PENDAHULUAN Zea mays L. atau lebih dikenal dengan nama jagung merupakan tanaman yang banyak dikenal masyarakat sebagai bahan makanan, makanan ternak, atau sebagai bahan baku pengisi obat. Tanaman ini tersebar luas terutama di Jawa pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut (Kasahara, 1995). Bagian-bagian tanaman jagung telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Daun jagung digunakan untuk radang ginjal, batu empedu, batu ginjal, dan nyeri jantung (Kasahara, 1995). Biji jagung berkhasiat untuk memperbanyak air susu ibu, obat batu ginjal, obat demam nifas, obat jantung dan peluruh air seni (Hutapea, 2000). Seduhan tongkol jagung yang segar mempunyai daya diuretis. Rambut jagung digunakan sebagai diuretik dan antihipertensi (Ditjen POM, 1995). Sedangkan ekstrak air rambut jagung mempunyai potensi terhadap penyembuhan gagal ginjal pada tikus (Djatiningsih, 2006). Rambut jagung merupakan limbah industri pangan yang jarang sekali dimanfaatkan oleh masyarakat. Penelitian mengenai kandungan kimia pada rambut jagung ini masih terbatas dan belum banyak dipublikasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah kandungan kimia rambut jagung sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan rambut jagung sebagai obat tradisional. Selain itu, penelitian terhadap rambut jagung ini memiliki nilai tambah dalam aspek ekonomi yaitu pemanfaatan limbah. Langkah yang dilakukan untuk mengisolasi senyawa dari rambut jagung dimulai dari ekstraksi dengan metode yang sesuai, fraksinasi, pemurnian, uji kemurnian, dan karakterisasi.
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka meliputi tinjauan botani, kandungan kimia, penggunaan tradisional dan aktivitas farmakologi rambut jagung, dan tinjauan metode.
1.1 Tinjauan Botani Tinjauan botani suatu tanaman meliputi beberapa aspek, yaitu klasifikasi tanaman, nama daerah, morfologi, ciri makroskopik, mikroskopik, ekologi, dan penyebaran.
1.1.1 Klasifikasi Jagung termasuk dalam divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Commelinidae, bangsa Cyperales, suku Poaceae, marga Zea, nama jenis Zea mays L (Cronquist, 1981).
1.1.2 Nama Daerah Di Sumatera, Zea mays L. dikenal dengan nama eyako (Enggano), jagong (Aceh), jagong (Batak), dan rigi (Nias). Di Jawa dikenal sebagai jagong (Sunda), jagung (Jawa Tengah), dan jhahung (Madura). Di Bali dikenal dengan nama jagung. Di Nusa Tenggara dikenal sebagai jagung (Sasak), jago (Bima), wataru (Sumba), latung (Flores), fata (Solor), dan pena (Timor). Di Sulawesi dikenal dengan nama binte (Gorontalo), binde (Buel), dan gandum (Toraja). Sedangkan di Maluku dikenal sebagai jagong (Ambon), kastela (Halmahera), dan tela (Tidore) (Hutapea, 2000).
1.1.3 Morfologi Zea mays L. merupakan tanaman yang berumpun tegak setinggi 15 m. Batang bulat, masif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, dan berwarna hijau. Zea mays L. memiliki bunga majemuk, berumah satu, bunga jantan dan betina bentuk bulir, di ujung batang dan di ketiak daun, benang sari ungu, bakal buah bulat telur, dan berwarna putih. Buah berbentuk bongkol, panjang 8-20 cm, dan berwarna hijau
2
3 kekuningan. Biji berbentuk bulat, berwarna kuning atau putih. Akar serabut dan berwarna putih kotor (Hutapea, 2000).
