BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tinjauan botani tanaman jarak (Ricinus communis L.) dan urangaring (Eclipta prostrata (L.) L.), ketombe, Malassezia sp., kombinasi antimikroba, ketokonazol, iritasi, kulit, mata, dan metode farmakologi yang digunakan.
1.1 Tinjauan Botani Tanaman-tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak dan daun urangaring. Kedua tanaman ini telah diketahui memiliki aktivitas antifungi terhadap Pityrosporum ovale, ragi penyebab ketombe yang merupakan salah satu jenis dari genus Malassezia.
1.1.1
Jarak
Jarak telah banyak digunakan dalam bidang farmasi, terutama minyaknya sebagai salah satu zat aktif dan bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Selain itu, juga telah diketahui secara empiris bahwa bijinya digunakan sebagai antijamur dan penyubur rambut.
Gambar 1.1 Morfologi pohon jarak (Ricinus communis L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah kanan adalah biji jarak yang telah dikeringkan.
3
4 a. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), jarak diklasifikasikan dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, anak kelas Rosidae, bangsa Euphorbiales, suku Euphorbiaceae, marga Ricinus, dan jenis Ricinus communis L.
b. Nama Daerah Gloah (Gayo); lulang (Karo); dulang (Batak); lafandru (Nias); jarak jawa (Palembang); jarak, kalikih alang (Minangkabau); jarag (Lampung); rangam (Dayak); jarak (Jawa); kaliki, jarak jitun (Sunda); kohongian (Sulawesi Utara); paleng kaliki jera (Bugis); balacai, balacai roriha (Ternate); batacai (Tidore) (Kasahara and Hemmi, 1995).
c. Morfologi Tanaman jarak berupa pohon kecil dengan tinggi 1~5 m dengan penyebaran di daerah Jawa. Batangnya berkayu, bulat licin, berongga, berbuku-buku dengan tanda bekas tangkai daun yang lepas, berwarna hijau, dengan semburat merah tua. Daun tunggal dan tumbuh berseling. Bentuk helai daun bundar, bercangap menjari 7 sampai 9, ujung daun runcing, tepi bergigi. Ukuran daun 10-25 cm x 10-25 cm. Warna permukaan atas daun hijau tua, sedangkan permukaan bawahnya hijau muda. Tangkai daun panjang, sekitar 30-50 cm, berwarna merah tua, atau cokelat kehijauan. Bunganya merupakan bunga majemuk bentuk tandan, tumbuh di ujung batang, berwarna kuning, dan berkelamin satu. Benang sari banyak, tangkai putik sangat pendek berbentuk benang berwarna merah atau merah muda. Buahnya berupa buak kotak berbentuk bulat agak lonjong berlekuk tiga, berkumpul dalam tandan. Di dalam buah terdapat tiga ruang yang masing- masing berisi satu biji. Buahnya berduri lunak, berwarna hijau muda, dengan rambut berwarna merah. Setelah tua, buah akan berubah warna menjadi hitam. Biji keras, lonjong, berwarna cokelat, dan berbintik hitam. Jarak dapat tumbuh di hutan, semak-semak, tanah kosong, dataran rendah sampai 800 m di atas permukaan laut, atau di sepanjang pantai.
d. Kandungan Kimia Jarak mengandung asam risinoleat, asam palmitat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat, dan asam dihidroksistearat. Minyak bijinya juga mengandung 5% asam glutamat, arginin, dan risin (Perry, 1980). Selain itu, juga mengandung risinin, sejumlah kecil sitokrom C, lipase, dan beberapa enzim.
5 e. Efek Farmakologi Biji digunakan sebagai pencahar, penyubur rambut, dan minyak untuk memasak (Kasahara and Hemmi, 1995). Di Cina, perasan bijinya digunakan untuk mengobati ketulian, sakit kepala, scrofula (pembengkakan kelenjar akibat TBC), penyakit kulit, hemorrhage, dropsy (busung air), konstipasi, bengkak-bengkak, abses, dan sebagai bumbu makanan. Dekok bijinya digunakan untuk mengobati haemorrhoid. Biji yang telah dikeluarkan dari kulit bijinya digunakan untuk keperluan laboratorium. Di Filipina, bijinya digunakan sebagai antireumatik (Perry, 1980).
1.1.2
Urang-aring
Urang-aring telah lama dipakai secara empiris sebagai penyubur rambut dan pemelihara kehitaman rambut. Ekstrak urang-aring telah digunakan di industri kosmetik sebagai bahan utama dalam pembuatan sampo penghitam rambut.
Gambar 1.2 Morfologi herba urang-aring (Eclipta prostrata (L.) L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah kanan adalah daun yang telah dikeringkan.
a. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), urang-aring diklasifikasikan dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, anak kelas Asteridae, bangsa Asterales, suku Asteraceae, marga Eclipta, dan jenis Eclipta prostrata (L.) L. dengan sinonimnya Eclipta erecta L. serta Eclipta alba (L.) Hassk.
b. Nama Daerah Goman, urang-aring (Jawa); telenteya (Madura); daun tinta (Banda) (Kasahara a nd Hemmi, 1995).
6 c. Morfologi Tanaman urang-aring berupa herba tahunan atau menahun, tegak-condong atau merayap, sering berakar pada buku lebih bawah, sering banyak cabang, dan tinggi 10~80 cm. Batangnya agak membulat, berambut atau gundul, bulat masif, sering keungu- unguan, berambut putih. Daun berhadapan, duduk, dengan pangkal menyempit, ujung runcing atau gundul, bulat telur memanjang, atau memanjang lanset, bergerigi atau hampir rata, kedua permukaan daun berambut halus, 2-15,5 kali 0,5-4 cm. Bunga berbentuk bongkol agak membulat, tangkai karangan tipis, menebal di bagian ujung, berambut, 0,5-7 cm, braktea involukralis lonjong, runcing, berambut, rata-rata 6 mm. Mahkota bunga berwarna putih, bunga tepi berbentuk tabung tipis, dan lidah lurus, dengan dua gigi ujung tumpul, rata-rata 2,5 mm (untuk bunga tengah 2 mm). Tabung kepala sari mula- mula berwarna kuning, kemudian warna bertambah tua. Tangkai putik dengan dua cabang tumpul. Buah putik keras memanjang hingga bentuk baji pendek, bersegi pipih, berjer awat rapat, pada ujungnya kadang-kadang dengan bangunan bentuk cawan bergigi dua dan beberapa berambut pendek dengan panjang 2 mm. Buah berbentuk akhen, memanjang turbin, berbenjol, hitam, ujungnya dengan beberapa rambut putih atau gundul, 3 mm. Penyebaran di daerah Jawa pada ketinggian 1~1500m di atas permukaan laut, juga di tempat basah, padang rumput, sawah, perkebunan tebu dan kelapa, atau pantai (Sudarsono et al., 2002).
