinerja likuiditas dapat diukur menggunakan Current Ratio dan Quick Ratio. b. Kinerja Aktivitas Kinerja aktivitas ialah kemampuan perusahaan untuk menggunakan aset yang dimilikinya seefektif dan seefisien mungkin. Kinerja aktivitas dapat diukur dari activity ratio suatu perusahaan. Robert Ang (1997:42) mengklasifikasi rasio aktivitas menjadi Total Asset Turnover, dan Inventory Turnover. c. Kinerja Solvabilitas Kinerja Solvabilitas merupakan kinerja perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka panjangnya. Untuk mengukur performa solvabilitas, maka dapat dilihat rasio solvabilitas (solvency). Rasio solvabilitas seringkali juga disebut rasio pengungkit (leverage) karena merupakan rasio pengungkit pinjaman untuk memperoleh keuntungan. Dari rasio ini dapat diketahui komposisi penggunaan dana dari ekuitas (modal sendiri) dan dari hutang. Suatu perusahaan dikatakan solvable jika dengan seluruh hartanya dapat membayar seluruh hutangnya. Perusahaan yang tidak memiliki hutang berarti menggunakan modal sendiri untuk keseluruhan operasi perusahaan. Rasio solvabilitas dapat diukur menggunakan Debt Ratio dan Debt to Equity Ratio.
16
d. Kinerja Profitabilitas Kinerja
profitabilitas
menghasilkan keuntungan.
ialah
kemampuan
perusahaan
dalam
Kinerja ini dapat diukur menggunakan
profitability ratio yang merupakan rasio kombinasi dari rasio likuiditas, rasio manajemen aktiva, dan rasio solvabilitas. Semakin tinggi rasio, berarti semakin tinggi pula kemampuan perusahaan dalam mengelola bisnisnya, dan semakin tinggi pula keuntungan yang diperolehnya. Adapun pendekatan rasio profitabilitas ialah Gross Profit Margin, dan Return on Asset. e. Kinerja Pasar Kinerja
pasar
merupakan
kemampuan
perusahaan
dalam
mengembangkan nilai pasar sahamnya dibandingkan dengan nilai ratarata industri. Rasio pasar dapat diukur dengan menggunakan Earning per Share dan Price Earning Ratio. 2.1.3 Laporan Keuangan 2.1.3.1 Definisi Laporan Keuangan Berikut ini ialah definisi laporan keuangan menurut beberapa ahli: a. Menurut Munawir (2004: 2), laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut. b. Menurut Darsono dan Ashari (2005), laporan keuangan adalah informasi yang memuat tentang posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas perusahaan.
17
c. Menurut Jumingan (2009), laporan keuangan merupakan hasil tindakan pembuatan ringkasan data keuangan perusahaan. Laporan keuangan disusun dan ditafsirkan untuk kepentingan manajemen dan pihak lain yang menaruh perhatian pada data keuangan perusahaan. d. Menurut Harahap (2007:105) laporan keuangan adalah laporan yang menggambarkan kondisi keuangan perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Secara keseluruhan, laporan keuangan dapat diartikan sebagai catatan atas aktivitas finansial suatu bisnis atau suatu entitas. 2.1.3.2 Komponen Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK no. 1 revisi 2009, komponen laporan keuangan terdiri dari : a. laporan posisi keuangan pada akhir periode; b. laporan laba rugi komprehensif selama periode; c. laporan perubahan ekuitas selama periode; d. laporan arus kas selama periode; e. catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya; dan f. laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
18
2.1.3.3 Rasio Laporan Keuangan Menurut Munawir (2007:64) rasio menggambarkan suatu hubungan matematika antara jumlah tertentu dengan jumlah yang lain sehingga memberikan gambaran kepada pengnalisa tentang posisi keuangan perusahaan. Rasio keuangan merupakan suatu alat analisis keuangan perusahaan untuk mengukur kinerja perusahaan berdasarkan perbandingan data keuangan pada laporan keuangan. Arti kata rasio sendiri ialah hubungan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain. Walaupun menggunakan data historis, analisis rasio dapat digunakan untuk menilai risiko dan peluang pada masa yang akan datang. Pengukuran satu pos dan pos lainnya dapat memberikan kesimpulan yang berarti pada sebuah perusahaan. Hal ini juga dapat digunakan untuk membimbing investor dan kreditor untuk membuat pertimbangan mengenai pencapaian perusahaan. Mengacu pada pandangan Irham Fahmi (2011:121), rasio keuangan terdiri dari beberapa bagian, yaitu likuiditas, rasio aktivitas, rasio solvabilitas, rasio profitabilitas dan rasio pasar. Pada bagian ini, akan dijelaskan cara menghitung masing masing rasio dan apa fungsinya secara satu persatu. a. Rasio likuiditas ialah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menjamin kewajiban-kewajiban lancarnya yang akan jatuh tempo secara tepat waktu. Rasio ini terdiri dari: 1. Current Ratio Seringkali disebut juga rasio lancar. Dapat dihitung dengan cara membagi aktiva lancar dengan kewajiban lancar.
