PENDAHULUAN
Formulasi kosmetik dari bahan alam telah menjadi arah perkembangan saat ini. Hal ini disebabkan orang lebih menyukai bahan yang berasal dari alam, karena kosmetik berbahan kimia dilaporkan memiliki banyak efek samping (FDA, Mei 1999). Pemakaian bahan dari alam juga memiliki kekurangan, antara lain komposisi senyawa bahan alam yang tidak tetap dalam waktu panen yang berbeda, sehingga bahan alam yang digunakan perlu dikarakterisasi.
Salah satu bahan alam yang digunakan dalam kosmetik adalah jeruk nipis yang digunakan sebagai pencerah kulit. Kandungan alpha hydroxy acid (AHA) seperti asam sitrat, dan asam lainnya pada jeruk nipis dapat memberikan efek pengelupasan kulit, sehingga menjadikan kulit tampak lebih cerah. Senyawa AHA yang umum ditemukan dari bahan alam adalah asam sitrat, asam glikolat, asam laktat, asam tartrat, dan asam malat. AHA tersebut dapat diperoleh dari buah tebu, yoghurt, dan apel.
Sediaan AHA dengan sifat asamnya dapat bekerja dengan baik jika pH sediaan dibawah 3,5 dan berfungsi sebagai peeling. Oleh karena itu diperlukan formula sediaan yang tahan asam melalui pemilihan komposisi yang sesuai, termasuk pemilihan bahan pengemulsi serta pembentuk gel yang cocok dan tahan pada pH asam. Meskipun demikian, sediaan dengan pH lebih rendah daripada pH kulit, dapat menimbulkan iritasi.
Dari pengembangan tersebut diharapkan dapat diperoleh suatu formula produk perawatan kulit, sehingga sediaan mempunyai stabilita yang baik pada kondisi asam.
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas tentang anatomi kulit, pengelupasan kulit (peeling), sediaan losio, sediaan gel, dan jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Chrism & Panzer) swingle).
1.1 Kulit 1.1.1 Struktur kulit Kulit secara umum dibagi menjadi 3 bagian, yaitu epidermis, dermis dan hipodermis. Epidermis mengandung sel-sel epidermal tanpa jaringan penghubung dan pembuluh darah. Epidermis terkeratinisasi secara sempurna dari stratum germinativum hingga ke stratum korneum. Ciri utama epidermis adalah kecepatan penuaan yang luar biasa.
Gambar 1.1 Stratum Korneum (Baumann, 2002) Epidermis terdiri dari lima lapisan, yaitu stratum korneum, lusidum, granulosum, spinosum dan germinativum. Permukaan luar stratum korneum mengandung lapisan tanduk yang kompak dan sel-sel mati yang terletak dalam lamela. Sel-sel tersebut tidak memiliki inti dan terdiferensiasi, tidak memiliki organel, dan susunannya mirip dinding brick. Stratum lusidum terletak dibawah stratum korneum, dan dapat terlihat baik pada telapak kaki. Stratum granulosum disebut juga lapisan granular karena terdapat granul keratohyalin. Stratum spinosum, disebut juga lapisan sel berbintik. Lapisan ini dihubungkan dengan 2
ikatan organik. Stratum germinativum mengalami perubahan secara konstan, sel-sel baru diproduksi dengan proses pembelahan sel biasa atau mitosis.
Gambar 1.2
Lapisan Epidermis (Baumann, 2002)
Dermis terdiri dari jaringan berserabut padat yang mengandung untai-untai jaringan elastis, bersama dengan pembuluh darah, limfatik, saraf, dan folikel-folikel rambut. Dermis dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan papillary dan lapisan retikular. Pada lapisan papillary terdapat kumparan kapiler, dan ujung saraf, sedangkan pada lapisan retikular terdapat pembuluh darah, saraf, folikel rambut, dan memiliki lebih banyak berkas berserabut.
Hipodermis mengandung jaringan serabut renggang yang terdiri dari sel-sel lemak. Lapisan ini berfungsi sebagai
pelidung untuk struktur vital yang ada didalamnya. Sebagai
pendukung terdapat badan pacinian, batang saraf, kumparan kelenjar keringat dan pembuluh darah. Pembuluh darah berfungsi sebagai konduktor panas, mencegah kehilangan panas tubuh.