d. Kandungan Kimia Tanaman ini dilaporkan mengandung alkaloid, nikotin, dan ekliptin (Perry, 1980). Selain itu, juga mengandung asam fenolik karboksilat sederhana, flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002).
e. Efek Farmakologi Daun digunakan untuk mengobati sesak napas, sakit kepala, penyubur ramb ut, penyakit gigi, bronkhitis, dan gangguan haid, sedangkan semua bagian tanaman juga digunakan untuk mengobati eksim dan nyeri liver (Kasahara and Hemmi, 1995). Daun juga digunakan sebagai pengelat, penghenti perdarahan, penanganan pascapersalinan, dan sebagai penyebab muntah (Sudarsono et al., 2002). Jus daun digunakan untuk menjaga kehitaman rambut dan meningkatkan pertumbuhan rambut, serta untuk mengobati penyakit jamur di kulit (Perry, 1980).
7 1.2 Ketombe Ketombe merupakan kelainan pada kulit kepala yang ditandai dengan pengelupasan berlebihan dari stratum korneum yang membentuk sisik putih kasar. Sisik-sisik putih ini akan berjatuhan dan tampak jelas terlihat pada bahu penderita.
1.2.1 Etiologi Secara umum, penyebab ketombe dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama, ketombe dapat disebabkan oleh kelainan fungsi kulit kepala atau bagian tubuh lainnya. Peningkatan sekresi kelenjar sebaseus diyakini dapat meningkatkan jumlah minyak pada kulit kepala dan memicu terjadinya ketombe. Rondoni (1951) mengemukakan bahwa ketombe dapat terjadi pada pasien yang mengidap penyakit saluran kandung kemih di mana diyakini terjadi kelebihan jumlah kolesterol dan ikut dieksresikan melalui kulit. Lubowe (1967) mengklasifisikan faktor internal dan eksternal yang dapat menyebabkan ketombe. Faktor internal tersebut adalah ketidakseimbangan hormonal, gangguan nutrisi, pengaruh diet makanan, dan tekanan syaraf. Sedangkan, faktor eksternal adalah perubahan biokimia pada kulit kepala, peningkatan aktivitas bakteri atau fungi pada kulit kepala, dan reaksi peradangan yang menyertai pada penggunaan obat-obatan atau kosmetik. Pengaruh mekanik dan kimia terhadap kulit kepala juga dapat menyebabkan ketombe. Penggarukan yang kuat pada kulit kepala, penggunaan losion beralko hol tinggi, sabun alkali, atau bahan lain yang tidak sesuai dengan kulit kepala akan menyebabkan pengelupasan stratum korneum lebih awal sebelum siap terdeskuamasi secara normal. Selain itu, ditemukan juga faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi ketombe, di antaranya defisiensi vitamin B, pertumbuhan kulit kepala yang cepat (hiperproliferasi epidermis), masalah psikologis, dan penurunan sistem kekebalan tubuh terutama pada pasien pengidap AIDS. Ketombe juga dapat disebabkan oleh faktor imunologi. Keringat manusia mengandung alergen yang dapat memasuki lapisan kulit dan menyebabkan pengelupasan stratum korneum.
Kedua, produksi ketombe dapat dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme pada kulit kepala. Salah satu mikroorganisme yang umum ditemukan pada kulit kepala sebagai flora normal adalah Pityrosporum ovale. Organisme ini ditemukan berkelompok dalam serpihan ketombe, rambut yang berminyak, dan di permukaan kulit lainnya seperti hidung, kelopak mata, lipatan nasolobial, dan dada. Malassez (1874) mengemukakan mikroorganisme ini merupakan penyebab utama ketombe. P. ovale dalam perkembangannya mengalami
8 berbagai perubahan nama dan terakhir disinonimkan dengan Malassezia furfur seperti dijelaskan dalam bagian Malassezia sp.
Ketiga, ketombe dapat disebabkan oleh kombinasi dari penyebab pertama dan kedua tersebut. Para peneliti meyakini bahwa mikroorganisme dan kondisi fungsional tubuh memberikan pengaruh terhadap kondisi ketombe. Leone (1952) mengemukakan bahwa P. ovale memiliki aktivitas esterase kuat dan memproduksi asam lemak bebas dari ester dan diperkirakan mengambil beberapa bahan esensial dari kulit kepala yang kemudian menyebabkan pengelupasan kulit kepala.
1.2.2 Patologi Pada kulit kepala normal, lapisan tanduk terdiri dari 25-35 lapisan sel yang terkeratinisasi sempurna dan saling berhubungan, sedangkan pada kulit kepala berketombe biasanya lapisan tanduk hanya mengandung kurang dari 10 lapisan sel dan sering berubah tidak teratur.
Secara normal, proses pertumbuhan kulit diawali dengan perkembangan sel pada lapisan stratum germinativum dari epidermis. Sel-sel pada lapisan ini akan terus mengalami pertumbuhan dan penggandaan sehingga mendorong sel-sel yang ada di lapisan atasnya hingga mencapai stratum korneum. Selama proses pertumbuhan sel ini, pigmen melanin akan terdekomposisi, sel menjadi datar dan liat, kehilangan air, serta membentuk struktur jembatan silang antarsel. Pada akhirnya sel akan menjadi mati dan membentuk serbuk terkeratinisasi. Proses ini terjadi selama 15-30 hari pada manusia normal, namun pada pasien berketombe proses ini berlangsung lebih cepat yaitu sekitar 2 minggu sekali. Hal ini mengakibatkan sel-sel kulit mati akan terkelupas lebih cepat dan menumpuk dalam jumlah yang besar, yang tampak sebagai serpihan-serpihan kecil berwarna putih atau kelabu di kulit kepala.