Rasio ini ditampilkan dalam
bentuk desimal. Merupakan sebuah indikator jangka pendek terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendeknya,
19
serta menunjukkan kemampuan operasional perusahaan dan kelancaran proses produksi. Desmond Wira (2011:73) berpendapat bahwa semakin besar rasio ini akan semakin baik, karena perusahaan mampu membayar kewajibannya. Menurut Gitman (2003:54), standar untuk quick ratio suatu perusahaan bernilai 2.0 berarti jika aset lancar perusahaan dijual dapat membayar 2 kali dari hutang lancar saat ini.
2. Quick Ratio Seringkali disebut Acid Test Ratio. Dapat dihitung dengan cara menghitung aktiva lancar dikurangi persediaan, kemudian dibagi dengan kewajiban lancar. Ditampilkan dalam bentuk desimal, dan berfungsi untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar segera kewajibannya. Menurut Gitman (2003:55), standar untuk current ratio suatu perusahaan bernilai 1.0.
b. Rasio Aktivitas ialah rasio yang memiliki nama lain rasio efisiensi / perputaran. Dalam bukunya, Desmond Wira (2011:74) mengatakan rasio ini berguna untuk mengukur kecepatan perusahaan melakukan operasinya dalam mengubah aset (persediaan) menjadi kas (menjual persediaan). Dapat pula digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola asetnya sehingga memberikan aliran kas masuk bagi perusahaan. Rasio ini terdiri dari: 1. Total Asset Turnover Rasio ini ditampilkan dalam bentuk desimal. Kegunaan rasio ini ialah untuk mengukur penggunaan seluruh aset perusahaan, mengukur berapa 20
besar penjualan dihasilkan dari setiap satuan moneter aset yang dimiliki. Semakin besar nilai rasio ini maka semakin baik, karena menunjukkan efisiensi yang tinggi dalam menghasilkan uang.
2. Inventory Turnover Rasio ini dimunculkan dalam bentuk desimal. Rasio ini berfungsi untuk mengukur berapa kali rata-rata persediaan barang jadi dapat terjual selama suatu periode waktu, biasanya setahun. Angka rasio yang rendah dapat menunjukkan barang tidak laku, terlalu banyak persediaan, atau kurangnya pemasaran. Sedangkan angka rasio yang tinggi menunjukkan barang cepat terjual sehingga biaya penyimpanan menurun (Desmond Wira, 2011:74).
c. Rasio Leverage atau rasio pengungkit ialah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya. Nilai rasio utang yang kecil mungkin saja terjadi karena kebijakan perusahaan yang konservatif dalam menjalankan kebijakan keuangan. Perusahaan yang terlalu agresif berekspansi dapat memiliki tingkat hutang yang tinggi, akibatnya pendapatan pun akan tergerus beban bunga. Yang perlu diingat, rasio utang yang tinggi belum tentu buruk. Di saat ekonomi lancar dan suku bunga rendah, hutang dan bunga dapat dilunasi. 1. Debt Ratio Rasio ini seringkali disebut juga Debt to Equity Ratio, yang berguna untuk mengukur seberapa besar dana yang dipinjam telah digunakan
21
untuk membiayai aset. Debt Ratio yang lebih besar dari 1 harus dihindari, karena jika kreditur menagih dan semua aset dijual pun tidak akan mampu membayar utang (Desmond Wira, 2011:75).