1.1.2 Fungsi Kulit Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung. Lapisan keratin terluar yang berkembang secara terus-menerus dapat melidungi dari luka fisik dengan kecepatan penyembuhan yang tinggi. Kulit juga dapat melindungi organ yang lebih dalam dari masuknya bahan berbahaya, invasi bakteri serta jamur. Perlindungan kulit dari bakteri dan jamur terjadi karena pH kulit yang berada pada rentang 4,2-5,6 (Harry,1962).
3
1.1.4 Abnormalitas Kulit Kulit kering adalah kulit yang memiliki stratum korneum dengan kelembaban yang kurang. Ketika kulit menjadi terlalu kering, lapisan kulit yang terluar menebal dan memungkinkan kulit menjadi kusam, terbentuk retakan-retakan, dan mudah pecah-pecah.
Kulit yang berminyak adalah kulit dengan produksi minyak (sebum) berlebih. Hal tersebut dapat menyebabkan kulit tampak bersinar, dan sering menimbulkan bintik, pori-pori besar, dan jerawat.
Pengelupasan kulit dapat memperbaiki penampakan kulit kering dengan menghilangkan permukaan kulit mati paling atas, sedangkan pada kulit berminyak akan membantu poripori tetap bersih.
1.2 Pengelupas Kulit (Peeling) Berdasarkan sifatnnya, ada 2 jenis pengelupasan kulit atau peeling, yaitu pengelupas fisik dan kimia. Pengelupasan fisik yaitu dengan menggunakan padi-padian atau spons kasar digunakan dengan pembersih. Pengelupas kimia dapat menggunakan asam hidroksi, asam buah, produk glikolat.
Pengelupas kulit dapat digolongkan berdasarkan kedalaman kulit yang mengelupas , yaitu peeling dangkal, menengah, dan dalam. Pada peeling dangkal menginduksi kerusakan semua bagian epidermis, dari stratum granulosum ke lapisan sel basal. Peeling menengah menghasilkan kerusakan epidermis dan seluruh atau sebagian dermis papillary dalam daerah yang di ”treatment”. Kerusakan terjadi hingga retikular dermis jika dilakukan peeling dalam. Saat ini prosedur peeling dangkal dan menengah adalah peeling yang paling banyak digunakan karena memiliki efek samping yang lebih kecil. Alpha hydroxy acid (AHA), beta hydroxy acid (BHA) resorsinol dan trichloro acid (TCA) biasa digunakan untuk peeling dangkal. Semua bahan tersebut menghasilkan efek mempercepat regenerasi sel. Bahan-bahan tersebut menghilangkan lapisan permukaan stratum korneum, sehingga kulit tampak lebih lembut dan lebih cerah. (Baumann, 2002).
4
AHA adalah asam organik yang dihasilkan dari alam yang mengandung gugus hidroksi pada posisi alfa. Salah satu mekanisme kerja asam hidroksi berasal dari kekuatan asam senyawa tersebut. AHA mempunyai efek terhadap kohesivitas korneosit pada lapisan stratum korneum yang lebih rendah, AHA mengubah pH kulit. Dengan konsentrasi yang tinggi memisahkan sel-sel keratin dan menghancurkan epidermal. Aplikasi dalam konsentrasi yang kecil mengurangi kohesi antar korneosit secara langsung pada lapisan granular tersebut,
meningkatkan lapisan granular dan mempertipis stratum korneum.
Hasilnya mempercepat regenerasi sel dan menghaluskan stratum korneum.
Kebanyakan dari efek yang disebutkan di atas adalah bergantung pada dosis alfa hidroksinya. Penggunaan dibawah 4% dalam formula dikategorikan dalam konsentrasi rendah, konsentrasi sedang digunakan pada rentang 4-12%, dan konsentrasi tinggi untuk dosis yang lebih tinggi. Senyawa yang termasuk dalam AHA adalah asam glikolat yang diperoleh dari tebu, asam laktat dari susu asam, asam sitrat dari buah lemon, asam mandelat dari hidrolisis ekstrak almon pahit, dan asam pitat dari beras.