1.2.3
Kondisi Klinik
Ketombe ditandai dengan kondisi klinik berupa pengelupasan kulit kepala (stratum korneum) secara berlebihan. Stratum korneum yang terkelupas ini berupa sisik berwarna putih keabu-abuan dan berukuran 2-3 mm, serta biasanya jatuh di bahu penderita sehingga terlihat jelas seperti titik-titik putih. Pengelupasan ini tidak menyebabkan reaksi peradangan. Sisik-sisik ini dapat dihilangkan dengan penggunaan sampo yang sesuai
9 namun dapat kembali muncul 4-7 hari kemudian. Sisik-sisik ini juga dapat menjadi berminyak ketika bercampur dengan sebum yang dieksresikan melalui saluran kelenjar sebaseus. Dalam kasus ini dilaporkan terjadi peradangan dan lebih lanjut dapat menjadi seborrhoeic dermatitis.
Gambar 1.3 Kondisi klinik kulit kepala berketombe. Secara umum, ketombe terdiri dari dua bentuk yaitu pityriasis simplex capitis (pityriasis sicca) dan pityriasis steatoides (pityriasis serosa). Sidi mengemukakan bentuk pityriasis simplex capitis mulai menyerang sejak usia sebelas atau dua belas tahun. Bentuk ketombe ini menghasilkan deskuamasi dan sisik pada semua bagian kulit kepala, tanpa disertai peradangan, dan biasanya terlihat berjatuhan di bagian bahu. Sisik ini berwarna putih keabu-abuan dan berukuran 2-3 mm. Sisik-sisik ini akan kembali bermunculan setelah lima hari pencucian kulit kepala. Pityriasis steatoides ditemukan dalam beberapa kasus berupa sisik yang menempel pada kulit kepala. Sisik ini dilekatkan pada kulit kepala oleh minyak yang diekskresikan oleh kelenjar minyak. Dalam beberapa kasus dilaporkan terjadi peradangan pada bentuk ketombe ini.
1.2.4 Pengobatan Pengobatan untuk ketombe dapat dibagi berdasarkan jenis ketombe yang menyerang kulit kepala penderita. Pengobatan untuk jenis ketombe kering dapat didasarkan pada penghentian penggunaan sampo, losion beralkohol, humektan, atau emolien yang tidak sesuai yang dapat menjadikan kulit kepala kering. Untuk jenis ketombe berminyak dapat dilakukan pengobatan dengan menggunakan beberapa germisida, seperti resorsinol, timol, dan kelompok fenol lainnya. Penggunaan beberapa germisida seperti larutan Cetavlon 5%, selfasetamid natrium, turunan triklorometilmerkapto, kadmium sulfida, selenium disulfida, telurium dioksida, heksaklorofan, tar, dan asam salisilat telah dilaporkan dalam pengobatan
10 ketombe. Zinc pyridinium-thiol-N-oxide (Zinc PtO) dan zinc undecylenat merupakan dua zat terbaru yang diperkenalkan sebagai antiketombe. Zinc pyridinium-thiol-N-oxide merupakan antibakteri yang aman dan sesuai digunakan dalam sampo. Bagaimanapun, penggunaan obat-obatan antiketombe ini lebih baik disertai dengan pemeliharaan kulit kepala yang teratur seperti mencuci, memijat dan menjaga kelembapan rambut.
Pengelupasan kulit kepala berlebihan pada penderita ketombe dapat dikurangi dengan perawatan rambut yang tepat. Dengan mencuci rambut secara reguler, kulit-kulit mati akan terlepas sebelum terkumpul banyak dan terkelupas. Penggunaan sampo yang tepat juga akan membantu mengembalikan tingkat keasaman kulit kepala yang baik, memecah minyak, dan mencegah sel-sel kulit mati bertumpuk menjadi serpihan yang terlihat.
Pada umumnya, ada berbagai sampo antiketombe yang dapat dipilih, antara lain: -
Sampo sulfur, bekerja dengan melepaskan lapisan tanduk kulit dan mengurangi pembentukan lemak di kulit kepala.
-
Sampo ter-, bekerja dengan mengurangi pembentukan lemak kulit dan menekan pembentukan dan pelepasan kulit kepala (epidermal turnover).
-
Sampo selenium, seperti selenium sulfida bekerja dengan menekan pembentukan dan pengelupasan kulit kepala.
-
Sampo yang mengandung zinc pyridinium thiol, namun banyak pasien mengeluh bahwa rambut mereka menjadi berminyak setelah menggunakan sampo ini.
-
Sampo yang mengandung zat antifungi seperti tetrasiklin, ketokonazol, atau itrakonazol, bekerja dengan membunuh atau menghambat pertumbuhan jamur penyebab ketombe di kulit kepala.
-
Ramuan tradisional berupa ekstrak tanaman, bekerja dengan membunuh atau menghambat pertumbuhan jamur di kulit kepala dan mengembalikan kelembapan alami kulit kepala.
Sampo ketombe diharapkan dapat membersihkan rambut dan kulit kepala tanpa menjadikan rambut berlemak atau kering dan menjadikan rambut mudah diatur; tidak merangsang kelenjar lemak tetapi hanya meningkatkan aktivitasnya; efektif sebagai germisida dan fungisida sehingga dapat mencegah peningkatan pertumbuhan bakteri dan jamur, bahkan dapat mencegah infeksi untuk beberapa waktu setelah keramas; serta tidak
11 meningkatkan kepekaan kulit kepala seperti menyebabkan rasa gatal, pengelupasan kulit, atau peradangan dengan kadar zat berkhasiat yang digunakan (Ditjen POM, 1985).
Selain sampo, juga dapat digunakan sediaan losion yang mengandung senyawa aktif yang dioleskan di kulit kepala. Losion yang mengandung sulfur dan asam salisilat dapat membuat ketombe menjadi lebih lembut dan tidak kuat menempel pada kulit kepala sehingga mudah dibersihkan. Losion tembaga dan zink sulfat serta merkuri dan asam salisilat adalah contoh lainnya, namun jarang digunakan atau digunakan untuk jangka pendek karena bersifat toksik.