2. Debt to Equity Ratio Rasio ini ditampilkan dalam bentuk desimal, yang berfungsi untuk mengukur dana yang disediakan kreditur dibandingkan dengan dana yang disediakan oleh pemilik perusahaan (pemegang saham).
d. Rasio Profitabilitas ialah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menggunakan asetnya, dan bagaimana cara perusahaan tersebut mengontrol pengeluaran bebannya pada rate of return yang dapat diterima. Rasio ini terdiri dari: 1. Gross Profit Margin Rasio ini ditampilkan dalam bentuk persentase. GPM berguna untuk menunjukkan margin total yang tersedia untuk menutup pengeluaranpengeluaran lainnya selain HPP dan sisa yang tersedia masih memberikan laba.
2. Return on Asset Rasio yang ditampilkan dalam bentuk persentase ini memiliki fungsi untuk mengukur tingkat pengembalian nilai buku dari total investasi total aset. Menurut Desmond Wira (2011:77), ROA dapat menunjukkan
22
tingkat
efisiensi
perusahaan
dalam
penggunaan
asetnya
untuk
menghasilkan laba.
e. Rasio Pasar ialah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola kekuatan saham perusahaannya dan kekuatan timbal balik yang dapat diberikan dari hasil investasi yang dilakukan oleh investor. 1.
Earning per Share Menurut John A. Tracy (2012: 92), rasio ini merupakan alat pengukuran keuntungan untuk setiap unit kepemilikan, atau setiap saham yang diterbitkan sebuah perusahaan. EPS sangat penting bagi perusahaan publik karena menjadi penanda keberhasilan mereka dalam mendapatkan keuntungan.
2. Price per Earning Rasio yang dituliskan dalam bentuk desimal ini berfungsi untuk mengukur lama pengembalian modal dengan membandingkan tingkat harga saham dengan penghasilan perusahaan. PER menggambarkan seberapa banyak investor berani menghargai saham tersebut (Desmond Wira, 2011:78). Saham yang memiliki PER lebih tinggi berarti saham tersebut relatif mahal. Bagi investor, PER yang semakin kecil semakin baik, dan PER di bawah 10 dianggap murah. Namun apabila PER bernilai negative, maka dikatakan merugi. Di lain pihak, PER yang tinggi juga menandakan
23
bahwa saham perusahaan tersebut diincar banyak investor sehingga harganya terus meningkat.
2.1.4 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai dampak dari ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement) biasanya difokuskan dengan kondisi ekonomi makro, hukum legal, perdagangan bebas dan investasi saja, tanpa meneliti kaitan yang lebih mendalam terhadap kinerja keuangan. Berikut ini beberapa penelitian yang terkait dengan dampak ACFTA. Leni Dewi Anggraeni (2010), membahas rencana persiapan Indonesia dalam menghadapi
ACFTA,
kelemahan
strategi
Indonesia
sebagai
bentuk
dari
ketidaksiapan Indonesia untuk bersaing dengan negara China, dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA terhadap perekonomian Indonesia serta testimoni dari para pelaku ekonomi seperti produsen, pakar ekonomi dan pihak yang terkait akan perekonomian Indonesia dari adanya ACFTA. Vica Herawati (2010), meneliti pengaruh ACFTA terhadap kinerja keuangan UKM Tekstil yang ada di Pekalongan. Kinerja keuangan UKM Tekstil pada penelitian tersebut diukur dengan tingkat penjualan yang dibandingkan antara periode sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa ternyata terdapat peningkatan pada penjualan setelah ACFTA. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode Januari sampai dengan April, pelaksanaan ACFTA belum memberikan dampak negatif terhadap kinerja keuangan UKM Tekstil di Pekalongan.