1.3 Citrus aurantifolia (Christm. & Panzer) Swingle. Jeruk
nipis
termasuk
divisi
Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledoneae, bangsa Rutales, suku Rutaceae, marga Citrus, jenis Citrus aurantifolia (Crhristm& Panzer) swingle (Sethpakdee,1992).
Jeruk nipis dikenal juga dengan sebutan lime, jeruk pecel, limau nipis (malaysia). Jeruk nipis memiliki habitus perdu, dengan tinggi sekitar 3,5 meter. Memiliki daun yang majemuk, elips, atau bulat telur, pangkal daun membulat dan berujung tumpul. Buah jeruk nipis berbentuk buni, berdiameter 3,5 sampai 5 cm, memiliki warna hijau ketika masih muda dan menjadi kuning setelah tua. Biji berbentuk bulat telur, pipih, putih kehijauan. Jeruk nipis mengandung saponin, flavonoid, dan minyak atsiri (inventaris tanaman obat indonesia I jilid 2) mengandung minyak atsiri dengan komponen sitral, limonen, feladren, glikosida hesperidin, rutin dan aurantiamarin. Buah jeruk nipis juga mengandung vitamin C, B, dan A. Buah jeruk juga mengandung zat biflavanoid, pektin, dan enzim-enzim, protein, lemak, dan pigmen (karoten dan klorofil). Sari buah jeruk nipis mengandung asam sitrat 7% dan minyak atsiri limonen (Rukmana,1996). 5
Buah matangnya yang berumur lebih dari 3 bulan, terutama sari buahnya mengandung 78% asam sitrat dari berat. Ekstrak air 41% dari berat buah, vitamin C 4,6%, air 91%, karbohidrat 5,9%, protein 0,5% dan lemak 2,4% (Sethpakdee,1992).
Asam Sitrat
Gambar 1.3
Struktur Asam Sitrat (www.wikipedia.com)
asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat. Asam sitrat memiliki bobot molekul 192,13, titik lebur 153 °C) dan 3 tetapan disosiasi, yaitu pKa1 3,15, pKa2 4,77, dan pKa3 5,19 (Ditjen POM Depkes R!,1995). Senyawa ini merupakan bahan pengawet yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa asam pada makanan dan minuman ringan.
1.4 Emulsi 1.4.1 Definisi Emulsi adalah suatu sistem dispersi kasar yang tidak stabil secara termodinamika terdiri atas minimal 2 cairan yang tidak bercampur, salah satu fasa (fasa terdispersi) terdispersi sebagai globul-globul didalam fasa yang lain (fasa pendispersi), kedua sistem cairan tersebut distabilisasi oleh bahan pengemulsi (fase ketiga) (Martin,1993).
1.4.2 Teori Emulsifikasi Pembentukan sistem emulsi berdasarkan proses pembentukan fasa terdispersi dan stabilisasi fasa terdisapersi dalam waktu bersamaan.
6
Proses stabilisasi globul berdasarkan mekanismenya adalah 1.
pembentukan lapisan monolayer oleh surfaktan. Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antar muka minyak/air membentuk lapisan monomolekuler dan mengurangi tegangan antarmuka.
2.
pembentukan lapisan film oleh koloid hidrofilik yang membentuk suatu lapisan multimolekuler disekitar globul terdispersi dari minyak dalam suatu emulsi o/w.
3.
partikel padat terbagi halus yang dapat diadsorpsi pada batas antarmuka dua fasa cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu lapisan partikel di sekitar globulgloobul terdispersi (Martin,1993)
1.4.3 Tipe Emulsi Dalam makroemulsi sederhana (2 komponen cairan), terdapat 2 tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (m/a) atau air dalam minyak (o/w). Jenis emulsi ditentukan dengan jumlah fasa dalam sediaan. Jenis fasa yang lebih banyak akan menjadi fasa pendispersinya. (Martin,1993).