1.3 Malassezia sp. Malassezia sp. merupakan bagian dari flora normal kulit sebesar 90% pada orang dewasa. Malassezia sp. bersifat lipofilik dan ditemukan pada area kulit yang memiliki kelenjar minyak, seperti pada wajah, kulit kepala, dada, dan punggung. Kelompok genus ini menggunakan lipid sebagai sumber karbon dan dapat tumbuh dalam media yang mengandung asam lemak rantai panjang (C12-C24).
1.3.1 Klasifikasi Malassezia sp. diklasifikasikan ke dalam dunia Fungi, divisi Basidiomycetes, s ubdivisi Hymenomycotina, kelas Heterobasidiomycetes, bangsa Tremellales, marga Malassezia, dan jenis Malassezia sp.
1
1.3.2 Sejarah Pada awalnya peneliti membedakan spesies Malassezia menjadi dua bagian berdasarkan fase hidupnya, yaitu fase ragi (dikenal sebagai Pityrosporum) dan fase miselial (dikenal sebagai Malassezia). Penelitian ini diawali pada tahun 1846 ketika Eichstedt pertama kali menemukan hubungan bahwa lesi pada pityriasis versicolor disebabkan oleh semacam jamur. Tahun 1853, Robin menamakan jamur tersebut Microsporum furfur. Di tahun 1874, Malassez menemukan hubungan bahwa terdapat semacam jamur yang menyebabkan munculnya sisik pada kulit kepala yang kemudian jamur tersebut diberi nama Malassezia.
1
http://en.wikipedia.org/wiki/Malassezia, diakses 4 Oktober 2007.
12 Sabouraud merupakan orang pertama yang mengemukakan bahwa bentuk ragi dan miselial dari Malassezia memiliki keterkaitan, kemudian didukung oleh Panja (1927) yang mengklasifikasikan kedua jamur pada fase hidup tersebut ke dalam satu genus yang sama, Pityrosporum, yang terdiri dari dua spesies, yaitu Pityrosporum ovale (pada manusia) dan Pityrosporum pachydermatis (pada hewan). Pada awal tahun 1950, Martin-Scott dan Spoor et al. menemukan Malassezia pada orang berpenyakit seborrhoeic dermatitis (dermatitis seboroika) dan juga pada orang normal. Van Der Wyk dan Hechemy menemukan bahwa pengurangan jumlah Malassezia berhubungan dengan pengurangan ketombe. Di tahun 1970, sebanyak tiga spesies dari genus Malassezia telah diketahui, yaitu Pityrosporum ovale (ditemukan pada manusia dengan bentuk sel oval), Pityrosporum orbiculare (ditemukan pada manusia dengan bentuk sel melingkar), dan Pityrosporum pachydermatis (ditemukan pada hewan), serta diyakini bahwa memang terdapat keterkaitan antara bentuk ragi dan miselial dari Malassezia. Tahun 1977, diketahui bahwa perbedaan bentuk sel antara Pityrosporum ovale dengan Pityrosporum orbiculare merupakan perbedaan fase hidup dari organisme yang sama, yaitu Malassezia, sehingga Malassezia kembali diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu Malassezia furfur (ditemukan pada manusia yang terdiri dari Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale, dan Malassezia furfur) dan Malassezia pachydermatis (ditemukan pada hewan yang terdiri dari Pityrosporum pachydermatis). Pada tahun 1990, ditemukan spesies baru oleh Simmons dan Gue ho , yaitu M. sympodialis, juga Cunningham et al. membagi M. furfur menjadi 3 serovar yaitu serovar A, B, dan C. Di tahun 1995, Guillot dan Gueho mempublikasikan penemuannya terhadap 104 isolat spesies Malassezia yang dibedakan berdasarkan studi subunit tRNA dan inti DNA. Dari hasil studi tersebut, mereka menetapkan tujuh spesies Malassezia, yaitu M. furfur, M. sympodialis, M. obtusa, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, dan M. pachydermatis. Penamaan ini dianggap sebagai penamaan terakhir yang masih berlaku sampai sekarang. Beberapa karakteristik dari tujuh spesies Malassezia ditampilkan dalam tabel 1.1 berikut ini:
13 Tabel 1.1 Karakteristik dari Tujuh Spesies Malassezia Karakteristik
Spesies Malassezia M. M. globosa restricta
M. furfur
M. sympodialis
M. Obtusa
M. sloofiae
M. pachydermatis
P. ovale
M. furfur serovar A
P. ovale
M. furfur serovar B
M. furfur serovar C
P. ovale
P. pachydermatis
Morfologi dan tekstur koloni
Umbonat, licin, lembut, serpihan
Datar, licin, shlay, lembut
Konveks pucat, licin, lembut, serpihan
Kasar, course, mudah pecah
Melipat, mudah pecah
T umpul, licin, keras, mudah pecah
Licin, datar, lengket
Warna koloni
Krem
Krem hingga buff
krem
Krem hingga buff
Krem hingga buff
Krem
Krem
Ukuran dan permukaan sel
Terelongasi, oval atau sferik, 6 m
Ovoid, globos, panjang 2,55 m
Silinder, panjang 2,54,0 m
Sferik, diameter 6-8 m
Silinder, panjang 1,53,5 m
Sferik, oval, 2-4 m
Silinder, 4-6 m
Bentuk kuncup (budding)
Dasar kuncup menyebar
Beberapa kuncup berbentuk simpodial
Dasar kuncup menyebar, kuncup prut tergantikan
Dasar kuncup sempit
Dasar kuncup menyebar
Dasar kuncup sempit
Dasar kuncup menyebar
66,4
62,2
55,6
63,5
68,7
59,9
60,7
Reaksi katalase
+
+
v
+
+
-
+
Reaksi DBB
+
+
+
+
+
+
+
Reaksi urease
+
+
+
+
+
+
+
Pertumbuhan pada 37 ºC
Baik
Baik
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Buruk
Suhu maksimum pertumbuhan
40-41
40-41
40-41
38
40-41
38
38
+
-
+
-
+
-
-
T ween 40 atau 60
+
+
+
-
+
-
-
T ween 80
+
+
+
-
-
-
-
Kromofor EL
v
-
v
-
-
-
-
Kemampuan membelah diri
-
+
v
-
-
-
+
Sinonim
Kandungan G + C
Pemanfaatan sumber lipid T ween 20
Keterangan: + (positif), - (negatif), v (bervariasi), DBB (Diazoniu m Blue B).