1.1.4 Ciri Makroskopik dan Mikroskopik Rambut Jagung Rambut jagung (Maydis stigma) adalah kepala putik dan tangkai kepala putik buah Zea mays L. yang segar, suku Poaceae. Rambut jagung berwarna jingga kemerahan, merah jambu, coklat kekuningan, coklat sampai merah ungu, berbau aromatik lemah dan rasa agak kelat. Secara makroskopik, rambut jagung berupa benang-benang ramping, lemas, agak mengkilat, panjang 10 cm sampai 25 cm, garis tengah lebih kurang 0,4 mm. Secara mikroskopik, pada penampang melintang tampak epidermis bentuk segi empat, dengan rambut penutup terdiri dari beberapa sel, parenkim terdiri dari beberapa sel berdinding tipis, terdapat berkas pembuluh dengan tipe kolateral. Serbuk berwarna coklat muda. Fragmen pengenal adalah parenkim. Rambut penutup terdiri dari beberapa lapis sel berkas pembuluh dan serbuk sari (Ditjen POM, 1995).
1.1.5 Ekologi dan Penyebaran Jagung tersebar di Jawa pada ketinggian lebih kurang 200 m di atas permukaan laut (Kasahara, 1995). Jagung di Indonesia kebanyakan ditanam di dataran rendah baik di tegalan, sawah tadah hujan maupun sawah irigasi. Sebagian terdapat juga di daerah pegunungan pada ketinggian 1000- 1800 m di atas permukaan laut1.
1.2 Kandungan Kimia Biji jagung mengandung alkaloid, flavonoid dan polifenol (Hutapea, 2000). Bunga jagung mengandung
stigmasterol1.
Rambut
jagung
mengandung
saponin,
tanin,
steroid/triterpenoid, damar, dan minyak lemak (Ditjen POM, 1995). Rambut jagung juga mengandung maysin (Dictionary of Natural Products, 1994), beta-karoten, beta-sitosterol, geraniol, hordenin, limonen, mentol, dan viteksin2. Struktur kimia beberapa senyawa yang terkandung dalam rambut jagung tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1.
1 2
www.iptek.net.id (16 september 2006) www. mountainroseherbs.com/learn/corn_silk.php (21 september 2006)
4
a
b
c
Gambar 1.1. Struktur kimia beberapa senyawa yang terkandung dalam rambut jagung. Keterangan : a. Maysin b. Geraniol c. Limonen
1.3 Penggunaan Tradisional dan Aktivitas Farmakologi Bagian daun dari tanaman jagung digunakan untuk radang ginjal, batu empedu, batu ginjal, nyeri jantung, dan abortif (Kasahara, 1995). Biji tanaman jagung berkhasiat untuk memperbanyak air susu ibu, obat batu ginjal, obat demam nifas, obat jantung dan peluruh air seni (Hutapea, 2000). Infus tongkol jagung mempunyai daya diuretis serta dapat menyembuhkan pendarahan hidung. Rambut jagung digunakan sebagai diuretik dan antihipertensi (Perry,1980 ; Ditjen POM, 1995). Ekstrak air rambut jagung mempunyai potensi terhadap penyembuhan gagal ginjal pada tikus Wistar jantan (Djatiningsih, 2006).
1.4 Tinjauan Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ekstraksi, fraksinasi, pemurnian, uji kemurnian dan karakterisasi.
1.4.1 Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrak zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
5 Ekstraksi atau penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Kecepatan penyarian dipengaruhi oleh kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Proses penyarian dimulai dengan pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian dan pemekatan (Ditjen POM, 1986). Pelarut pengekstrak yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk menarik senyawa yang terdapat dalam simplisia. Syarat pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi, yaitu murah, mudah didapat, stabil secara fisika dan kimia, bersifat netral dengan senyawa yang ingin ditarik, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif terhadap zat yang ingin ditarik, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan perundangan (Ditjen POM, 1986). Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan cara panas atau cara dingin. Metode ini disesuaikan dengan kestabilan senyawa yang ingin diisolasi. a. Refluks Refluks adalah proses ekstraksi pada temperatur titik didih pelarut selama waktu tertentu. Pelarut yang digunakan terbatas dan relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Pada umumnya dilakukan pengulangan proses sampai seluruh senyawa yang diinginkan terekstraksi sempurna (Ditjen POM, 1986). b. Ekstraksi sinambung menggunakan alat Soxhlet Penyarian berkesinambungan adalah ekstraksi yang dilakukan secara kontinu dengan penggunaan pelarut yang selalu baru dalam alat yang dikenal dengan nama alat Soxhlet. Metode ini lebih efektif dan efisien dibanding metode lain karena proses penarikan senyawanya yang maksimal karena serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni sehingga dapat menyari zat aktif lebih banyak. Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan tanpa menambah volume cairan penyari. Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat. Proses yang terjadi pada alat Soxhlet adalah uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian diembunkan kembali oleh pendingin balik. Cairan turun ke labu melalui tabung yang berisi serbuk simplisia. Cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif serbuk simplisia. Karena adanya sifon maka setelah cairan mencapai permukaan
6 sifon, seluruh cairan akan kembali ke labu. Cara ini lebih menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping (Ditjen POM, 1986).