Dalam pembuatan emulsi, faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan adalah alat, kecepatan dan waktu pengadukan. Ketiganya berkaitan erat dengan ukuran globul yang terbentuk. Jenis dan konsentrasi bahan pengemulsi yang digunakan merupakan faktor penting dalam mekanisme stabilisasi. sedangkan ukuran globul yang terbentuk mempengaruhi jumlah bahan pengemulsi yang digunakan.
1.4.5 Ketidakstabilan Emulsi Ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan menjadi: 1. Flokulasi dan creaming flokulasi merupakan aglomerasi dari fasa dalam, sedangkan creaming merupakan kelanjutan dari flokulasi dimana mulai terjadi pemisahan fasa, dimana fasa minyak berada pada bagian atas (bj minyak lebih kecil dari air). Pada proses creaming diterapkan hukum stokes dan sangat dipengaruhi ukuran globul dan viskositas. Creaming bersifat reversible, dengan pengocokan maka dispersi kembali homogen. 2. Koalesensi (penggabungan) dan breaking (pemisahan). Koalesensi merupakan penggabungan globul-globul fasa terdispersi secara permanen kerena lapisan pelindungnya sudah tidak ada. Jika terjadi pemisahan, pencampuran 7
biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil. 3. perubahan fisik dan kimia, meliputi perubahan warna, pH, viskositas, dan penurunan kadar. 4. inversi fasa, terjadi pemisahan dengan adanya perlakuan, sehingga emulsi berubah (Martin,1993).
1.5 Gel 1.5.1 Definisi Gel Menurut definsi USP gel adalah sistem semisolida baik anorganik maupun organik besar yang berinterpenetrasi dengan cairan. Dalam partikel anorganik membentuk sistem tiga dimensi dalam keseluruhan (Lieberman, 1997).
1.5.2 Sifat Gel Gel memiliki sifat yang khas: 1. dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorpsi larutan yang mengakibatkan terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan gel kurang sempurna apabila terjadi ikatan silang antara polimer didalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang. 2. sineresis, yaitu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi didalam masa gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan berada diatas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk masa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran sel akan mengakibatkan karakter antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan, sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun organogel. 3. bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel (Lieberman, 1997).
8
Penggolongan gel berdasarkan bentuk struktur gel adalah sebagai berikut: a. kumparan acak. Struktur gel dibentuk oleh komponen pembentuk gel golongan polimer sintetik dan derivat selulosa. Mekanisme pembentukan gel disebabkan oleh adanya interaksi antar polimer – pelarut atau terjadi penggabungan antar molekul akan mengurangi mobilitas pelarut dan terbentuk masa gel. Penambahan sejumlah polimer berikutnya akan menaikan sifat viskoelastis dan ketegaran masa gel. b. heliks struktur gel dibentuk oleh komponen pembentuk gel golongan gom xanthan dan polisakarida dengan bentuk struktur gel yang lebih teratur akibat adanya jalinan antar dua rantai polimer c. batang, disebut juga struktur gel model ”egg box” yang terjadi ikatan silang antar polimer dengan kation divalen. Contohnya adalah Calsium Alginat. d. bangunan kartu, struktur gel yang terbentuk dari partikel anorganik yang terhidratasi. Pada permukaan datarnya memiliki muatan negatif, sedangkan tepinya bermuatan positif. Daya tarik antar permukaan dan tepi lamela koloid tersebut membentuk struktur tiga dimensi. (Lieberman, 1997).
Ada tiga macam sifat pelarut dalam struktur gel, yaitu: pelarut yang bebas terperangkap di dalam struktur tiga dimensi gel. Berdasarkan ketiga sifat pelarut tersebut di atas, maka pembentukan gel tergantung dari konsentrasi polimer dan aktivitas pelarut terhadap polimer. Pelarut yang biasa digunakan untuk gel adalah air (hidrogel) dan pelrut organik (organogel). Xerogel adalah basis gel yang padat dengan kandungan komponen pembentuk gel dalam pelarut dengan jumlah minimum yang diperoleh dengan menguapkan pelarutnya (Lieberman, 1997).
9