1.3.3 Struktur, Fisiologi, dan Biokimia Malassezia sp. dapat berada dalam bentuk ragi (terdapat pada kulit normal) atau bentuk miselial. Malassezia sp. mengalami reproduksi aseksual melalui pembentukan tunas enteroblastik yang monopolar dengan dasar yang luas. Sel induk dan sel anak terpisah oleh septum, dan berkembang biak dengan membelah diri. Dinding sel dari genus Malassezia bentuknya tipis dibandingkan dengan dinding sel ragi yang lain dan sulit terkarakterisasi. Komponen utama dinding selnya terdiri dari gula (~70%), protein (~10%), lipid (15-10%),
14 serta sejumlah kecil nitrogen dan sulfur. Beberapa peneliti meyakini bahwa dinding selnya terdiri dari banyak lapisan dengan lapisan terluar berupa lapisan lamela yang melingkupi dinding sel. Lapisan lamela ini dapat menempel pada kulit manusia atau hewan.
Gambar 1.4 Biakan Malassezia sp.
Fisiologis Malassezia sp. masih belum banyak diketahui karena kesulitan dalam mengkultur dan memelihara organisme ini. Malassezia sp. menggunakan lipid sebagai sumber karbon, metionin atau sistein sebagai sumber sulfur, asam amino sebagai sumber nitrogen, serta tidak membutuhkan vitamin, trace element, atau elektrolit. Malassezia sp. dapat tumbuh normal secara in vitro dalam lingkungan aerobik, anaerobik, atau mikroaerofilik. Malassezia sp. tidak dapat membentuk asam lemak rantai panjang sehingga kebutuhan asam lemak ini diperoleh dari lingkungan. Berdasarkan suatu penelitian, penambahan asam lemak dengan jumlah atom karbon lebih besar dari 10 ke dalam medium pertumbuhan memberikan kondisi pertumbuhan yang memadai. Wilde dan Stewart mengemukakan bahwa lemak pada kulit kepala orang normal mampu memenuhi kebutuhan lemak dari Malassezia sp.
Secara in vitro dan in vivo, Malassezia sp. memiliki aktivitas lipolitik yang mengindikasikan produksi lipase. Lipase terletak dalam dinding sel dan/atau pada membran sitoplasma. Terdapat tiga jenis lipase yang berbeda pada Malassezia sp. yang sangat penting untuk pertumbuhannya. Secara in vitro, Malassezia sp. juga memproduksi fosfolipase yang berperan dalam pelepasan asam arakidonat dari sel HEp-2 yang dapat menyebabkan inflamasi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada pasien seborrhoeic dermatitis. Malassezia sp. memproduksi enzim melalui aktivitas lipoksigenase dengan kemampuannya mengoksidasi asam lemak tidak jenuh teresterifikasi, yaitu skualen dan kolesterol menjadi produk berupa lipoperoksidase yang dapat merusak membran sel
15 dan mempengaruhi aktivitas selular, mekanisme inilah yang menyebabkan pigmentasi kulit pada pasien pityriasis versicolor.
1.3.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Malassezia sp. Sejak puluhan tahun yang lalu, Malassezia sp. telah diketahui memiliki peranan yang cukup besar terhadap munculnya beberapa penyakit kulit pada manusia. Di antara penyakit kulit tersebut adalah: a. Pityriasis versicolor Pityriasis versicolor biasanya menyerang pada bagian atas tubuh. Penyakit ini berupa lesi berbentuk sisik akibat hipopigmentasi atau hiperpigmentasi lapisan kulit dengan rasa gatal yang minimal. Penyakit ini biasanya menyerang pada usia remaja ketika kelenjar sebaseus mulai bekerja lebih aktif, meskipun juga ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa. b. Seborrhoeic dermatitis dan ketombe Seborrhoeic dermatitis adalah penyakit yang ditandai oleh pengelupasan kulit membentuk sisik dan terjadi inflamasi pada bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar sebaseus. Sedangkan, ketombe merupakan kondisi seborrhoeic dermatitis yang tidak diikuti inflamasi atau terjadi inflamasi ringan pada kulit kepala. Malassezia sp. terdapat sekitar 46% pada orang normal sebagai flora normal, namun pada pasien berketombe meningkat hingga 74% dan 83% pada pasien seborrhoeic dermatitis. c. Malassezia foliculitis Malassezia foliculitis adalah penyakit yang ditandai dengan munculnya papula dan pustula yang menimbulkan rasa gatal pada tubuh dan lengan bagian atas. Penyakit ini biasanya mengiringi seseorang yang sedang menjalani terapi biopsi, juga diketahui terjadi pada masa kehamilan, pasien leukemia, transplantasi sumsum tulang, AIDS, down’s syndrome, penyakit Hodgkin, diabetes, serta transplantasi ginjal dan jantung. Malassezia foliculitis lebih sering terjadi pada daerah tropis karena pengaruh panas dan lembap yang cukup tinggi. d. Atopic dermatitis Atopic dermatitis (sinonim atopic eczema) merupakan penyakit kulit berupa inflamasi kronis dengan penyebab yang masih belum diketahui secara pasti. Gejalanya dapat diinduksi oleh stres emosional, infeksi, iritan mekanik atau kimiawi, keringat, atau alergen (alergen makanan, aeroalergen, serta alergen yang berasal dari kulit dan patogen).
16 e. Penyakit lain Penyakit lain dapat berupa penyakit superfisial ataupun penyakit dalam. Penyakit superfisial yang dapat menyerang di antaranya acne vulgaris, dacryocyctitis, seborrhoeic blepharitis, neonatal pustulosis, papilomatosis, onychomycosis, infeksi rambut, dan psoriasis. Penyakit dalam seperti mastitis, sinusitis, septic arthritis, malignant otitis externa, peritonitis, dan fungemia catheter.