1.4.2 Fraksinasi Fraksinasi adalah cara kerja yang membagi suatu campuran menjadi sekurang-kurangnya dua fraksi yang berbeda susunannya. Fraksinasi ditujukan untuk mendapatkan suatu senyawa yang lebih murni dari ekstrak dengan menghilangkan senyawa-senyawa lain (Harborne, 1987). Metode fraksinasi yang digunakan bergantung pada bahan yang akan difraksinasi dan tujuan fraksinasi (Cannel, 1998). Metode yang dapat digunakan untuk fraksinasi antara lain ekstraksi cair-cair dan kromatografi. Metode kromatografi yang sering dilakukan adalah dengan metode kromatografi cair vakum. Prinsip kromatografi cair vakum adalah adsorpsi senyawa oleh adsorben, desorpsi senyawa oleh fase gerak sehingga senyawa lepas dari fase diam, elusi senyawa oleh fase gerak dan pemberian tekanan di dalam labu penampung sehingga mempercepat proses pemisahan serta meningkatkan laju aliran fase gerak. Fase gerak yang digunakan adalah sistem fase gerak landaian, yaitu sistem fase gerak yang terdiri dari dua atau lebih fase gerak yang komposisinya berubah secara bertahap. Keuntungan kromatografi cair vakum adalah lebih cepat dalam memisahkan. Adsorben yang digunakan adalah adsorben yang memiliki ukuran partikel 40-63 µm (Gritter, et al., 1991).
1.4.3 Pemurnian Pemurnian adalah proses memisahkan senyawa yang diinginkan dari pengotor yang mungkin masih ada dalam isolat (Ditjen POM, 1986). Metode pemurnian yang dilakukan adalah kromatografi lapis tipis preparatif. Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif banyak digunakan dalam tahap pemurnian pada proses isolasi berbagai senyawa. Metode ini memiliki banyak keuntungan di antaranya biaya lebih ekonomis, mudah dilakukan, cepat, dan dapat menganalisis atau memisahkan sampel sekaligus dalam jumlah banyak (Cannell, 1998).
1.4.4 Karakterisasi Karakterisasi adalah proses pengumpulan informasi mengenai identitas suatu isolat yang telah didapat, dengan menggunakan berbagai metode, baik reaksi kimiawi maupun dengan
7 menggunakan spektrofotometri (Harborne, 1987). Metode spektrofotometri yang digunakan antara lain spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak dan spektrofotometri inframerah. a. Spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak Spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak adalah metode pengukuran serapan molekul suatu senyawa terhadap cahaya di daerah ultraviolet (panjang gelombang 200-350 nm) dan di daerah sinar tampak (panjang gelombang 350-800). Serapan molekul pada daerah tersebut berkaitan dengan eksitasi elektron-elektron σ (sigma), π (phi) dan non bonding pada molekul tersebut. Spektrum serapan senyawa yang terkandung pada tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding blanko pelarut. Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak adalah etanol dan metanol karena sebagian besar golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut (Fessenden, 1986 ; Harborne, 1987). b. Spektrofotometri inframerah Spektrum inframerah dapat membantu dalam menentukan gugus fungsi yang ada dalam suatu senyawa. Prinsip kerjanya yakni radiasi inframerah yang ditimbulkan mengakibatkan terjadinya vibrasi dan/atau rotasi dalam molekul yang dikenai sinar inframerah. Daerah radiasi elektromagnet inframerah yang lazim digunakan dalam analisis senyawa terdapat pada frekuensi/bilangan gelombang 4000-667 cm-1 atau panjang gelombang 2,5 – 15 µm (Fessenden, 1986 ; Harborne, 1987).