24
Laetitia Guilhot (2010:282), dalam jurnalnya yang berjudul Assessing the Impact of the Main East-Asian Free Trade Agreements Using a Gravity Model. First Results, menganggap ACFTA menstimulasi perdagangan intra-regional dan memiliki efek yang bervariasi di setiap negara, khususnya negara-negara di Asia. Secara keseluruhan, hasil penelitian menyatakan bahwa ACFTA memberikan dampak positif apabila dilihat dari hasil koefisien model gravity. Selain itu, China ditengarai akan mendominasi perdagangan bebas, karena keunggulan kompetitif yang dimilikinya secara ekonomis. Menurut Robert K. Arakaki, (2012:462) beropini ACFTA menciptakan penjualan yang tinggi baik di RRC maupun di ASEAN sehingga amat disayangkan bila masyarakat menjadi oposisi. Menurut Maria Permata (2010:23) dalam penelitiannya yang menggunakan model GTAP, ekspor Indonesia terutama dalam industri gas dan minyak bumi akan meningkat. Selain itu, apabila pemerintah menciptakan kondisi yang kondusif, maka ekspor pada industri mesin, besi-baja, bahan kimia, serta elektronika akan terdongkrak naik. Penelitian yang dilakukan oleh Ahn, Harris, Honda dan Kwan (2010:12) dalam jurnal berjudul Private Equity in Asia mengukuhkan kebenaran bahwa ACFTA akan memberikan kekuatan penuh dan efek yang positif, terlebih bagi perusahaan investasi. Pada tahun 2012 hingga tahun 2030, diproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa akan melambat. Akan tetapi, ACFTA akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di luar pulau seperti di kota Batam dan Bintan (McKinsey Global Institute Journal, 2012:25). Menurut Kusuma Wirapati (2010:101), ACFTA dapat dianggap sebagai ancaman karena serbuan barang impor terutama dalam material tekstil, sehingga
25
akan menyebabkan semakin tingginya jumlah persediaan, tingginya jumlah konsumsi, dan mengurangi pendapatan negara. Ermita Yusida (2013:14), dengan metode Three Stage Least Square, menetapkan empat kuadran yang menjelaskan sensitivitas masing-masing industri. Industri besi-baja dan industri makanan-minuman diletakkan pada kuadran 1 yang berarti sensitivitasnya sangat tinggi terhadap ACFTA dan berpengaruh negatif. Sedangkan industri tekstil, diletakkan pada kuadran tiga yang berarti tidak terdampak ACFTA.
2.2 Pengembangan Hipotesis ACFTA diperkirakan akan mempengaruhi berbagai macam industri, terutama industri tekstil dan produk tekstil, besi-baja serta makanan dan minuman. Bermuara dari hal tersebut, penulis memutuskan untuk mengembangkan hipotesis terkait dengan pengaruh ACFTA pada industri yang bersangkutan. Salah satu dasar hipotesis ialah penemuan Ermita Yusida (2013:14) yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Terdapat dua jenis hipotesis yang akan diuji, yaitu hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Hipotesis nol merupakan hipotesis yang terjadi apabila tidak terdapat perbedaan pada variabel pertama dan variabel kedua. Hipotesis nol penelitian ini ialah tidak adanya perubahan secara signifikan baik sebelum dan setelah ACFTA (Sig. hasil uji Wilcoxon bernilai lebih dari 5%). Hipotesis alternatif akan diakui ketika variabel pertama dan variabel kedua memiliki perbedaan. Dari hipotesis alternatif tersebut, maka akan dibuat turunan sebanyak enam hipotesis sebagai berikut:
26
1. Hipotesis Pertama H1: terdapat pengaruh ACFTA secara signifikan terhadap financial performance perusahaan tekstil di Indonesia. 2. Hipotesis Kedua H2: terdapat pengaruh ACFTA secara signifikan terhadap financial performance perusahaan besi-baja di Indonesia. 3. Hipotesis Ketiga H3: terdapat pengaruh ACFTA secara signifikan terhadap financial performance perusahaan makanan-minuman di Indonesia. 4. Hipotesis Keempat H4: terdapat pengaruh ACFTA secara signifikan terhadap financial performance perusahaan tekstil di Malaysia. 5. Hipotesis Kelima H5: terdapat pengaruh ACFTA secara signifikan terhadap financial performance perusahaan besi-baja di Malaysia. 6. Hipotesis Keenam H6: terdapat pengaruh ACFTA secara signifikan terhadap financial performance perusahaan makanan-minuman di Malaysia. Secara umum, hipotesis di atas digunakan untuk mengetahui signifikansi pengaruh yang terjadi sebelum dan setelah dilaksanakannya ACFTA terhadap financial performance dengan mengukur perbedaan rasio keuangan. Pengaruh yang ingin diteliti berupa naik atau turunnya kinerja keuangan di beberapa jenis industri di dua negara (Indonesia & Malaysia).
27