1.4 Kombinasi Antimikroba Kombinasi antimikroba merupakan alternatif penggunaan senyawa antimikroba yang dapat menghindari efek negatif atau meningkatkan efikasi dari suatu penggunaan senyawa antimikroba tunggal. Penggunaan kombinasi senyawa antimikroba diperbolehkan untuk terapi empiris terhadap infeksi yang penyebabnya tidak diketahui, untuk pengobatan infeksi polimikroba, untuk meningkatkan aktivitas antimikroba untuk infeksi yang spesifik, atau untuk mencegah timbulnya resistensi. Sifat dari penggunaan kombinasi antimikroba dapat berupa sinergis, aditif, atau antagonis. Sifat sinergis terjadi ketika efek yang ditimbulkan dari penggunaan kombinasi senyawa antimikroba lebih besar dari efek penjumlahan masing- masing senyawa tunggal. Sifat aditif terjadi ketika efek yang muncul merupakan penjumlahan dari efek masing- masing senyawa antimikroba tunggal. Sedangkan,
sifat antagonis ditunjukkan ketika kombinasi senyawa antimikroba
memberikan efek yang lebih rendah dari penggunaan senyawa antimikroba tunggal.
Pengujian aktivitas kombinasi antimikroba dapat dilakukan dengan metode pengenceran antimikroba dua kali lipat secara berseri dalam kaldu yang diinokulasikan dengan sejumlah standar mikroorganisme uji membentuk suatu susunan konsentrasi antimikroba dalam perbandingan yang berbeda-beda. Sinergisme didefinisikan sebagai penghambatan pertumbuhan oleh kombinasi antimikroba pada konsentrasi kurang dari atau sama dengan 25% KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) masing- masing antimikroba jika bekerja sendiri-sendiri.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
satu
antimikroba
memengaruhi
mikroorganisme sedemikian rupa sehingga menjadi lebih peka terhambat efek hambat antimikroba lainnya. Jika diperlukan setengah dari konsentrasi hambat masing- masing antimikroba untuk menghasilkan hambatan, maka hasilnya disebut aditif [indeks fraksi konsentrasi inhibisi (FKI) = 1], menunjukkan bahwa kerja dua antimikroba tersebut tidak saling tergantung satu sama lain. Jika diperlukan lebih dari setengah KHM masing- maisng
17 antimikroba untuk menghasilkan efek hambat, maka antimikroba tersebut dikatakan bersifat antagonis.
Kombinasi antimikroba yang diuji dengan suatu susunan konsentrasi antimikroba dalam perbandingan yang berbeda-beda akan membentuk suatu isobologram. Sinergisme ditunjukkan oleh kurva cekung, efek aditif oleh suatu garis lurus, dan antagonisme oleh kurva cembung. Keterbatasan penting pada metode ini adalah bahwa titik akhirnya berupa terhambatnya pertumbuhan, bukan pemusnahan.
Gambar 1.5
Efek kombinasi dua senyawa antimikroba menghambat pertumbuhan mikroba.
dalam
Indeks FKI sama dengan jumlah nilai FKI masing- masing antimikroba: Indeks FKI =
KHM A dan B + KHM B dan A KHM A saja
KHM B saja
1.5 Ketokonazol Ketokonazol merupakan antifungi yang dapat dipakai untuk mengatasi seborrhoeic dermatitis dan ketombe serta beberapa penyakit kulit lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Hammer et al. (1999) menunjukkan bahwa ketokonazol memberikan konsentrasi hambat minimum (KHM) yang paling kecil untuk ketujuh jenis Malassezia sp. dibandingkan terhadap ekonazol, mikonazol, dan minyak pohon teh.
18
Gambar 1.6 Struktur ketokonazol. Ketokonazol merupakan antimikotika golongan azol derivat imidazol dengan mekanisme kerja menghambat sintesis membran (ergosterol). Antimikotika golongan azol bersifat sangat lipofil sehingga mencapai sitokrom P-450 retikulum endoplasma dan mitokondria fungi. Antimikotika golongan azol bekerja dengan mempengaruhi biosintesis ergosterol melalui pengikatan dengan enzim sitokrom P-450 termediasi yang dikenal sebagai 14- demetilase (P-450DM). Hal ini mengakibatkan pemblokan formasi ergosterol melalui pencegahan metilasi lanosterol (suatu prekursor ergosterol) yang menghasilkan pengurangan sejumlah ergosterol dalam membran sel fungi, diikuti ketidakstabilan membran, penghambatan pertumbuhan, dan kematian sel dalam beberapa kasus. Dapat pula terjadi pembentukan produk toksik intermediet yang berakibat fatal terhadap sel.
Ketokonazol efektif pada penyakit blastomikosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis, pseudallescheriasis,
parakoksidioidomikosis,
ringworm
(tinea),
tinea
versikolor,
kandidiasis mukokutan kronis, vulvovaginitis Candida, serta kandidiasis oral dan esofagus. Efikasinya buruk pada pasien yang respon imunnya ditekan dan pada pasien meningitis. Dosis lazim dewasa adalah 400 mg sekali sehari. Anak-anak diberi 3,3 – 6,6 mg/kg per hari. Respon yang lambat terhadap terapi membuat ketokonazol tidak sesuai untuk pasien dengan mikosis parah atau mikosis yang berkembang cepat.
Efek samping ketokonazol yang umum bila digunakan secara oral adalah mual, anoreksia dan muntah yang semuanya tergantung pada dosis dan terjadi pada sekitar 20% dari pasien yang menerima pengobatan 400 mg/hari. Pemberian bersama makanan, sebelum tidur, atau dalam dosis terbagi dapat memperbaiki toleransi. Ruam akibat alergi muncul pada sekitar 4% pasien yang diobati dengan ketokonazol dan pruritus tanpa ruam muncul sekitar 2%. Kerontokan rambut juga juga pernah dilaporkan. Ketokonazol dapat menghambat biosintesis steroid pada pasien dengan menghambat sistem enzim yang tergantung pada
19 sitokrom P-450 sehingga beberapa kelainan endokrin dapat terjadi. Dilaporkan pula terjadi peningkatan aminotransferase yang ringan dan asimtomatik dalam plasma umum terjadi pada 5-10% pasien, tetapi akan kembali ke keadaan normal secara spontan. Antimikotika golongan azol juga memiliki kontraindikasi pada wanita hamil, menyusui, dan insufisiensi hati berat.
1.6 Iritasi Iritasi biasanya ditunjukkan dengan gejala berupa kemerahan yang tampak di sekitar daerah pemakaian senyawa pengganggu yang diikuti oleh proses udema pada daerah yang sama atau pada daerah yang lebih luas di sekitar tempat pemakaian. Proses selanjutnya adalah kulit menjadi panas, terjadi gatal-gatal, dan terbentuk luka. Senyawa iritasi menyebabkan efek secara langsung dalam sel pada saat penetrasi ke dalam dermis. Tahap pertama dari proses iritasi adalah terjadinya dilatasi vena pada permukaan kulit yang menyebabkan kulit berwarna kemerahan, diikuti bengkak yang disebabkan hilangnya cairan dari pembuluh-pembuluh (udem) dan dilatasi arteri (pemerahan tersebar di sekitar kulit yang teriritasi). Bersamaan dengan proses ini juga dilepaskan senyawa-senyawa kimia, seperti histamin dari sel utama dalam dermis yang bergranul. Sel-sel ini menjadi rusak dan melepaskan granul pada waktu terjadinya pemecahan sel. Selanjutnya, menyebabkan kulit panas, gatal dan luka.
1.7 Kulit Kulit merupakan bagian dari sistem integumen yang melingkupi bagian terluar dari tubuh dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar tubuh.
Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu: a. Epidermis Epidermis merupakan bagian terluar dari kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi, tidak memiliki pembuluh darah, dan sel-selnya tersusun sangat rapat. Sel-sel epidermal menerima nutrisi dan oksigen melalui difusi dari pembuluh darah kapiler pada dermis. Bagian epidermis tersusun dari 5 lapisan sebagai berikut:
20 i) Stratum germinativum Lapisan ini merupakan lapisan tunggal sel-sel yang melekat pada jaringan ikat dari lapisan kulit di bawahnya. Pada bagian ini terjadi pembelahan sel yang cepat dan sel ini terdorong masuk ke lapisan berikutnya. ii) Stratum spinosum Lapisan ini terdiri dari 8-10 lapisan keratinosit yang berikatan bersama oleh desmosom. Lapisan ini tersusun atas lapisan sel spina atau tanduk, disebut demikian karena sel-sel tersebut disatukan oleh tonjolan yang menyerupai spina. iii) Stratum granulosum Lapisan ini terdiri dari tiga sampai lima lapisan sel dengan granula-granula keratohialin yang merupakan prekursor pembentukan keratin. Keratin adalah protein keras dan resilien serta bersifat antiair dan melindungi permukaan kulit yang terbuka. Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin lunak yang berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang berada pada kuku dan rambut. Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, nukleus sel berdisintegrasi dan menyebabkan kematian sel.
batang rambut
pori-pori keringat papila dermal sy araf sensori peraba stratum korneum lapisan pigmen
DERMIS otot pili arektor kelenjar sebaseus f olikel rambut JARINGAN LEMAK SUBKUTAN (hy podermis)
papila rambut
serabut sy araf v ena Pembuluh dara h dan limf e
arteri
kelenjar keringat korpuskel Paccini
Gambar 1.7 Kulit manusia beserta lapisan- lapisannya.
21 iv) Stratum lusidum Lapisan ini merupakan lapisan jernih dan tembus cahaya dari sel-sel pipih tidak bernukleus yang mati atau hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel. v) Stratum korneum Lapisan ini merupakan lapisan epidermis teratas yang terdiri dari 15 sampai 30 lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi dan semakin pipih saat mendekati permukaan kulit. Stratum korneum mengalami pembaharuan sel-sel terdeskuamasi yang konstan karena terjadi pembelahan sel di stratum germinativum. Sel-sel pada stratum germinativum tersebut bergerak ke arah permukaan kulit dan mengalami keratinisasi yang kemudian mati. Dengan demikian, seluruh permukaan tubuh terbuka tertutupi oleh lembaran sel epidermis mati. Keseluruhan lapisan epidermis akan diganti dari dasar ke permukaan kulit setiap 15-30 hari. b. Dermis Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya membran dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan jaringan ikat, yaitu: i) Lapisan papilar Lapisan ini merupakan jaringan areolar yang mengandung pembuluh darah kapiler, limfatik, dan sel saraf sensorik. Pembuluh darah kapiler memberi nutrisi pada lapisan epidermis di atasnya. ii) Lapisan retikular Lapisan ini terletak lebih dalam dari lapisan papilar yang tersusun dari jaringan ikat ireguler yang rapat, kolagen, dan serat elastik. Sejalan dengan penambahan usia, deteriorasi normal pada simpul kolagen dan serat elastik mengakibatkan pengeriputan kulit. Infeksi lokal atau peradangan dapat terasa menyakitkan karena terdapatnya reseptor sensorik pada dermis. Dermatitis merupakan suatu peradangan pada kulit yang melibatkan lapisan papilari dermis. Peradangan ini diawali pada bagian kulit yang terpapar infeksi atau iritasi oleh zat kimia, radiasi, atau stimulus mekanik. Dermatitis dapat menyebabkan ketidaknyamanan, atau dapat memproduksi rasa gatal. Bentuk lain dari kondisi ini dapat menyebabkan rasa sakit yang cepat dan peradangan dapat menyebar secara cepat menembus lapisan integumen.
22 c. Hipodermis atau subkutan Lapisan terbawah dari kulit ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang terdapat di bawahnya. Pada lapisan ini terdapat jaringan lemak yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak tubuh, serta berisi banyak pembuluh darah dan ujung saraf.
1.8 Mata Secara umum, mata terdiri dari tiga lapisan (tunik) berbeda, yaitu tunik fibrosa, tunik vaskular, dan tunik neural. Tunik fibrosa merupakan lapisan terluar mata yang berfungsi memberikan perlindungan fisik dan mekanik, sebagai tempat melekatnya otot mata ekstrinsik, dan mengandung struktur yang berperan dalam pemfokusan objek. Tunik fibrosa terdiri dari sklera dan kornea. Tunik vaskular terdiri dari sejumlah pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan otot-otot mata intrinsik yang memiliki peran dalam pendistribusian nutrisi ke jaringan mata, mengatur sejumlah cahaya yang masuk ke mata, sekresi dan reabsorbsi aqueous humor, serta mengontrol ketajaman lensa. Tunik vaskular terdiri dari iris, badan ciliary, dan koroid. Tunik neural atau retina merupakan lapisan terdalam mata yang terdiri dari bagian terpigmentasi (tipis) dan bagian neural (tebal).
Konjungtiva Ora serrata
Vitreous
Badan siliari Aqueous
Sklera Koroid Retina
Iris Ruang anterior Kornea Pupil Lensa Ruang posterior
Makula Arteri retina
Kanal Schlemm
Saraf optik
Konjungtiva
Vena retina Rektus medialis
Gambar 1.8 Struktur mata.
Penilaian efek iritasi mata untuk iritasi yang diinduksi langsung oleh zat kimia dapat dilakukan pada struktur yang terpapar langsung seperti kornea, konjungtiva, dan iris. Jika zat kimia mampu berpenetrasi lebih dalam, bagian struktur lain dari mata dapat terpengaruh.(Hayes, 2001).
23
a. Kornea Kornea terdiri dari suatu matriks padat yang mengandung berlapis-lapis fiber kolagen. Kornea tidak memiliki pembuluh darah sehingga oksigen dan nutrisi didapatkan dari air mata yang membasahi permukaan kornea. Kemampuan refraktif kornea tergantung dari kejernihan dan kesesuaian hidrasinya. Penurunan transparansi dan hidrasi dapat merupakan akibat dari luka atau edema pada kornea (Hayes, 2001).
b. Konjungtiva Konjungtiva merupakan suatu membran mukosa yang terlapisi oleh epitel skuamosa bertingkat. Konjungtiva palpebral menyelimuti bagian dalam kelopak mata dan konjungtiva okular menyelimuti permukaan anterior mata. Iritasi pada permukaan konjugtiva disebut konjungtivitis dengan gejala berupa pemerahan konjungtiva akibat pelebaran pembuluh darah epitelium konjungtiva. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh infeksi patogen atau iritasi fisik dan mekanik pada permukaan konjungtiva.
c. Iris Iris mengandung pembuluh darah, sel-sel pigmen, dan dua lapis fiber otot halus. Kontraksi otot ini akan menyebabkan perubahan diameter pupil atau pembukaan pusat iris. Iris terdir i dari jaringan yang sangat tervaskularisasi dan terpigmentasi. Permukaan anterior memiliki suatu lapisan fibroblast dan melanosit. Permukaan posterior dilapisi oleh epitelium terpigmentasi. Warna mata tergantung pada kerapatan dan distribusi melanosit dan epitelium terpigmentasi ini. Pembuluh darah iris berdilatasi dan teraliri cairan vaskular saat kontak dengan iritan menghasilkan edema. Pada iritasi parah, kerusakan jaringan dapat terjadi menyebabkan pupil tidak bereaksi terhadap cahaya.
1.9 Metode Farmakologi Metode farmakologi yang digunakan meliputi metode pengenceran agar serta penetapan iritasi dermal dan mata akut.
1.9.1 Pengenceran Agar Metode pengenceran agar digunakan dalam pengujian aktivitas antifungi ekstrak etanol, penentuan KHM ekstrak etanol dan kombinasinya, serta penentuan kesetaraan ekstrak etanol dengan antifungi pembanding terhadap Malassezia sp. dalam penelitian ini.
24
Metode pengenceran agar menggunakan sejumlah seri pengenceran senyawa antimikrobial yang dicampurkan ke dalam sejumlah agar cair lalu dibiarkan memadat. Kemudian sejumlah suspensi mikroba diinokulasikan ke atas permukaan agar lalu dilihat tumbuh atau tidaknya mikroba tersebut setelah diinkubasi pada kondisi yang sesuai.
Metode pengenceran agar selain dapat digunakan untuk menguji aktivitas suatu antimikroba terhadap mikroba tertentu juga dapat digunakan untuk menentukan harga konsentrasi hambat minimum (KHM). Metode pengenceran agar lebih sering digunakan dalam penentuan KHM suatu antimikroba karena interpretasi hasil yang lebih jelas. Harga KHM suatu antimikroba berlainan dengan antimikroba yang lain untuk suatu mikroorganisme tergantung kepada kepekaan masing- masing mikroorganisme tersebut. Semakin kecil KHM suatu antimikroba menunjukkan semakin tinggi potensinya dalam menghambat pertumbuhan mikroba tersebut.
1.9.2 Pengujian Iritasi Pengujian iritasi meliputi penentuan iritasi dermal akut pada kulit punggung kelinci dan iritasi mata akut pada mata kelinci.
Efek iritasi dapat diketahui melalui penetapan iritasi dermal dan mata akut pada hewan percobaan. Iritasi dermal didefinisikan sebagai produksi kerusakan reversibel pada kulit selama 4 jam setelah pemberian zat uji. Iritasi mata didefinisikan sebagai perubahan pada permukaan anterior mata yang mengikuti pemberian zat uji yang dapat reversibel antara 21 hari dari pemberian zat uji. Keadaan kerusakan ireversibel sebagai efek lebih lanjut dari pengujian iritasi didefinisikan sebagai korosi. Korosi dermal didefinisikan sebagai produksi kerusakan ireversibel pada kulit; yang diberi nama nekrosis visibel pada epidermis dan sampai ke dermis selama 4 jam setelah pemberian zat uji. Reaksi korosif dermal ditandai dengan terjadinya ulcer, perdarahan, sisik-sisik berdarah, dan pada akhir pengamatan (hari ke-14), terjadi penghilangwarnaan pada kulit, alopecia, dan bopeng (scars). Korosi mata didefinisikan sebagai kerusakan jaringan mata, atau terjadi penghambatan penglihatan yang serius setelah pemberian zat uji pada permukaan anterior mata, yang tidak dapat reversibel antara 21 hari setelah pemberian.